PENGARUH BAHAN SETEK DAN BEBERAPA JENIS FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA (FMA) TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT NILAM (Pogostemon cablin Benth.) PADA ULTISOL.

i

PENGARUH BAHAN SETEK DAN BEBERAPA JENIS FUNGI
MIKORIZA ARBUSKULA (FMA) TERHADAP
PERTUMBUHAN BIBIT NILAM (Pogostemon cablin Benth.)
PADA ULTISOL

SKRIPSI

Oleh
RIDHA SYAHRAINI
09 10 212 117

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2014

xii

PENGARUH BAHAN SETEK DAN BEBERAPA JENIS FUNGI

MIKORIZA ARBUSKULA (FMA) TERHADAP
PERTUMBUHAN BIBIT NILAM (Pogostemon cablin Benth.)
PADA ULTISOL

ABSTRAK

Nilam (Pogostemon cablin Benth.) termasuk family Labiate dan umumnya
dikenal dengan nama Patchouli. Tanaman nilam jarang berbunga bahkan tidak
pernah berbunga sehingga umumnya diperbanyak secara vegetatif menggunakan
setek yang berasal dari pucuk maupun dari batang. Penggunaan FMA sebagai
pupuk hayati diharapkan mampu memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah
marginal seperti Ultisol sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman
nilam. Penelitian ini telah dilaksanakan di rumah kawat Fakultas Pertanian
Universitas Andalas yang bertujuan untuk memperoleh kebergantungan antara
bahan setek dan beberapa jenis FMA serta untuk menentukan pertumbuhanbahan
setek tanaman nilam yang terbaik dan untuk mengetahui jenis FMA yang efektif
untuk meningkatkan pertumbuhan bibit tanaman nilam. Penelitian ini
menggunakan rancangan acak lengkap pola faktorial dengan 2 faktor dan3
ulangan. Faktor A berupa bahan setek yang terdiri atas setek pucuk dan batang,
faktor B berupa beberapa jenis FMA yang terdiri atas G. luteum, A. gregaria, dan

S. scorbiculata dan tanpa FMA. Hasil penelitian menunjukkan kebergantungan
antara bahan setek dari batang dan FMA jenis A. gregariaterbaik terhadap bobot
segar akar yaitu sebesar 25,89 gram. Bahan setek dari pucuk secara tunggal
berpengaruh terhadap jumlah tunas dan jumlah akar bibit nilam yaitu sebesar 9,58
dan 21,33, sedangkan FMA jenis A. gregaria secara tunggal hanya berpengaruh
terhadap infeksi akar bibit nilam dengan tingkat infeksi sebesar 30%.

Kata kunci: nilam, bahan setek, Ultisol.

xii

xiii

THE INFLUENCE OF CUTTING MATERIAL AND
ARBUSCULAR MYCORRHIZAL FUNGI ON THE GROWTH
OF NILAM SEED (Pogostemon cablin Benth.) ON ULTISOL

ABSTRACT

Nilam (Pogostemon cablin Benth.) plants belong to the family Labiate and

are commonly known by the name Patchouli. Nilam plants rarely ever or never
flower, so are generally propagated vegetatively using cuttings from either the
apex or the stem. It is hoped that arbuscular mycorrhizal fungi (AMF) by acting
as a biofertilizer can improve the physical, chemical, and biological characteristics
of marginal soils, such as Ultisol, so that nilam plants can growth on them. This
research was carried out in the wire house at the Faculty of Agriculture, Andalas
University to determine the interaction between cutting material and selected
AMFs, to determine whether the cuttings from apex or the stem give better growth
and to determine which AMF is most effective in increasing the growth of nilam
plants. A completely randomized block design was used with three replications.
Cuttings from the apex and the stem were grown with one of three spesies of
AMF (G. luteum, A. gregaria, and S. scorbiculata) or as a control without AMF.
The best root growth (25.89 g fresh weight) was obtained with stem cuttings
innoculated with A. gregaria. Cutting from the apex produced more shoots (9.58)
and more roots (21.33) than cuttings from the stem. A. gregaria produced a higher
level of infection (30%) than either of the other two AMF tested.

