DAMPAK DARWINISME SOSIAL TERHADAP PERKEMBANGAN NAZISME DI JERMAN TAHUN 1921-1945.

(1)

PERKEMBANGAN NAZISME DI JERMAN TAHUN

1921-1945

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh

PANZI AHMAD GOZALI (0807010)

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA


(2)

Perkembangan Nazisme di Jerman Tahun

1921-1945

Oleh

Panzi Ahmad Gozali

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

© Panzi Ahmad Gozali 2013 Universitas Pendidikan Indonesia

Maret 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.


(3)

PANZI AHMAD GOZALI 0807010

DAMPAK DARWINISME SOSIAL TERHADAP PERKEMBANGAN NAZISME

DI JERMAN TAHUN 1921-1945

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PEMBIMBING :

Pembimbing I,

Prof. Dr. H. Dadang Supardan, M.Pd NIP. 19570408 198403 1 003

Pembimbing II,

Dr. Encep Supriatna, M.Pd. NIP. 197601052005011

Diketahui Oleh

Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah,

Prof. Dr. H. Dadang Supardan, M.Pd NIP. 19570408 198403 1 003


(4)

ABSTRACT

This research is titled "THE IMPACT OF SOCIAL DARWINISM ON THE GROWTH OF NAZISM IN JERMAN YEAR 1921-1945". This paper is

based on the writer’s interest on the genocide of low societies mainly the Jaws and

the start of world war II by Nazi Germans so that it causes the questions of what was the basic theory and the thought behind it. As for the main problems, the writer has formulated them into three questions of research, that is (1) How Social Darwinism developed in Nazi Germany party; (2) Supporting conditions for Social Darwinism to develop in Nazi Germany party; (3) The Impact of the development of Social Darwinism on Nazism in Germany year 1921-1945. The method the used is the historical method by conducting four research steps which are heuristic, criticism, and interpretation of historiography. While for the collection of data, The writer conducted a literature study which is studying the relevant resources which support the writer’s research. The approach used is the interdisciplinary approach by taking concept of sociology, anthropology and psychology. The growth of Social Darwinism in Nazi Germany party is strongly related with the actions of Adolf Hitler. Beside that, one of the supporting conditions of the growth of Social Darwinism in Nazi party is intellectual climate which is, at that time, predominated by biological science and later is applied in social domain by Herbet Spencer, the founder of Social Darwinism. Hitler and the German scientists believed and acknowledged his scientific standing, thus, the Social Darwinism is considered to be the newest scientific truth. The next supporting condition is the effort of exploiting the situation of the German people and the worn-out Nazi party members which are in total surrenderness because of the various negative post-war impacts by Hitler to propagate Social Darwinism. The negative impact of Social Darwinism on the growth of German Nazism is the existence of acute anti-semitic-ism and the beliefs of the superiority of Aryan nation implemented. This beliefs is also realized programly by the governance of Nazi and result in the abbatoir of the human races (especially the Jews) in German concentration camps. Aryan Superiority applied by Nazi Germans have also triggered the World War II. The negative impact hereinafter is the effort to recover the Aryans and the prevention of their contamination which done by Nazi. The victims are the German itself. The growth of Nazism up to the destruction of human beings also gave rise to necrophilia.


(5)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “DAMPAK DARWINISME SOSIAL TERHADAP

PERKEMBANGAN NAZISME DI JERMAN TAHUN 1921-1945”. Skripsi ini dilatarbelakangi oleh ketertarikan penulis terhadap usaha pemusnahan bangsa rendahan terutama Yahudi serta tersemainya Perang Dunia II oleh Nazi Jerman sehingga menimbulkan pertanyaan apa yang menjadi landasan teori dan pemikiran apa yang ada di baliknya. Adapun masalah utama tersebut penulis bagi menjadi tiga pertanyaan penelitian, yaitu (1) Bagaimana Darwinisme Sosial bisa berkembang di partai Nazi Jerman; (2) Kondisi-kondisi yang mendorong Darwinisme Sosial berkembang di partai Nazi Jerman; (3) Dampak perkembangan Darwinisme Sosial terhadap Nazisme di Jerman tahun 1921-1945. Metode yang digunakan adalah metode historis dengan melakukan empat langkah penelitian yaitu heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Sedangkan untuk pengumpulan data penulis melakukan teknik studi literatur yaitu mengkaji sumber-sumber yang relevan dengan kajian penulis. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan interdisipliner dengan mengambil konsep dari ilmu sosiologi, antropologi dan psikologi. Perkembangan Darwinisme Sosial di partai Nazi Jerman erat kaitannya dengan kiprah Adolf Hitler. Selain itu, kondisi-kondisi yang mendorong perkembangan Darwinisme Sosial di partai Nazi adalah iklim intelektual pada saat itu didominasi oleh ilmu biologi dan kemudian diterapkan di ranah sosial oleh Herbet Spencer, pendiri paham Darwinisme Sosial. Hitler dan ilmuan Jerman banyak yang percaya dan mengakui kebenaran ilmiahnya sehingga Darwinisme Sosial dianggap sebagai kebenaran ilmiah terbaru. Kondisi berikutnya adalah usaha pemanfaatan keadaan rakyat Jerman dan anggota partai Nazi yang letih dan pasrah total karena berbagai dampak negatif paska perang oleh Hitler untuk menyebarkan Darwinisme Sosial. Dampak negatif Darwinisme Sosial terhadap perkembangan nazisme Jerman adalah adanya paham anti-semitisme yang akut serta paham mengenai superioritas bangsa Arya. Paham ini pun direalisasikan oleh pemerintahan Nazi secara terprogram dan mengakibatkan terjadinya pembantaian ras manusia yang dianggap rendahan (terutama Yahudi) di kamp-kamp konsentrasi Jerman. Superioritas bangsa Arya yang diterapkan oleh Nazi Jerman juga telah menyemai Perang Dunia II. Dampak negatif selanjutnya adalah usaha perbaikan ras Arya serta pencegahan pencemarannya yang dilakukan oleh Nazi. Korban dari program ini adalah bangsa Jerman itu sendiri. Perkembangan nazisme sampai dengan pemusnahan manusia ini juga diwarnai oleh nekrofilia (hasrat untuk merusak yang hidup dan ketertarikan terhadap segala sesuatu yang telah mati, rusak dan murni mekanis) Hitler.


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ...i

KATA PENGANTAR ...ii

UCAPAN TERIMA KASIH ...iii

DAFTAR ISI ...vi

BAB I PENDAHULUAN ...1

1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Rumusan ...16

1.3 Tujuan Penelitian ...16

1.4 Manfaat Penelitian ...16

1.5 Sistematika Penulisan ...17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...20

2.1 Teori-teori yang Relevan ...20

2.1.1 Teori Insting atau Naluri ...20

2.1.2 Teori Ras ...29

2.2 Hasil-hasil Penelitian Terdahulu dan Literatur tentang Darwinisme Sosial dan Nazisme di Jerman ...33

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...48

3.1 Pendekatan ...48

3.2 Metode Penelitian ...50

3.3 Teknik Penelitian ...52


(7)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...68

4.1 Latar Belakang Darwinisme Sosial bisa Berkembang di partai Nazi Jerman ...68

4.2 Kondisi-kondisi yang Mendorong Darwinisme Sosial Berkembang di Partai Nazi Jerman ...83

4.3 Dampak Darwinisme Sosial terhadap Perkembangan Nazisme di Jerman ...92

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...112

5.1 Kesimpulan ...112

5.2 Saran ...115

DAFTAR PUSTAKA ...116

LAMPIRAN-LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP PENULIS


(8)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Abad ke-20 merupakan abad yang penuh dengan konflik serta merupakan abad kengerian untuk seluruh umat manusia di bumi ini. Di abad ini, telah terjadi dua kejadian yang sangat mengguncang dunia, yakni Perang Dunia I dan Perang Dunia II yang banyak menelan korban jiwa. Kengerian itu tidak akan lepas dari paham-paham yang berkembang di masyarakat terutama paham yang dimiliki oleh para pemimpin negara pada saat itu (Yahya, 2002: 1).

Isme-isme atau paham-paham yang mengguncang dunia seperti komunisme, fasisme, kapitalisme dan sosialisme bermunculan di abad ke-20 ini. Hal ini memperlihatkan persengketaan yang besar antara sistem totaliter yang agresif dengan cara hidup yang bebas sehingga baik secara langsung ataupun secara tidak langsung, paham-paham tersebut ikut ambil bagian dalam terciptanya kengerian di abad ini. Pandangan ini berdasarkan pada pendapat Ebenstein. Ide-ide dianggap sebagai sebab-sebab utama bagi timbulnya proses sejarah dan kondisi-kondisi militer, sosial, ekonomi dan teknologi masyarakat dapat dianggap berasal dari dan ide-ide yang besar juga. Dengan kata lain, ide-ide inilah yang menjadi tenaga pendorong yang utama dalam sejarah sehingga ide tidak saja menimbulkan peristiwa tapi juga mencerminkannya (Ebenstein, 2006: 4-5).

Fasisme adalah salah satu yang menonjol dari paham-paham yang mengguncang dunia tersebut karena dianut oleh negara Jerman, Italia dan Jepang dan menarik negara-negara di dunia ke dalam kancah perang yang paling mengerikan di sepanjang sejarah umat manusia. Susilo mengatakan bahwa Fasisme merupakan salah satu paham yang menyemai terjadinya PD II yang menelan korban hampir 50 juta orang. Hitler dengan partai Nazinya yang berhaluan ultranasionalis dan fasis, Kaisar Hirohito di Jepang ingin menguasai Asia Raya dengan mengusung fasisme militeristik, Benito Mussolini dari Italia


(9)

melakukan gerakan fascio de combatimento yang bercita-cita membentuk Italia Raya dengan mengusung fasisme pula (Susilo, 2009: 94-95).

Kata fasisme pada awalnya hampir tidak dikenal di masyarakat Eropa sampai tahun 1920, namun menjadi dikenal ketika kata fasisme digunakan oleh Benito Mussolini dari Italia sebagai nama gerakan revolusioner barunya. Kata fasisme itu sendiri berasal dari bahasa Latin fasces yang berarti ikatan. Fasces merupakan serumpun batang yang diikatkan di kapak sebagai tanda penghargaan atas wewenang dan keadilan petugas hukum pada masa Romawi kuno (Purcell, 2000: 5).

George Mosse (Suhelmi, 2004: 333) memandang bahwa fasisme sebagai manifestasi kekecewaan terhadap kebebasan, sebagaimana yang dikemukakannya bahwa:

Fasisme merupakan manifestasi kekecewaan terhadap kebebasan individual (individual freedom) dan kebebasan berpikir (freedom of

thought). Bagi orang yang menganut fasisme, ia merasakan kebebasan

justru dalam belenggu anti-kebebasan.

Kata fasisme sendiri sudah dikaitkan dengan keburukan-keburukan sifat

manusia. Wilkinson berpendapat bahwa “istilah fasisme telah dikaitkan dengan perlakuan yang kejam, sebuah sinonim bagi orang-orang yang mengombinasian kebencian rasial dan menyukai kebrutalan dengan hasrat untuk mendapatkan

kekuasaan” (Wilkinson, 2005: 2).

Fasisme merupakan pemberontakan besar totaliter kedua setelah komunisme terhadap cara hidup Barat yang liberal. Pengaturan pemerintahan dan masyarakat di sebuah negara yang menganut fasisme dilakukan secara totaliter oleh suatu kediktatoran partai-tunggal yang sangat nasionalis, rasialis, militeris, dan imperialis (Ebenstein, 2006: 103).

