MENINJAU KAIDAH AL ADAH MUHAKKAMAH SEBA
MENINJAU KAIDAH AL-‘ÂDAH MUHAKKAMAH SEBAGAI BAGIAN DARI
‘URF
Adat Kebiasaan Pada Masyarakat Sebagai Dalil Syariah
Oleh: Firdauska Darya Satria S.Sy.,ST.1
Email: [email protected]
ABSTRAK
Dalam implementasi hukum syariah, metode deduksi hukum dalam Islam dikenal juga
dengan suatu disiplin ilmu yang bernama Ushul Fiqh. Beberapa subjek pembahasan
antar ulama fiqih yang sering berbeda pendapat ialah Istihsan, Saddu’Dzara’i, Syar’u
man qablana, Maslahah Mursalah, dan Urf. Urf sendiri diterjemahkan secara bebas
sebagai adat kebiasaan yang ada pada masyarakat. Terdapat beberapa perbedaan
pendapat antar ulama fiqh dalam menjadikan Urf dan Adat sebagai salah landasan
dalam pengambilan hukum syariah. Dalam menjadikan Urf sebagai salah satu landasan
syariah, salah satu kaidah ushuliyah yang dapat digunakan ialah dengan kaidah Al’adah
Muhakkamah ()العادة محكمة. Kaidah tersebut memungkinkan suatu adat kebiasaan yang
terdapat pada masyarakat digunakan sebagai landasan hukum syar’i. Tentunya terdapat
beberapa hal yang perlu ditinjau mengenai kriteria kebiasaan masyarakat yang
kemudian dapat digunakan sebagai sandaran dalam proses istnbath (deduksi) hukum
syariah.
Kata kunci: ushul fiqh, fiqh, qaidah, syariah, ‘urf, adat.
A. PENDAHULUAN
Sebagai tinjauan terhadap bagian dari Urf, maka kaidah Al’adah Muhakkamah akan
melewati beberapa pembahasan mengenai Urf yang akan dijabarkan terlebih dahulu
secara gamblang berdasarkan referensi-referensi yang ada. Kaidah Al’adah Muhakkamah
merupakan suatu kaidah yang melandaskan adat kebiasaan pada masyarakat menjadi
landasan hukum syariah selama tidak bertentangan dengan dalil Qur’an dan Hadits.
Eksistensi kaidah Al’adah Muhakkamah2 timbul dikarenakan banyak fenomenafenomena hukum pada masyarakat yang semakin berkembang seringkali fenomena
tersebut tidak terdapat secara tekstual, baik dalam Quran maupun Hadits sehingga adat
kebiasaan (urf) yang sudah ada pada masyarakat dapatlah dianggap sebagai suatu dalil
syar’i.
Dalam literasi bahasa Arab, terdapat 2 kata yang bermakna adat kebiasaan yaitu Al-‘Adah
dan Urf memiliki kemiripan makna secara harfiah. Meskipun memiliki makna yang
1
2
Mahasiswa Magister Ekonomi Syariah Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, 2015.
Hakim, Abdul Hamid, 1927. Mabadi’ Awwaliyah, Al-Maktabah asSa’adiyah Putra, tth. Jakarta. Hal 37.
serupa, para ulama fiqih cenderung untuk membahasnya sebagai dua hal yang terpisah.
Secara etimologis3, Al-‘Adah merupakan suatu tindakan yang dilakukan secara terus
menerus secara simultan, sedangkan Urf ialah kegiatan-kegiatan yang timbul pada
masyarakat yang dianggap sebagai perbuatan dengan motif kebajikan yang dapat
dilakukan kembali atas landasan moralitas.
Secara terminologi, istilah ‘Urf cenderung lebih digunakan dalam Ushul Fiqh daripada
istilah Adah, Secara terminology ‘Urf adalah sesuatu yang telah dikenal oleh orang
banyak dan telah dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi tradisi (kebiasaan) mereka,
baik berupa perkataan atau perbuatan. ‘Urf tersebut terbentuk dari saling pengertian
orang banyak, sekalipun mereka berlainan stratifikasi (kalangan awam dan elite) sosial
mereka.4 Sehingga kebanyakan ulama fiqh sepakat bahwa kaidah Al’adah Muhakkamah
dikategorikan sebagai salah satu kaidah (subkategori) yang muncul dalam kategori ‘Urf.
Hukum-hukum yang didasarkan pada‘Urf dapat dirubah seiring perubahan zaman dan
perubahan asalnya. Karena itu, para Fuqaha berkata: “perselisihan itu adalah
perselisihan tempat dan zaman, bukan perselisihan hujjah dan bukti”.5
Berbeda dengan Ijma’ ulama yang cenderung lebih konsisten karena dibentuk oleh
kesepakatan para mujtahid, ‘Urf dapat berubah seiring dengan perubahan perilaku orangorang yang menjadi bagian dari suatu umat. Apabila ‘Urf ditentang oleh sebagian
kelompok maka tidaklah hal tersebut membatalkan kedudukan dari ‘Urf, tetapi jika ijma’
tidak disepakati oleh salah satu mujtahid maka hal tersebut membatalkan kedudukan
ijma.6 Oleh karena itu perlu ditelaah lebih lanjut bagaimana menjadikan suatu kaidah
Al’adah Muhakkamah (kebiasaan yang dijadikan landasan hukum) sebagai bagian dari
‘Urf beserta dengan batasan-batasan dan kondisi yang berlaku untuk penggunana kaidah
tersebut.
B. PEMBAHASAN
3
Al-Bahsin, Dr Yaqub, 2012. Qaidatu Al-Adah Muhakkamah (Arabic version), Maktabah Rusyd.
Riyadh.hal 25
4
Khallaf, Abdul Wahab, 1994 Ilmu Ushul Fiqih, Dina Utama Semarang, Semarang. hal. 123.
5
Syafe’i, Rachmat, 1998 Ilmu Uhul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung. hal. 130-131.
6
Djazuli, 2010. Ilmu Fiqih, Fajar Interpratama Offset, Jakarta, hal. 88.
Secara umum, dalam menjadikan ‘Urf sebagai landasan hukum fiqh, terdapat 4 buah
kaidah yang saling berkaitan dengan ‘Urf. Kaidah-kaidah ushul fiqh yang muncul dari
pembahasan mengenai ‘Urf adalah:
1.
العادة حكمة
(adat itu dapat dijadikan hukum)
2.
تغّ اأحكم بتغّ اأزم ة واأمك ة
ا ي كر ر
(tidak di ingkari perubahan hukum disebabakan perubahan zaman dan tempat)
3.
امعروف عرفا كا امشروط شرطا
( yang baik itu menjadi ‘urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat)
4.
اص
الثابت االعرف كاالثابت االر ر
(yang ditetapkan melalui ‘urf sama dengan yang ditetapkan melalaui nash (nash atau
hadist)7
Dari keempat kaidah tersebut, makalah ini hanya membatasi pada kaidah no 1, karena
kaidah no 1 tersebut menjadi kaidah primer bagi ketiga kaidah yang lainnya.
a.
Argumentasi ‘Urf
Adapun kehujjahan (alasan) ‘Urf sebagai dalil syara’ didasarkan atas firman Allah pada
surat al-A’raf: 199
ِ ْٰ ف وأَع ِرض ع ِن
ِ
ِ
ي
َ ْ ْ َ ُخذ ٱلْ َع ْف َو َوأْ ُم ْر بِٱلْعُ ْر
َ ٱلَ ِهل
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta
berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”. (QS. al-A’raf: 199)
Landasan argumentasi yang lain ialah Hadits yangdiriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud berikut
ini,
7
Umam, Khariul dan Ahyar Aminuddin. 2001. Ushul Fiqh II . Pustaka Setia. Bandung, hal 168
)ابن مسعود.( ما را امسلمون حس ا فهو ع د ه حسن ما را امسلمون قبىحا فهو ع د ه قبىح
Artinya: “Apa saja yang dipandang baik oleh umat Islam baik juga di sisi Allah “.(HR.