Keyword: nilam, cutting material, Ultisol

xiii


1
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Nilam (Pogostemon sp.) termasuk family Labiate dan umumnya dikenal
dengan nama patchouli, tumbuh berupa semak setinggi kurang lebih 1 meter, baik
di dataran tinggi maupun di dataran rendah. Tanaman ini merupakan tanaman
perdu wangi berdaun halus dan berbatang segi empat pada saat muda dan saat
berumur 6 bulan batangnya akan membulat dan mengayu.
Tanaman nilam merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri.
Minyak atsiri dihasilkan melalui proses penyulingan daun-daunnya yang telah
dikeringkan. Dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak atsiri yang lain,
nilam mempunyai keunggulan tersendiri sebagai unsur pengikat terbaik untuk
wewangian (parfum). Hal ini disebabkan karena daya lekatnya yang kuat sehingga
aroma wangi tidak mudah hilang tercuci atau menguap, dapat larut dalam alkohol
dan dapat dicampur dengan minyak eteris lainnya (Sup, 1993 cit Widiastuti,
2013).
Di Indonesia, terdapat tiga jenis nilam yang dibudidayakan oleh petani,
yaitu nilam Aceh, nilam sabun, dan nilam Jawa (Ditjenbun, 2006). Nilam Aceh
adalah jenis yang paling banyak dibudidayakan dibandingkan kedua jenis lainnya

karena hasil minyaknya yang tinggi. Nilam Aceh banyak dibudidayakan di
beberapa daerah seperti Sumatera Utara (Tapanuli Utara, Simalungun), Aceh
(Tapak Tuan, Gayo), Sumatera Barat (Pasaman Barat), Jawa Tengah (Rempoah,
Batu Raden, Yogyakarta (Sleman), dan Jawa Barat (Majalengka) (Krismawati,
2005). Ditjenbun (2007)cit Wahyuno (2010) menambahkan di Indonesia terdapat
± 35.561 KK yang membudidayakan nilam, dengan luas areal penanaman
mencapai 22.150 ha, yang tersebar di 12 propinsi yaitu: NAD, Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat,
Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur.
Tanaman nilam jarang berbunga bahkan tidak pernah berbunga. Oleh
karena itu, bahan perbanyakan nilam sampai saat ini diperoleh secara vegetatif
yaitu dengan setek. Setek dapat berasal dari batang (Rukmana, 2004) ataupun dari
pucuk (Mangun et al., 2012).

2
Setek nilam tersebut dapat ditanam langsung dikebun, namun memerlukan
bahan setek yang banyak karena tingkat pertumbuhan tanaman kurang baik,
bahkan banyak kemungkinan setek yang mati. Cara terbaik untuk menghemat
bahan setek adalah dengan melakukan pembibitan terlebih dahulu sebelum
ditanam ke lahan atau kebun. Menurut Santoso (2007), pembibitan nilam dapat

dilakukan di polibag. Keuntungan pembibitan di polibag antara lain lebih mudah
dalam perawatan dan pengontrolan, menghemat penggunaan bibit serta dapat
mengurangi resiko kematian akibat pemindahan ke kebun atau lahan.
Setek yang mampu membentuk akar merupakan parameter utama dalam
keberhasilan perbanyakan tanaman secara vegetatif. Setek yang berhasil
membentuk perakaran ini salah satunya dipengaruhi oleh bagian tanaman yang
digunakan sebagai bahan setek. Hal tersebut berhubungan dengan kandungan
berbagai zat yang berperan dalam pembentukan akar dan tunas seperti auksin,
karbohidrat, dan nitrogen yang tersimpan dalam jaringan tanaman tersebut (Syakir
et al, 1992 cit Suwandiyati 2009).
Selain itu, ketersediaan hormon tumbuh, khususnya auksin juga akan
mempengaruhi keberhasilan setek membentuk akar. Dalam setek batang nilam
meskipunterdapat auksin endogen, tetapi konsentrasi auksin endogen yang
terdapat dalam tanaman tersebut tidak mampu untuk mempercepat pertumbuhan
akar, sehingga pengambilan nutrien menjadi rendah. Pengambilan nutrien yang
rendah menyebabkan kurangnya nutrien yang masuk untuk menggantikan
cadangan yang telah habis, sehingga tanaman tersebut akan mati.
Tanaman nilam dapat tumbuh pada semua jenis tanah. Namun apabila
ditanam pada lahan marginal diperlukan pemeliharaan yang lebih intensif. Pada
umumnya tanah marginal merupakan salah satu tanah yang bermasalah,

penyebarannya mencapai luas sekitar 45.794 juta ha atau 25% dari wilayah
daratan Indonesia yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, dan
Irian Jaya (Subagyo et al, 2004). Pemerintah memprioritaskan jenis tanah ini
untuk perluasan areal pertanian di Indonesia, meskipun mempunyai sifat fisika,
kimia, dan biologi tanah yang kurang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman
(Husin, 1992). Salah satu jenis tanah marginal adalah Ultisol yang dicirikan oleh
reaksi tanah masam, kandungan Al tinggi, unsur hara rendah, sehingga perlu
2