Negara fasisme dipimpin oleh seorang diktator. Kediktatoran pada abad ke-20 dibedakan menjadi seorang figur militer yang mendapatkan kekuasaan lewat kudeta militer, dan tokoh politik dengan jalan tersendiri mampu


(10)

mendapatkan kekuasaan mutlak di negaranya (Archer, 2007: 21). Sehingga dengan berbagai cara, para diktator ini mempertahankan tambuk kekuasaannya meski dengan menyingkirkan pesaingnya bahkan teror melalui polisi-polisi rahasia serta penyiksaan terhadap rakyatnya sendiri. Meskipun demikian, ada beberapa diktator yang baik seperti Tito dari Yugoslavia yang dianggap pahlawan oleh sebagian besar rakyatnya (Archer, 2007: 27).

Diktator akan dianggap pemimpin yang baik jika mampu memimpin negaranya ke arah kemajuan di berbagai bidang. Sesuai dengan pendapat Machiavelli, penguasa Diktator menurut Machiavelli baik jika mampu membuat negara yang dipimpinnya berkembang maju bahkan dengan menghalalkan segala cara termasuk tindakan yang kejam (Suhelmi, 2004: 137).

Jerman adalah salah satu negara yang pernah menganut fasisme dan dijadikan pedoman politik negaranya dari menjelang dan sampai berakhirnya Perang Dunia II. Tokoh yang membawa Jerman menganut fasisme adalah tokoh yang berada di posisi ke 35 dari seratus tokoh yang dianggap tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah manusia menurut M. Hart, dialah Adolf Hitler sang diktator ulung. Fasisme di Jerman juga terkenal dengan istilah nazisme.

Hitler sang diktator ulung membawa Jerman ke langit dengan buaian ambisinya memurnikan ras Arya (bangsa Jerman) dan mampu membawa Jerman mengungguli negara di Eropa di berbagai bidang di satu sisi. Tapi di sisi lain membawa Jerman memasuki Perang Dunia II yang menyebabkan banyak korban nyawa baik untuk bangsanya sendiri maupun bangsa lain. Fasisme di Jerman berbeda dengan negara fasisme yang lain, fasisme di Jerman adalah yang paling kejam, tapi yang paling populer (Ebenstein, 2006: 104).

Perilaku serta pemahaman kaum Nazi yang dipimpin oleh Hitler sang diktator ulung inilah kemudian muncul istilah nazisme. Para penganut setia partai Nazi serta anggota pelaksana kebijakan-kebijakan partai Nazi telah mengangkat sebuah ideologi politik baru yang dikenal dengan istilah nazisme (http://id.wikipedia.org/wiki/ Nationalsozialistische_Deutsche_Arbeiterpartei,


(11)

29-7-2012). Pendapat ini memperlihatkan bahwa nazisme erat sekali kaitannya dengan partai Nazi dan pemimpinnya Hitler.

Nazisme dapat ditelusuri dari pandangan-pandangan tokoh yang membangunnya, yaitu Hitler dalam bukunya yang fenomenal, Mein Kampf karena buku tersebut merupakan “kitab suci” kaum Nazi. Pendapat ini diperkuat oleh pendapat Archer (2007: 193) yang berpendapat bahwa:

... Hitler menulis ujar-ujar propagandanya, Mein Kampf, satu kitab suci kaum Nazi. Dalam buku itu, ia penuh semangat menghimbau kutukan terhadap bangsa Yahudi dan Slavia; rencana ekspansi Jerman ke arah timur langsung menelan Rusia; kemudian menaklukan dunia yang akan membuat Jerman menjadi Pemimpin Dunia.

Partai Nazi pertama kali berdiri bernama partai Deutsche Arbeiterpartei/DAP (Partai Buruh Jerman) bahkan ketika Hitler masuk ke dalam

partai ini pada Juli tahun 1921 namanya masih tetap DAP. Selang dua tahun Hitler bergabung dengan partai Deutsche Arbeiterpartei/DAP (Partai Buruh Jerman), dia berhasil mendapatkan posisi puncak di partai DAP dan mengubah nama partai ini menjadi National Sozialistische Deutsche Arbeiterpartei (NSDAP) atau Partai Nazi (Irwanto, 2008: 24).

Pambudi (Irwanto, 2008: 24-25) berpendapat bahwa partai Nazi di bawah kepemimpinan Hitler memiliki visi politik yang jelas yakni ingin mengembalikan martabat bangsa dan negara Jerman yang telah terinjak-injak karena kalah di Perang Dunia I. Hitler juga memperjuangkan superioritas ras Arya, menjadikan Jerman sebagai negara yang unggul serta berusaha menghancurkan bangsa-bangsa yang dianggap bangsa rendahan.

Afiyanti (Irwanto, 2008: 25) berpendapat bahwa Hitler memasukan paham dasar ke dalam partai Nazi yakni paham anti Yahudi, anti demokrasi, dan kepercayaan terhadap kekuasaan mutlak. Hitler memberikan berbagai keistimewaan terhadap mereka yang mendukungnya, mengancam kepada mereka yang menentang, dan mengutamakan propaganda yang bersifat patriotik kepada orang-orang awam. Hitler juga membentuk pasukan yang disebut Strum Abteilung


(12)

(SA) atau Pasukan Badai untuk menjaga keamanan dan stabilitas partai Nazi. Selain itu, Hitler membentuk pasukan berkuda untuk menyerang dan menerobos partai politiknya, membangun disiplin yang kaku serta sikap loyalitas penuh. Hal ini memperlihatkan bahwa Hitler juga memasukan nuansa militerisme ke dalam Partai Nazi.

Pendapat mengenai suasana militerisme yang dimasukan Hitler ke dalam partai Nazi didukung oleh pendapatnya Archer. Archer (2007: 192) berpendapat bahwa setelah Hitler menjadi pemimpin partai DAP, suasana semi militer berkembang dalam partai tersebut dan mengubah namanya menjadi Partai Pekerja Nasionalis Sosialis Jerman atau dalam bahasa Jerman disingkat menjadi Nazi. Hitler menggunakan Pasukan Seragam Hitam Mussolini sebagai model seragam partainya.

Hitler pun dengan tegas menganjurkan kebijakan di bawah satu komando dalam memerintah negara. Ia berpendapat bahwa negara akan berdiri dan tetap eksis jika menggunakan kebijakan sentralisasi yang keras dan tanpa ampun. Kepatuhan dan kesetiaan harus ditekankan dengan penetapan sebuah prinsip bahasa resmi yang seragam, serta negara harus dibekali dengan penerapan teknis (Hitler, 2007: 85)

Hitler menilai bahwa perang adalah salah satu solusi untuk mendapatkan tanah baru. Ia berpendapat bahwa ekspansi dan pendudukan adalah solusi yang dianggap paling sehat serta memiliki keuntungan tak terbatas untuk mengatasi masalah populasi rakyat Jerman dengan ruang hidup atau tanah, sebagaimana yang diungkapkannya bahwa “penguasaan tanah baru untuk pemukiman akibat membengkaknya populasi memiliki keuntungan tak terbatas, terutama jika kita

menengok dari masa kini ke masa depan” (Hitler, 2007: 150)..

Secara Sederhana, nazisme dapat dilihat sebagai sebuah perpaduan dari berbagai ideologi dan kelompok yang memiliki kesamaan pendapat tentang penentangan Perjanjian Versailles yang merendahkan bangsa Jerman. Kebencian terhadap Yahudi dan komunis pun sangat terlihat jelas karena mereka dipercaya


(13)

berada di balik perjanjian tersebut (http://id.wikipedia.org/wiki/Nazisme, 29-7-2012).

Purcell berpendapat bahwa komponen nazisme yang paling penting adalah rasialisme dan anti-semitisme, sebagaimana yang dikemukakan oleh Purcell

(2000: 73) bahwa “ ... Sebagai hasil rasialisme umumnya dan anti-semitisme pada khususnya adalah komponen nazisme yang paling penting.”

Perihal komponen nazisme yakni rasialisme dan anti-semitisme juga bisa dilihat di undang-undang Nurnberg yang disahkan oleh Hitler pada tanggal 15 september 1935 mengenai kewarganegaraan negara Reich Jerman hanyalah untuk orang-orang yang berdarah Jerman dan mengenai perlindungan terhadap darah Jerman dan martabat Jerman sehingga terjadi pemisahan antara Yahudi dan Jerman asli (Nurcholis, 2007: 4).

Holocaust adalah salah satu kisah yang disebabkan oleh nazisme di Jerman

dan paling menyita perhatian umat manusia di dunia. Bangsa Yahudi dijadikan kambing hitam atas kekalahan Jerman di Perang Dunia I serta kehancuran ekonomi Jerman. Setelah Hitler berkuasa, kisah tragis Holocaust dimulai. Usaha untuk memusnahkan bangsa Yahudi disebut sebagai solusi terakhir Nazi dilaksanakan dengan membentuk sebuah pasukan khusus yang dinamakan

Einsatzgruppen. Pasukan ini telah membunuh satu juta lebih dari enam juta orang

Yahudi selama bertugas di Eropa Barat dalam Holocaust (Nurcholis: 2007: 4-5). Kaum Yahudi dipekerjakan, dibiarkan kelaparan, ditembak atau dipukuli sampai menghembuskan napas terakhir di dalam siksaan bahkan dibunuh dalam eksperimen pseudo-medis. Jumlah korban berjumlah enam juta pun masih perkiraan karena banyak yang dibawa langsung dari kereta ke kamar gas dan kematian mereka tidak pernah dicatat secara statistik (Nurcholis, 2007: 6).

Berdasarkan uraian di atas, maka bisa dilihat bahwa nazisme merupakan cara pandang penganut setia serta pelaksana kebijakan-kebijakan partai Nazi yang memiliki pandangan rasialisme dan anti-semitisme yang akut. Jika di ranah negara, maka kebijakannya harus sentralistik yang keras dan tanpa ampun


(14)

(totaliter) dan memiliki rasa nasionalisme yang sangat tinggi. Demi memberikan ruang hidup yang cukup untuk bangsa Arya, solusi utamanya adalah dengan cara penguasaan tanah baru dan ini mengarah kepada imperialisme dan kolonialisme sehingga perang merupakan kebutuhan yang utama dalam perkembangan peradaban bangsa Jerman. Bagi penganutnya, kepatuhan adalah sebuah kewajiban sehingga perintah dari atasan harus dilaksanakan meskipun itu tidak sesuai dengan kaidah kemanusiaan tetap akan dijalankannya. Hal ini terjadi karena diterapkan nuansa militerisme di dalam partai Nazi.

Sebagai pelengkap dalam melihat ciri dari Nazisme, juga dapat melihat pendapat dari Ebenstein. Menurut Ebenstein, ada tujuh ciri yang melekat dalam pandangan fasisme. Pertama, ketidakpercayaan pada kemampuan nalar. Bagi fasisme, keyakinan yang bersifat fanatik dan dogmatic adalah sesuatu yang sudah pasti benar dan tidak boleh lagi didiskusikan. Terutama pemusnahan nalar

digunakan dalam rangka “taboo” terhadap masalah ras, kerajaan atau pemimpin.

Kedua, penyangkalan terhadap persamaan manusia pada dasarnya. Bagi fasisme

manusia tidaklah sama, justru pertidaksamaanlah yang mendorong munculnya idealisme mereka. Bagi fasisme, pria melampaui wanita, militer melampaui sipil, anggota partai melampaui bukan anggota partai, bangsa yang satu melampaui bangsa yang lain dan yang kuat harus melampaui yang lemah. Jadi fasisme menolak konsep persamaan tradisi Yahudi-Kristen (dan juga Islam) yang berdasarkan aspek kemanusiaan, dan menggantikan dengan ideologi yang mengedepankan kekuatan. Ketiga, kode prilaku yang didasarkan pada kekerasan dan kebohongan. Dalam pandangan fasisme, negara adalah satu sehingga tidak

dikenal istilah “oposan”. Jika ada yang bertentangan dengan kehendak negara,

maka mereka adalah musuh yang harus dimusnahkan. Dalam pendidikan mental, mereka mengenal adanya indoktrinasi pada kamp-kamp konsentrasi. Setiap orang akan dipaksa dengan jalan apapun untuk mengakui kebenaran doktrin pemerintah.