Ibnu Mas’ud)8.
Kedua dalil naskhi9 diatas menjadi salah satu landasan pemikiran mengenai
diperbolehkannya Urf menjadi landasan istinbath hukum syara’. Adapun Hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud merupakan hadits hasan. Meskipun belum mencapai
hadits sohih, hadits tersebut bukanlah hadits dhoif atau munkar10 sehingga tidak menutup
kemungkinan pengambilan manfaat dari hadits tersebut.
b.
Kedudukan ‘Urf dalam perspektif Imam-imam madzhab
Pada dasarnya, semua ulama menyepakati kedudukan ‘urf shahih sebagai salah satu dalil
syara’. Akan tetapi, di antara mereka terdapat perbedaan pendapat dari segi intensitas
penggunaannya sebagai dalil. Dalam hal ini, ulama Hanafiyah dan Malikiyah adalah yang
paling banyak menggunakan ‘Urf sebagai dalil dibandingkan ulama Syafi’iyah dan
Hambaliyah. Ulama Malikiyah terkenal dengan pernyataan mereka yaitu amal ulama
Madinah lah yang mereka jadikan hujjah. Demikaan pula ulama Hanafiyah menjadikan
pendapat ulama Kufah sebagai hujjah. Imam Syafi’i terkenal dengan qaul qadim dan qaul
jadid. Ada suatu kejadian tetapi beliau menetapkan hukum yang berbeda pada waktu
beliau masih berada di Makkah (qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul
jadid). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan ‘Urf.11
Adapun kehujjahan (alasan) ‘Urf. sebagai dalil syara’ didasarkan atas firman Allah pada
surat al-A’raf: 199
ِ ْٰ ف وأَع ِرض ع ِن
ِ
ِ
ي
َ ْ ْ َ ُخذ ٱلْ َع ْف َو َوأْ ُم ْر بِٱلْعُ ْر
َ ٱلَ ِهل
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta
berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”. (al-A’raf: 199)
8
Zarqa, Ahmad bin Syaikh, 1989. Syarhu Qowaid Fiqhiyyah. Darul Qolam. Damaskus. Hal 219.
Dalil Naskhi ialah dalil yang terdapat pada ayat Quran maupun Hadits. Sedangkan dalil ‘Aqli
merupakan dalil yang berasal dari pemikiran manusia (Ijtihad).
10
Hadits Dhoif dan Hadits Munkar dapat dikategorikan sebagai hadits palsu yang tidak dapat dibuktikan
keabsahannya dan ditolak sebagai landasan hukum syariat.
11
Umar, Muin, dkk, 1985. Ushul Fiqih, Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi
Agama/IAIN, Jakarta, hal. 152-153.
9
Melalui ayat di atas, Allah memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan yang
ma’ruf. Sedangkan yang dimaksud ma’ruf sendiri ialah yang dinilai oleh kaum muslimin
sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-ulang dan tidak bertentangan dengan watak
manusia yang benar, dan yang dibimbing oleh prinsip-prinsip umum ajaran islam.
Kehujjahan lain didasarkan pada sahabat Rasulullah; Abdullah bin Mas’ud yang berkata:
”sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik di sisi Allah, dan sesuatu yang
mereka nilai buruk maka buruk juga di sisi Allah.” Jadi ungkapan di atas menunjukkan
bahwa kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku di dalam masyarakat muslim dan sejalan
dengan tuntunan umum syariat islam adalah sesuatu yang baik di sisi Allah.
Berdasarkan dua hujjah di atas maka tidak diragukan lagi bahwa tradisi masyarakat (‘Urf)
dapat menjadi dalil syara’ mengingat bahwa hanya ‘‘Urf shahih yang dapat dijadikan
sebagai salah satu metode istinbath (deduksi) hukum islam.
Kedudukan‘Urf sebagai dalil syara’ dapat diaplikasikan dalam pemberian batasan
terhadap pengertian yang disebut al-hirz (barang yang terpelihara), berkaitan dengan
barang yang dicuri, sehingga hukum potong tangan dapat dijatuhkan terhadap pencuri.
Oleh karena itu, untuk menentukan batasan pengertiannya diserahkan kepada ketentuan
‘Urf. Demikian juga tentang lamanya masa tenggang waktu maksimum tanah yang
ditelantarkan oleh pemilik tanah pertama, untuk bolehnya orang lain menggarap tanah
tersebut (ihya’ al-mayat), ditentukan oleh ‘Urf yang berlaku dalam masyarakat.12
Sebagai adat kebiasaan atau tradisi, ‘Urf dapat berubah karena adanya perubahan waktu
dan tempat. Sehingga, hukum-hukum terdahulu dapat berubah mengikuti perubahan ‘Urf
(urf shahih) yang telah menjadi hukum syara’ tersebut. Seperti ulama salaf yang
berpendapat bahwa seseorang tidak boleh menerima upah sebagai guru yang mengajarkan
Al-Qur’an, shalat, puasa dan haji. Demikian juga, tidak boleh menerima honor sebagai
imam masjid dan muadzin. Sebab kesejahteraan mereka (dulu) telah ditanggung oleh bait
al-mal. Akan tetapi karena perubahan zaman mengakibatkan bait al-mal tidak lagi
mampu menjalankan fungsi tersebut. Maka, ‘Urf shahih di sini mampu menggantikan
pendapat ulama terdahulu dengan kesimpulan bahwa ‘Urf dapat dijadikan sebagai salah
satu metode istinbat hukum islam dan mengubah hukum terdahulu sesuai dengan
perkembangan zaman selama tidak bertentangan dengan nash.13
12
13
Dahlan, Abdur Rahman., 2011, Ushul Fiqih, Sinar Grafika Offset. Jakarta, hal. 212-214.
Ibid, hal. 217-218.
c.
Macam-macam Urf
Meskipun ‘Urf dapat dianggap sebagai salah satu landasan pengambilan hukum Islam
oleh para ulama fiqih maupun ulama ushul fiqh, tidak serta merta menjadikan seluruh
‘Urf dapat diterima sebagai syara’. Terdapat juga beberapa pengelompokan macammacam ‘Urf. ‘Urf dari segi kualitas atau keabsahannya dapat dibedakan menjadi ‘urf
shahih dan ‘urf fasid.
1. ‘Urf Shahih (‘urf yang sah)
‘Urf Shahih merupakan adat masyarakat yang sesuai dan tidak bertentangan dengan
hukum islam, karena adat ini tidak mengubah ketentuan hukum islam seperti mengubah
haram menjadi halal atau sebaliknya.14
‘Urf shahih wajib dipelihara dalam pembentukan hukum dan dalam peradilan. Seorang
mujtahid haruslah memperhatikan tradisi dalam pembentukan hukumnya. Seorang hakim
juga harus memperhatikannya dalam peradilannya. Karena sesungguhnya sesuatu yang
telah menjadi adat manusia dan sudah biasa mereka jalani, maka hal ini sudah menjadi
bagian dalam hidup mereka dan sesuai pula dengan kemaslahatan mereka. Oleh karena
itu, ‘urf wajib diperhatikan atau dipelihara selama tidak bertentangan dengan syara’.15
2. ‘Urf Fasidh (‘urf yang rusak)
‘Urf fasid merupakan kebiasaan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan hukum islam,
dengan kata lain kebiasaan ini mengubah hukum islam dari halal menjadi haram.
