Popularitas Golput.

.

123
17

18

OJan

~iblln Jabal'

o Selasa o Rabu

Senin
4
19

OPeb

5


6

20

21

o Mar

eApr

7
22
OMei

o Kamis 0 Jumat o Sabtu
8
23

9


10
24

OJun

11
25

OJul

12

26

27

€)28

o Sep


0 Ags

o

0

Minggu

14

Okt

15
29

16
30

ONov


31

ODes

Golput

Popula~tas

...-

~~

-

......----

referat
MONANG SITORUS
Kandidat Doktor
Administrasi Publik Unpad


BARU saja negara kita melaksanakan hari yang berdaulat, yaitu pemilu legislatif pada 9 Aprillalu. Tanggal itu juga dapat menjadi
angka keberuntungan bagi
partai politik (parpol) d~n
calon
anggota
DPR/
DPRD /Dewan Perwakilan
Daerah (DPD).
Pemilu kali ini dilaksanakan untuk ke-lO kalinya sejak tahun 1955 dengan jumlah partai 38 plus 6 parpol
lokal. Tentu saja dengan
jumlah parpol yang membengkak, konsekuensi pertarungan elite politik pun
semakin seru dan penuh
ketidakpastian. Bagaimana
wajah DPR/DPRD
dan
DPD kita ke depan sangat
ditentukan di 519.920 tempat pemungutan
sua(a
(TPS) di seluruh tanah air.

Baru satu hari pemilu
digel~r, Lembaga Survei Indonesia (LSI)maraton melakukan penghitungan cepat
(quickcount) dan hasil survei
menunjukkan Partai Demokrat yang masih belia ini
unggul mengantongi suara
20,5 persen, naik tiga kali
lipat dari Pemilu 2004 sebesar 7,54 persen. Namun
pengumuman secara resmi
adalah dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai
lembaga penyelenggara
pemilu.
Sejumlah pengamat politik menduga
Demokrat
berhasil mendapat tambahan suara dengan merebut
para pemilih Golkar dan
POI Perjuan.[an. Resep ke-

.. _.-

__no


menangan ini Demokrat
punya popularitas nama besar, punya pemimpin populer, santun, dan memiliki
etika ketimuran inilah amunisi tambahan partai dimata
pemilih.
Meskipun pesta demokrasi telah usai untuk memilih calon-calon negarawan yang andal, di balik kemenangan itu teptu saja ada
juga pemenang lain yang
r;lianggap sangat populer,
yaitu golongan putih (golput). Menurut Pusat Kajian
Kebijakan
dan Pembangunan (Puskaptis) Surabaya dalam hitungan cepat
mencantumkan angka golput mencapai 45 persen untuk JawaTimur. Inilah angka tertinggi dibanding angka nasional, yang menurut
Puskaptis mencapai 40 persen. Mengapa popularitas
golput terus bertahan jika
dibandingkan
perolehan
suara partai politik yang
cenderung fluktuatif?
Tentu saja kita masih
ingat pada pemilu taoon

1971. Ketika itu ada 10
partai politik yang bertarung berebut kursi di DPR/
DPRD. Ke-lO partai tersebut, menurut Arief Budiman, merupakan
partai
yang "diperbolehkan
hidup" oleh pemerintahan
Soeharto. Setelah pemilu
1971 partai hanya tinggal
tiga, yaitu Golkar, Partai
Persatuan Pembangunan,
dan Partai Demokrasi Indonesia.

.

Denga~ :danya

pe~ba-

_.-


__"

-.

K lip i n 9 Hum Q5 Un p Qd 2 0 0 9

---..

tasan jumlah partai, Soeharto telah melanggar asas demokrasi yang paling dasar,
yaitu kemerdekaan berserikat dan berpolitik. Bahkan, ketiga partai tersebut
masih diintervensi pemerintah. Hapya pemimpin
yang diizinkan atau "direstui" pemerintah yang boleh
dipilih. Fenomena ini mulai
memunculkan golput sebagai bentuk ketidaksetujuan
atau penolakan terhadap
c"ra pemerintah yang otoriter dan tidak demokratis
terhadap pemilu. Waktu itu
golput wajib hukumnya.
Kalau tidak, penjajahan
terhadap partai politik dan

rakyat akan semakin menjadi-jadi.
Kemudian
menjelang
reformasi 1998, demokrasi
marak disuarakan
oleh
hampir semua orang yang
tidak puas kepada Soeharto.
Aksi kemarahan ini akhirnya memuncak hingga menumbangkan
rezim Soeharto pada 21 Mei--1998, dan ,

demokrasi dijunjung tinggi
sebagai tulang rusuk negara dengan harapan dapat
membentuk
Indonesia
yang lebih baik.
Selanjutnya, pascareformasi kita mulai menikmati
detnokrasi
secara utuh
yang dibidani BJ Habibie,

Abdurrahman Wahid atau
Gus Dus, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Namun,
lagi-Iagi golput menjadi
memikat lagi. Pasalnya, di
tengah demokrasi
yang
berkobar, dan orang bebas
mendirikan partai temyata
masyarakat
dihadapkan
kembali pada etika (sistem
nilai) calon-calon legislator.
Walhasil golput menjadi
pilihan pahit yang menyesakkan dada.
Popularitas golput yang
dulunya akibat pemasungan demokrasi pada tahun
1971 kini bergeser kepada
etika (sistem nilai) yang
dianuti calon-calon legislator. Sistem nilai yang dimi-

liki para politisi semakin rapuh. Legislator tidak mampu membedakan
yang
benar dan salah, bermoral
dan tidak bermoral, yang
baik dengan buruk, yang
halal dan yang haram, yang
pantas dan tidak pantas,
wajar dan yang tidak wajar.
Tegasnya, hasil seleksi
masyarakat secara alami
menunjukkan
pencitraan
kepada legislatif kini terpelanting. Sebab, setelah legislator duduk di kursi empuk justru dinilai makin oligarkis, korup, tidak memi1ikinilai moralitas dan oportunitis. Sejumlah kasus seperti aliran dana Rp 100 miliar dari Bank Indonesia (81)
sedang ditangani Komisi
'Pemberantasan
Korupsi
(KPK), kasus dugaan suap
alih fungsi lahan di Pulau
Bintan (Kepri) yang s~ang
dip roses pengadilan Tipikor, kasus alih fungsi lahan
untuk Pelabuhan Tanjung
Api-Api (Sumsel), kasus
pemadam kebakaran, kasus pengadaan kapal patroli, dan sejumlah pelecehan seksual yang melibatkan
anggota legislatif.
Tegasnya, kontrak sosial
yang dibangun
dengan
rakyat dalam waktu lima
menit di bilik suara kepada
wakilnya benar-benar terpelanting. Rakyat benarbenar kecewa berat melihat
perilaku legislatif.
Meskipun secara administratif angka popularitas
golput pada pemilu 2009
menurut sebagian kalangan dengan berbagai alasan seperti daftar pemilih
yang kurang baik, data base
kependudukan, sosialisasi
pemilu, dan manajemen
pemilu. Namun satu hal
yang tidak berwujud adalah
etika (sistem nilai) sangat
signifikan membuat golput
---semakin populer.
-- (*)-