Keempat, pemerintahan oleh golongan terpilih (elite). Dalam prinsip fasis,

pemerintahan harus dipimpin oleh segelintir elite yang lebih tahu keinginan seluruh anggota masyarakat. Jika ada pertentangan pendapat, maka yang berlaku


(15)

adalah keinginan golongan elite. Kelima, sistem totaliter. Untuk mencapai tujuannya, fasisme bersifat total dalam meminggirkan sesuatu yang dianggap

“kaum pinggiran”. Hal inilah yang dialami kaum wanita, dimana mereka hanya ditempatkan pada wilayah tiga K yaitu: kinder (anak-anak), kuche (dapur) dan kirche (gereja). Bagi anggota masyarakat, kaum fasis menerapkan pola pengawasan yang sangat ketat. Sedangkan bagi kaum penentang, maka totaliterisme dimunculkan dengan aksi kekerasan seperti pembunuhan dan penganiayaan. Keenam, Rasialisme dan imperialisme. Menurut doktrin fasis, dalam suatu negara kaum elit lebih unggul dari dukungan massa dan karenanya dapat memaksakan kekerasan kepada rakyatnya. Dalam pergaulan antar negara maka mereka melihat bahwa bangsa elit, yaitu mereka lebih berhak memerintah atas bangsa lainnya. Fasisme juga merambah jalur keabsahan secara rasialis, bahwa ras mereka lebih unggul dari pada lainnya, sehingga yang lain harus tunduk atau dikuasai. Dengan demikian hal ini memunculkan semangat imperialisme. Ketujuh, fasisme memiliki unsur menentang hukum dan ketertiban internasional. Konsensus internasional adalah menciptakan pola hubungan antar negara yang sejajar dan cinta damai. Sedangkan fasis dengan jelas menolak adanya persamaan tersebut. Dengan demikian fasisme mengangkat perang sebagai derajat tertinggi bagi peradaban manusia. Sehingga dengan kata lain bertindak menentang hukum dan ketertiban internasional (Ebenstein, 2006: 126-143).

Pertanyaan yang kemudian timbul adalah apa yang menjadi landasan teoritis atau landasan pembenaran dari Nazisme? Berdasarkan literatur yang telah penulis baca, yang paling dominan adalah teori Darwinisme Sosial sebagai landasan pembenaran dari nazisme sehingga Darwinisme Sosial ambil bagian dalam perkembangan nazisme. Meskipun demikian, pendapat ini masih asumsi awal sehingga perlu ditindaklanjuti dengan aktivitas penelitian selanjutnya dalam rangkaian penulisan karya ilmiah.

Mifflin berpendapat bahwa salah satu teori yang menginspirasi lahirnya Nazisme di Jerman adalah teori Darwinisme sosial. Mifflin (Irwanto, 2008: 32) mengemukakan bahwa:


(16)

Gagasan-gagasan politik Hitler yang tertuang ke dalam Mein Kampf terinspirasi dari teori Darwinisme Sosial internasional, yaitu berkeyakinan bahwa masyarakat seperti halnya spesies biologis berkembang dan maju melalui persaingan.

Bachtiar menjelaskan mengenai nazisme sebagai pengembangan dari Darwinisme Sosial secara terperinci. Bachtiar (2006: 134-137) berpendapat bahwa nazisme merupakan pengembangan dari program yang diusulkan oleh Stoddard (membangun ras, multifikasi superior dan pembersihan ras lemah). Kebijakan negara Jerman didasarkan pada teori ras Chamberlain (memberikan warna mengenai nasionalistik, anti-semitisme dan penegakkan dokrin pseudokuantitatif). Terlihat jelas sekali peranan Darwinisme Sosial di dalam nazisme sehingga program dan pandangan nazisme hampir mendekati pandangan Darwinisme Sosial. Programnya berupa kebijakan genetik pada perbaikan ras, sterilisasi massa, dan membasmi sebuah genetika yang cacat dan kebijakan imperialisme sebagai penjelmaan bahwa ras Arya harus memimpin dunia.

Pernyataan di atas juga diperkuat oleh Ahmad Suhelmi yang mengatakan bahwa pandangan Chamberlain (tokoh Darwinisme Sosial) ikut ambil bagian dalam mewarnai fasisme. Suhelmi (2004: 334) berpendapat bahwa “Akar-akar filsafat fasisme bisa dilacak dalam pemikiran-pemikiran Plato, Aristoteles, Hegel, Rosenberg, Doriot, Farinasi, Gobinau, Sorel, Darwin, Nietzche, Marinetti, Oswald Spengler, Chamberlain dan lain-lain.”

Peranan Darwinisme Sosial terhadap perkembangan nazisme dapat terlihat dari cara pandang Hitler, tokoh yang membangun dan memerintah Nazi. Dia berpendapat bahwa negara adalah sebuah organisme nasional dan kebijakan-kebijakannya harus terletak sejalur dengan kehendak untuk melanggengkan eksistensi spesies dan ras sehingga diperlukan pengorbanan dari setiap orang bukan sikap egoisme. Jadi persyaratan untuk melanggengkan sebuah negara adalah adanya perasaan yang berpadu berdasarkan persamaan sifat dan spesies, dan kesediaan untuk mendapatkan semuanya dengan berbagai cara. Setiap bangsa dan negara ada dalam perjuangan untuk pelanggengan dirinya, tapi jika kalah maka bangsa dan negara akan menjadi mangsa bangsa penakluk dan cepat atau


(17)

lambat akan mati (Hitler, 2007: 164). Pendapat ini memperlihatkan bahwa Hitler telah terpengaruhi oleh Darwinisme Sosial.

Silang pendapat atau bahkan bertolak belakang pasti sering terjadi. Ada juga yang berpendapat bahwa Darwinisme Sosial bukanlah hal yang paling utama dalam terciptanya nazisme di Jerman. Meski demikian, literatur-literatur tersebut penulis anggap sebagai literatur pembanding literatur yang mendukung pendapat penulis mengenai penelitian ini dan menjadi pelengkap dalam penelitian ini.

Wilkinson (2005: 40-59) berpendapat bahwa ada lima faktor yang mempengaruhi adanya fasisme, di antaranya ialah pertama perasaan pahit dan frustasi mendalam yang tersisa pada sejumlah negara sebagai hasil penyelesaian persoalan teritorial pada Perang Dunia I, baik negara yang kalah maupun negara yang menang perang seperti Italia. Kedua, faktor kondusif bagi perkembangan fasisme adalah depresi, depresi ini bersifat lebih luas dari pada resesi ekonomi sebelum atau selama perang berlangsung. Ketiga, faktor lembaga-lembaga demokratis-liberal yang tidak memiliki landasan yang aman. Keempat, faktor kecemasan yang meluas di antara kelas menengah dan menengah-bawah bahwa pengambilalihan kekuasaan secara revolusioner oleh komunis akan terjadi di negara mereka, setiap partai fasis yang berkuasa mampu memanfaatkan kecemasan itu menjadi bencana yang besar. Kelima, meski kurang penting tapi berarti adalah antisemitisme dan bentuk-bentuk rasisme, diskriminasi, serta prasangka yang lain.

Sejalan dengan pendapat Wilkinson bahwa Darwinisme sosial kurang dianggap penting dalam perkembangan fasisme. Ebenstein membagi latar belakang adanya fasisme menjadi dua yaitu latar belakang sosial dan latar belakang psikologis. Latar belakang sosial fasisme, Ebenstein mengatakan bahwa syarat pertama fasisme lahir di negara yang telah mengalami demokrasi dan industri, fasisme tidak mungkin lahir di negara-negara yang belum memiliki pengalaman demokrasi sama sekali dan tidak akan berhasil juga di negara yang sudah lama menjalankan demokrasi. Syarat yang kedua adalah tingkat


(18)

perkembangan industri yang cukup maju, ada dua hubungan antara keduanya itu, yakni teror dan propaganda fasisme memerlukan organisasi dan kemajuan teknologi. Kedua, sebagai sistem mobilisasi permanen untuk perang, fasisme memerlukannya untuk persediaan kecakapan dan sumber-sumber industri. Syarat ketiga adalah depresi ekonomi (Ebenstein, 2006: 104-112).

Latar belakang psikologis, Ebenstein mengatakan bahwa gejala fasis terletak pada kekuatan-kekuatan dan tradisi-tradisis sosial yang luas. Perkembangan fasisme dilatarbelakangi oleh kecenderungan-kecenderungan dalam kepribadian individu-individu dalam masyarakat. Pertama, kecenderungan individu untuk menyesuaikan diri secara terpaksa dengan cita-cita dan praktik-praktik kuno. Kedua, kpribadian yang kaku secara emisional dan kurang memiliki imajinasi intelektual yang luas dan terbuka. Ketiga, individu memiliki watak mementingkan status dan kekuasaan atau pengaruh sehingga ia akan merasa akan dapat menghadapi persoalan yang dihadapinya. Keempat, individu tersebut memiliki kecenderungan loyalitas yang kuat pada kelompoknya sendiri sehingga kadang individu tersebut merasa benar sendiri, yang lain salah. Kelima, ia memiliki disiplin dan kepatuhan yang kuat dan cenderung kurang suka akan kebebasan dan spontanitas dalam hubungan-hubungan kemanusiaan (Ebenstein, 2007: 116-119).

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah Darwinisme Sosial itu?. Yahya menjelaskan mengenai Darwinisme Sosial secara sederhana. Yahya berpendapat bahwa Darwinisme Sosial itu sendiri ialah konsep Darwin mengenai perjuangan ras-ras untuk kelangsungan hidup yang diterapkan di ranah sosial (Yahya, 2004: 21).

Pada hakekatnya, inti dari Darwinisme Sosial itu adalah mengenai perjuangan hidup yang terjadi karena kesenjangan antara pertumbuhan penduduk dengan sarana-sarana hidup yang tersedia, sebagaimana dikemukakan oleh Laeyendecker (1983: 216) bahwa “Tema sentral dari Darwinisme Sosial ialah


(19)

bahwa perjuangan hidup merupakan akibat langsung dari tegangan yang semakin meningkat antara pertumbuhan penduduk dan sarana-sarana hidup yang tersedia”.

Darwinisme Sosial memiliki keistimewaan yang berbeda dengan evolusionisme yang merupakan landasan teoritisnya. Keistimewaan Darwinisme Sosial itu adalah pandangannya mengenai konflik yang dianggap sebagai daya dorong bagi perkembangan padahal menurut para penganut evolusionisme tidaklah benar (Laeyendecker, 1983: 216).

Konsep-konsep evolusionisme Darwin yang berpengaruh terhadap terbentuknya Darwinisme sosial ada tiga, yakni pertama mengenai bermacam jenis organisme di muka bumi ini dianggap tidak langsung serempak ada melainkan merupakan proses perkembangan selama ratusan juta tahun. Berbagai macam jenis organisme yang ada di muka bumi merupakan hasil dari proses-proses adaptasi, perubahan dan evolusi. Kedua, perubahan dan evolusi yang terjadi bukan mengarah ke sebuah tujuan yang telah dirancangkan dan ditetapkan sebelumnya melainkan adaptasi kepada lingkungan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor kebetulan material. Ketiga, empat konsep yang digunakan untuk menjelaskan berlangsungnya proses evolusi yakni struggle for life (persaingan dan perebutan perihal tempat, iklim yang cocok dan zat-zat tertentu antar organisme untuk memenuhi kebutuhannya agar tetap hidup dikarenakan kelangkaan dan kekurangan), survival of the fittest (organisme-organisme yang lemah atau tidak tepat guna akan mati menghilang karena kalah bersaing), natural

selection (seleksi alam), progress (perubahan dan peningkatan mutu semua

organisme yang diakibatkan oleh seleksi alam). Keempat konsep inilah yang mengilhami lahirnya Darwinisme Sosial sehingga kehidupan bersama dipandang sebagai medan peperangan dan adu kekuatan, di mana semua pihak saling bersaing dan perubahan sosial dianggap hasil dari survival of the fittest dan seleksi alam (Veeger, 1990: 47-48).