Contohnya seperti yang telah terbiasa dalam masyarakat tentang menghalalkan minuman
keras yang memabukkan dan kebiasaan menghamburkan harta.16
Para ulama’ sepakat bahwa ‘urf fasidh tidak dapat menjadi landasan hukum dan kebiasaan
tersebut ialah ‘batal demi hukum’. Oleh karena itu dalam rangka meningkatkan
pemasyarakatan dan pengamalan hukum Islam pada masyarakat, sebaiknya dilakukan
dengan cara yang ma’ruf yaitu mengubah adat yang bertentangan dengan ketentuan ajaran
Islam tersebut.17 ‘Urf Fasidh tidak diharuskan untuk memeliharanya karena memelihara
‘urf fasidh berarti menentang atau membatalkan dalil syara’. Apabila manusia telah saling
mengerti akad-akad yang rusak, seperti gharar (tipuan dan membahayakan), maka bagi
‘Urf ini tidak mempunyai pengaruh dalam membolehkannya.
14
Ibid, hal. 210-211.
Khallaf, Abdul Wahab, 1994 Ilmu Ushul Fiqih, Dina Utama Semarang, Semarang, hal. 124.
16
Djazuli, 2010, Ilmu Fiqih, Fajar Interpratama Offset. Jakarta, hal. 90.
17
Dahlan, Abdur Rahman., 2011, Ushul Fiqih, Sinar Grafika Offset. Jakarta, hal. 211.
15
Hukum-hukum yang didasarkan ‘Urf dapat berubah menurut perubahan zaman dan
perubahan asalnya. Karena itu, para Fuqaha berkata: “perselisihan itu adalah perselisihan
tempat dan zaman, bukan perselisihan hujjah dan bukti”.18
Ditinjau dari cakupan atau jangkauannya, ‘Urf dapat dibagi menjadi dua yaitu: ‘urf amm
dan ‘urf khassah.
1. ‘Urf Amm
‘Urf amm adalah kebiasaan yang bersifat umum dan berlaku bagi sebagian besar
masyarakat dalam berbagai wilayah yang luas. Seperti membayar ongkos dengan
kendaraan umum dengan harga tertentu tanpa perincian jauh atau dekatnya jarak yang
ditempuh dan hanya dibatasi jarak tempuh maksimum. Demikian juga, seperti membayar
sewa penggunaan tempat pemandian umum dengan harga tiket masuk tertentu tanpa
membatasi fasitas dan jumlah air yang digunakan, kecuali hanya membatasi pemakaian
dari segi waktunya saja.
2. ‘Urf Khassah.
‘Urf khassah adalah kebiasaan yang berlaku secara khusus pada suatu lingkup masyarakat
atau wilayah tertentu. Misalnya dikalangan para pedagang apabila terdapat cacat tertentu
pada barang yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk cacat lainnya dalam barang itu,
konsumen tidak dapat mengembalikan barang tersebut. Atau juga kebiasaan mengenai
penentuan masa garansi terhadap barang tertentu.19
d.
Syarat dan Rukun Kaidah Al’adah Muhakkamah20
Dalam membahas kaidah Al’adah Muhakkamah, dua buah pembahasan yang perlu
ditelaah ialah kata Al-‘adah dan kata Al-Muhakkamah. Kedua kata tersebut merupakan
suatu susunan dalam bahasa Arab yang membentuk pemahaman bagaimana adat kebiasan
(al-‘adah) diperlakukan sebagai suatu dalil pekerjaan proses istinbath hukum (tahkim).
Maka perlu ada kejelasasan, adat yang seperti apa dan juga perlu ada kejelasan proses
istinbath yang seperti apa sehingga kaidah tersebut dapat berlaku dengan absah.
Syafe’i, Rachmat, 1998 Ilmu Uhul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, hal. 130-131.
Dahlan, Abdur Rahman., 2011, Ushul Fiqih, Sinar Grafika Offset. Jakarta, hal. 210
20
Al-Bahsin, Dr Yaqub, 2012. Qaidatu Al-Adah Muhakkamah (Arabic version), Maktabah Rusyd. Riyadh.
Hal 57-68.
18
19
Rukun kaidah:
1. Rukun pertama ialah Al’adah atau Urf itu sendiri
Menurut Syekh Fahmi Abu Sinnah, esensi pengertian dari Al’adah itu sendiri merupakan
sesuatu yang terjadi berulang-ulang, entah itu secara sengaja maupun tidak disengaja oleh
masyarakat. Sehingga menurutnya dalam Al’adah juga harus memiliki dua rukun utama:
(i) Pelaksanaan yang berulang-ulang. (ii) Tindakan tersebut dapat diterima oleh
masyarakat berakal ataupun oleh mayoritas umat.
Sedangkan para praktisi hukum Islam mengutarakan bahwa terjadinya suatu Al’adah
maupun
‘Urf,
ialah
karena
adanya
kepercayaan
pada
masyarakat
yang
melakukannya.bahwa hal tersebut merupakan hal yang lazim. Terdapat dua unsur utama
dalam pembahasan mengenai munculnya kaidah yang berkaitan dengan ‘Urf, unsur
tersebut ialah (i) unsur materi, yaitu adanya keterlibatan masyarakat dalam pelestarian
kegiatan tersebut. (ii) unsur non-materi, yaitu mengakui dengan kepercayaan yang kuat
terhadap perlunya kebiasaan tersebut. Kedua unsur tersebutlah yang memegang peranan
dalam implementasi dari qaidah urfiyah21 yang dapat dijadikan landasan istinbath hukum.
Yang perlu digarisbawahi ialah, kedudukan ‘Urf tidak akan memiliki kekuatan hukum
apapun apabila bertentangan dengan syariat Islam yang sudah jelas tercantum dalam
Quran maupun Hadits. Sedangkan para fuqaha menegaskan bahwa ‘Urf tersebut haruslah
sesuatu yang dapat diterima dengan alasan logis, sehingga logisme yang simultan akan
menjadi rukun.
Adanya perbedaan pendapat antara para fuqaha dan praktisi hukum Islam, menjadikan
suatu ringkasan mengenai rukun yang sebenarnya dari ‘Urf maupun Al’adah22.
a. (Al-Mu’tad) Subjek, atau adanya pelaku suatu ‘Urf atau Al’adah.
b. (Al-Mu’tad alaih) Objek ‘Urf berupa perbuatan yang dilakukan bisa berbentuk
lisan maupun tindakan, adanya suatu aktifitas Urf atau Al’adah
c. (Al-I’tiyad) Kontinu, adanya perulangan yang menjadi kebiasaan
21
22
Qaidah urfiyah, adalah segala jenis qaidah-qaidah yang berkaitan dengan Urf
Ibid, hal 60.
2. Rukun kedua ialah Muhakkamah, mengenai proses tahkim terhadap Urf maupun
Al’adah
Adapun Muhakkamah merupakan fi’l maf’ul dari kata Hakkama, sehingga artinya hukum
tentang sesuatu akan diserahkan kepada kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Akan
tetapi, sebelum ‘Urf dijadikan sebagai sandaran istinbath, terdapat syarat-syarat dalam
proses pembentukan hukum tersebut (tahkim) sebagai implementasi kaidah Al’adah
Muhakkamah.
Syarat kaidah:
1.
Syarat pembentukan dan eksistensi adat kebiasaan:
a. Adat tersebut diakui mayoritas, diketahui oleh sebagian besar golongan suatu
masyarakat, meskipun terdapat beberapa sebagaian kecil yang tidak mengikuti
tapi tetap mengakuinya.
b. Terjadi secara umum, tidak terjadi secara khusus untuk golongan atau strata sosial
tertentu, melainkan berlaku untuk seluruh masyarakat muslim.
2.
