ROLE OF NON GOVERNMENT ORGANISATION (NGO) AND COMMUNITY BASED ORGANISATION (CBO) IN STRENGTHENING GENDER MAINSTREAMING (Study on DAMAR NGO and AISYIYAH CBO Bandar Lampung ROLE OF NON GOVERNMENT ORGANISATION (NGO) DAN COMMUNITY BASED ORGANISATION (CBO) DAL

(1)

ABSTRACT

ROLE OF NON GOVERNMENT ORGANISATION (NGO) AND COMMUNITY BASED ORGANISATION (CBO) IN STRENGTHENING GENDER

MAINSTREAMING

(Study on DAMAR NGO and AISYIYAH CBO Bandar Lampung) By

MARTHARIA PUTRI U.T

Since the end of the new power regime occurred a change in the political atmosphere which is quite fundamental in Indonesia. it is characterized by increasing the intensity of the relationship between State and society. The position of Countries which tend to be powerful, in terms of restricting the space of expression of its citizens, began to shift with offset by movements of society. Freedom of expression such as catapult criticism through the mass media, actions, demonstrations and criticism through art activities and more. Enter the era of reform, a new term that is emerging civil society organizations (CSO) or also known as (civil society organizations/CSOS) in political discourse in Indonesia as a change agent with a different agenda and action program in realizing democratization. There are two forms of the embodiment of civil society organizations or civil society organization, a non-governmental organization (NGO) or often referred to by other names a Non Government Organization (NGO) or non-governmental organizations (Non-profit) and Community Based Organization (CBO) nowadays its existence very coloring social life, politics in Indonesia. NGO and CBO AISYIYAH are contributing to the social life of particular concern on women's issues in relation to gender mainstreaming in the region of Lampung. Both civil society organization the taking a role in concept 3i ( inspire, inform, improve ) to strengthen pengarusutamaan gender as part of struggle as civil society organizations.Various constraints, barriers, challenge recorded in dynamics struggle Damar and Aisyiyah as the basis for both the CSO involved to continue to strengthen a role in strengthening pengarusutamaan gender in the lampung. The focus is the role of NGOs ROSIN legal advocacy and independence of women in the domestic as well as public , while NGOs AISYIYAH focus is socio-economic empowerment and education .

Keywords: NGO, CBO, 3I (Inspire, Inform, Improve) Gender Mainstreaming, Advocacy, empowerment


(2)

ABSTRAK

ROLE OF NON GOVERNMENT ORGANISATION (NGO) DAN COMMUNITY BASED ORGANISATION (CBO) DALAM PENGUATAN

PENGARUSUTAMAAN GENDER

(Studi pada LSM DAMAR dan ORMAS AISYIYAH Bandar Lampung)

Oleh

MARTHARIA PUTRI U.T

Sejak berakhirnya kekuasaan rezim “Orde Baru” terjadi suatu perubahan suasana politik yang cukup mendasar berlangsung di Indonesia.Hal tersebut ditandai dengan meningkatnya intensitas hubungan antara Negara dan masyarakat. Posisi Negara yang selama ini cenderung powerfull, dalam artian membatasi ruang berekspresi warga negaranya, mulai bergeser dengan diimbangi oleh gerakan masyarakat. Kebebasan berekspresi seperti melontarkan kritik melalui media massa, aksi-aksi demonstrasi, maupun kritik melalui kegiatan seni dan lainnya. Memasuki era reformasi, muncul istilah baru yaitu organisasi masyarakat sipil (OMS) atau disebut juga (civil society organizations/CSO) dalam wacana politik di Indonesia sebagai sebuah agen perubahan dengan berbagai agenda dan program aksi dalam mewujudkan demokratisasi. Ada dua bentuk pengejawantahan dari organisasi masyarakat sipil atau civil society organization, yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau sering disebut dengan nama lain Non Government Organization (NGO) atau organisasi non pemerintah (Ornop) dan Community Based Organization (CBO) dewasa ini keberadaannya sangat mewarnai kehidupan sosial, politik di Indonesia. LSM DAMAR dan ORMAS AISYIYAH turut berperan dalam kehidupan sosial khususnya concern pada permasalahan perempuan di wilayah Lampung. Fokus peran dari LSM DAMAR adalah advokasi hukum dan kemerdekaan perempuan dalam domestik serta publik, sedangkan ORMAS AISYIYAH fokusnya adalah pemberdayaan bidang sosial ekonomi dan pendidikan.

Kata kunci : LSM, ORMAS, 3I (Inspire, Inform, Improve), Pengarusutamaan Gender, Advokasi, Pemberdayaan.


(3)

ROLE OF NON GOVERNMENT ORGANISATION (NGO) DAN COMMUNITY BASED ORGANISATION (CBO) DALAM PENGUATAN

PENGARUSUTAMAAN GENDER

(Studi pada LSM DAMAR dan ORMAS AISYIYAH Bandar Lampung)

Oleh

MARTHARIA PUTRI U.T NPM.1226021012

Tesis

Sebagai Salah Syarat untuk Mencapai Gelar MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN

Pada

Program Pascasarjana Magister Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG 2014


(4)

ROLE OF NON GOVERNMENT ORGANISATION (NGO) DAN COMMUNITY BASED ORGANISATION (CBO) DALAM PENGUATAN

PENGARUSUTAMAAN GENDER

(Studi pada LSM DAMAR dan ORMAS AISYIYAH Bandar Lampung)

(Tesis)

Oleh

MARTHARIA PUTRI U.T

PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG 2014


(5)

(6)

(7)

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Kota Metro sebagai putri pertama dari empat bersaudara, pasangan Bapak Hi. Sahid Effendi dan Ibu Hj. Sumarti, S.Pd. Jenjang akademis yang pernah ditempuh adalah menamatkan Sekolah Dasar di SD Pertiwi Teladan Metro, kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Metro (SMP N 1 Metro). Pasca mengenyam pendidikan di SMP N 1 Metro, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Bandar Lampung (SMUN 2 Balam). Jenjang pendidikan Strata-1 ditempuh di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada prodi Ilmu Hubungan Internasional. Tahun 2006 setelah menamatkan pendidikan di Yogyakarta, penulis kembali ke Lampung dan satu tahun bekerja di perusahaan swasta, setelah itu menjadi dosen di UMPTB sampai sekarang. Saat ini penulis juga magang di Divisi Pengawasan Bawaslu Lampung. Selanjutnya menempuh pendidikan pascasarjana di Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Lampung, dan lulus ujian tesis pada tanggal 14 Mei 2014.


(9)

MOTTO

“Ada makna dibalik semua warna-warni hidup, lakukan dan berikan yang terbaik di tiap langkah.”


(10)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan hasil studi pasca ini untuk : Kedua orang tuaku tersayang

Hi. Sahid Effendi, dan Hj. Sumarti, S.Pd

Terima kasih untuk semua kasih sayang, support, dan doa yang tiada pernah henti untuk keberhasilan anak-anaknya.

Almh. Mbah Hj. Ratna Dewata

Gelar pasca ini adalah salah satu impian dari mbah, terima kasih untuk doa-doanya selama ini untuk mujiati.

Ketiga adik-adikku Kritisya Vinanda Tanjung Bambang Muzar Tanjung Geri Romadhoni Tanjung

Terima kasih untuk semua support dan doanya untuk unan

Keluarga Besar Alm. Hi. M. Zen Anwar dan Almh. Hj. Ratna Dewata dan Alm. Hi. Hamim dan Almh. Hj. Hasmah

Terima kasih untuk semua motivasi, dan nasehat dari para tante, dan om, serta semua adik dan kakak sepupu.


(11)

SANWACANA

Ungkapan rasa syukur serta shalawat dan salam kepada Allah SWT sang pemilik alam semesta dan Nabi Muhammad SAW sang pembawa pencerahan bagi umatnya. Setelah melalui proses panjang dan cukup melelahkan akhirnya tesis yang berjudul ROLE OF NON GOVERNMENT ORGANISATION (NGO)

DAN COMMUNITY BASED ORGANISATION (CBO) DALAM

PENGUATAN PENGARUSUTAMAAN GENDER (Studi pada LSM DAMAR dan ORMAS AISYIYAH Bandar Lampung)” dapat diselesaikan oleh penulis, dimana perjuangan untuk “menaklukkan energi negatif” merupakan tantangan utama selama penyelesaian tesis ini. Proses penyelesaian tesis ini tentunya telah banyak dibantu oleh pihak-pihak terkait, oleh karena itu sudah sepatutnya tesis ini penulis persembahkan teriring ucapan terima kasih kepada mereka. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Drs. Agus Hadiawan, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

2. Ibu Dr. Ari Darmastuti, M.A, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Pemerintahan, sekaligus sebagai Pembimbing Utama untuk semua waktu serta semua wejangan yang telah diberikan untuk terus memotivasi penulis agar memberikan yang terbaik untuk penulisan tesis.


(12)

terselesaikannya karya tesis.

4. Bapak Dr. Suwondo, M.A, selaku Penguji, untuk semua saran, bimbingan, serta kesediaan waktu di tengah kesibukan aktivitas akademik.

5. Bapak Drs. Yana Ekana PS, M.Si, selaku Koordinator Sekretariat Program Studi Magister Ilmu Pemerintahan, untuk semua saran dan arahan dalam proses administrasi penyelesaian Tesis.

6. Bapak Dr. Syarief Makhya selaku Pembimbing akademik.

7. Segenap staff akademik (mbak Nurma, mbak Iis, dan bang Lukman) Magister

Ilmu Pemerintahan yang selalu siap membantu penulis dalam proses administrasi.

8. Para Sahabat tercinta di MIP 2012 (Wak Dirwan, Bang Embon, Bang Carbon, Bang Depe, Bang Dahro, Bang Dian, Pak Markurius, Datuk Bakrie, Mbak Rury, Mbak Oca, Mbak Lucy, Bu Hani, Bu Susi, Mbak Maulida Fitri, Mbak Aprina, Mbak Hijra, Mbak Naniek, Ayu, Hinfa, Bagus, Andre, Rano, Erwi, Angga, Anggie Anggraini, terima kasih untuk saling support nya, sehingga kita tergolong kaum yang cool, calm, confident. Beberapa sahabat di MIP 2013, Alvin, Andri, Mnak Kartika, terima kasih untuk supportnya dan bantuan mengurus administrasi yang cukup rumit.

9. Bang Ai, Kak Anggi, Mbak Umi, Aprilia (April), Maulida (Maul), Friendship never end. Terima kasih untuk semua warna-warni indah yang telah kita lalui bersama.


(13)

terima kasih untuk buku “Feminisme Profetik”. Semoga masih di selalu ridhoi-Nya untuk kebersamaan ini.

11. New Family in TP3 Bawaslu Lampung : Bang Erwin Prima Rinaldo (the perfecto boss), Bang Chandrawansah (the easy going boss), Bang Amri Fahada Sehrun (the patient guy), Mas Ade, Mbak Amelia (Matoa Family), Desti Aryani, Intan Maycasari (Maysaroh), Maulida (Maul), Mijwad (Mimi), Miza (Mizariyadi tanpa spasi), dan Komisioner Bang Ali Sidik serta Bang Nazaruddin, dan tidak lupa Bang Yoli Maristo (The Rock and Roll boss) Thanks for kindness and being new family.

12. Pak Adi Kusnadi, Bang Alwan, Mbak Novie, Mbak Fe, Mbak Yayan, Bu Nursiti, dan semua teman-teman yang mungkin belum tertuliskan.