Adnan Oktar (Harun Yahya) memandang Darwinisme merupakan dasar pemikiran yang menyebabkan bermunculannya berbagai ideologi berbahaya di


(20)

dunia seperti fasisme, komunisme dan menjadi cikal bakal terjadinya Perang Dunia I dan Perang Dunia II yang menelan korban jiwa hampir 350 juta. Selain itu, menyebabkan hampir satu juta orang lumpuh, jutaan anak menjadi yatim piatu dan yang paling terburuk adalah Darwinisme telah merenggut cinta dan kasih sayang dari hati masyarakat (http://id.harunyahya.com/id/works/24911/ darwinisme-telah-merebut-cinta-dan-kasih-sayang-dari-hati-masyarakat, 7 juli 2012).

Perihal istilah Darwinisme Sosial terdapat hal yang menarik. Bachtiar (2006: 129) berpendapat bahwa istilah Darwinisme Sosial sesungguhnya tidaklah tepat karena sebenarnya Darwin sendiri bukanlah seorang Darwinis-Sosial karena tidak menerapkan masalah-masalah seleksi alam ke dalam peradaban bangsa. Darwin hanya menyimpulkan hal-hal yang biasa saja.

Pendapat senada mengenai istilah Darwinisme Sosial dikemukakan pula

oleh Veeger. Veeger (1990: 47) berpendapat bahwa “Darwin sendiri sebenarnya

tidak membicarakan soal-soal kehidupan sosial dan tidak menerapkan

hukum-hukum biologi pada bidang lain”.

Berbeda dengan pendapat yang diutarakan oleh literatur ini, Darwin (Nazsir, 2009: 1-2) berpendapat bahwa terdapat kesamaan antara alam flora dan fauna dengan manusia yakni perihal perkembangan dari keadaan yang lebih sederhana ke arah yang lebih modern dan serba rumit atau kompleks sebagai hasil dari persaingan yang begitu ketat dan kejam. Kenyataan ini terdapat di tengah-tengah kehidupan sosial, pihak yang lemah akan selalu dikalahkan atau disingkirkan oleh pihak yang lebih kuat tanpa memiliki belas kasihan. Pendapat ini memperlihatkan bahwa ternyata Darwin telah menerapkan teorinya ke dalam ranah sosial. Namun penulis tidak akan membahas pertentangan pendapat ini lebih lanjut karena digunakan hanya sebagai pelengkap kajian ini saja.

Pertanyaan yang kemudian timbul adalah sebenarnya siapa yang pertama kali mendirikan Darwinisme Sosial?. Laeyendecker (1983: 216) berpendapat bahwa Darwin bukanlah yang mendirikan Darwinisme Sosial ini melainkan


(21)

berkat Spencer yang merupakan kekuatan pendorong di belakang teori evolusi dengan pendapatnya mengenai perjuangan hidup. Meskipun demikian, karya-karya Darwin pun sangat mempengaruhi terbentuknya Darwinisme Sosial.

Sjamsuddin (2007: 164) berpendapat bahwa Darwinisme sosial dicetuskan pertama kali oleh pengikut setia dari teori Darwin yakni Herbert Spencer. Menurutnya, persaingan antara individu, perusahaan, bangsa-bangsa, menjamin

survival of the fittest (yang dapat bertahan hidup adalah yang paling sesuai) dan penindasan atau penyingkiran yang “tidak cocok atau kuat” (unfit), kecuali jika

dihambat oleh kendala-kendala buatan tertentu pada proses “seleksi alam” (natural selection).

Pendapat-pendapat di atas diperkuat lagi dengan pernyataan Nazsir. Ia mengelompokkan Herbert Spencer sebagai tokoh yang mengembangkan teori Evolusi Darwin ke ranah sosial (Nazsir, 2009: 2).

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan mengenai Darwinisme Sosial ini sangat penting untuk diteliti. Selain asumsi dasar mengenai Darwinisme Sosial dijadikan pembenaran serta pedoman dari nazisme, juga karena akan dapat menjawab kenapa kaum yang menganut nazisme dapat melakukan kebrutalan luar biasa seperti pemusnahan massal bangsa Yahudi dan bangsa rendahan lainnya serta menyemai perang dunia yang banyak menelan korban jiwa manusia karena konflik dianggap sebuah keharusan untuk kemajuan suatu peradaban sehingga dapat menjadi pelajaran yang berharga untuk manusia yang hidup sekarang agar dapat saling menghargai perbedaan dan menjaga perdamaian baik dalam negeri maupun antar negara. Selain itu, agar tidak terjadi determinisme rasial, sebuah pandangan yang membedakan ras manusia karena bentuk fisik, warna kulit dan lain-lain dan dipandang lebih rendah dan lebih tinggi, padahal yang kita pahami bahwa manusia itu semua sama di hadapan Tuhan.

Darwinisme Sosial merupakan salah satu iklim intelektual yang mewarnai abad ke-19. Darwinisme Sosial mendukung ekspansi bangsa-bangsa Eropa ke Asia dan Afrika (Sjamsuddin, 2007:164). Maka dari itu, dengan mengkaji dampak


(22)

Darwinisme Sosial terhadap perkembangan nazisme dapat mencegah kedua paham ini kembali mewarnai dunia intelektual masa kini dan tidak lagi digunakan sebagai pembenaran konflik di masyarakat untuk bertahan hidup dan yang paling terburuk adalah ketika cinta dan kasih sayang di masyarakat hilang.

Darwinisme sosial mengajak anggota masyarakat bahkan negara untuk bersaing dengan satu sama lain, sebagaimana yang diungkapkan oleh Suparman dan Malian (2003: 41) bahwa:

... Paham ini mengajak individu, kelompok sosial, etnis dan agama serta negara untuk berkompetisi satu sama lain, sehingga paham ini memperkuat pemikiran-pemikiran kapitalisme, rasisme dan nasionalisme yang telah berkembang sebelumnya.

Adanya persaingan di satu sisi memang akan mengembangkan sebuah kemajuan di masyarakat karena akan menjadi daya pendorong untuk berkreasi dan berkarya demi mempertahankan hidup sehingga akan menciptakan kemajuan peradaban manusia. Namun di sisi lain, jika persaingan tersebut malah membuat rasialisme menguat, yang lemah bukan ditolong malah disingkirkan dan persaingan tersebut berbuah konflik di masyarakat baik antar individu, antar kelas sosial, antar golongan bahkan antar negara, tentu ini adalah sisi negatif yang harus dihindari. Terutama di Indonesia yang memiliki berbagai suku bangsa di dalamnya, dengan mengkaji permasalahan ini secara arif bijaksana akan menjaga keutuhan dan kesatuan NKRI.

Permasalahan ini juga menurut penulis perlu untuk diteliti selain dari alasan di atas juga karena sejauh yang penulis tahu belum ada yang membahas secara mendalam mengenai dampak Darwinisme Sosial terhadap perkembangan nazisme di Jerman tahun 1921-1945, maka dari itu penulis berminat untuk menelitinya.

Atas dasar asumsi itulah penulis tertarik untuk menulis skripsi tentang

Dampak Darwinisme Sosial terhadap Perkembangan Nazisme di Jerman Tahun 1921-1945.


(23)

1.2. Rumusan Masalah

Masalah utama yang akan diteliti adalah mengenai Dampak Darwinisme Sosial terhadap Perkembangan Nazisme di Jerman Tahun 1921-1945. Untuk lebih menjelaskan, serta memfokuskan masalah yang akan diteliti, maka penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana latar belakang Darwinisme Sosial bisa berkembang di partai Nazi Jerman ?

2. Kondisi-kondisi apa yang mendorong Darwinisme Sosial berkembang di partai Nazi Jerman?

3. Bagaimana dampak perkembangan Darwinisme Sosial terhadap nazisme di Jerman tahun 1921-1945 ?

1.3.Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menjelaskan Bagaimana latar belakang paham Darwinisme Sosial bisa berkembang di partai Nazi Jerman.

2. Mendeskripsikan Kondisi-kondisi apa saja yang mendorong Darwinisme Sosial berkembang di partai Nazi Jerman.

3. Menganalisis dampak perkembangan Darwinisme Sosial terhadap nazisme di Jerman tahun 1921-1945.

1.4. Manfaat Penelitian

Dengan mengkaji pembahasan mengenai Dampak Darwinisme Sosial terhadap Perkembangan Nazisme di Jerman Tahun 1921-1945 terdapat beberapa manfaat yang dirasakan oleh penulis serta diharapkan penulis untuk pembaca juga. Adapun manfaat itu ialah:

1. Memperkaya kazanah keilmuan sejarah terutama materi sejarah mengenai isme-isme di dunia yang ada di materi SMA serta memperkaya materi mengenai sejarah pemikiran terutama pemikiran Barat dan mungkin bermanfaat untuk mata kuliah Sejarah Eropa di jurusan Pendidikan Sejarah.


(24)

2. Sejalan dengan manfaat di atas, SK-KD yang berkaitan tentang penelitian ini adalah sebagai berikut: SK tentang menganalisis perkembangan bangsa Indonesia sejak masuknya pengaruh Barat sampai dengan pendudukan Jepang. KD tentang menganalisis hubungan antara perkembangan paham-paham baru dan transformasi sosial dengan kesadaran dan pergerakan bangsa.

3. Memberikan konstribusi terhadap pengembangan penelitian sejarah mengenai dasar falsafah terciptanya fasisme yang luput dari penulisan sejarah terutama fasisme di Jerman yang dikenal dengan Nazisme.

4. Memberikan konstribusi terhadap pengembangan penelitian sejarah mengenai Darwinisme Sosial, karena dengan mempelajari Darwinisme Sosial akan bisa menjawab berbagai peristiwa sejarah yang mengguncang dunia seperti di Perang Dunia I dan Perang Dunia II karena Ebenstein mengatakan bahwa Ide-ide dianggap sebagai sebab-sebab utama bagi timbulnya proses sejarah dan kondisi-kondisi militer, sosial, ekonomi dan teknologi masyarakat dapat dianggap berasal dari dan ide-ide yang besar juga. Dengan kata lain ide-ide inilah yang menjadi tenaga pendorong yang utama dalam sejarah sehingga ide tidak saja menimbulkan peristiwa tapi juga mencerminkannya (Ebenstein, 2006: 4-5).

5. Mengajarkan tentang ketidakbaikan akan rasialisme, perang, tindakan pemaksaan disertai perlakuan kasar terhadap orang lain sehingga akan tercipta sikap saling menghargai dan memahami perbedaan di dalam masyarakat baik di Indonesia maupun di dunia.

6. Untuk penulis sendiri, diharapkan menambah wawasan mengenai Dampak Darwinisme Sosial terhadap Perkembangan Nazisme di Jerman Tahun 1921-1945 sehingga penulis mampu untuk memberikan pemahaman kepada siapa yang mau memahami kajian ini.