Syarat pemberlakuan kaidah:
a. Haruslah terpenuhi syarat dan rukun yang sudah disebutkan diatas.
b. Haruslah ada suatu kejadian yang dimaksudkan untuk berlakunya kaidah tersebut
sesuai dengan dalil Quran dan Hadits. Sehingga kaidah tersebut tidaklah
digunakan secara tidak sengaja (accidental).
c. Tidak bertujuan untuk berlawanan atau bertentangan dengan dalil naskhi yang
sudah terdapat pada Quran dan Hadits.
d. Urf tersebut sudah berlaku sebelumnya, sehingga penetapan Qaidah bukanlah
untuk melegitimasi Urf yang belum terjadi.
e. Suatu kejadian yang akan dihukumi haruslah memang berkaitan dengan
pelestarian ‘Urf dan adat kebiasaan yang ada dan telah berkembang di masyarakat.
f. Kaidah tersebut bukan untuk menyelisihi dalil lain yang lebih tepat sebagai
rujukan istinbath hukum pada masalah tertentu.
e.
Kondisi terkait pengunaan Kaidah Al’adah Muhakkamah
Meskipun sudah dibahas, namun dalam pembahasan yang lebih mendetail ada juga
beberapa kondisi yang berkaitan dengan penggunaan kaidah Al-‘adah Muhakkamah.
1.
Kondisi ketika ‘Urf yang terjadi seiring dengan munculnya Nash23 pada masa
Rasulullah
Apabila ‘Urf tersebut berupa ucapan, maka Jumhur Ulama24 dari Hanafiyah, Malikiyah,
dan Syafi’iyah memandang lafadz ucapan tersebut diangap sebagai bagian dari lafz qayd
mutlaq dan takhsis ‘amm, kecuali sebagian dari ulama Hanabilah, tidak memandang
sebagai konsep lafz qayd mutlaq25 dan takhsis ‘amm.
Artnya ialah, harus ada makna khusus yang tersirat dari suatu ucapan yang dipahami oleh
publik sebagai ungkapan terhadap makna khusus yang dimaksud. Bukan sebagai makna
lafaz yang umum26. Seperti perintah pelaksanaan haji, secara tersirat dalam Hadits sohih
yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim dan Nasa’i, pelaksanaan haji pada Hadits
tersebut, ialah haji yang sesuai dengan syariat Islam, sebagai salah satu Rukun Islam,
bukan kebiasaan haji seperti yang terjadi pada masa sebelum datangnya Islam.
2.
Kondisi ‘Urf yang muncul setelah munculnya Nash
Terdapat tiga macam sikap yang diambil dalam menanggapi persolan Urf yang muncul
setelah munculnya Nash.
a. Bahwa ‘Urf yang bertentangan atau menyalahi Nash, sudah jelas pasti ditolak.
Contohnya ialah pelarangan segala jenis kebiasaan Riba dan Khamr pada masa
Nabi Muhammad saw dan segala macamnya modifikasi produk yang menyerupai
hal tersebut di masa selanjutnya.
b. Apabila ‘Urf yang baru tersebut dapat dikembalikan hukumnya kepada hukum
asal yang terdapat pada Nash atau Ijma ulama sebelumnya, maka ‘Urf tersebut
dapat sah menjadi sandaran istinbath hukum. Tapi apabila tidak bisa dikembalikan
ke hukum asalnya, maka ‘Urf tersebut ditolak.
c. Apabila ‘Urf tersebut jelas bertentangan dengan Nash, maka dilakukan dua
pendekatan yang lain:
23
Kemunculan Nash dapat diartikan sebagai kemunculan ajaran Islam yang dibawa pada zaman
datangnya Naba Muhammad saw. Nash diartikan sebagai ajaran yang tertulis dalam Quran dan Hadits.
24
Jumhur Ulama merupakan istilah yang diartikan dengan mayoritas Ulama dari berbagai madzhab.
Hanafiah adalah ulama pengikut Imam Abu Hanifah, Malikiyah adalah pengikut Imam Malik, Syafi’iyah
adalah pengikut Imam Syafi’I, dan Hanabilah adalah pengikut Imam Ibnu Hambal.
25
Lafaz mutlaq dan muqayyad merupakan istilah dalam ilmu Ushul Fiqh yang digunakan dalam
menginterpretasikan suatu lafaz antara makna yang terkait dengan suatu makna lain atau makna yang
berdiri sendiri.
26
Lafaz umum dan lafaz khos merupakan istilah dalam ilmu Ushul Fiqh yang digunakan dalam
menginterpretasikan suatu lafaz berdasarkan maksud umum atau maksud spesifik.
-
Pendekatan terhadap Nash yang terkait, apakah memiliki elemen ‘Urf yang terjadi
pada masa munculnya Nash, sehingga ketika ‘Urf pada Nash tersebut telah
berubah maka karakteristik hukumnya pun ikut berubah.
-
Nash yang terkait beserta dengan Illah-nya menolak dengan jelas ‘Urf tersebut
secara tekstual maupun secara kontekstual (ijtihadi).
C. KESIMPULAN
Kaidah dalam menentukan suatu adat kebiasaan yang terjadi pada masyarakat sebagai
suatu sandran dalam Istinbath hukum islam, tidak serta merta dapat terjadi begitu saja.
Terdapat berbagai rukun, syarat, prasyarat, dan terutama kondisi yang harus dipenuhi
sehingga adat kebiasaan suatu masyarakat dapat dianggap sebagai landasan hukum.
Al’adah Muhakkamah sebagai salah satu qaidah fiqhiyah dalam menggunakan urf,
memiliki karakteristik dan perlakuan yang tersendiri dan terkodifikasi dengan baik oleh
para ulama ushul fiqh. Sehingga kebiasaan yang terjadi pada masyarakat yang tidak ada
hukumnya dalam Nash, dapat menjadi sandaran pemikiran hukum Islam. Penggunaan
qaidah Al’adah Muhakkamah juga dapat berlaku dengan kondisi-kondisi tertentu yang
ditinjau dari segala aspek.
Urf yang dapat berlaku di dalamnya kaidah Al’adah Muhakkamah perlu ditinjau
berdasarkan Nash Quran dan Hadits yang juga mengandung berbagai jenis pembahasan
mengenai Urf yang pernah terjadi pada saat kemunculan Islam di masa Nabi Muhammad
saw. Al’adah haruslah ditentukan berupa lisan maupun perbuatan sebagai bentuk urf yang
tidak bertentang dengan syara’. Muhakkamah sebagai bagian dari proses istinbath hukum
(tahkim) haruslah dilakukan sesuai dengan proses-proses yang berlaku dalam kaidah
ushuliyyah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bahsin, Dr Yaqub, 2012. Qaidatu Al-Adah Muhakkamah (Arabic version), Maktabah
Rusyd. Riyadh.
Dahlan, Abdur Rahman., 2011, Ushul Fiqih, Sinar Grafika Offset. Jakarta
Djazuli, 2010, Ilmu Fiqih, Fajar Interpratama Offset. Jakarta.
Hakim, Abdul Hamid, 1927. Mabadi’ Awwaliyah, Al-Maktabah asSa’adiyah Putra, tth.
Jakarta.
Khallaf, Abdul Wahab., 1994 Ilmu Ushul Fiqih, Semarang: Dina Utama Semarang.
Rachmat Syafe’i, 1998. Ilmu Uhul Fiqih,: Pustaka Setia, Bandung.
Umam, Khairul dan Ahyar Aminuddin. 2001. Ushul Fiqh II . Pustaka Setia. Bandung.
