PENERAPAN PRINSIP TANGGUNG JAWAB ATASAN SIPIL PADA KASUS PELANGGARAN HAM BERAT TIMOR TIMUR DITINJAU DARI ASPEK HUKUM NASIONAL DAN HUKUM INTERNASIONAL.

PENERAPAN PRINSIP TANGGUNG JAWAB ATASAN SIPIL PADA
KASUS PELANGGARAN HAM BERAT TIMOR TIMUR DITINJAU DARI
ASPEK HUKUM NASIONAL DAN HUKUM INTERNASIONAL
Khatami Khaerunisa Pertiwi
110110070488

ABSTRAK
Pelanggaran berat Hak Asasi Manusia merupakan kejahatan yang
sangat luar biasa dan bersifat universal. Peristiwa pelanggaran HAM berat
yang terjadi di Timor Timur membuat Pemerintah Indonesia membentuk
Pengadilan Hak Asasi Manusia dengan mengundangkan Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pada kenyataannya
banyak kejahatan-kejahatan paling serius yang berhubungan dengan
tanggung jawab pidana seorang komandan militer atau atasan sipil.
Masalah yang muncul dalam penyelesaian kasus Pelanggaran Hak Asasi
Manusia berat adalah sulitnya untuk menghukum seseorang dengan
menggunakan prinsip tanggung jawab atasan, prinsip ini terhitung baru
dalam hukum positif Indonesia, dimana perundang-undangan yang
mengaturnya masih sangat minim. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui kriteria hubungan atasan dengan bawahan dalam
pertanggungjawaban atasan sipil serta untuk mengetahui kriteria

pengendalian efektif yang melahirkan pertanggungjawaban pidana
terhadap atasan.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif analitis, yang menggambarkan pertanggungjawaban atasan sipil
dilihat dari hukum internasional dan hukum nasional, serta metode
pendekatan perbandingan antara kedua hukum tersebut, kemudian
dianalisis menggunakan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
teori-teori yang relevan, serta yurisprudensi hakim, baik hakim nasional
maupun internasional.
Dari hasil penelitian, diketahui bahwa untuk dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana atas pelanggaran ham berat yang dilakukan
bawahannya, atasan harus memiliki hubungan secara de jure maupun de
facto atas bawahan tersebut. Hubungan de jure lahir karena perundangundangan, dalam hal ini undang-undang yang dimaksud adalah UndangUndang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Sedangkan
hubungan de facto adalah hubungan yang lahir berdasarkan kenyataan di
lapangan. Salah satu bentuk dari hubungan de facto adalah adanya
pengendalian efektif yang dimiliki atasan terhadap bawahannya. Kriteria
pengendalian efektif tersebut yaitu antara lain, atasan memiliki
kewenangan secara nyata untuk mengontrol tindakan bawahan, atasan
memiliki kemampuan material untuk mencegah dan/ atau menghukum
bawahan, serta atasan memiliki kekuasaan untuk mengeluarkan arahan

(perintah) kepada bawahan untuk melaksanakan tugas tertentu.