1.5 Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini tersusun menurut sistematika dalam penulisan karya ilmiah yang akan dilakukan oleh penulis sesuai dengan buku Pedoman Penulisan


(25)

Karya Ilmiah Universitas Pendidikan Indonesia tahun 2011 dan juga tahun 2012. Adapun sistematikanya adalah sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang masalah yang menguraikan Dampak Darwinisme Sosial terhadap Perkembangan Nazisme di Jerman Tahun 1921-1945. Untuk memperinci dan membatasi permasalahan agar tidak melebar maka dicantumkan rumusan masalah sehingga dapat dikaji secara khusus dalam penulisan ini. Setelah itu, ada tujuan penelitian yang berfungsi untuk menyajikan hasil yang ingin dicapai setelah penelitian selesai dilakukan sehingga kesesuaian antara tujuan penelitian dengan rumusan masalah adalah sangat penting. Selanjutnya adalah manfaat penelitian dan dilanjutkan dengan sistematika penulisan yang akan menjadi kerangka dan pedoman penulisan karya ilmiah ini.

Bab II Tinjauan Pustaka. Bab ini berisikan tentang penjabaran mengenai literatur-literatur yang berkaitan dengan judul Dampak Darwinisme Sosial terhadap Perkembangan Nazisme di Jerman Tahun 1921-1945. Selain itu juga dijabarkan pula mengenai kajian dan penelitian terdahulu yang pernah membahas mengenai masalah yang ditulis penulis agar terlihat aslikah karya yang dibuat penulis atau plagiatkah. Selain itu, terdapat penjabaran mengenai variabel masalah yang diteliti yakni mengenai Darwinisme Sosial dan nazisme dikaji menggunakan beberapa teori yang relevan dengan pembahasan penelitian.

Bab III Metodologi Penelitian. Bab ini membahas tentang langkah-langkah metode dan teknik penelitian yang penulis gunakan dalam mencari sumber-sumber, cara pengolahan sumber-sumber, analisis sumber serta cara penulisan sejarahnya. Metode yang digunakan adalah metode yang telah lazim digunakan dalam penulisan sejarah yaitu metode historis. Penelitian historis (historical research) adalah suatu usaha untuk menggali fakta-fakta, dan menyusun kesimpulan dari peristiwa masa lampau berdasarkan fakta-fakta tersebut. Metode ini juga didukung oleh langkah-langkah penelitian yang mengacu kepada proses metodologi penelitian dalam penelitian sejarah. Teknik yang digunakan penulis untuk mendapatkan fakta-fakta sejarah adalah teknik studi literatur.


(26)

Bab IV Pembahasan. Bab ini merupakan isi utama dari tulisan sebagai paparan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam rumusan masalah. Pada bab ini akan menjelaskan mengenai Dampak Darwinisme Sosial terhadap Perkembangan Nazisme di Jerman Tahun 1921-1945. Secara rinci, penulis akan membahas dan menjelaskan mengenai bagaimana latar belakang Darwinisme Sosial bisa berkembang di partai Nazi Jerman, kondisi-kondisi apa saja yang mendorong Darwinisme Sosial berkembang di partai Nazi Jerman dan analisis terhadap dampak perkembangan Darwinisme Sosial terhadap nazisme di Jerman tahun 1921-1945.

Bab V Kesimpulan dan Saran. Bab ini merupakan bab terakhir dari rangkaian penulisan karya ilmiah yang mengemukakan tentang kesimpulan bukan resume dari keseluruhan tulisan yang merupakan jawaban dan analisis peneliti terhadap masalah-masalah secara keseluruhan. Hasil temuan akhir ini merupakan pandangan dan interpretasi peneliti tentang inti pembahasan penulis.


(27)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Pendekatan

Penulisan skripsi ini dilakukan dengan cara memakai pendekatan interdisipliner, yakni sebuah pendekatan dengan menggunakan bantuan dari berbagai disiplin ilmu yang serumpun (ilmu-ilmu sosial). Sejarah sebagai peristiwa memiliki berbagai fakta yang kompleks yang sambung-menyambung dalam hubungan sebab-akibat. W. Windelbland, dan Wilhelm Dilthey (Supardan,

2008: 333) mengemukakan bahwa “Historisme memusatkan perhatiannya pada

fakta dan peristiwa serta sejarah sebagai peristiwa-peristiwa yang

sambung-menyambung dalam hubungan sebab akibat yang kompleks”. Maka dari itu, diperlukan pendekatan ilmu lain untuk membantu sebagai pisau analisis di dalam penelitian ini agar dapat menjelaskan secara utuh.

Kartodirdjo (Supardan, 2007: 335) mengemukakan bahwa menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam sejarah adalah bermanfaat. Berikut kutipannya:

... metodologi dan pendekatan ilmu sosial bagi sejarah sungguh-sungguh meningkatkan kemampuan analitisnya maka akan lebih tampil unsur-unsur dan dimensi-dimensinya, juga jaringan yang kompleks. Metodologi tersebut memberi harapan besar bagi perkembangan sejarah karena meningkatkan produktivitasnya.

Ilmu-ilmu bantu sejarah ini sangat dibutuhkan di dalam tahap heuristik dan juga ketika melakukan analisis dan sintesis terhadap semua fakta sejarah yang telah dikumpulkan. Ilmu bantu memiliki kegunaan yang penting dalam membantu penelitian dan penulisan sejarah sehingga menjadikan sejarah sebagai suatu karya ilmiah (Sjamsuddin, 2007: 240-241).

Penulis menggunakan konsep-konsep dari ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi dan antropologi. Hal ini dilakukan untuk memudahkan penulis dalam menganalisis terhadap materi kajian skripsi. Konsep-konsep yang digunakan


(28)

diantaranya adalah konflik sosial (konsep yang digunakan untuk menggambarkan pertentangan sosial yang bertujuan untuk menguasai atau menghancurkan pihak lain, bisa dikatakan juga sebagai usaha dari suatu kelompok untuk menghalangi atau menghancurkan kelompok lain. Dalam hal ini yang dibicarakan adalah kegiatan Nazi Jerman dalam upaya menjadi kelompok penguasa tunggal), permasalahan sosial (konsep yang digunakan untuk menggambarkan kondisi yang tidak diinginkan, tidak adil, berbahaya, ofensif, dan dalam pengertian lainnya ialah mengancam kehidupan masyarakat, dalam hal ini yang dibicarakan adalah program pemurnian ras Jerman oleh Nazi serta program yang dinamakan solusi terakhir, yakni pemusnahan musuh Nazi, bangsa Yahudi), evolusi (konsep yang digunakan untuk menggambarkan sebuah transformasi yang berlangsung sacara bertahap, dalam hal ini yang dibicarakan adalah mengenai salah satu perluasannya yakni Darwinisme Sosial) serta ras (konsep yang digunakan untuk menggambarkan pandangan Nazi Jerman mengenai superitas ras Arya yang harus memimpin dunia). Selain itu, penulis juga menggunakan pendekatan psikologi untuk melihat karakter Hitler.

Penulis melihat bahwa pembentukkan nazisme di Jerman awalnya berasal dari ide-ide yang besar tapi cenderung berbahaya. Maka dari itu, konsep ide-ide juga penulis pergunakan sebagai pisau analisis penelitian ini karena dari konsep ide-ide ini penulis dapat menggambarkan muncul berbagai peristiwa yang disebabkan oleh Nazi Jerman. Ide-ide dianggap sebagai sebab-sebab utama bagi timbulnya proses sejarah dan kondisi-kondisi militer, sosial, ekonomi dan teknologi masyarakat dapat dianggap berasal dari dan ide-ide yang besar juga. Dengan kata lain ide-ide inilah yang menjadi tenaga pendorong yang utama dalam sejarah sehingga ide tidak saja menimbulkan peristiwa tapi juga mencerminkannya (Ebenstein, 2006: 4-5).

Penulisan skripsi ini juga dilakukan dengan memakai pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif merupakan suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki masalah manusia dan fenomena sosial. Pendekatan kualitatif digunakan pada kondisi yang


(29)

alamiah, oleh karena itu pendekatan ini sering disebut juga dengan pendekatan naturalistik.

3.2. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode yang telah lazim digunakan dalam penelitian sejarah yakni “Metode Historis”. Secara sederhana, Abdurahman (2007: 53) mendefinisikan metode historis sebagai

“penyelidikan atas suatu masalah dengan mengaplikasikan jalan pemecahannya

dalam perspektif historis”.

Selain pendapat tersebut, Sjamsuddin (2007: 13) mendefinisikan metode historis sebagai “suatu prosedur, proses atau teknik yang sistematis dalam penyidikan suatu disiplin ilmu tertentu untuk mendapatkan objek (bahan-bahan) yang diteliti”.

Seirama dengan pendapat di atas, Gottschalk (1986: 32) menjelaskan metode historis sebagai “proses pengujian dan menganalisis secara kritis rekaman peninggalan pada masa lampau”.

Ismaun (2005: 35) memandang metode historis itu merupakan sebuah rangkaian kegiatan dari mencari sumber sejarah kemudian mengkritiknya, diinterpretasi kemudian terciptalah cerita sejarah yang dapat dipercaya, sebagaimana dikemukakannya bahwa:

“Metode historis merupakan proses untuk menguji dan mengkaji kebenaran rekaman dan peninggalan-peninggalan masa lampau dengan menganalisis secara kritis bukti-bukti dan data-data yang ada sehingga menjadi penyajian dan cerita sejarah yang dapat dipercaya”.

Metode historis digunakan untuk mengkaji suatu peristiwa pada masa lalu secara analitis dan deskriptif. Maksud dari analisis ialah memilah dan mengelompokkan sumber-sumber sejarah yang diperlukan dalam penelitian baik sumber yang mendukung maupun sumber pembanding serta perlu dikritik eksternal maupun internalnya. Setelah itu, analisis pun diarahkan menjadikan serpihan sumber sejarah yang telah dikritik itu menjadi sebuah cerita utuh sesuai dengan interpretasi sejarawan, dan itulah yang dimaksud dengan deskriptif.


(30)

Terdapat beberapa tahap yang perlu dilakukan penulis dalam metode sejarah ketika akan mengadakan penelitian. Tahap metode sejarah yang dikemukakan oleh Helius Syamsudin (2007:17-155) terdiri dari beberapa langkah-langkah sebagai berikut:

1. Tahap heuristik yaitu mencari dan mengumpulkan data dari sumber-sumber sejarah yang relevan dengan penelitian. Sumber-sumber-sumber yang diperoleh sebagian besar terdiri dari buku-buku baik buku cetak maupun

e-book, artikel, dan jurnal baik yang diperoleh penulis dari perpustakaan

maupun dari internet. Pada tahap ini penulis mengumpulkan serta memilih dan memilah data mengenai dampak Darwinisme Sosial terhadap perkembangan nazisme di Jerman.

2. Tahap kritik sumber, yaitu penyaringan secara kritis terhadap sumber-sumber yang telah dikumpulkan terutama terhadap sumber-sumber primer atau sumber pertama. Kritik sumber dilakukan untuk memperoleh fakta yang menjadi pilihan dan dapat dipercaya kebenarannya. Proses kritik sumber memudahkan penulis untuk mengetahui apakah sumber-sumber yang diperoleh relevan atau tidak dengan permasalahan yang dikaji. Tahap ini terbagi dua bagian, yaitu kritik eksternal dan kritik internal.

3. Tahap interpretasi yaitu menafsirkan keterangan sumber-sumber sejarah. Dalam hal ini penulis memberikan penafsiran terhadap fakta-fakta yang diperoleh selama melakukan penelitian dengan cara menghubungkan fakta yang satu dengan fakta lain yang saling berkaitan. Semua fakta yang telah terangkum ini nantinya akan dijadikan sebagai bahan dalam penulisan skripsi ini.