13. Anak-anakku di Fisip UMPTB beserta para alumninya untuk semua motivasi dan sayangnya buat ibu.

Semoga tesis ini dapat menambah pengayaan intelektual bagi kita semua, Aamiinn.

Penulis,


(14)

DAFTAR ISI

Hal

DAFTAR TABEL...xiii

DAFTAR GAMBAR...xiv

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Rumusan Masalah Penelitian ...14

C. Tujuan Penelitian ...14

D. Kegunaan Penelitian ...15

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gender ...16

B. Gender dalam Perspektif Teori Kritis ...19

C. Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan di Indonesia ...28

1. Gender dalam Pembangunan……….. ...38

2. Gender dan Pembangunan ...41

D. Dinamika Non-Government Organisation dan Community Based Organisation (NGO dan CBO) dalam Penguatan Pengarusutamaan Gender ...44

E. Kerangka Pikir ...58

III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian ...60

B. Pendekatan Penelitian ...61

C. Fokus Penelitian ...62

D. Tempat dan Waktu Penelitian ...62

E. Sumber Data ...64

F. Teknik Pengumpulan Data ...65

G. Teknik Pengolahan Data ...66

H. Teknik Analisis Data ...66

I. Kriteria Dan Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data. ...68

IV. GAMBARAN UMUM A. Gambaran umum LSM DAMAR ...70

1. Sejarah LSM DAMAR ...70

2. Program-program LSM DAMAR ...72

B. Gambaran umum ORMAS AISYIYAH...74

1. Sejarah ORMAS AISYIYAH ...74


(15)

Dalam Penguatan Pengarusutamaan Gender ...119 C. Analisis Perbandingan Role LSM DAMAR Dan ORMAS AISYIYAH

Dalam Penguatan Pengarusutamaan Gender……….137 1. Perbandingan Cara Perjuangan LSM DAMAR Dan

ORMAS AISYIYAH……….137 2. Perbedaan Substansi LSM DAMAR Dan ORMAS AISYIYAH..155 3. Perbandingan Gerakan Sosial Perjuangan LSM DMAR Dan

ORMAS AISYIYAH Bandar Lampung………166 VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ...172 B. Saran ...173 DAFTAR PUSTAKA


(16)

DAFTAR TABEL

Tabel

1. Tabel Perbedaan Ormas dan LSM... 45 2. Tabel Kriteria dan Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data... 69 3. Tabel Bentuk dan Jenis Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan

Di Lampung ... 117 4. Tabel Wilayah Kejadian Kekerasan Terhadap Perempuan

Di Lampung ... 118 5. Tabel Usia Korban Kekerasan Terhadap Perempuan Di Lampung ... 118 6. Tabel Jumlah Usia Pelaku Kekerasan Terhadap Perempuan Di

Lampung ... .119 7. Hubungan Korban Dengan Pelaku Kekerasan Terhadap Perempuan .. .119 8. Tabel Perbandingan LSM DAMAR dan ORMAS AISYIYAH... .. .154


(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar

1. Pengarusutamaan Gender... .. 31

2. Kerangka Pikir ... 59

3. Gambar Komponen-komponen Analisis Data ... 67


(18)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak berakhirnya kekuasaan rezim “Orde Baru” terjadi suatu perubahan suasana politik yang cukup mendasar berlangsung di Indonesia.Hal tersebut ditandai dengan meningkatnya intensitas hubungan antara Negara dan masyarakat. Posisi Negara yang selama ini cenderung powerfull, dalam artian membatasi ruang berekspresi warga negaranya, mulai bergeser dengan diimbangi oleh gerakan masyarakat. Kebebasan berekspresi seperti melontarkan kritik melalui media massa, aksi-aksi demonstrasi, maupun kritik melalui kegiatan seni dan lainnya. Memasuki era reformasi, muncul istilah baru yaitu organisasi masyarakat sipil (OMS) atau disebut juga (civil society organizations/CSO) dalam wacana politik di Indonesia sebagai sebuah agen perubahan dengan berbagai agenda dan program aksi dalam mewujudkan demokratisasi. Ada dua bentuk pengejawantahan dari organisasi masyarakat sipil atau civil society organization, yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau sering disebut dengan nama lain Non Government Organization (NGO) atau organisasi non pemerintah (Ornop) dan Community Based Organization (CBO) dewasa ini keberadaannya sangat mewarnai kehidupan politik di Indonesia. Saat ini lebih dari 10.000 LSM


(19)

beroperasi di Indonesia baik ditingkat nasional, propinsi maupun di tingkat kabupaten/kota, dan tiap jumlah ini semakin bertambah.(AS Hikam:1999: 9) Perkembangan politik, demokrasi, pembangunan ekonomi dan kemajuan teknologi informasi merupakan faktor-faktor yang mendorong terus bertambahnya jumlah LSM di Indonesia. Bergulirnya era reformasi menggantikan era orde baru dikuti pula dengan peningkatan jumlah LSM. Jika pada tahun 1997 ditaksir ada sekitar 4000-7000 LSM, maka pada tahun 2002 jumlah LSM menurut Departemen Dalam Negeri menjadi sekitar 13.500 LSM. Iklim segar yang dibawa oleh angin reformasi menciptakan keleluasaan yang luas dalam upaya-upaya penyaluran aspirasi. Kebebasan menyampaikan pendapat, berekspresi, berserikat dan berkumpul dijamin penuh oleh undang-undang. Dominasi pemerintah pada masa orde baru yang dijalankan melalui depolitisasi atau partisipasi terkontrol yang bertujuan untuk menjamin hegemoni pemerintah dan mengontrol masyarakat melalui pembatasan kegiatan partai politik dan organisasi sosial dengan dalih menciptakan kestabilan politik, semakin terkikis oleh tuntutan-tuntutan untuk mengurangi fungsi kontrol pemerintah terhadap masyarakat dan di lain pihak meningkatkan kemandirian masyarakat dalam segala aspek kehidupan meliputi bidang politik, ekonomi, sosial-budaya dan bidang-bidang lainnya. Ruang politik yang semakin terbuka lebar pada era reformasi, seiring dengan adanya kebebasan yang luas memberikan kesempatan pada kelompok kelompok masyarakat untuk berekspresi dalam berbagai bentuk organisasi sosial politik non pemerintah dengan mengusung berbagai asas dan tujuan


(20)

masing-masing. Organisasi-organisasi sosial politik termasuk LSM tumbuh dengan subur. LSM secara umum diartikan sebagai sebuah organisasi yang didirikan oleh perorangan ataupun sekelompok orang yang secara sukarela memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tanpa bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari kegiatannya. LSM dipandang mempunyai peran signifikan dalam proses demokratisasi. Jenis organisasi ini diyakini memiliki fungsi dan karakteristik khusus dan berbeda dengan organisasi pada sektor politik-pemerintah maupun swasta (private sector), sehingga mampu menjalankan tugas tertentu yang tidak dapat dilaksanakan oleh organisasi pada dua sektor tersebut.

Berbeda dengan organisasi politik yang berorientasi kekuasaan dan swasta yang berorientasi komersial, secara konsepsional, LSM memiliki karakteristik yang bercirikan: nonpartisan, tidak mencari keuntungan ekonomi, bersifat sukarela, dan bersendi pada gerakan moral. Ciri-ciri ini menjadikan LSM dapat bergerak secara luwes tanpa dibatasi oleh ikatan-ikatan motif politik dan ekonomi. Ciri-ciri LSM tersebut juga membuat LSM dapat menyuarakan aspirasi dan melayani kepentingan masyarakat yang tidak begitu diperhatikan oleh sektor politik dan swasta.

Kemunculan LSM merupakan reaksi atas melemahnya peran kontrol lembaga lembaga Negara, termasuk partai politik, dalam menjalankan fungsi pengawasan ditengah dominasi pemerintah terhadap masyarakat. Sehingga pada awal sejarah perkembangan lahirnya LSM, terutama yang bergerak


(21)

dibidang sosial politik, tujuan utama pembentukan LSM adalah bagaimana mengontrol kekuasaan Negara, tuntutan pers yang bebas, tuntutan kebebasan berorganisasi, advokasi terhadap kekerasan Negara dan kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat. Pada masa orde baru LSM menjadi sebuah kelompok kritis yang memberikan tekanan pada pemerintah. Meuthia Ganie-Rochman (dalam Culla:2006: 35) menyebut pola hubungan LSM pada masa ini sebagai pola hubungan yang konfliktual, dimana dari sisi pemerintah juga berupaya mencampuri dan mempengaruhi organisasi, cara kerja dan orientasi LSM.

Kondisi sistem politik yang demokratis, LSM dan pemerintah dapat bersama-sama memberikan sumbangan penting dalam hal peningkatan hak-hak rakyat. Perubahan yang dibawa era reformasi menyebabkan wajah kekuasaan menjadi tidak sesolid dulu, sehingga masyarakat mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk mengungkapkan pikiran dan tuntutannya. Kehidupan politik yang lebih demokratis saat ini, membuat banyak LSM mulai meninggalkan strategi konfrontatif dengan pemerintah, dengan cara berusaha menjalin kerjasama dengan pemerintah ketika peluang politik tersedia. LSM saat ini tidak lagi memandang pemerintah setajam dulu, meskipun demikian masih terdapat kesadaran luas dikalangan LSM bahwa pemerintah tetap potensial menjadi pengekang rakyat.(Meutia-Ganie-Rochman,dalam Culla:2006: 37)

Menurut Afan Gaffar (2006), LSM mempunyai peran yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat dan melihat LSM sebagai alternatif untuk


(22)

munculnya civil society. Muhammad AS Hikam (1999:256) memandang bahwa LSM dapat memainkan peran yang sangat penting dalam proses memperkuat gerakan demokrasi melalui perannya dalam pemberdayaan civil society yang dilakukan melalui berbagai aktifitas pendampingan, pembelaan dan penyadaran. Berbicara mengenai LSM sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dari civil society, karena LSM merupakan tulang punggung dari civil society yang kuat dan mandiri. Sedangkan pemberdayaan civil society merupakan sine qua non bagi proses demokratisasi di Indonesia.(AS Hikam:1999: 256)

Konsep mengenai civil society sendiri dapat diartikan sebagai suatu tatanan sosial atau masyarakat yang memiliki peradaban (civilization) dimana didalamnya terdapat asosiasi warga masyarakat yang bersifat sukarela dan terbangun sebuah jaringan hubungan berdasarkan berbagai ikatan yang sifatnya independen terhadap negara. Kegiatan masyarakat sepenuhnya bersumber dari masyarakat itu sendiri, sedangkan negara hanya merupakan fasilitator. Akses masyarakat terhadap lembaga negara dijamin dalam civil society, artinya individu dapat melakukan partisipasi politik secara bebas. Warga Negara bebas mengembangkan dirinya secara maksimal dan leluasa dalam segala aspek kehidupan yang meliputi bidang ekonomi, politik, sosial, budaya dan bidang-bidang lainnya.

Menurut Einstadt dalam Afan Gaffar (2006: 180) civil society memiliki empat komponen sebagai syarat; Pertama otonomi, Kedua akses masyarakat


(23)

terhadap lembaga Negara, Ketiga arena publik yang bersifat otonom dan Keempat arena publik yang terbuka bagi semua lapisan masyarakat. Berdasarkan komponen-komponen tersebut, civil society mempersyaratkan adanya organisasi sosial politik dan kelompok kepentingan yang memiliki tingkat kemandirian yang tinggi. Diantara organisasi sosial dan politik yang memiliki tingkat kemandirian yang tinggi adalah LSM dan organisasi kemasyarakatan (ORMAS). LSM memiliki tingkat keleluasaan bergerak, serta kebebasan dan kemandirian yang cukup tinggi, dapat dijadikan sumber daya politik potensial dalam menyiapkan civil society. Artinya civil society sebagai suatu ruang publik antara negara dan masyarakat. Kekuasaan Negara dibatasi didalam ruang publik oleh partisipasi politik masyarakat dalam rangka pembentukan kebijaksanaan publik. Pada konteks ini LSM cukup potensial ikut menciptakan civil society karena dengan kemampuannya yang mampu mengisi ruang publik.