Zarqa, Ahmad bin Syaikh, 1989. Syarhu Qowaid Fiqhiyyah (Arabic version). Darul
Qolam. Damaskus.
http://abdeljalil-mabrour.blogspot.sg/2013/12/blog-post_4956.html
http://majles.alukah.net/t59528/ أبويوسف البد
‘URF
Adat Kebiasaan Pada Masyarakat Sebagai Dalil Syariah
Oleh: Firdauska Darya Satria S.Sy.,ST.1
Email: [email protected]
ABSTRAK
Dalam implementasi hukum syariah, metode deduksi hukum dalam Islam dikenal juga
dengan suatu disiplin ilmu yang bernama Ushul Fiqh. Beberapa subjek pembahasan
antar ulama fiqih yang sering berbeda pendapat ialah Istihsan, Saddu’Dzara’i, Syar’u
man qablana, Maslahah Mursalah, dan Urf. Urf sendiri diterjemahkan secara bebas
sebagai adat kebiasaan yang ada pada masyarakat. Terdapat beberapa perbedaan
pendapat antar ulama fiqh dalam menjadikan Urf dan Adat sebagai salah landasan
dalam pengambilan hukum syariah. Dalam menjadikan Urf sebagai salah satu landasan
syariah, salah satu kaidah ushuliyah yang dapat digunakan ialah dengan kaidah Al’adah
Muhakkamah ()العادة محكمة. Kaidah tersebut memungkinkan suatu adat kebiasaan yang
terdapat pada masyarakat digunakan sebagai landasan hukum syar’i. Tentunya terdapat
beberapa hal yang perlu ditinjau mengenai kriteria kebiasaan masyarakat yang
kemudian dapat digunakan sebagai sandaran dalam proses istnbath (deduksi) hukum
syariah.
Kata kunci: ushul fiqh, fiqh, qaidah, syariah, ‘urf, adat.
A. PENDAHULUAN
Sebagai tinjauan terhadap bagian dari Urf, maka kaidah Al’adah Muhakkamah akan
melewati beberapa pembahasan mengenai Urf yang akan dijabarkan terlebih dahulu
secara gamblang berdasarkan referensi-referensi yang ada. Kaidah Al’adah Muhakkamah
merupakan suatu kaidah yang melandaskan adat kebiasaan pada masyarakat menjadi
landasan hukum syariah selama tidak bertentangan dengan dalil Qur’an dan Hadits.
Eksistensi kaidah Al’adah Muhakkamah2 timbul dikarenakan banyak fenomenafenomena hukum pada masyarakat yang semakin berkembang seringkali fenomena
tersebut tidak terdapat secara tekstual, baik dalam Quran maupun Hadits sehingga adat
kebiasaan (urf) yang sudah ada pada masyarakat dapatlah dianggap sebagai suatu dalil
syar’i.
Dalam literasi bahasa Arab, terdapat 2 kata yang bermakna adat kebiasaan yaitu Al-‘Adah
dan Urf memiliki kemiripan makna secara harfiah. Meskipun memiliki makna yang
1
2
Mahasiswa Magister Ekonomi Syariah Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, 2015.
Hakim, Abdul Hamid, 1927. Mabadi’ Awwaliyah, Al-Maktabah asSa’adiyah Putra, tth. Jakarta. Hal 37.
serupa, para ulama fiqih cenderung untuk membahasnya sebagai dua hal yang terpisah.
Secara etimologis3, Al-‘Adah merupakan suatu tindakan yang dilakukan secara terus
menerus secara simultan, sedangkan Urf ialah kegiatan-kegiatan yang timbul pada
masyarakat yang dianggap sebagai perbuatan dengan motif kebajikan yang dapat
dilakukan kembali atas landasan moralitas.
Secara terminologi, istilah ‘Urf cenderung lebih digunakan dalam Ushul Fiqh daripada
istilah Adah, Secara terminology ‘Urf adalah sesuatu yang telah dikenal oleh orang
banyak dan telah dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi tradisi (kebiasaan) mereka,
baik berupa perkataan atau perbuatan. ‘Urf tersebut terbentuk dari saling pengertian
orang banyak, sekalipun mereka berlainan stratifikasi (kalangan awam dan elite) sosial
mereka.4 Sehingga kebanyakan ulama fiqh sepakat bahwa kaidah Al’adah Muhakkamah
dikategorikan sebagai salah satu kaidah (subkategori) yang muncul dalam kategori ‘Urf.
Hukum-hukum yang didasarkan pada‘Urf dapat dirubah seiring perubahan zaman dan
perubahan asalnya. Karena itu, para Fuqaha berkata: “perselisihan itu adalah
perselisihan tempat dan zaman, bukan perselisihan hujjah dan bukti”.5
Berbeda dengan Ijma’ ulama yang cenderung lebih konsisten karena dibentuk oleh
kesepakatan para mujtahid, ‘Urf dapat berubah seiring dengan perubahan perilaku orangorang yang menjadi bagian dari suatu umat. Apabila ‘Urf ditentang oleh sebagian
kelompok maka tidaklah hal tersebut membatalkan kedudukan dari ‘Urf, tetapi jika ijma’
tidak disepakati oleh salah satu mujtahid maka hal tersebut membatalkan kedudukan
ijma.6 Oleh karena itu perlu ditelaah lebih lanjut bagaimana menjadikan suatu kaidah
Al’adah Muhakkamah (kebiasaan yang dijadikan landasan hukum) sebagai bagian dari
‘Urf beserta dengan batasan-batasan dan kondisi yang berlaku untuk penggunana kaidah
tersebut.
B. PEMBAHASAN
3
Al-Bahsin, Dr Yaqub, 2012. Qaidatu Al-Adah Muhakkamah (Arabic version), Maktabah Rusyd.
Riyadh.hal 25
4
Khallaf, Abdul Wahab, 1994 Ilmu Ushul Fiqih, Dina Utama Semarang, Semarang. hal. 123.
5
Syafe’i, Rachmat, 1998 Ilmu Uhul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung. hal. 130-131.
6
Djazuli, 2010. Ilmu Fiqih, Fajar Interpratama Offset, Jakarta, hal. 88.
Secara umum, dalam menjadikan ‘Urf sebagai landasan hukum fiqh, terdapat 4 buah
kaidah yang saling berkaitan dengan ‘Urf. Kaidah-kaidah ushul fiqh yang muncul dari
pembahasan mengenai ‘Urf adalah:
1.
العادة حكمة
(adat itu dapat dijadikan hukum)
2.
تغّ اأحكم بتغّ اأزم ة واأمك ة
ا ي كر ر
(tidak di ingkari perubahan hukum disebabakan perubahan zaman dan tempat)
3.
امعروف عرفا كا امشروط شرطا
( yang baik itu menjadi ‘urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat)
4.
اص
الثابت االعرف كاالثابت االر ر
(yang ditetapkan melalui ‘urf sama dengan yang ditetapkan melalaui nash (nash atau
hadist)7
Dari keempat kaidah tersebut, makalah ini hanya membatasi pada kaidah no 1, karena
kaidah no 1 tersebut menjadi kaidah primer bagi ketiga kaidah yang lainnya.
a.
Argumentasi ‘Urf
Adapun kehujjahan (alasan) ‘Urf sebagai dalil syara’ didasarkan atas firman Allah pada
surat al-A’raf: 199
ِ ْٰ ف وأَع ِرض ع ِن
ِ
ِ
ي
َ ْ ْ َ ُخذ ٱلْ َع ْف َو َوأْ ُم ْر بِٱلْعُ ْر
َ ٱلَ ِهل
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta
berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”. (QS. al-A’raf: 199)
Landasan argumentasi yang lain ialah Hadits yangdiriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud berikut
ini,
7
Umam, Khariul dan Ahyar Aminuddin. 2001. Ushul Fiqh II . Pustaka Setia. Bandung, hal 168
)ابن مسعود.( ما را امسلمون حس ا فهو ع د ه حسن ما را امسلمون قبىحا فهو ع د ه قبىح
Artinya: “Apa saja yang dipandang baik oleh umat Islam baik juga di sisi Allah “.(HR.