4. Tahap historiografi. Tahap ini merupakan hasil dari semua penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Di sini penulis diharuskan untuk menulis cerita sejarah berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan dan dianalisis sebelumnya. Pada tahap ini penulis berusaha memberikan sebuah bentuk

laporan penelitian penulisan sejarah yang berjudul “Dampak Darwinisme Sosial Terhadap Perkembangan Nazisme di Jerman Tahun 1921-1945” sehingga menjadi sebuah satu kesatuan sejarah yang utuh.


(31)

Secara lebih rinci namun sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas, Wood Gray (Sjamsuddin, 2007:89-90) mengemukakan ada enam langkah dalam metode historis, yaitu:

1. Memilih topik yang sesuai. Dalam penelitian ini, penulis memilih topik tentang dampak sebuah paham yakni Darwinisme Sosial terhadap perkembangan nazisme di Jerman.

2. Mengusut semua evidensi (bukti) yang relevan dengan topik. Dalam hal ini, penulis mencari dan mengumpulkan data-data terkait dengan dampak sebuah paham yakni Darwinisme Sosial terhadap perkembangan nazisme di Jerman dengan menggunakan studi literatur atau studi kepustakaan.

3. Membuat catatan tentang apa saja yang dianggap penting dan relevan dengan topik yang ditentukan ketika penelitian sedang berlangsung.

4. Mengevaluasi secara kritis semua evidensi yang telah dikumpulkan (melalui kritik sumber). Kritik dilakukan terhadap semua sumber yang dihimpun peneliti tentang dampak sebuah paham yakni Darwinisme Sosial terhadap perkembangan nazisme di Jerman untuk memperoleh data yang relevan. 5. Menyusun hasil-hasil penelitian (catatan fakta-fakta) ke dalam suatu pola

yang benar dan berarti yaitu sistematika tertentu yang telah disiapkan sebelumnya. Catatan hasil penelitian disusun dalam sebuah sistematika baku yang berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah UPI 2011. 6. Menyajikan dalam suatu cara yang dapat menarik perhatian dan

mengkomunikasikannya kepada para pembaca sehingga dapat dimengerti sejelas mungkin.

3.3. Teknik Penelitian

Penulis menggunakan teknik penelitian yang disebut dengan studi literatur atau studi kepustakaan dalam penulisan skripsi ini. Studi literatur ini bertujuan untuk mencari dasar pijakan atau fondasi untuk mendapatkan pijakan serta membangun landasan teori, kerangka berpikir dan menentukan dugaan sementara, sehingga para peneliti dapat mengerti, memilah dan memilih, mengorganisasikan dan kemudian menggunakan berbagai macam pustaka dalam bidangnya.


(32)

Penulis menggunakan teknik pengumpulan data yang disebut dengan studi literatur karena informasi mengenai “dampak Darwinisme Sosial terhadap perkembangan nazisme di Jerman tahun 1921-1945” berasal dari masa lalu. Maksudnya ialah permasalahan yang akan dikaji merupakan peristiwa yang terjadi pada masa lalu dan data-data yang dibutuhkan untuk penulisan skripsi ini berasal dari masa lampau yang tidak mungkin dilakukan penelitian secara observasi ataupun wawancara karena peristiwa ini terjadi di Eropa yakni di Jerman. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa penyusunan skripsi ini hanya mengandalkan sumber tertulis yang bersifat sekunder. Tapi ada satu yang merupakan sumber primer, yakni Mein Kampf volume I dan II karya Hitler sendiri.

Studi literatur ini biasanya dilakukan sesudah topik penelitian dan rumusan permasalahan ditentukan. Jenis sumber literatur yang digunakan biasanya adalah buku-buku yang relevan dengan kajian penulis baik buku cetak maupun e-book jurnal, laporan hasil penelitian, hasil-hasil seminar, artikel ilmiah yang belum dipublikasikan, nara sumber, surat surat keputusan dan lain-lain. Jenis sumber literatur yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini hanya terbatas pada buku-buku sumber baik buku cetak maupun e-book dan artikel-artikel yang relevan. Buku-buku sumber yang relevan penulis peroleh dari perpustakaan UPI Bandung, perpustakaan Batu Api di Jatinangor sedangkan untuk artikel-artikel sendiri diperoleh dari mengakses internet.

3.4 Tahapan Penelitian

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sjamsuddin dan Grey pada tahapan penelitian sejarah di atas, penulis melakukan dua tahapan dalam penulisan skripsi ini yakni tahapan persiapan penelitian yang terdiri atas penentuan dan pengajuan topik, penyusunan rancangan penelitian dan konsultasi serta bimbingan. Tahapan pelaksanaan penelitian terdiri atas tahap heuristik dengan kegiatannya ialah mencari sumber, memilah dan memilih serta mencatat hal-hal yang dianggap penting, tahap kritik sumber dengan kegiatannya ialah mengevaluasi sumber secara kritis baik eksternal maupun internalnya, tahap interpretasi dengan


(33)

kegiatannya ialah menghubungkan fakta yang satu dengan fakta lain yang saling berkaitan serta membandingkannya dan tahap historiografi dengan kegiatannya ialah menulis hasil penelitian ke dalam sebuah format penulisan berupa skripsi. Berikut penjelasan lebih jelasnya.

3.4.1. Persiapan Penelitian

3.4.1.1 Penentuan dan Pengajuan Topik Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian ini, yang pertama kali dilakukan oleh penulis adalah mengajukan judul skripsi kepada Tim Pertimbangan Penulisan Skripsi (TPPS) di Jurusan Pendidikan Sejarah, FPIPS, UPI. Judul yang diajukan

saat itu adalah “Fasisme: Adakah Pengaruh dari Darwinisme Sosial? (Suatu Tinjauan Sejarah Pemikiran dari Tahun 1914-1945)”. Langkah selanjutnya Penulis mengajukan judul tersebut kepada Tim Pertimbangan Penulisan Skripsi (TPPS) Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI.

3.4.1.2Penyusunan Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian merupakan kerangka dasar yang dijadikan acuan dalam penyusunan laporan penelitian. Proposal atau rancangan penelitian yang diajukan mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

- Judul Penelitian;

- Latar Belakang Masalah; - Rumusan dan Batasan Masalah; - Tujuan Penelitian;

- Manfaat Penelitian;

- Metodologi Penelitian dan Teknik Penelitian; - Tinjauan Pustaka;

- Sistematika Penulisan; dan - Daftar Pustaka.

Proposal skripsi tersebut kemudian diserahkan kepada Tim Pertimbangan Penulisan Skripsi (TPPS) untuk dipresentasikan dalam Seminar Pra-Rancangan Penulisan Skripsi.


(34)

Setelah proposal ini dikoreksi dan diperbaiki, maka penulis diperbolehkan mengikuti seminar proposal skripsi yang dilaksanakan pada tanggal 10 Juni 2012 bertempat di Laboratorium Jurusan Pendidikan Sejarah. Pengesahan mengikuti seminar dikeluarkan melalui surat keputusan dari Ketua TPPS Jurusan Pendidikan Sejarah 052/TPPS/JPS/2012, dengan calon pembimbing I adalah Prof. Dr. H. Dadang Supardan, M.Pd. dan calon pembimbing II adalah Dr. Encep Supriatna, M.Pd.

Pada seminar tersebut, penulis mempresentasikan rancangan penelitian di hadapan TPPS dan calon pembimbing skripsi untuk dikaji dan didiskusikan apakah rancangan tersebut dapat dilanjutkan atau tidak. Hasil dari seminar tersebut, menyatakan bahwa judul tersebut disetujui hanya saja perlu ada perbaikan judul penelitian tapi bukan esensinya. Calon pembimbing II yaitu Dr. Encep Supriatna, M.Pd. memberikan saran agar judul skripsi tersebut lebih difokuskan ke fasisme di negara mana serta siapa tokohnya yang telah terpengaruh oleh Darminisme sosial. Namun sayang, pada kesempatan itu, calon pembimbing I yakni Prof. Dr. H. Dadang Supardan, M.Pd tidak bisa hadir dikarenakan mengajar di Pascasarjana sehingga belum bisa memberikan saran yang sangat diharapkan penulis.

3.4.1.3 Konsultasi dan Bimbingan Skripsi

Konsultasi merupakan kegiatan bimbingan penyusunan skripsi yang dilakukan oleh penulis dengan pembimbing I dan II yang ditunjuk oleh TPPS. Konsultasi dengan pembimbing memiliki fungsi yang sangat penting, yaitu untuk memberikan pengarahan saran dan kritikan dalam proses penyusunan skripsi. Penulis melakukan konsultasi kepada kedua pembimbing, pembimbing I adalah Prof. Dr. H. Dadang Supardan, M.Pd dan pembimbing II adalah Dr. Encep Supriatna, M.Pd. Dalam konsultasi baik pembimbing I dan pembimbing II memberikan arahan, masukan, atau kritik untuk perbaikan penulisan skripsi ini.

Selama proses konsultasi awal ini, penulis mendapatkan hal penting berkaitan dengan penulisan skripsi ini. Selain mengenai prosedur dari bimbingan, penulis juga mendapatkan masukan mengenai substansi skripsi, baik dari


(35)

Pembimbing I dan Pembimbing II. Dalam konsultasi baik pembimbing I dan pembimbing II memberikan arahan, masukan, atau kritik untuk perbaikan penulisan skripsi ini. Konsultasi biasanya dimulai dari judul, bab I (pendahuluan), bab II (tinjauan pustaka), bab III (metodologi penelitian), bab IV (pembahasan), dan bab V (kesimpulan), serta abstrak.

Selama proses bimbingan tersebut, perbaikan-perbaikan terus dilakukan terhadap pelaksanaan penelitian. Pada masa bimbingan ini terjadi dua kali perubahan menyangkut judul. Dari dua kali perubahan itu akhirnya judul disetujui oleh pembimbing kedua yaitu tema yang berjudul “Dampak Darwinisme Sosial terhadap Paham Fasisme (Studi tentang Paham Fasisme yang Dikembangkan oleh Adolf Hitler di Jerman Tahun 1914-1945)”.

Perubahan tersebut disebabkan karena judul yang diajukan terlalu berbelit-belit. Maksudnya ialah mengaburkan fokus penelitian dikarenakan setiap kata yang ada di dalam judul kurang menjelaskan atau rancu.

Perubahan judul juga kembali terjadi ketika bimbingan dengan pembimbing I, dari awalnya judul di atas menjadi “Dampak Darwinisme Sosial Terhadap Perkembangan Nazisme di Jerman Tahun 1921-1945”.

Perubahan judul juga menambah tujuan skripsi menjadi semakin jelas, yaitu mendeskripsikan masuknya Darwinisme sosial ke Partai Nazi Jerman, Kondisi-kondisi yang mendukung perkembangan Darwinisme Sosial di partai Nazi Jerman dan dampak Darwinisme Sosial terhadap perkembangan nazisme di Jerman.

3.4.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian 3.4.2.1. Tahap Heuristik

Pada tahap heuristik ini, penulis berusaha mencari berbagai sumber yang mendukung terhadap pemecahan masalah penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan cara membaca dan mempelajari hasil karya ilmiah penulis lain, baik berupa tulisan yang sudah dicetak dalam bentuk buku maupun e-book dan artikel yang terdapat dalam situs-situs internet.


(36)

Usaha yang dilakukan oleh penulis pada tahap ini ialah dengan mendatangi perpustakaan, pedagang buku di emperan Jalan Dewi Sartika, mendatangi Palasari sampai dengan meminjam buku dari teman-teman di jurusan sejarah baik dari kakak angkatan, seangkatan maupun adik angkatan.

Kegiatan penulis di perpustakaan tersebut ialah mencatat sumber, baik dari buku, ensiklopedia, maupun artikel yang berhubungan dengan penelitian. Selain mencatat hal-hal yang dianggap penting di tempat, penulis juga meminjam buku-buku perpustakaan agar lebih leluasa mengkaji isi buku-buku tersebut di tempat yang lebih tenang.