Konsep Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai pengejawantahan masyarakat sipil dapat dilihat dalam pemikiran Alexis de Tocqueville yang pernah mengamati demokrasi di Amerika Serikat. Menurut Alexis de Tocqueville (Dawam Raharjo, dalam Culla: 2006), menyebutkan bahwa empat macam kelompok yaitu organisasi keagamaan yang berpusat di gereja, organisasi masyarakat lokal, organisasi ketetanggaan, perkumpulan, atau kelompok persaudaraan, dan organisasi terkait dengan kewarganegaraan. Organisasi sukarela (voluntary organization) yang dibentuk oleh anggota masyarakat berdasarkan “suka sama suka” sangat penting, karena melalui


(24)

asosiasi-asosiasi tersebut rakyat dapat berpartisipasi di berbagai bidang, seperti politik, ekonomi, social, hak asasi, termasuk dalam perjuangan kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan atau dikenal dengan kesetaraan gender. Organisasi-organisasi tersebut mengontrol pemerintah, memobilisasi sumber daya, menjalankan kegiatan-kegiatan dari dan untuk masyarakat yang dalam masyarakat lain dijalankan oleh pemerintah atau Negara. Organisasi-organisasi tersebut bekerja melayani masyarakat secara swadaya, serta berfungsi sebagai lembaga perantara yang menghubungkan warga Negara dengan pemerintah.

Saat ini seiring dengan semakin terbukanya proses demokratisasi dimana semua bidang sosial, politik, ekonomi, budaya, dan lainnya secara gamblang berpartisipasi dalam ranah kehidupan bernegara. Seperti yang telah dipaparkan tentang pengertian, tipologi, kategori dari Civil Society Organizations diantaranya adalah dalam bentuk Non-Governmental

Organizations (NGO’s) dan Community Based Organizations (CBO’s), hal

yang menarik adalah cara dan proses perjuangan dari NGO’s dan CBO’s untuk isu-isu yang ada di masyarakat saat ini. Isu-isu tersebut diantaranya adalah tentang perjuangan hak-hak dan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki atau saat ini dikenal dengan istilah kesetaraan gender dalam berbagai bidang. Pemerintah Indonesia sejak era reformasi memberi perhatian khusus terhadap konsep kesetaraan antara perempuan dan laki-laki (kesetaraan gender) diantaranya pada bidang politik, ekonomi, social, budaya, pendidikan, kesehatan, dan lainnya.


(25)

Pencanangan program Millenium Development Goal’s yang di prakarsai oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dimana salah satu agendanya adalah tentang peningkatan kesetaraan perempuan dan laki-laki (kesetaraan gender), Indonesia pun turut menandatangani kesepakatan tersebut bersama dengan Negara-negara lain di dunia. Pasca penandatanganan nota kesepakatan tentang MDG’s, pemerintah Indonesia mencanangkan program Pengarusutamaan Gender (PUG) sebagai salah satu cara untuk mendukung program MDG’s. Program pengarusutamaan Gender adalah sebuah strategi yang dilakukan secara rasional dan sistematis untuk mencapai dan mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam sejumlah aspek kehidupan manusia (rumah tangga, masyarakat, dan Negara), melalui kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Menariknya adalah pencanangan program PUG diiringi dengan semakin eksisnya NGO dan CBO yang berjuang untuk kesetaraan gender, baik di level lokal maupun nasional.

Sejauh ini proses perjuangan kesetaraan gender di Indonesia belum menunjukkan hal yang terlalu menggembirakan, meskipun untuk bidang tertentu, misalnya arena politik. Kuota 30% di lembaga perwakilan rakyat baik pusat maupun daerah adalah salah satu cara untuk menginspirasi dan membuka ruang bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam politik. Permasalahannya adalah pemenuhan kebutuhan partisipasi perempuan tidak


(26)

hanya pada bidang politik, tetapi perempuan juga sangat membutuhkan ruang untuk berpartisipasi di bidang ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, serta akses terhadap kebijakan-kebijakan strategis. Dinamika perjuangan pengarusutamaan gender di tingkat lokal juga tidak kalah eksisnya. Contohnya, adalah perjuangan Lembaga Bantuan Hukum APIK (LBH APIK) yang bergerak di bidang advokasi terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pendampingan terhadap korban trafficking (perdagangan perempuan dan anak), dan program-program pemberdayaan lainnya. Selain itu terdapat juga Lembaga Swadaya Masyarakat Paramitra di Malang, sebagai mediator dalam mendorong proses transformasi dan perubahan sosial yang berbasis kesetaraan gender. Hal yang dilakukan yaitu pendidikan, pelatihan serta pengorganisiran di tingkatan masyarakat. Selain itu, LSM Paramitra juga melakukan penguatan posisi sipil bagi masyarakat terdiskriminasi, khususnya bagi kaum perempuan yang termarginalkan, sehingga lebih memiliki hak dan eksistensinya dalam ruang sosial masyarakat.(Puspita Maya, 2006). Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (LBH APIK) turut mengambil peran dalam perwujudan kesetaraan dan keadilan gender sebagai bagian dari pengarusutamaan gender. Melalui berbagai program diantaranya : (1) Melakukan pembelaan hukum bagi perempuan pencari keadilan yang lemah secara politik, ekonomi, maupun sosial budaya di dalam dan di luar pengadilan, (2) Memberikan pelatihan dan pemberdayaan kepada lapisan masyarakat dan aparat penegak hukum baik dalam penanganan korban maupun upaya pencegahannya, (3)


(27)

Melakukan advokasi perubahan kebijakan baik terhadap substansi, struktur, maupun budaya hukum di masyarakat, (4) Melakukan kajian kritis serta penyusunan, pembuatan, penyebarluasan serta pendokumentasian berbagai info tentang penegakan hak-hak perempuan dan informasi mengenai cara-cara penyelesaiannya. (5) Melakukan kerjasama dengan berbagai organisasi dan lembaga serta mendorong terbentuknya organisasi dan lembaga dengan visi misi serupa, (6) Melakukan penguatan kelembagaan.(LBH APIK, Juni 2010)

Meski demikian, eksistensi dan dinamika perjuangan Non-Government Organization (NGO) masih diragukan oleh banyak pihak. Hal tersebut dikarenakan terdapat NGO yang tidak independen dalam perjuangannya. Adanya distorsi dalam dinamika perjuangan NGO telah menjadi tantangan baru bagi NGO yang memang benar-benar berjuang untuk kepentingan masyarakat sipil. Tidak dapat dipungkiri bahwa demi keberlangsungan eksistensi dari NGO dibutuhkan para funding (pemberi dana) baik dari dalam negeri maupun luar negeri, pemerintah ataupun swasta. Celah inilah yang terkadang disalahgunakan oleh NGO yang tidak dapat menjaga netralitas dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat sipil. Demikian hal nya dengan organisasi kemasyarakata (ORMAS) juga tidak lepas dari distorsi dalam peranannya selaku agen of change bagi masyarakat sipil di Indonesia. Organisasi Masyarakat sejatinya hadir untuk memperkuat peran dan fungsi masyarakat sipil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk melaksanakan peran tersebut, Ormas menghadapi berbagai tantangan yang


(28)

harus dihadapi, baik dari internal organisasi, maupun dari eksternal organisasi.

Menilik pada dinamika NGO dan ORMAS dalam konteks pengarusutamaan gender, ditengah tudingan negatif di masyarakat, dan tidak adanya kesepakatan nilai-nilai perjuangan kepentingan masyarakat sipil antara NGO, ORMAS, pemerintah dan masyarakat, yaitu berupa moral force, kedua organisasi masyarakat sipil tersebut terus berupaya untuk tetap memperjuangkan kepentingan masyarakat. Organisasi masyrakat sipil tersebut adalah NGO dan ORMAS yang berjuang dalam penegakan keadilan dan kesetaraan Gender sebagai bagian dari pengarusutamaan gender di Indonesia. Sebagai contohnya adalah NGO/LSM DAMAR dan ORMAS AISIYAH di Bandar Lampung, kedua CSO’s cukup mengambil peran dalam penguatan pengarusutamaan gender. Penulis tertarik untuk melihat lebih jauh bagaimana dinamika Non-Government Organization (NGO) atau lebih dikenal dengan istilah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yaitu LSM DAMAR BANDAR LAMPUNG dan Community Based Organization (CBO) atau disebut juga Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS) AISIYAH BANDAR LAMPUNG dalam penguatan pengarusutamaan gender. Beberapa peran dilakukan oleh ORMAS, yang berkiprah dalam perjuangan keadilan dan kesetaraan gender sebagai contoh Ormas Aisiyah yaitu : (1). Pembinaan keluarga sakinah, (2). Model pengembangan masyarakat dengan pendekatan mengerahkan seluruh sumber daya fisik dan insani dari pemberdayaan desa, (3). Pembinaan kesejahteraan sosial melalui pemberian santunan dan


(29)

pendidikan, (4). Peningkatan taraf hidup dan pendapatan keluarga melalui pendirian Badan Usaha Ekonomi Keluarga (BUEKA). Tujuan akhirnya adalah bahwa para perempuan dapat berkiprah di ruang publik tetapi tidak mengabaikan wilayah domestik. Memberikan kesadaran pada para perempuan bahwa mereka harus sadar akan pendidikan, ekonomi, politik dan keagamaan serta kesehatan. Membuka cakrawala berfikir kritis, terbuka, sehingga menjadi subyek dalam pembangunan.

Lebih lanjut penelitian tentang Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS) AISIYAH telah dilakukan oleh Jajang Kurnia (UIN, Jakarta: 2011), digambarkan tentang Peran pimpinan pusat Aisiyah dalam pemberdayaan politik perempuan (studi pada PP Aisiyah Yogyakarta). Hasilnya adalah bahwa Aisiyah selaku salah satu ORMAS berusaha merespon berbagai isu-isu sosial dan politik melalui seminar, workshop, kajian, pengajian, penerbitan buku pendidikan politik, dan pelatihan. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya agar perempuan terlibat jauh dalam pengambilan kebijakan sensitif gender, dan sebagai perwujudan peran organisasi kemasyarakatan yang concern terhadap perempuan termasuk dalam pemberdayaan politik.

Penelitian lainnya tentang Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga dilakukan oleh Nur Melati Septiana (IPB, Bogor: 2011), dideskripsikan tentang Peran lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam mendukung kebijakan pengarusutamaan gender pada kegiatan pengelolaan sumber daya alam (studi kasus pada LSM RMI Bogor). Hasilnya adalah bahwa


(30)

keberhasilan pengarusutamaan gender tidak dapat dipisahkan dari kerjasama aktif dengan LSM yang menangani masalah konservasi alam. RMI Bogor sejak didirikan aktif dalam program pembangunan komunitas yang responsif gender.