3
diberikan pengapuran, pemberian bahan organik, pemupukan, serta pengelolaan
yang baik agar tanah ini menjadi lebih produktif (Hardjowigeno, 2003).
Salah satu carauntuk mengatasi permasalahan tanah jenis Ultisol adalah
melalui pemanfaatan mikroorganisme tanah sejenis jamur yang dapat bekerja
sama dengan akar tanaman dalam menyerap unsur hara. Jamur tersebut
dinamakan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) yang dapat bersimbiosis dengan
akar dan mempunyai peranan yang penting dalam pertumbuhan tanaman, baik
secara ekologis maupun agronomis. Peran tersebut diantaranya adalah
meningkatkan serapan fosfor (P) dan unsur hara lainnya, seperti N, K, Zn, Co, S
dan Mo dari dalam tanah, meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan,

memperbaiki agregasi tanah, meningkatkan pertumbuhan mikroba tanah yang
bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman inang serta pelindung tanaman dari infeksi
patogen akar (Sukarno, 2003).
Kelebihan lain dari asosiasi antara FMA dan tanaman diantaranya adalah
FMA dapat menghasilkan hormon pertumbuhan seperti auksin yang sangat
berperan penting dalam pertumbuhan setek. Auksin itu sendiri banyak dihasilkan
pada jaringan-jaringan meristem seperti pucuk dan tunas. Perakaran yang muncul
pada setek terjadi akibat dorongan oleh auksin yang berasal dari tunas dan daun.
Kadar auksin yang terdapat pada bahan setek bervariasi sehingga hormon yang
dihasilkan oleh diharapkan dapat membantu setek untuk membentuk perakaran
lebih cepat dibandingkan dengan tanaman yang tidak diinokulasi FMA.
Hasil penelitian pada berbagai lahan marginal di Indonesia menunjukkan
bahwa aplikasi pupuk biologis seperti Fungi Mikoriza Arbuskula (Glomus sp. dan
Gigaspora sp.) dapat meningkatkan produksi berbagai tanaman seperti kedelai,
kacang tanah, tomat, dan padi serta ketersediaan hara bagi tanaman antara 20 –
100% (Simarmata dan Herdiani, 2004).
Pada percobaan tanaman nilam, bibit nilam berupa setek ditanam
sepanjang 20 cm ke dalam lubang tanam yang sudah diberi propagul FMA.
Propagul berisi spora, hifa, dan akar tanaman terinfeksi terdiri dari jenis Glomus,
Gigaspora, Acaulospora, dan Scutellospora. Pencampuran itu bertujuan untuk

mempertinggi daya kerja FMA karena setiap cendawan mempunyai kelebihan dan
3

4
kekurangan. Jenis Gigaspora dan Acaulospora, misalnya, berukuran besar dan
adaptif di tanah ber-pH rendah. Sedangkan jenis Glomus bekerja lebih baik pada
kondisi netral sampai agak basa (Trubus, 2012).
Berdasarkan uraian di atas penulis telah melakukan penelitian yang
berjudul “Pengaruh Bahan Setek dan Beberapa Jenis Fungi Mikoriza
Arbuskula (FMA) Terhadap Pertumbuhan Bibit Nilam (Pogostemon cablin
Benth.) Pada Ultisol”.
B.Hipotesis
a. Adanya kebergantungan antara bahan setek tanaman nilam dengan Fungi
Mikoriza Arbuskula jenis tertentu.
b. Penggunaan bahan setek yang berbeda akan menghasilkan pertumbuhan
bibit yang berbeda.
c. Fungi

Mikoriza


Arbuskula

jenis

tertentu

mampu

meningkatkan

pertumbuhan bibit tanaman nilam pada Ultisol.
C.Tujuan
a. Untuk memperoleh kebergantungan antara bahan setek tanaman nilam dan
beberapa jenis Fungi Mikoriza Arbuskula.
b. Untuk mengetahui pertumbuhan bahan setek tanaman nilam yang terbaik.
c. Untuk mengetahui jenis Fungi Mikoriza Arbuskula yang efektif
meningkatkan pertumbuhan bibit tanaman nilam.

4