Ibnu Mas’ud)8.
Kedua dalil naskhi9 diatas menjadi salah satu landasan pemikiran mengenai
diperbolehkannya Urf menjadi landasan istinbath hukum syara’. Adapun Hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud merupakan hadits hasan. Meskipun belum mencapai
hadits sohih, hadits tersebut bukanlah hadits dhoif atau munkar10 sehingga tidak menutup
kemungkinan pengambilan manfaat dari hadits tersebut.
b.
Kedudukan ‘Urf dalam perspektif Imam-imam madzhab
Pada dasarnya, semua ulama menyepakati kedudukan ‘urf shahih sebagai salah satu dalil
syara’. Akan tetapi, di antara mereka terdapat perbedaan pendapat dari segi intensitas
penggunaannya sebagai dalil. Dalam hal ini, ulama Hanafiyah dan Malikiyah adalah yang
paling banyak menggunakan ‘Urf sebagai dalil dibandingkan ulama Syafi’iyah dan
Hambaliyah. Ulama Malikiyah terkenal dengan pernyataan mereka yaitu amal ulama
Madinah lah yang mereka jadikan hujjah. Demikaan pula ulama Hanafiyah menjadikan
pendapat ulama Kufah sebagai hujjah. Imam Syafi’i terkenal dengan qaul qadim dan qaul
jadid. Ada suatu kejadian tetapi beliau menetapkan hukum yang berbeda pada waktu
beliau masih berada di Makkah (qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul
jadid). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan ‘Urf.11
Adapun kehujjahan (alasan) ‘Urf. sebagai dalil syara’ didasarkan atas firman Allah pada
surat al-A’raf: 199
ِ ْٰ ف وأَع ِرض ع ِن
ِ
ِ
ي
َ ْ ْ َ ُخذ ٱلْ َع ْف َو َوأْ ُم ْر بِٱلْعُ ْر
َ ٱلَ ِهل
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta
berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”. (al-A’raf: 199)
8
Zarqa, Ahmad bin Syaikh, 1989. Syarhu Qowaid Fiqhiyyah. Darul Qolam. Damaskus. Hal 219.
Dalil Naskhi ialah dalil yang terdapat pada ayat Quran maupun Hadits. Sedangkan dalil ‘Aqli
merupakan dalil yang berasal dari pemikiran manusia (Ijtihad).
10
Hadits Dhoif dan Hadits Munkar dapat dikategorikan sebagai hadits palsu yang tidak dapat dibuktikan
keabsahannya dan ditolak sebagai landasan hukum syariat.
11
Umar, Muin, dkk, 1985. Ushul Fiqih, Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi
Agama/IAIN, Jakarta, hal. 152-153.
9
Melalui ayat di atas, Allah memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan yang
ma’ruf. Sedangkan yang dimaksud ma’ruf sendiri ialah yang dinilai oleh kaum muslimin
sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-ulang dan tidak bertentangan dengan watak
manusia yang benar, dan yang dibimbing oleh prinsip-prinsip umum ajaran islam.
Kehujjahan lain didasarkan pada sahabat Rasulullah; Abdullah bin Mas’ud yang berkata:
”sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik di sisi Allah, dan sesuatu yang
mereka nilai buruk maka buruk juga di sisi Allah.” Jadi ungkapan di atas menunjukkan
bahwa kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku di dalam masyarakat muslim dan sejalan
dengan tuntunan umum syariat islam adalah sesuatu yang baik di sisi Allah.
Berdasarkan dua hujjah di atas maka tidak diragukan lagi bahwa tradisi masyarakat (‘Urf)
dapat menjadi dalil syara’ mengingat bahwa hanya ‘‘Urf shahih yang dapat dijadikan
sebagai salah satu metode istinbath (deduksi) hukum islam.
Kedudukan‘Urf sebagai dalil syara’ dapat diaplikasikan dalam pemberian batasan
terhadap pengertian yang disebut al-hirz (barang yang terpelihara), berkaitan dengan
barang yang dicuri, sehingga hukum potong tangan dapat dijatuhkan terhadap pencuri.
Oleh karena itu, untuk menentukan batasan pengertiannya diserahkan kepada ketentuan
‘Urf. Demikian juga tentang lamanya masa tenggang waktu maksimum tanah yang
ditelantarkan oleh pemilik tanah pertama, untuk bolehnya orang lain menggarap tanah
tersebut (ihya’ al-mayat), ditentukan oleh ‘Urf yang berlaku dalam masyarakat.12
Sebagai adat kebiasaan atau tradisi, ‘Urf dapat berubah karena adanya perubahan waktu
dan tempat. Sehingga, hukum-hukum terdahulu dapat berubah mengikuti perubahan ‘Urf
(urf shahih) yang telah menjadi hukum syara’ tersebut. Seperti ulama salaf yang
berpendapat bahwa seseorang tidak boleh menerima upah sebagai guru yang mengajarkan
Al-Qur’an, shalat, puasa dan haji. Demikian juga, tidak boleh menerima honor sebagai
imam masjid dan muadzin. Sebab kesejahteraan mereka (dulu) telah ditanggung oleh bait
al-mal. Akan tetapi karena perubahan zaman mengakibatkan bait al-mal tidak lagi
mampu menjalankan fungsi tersebut. Maka, ‘Urf shahih di sini mampu menggantikan
pendapat ulama terdahulu dengan kesimpulan bahwa ‘Urf dapat dijadikan sebagai salah
satu metode istinbat hukum islam dan mengubah hukum terdahulu sesuai dengan
perkembangan zaman selama tidak bertentangan dengan nash.13
12
13
Dahlan, Abdur Rahman., 2011, Ushul Fiqih, Sinar Grafika Offset. Jakarta, hal. 212-214.
Ibid, hal. 217-218.
c.
Macam-macam Urf
Meskipun ‘Urf dapat dianggap sebagai salah satu landasan pengambilan hukum Islam
oleh para ulama fiqih maupun ulama ushul fiqh, tidak serta merta menjadikan seluruh
‘Urf dapat diterima sebagai syara’. Terdapat juga beberapa pengelompokan macammacam ‘Urf. ‘Urf dari segi kualitas atau keabsahannya dapat dibedakan menjadi ‘urf
shahih dan ‘urf fasid.
1. ‘Urf Shahih (‘urf yang sah)
‘Urf Shahih merupakan adat masyarakat yang sesuai dan tidak bertentangan dengan
hukum islam, karena adat ini tidak mengubah ketentuan hukum islam seperti mengubah
haram menjadi halal atau sebaliknya.14
‘Urf shahih wajib dipelihara dalam pembentukan hukum dan dalam peradilan. Seorang
mujtahid haruslah memperhatikan tradisi dalam pembentukan hukumnya. Seorang hakim
juga harus memperhatikannya dalam peradilannya. Karena sesungguhnya sesuatu yang
telah menjadi adat manusia dan sudah biasa mereka jalani, maka hal ini sudah menjadi
bagian dalam hidup mereka dan sesuai pula dengan kemaslahatan mereka. Oleh karena
itu, ‘urf wajib diperhatikan atau dipelihara selama tidak bertentangan dengan syara’.15
2. ‘Urf Fasidh (‘urf yang rusak)
‘Urf fasid merupakan kebiasaan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan hukum islam,
dengan kata lain kebiasaan ini mengubah hukum islam dari halal menjadi haram.
Contohnya seperti yang telah terbiasa dalam masyarakat tentang menghalalkan minuman
keras yang memabukkan dan kebiasaan menghamburkan harta.16
Para ulama’ sepakat bahwa ‘urf fasidh tidak dapat menjadi landasan hukum dan kebiasaan
tersebut ialah ‘batal demi hukum’. Oleh karena itu dalam rangka meningkatkan
pemasyarakatan dan pengamalan hukum Islam pada masyarakat, sebaiknya dilakukan
dengan cara yang ma’ruf yaitu mengubah adat yang bertentangan dengan ketentuan ajaran
Islam tersebut.17 ‘Urf Fasidh tidak diharuskan untuk memeliharanya karena memelihara
‘urf fasidh berarti menentang atau membatalkan dalil syara’. Apabila manusia telah saling
mengerti akad-akad yang rusak, seperti gharar (tipuan dan membahayakan), maka bagi
‘Urf ini tidak mempunyai pengaruh dalam membolehkannya.
14
Ibid, hal. 210-211.
Khallaf, Abdul Wahab, 1994 Ilmu Ushul Fiqih, Dina Utama Semarang, Semarang, hal. 124.
16
Djazuli, 2010, Ilmu Fiqih, Fajar Interpratama Offset. Jakarta, hal. 90.
17
Dahlan, Abdur Rahman., 2011, Ushul Fiqih, Sinar Grafika Offset. Jakarta, hal. 211.
15
Hukum-hukum yang didasarkan ‘Urf dapat berubah menurut perubahan zaman dan
perubahan asalnya. Karena itu, para Fuqaha berkata: “perselisihan itu adalah perselisihan
tempat dan zaman, bukan perselisihan hujjah dan bukti”.18
Ditinjau dari cakupan atau jangkauannya, ‘Urf dapat dibagi menjadi dua yaitu: ‘urf amm
dan ‘urf khassah.
1. ‘Urf Amm
‘Urf amm adalah kebiasaan yang bersifat umum dan berlaku bagi sebagian besar
masyarakat dalam berbagai wilayah yang luas. Seperti membayar ongkos dengan
kendaraan umum dengan harga tertentu tanpa perincian jauh atau dekatnya jarak yang
ditempuh dan hanya dibatasi jarak tempuh maksimum. Demikian juga, seperti membayar
sewa penggunaan tempat pemandian umum dengan harga tiket masuk tertentu tanpa
membatasi fasitas dan jumlah air yang digunakan, kecuali hanya membatasi pemakaian
dari segi waktunya saja.
2. ‘Urf Khassah.
‘Urf khassah adalah kebiasaan yang berlaku secara khusus pada suatu lingkup masyarakat
atau wilayah tertentu. Misalnya dikalangan para pedagang apabila terdapat cacat tertentu
pada barang yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk cacat lainnya dalam barang itu,
konsumen tidak dapat mengembalikan barang tersebut. Atau juga kebiasaan mengenai
penentuan masa garansi terhadap barang tertentu.19
d.
Syarat dan Rukun Kaidah Al’adah Muhakkamah20
Dalam membahas kaidah Al’adah Muhakkamah, dua buah pembahasan yang perlu
ditelaah ialah kata Al-‘adah dan kata Al-Muhakkamah. Kedua kata tersebut merupakan
suatu susunan dalam bahasa Arab yang membentuk pemahaman bagaimana adat kebiasan
(al-‘adah) diperlakukan sebagai suatu dalil pekerjaan proses istinbath hukum (tahkim).
Maka perlu ada kejelasasan, adat yang seperti apa dan juga perlu ada kejelasan proses
istinbath yang seperti apa sehingga kaidah tersebut dapat berlaku dengan absah.
Syafe’i, Rachmat, 1998 Ilmu Uhul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, hal. 130-131.
Dahlan, Abdur Rahman., 2011, Ushul Fiqih, Sinar Grafika Offset. Jakarta, hal. 210
20
Al-Bahsin, Dr Yaqub, 2012. Qaidatu Al-Adah Muhakkamah (Arabic version), Maktabah Rusyd. Riyadh.
Hal 57-68.
18
19
Rukun kaidah:
1. Rukun pertama ialah Al’adah atau Urf itu sendiri
Menurut Syekh Fahmi Abu Sinnah, esensi pengertian dari Al’adah itu sendiri merupakan
sesuatu yang terjadi berulang-ulang, entah itu secara sengaja maupun tidak disengaja oleh
masyarakat. Sehingga menurutnya dalam Al’adah juga harus memiliki dua rukun utama:
(i) Pelaksanaan yang berulang-ulang. (ii) Tindakan tersebut dapat diterima oleh
masyarakat berakal ataupun oleh mayoritas umat.
Sedangkan para praktisi hukum Islam mengutarakan bahwa terjadinya suatu Al’adah
maupun
‘Urf,
ialah
karena
adanya
kepercayaan
pada
masyarakat
yang
melakukannya.bahwa hal tersebut merupakan hal yang lazim. Terdapat dua unsur utama
dalam pembahasan mengenai munculnya kaidah yang berkaitan dengan ‘Urf, unsur
tersebut ialah (i) unsur materi, yaitu adanya keterlibatan masyarakat dalam pelestarian
kegiatan tersebut. (ii) unsur non-materi, yaitu mengakui dengan kepercayaan yang kuat
terhadap perlunya kebiasaan tersebut. Kedua unsur tersebutlah yang memegang peranan
dalam implementasi dari qaidah urfiyah21 yang dapat dijadikan landasan istinbath hukum.
Yang perlu digarisbawahi ialah, kedudukan ‘Urf tidak akan memiliki kekuatan hukum
apapun apabila bertentangan dengan syariat Islam yang sudah jelas tercantum dalam
Quran maupun Hadits. Sedangkan para fuqaha menegaskan bahwa ‘Urf tersebut haruslah
sesuatu yang dapat diterima dengan alasan logis, sehingga logisme yang simultan akan
menjadi rukun.
Adanya perbedaan pendapat antara para fuqaha dan praktisi hukum Islam, menjadikan
suatu ringkasan mengenai rukun yang sebenarnya dari ‘Urf maupun Al’adah22.
a. (Al-Mu’tad) Subjek, atau adanya pelaku suatu ‘Urf atau Al’adah.
b. (Al-Mu’tad alaih) Objek ‘Urf berupa perbuatan yang dilakukan bisa berbentuk
lisan maupun tindakan, adanya suatu aktifitas Urf atau Al’adah
c. (Al-I’tiyad) Kontinu, adanya perulangan yang menjadi kebiasaan
21
22
Qaidah urfiyah, adalah segala jenis qaidah-qaidah yang berkaitan dengan Urf
Ibid, hal 60.
2. Rukun kedua ialah Muhakkamah, mengenai proses tahkim terhadap Urf maupun
Al’adah
Adapun Muhakkamah merupakan fi’l maf’ul dari kata Hakkama, sehingga artinya hukum
tentang sesuatu akan diserahkan kepada kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Akan
tetapi, sebelum ‘Urf dijadikan sebagai sandaran istinbath, terdapat syarat-syarat dalam
proses pembentukan hukum tersebut (tahkim) sebagai implementasi kaidah Al’adah
Muhakkamah.
Syarat kaidah:
1.
Syarat pembentukan dan eksistensi adat kebiasaan:
a. Adat tersebut diakui mayoritas, diketahui oleh sebagian besar golongan suatu
masyarakat, meskipun terdapat beberapa sebagaian kecil yang tidak mengikuti
tapi tetap mengakuinya.
b. Terjadi secara umum, tidak terjadi secara khusus untuk golongan atau strata sosial
tertentu, melainkan berlaku untuk seluruh masyarakat muslim.
2.
Syarat pemberlakuan kaidah:
a. Haruslah terpenuhi syarat dan rukun yang sudah disebutkan diatas.
b. Haruslah ada suatu kejadian yang dimaksudkan untuk berlakunya kaidah tersebut
sesuai dengan dalil Quran dan Hadits. Sehingga kaidah tersebut tidaklah
digunakan secara tidak sengaja (accidental).
c. Tidak bertujuan untuk berlawanan atau bertentangan dengan dalil naskhi yang
sudah terdapat pada Quran dan Hadits.
d. Urf tersebut sudah berlaku sebelumnya, sehingga penetapan Qaidah bukanlah
untuk melegitimasi Urf yang belum terjadi.
e. Suatu kejadian yang akan dihukumi haruslah memang berkaitan dengan
pelestarian ‘Urf dan adat kebiasaan yang ada dan telah berkembang di masyarakat.
f. Kaidah tersebut bukan untuk menyelisihi dalil lain yang lebih tepat sebagai
rujukan istinbath hukum pada masalah tertentu.
e.
Kondisi terkait pengunaan Kaidah Al’adah Muhakkamah
Meskipun sudah dibahas, namun dalam pembahasan yang lebih mendetail ada juga
beberapa kondisi yang berkaitan dengan penggunaan kaidah Al-‘adah Muhakkamah.
1.
Kondisi ketika ‘Urf yang terjadi seiring dengan munculnya Nash23 pada masa
Rasulullah
Apabila ‘Urf tersebut berupa ucapan, maka Jumhur Ulama24 dari Hanafiyah, Malikiyah,
dan Syafi’iyah memandang lafadz ucapan tersebut diangap sebagai bagian dari lafz qayd
mutlaq dan takhsis ‘amm, kecuali sebagian dari ulama Hanabilah, tidak memandang
sebagai konsep lafz qayd mutlaq25 dan takhsis ‘amm.
Artnya ialah, harus ada makna khusus yang tersirat dari suatu ucapan yang dipahami oleh
publik sebagai ungkapan terhadap makna khusus yang dimaksud. Bukan sebagai makna
lafaz yang umum26. Seperti perintah pelaksanaan haji, secara tersirat dalam Hadits sohih
yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim dan Nasa’i, pelaksanaan haji pada Hadits
tersebut, ialah haji yang sesuai dengan syariat Islam, sebagai salah satu Rukun Islam,
bukan kebiasaan haji seperti yang terjadi pada masa sebelum datangnya Islam.
2.
Kondisi ‘Urf yang muncul setelah munculnya Nash
Terdapat tiga macam sikap yang diambil dalam menanggapi persolan Urf yang muncul
setelah munculnya Nash.
a. Bahwa ‘Urf yang bertentangan atau menyalahi Nash, sudah jelas pasti ditolak.
Contohnya ialah pelarangan segala jenis kebiasaan Riba dan Khamr pada masa
Nabi Muhammad saw dan segala macamnya modifikasi produk yang menyerupai
hal tersebut di masa selanjutnya.
b. Apabila ‘Urf yang baru tersebut dapat dikembalikan hukumnya kepada hukum
asal yang terdapat pada Nash atau Ijma ulama sebelumnya, maka ‘Urf tersebut
dapat sah menjadi sandaran istinbath hukum. Tapi apabila tidak bisa dikembalikan
ke hukum asalnya, maka ‘Urf tersebut ditolak.
c. Apabila ‘Urf tersebut jelas bertentangan dengan Nash, maka dilakukan dua
pendekatan yang lain:
23
Kemunculan Nash dapat diartikan sebagai kemunculan ajaran Islam yang dibawa pada zaman
datangnya Naba Muhammad saw. Nash diartikan sebagai ajaran yang tertulis dalam Quran dan Hadits.
24
Jumhur Ulama merupakan istilah yang diartikan dengan mayoritas Ulama dari berbagai madzhab.
Hanafiah adalah ulama pengikut Imam Abu Hanifah, Malikiyah adalah pengikut Imam Malik, Syafi’iyah
adalah pengikut Imam Syafi’I, dan Hanabilah adalah pengikut Imam Ibnu Hambal.
25
Lafaz mutlaq dan muqayyad merupakan istilah dalam ilmu Ushul Fiqh yang digunakan dalam
menginterpretasikan suatu lafaz antara makna yang terkait dengan suatu makna lain atau makna yang
berdiri sendiri.
26
Lafaz umum dan lafaz khos merupakan istilah dalam ilmu Ushul Fiqh yang digunakan dalam
menginterpretasikan suatu lafaz berdasarkan maksud umum atau maksud spesifik.
-
Pendekatan terhadap Nash yang terkait, apakah memiliki elemen ‘Urf yang terjadi
pada masa munculnya Nash, sehingga ketika ‘Urf pada Nash tersebut telah
berubah maka karakteristik hukumnya pun ikut berubah.
-
Nash yang terkait beserta dengan Illah-nya menolak dengan jelas ‘Urf tersebut
secara tekstual maupun secara kontekstual (ijtihadi).
C. KESIMPULAN
Kaidah dalam menentukan suatu adat kebiasaan yang terjadi pada masyarakat sebagai
suatu sandran dalam Istinbath hukum islam, tidak serta merta dapat terjadi begitu saja.
Terdapat berbagai rukun, syarat, prasyarat, dan terutama kondisi yang harus dipenuhi
sehingga adat kebiasaan suatu masyarakat dapat dianggap sebagai landasan hukum.
Al’adah Muhakkamah sebagai salah satu qaidah fiqhiyah dalam menggunakan urf,
memiliki karakteristik dan perlakuan yang tersendiri dan terkodifikasi dengan baik oleh
para ulama ushul fiqh. Sehingga kebiasaan yang terjadi pada masyarakat yang tidak ada
hukumnya dalam Nash, dapat menjadi sandaran pemikiran hukum Islam. Penggunaan
qaidah Al’adah Muhakkamah juga dapat berlaku dengan kondisi-kondisi tertentu yang
ditinjau dari segala aspek.
Urf yang dapat berlaku di dalamnya kaidah Al’adah Muhakkamah perlu ditinjau
berdasarkan Nash Quran dan Hadits yang juga mengandung berbagai jenis pembahasan
mengenai Urf yang pernah terjadi pada saat kemunculan Islam di masa Nabi Muhammad
saw. Al’adah haruslah ditentukan berupa lisan maupun perbuatan sebagai bentuk urf yang
tidak bertentang dengan syara’. Muhakkamah sebagai bagian dari proses istinbath hukum
(tahkim) haruslah dilakukan sesuai dengan proses-proses yang berlaku dalam kaidah
ushuliyyah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bahsin, Dr Yaqub, 2012. Qaidatu Al-Adah Muhakkamah (Arabic version), Maktabah
Rusyd. Riyadh.
Dahlan, Abdur Rahman., 2011, Ushul Fiqih, Sinar Grafika Offset. Jakarta
Djazuli, 2010, Ilmu Fiqih, Fajar Interpratama Offset. Jakarta.
Hakim, Abdul Hamid, 1927. Mabadi’ Awwaliyah, Al-Maktabah asSa’adiyah Putra, tth.
Jakarta.
Khallaf, Abdul Wahab., 1994 Ilmu Ushul Fiqih, Semarang: Dina Utama Semarang.
Rachmat Syafe’i, 1998. Ilmu Uhul Fiqih,: Pustaka Setia, Bandung.
Umam, Khairul dan Ahyar Aminuddin. 2001. Ushul Fiqh II . Pustaka Setia. Bandung.
Zarqa, Ahmad bin Syaikh, 1989. Syarhu Qowaid Fiqhiyyah (Arabic version). Darul
Qolam. Damaskus.
http://abdeljalil-mabrour.blogspot.sg/2013/12/blog-post_4956.html
http://majles.alukah.net/t59528/ أبويوسف البد