Penelitian lainnya tentang Lembaga swadaya masyarakat (LSM) dilakukan oleh Ageng Nata Praja (UNDIP, Semarang: 2009), yang mencoba menelaah LSM dari perspektif civil society, dengan judul Distorsi peran lembaga swadaya masyarakat dalam perspektif civil society di Kabupaten Grobogan. Konsep civil society mengandung karakteristik LSM yang bercirikan: mandiri dan tidak menggantungkan diri pada bantuan pemerintah, dipandang sdapat memainkan peran yang sangat penting dalam proses memperkuat gerakan demokrasi melalui perannya dalam pemberdayaan civil society yang dilakukan melalui berbagai aktifitas pendampingan, pembelaan dan penyadaran, dan dalam konsep civil society, kondisi masyarakat di Kabupaten Grobogan sangat jauh dari prinsip kemandirian. Hasil penelitiannya adalah bahwa distorsi peran LSM di Kabupaten Grobogan terjadi karena beberapa faktor yaitu: adanya motif mencari keuntungan, ketiadaan sumber dana dan rendahnya profesionalisme, latar belakang profesi aktivis yang beraneka ragam, konsep idelogi yang tidak jelas serta regulasi yang terlalu longgar. Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya untuk mengembalikan kembali peran LSM sebagai pilar civil society yang dapat dilakukan melalui reposisi internal dan eksternal.


(31)

Adapun yang membedakan penelitian ini dari penelitian-penelitian terdahulu adalah bahwa dalam penelitian ini mencoba mendeskripsikan peran perjuangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi kemasyarakatan (ORMAS) studi pada LSM Damar dan ORMAS AISYIYAH Bandar Lampung dalam hal penguatan pengarusutamaan gender, sebagai bentuk dari respon terhadap isu-isu ketertinggalan perempuan di beberapa bidang seperti pendidikan, ekonomi, hukum, serta kebijakan-kebijakan strategis.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dalam latar belakang maka rumusan masalah penelitian ini adalah “Bagaimanakah role (peran) Lembaga Swadaya Masyarakat DAMAR (LSM DAMAR) dan Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS) AISYIYAH dalam penguatan pengarusutamaan gender ?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui role (peran) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM DAMAR) dan Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS AISYIYAH) dalam penguatan pengarusutamaan gender (kepentingan perempuan dalam bidang pendidikan, ekonomi, hukum, politik, dan kebijakan-kebijakan strategis).


(32)

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi role (peran) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM DAMAR) dan Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS AISYIYAH) dalam penguatan pengarusutamaan gender.

3. Untuk mengetahui ruang lingkup dari roles (peran) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM DAMAR) dan Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS AISYIYAH) dalam penguatan pengarusutamaan gender.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah:

1. Bagi penulis penelitian ini bermanfaat dan berguna untuk meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan kemampuan berpikir secara sistematis serta sebagai media bagi penulis untuk menghasilkan sebuah karya ilmiah.

2. Penelitian ini dapat memperkaya kajian ilmiah tentang proses perjuangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM DAMAR) dan Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS AISIYAH) dalam dinamika penguatan pengarusutamaan gender.

3. Sarana informasi bagi Lembaga Swadaya Masyarakat dan Organisasi Kemasyarakatan serta masyarakat tentang Lembaga Swadaya Masyarakat DAMAR dan Organisasi Kemasyarakatan AISIYAH dalam dinamika penguatan pengarusutamaan gender.


(33)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Gender

Gender dalam sosiologi mengacu pada sekumpulan ciri-ciri khas yang dikaitkan dengan jenis kelamin individu (seseorang) dan diarahkan pada peran sosial atau identitasnya dalam masyarakat. World Health Organization (WHO) memberi batasan gender sebagai "seperangkat peran, perilaku, kegiatan, dan atribut yang dianggap layak bagi laki-laki dan perempuan, yang dikonstruksi secara sosial, dalam suatu masyarakat. Konsep gender berbeda dari seks atau jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) yang bersifat biologis, walaupun dalam pembicaraan sehari-hari seks dan gender dapat saling dipertukarkan. Ilmu bahasa (linguistik) juga menggunakan istilah gender (alternatif lain adalah genus) bagi pengelompokan kata benda (nomina) dalam sejumlah bahasa. Banyak bahasa, yang terkenal dari rumpun bahasa Indo-Eropa (contohnya bahasa Spanyol) dan Afroasiatik (seperti bahasa Arab), mengenal kata benda "maskulin" dan "feminin" (beberapa juga mengenal kata benda "netral").

Isu LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender), gender dikaitkan dengan orientasi seksual. Seseorang yang merasa identitas gendernya tidak sejalan dengan jenis kelaminnya dapat menyebut dirinya "intergender", seperti dalam


(34)

kasus waria. Konsep gender, yang dikenal adalah peran gender individu di masyarakat, sehingga orang mengenal maskulinitas dan femininitas. Ilustrasinya, sesuatu yang dianggap maskulin dalam satu kebudayaan bisa dianggap sebagai feminin dalam budaya lain. Ciri maskulin atau feminin itu tergantung dari konteks sosial-budaya bukan semata-mata pada perbedaan jenis kelamin.

Gender menyangkut perbedaan psikologis, sosial, dan budaya antara laki-laki

dan perempuan, “the psychological, social, and cultural differences between

males and females.” (Remiswal:2013: 12). Lebih lanjut, menurut Lasswel,

gender diartikan sebagai pengetahuan dan kesadaran, baik secara sadar ataupun tidak sadar, bahwa seseorang dalam suatu jenis kelamin tertentu dan

bukan dalam jenis kelamin lain, “the knowledge and awareness conscious or

unconscious, that one belongs to one sex and not to other”(Remiswal:2013:

12)

Menurut Umar (Remiswal:2013: 12) pada garis besarnya teori gender dikelompokkan kedalam dua aliran, yaitu nature dan nurture. Bersumber dari dua aliran besar inilah teori-teori gender dibangun. Aliran nature mengatakan bahwa perbedaan peran laki-laki dan perempuan bersifat kodrati, sedangkan aliran nurture menyatakan bahwa perbedaan relasi gender antara laki-laki dan perempuan tidak ditentukan oleh factor biologis, melainkan oleh konstruksi masyarakat. Selain itu menurut Millet (Remiswal:2012: 13) aliran nature melihat perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan disebabkan


(35)

oleh perbedaan biologis. Sisi biologis laki-laki memiliki tubuh lebih kuat dan kekar. Perempuan mengalami menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui. Peran tersebut masing-masing tidak dapat dipertukarkan laki-laki. Berbeda dengan aliran nurture, bahwa peran yang dikonstruksi oleh budaya masyarakat masih dapat dipertukarkan, seperti mencari nafkah, menjadi pimpinan, menyelesaikan urusan domestik serta urusan publik dan sebagainya, yang mana dapat dimainkan secara bergantian antara laki-laki dan perempuan.

Menurut Zayd (Remiswal:2013: 13) munculnya teori-teori gender dipandang sebagai tindakan pembelahan (penghancuran), menimbulkan dikotomi di dalam masyarakat, seperti pembedaan peran antara laki-laki dan perempuan, telah melahirkan persaingan tajam karena berlandaskan dari dua trend pemikiran; fundamentalisme Islam dan Sekulerisme. Pemikir fundamentalis melakukan kritik terhadap musuh-musuhnya dari dua segi; pertama, mendistorsi kerangka intelektual dan kultural eksternal yang dimiliki ole

hang” musuh. Segi kedua adalah kritiknya terhadap wacana Nahdah Arab

secara umum dan khususnya wacana Mesir. Bagi kalangan pemikir fundamentalis tumbuh subur nilai-nilai tradisi, menganggap tidak sama peran antara laki-laki dan perempuan dalam urusan publik. Keutamaan biologis laki-laki yang lebih unggul maka memiliki peran jelas dalam urusan publik. Keterbatasan dan hambatan yang dimiliki perempuan cukup mengurus urusan domestik. Sisi lain, pemikir sekular dengan mengadopsi nilai-nilai Barat mendukung gerakan emansipasi di kalangan perempuan Muslim. Perempuan


(36)

boleh menuntut persamaan hak atas laki-laki. Perempuan tidak hanya mengurus urusan domestik, tetapi bisa juga mengurus urusan publik.

B. Gender Dalam Perspektif Teori Kritis

Sejarah Teori kritis berkembang secara pesat dalam Frankfurt School. Pelopor sekolah Frankfurt Felix J. Weil adalah seorang sarjana politik. Mendapat warisan dari ayahnya Herman Weil, ia menghimpun cendekiawan untuk menyegarkan kembali ajaran Marx sesuai kebutuhan saat itu. Cendekiawan yang tergabung antara lain Friederickh Pollock ahli ekonomi, Theodore W. Adorno, musikus, ahli sastra dan filsuf; Herbert Marcuse, murid Heidegger; Erich Fromm ahli psikoanalisa Freud; Walter Benyamin kritikus sastra, Max Horkheimer, Jurgen Habermas dan sebagainya.

Sejak awal secara eksplisit sekolah Frankfurt menempatkan ajaran Marxisme sebagai titik tolak pemikirannya. Melalui sekolah ini ajaran-ajaran Marx diperbarui dan bahkan ditinggalkan. Sekolah Frankfurt juga mendasarkan diri pada perspektif idealisme Jerman yang dirintis Immanuel Kant (kritisisme), memuncak pada ajaran Hegel melalui dialektikanya serta ketika Horkheimer sebagai pimpinan Frankfurt School teori kritis mendapatkan penyegaran melalui ajaran Freud dan Habermas sendiri seperti Althuser yang memperbaharui teori Marx dengan konsentrasi pada ideologi.(Bryan:2012: 89)

Menurut Horkheimer dan kawan-kawannya, Kant dapat disebut sebagai filosuf kritis yang pertama. Kant sendiri menamakan filsafatnya sebagai


(37)

kritis, dalam arti bahwa akal budi harus menilai kemampuan dan keterbatasannya, dan hanya lewat kemampuan dan keterbatasannya itu akal budi mengetahui sesuatu. Hal tersebut merupakan pengertian kritis yang pertama bahwa pengetahuan kita tidak ditentukan oleh objek, tapi subjek yang menghasilkan pengetahuan itu. Bahkan objek dapat dikonstruksi dan bahkan verifikasi hanya melalui subjek, tanpa kerja subjek tidak berarti apa-apa. Berpikir secara kritis adalah berpikir dialektis. Proses berpikir dialektis bukan sekedar dirumuskan thesis-antithesis dan sinthesis sebagaimana pada umumnya dirumuskan. Melainkan dalam dialektika disamping ketiga tesis itu juga diperlukan adanya saling negasi, kontradiksi dan mediasi. (Bryan:2012: 89)

Berpikir kritis memerlukan: pertama, berpikir kritis adalah berpikir secara dialektis, berpikir dialektis adalah berpikir secara totalitas. Totalitas bukan berarti semata-mata keseluruhan di mana unsur-unsurnya yang bertentangan berdiri sejajar. Tetapi totalitas itu berarti keseluruhan yang mempunyai unsur-unsur yang saling bernegasi (mengingkari dan diingkari), saling berkontradiksi (melawan dan dilawan), dan saling bermediasi (memperantarai dan diperantarai). Pemikiran dialektis menekankan bahwa dalam kehidupan yang nyata pasti unsur-unsurnya saling berkontradiksi, bernegasi dan bermediasi. Pemikiran dialektis menolak kesadaran yang abstrak, misalnya individu dan masyarakat. Menurut pemikiran dialektis, individu selalu saling berkontradiksi, bermediasi dan bernegasi terhadap masyarakat.