Kegiatan penulis di emperan Jalan Dewi Sartika dan toko buku di Palasari adalah mencari serta membeli sumber berupa buku yang dibutuhkan oleh penulis serta relevan dengan penelitian. Selain itu, penulis juga berdiam berjam-jam menghadap laptop dan menelusuri dunia maya mencari artikel dan e-book.

Penelitian ini bersifat studi literatur sehingga penulis hanya mencari dan mengunakan sumber-sumber buku, jurnal, e-book, dan karya tulis lainnya yang relevan. Sebenarnya, jauh sebelum penulis mengajukan proposal penelitian pada TPPS, penulis telah banyak mencari sumber data mengenai penelitian ini terutama meminjam dari teman-teman sejurusan dan jalan-jalan ke toko buku di Palasari. Namun, awal masa pencarian data atau sumber sejarah yang terbilang intensif adalah sejak bulan Juli tahun 2012.

Agar lebih jelas kegiatan yang dilakukan oleh penulis serta tempat mana saja yang pernah dikunjungi oleh penulis dalam tahap Heuristik ini, maka perlu ada penjelasannya. Penulis mendapatkan sumber-sumber bahan penelitian ini diantaranya berasal dari:

- Perpustakaan UPI kota Bandung. Dari perpustakaan UPI ini penulis mendapatkan beberapa buku penunjang mengenai pengantar Ilmu Sejarah, Metodologi Sejarah, Teori-teori Sosiologi Klasik dan sumber primer yakni

Mein Kampf karena buku ini merupakan karangan Hitler sendiri yang telah

diterjemahkan oleh R. W. Sinaga. Sejak tingkat pertama kuliah di Jurusan Pendidikan Sejarah, penulis memang cukup sering untuk berkunjung ke perpustakaan UPI hanya sekedar untuk berdiskusi dengan kakak tingkat,


(37)

adik tingkat dan seangkatan mengenai materi perkuliahan. Namun, untuk kunjungan yang bersifat lebih khusus dalam rangka penyusunan skripsi ini, penulis secara intensif mencari sumber sejarah di Perpustakaan UPI sejak bulan Juli 2012.

- Koleksi pribadi penulis yang dimiliki. Buku-buku tersebut dikategorikan sebagai buku-buku pengetahuan Islam terutama karangan Harun Yahya baik e-book maupun artikel-artikelnya, sejarah dunia, metodologi sejarah, pengantar ilmu-ilmu sosial yang memberikan gambaran mengenai Darwinisme sosial, pengantar sejarah, dan sebagainya. Selain itu juga artikel-arikel yang membahas mengenai permasalahan utamapun sudah penulis miliki selain dari karya Harun Yahya.

- Perpustakaan pribadi teman-teman sejurusan baik dari kakak angkatan, seangkatan maupun adik angkatan. Dari teman-teman inilah penulis mendapatkan banyak sumber yang mendukung penelitian ini. Seperti buku yang membahas mengenai keadaan di kamp konsentrasi Jerman, Isme-isme yang mengguncang dunia termasuk fasIsme-isme dan buku yang membahas mengenai tokoh-tokoh diktator dunia termasuk Hitler plus buku yang sedikit menyinggung mengenai keterkaitan antara fasisme dengan Darwinisme sosial yakni buku cetak yang berjudul Ancaman di Balik Romantisme karya Harun Yahya. Penulis telah intensif meminjam buku ketika masih semester tujuh.

- Perpustakaan Batu Api di Jatinangor. Perpustakan ini memiliki koleksi cukup banyak mengenai pengetahuan-pengetahuan sejarah Eropa dan pengetahuan lainnya. Dari perpustakaan ini penulis mendapatkan buku-buku yang menunjang penelitian penulis seperti buku-buku mengenai fasisme, Darwin, Darwinisme sosial serta buku yang mengkaji mengenai akar kekerasan yang membahas mengenai psikologi Hitler. Karena jauh, perpustakaan ini intensif penulis kunjungi di bulan Agustus 2012.

- Toko buku Palasari. Setalah beberapa kali ke sini, penulis benar-benar dihadapkan ke dalam keadaan yang meruntuhkan semangat, hal ini dikarenakan setiap ke sini, buku yang dibutuhkan banyak yang tidak ada


(38)

dan ada juga yang telah habis persediaannya. Maka dari itu, penulis hanya mendapatkan beberapa buku penunjang saja.

- Pedagang buku di emperan jalan Dewi Sartika Kebon Kalapa Bandung. Di tempat ini banyak beredar buku-buku yang langka mengenai sejarah dan dengan harga yang murah tentunya karena kebanyakan buku bekas. Di sini, penulis mendapatkan hanya satu sumber mengenai orang-orang di sekitar Hitler yang mau membunuhnya. Judul buku tersebut ialah “To Kill Hitler: Upaya-upaya Membunuh Adolf Hitler” karya Irwanto. Di sini juga terdapat buku-buku yang masih baru namun dengan harga yang terbilang lebih murah dari Palasari.

- Perpustakaan Konferensi Asia Afrika Bandung. Perpustakaan ini sudah terkenal dan banyak memuat mengenai buku-buku mengenai sejarah terutama Asia dan Afrika. Pada awalnya penulis mencoba ke sini dengan harapan akan menemukan buku yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan penulis, ternyata di tempat ini penulis tidak mendapatkan sumber yang dibutuhkan.

- Internet. Biasanya penulis menelusuri internet di gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa menggunakan laptop. Penulis banyak sekali mendapatkan berbagai informasi yang relevan dengan permasalahan yang penulis teliti. Baik berupa artikel-artikel maupun e-book. Meski banyak yang menyangsikan informasi dari internet, tapi penulis juga memperhatikan referensi yang digunakan oleh penulis artikel dan e-book tersebut sehingga dapat dipercaya. Jika memang referensi yang digunakan di dalam artikel serta e-book tersebut tidak ada atau tidak dipercaya, tentu penulis tidak akan menggunakannya.

3.4.2.2. Kritik

Tahapan berikutnya dalam metode historis setelah heuristik adalah kritik sumber. Dalam tahap kritik, kegiatan yang harus dilakukan penulis sejarah adalah mengkritik sumber secara internal dan eksternal. Baik kritik internal maupun kritik eksternal memiliki fungsi yang penting bagi sejarawan yang erat kaitannya


(39)

dengan tujuan sejarawan itu sendiri dalam mencari kebenaran serta fakta yang dibutuhkan agar informasi tersebut memiliki kekuatan sebagai dasar argumentasi. Kritik internal adalah cara pengujian terhadap sumber-sumber yang ada dengan melihat isinya. Sementara kritik eksternal adalah cara melakukan verifikasi terhadap aspek-aspek luar dari sumber sejarah (Sjamsuddin, 2007: 132). Tahapan ini digunakan peneliti untuk menilai (mengevaluasi) secara kritis terhadap sumber-sumber yang ditemukan pada tahap heuristik.

Pada tahap kritik sumber eksternal, penulis menggunakan tiga rumusan dalam melakukan kritik sumber, seperti yang diungkapkan oleh Ismaun (2005: 50) bahwa kritik eksternal bertugas menjawab tiga pertanyaan mengenai sumber: 1. Apakah sumber itu memang sumber yang kita kehendaki?

2. Apakah sumber itu asli atau turunan?

3. Apakah sumber itu utuh atau telah diubah-ubah?

Sejalan dengan pendapat Ismaun di atas, Abdurahman (2007, 68-69) menjelaskan lebih detail mengenai pertanyaan untuk menguji keaslian sumber. Adapun pertanyaannya adalah sebagai sebagai berikut:

1. Kapan sumber itu dibuat ? 2. Di mana sumber itu dibuat? 3. Siapa yang membuat?

4. Dari bahan apa sumber itu dibuat? 5. Apakah sumber itu dalam bentuk asli?

Pada tahap kritik eksternal terhadap sumber-sumber tertulis yang berupa buku-buku, penulis mengklasifikasikannya dari aspek latar belakang penulis buku tersebut untuk melihat keotensitasannya sehubungan dengan tema penulisan skripsi ini. Popularitas penulis buku akan membuat tingkat kepercayaan terhadap isi buku akan semakin tinggi.

Penulis juga mempehatikan tahun terbit sumber dalam kritik eksternal. Beberapa buku yang penulis gunakan memiliki tahun terbit yang dekat dengan waktu terjadinya peristiwa bahkan ada buku yang benar-benar ditulis oleh pelaku sejarah meski buku tersebut adalah terjemahan. Selain itu, mengecek kondisi fisik buku juga merupakan bagian dari kritik eksternal karena jika buku tersebut telah


(40)

banyak yang robek di sana-sini, maka buku tersebut sudah dianggap tidak layak lagi digunakan.

Kritik internal merupakan kebalikan dari kritik eksternal. Kritik internal lebih menekankan pengujian terhadap isi dan kredibilitas sumber sejarah. Melalui kritik internal, sejarawan dapat memutuskan apakah sumber-sumber itu dapat diandalkan atau tidak. Kritik internal harus membuktikan bahwa kesaksian yang diberikan oleh suatu sumber memang dapat dipercaya.

Menurut Ismaun (2005:129), kritik internal diperoleh dengan cara melakukan penilaian intrinsik terhadap sumber-sumber dan membandingkan kesaksian informasi atau data dari isi materi kepustakaan tersebut, artinya informasi dan data tersebut benar-benar netral atau mempunyai muatan politis dengan memihak pada suatu kekuasaan tertentu melalui cara menyudutkan atau mendukung terhadap suatu peristiwa sejarah tersebut.

Seirama dengan pendapat di atas, pada tahap ini tibalah giliran sejarawan untuk mengevaluasi terhadap kesaksian atau konten dalam buku tersebut dan harus memutuskan apakah informasi tersebut dapat diandalkan atau tidak (Sjamsuddin, 2007: 143).

Pada tahapan ini, penulis lebih menekankan pada kritik internal yang dilakukan terhadap aspek dalam isi dari sumber yang penulis dapatkan. Meski demikian, penulis tidak akan mengabaikan kritik eksternal, namun jika sumber tersebut memang dibutuhkan oleh penulis karena beralasan isinya sesuai dengan yang dibutuhkan penulis tapi kondisi fisik buku tersebut sudah robek-robek atau tahun terbit buku tersebut tidak sejaman bahkan beda jaman, maka penulis akan tetap menggunakan buku tersebut sebagai sumber.

Penulis melakukan kritik internal terhadap sumber tertulis terutama buku, informasi berupa data dari sumber tertulis dipilih sesuai dengan tujuan penelitian. Untuk mendapatkan kredibiltas terhadap sumber yang diperoleh, maka buku yang satu dibandingkan dengan buku yang lain sehingga didapatkan pandangan objektif yang dapat digunakan untuk mengkaji permasalahan penelitian.


(41)

Selain itu, hasil dari perbandingan sumber yang telah diperoleh akan didapatkan kepastian bahwa sumber-sumber tersebut bisa digunakan karena sesuai dengan topik kajian. Misalnya untuk mengetahui bagaimana dampak Darwinisme sosial terhadap Nazisme di Jerman, penulis melakukan kritik internal dengan mengkaji banding terhadap isi buku karya Wardi Bachtiar dengan judul Sosiologi

Klasik dari Comte hingga Persons dengan isi buku karya Irwanto yang berjudul To Kill Hitler Upaya-upaya Membunuh Adolf Hitler.