(38)

Konsepsi teori kritis di samping bersumber pada Kant, Hegel juga pada Marx yang utamanya berangkat dari kritik ekonomi politik Marx. Menurut penganut Frankfurt school kritik ekonomi politik Marx harus diubah menjadi kritik sosiologi politik. Sebagaimana pendirian Marx bukanlah kesadaran manusia yang menentukan keadaan mereka melainkan sebaliknya keadaan sosial tersebut yang menentukan kesadaran mereka. Kritik Ideologi melalui Freud. Erich Fromm lah yang memasukkan psikoanalis Freud ke dalam ajaran teori kritis. Menurut Fromm kritik ideologi Marx membutuhkan psikoanalisa, sebab psikoanalisa dapat mempertajam kritik ideologi Marx. Menurut Marx ideologi itu adalah kesadaran palsu, maksudnya ideologi tidak menggambarkan situasi nyata manusia secara apa adanya, ideologi menggambarkan keadaan secara terpuntir atau terbalik.

Teori kritis memang diilhami filsafat kritis, sedangkan filsafat kritis mendapatkan aspirasinya dari kritik ideologi yang dikembangkan Marx sewaktu masih muda, dalam tahap pemikirannya yang sering disebut hegelian muda. Selanjutnya perlu juga diketahui bahwa kritis di samping sebagai teori juga sebagai pendekatan. kritis sebagai pendekatan dalam arti bahwa sebuah teori hanyalah benar sebagai kritik terhadap belenggu-belenggu ideologis teori-teori terdahulu, jadi sebagai usaha teoretis yang sekaligus praksis emansipatif. Selanjutnya perlu ditegaskan bahwa teori kritis kebenarannya sangat tergantung bagaimana diterjemahkan dalam praktek.(Bryan:2012: 94) Teori kritis harus dipahami dalam konteks jamannya, tetapi manakala jaman itu memiliki karakter yang sama, maka tidak mustahil bahwa teori itu pun


(39)

mempunyai relevansi dengan realitas jaman. Kontekstual dengan logika situasi, logika jaman atau zeit geschit (Bryan:2012: 96). Sebagai contoh teori kritis dengan inspirasi dari ajaran Marx, memandang masyarakat kapitalis sebagai masyarakat yang menindas. Demikian pula manakala kehidupan di Indonesia dewasa ini menunjukkan karakter yang sama, maka teori kritis memiliki relevansinya.

Teori kritis dapat dianggap sebagai teori perjuangan, namun teori kritis juga tidak mengehendaki cara-cara yang destruktif, brutal dan anarkhis. Teori kritis lebih menonjolkan kekuatan moral. Teori kritis menghendaki suatu revolusi, namun revolusi secara damai. Teori kritis memang jauh berbeda dengan pemikiran tradisional, tidak bersifat kontemplatif, teori ini bermaksud mengembalikan kemerdekaan dan kebebasan manusia dan masa depan mereka. Teori kritis bermaksud membebaskan manusia dari belenggu penghisapan dan penindasan.

Teori kritis pada dirinya memang mempunyai daya tarik, namun lebih dari pada itu teori kritis menjadi lebih menarik manakala telah dikaitkan dengan realitas masyarakat. Hal ini pada dasarnya juga ingin mempertanyakan masih relevankah teori kritis sebagai teori perjuangan dewasa ini. Daya tarik itu semakin nyata apabila dikaitkan bahwa kita sendiri secara empiris mengamati, merasakan, menghayati, merefleksikan dan sekaligus mengkritisi realitas masyarakat sekarang ini. Ini juga berarti bahwa teori sosial tidak dapat dilepaskan dari praktek politik. Menurut Bloor (dalam Bryan, 2012:


(40)

96) upaya-upaya awal dalam sosiologi untuk mengkaji ilmu pengetahuan

tunduk pada ”prinsip asimetris” yang mengatur bahwa pernyataan-pernyataan

yang benar dijelaskan dengan mengacu pada pengaruh pemutarbalikan distortif kekuatan-kekuatan sosial. Prinsip asimetri mengisyaratkan bahwa baik kesalahan maupun kebenaran memiliki akar-akar sosial, yang berarti bahwa keduanya diproduksi secara kolektif. Kebenaran merupakan sebuah kesepakatan yang muncul dalam suatu komunitas, dan tidak lagi ditentukan oleh hubungan pernyataan ilmiah dan realitas. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa produksi pengetahuan ilmiah dipengaruhi oleh faktor-faktor sosiologis, mulai dari kepentingan kelompok-kelompok yang bersaing hingga masalah gender dan perdebatan-perdebatan politis lainnya.

Teori kritis memandang bahwa kenetralan teori tradisional sebagai kedok pelestarian keadaan yang ada. Padahal menurut teori kritis memandang bahwa realitas yang ada itu menindas, dan semu, oleh karena itu realitas yang menindas dan semu itu harus disibak, dibongkar dengan jalan mempertanyakan mengapa sampai terjadi realitas yang demikian. Menurut teori kritis, teori tradisional itu ahistoris, sebab teori tradisional memutlakkan ilmu pengetahuan sebagai satu-satunya unsur yang bisa menyelamatkan masyarakat (pandangan aliran fungsional). Teori tradisional memisahkan teori dan praksis, maksudnya teori tradisional membiarkan fakta secara lahiriah. Hal ini berarti bahwa teori tradisional tidak memikirkan peran dan aplikasi praktis dari sistem konseptual atau teoretisnya. Menurut teori kritis, memisahkan teori dengan praksis, teori tradisional hanya berpikir teori demi


(41)

teori (ilmu untuk ilmu; seni untuk seni dsb), dengan demikian teori tradisional menjadi ideologis, tidak memikirkan bagaimana teorinya dapat menghasilkan kesadaran yang membuahkan tindakan untuk mempengaruhi bahkan mengubah fakta atau realitas.

Menurut Horkheimer teori tradisional tidak mungkin menjadi teori emansipatoris, bahkan teori tradisional dengan sifatnya yang ideologis justru melestarikan keadaan yang ada. Jadi kenetralan nya justru dengan diam-diam membenarkan keadaan yang ada, pada hal keadaan yang ada adalah membelenggu dan menindas manusia (dehumanisasi). Horkheimer menegaskan bahwa teori tradisional tidak mungkin menjadi teori emansipatoris apabila tidak melakukan pembaharuan-pembaharuan. Teori tradisional ini berbeda dengan teori kritis yang sejak semula mengidealkan memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia dari masyarakat irasional dan dengan demikian juga memberikan kesadaran untuk pembangunan masyarakat.

Agar teori kritis dapat bertindak emansipatoris, maka menurut Horkheimer: (1) teori kritis harus selalu curiga dan kritis terhadap masyarakat;(2) teori kritis berpikir secara historis; (3) teori kritis tidak memisahkan teori dengan praksis. Teori kritis harus selalu curiga dan kritis terhadap masyarakat agar teori dapat menjadi emansipatoris, maka harus kritis. Sebagaimana Marx dapat menggunakan konsep kritis ini, maka Horkheimer juga memandang bahwa kritik harus dilontarkan kepada masyarakat, ini semata-mata agar teori


(42)

kritis benar-benar bersifat emansipatoris. Sebagai contoh terhadap kategorisasi ini produktif atau tidak, berguna atau tidak, layak atau tidak, bernilai atau tidak dan sebagainya.

Ciri khas teori kritis yang dikritik bukan karena kekurangannya, melainkan keseluruhan. Teori membuka irasionalitas dalam pengandaian-pengandaian sistem yang ada. Membuka bahwa sebenarnya produksi tidak untuk memenuhi kebutuhan manusia, melainkan kebutuhan manusia diciptakan dimanipulasi demi produksi. Teori kritis berharap apabila rasionalitas semu sistem sudah dirobek, maka kontradiksi-kontradiksi akan nampak jelas, dapat membuka belenggu dan membebaskan manusia ke arah kemanusiaan yang sebenarnya.(Enangcuhendi, 22 April 2013)

Kontra dan kontradiksi antara teori kritis dengan teori tradisional, perlu juga ditelusuri pertautan antara pengetahuan dan kepentingan (knowledge and interest). Teori kritis mempunyai pandangan yang khas sebagai upaya untuk menyerang pandangan yang telah ada. Pandangan lama mengatakan bahwa Ilmu pengetahuan harus dibangun dengan dasar objektivitas, bebas nilai (value free), netral sebagaimana doktrin positivisme. Selubung objektivitas itu ilmu-ilmu tersembunyi kepentingan-kepentingan kekuasaan. Mengenai bebas nilai, teori kritis memandang bahwa ilmu pengetahuan dapat berkembang atau tumbuh subur bersama dengan kepentingan fundamental yang ada di dalamnya (Enangcuhendi, 22 April 2013). Sejauh menyangkut dasar dan dampak sebuah teori ilmu sosial, maka tak ada satu disiplin


(43)

ilmu-ilmu sosial pun yang dapat bebas nilai (value free), bebas kepentingan (interest-free), dan bebas kekuasaan (power-free). Habermas telah melakukan apa yang dapat disebut kritik ideologi dan kritik ilmu pengetahuan melalui kritik pengetahuan. Bagi Habermas antara pengetahuan, ilmu pengetahuan dan ideologi merupakan tiga hal yang saling bertautan dan ketiganya berkaitan pada praksis kehidupan sosial manusia.

Menurut Habermas, segala sesuatu tindakan manusia didasarkan pada tiga kepentingan dasar. Pertama, kepentingan teknis, yaitu untuk menguasai alam. Kedua, kepentingan praktis, untuk berkomuni-kasi. Ketiga, kepentingan emansipatoris untuk menentang segala paksaan (Enangcuhendi, 22 April 2013). Kehidupan masyarakat modern membuat bidang kehidupan manusia seolah-olah demi kepentingan teknis saja. Oleh karena itu untuk mendobraknya dapat dilaksanakan dengan refleksi. Melalui refleksi ini sejarah pengalaman penderitaan manusia dapat disadari, utamanya kesadaran emansipatoris.

Teori kritis melalui refleksinya menunjukkan kepada kita bagaimana teori-teori tradisional telah dibangun dengan membelenggu kebebasan manusia, sekaligus mencoba menegasi subjektivitas manusia atas realitas sosial maupun konstruksi pengetahuan yang ada. Mempelajari teori kritis, membuka mata seseorang akan realitas yang sesungguhnya. Terbuka pula selubung-selubung ideologis yang secara inheren terbawa oleh industrialisasi, maupun ciptaan-ciptaan yang mengikutinya. (Enangcuhendi, 22 April 2013).


(44)

Seseorang dan atau masyarakat yang terbuka pikiran dan kesadarannya akibat mengkaji teori kritis akan melakukan tuntutan-tuntutan perbaikan atas diri dan masyarakatnya. Hal ini nampak ditunjukkan oleh gerakan-gerakan mahasiswa melalui pernyataan keprihatinan, demo dan protes kepada lembaga-lembaga legislatif. Kelompok masyarakat yang menamakan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) bermaksud untuk menyadarkan dan sekaligus memberdayakan dirinya, sehingga dapat menegakkan hakikat kemanusiaannya.

Perjuangan kesetaraan gender, dapat dikatakan terinspirasi lahir dari pemikiran teori kritis-critical theory/Marxis Kritis. Teori kritis yang digunakan untuk membuat penilaian terhadap kehidupan masyarakat, menawarkan beberapa pandangan sebagai berikut: pertama, sangat penting bagi para ilmuwan sosial kritis untuk memahami pengalaman hidup nyata orang-orang di dalam sebuah konteks. Kedua, pendekatan kritis pembedah kondisi sosial digunakan untuk mengungkapkan tatanan yang rusak yang biasanya tersembunyi di dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga, teori ini memfusikan teori dan aksi (Vincensius, 16 November 2010).

Teori kritis melihat bagaimana proses kompetisi kepentingan di dalam masyarakat berjalan. Bagaimana konflik bisa terjadi di antara kelompok tertentu. Teori kritis menekankan perhatiannya pada kepentingan-kepentingan kaum marjinal. Teori ini berusaha mengungkapkan tekanan-tekanan dari kelompok dominan yang dalam kehidupan sehari-hari tidak terlihat. Teori


(45)

kritis juga percaya pengetahuan sangat potensial menjadikan kelompok sosial tertentu memiliki kekuasan untuk menekan kelompok sosial lainnya.

Adapun pandangan teori kritis terhadap konsep gender adalah bahwa adanya konstruksi jenis kelamin sosial dalam masyarakat sebagai akibat dari penisbahan dari ranah-ranah pengalaman manusia yang diidentikan dengan perempuan yaitu hal personal, emosional, dan seksual. Faktor-faktor sosial dalam praktik keilmuwan diarahkan pada konsep maskulinitas yang identik dengan objektivitas dan pengetahuan, sedangkan feminitas dikaitkan dengan emosional dan irasional. Rekonstruksi gender adalah sebuah tahapan untuk meninjau ulang apakah benar pemahaman dan pengetahuan tentang identifikasi maskulin dan feminin. Terjadinya ketimpangan dalam masyarakat antara peran perempuan dan laki-laki memunculkan berbagai gerakan sosial kritis selama dasawarsa terakhir, diantaranya adalah gerakan sosial kesetaraan gender yang berupaya mengkonstruksi ulang perbedaan

“jenis kelamin” sosial antara laki-laki dan perempuan, sebagai bentuk kritik

terhadap berbagai praktik sosial dan relasi-relasi kekuasaan yang disinyalir tidak netral dan berpihak terhadap perempuan.(Bryan:2012: 99)

C. Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan di Indonesia

Pengarusutamaan gender disebut juga dengan PUG adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan.(Menegpp, 14 Juni 2012)


(46)

Selain itu juga pengarusutamaan gender dapat diartikan sebagai strategi yang dilakukan secara rasional dan sistematis untuk mencapai dan mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam sejumlah aspek kehidupan manusia (rumah tangga, masyarakat, dan Negara), melalui kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program diberbagai bidang kehidupan dan pembangunan. (Wikipedia, 5 April 2013)

Konsep pengarusutamaan gender membawa isu-isu gender ke dalam arus utama masyarakat jelas didirikan sebagai strategi global untuk mempromosikan kesetaraan gender dalam Platform for Action yang diadopsi di Perserikatan Bangsa Konferensi Dunia Keempat tentang Perempuan Amerika, diselenggarakan di Beijing (Cina) pada tahun 1995, kesetaraan gender adalah tujuan utama di seluruh bidang pembangunan Pada bulan Juli 1997, Ekonomi PBB dan Dewan Sosial (ECOSOC) mendefinisikan konsep pengarusutamaan gender sebagai berikut: "Pengarusutamaan perspektif gender adalah proses menilai implikasi bagi perempuan dan laki-laki dari setiap tindakan yang direncanakan, termasuk legislasi, kebijakan atau program. Ini adalah strategi untuk menjadikan keprihatinan dan pengalaman perempuan serta sebagai laki-laki merupakan bagian integral dari desain, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan dan program di semua bidang politik, ekonomi dan sosial, sehingga perempuan dan laki-laki mendapatkan manfaat yang sama, dan tidak ada lagi


(47)

ketidaksetaraan, tujuan akhir dari pengarusutamaan adalah mencapai kesetaraan gender".

Pengarusutamaan termasuk spesifik gender kegiatan dan tindakan afirmatif , setiap kali perempuan atau laki-laki berada dalam posisi yang sangat menguntungkan. Intervensi spesifik gender dapat menargetkan wanita eksklusif, pria dan wanita bersama-sama, atau hanya laki-laki, untuk memungkinkan mereka untuk berpartisipasi dan manfaat yang sama dari upaya pembangunan. Ini adalah tindakan sementara perlu dirancang untuk memerangi konsekuensi langsung dan tidak langsung dari diskriminasi di masa lalu.

Transformasi dengan Pengarusutamaan bukanlah tentang menambahkan " komponen perempuan " atau bahkan "komponen kesetaraan gender" menjadi suatu aktivitas yang ada. Ini melampaui meningkatkan partisipasi perempuan, artinya membawa pengalaman, pengetahuan, dan kepentingan perempuan dan laki-laki untuk menanggung pada agenda pembangunan. Perlunya perubahan dalam tujuan, strategi, dan tindakan sehingga baik perempuan dan laki-laki dapat mempengaruhi, berpartisipasi dalam, dan memperoleh manfaat dari proses pembangunan. Tujuan dari pengarusutamaan kesetaraan jender dengan demikian transformasi struktur sosial dan kelembagaan yang tidak merata ke dalam struktur yang sama dan hanya untuk pria dan wanita. Pengarusutamaan gender dalam pembangunan dapat diilustrasikan dalam bagan berikut ini :


(48)

PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG)

Integrasi :

Keadilan dan kesetaraan gender -Permasalahan

-Kebutuhan

Analisis gender Strategi pembangunan -Pengalaman

-Aspirasi perempuan dan laki-laki

Perencanaan,pelaksanaan,

pemantauan dan evaluasi seluruh kebijakan, program dan kegiatan pembangunan

Indikator Pengarusutamaan Gender (Indikator PUG)

Keadilan dan kesetaraan gender Akses Terhadap sumber daya (KKG) Partisipasi

Kontrol Terhadap pengambilan keputusan

Manfaat Dari kebijakan dan Program dalam pembangunan


(49)

Pengarusutamaan gender disebut juga dengan PUG adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan. (Menegpp, 14 Juni 2013) Selain itu juga pengarusutamaan gender dapat diartikan sebagai strategi yang dilakukan secara rasional dan sistematis untuk mencapai dan mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam sejumlah aspek kehidupan manusia (rumah tangga, masyarakat, dan Negara), melalui kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program diberbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Tujuan pelaksanaan Pengarusutamaan gender adalah memastikan bahwa perempuan akan mendapatkan dan memperoleh hak-hak dasar dalam proses pembangunan yaitu memperoleh akses yang sama kepada sumberdaya pembangunan, berpartisipasi yang sama dalam proses pembangunan. (Wikipedia, 2013)

Konsep pengarusutamaan gender membawa isu-isu gender ke dalam arus utama masyarakat jelas didirikan sebagai strategi global untuk mempromosikan kesetaraan gender dalam Platform for Action yang diadopsi di Perserikatan Bangsa Konferensi Dunia Keempat tentang Perempuan Amerika, diselenggarakan di Beijing (Cina) pada tahun 1995, kesetaraan gender adalah tujuan utama di seluruh bidang pembangunan Pada bulan Juli 1997, Ekonomi PBB dan Dewan Sosial (ECOSOC)


(50)

mendefinisikan konsep pengarusutamaan gender sebagai berikut : "Pengarusutamaan perspektif gender adalah proses menilai implikasi bagi perempuan dan laki-laki dari setiap tindakan yang direncanakan, termasuk legislasi, kebijakan atau program. Ini adalah strategi untuk menjadikan keprihatinan dan pengalaman perempuan serta sebagai laki-laki merupakan bagian integral dari desain, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan dan program di semua bidang politik, ekonomi dan sosial, sehingga perempuan dan laki-laki mendapatkan manfaat yang sama, dan tidak ada lagi ketidaksetaraan, tujuan akhir dari pengarusutamaan adalah mencapai kesetaraan gender". Transformasi dengan Pengarusutamaan bukanlah tentang menambahkan “komponen perempuan" atau bahkan "komponen kesetaraan gender" menjadi suatu aktivitas yang ada . Ini melampaui meningkatkan partisipasi perempuan, artinya membawa pengalaman, pengetahuan, dan kepentingan perempuan dan laki-laki untuk menanggung pada agenda pembangunan.

Hadirnya NGO dan CBO lebih dikenal dengan istilah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan CBO (ORMAS) adalah pengejawantahan dari civil

society organization (CSO’s), memiliki peran sebagai agen of change menuju

demokratisasi yang lebih baik. Organisasi masyarakat sipil tersebut merupakan bentuk komitmen warga Negara yang memiliki kepedulian terhadap persoalan-persoalan yang muncul baik dalam bidang sosial, ekonomi, politik. Kehadiran NGO dan CBO dalam masyarakat adalah sebuah kebutuhan, karena kapasitas pemerintah terbatas dalam pemenuhan


(51)

kebutuhan warga Negara. NGO dan CBO disebut juga sebagai the best provider atau penyelia terbaik, karena kegiatan-kegiatan pelayanan yang dilakukan biasanya lebih efektif dan efisien. (Riker dkk, dalam Gaffar:2006: 202)

Seiring dengan proses perkembangan demokratisasi menuju masyarakat sipil yang madani, menghendaki adanya persamaan hak dan kewajiban bagi seluruh warganegara. Salah satu implementasi dari hal tersebut adalah adanya pencangan program pengarusutamaan gender oleh pemerintah sebagai perwujudan dari keinginan adanya keadilan dan kesetaraan gender di masyarakat. Berbagai macam NGO dan CBO kemudian bermunculan dan mengusung platform perjuangan gender, meski tidak semua NGO dan CBO tersebut dapat melaksanakan penguatan pengarusutamaan gender.

Diantara banyaknya NGO dan CBO tersebut, memang tidak semuanya dapat mengimplementasikan perjuangan keadilan dan kesetaraan gender dalam penguatan pengarusutamaan gender. Meski demikian ada beberapa NGO dan CBO yang benar-benar melakukan penguatan pengarusutamaan gender, diantaranya adalah LSM Paramitra Malang, LBH Apik Jakarta, LSM Seroja Solo, LSM Dian Desa Yogyakarta,dan LSM Damar Bandar Lampung. Adapun ORMAS yang turut memperjuangankan kepentingan perempuan diantaranya adalah Koalisi Perempuan Indonesia, Perempuan Peduli Bangsa, Wanita Hindu Dharma, Muslimat Nahdlatul Ulama, Fatayat Nahdlatul Ulama, dan Nasiyatul Aisiyah.


(52)

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Organisasi Masyarakat (ORMAS) tersebut berusaha untuk memberikan pelayanan pemenuhan kebutuhan masyarakat khususnya kaum perempuan dalam mendapatkan persamaan hak dan kewajiban sebagai warga Negara. LSM memiliki berbagai macam peranan dalam proses pembangunan sebuah Negara.

Menurut Heyzer (Ryker dkk, dalam Gaffar:2006: 203) mengidentifikasika tiga peran LSM, yaitu :

a) Mendukung dan memberdayakan masyarakat pada tingkat

“grassroots”, yang sangat esensial dalam rangka menciptakan

pembangunan berkelanjutan.

b) Meningkatkan pengaruh politik secara meluas, melalui jaringan kerjasama, baik dalam suatu Negara ataupun dengan lembaga-lembaga internasional lainnya.

c) Ikut mengambil bagian dalam menentukan arah dan agenda pembangunan.

Selain itu menurut Andra L. Corrothers dan Estie W. Suryatna (Gaffar:2006: 204), mengidentifikasikan empat peran NGO/LSM yaitu :

a) Katalisasi perubahan sistem dilakukan dengan cara mengangkat masalah-masalah penting dalam masyarakat, membentuk kesadaran global, advokasi untuk perubahan kebijakan Negara, mengembangkan kemauan politik rakyat, mengadakan eksperimen yang mendorong inisiatif masyarakat.


(53)

b) Memonitor pelaksanaan sistem dan cara penyelenggaraan Negara, bila perlu melakukan protes.

c) Memfasilitasi rekonsiliasi warga Negara dengan lembaga peradilan, dengan melakukan advokasi bagi masyarakat yang menjadi korban ketidakadilan.

d) Implementasi program pelayanan, menempatkan diri sebagai lembaga yang mewujudkan sejumlah program dalam masyarakat.

Menurut Amy Pollard dan Julius Court (2005: 25) ada beberapa hal yang juga dilakukan oleh Civil Society Organisation atau dikenal dengan istilah NGO dan CBO yaitu :

1. Mempengaruhi agenda setting, dimana NGO dan CBO menggunakan memberikan petunjuk atau keterangan dan memperkuat fakta-fakta agar dapat memberikan wawasan baru untuk merubah kebijakan. Faktor terpentingnya adalah komunikasi.

2. Mempengaruhi formulasi kebijakan sebagai bentuk dari kredibilitas sebuah NGO dan CBO. Kualitas dari fakta-fakta yang dimiliki oleh NGO dan CBO digunakan untuk menunjukkan reputasi, bahkan suatu waktu cara yang digunakan disesuaikan dengan kebutuhan demi menjaga kredibilitas terhadap komunitas local dan para pembuat kebijakan. Kualitas dan kuantitas dari fakta-fakta tersebut sangat penting untuk mempengaruhi kebijakan.

3. Mempengaruhi implementasi kebijakan dengan menggunakan fakta-fakta sebagai alat untuk mengkritisi, memperbaiki agar pembangunan


(54)

menjadi efektif dan diharapkan pengetahuan atau fakta-fakta dari NGO dan CBO dapat menjadi sarana pertukaran informasi antar NGO, CBO maupun pemerintah.

4. Monitoring dan evaluasi kebijakan adalah factor utama untuk menghasilkan informasi yang relevan dan komunikasi antar fakta-fakta menjadi jelas sehingga diperoleh kesimpulan dan cara atau solusi (hal tersebut dapat terjadi di dalam NGO/CBO maupun dengan para pembuat kebijakan).

Jumlah NGO/LSM sangat banyak dan beragam, menurut Ryker (Heyzer dkk, dalam Gaffar:2006: 205-206) ada empat kategori besar yaitu :

1) Government Organized NGOs or GONGOs, yaitu NGO/LSM yang muncul karena mendapat dukungan dari pemerintah, baik berupa dana maupun fasilitas. Berperan menyukseskan program-program pemerintah, disebut juga “LSM plat merah”.

2) Donor Organized NGOs or DONGOs, yaitu NGO/LSM yang dibentuk oleh kalangan lembaga-lembaga donor, baik yang bersifat multilateral maupun unilateral, dibentuk untuk mewujudkan program dari lembaga donor tersebut.

3) Autonomous or Independent NGOs, yaitu NGO/LSM yang dibentuk, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat, sifatnya independen secara finansial dan memiliki kepedulian yang sangat luas tentang berbagai hal dalam kehidupan sehari-hari.


(55)

4) Foreign NGOs, muncul sebagai perwakilan dari NGO yang ada di luar negeri, dan harus mendapat izin dari Negara tempat NGO tersebut berada.

Ada tiga tujuan utama NGO (Amy Pollard and Julius Court, Working Paper 2005: 249) yaitu :

a. Inspire, yaitu NGO menjadi inspirator bagi Negara, masyarakat dan gerakan masyarakat madani, menyampaikan ide-ide baru, cara-cara baru untuk mengemas isu-isu yang berkaitan dengan gerakan masyarakat madani agar dapat diterima di masyarakat.

b. Inform, yaitu mewakili kepentingan-kepentingan/cara pandang untuk menyampaikan informasi, berperan sebagai informer bagi masyarakat. c. Improve yaitu meningkatkan kebijakan/memperbaiki/merubah

kebijakan, meningkatkan evaluasi dengan belajar dari kelompok-kelompok lainnya terhadap diri sendiri (masyarakat madani)

1. Gender Dalam Pembangunan

Gender dalam pembangunan adalah sebuah pendekatan untuk melihat bagaimana perempuan berintegrasi dalam pembagunan. Menurut Buhanuddin dan Faturrahman (Remiswal:2013: 36) pendekatan genders dalam pembangunan berpijak pada ideologi developmentalism, dimana pembangunan merupakan wujud pemikiran modern atau terjadinya modernisasi pemikiran tentang pembangunan merupakan proses kemajuan yang bergerak secara linear dan pasti. Hanya saja, perempuan tetap masih


(56)

berada dalam posisi terbelakang, baik sebagai pelaku, objek maupun pemanfaat pembangunan. Penyebabnya adalah perempuan tidak dilibatkan dalam kegiatan pembangunan, baik karena alasan klasik seperti peran subordinat perempuan maupun alasan-alasan yang berkaitan dengan sosial budaya. Prinsip dasar dari gender dalam proses pembangunan adalah kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki harus diabadikan sebagai prinsip fundamental, perempuan harus diakui sebagai agen dan pewaris perubahan, serta model pembangunan baru yang berperspektif gender, bertujuan untuk memperluas pilihan-pilihan bagi perempuan dan laki-laki, namun perbedaan budaya dan masyarakat tidak boleh dianggap sebagai sesuatu yang bersifat kodrati.

Pendekatan gender dalam pembangunan berpijak pada dua hal yaitu : (1). Prinsip egalitarian, kepercayaan bahwa semua orang sederajat, (2). Menitikberatkan pada pengadaan program yang dapat mengurangi (diskriminasi yang dialami oleh perempuan pada sektor produksi. (Remiswal:2012: 36). Ada lima pendekatan yang berkaitan dengan kedudukan wanita dalam pembangunan yaitu : (1).Pendekatan kesejahteraan (the welfare approach), (2).Pendekatan keadilan (the equity approach), (3).Pendekatan pengentasan kemiskinan (the anti-poverty approach), (4).Pendekatan efisiensi (the efficiency approach), (5).Pendekatan pemberdayaan (the empowerment approach). Implementasi dan pelaksanaannya dievaluasi dalam konteks pemenuhan


(57)

kebutuhan praktis gender (practical gender needs) dan kebutuhan strategis gender (strategic gender needs).(Prijono,Pranaka,dalam Remiswal: 2013)

Gender dalam Pembangunan dalam wacana popular dikaitkan dengan berbagai kegiatan yang menyangkut perempuan dalam domain pembangunan, dimana lembaga donor, pemerintah dan LSM telah terlibat didalamnya sejak 1970-an. Pada tahun 1975 Konferensi Dunia Internasional di Mexico City, memberikan kegembiraan pada wanita di seluruh dunia : karena dibahas tentang peningkatan kesempatan pendidikan dan pekerjaan; kesetaraan dalam politik dan partisipasi sosial, dan pelayanan kesehatan dan kesejahteraan meningkat. Gerakan gender dalam pembangunan yang muncul selama periode ini menuntut keadilan sosial dan kesetaraan untuk perempuan. Wacana gender dalam pembangunan, berusaha untuk menyelaraskan hubungan antara isu keadilan dan masalah pembangunan. Berbagai cara dilakukan diantaranya adalah pendekatan kepada para pembuat kebijakan dengan berbagai tuntutan bagi perempuan ini pendukung gender dalam pembangunan telah mengadopsi strategi yang relevan.

Tuntutan mereka untuk alokasi sumber daya pembangunan bagi perempuan bergantung pada argumen tentang efisiensi ekonomi terhadap apa yang dapat dikontribusikan oleh perempuan dalam proses pembangunan. Hal ini juga berdampak signifikan terhadap perencanaan pembangunan untuk mengalokasikan kepentingan perempuan. Ada beberapa pendekatan yaitu kesejahteraan, ekuitas, anti-kemiskinan, efisiensi dan pemberdayaan.


(58)

Mengintegrasikan perempuan ke dalam ekonomi nasional negara-negara asing, sehingga meningkatkan status mereka dan membantu upaya pembangunan secara total.(Tinker,dalam Naela Kabeer: 2003)

Pendukung gender dalam pembangunan menolak pandangan sempit peran perempuan (sebagai ibu dan istri) yang mendasari banyak kebijakan pembangunan menyangkut perempuan. Argumen gender dalam pembangunan bahwa perempuan harus dilihat sebagai kontributor aktif untuk pembangunan ekonomi bukan lagi penerima pasif dari program kesejahteraan. Wanita tidak lagi dapat dipandang sebagai missing link dalam pembangunan, yang sampai sekarang dinilai undervalued sumber ekonomi dalam proses pembangunan (Tinker,dalam Naela Kabeer: 2003).

2. Gender Dan Pembangunan

Definisi konsep pengarusutamaan gender membawa isu-isu gender ke dalam arus utama masyarakat sebagai strategi global untuk mempromosikan kesetaraan jender dalam Platform for Action yang diadopsi dari Perserikatan Bangsa Konferensi Dunia Keempat tentang Perempuan Amerika, diselenggarakan di Beijing (Cina) pada tahun 1995. Menyoroti tentang kebutuhan untuk memastikan bahwa kesetaraan gender adalah tujuan utama diseluruh wilayah pembangunan sosial dan ekonomi.

Pada bulan Juli 1997, Ekonomi PBB dan Dewan Sosial (ECOSOC) mendefinisikan konsep pengarusutamaan gender sebagai berikut :


(59)

"Pengarusutamaan perspektif gender adalah proses menilai implikasi bagi perempuan dan laki-laki dari setiap tindakan yang direncanakan , termasuk legislasi , kebijakan atau program , di daerah manapun dan di semua tingkat. Ini adalah strategi untuk menjadikan keprihatinan dan pengalaman perempuan serta sebagai laki-laki merupakan bagian integral dari desain, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan dan program di semua bidang politik, ekonomi dan sosial, sehingga perempuan dan laki-laki mendapatkan manfaat yang sama, tujuan akhir dari pengarusutamaan adalah

untuk mencapai kesetaraan gender”. Transformasi pengarusutamaan bukanlah

tentang menambahkan "komponen perempuan" atau bahkan "komponen kesetaraan gender" menjadi suatu aktivitas yang ada. Lebih dari sekedar meningkatkan partisipasi perempuan, artinya membawa pengalaman, pengetahuan, dan kepentingan perempuan dan laki-laki dalam agenda pembangunan. Identifikasi kebutuhan untuk perubahan dalam agenda tersebut sangat diperlukan, perubahan dalam tujuan, strategi, dan tindakan sehingga perempuan dan laki-laki dapat mempengaruhi, berpartisipasi dalam, dan memperoleh manfaat dari proses pembangunan. Tujuan dari pengarusutamaan kesetaraan gender adala transformasi struktur sosial dan kelembagaan yang tidak merata ke dalam struktur yang sama bagi perempuan dan laki-laki.

Pendekatan Gender dan pembangunan lebih menekankan pada orientasi hubungan sosial dalam pembangunan. Gender dan pembangunan memfokuskan gerakannya pada hubungan gender dalam kehidupan sosial.


(60)

Asumsinya bahwa persoalan mendasar dalam pembangunan adalah adanya hubungan gender yang adil. Menurut Darwin (2003) (Remiswal:2013: 37) kondisi tersebut menghalangi pemerataan pembangunan dan partisipasi penuh perempuan. Kesetaraan gender harus diupayakan pada aspek substansial yang meliputi : (1). Pemberian akses yang sama dalam pendidikan sebagai upaya mendasar terjadinya perubahan sosial dan transfer ilmu pengetahuan dan keterampilan. (2). Pengakuan terhadap hak-hak perempuan sebagai bagian integral dari hak-hak asasi manusia. (3). Memberikan kemandirian ekonomi yang sama, termasuk akses terhadap dunia kerja, gaji yang sama, serta pendistribusian aset yang sama. (4). Pemberian akses yang sama di bidang politik dan posisi-posisi strategis dalam pengambilan keputusan. Pendekatan gender dan pembangunan dipandang strategis dalam kegiatan pembangunan, sasarannya adalah kebijakan.

Era millennium menuntut adanya perubahan besar yang berkaitan dengan relasi gender, yaitu suatu hubungan yang mengharuskan kesetaraan peran antara laki-laki dan perempuan dalam wilayah publik (public sphere). Adanya dominasi peran selama ini dapat menjadi penyebab rendahnya partisipasi perempuan yang sebenarnya memiliki peran strategis dalam berbagai bidang. Terjadinya pergeseran paradigma pembangunan berdampak positif terhadap perempuan. Konsep gender dan pembangunan menempatkan perempuan sebagai mitra dan subjek, yang selama ini dianggap beban pembangunan. Selain itu, konsep gender dan pembangunan juga mendorong munculnya berbagai organisasi dan civil society organization mengusung


(61)

pemberdayaan dan pembelaan terhadap perempuan di Negara-negara maju yang akhirnya berimbas juga pada Negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

D. Dinamika Non-Government Organization Dan Community Based Organization (NGO Dan CBO) Dalam Penguatan Pengarusutamaan Gender

Untuk dapat mendeskripsikan tentang dinamika NGO dan CBO dalam penguatan pengarusutamaan gender, akan dipaparkan tentang NGO dan CBO. Sesuai dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 1990 tentang Pembinaan Lembaga Swadaya Masyarakat yang ditujukan kepada gubernur di seluruh Indonesia menyebutkan bahwa Ornop (dalam lampiran II Irmendagri dipakai istilah LSM) adalah organisasi/lembaga yang anggotanya adalah masyarakat warga Negara Republik Indonesia yang secara sukarela atau kehendak sendiri berniat serta bergerak di bidang kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh organisasi/lembaga sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, yang menitikberatkan kepada pengabdian secara swadaya. Untuk Organisasi Kemasyarakatan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan yang dimaksud dengan Ormas adalah semua organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat warga negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Organisasi Kemasyarakatan dan Lembaga Swadaya Masyarakat, adalah wadah warga,


(1)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis pembahasan tentang dinamika NGO (Non-Government Organisation) dan CBO (Community Based Organisation) studi pada LSM DAMAR dan ORMAS AISYIYAH LAMPUNG, maka terdapat kesimpulan sebagai berikut :

1. Bentuk perjuangan kesetaraan gender bidang politik, ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan hukum antara LSM DAMAR dan ORMAS AISYIYAH memiliki cara yang berbeda. Perjuangan dalam LSM DAMAR menggunakan cara pendidikan kritis 5 tahapan, sedangkan ORMAS AISYIYAH melalui penguatan pendidikan mubalighot dan dakwah.

2. Landasan perjuangan LSM DAMAR dan ORMAS AISYIYAH juga memiliki perbedaan, dimana LSM DAMAR berlandaskan nilai-nilai anti diskriminasi, independen, non-partisan, pluralisme, keadilan, dan kesetaraan (Feminisme radikal) sedangkan ORMAS AISYIYAH perjuangannya berlandaskan AL-quran dan As-sunnah (mengarah kepada Feminisme Profetik). Konsep perjuangan LSM DAMAR adalah mewujudkan kemerdekaan perempuan dalam ruang privat dan public,


(2)

sedangkan ORMAS AISYIYAH adalah pemberdayaan perempuan dalam kelompok (secara berkelompok).

3. Struktur organisasi LSM DAMAR dibentuk berdasarkan isu-isu atau problematika yang sedang terjadi di masyarakat sehingga dapat dirubah sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan, sedangkan ORMAS AISYIYAH struktur organisasinya berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART).

4. Hambatan keberlangsungan perjuangan kesetaraan dalam LSM DAMAR sangat bergantung dari lembaga donor serta ketersediaan sumber daya manusia yang memadai dalam struktur kepengurusan, sedangkan ORMAS AISYIYAH memiliki amal usaha disamping lembaga donor dan kas organisasi dan mayoritas pengurus organisasi juga merupakan bagian dari organisasi lain sehingga terkadang mengalami dilemma ketika dihadapkan pada focus terhadap kinerja.

5. Hambatan lainnya dalam perjuangan kedua civil society organization dari LSM DAMAR dan ORMAS AISYIYAH adalah bahwa di provinsi Lampung jumlah kelas tengah sangat sedikit bahkan dapat dikatakan tidak ada, padahal dalam perjuangan masyarakat sipil merupakan agenda dari kelas tengah.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis pembahasan tentang dinamika NGO (Non-Government Organisation) dan CBO (Community Based Organisation)


(3)

174

studi pada LSM DAMAR dan ORMAS AISYIYAH LAMPUNG, maka terdapat kesimpulan sebagai berikut :

1. LSM DAMAR dan ORMAS AISYIYAH perlu mengingkatkan kemassifan dalam kelima bidang perjuangan kesetaraan gender, karena dari kelima bidang (politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, hukum) belum semuanya diperjuangkan secara maksimal.

2. LSM DAMAR dan ORMAS AISYIYAH harus meningkatkan jaringan kerjasama dengan lembaga-lembaga lainnya yang terkait dengan perjuangan kesetaraan gender sehingga penguatan pengarusutamaan gender pada kelima bidang tersebut (politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan hukum) dapat mencapai hasil yang maksimal.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Rineka Cipta. Jakarta.

Azis, Asmaeny. 2007. Feminisme Profetik, Kreasi Wacana. Yogyakarta

B. Miles Mattew, dan Micchael Huberman. 1992. Analisa Data Kuantitatif. UI Press. Jakarta.

Culla, Adi Suryadi. 2006. Rekonstruksi Civil Society; Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia. LP3ES. Jakarta.

Gaffar, Affan. 2006. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Hadi, Sutrisno. 1990. Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Karya. Bandung Marsh David, Gerry Stoker. 2010. Teori Dan Metode Dalam Ilmu Politik. Nusa

Media. Bandung.

Moleong, Lexy J. 1999. Metode Penelitian Kualitatif. Cet Ke-22. PT. Remaja Rosda Karya. Jakarta.

Nawawi, Hadari. 1991. Metode Penelitian Sosial. Gajah Mada Press. Yogyakarta Pasolong, Harbani. 2012. Metode Penelitian Administrasi Publik. Alfabeta.

Bandung.

Ratna, Batara. 2009. Advokasi dan Kebijakan Pro Perempuan, Tifara Press, Jakarta

Remiswal. 2013. Menggugah Partisipasi Gender Di Lingkungan Komunitas Lokal. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Alfabeta. Bandung.


(5)

176

Suharko. 2005. Merajut Demokrasi; Hubungan NGO, Pemerintah, dan

Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis (1966-2001). Tiara

Wacana. Yogyakarta.

Makalah, Artikel, Jurnal, dan Internet :

Edangcuhendy, 2013. Teori Kritis diakses dari www.edangcuhendy.blogspot, diakses pada 5.9.2013

Julius Court, Amy Pollard. 2005. How Civil Society Organisation Use Eviden Influence Policy Processes; A literature Review. ODI, Britain.

Jurnal Perempuan, 2004. Melindungi Perempuan dari HIV/AIDS, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta.

Jurnal Perempuan, 2006. Politik dan Keterwakilan Perempuan, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta.

Kabeer, Naela. 2003. Gender Mainstreaming in Poverty Eradication and the Millennium Development Goals. International Development Research Centre. Kanada. Bookfi.org, diakses tanggal 1.9.2013.

Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR, 2010. Berjuang Bersama Perempuan, Buana Cipta, 2010

Menegpp, 2010. Kajian Pengarusutamaan Gender diakses dari www.menegpp.go.id, diakses tanggal 20.8.2013

Nur Sugiyanto, 2012. Gender, diakses dari nur-sugiyanto.blogspot.com, tanggal 25.8.2013

Pengertian Pengarusutamaan Gender. www.id.m.wikipedia.org, diakses tanggal 20.8.2013

Putnam, Tong Roosemarie. 2009. Feminist Thought. bookfi.org, diakses tanggal 4.9.2013.

Raymond Geuss.1981. The Idea of a Critical Theory: Habermas and the Frankfurt School (Modern European Philosophy). bookfi.org, diakses tanggal 5.9.2013

Vincensius, 2010. Feminisme dan Teori Kritis, diakses dari www.vincensius.info, diakses 22.9.2013)


(6)

Zald Mayer N, John McCarthy, Dough McAdam.2004. Comparative Perspectives On Social Movements; Political Opportunities, Mobilizing Structure, and

Cultural Framing. University Of Cambridge. Library of Congress


Dokumen yang terkait

ORGANIZING AND LEGALIZING OF A WORKING PLAN OF LOCAL GOVERNMENT (RKPD) IN PARTICIPATIONAL PERSPECTIVE (Study in Musrenbang Kecamatan Metro Pusat)

0 8 89

ROLE OF NON GOVERNMENT ORGANISATION (NGO) AND COMMUNITY BASED ORGANISATION (CBO) IN STRENGTHENING GENDER MAINSTREAMING (Study on DAMAR NGO and AISYIYAH CBO Bandar Lampung ROLE OF NON GOVERNMENT ORGANISATION (NGO) DAN COMMUNITY BASED ORGANISATION (CBO) DAL

0 18 114

ROLE OF NATURAL RESOURCES MANAGEMENT OF SUGAR PALM PLANT (SAGUER) ON COMMUNITY INCOME IN MURNATEN VILLAGE TANIWEL DISTRICT WEST SERAM REGENCY

0 1 9

PERAN PEMERINTAH KOTA MADIUN DALAM PENANGANAN KONFLIK PERGURUAN SILAT PERSAUDARAAN SETIA HATI TERATE DAN PERGURUAN SILAT PERSAUDARAAN SETIA HATI WINONGO TUNAS MUDA THE ROLE OF MADIUN’S LOCAL GOVERNMENT IN THE CONFLICT MANAGEMENT OF SILAT COMMUNITY SETIA H

0 1 32

PERAN PEMERINTAH INDONESIA DALAM MENGELOLA KONFLIK LAUT CHINA SELATAN THE ROLE OF INDONESIAN GOVERNMENT IN MANAGING OF SOUTH CHINA SEA CONFLICT

0 0 26

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - TE EFFECT OF MADRASAH HEADMASTER LEADERSHIP AND ORGANISATION CIRCUMSATANCES ON THE TEACHERS PERFORMANCE IN PONDOK PESANTREN QAMARUL HUDA BAGU PRIGGARATA CENTRAL LOMBOK

0 1 19

THE ROLE OF PEOPLE-CENTERED COMMUNITY PLANNING TOWARDS URBAN KAMPUNG SUSTAINABILITY: A Case Study on Industrial Clusters in Kampung Kauman and Sondakan Surakarta

0 0 8

COMMUNITY BASED TOURISM (CBT)

0 1 95

STRENGTHENING THE ROLE OF ISLAMIC PAWNSHOP IN ISLAMIC FINANCING FOR MICRO SMALL AND MEDIUM ENTERPRISES: ANP APPROACH

0 0 16

IMPACT OF REGION FINANCIAL INFORMATION SYSTEM (SIKD) QUALITY, ROLE AMBIGUITY AND TRAINING ON PRECISION OF FINANCIAL STATEMENT OF LOCAL GOVERNMENT PRESENTATION IN NORTH SUMATRA

0 1 22