Meskipun terlihat berbeda pada dasarnya kedua buku tersebut memiliki kesamaan dalam menguraikan kebijakan politik rasial yang dilakukan Hitler serta menguraikan mengenai keterkaitan antara Darwinisme sosial dengan Nazisme di Jerman. Meski buku yang satu fokusnya mengenai teori sosiologi, dan buku yang satunya lagi mengenai upaya pembunuhan Hitler.

Berdasarkan hasil dari kritik internal yang telah dilakukan penulis, bahwa ada kesesuaian pendapat dari berbagai penulis sumber, meskipun latar belakang dan bidang keilmuan setiap penulis tersebut berbeda. Kesamaan pendapat dari satu sumber dengan sumber lainnya adalah kemungkinan yang bisa diperoleh dari tindakan kritik internal.

Penyusunan suatu cerita sejarah yang mengandalkan berbagai sumber sejarah pastilah ada kekeliruan di dalamnya, maka dari itu kritik dilakukan sebagai alat pengendali atau pengecekan proses-proses itu dan untuk mendeteksi adanya kekeliruan yang mungkin terjadi (Abdurahman, 2007: 70).

Penulis tidak terlalu menekankan dan mengkritik mengenai validitas dan unsur subjektifitas sumber dalam kritik internal ini. Namun jika penulis menganggap suatu sumber cenderung subjektif, maka penulis akan memprioritaskan menggunakan informasi dari sumber lain yang dianggap lebih objektif. Jika penulis tidak dapat menilai subjektifitas sebuah sumber, maka penulis akan mengajukan sumber tersebut bersama sumber-sumber lain sebagai pembanding.


(1)

Ketiga, penulis menyimpulkan bahwa Dampak negatif Darwinisme Sosial terhadap perkembangan nazisme Jerman pertama adalah mengenai paham anti-semitisme yang akut serta paham mengenai superioritas bangsa Arya. Paham ini pun direalisasikan oleh pemerintahan Nazi secara terprogram dan terkenal dengan nama solusi terakhir (final Solution) Nazi. Usaha pembersihan ini menyebabkan terjadinya pembantaian berjuta-juta manusia dari ras yang dianggap rendahan di kamp-kamp konsentrasi Jerman yang berada di seluruh wilayah kekuasaan Jerman dari mulai bangsa Yahudi sampai kepada bangsa yang dianggap rendahan seperti bangsa Gispi dan lainnya. Selain itu, salah satu akibat yang paling mengguncang dunia dari superioritas bangsa Arya yang diterapkan oleh Nazi Jerman adalah menyemai Perang Dunia II yang menelan puluhan juta jiwa manusia baik tentara maupun warga sipil. Hal tersebut terjadi karena Nazi Jerman ingin menguasai seluruh Eropa dan dunia untuk dipimpinnya serta membutuhkan tanah baru untuk menampung populasi bangsanya yang besar. Dampak negatif Darwinisme terhadap perkembangan Nazisme Jerman kedua adalah usaha perbaikan ras Arya serta pencegahan pencemaran ras Arya yang dilakukan oleh Nazi atau dikenal juga dengan nama Eugenetika. Korban dari program ini adalah bangsa Jerman itu sendiri. Sebagaimana kita tahu bahwa salah satu bentuk darwinisme sosial yang paling terkenal adalah eugenics. Konsep eugenics merujuk kepada pemisahan terhadap gen baik dan gen buruk. Penulis juga melihat bahwa tindakan pemusnahan yang dilakukan oleh partai Nazi dengan ideologi nazismenya ini dapat dibagi menjadi dua, yakni internal dan eksternal Jerman. Program pemusnahan internal yang dinamakan eutanasia dengan tujuan untuk memusnahkan orang-orang Jerman yang tidak layak hidup oleh Nazi merujuk kepada orang-orang Jerman yang memiliki cacat fisik dan mental dan homoseksual. Program pemusnahan eksternal ditujukan kepada bangsa Yahudi dengan cara yang sistematis yaitu dengan cara kerja paksa sampai mati, dimasukan ke kamar gas atau sering disebut juga dengan pabrik-pabrik kematian Nazi Jerman. Perkembangan nazisme sampai dengan pemusnahan manusia ini juga diwarnai oleh nekrofilia (hasrat untuk merusak yang hidup dan ketertarikan


(2)

.

5.2 Saran

Penulis menyadari di dalam penelitian mengenai permasalahan ini masih banyak terdapat kekurangan dari mulai metode penelitian sampai teknik pengumpulan data, dalam hal ini mengenai referensi-referensi yang digunakan penulis. Maka dari itu, untuk para pengguna hasil penelitian ini diharapkan untuk menggunakan referensi lain sebagai bahan komparasi agar data yang didapatkan lebih akurat lagi. Untuk para peneliti berikutnya yang berminat untuk melakukan penelitian mengenai permasalahan dampak dari Darwinisme Sosial terhadap perkembangan nazisme di Jerman, penulis menyarankan agar menggunakan sumber-sumber pertama sebagai referensi penelitian.


(3)

Daftar Pustaka

----. (2008). Fasisme: Catatan Kecil dari Ebenstein. [Online] Tersedia: http://newhistorian.wordpress.com/2008/01/04/fasisme/ [26 Oktober 2011].

----. (----). Apa Darwinisme Sosial. [Online] Tersedia: http://translate.google.co.id/translate?hl=id&sl=en&u=http://www.allabo utscience.org/what-is-social-darwinism-faq.htm&prev=/ [26 November 2012].

----. (----). Darwinisme Sosial. [Online] Tersedia: http://konsepsisosiologi.blogspot.com/2011/11/darwinisme-sosial.html, [10 Juli 2012].

----. (----). Teori Darwin tentang Ras Manusia. [Online] Tersedia: http://www.scribd.com/doc/34623761/1/TEORI-DARWIN-TENTANG-RAS-MANUSIA [30 Oktober 2012].

Abdurahman, D. (2007). Metodologi Penelitian Sejarah. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Archer, J. (2007). Kisah Para Diktator Biografi Politik Para Penguasa Fasis, Komunis, Despotis dan Tiran. Diterjemahkan oleh Dimyati AS. Yogyakarta: Narasi.

B. M. De Waal, F. (2003). Morality and the Social Instincts: Continuity with the Other Primates. Princenton: Princenton University.

Bachtiar, W. (2006). Sosiologi Klasik dari Comte hingga Parsons. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Bergman, J. (1999). Darwinisme dan Holocaust Ras Nazi. Dalam Creation Ex Nihilo Technical Journal 13 [Online], Vol 2 (13), 10 halaman. Tersedia: http://www.trueorigin.org/holocaust.asp&usg=ALkJrhjVi8rH2AiFvYRd 18l4P_paTRGMkA [26-11-2012].

Bierens de Haan, J. 1962. Sosiologi. Diterjemahkan oleh Adnan Sjamni. Penerbit: PT. Pembangunan Djakarta.

Demas. (2011). Pengertian Ras menurut Para Ahli. [Online] Tersedia: http://blogbaru-demas.blogspot.com/2011/08/pengertian-ras-menurut-para-ahli.html [30 Oktober 2012].

Ebenstein, W. (2006). Isme-isme yang Mengguncang Dunia. Yogyakarta: Penerbit Narasi.


(4)

Fromm, E. (2001). Akar Kekerasan Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia. Diterjemahkan oleh Imam Muttaqin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI).

Gosttschlak, L. (1986). Mengerti Sejarah. Diterjemahkan oleh Nugraha. Jakarta: UI Press.

Haryanto. (tanpa tahun). Teori Sosiologi Klasik. [Online]. Tersedia: http://pustaka.ut.ac.id/puslata/bmp/modul/SOSI4201/M5.pdf [15 Oktober 2011]

Hitler, A. (2007). Mein Kampf. Diterjemahkan oleh R. W. Sinaga. Jakarta: Narasi. Irwanto. (2008). To Kill Hitler: Upaya-upaya Membunuh Hitler. Jakarta: Narasi. Ismaun. (2005). Pengantar Belajar Sejarah Sebagai Ilmu dan Wahana

Pendidikan. Bandung: Historia Utama Press.

Jacob, T. et al. (tanpa tahun). Evolusi Manusia dan Konsepsi Islam: Dimana Letak Adam dalam Teori Evolusi Charles Darwin (1809-1882). Tanpa Kota: Gema Risalah Press.

Koentjaraningrat. (1979). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Laeyendecker, L. (1983). Tata, Perubahan, dan Ketimpangan Suatu Pengantar

Sejarah Sosiologi. Diterjemahkan oleh Samekto S. S. Jakarta: PT Gramedia.

Loebis, P. (2006). Orang Indonesia di Kamp Konsentrasi Nazi: Otobiografi Parlindoengan Loebis. Depok: Komunitas Bambu.

M. Hodgson, G. (2004). Darwinisme Sosial di Anglophone. Dalam Jurnal Sejarah Sosiologi [Online], Vol 17 (4), 36 halaman. Tersedia: (http://translate.google.co.id/translate?hl=id&sl=en&u=http://www.geoff rey-hodgson.info/user/image/socialdarwinism.pdf&prev=/ [26 November 2012].

Maliki, Z. (2011). Pengertian Teori Naluri Sosial. [Online] Tersedia: http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2180247-pengertian-teori-naluri-sosial/ [1 november 2012].

Miller, J. dan Van Loon, B. (2004). Seri Mengenal dan Memahami Darwin dan Evolusi. Diterjemahkan oleh Tim Penerbit. Batam: Scientific Press. Nazsir, N. (2009). Teori-Teori Sosiologi. Bandung: Widya Padjadjaran.

Nurcholis. (2007). Berhala Holocaust Pertarungan Sengit Zionis & Revisionis. Jakarta: Mediakita


(5)

Purcell, H. (2000). Fasisme. Diterjemahkan oleh Faisol Reza, dkk. Yogyakarta: Insist Press.

Rosidi, A. (1981). Mengenal Jepang. Jakarta: Pusat Kebudayaan Jepang Jakarta (The Japan Foundation).

Sayitno, Y. (2008). “Landasan Pendidikan”. Bandung: Sub Koordinator MKDP Landasan Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia.

Sjamsuddin, H. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Suhelmi, A. (2004). Pemikiran Politik Barat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Supardan, D. (2008). Pengantar Ilmu Sosial Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Suparman. dan Malian, S. (2003). Ide-ide Besar Sejarah Intelektual Amerika. Yogyakarta: UII Press.

Susilo, T. A. (2009). Mengenal Benua Eropa. Jogjakarta: Garasi.

United State Holocaust Memorial Museum. (2012). Korban Era Nazi: Ideologi

Ras Nazi. [Online] Tersedia:

http://translate.google.co.id/translate?hl=id&sl=en&u=http://www.ushm m.org/wlc/en/article, [26 November 2012].

UPI. (2011). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: UPI.

Veeger, K.J. (1990). Realitas Sosial Refleksi Filasafat Sosial atas Hubungan Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Wikipedia. (2012). Darwinisme Sosial. [Online] Tersedia: http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://en. wikipedia.org/wiki/Social_Darwinism, [1 November 2012].

Wikipedia. (2012). Jepang. [Online] Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Jepang [21 Desember 2012].

Wikipedia. (2012). Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei. [Online]

Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/

Nationalsozialistische_Deutsche_Arbeiterpartei, [29 Juli 2012].

Wilkinson, P. (2005). New Fascists. Diterjemahkan oleh Ikramullah SIP. Yogyakarta: Resist Book.

Yahya, H. (2004). Ancaman di Balik Romantisisme. Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Hikmah Teladan. Bandung: Dzikra.


(6)

Yahya, H. (tanpa tahun). Menyingkap Tabir Fasisme. [Online]. Tersedia: www.harunyahya.com/indo/indo.m_book_index.php [23 Mei 2011]. Yahya, H. (2010). Darwinisme telah Merebut Cinta dan Kasih sayang dari Hati

Masyarakat. [Online]. Tersedia: