Kedaulatan Negara Dalam Pelaksanaan Oton

KEDAULATAN NEGARA DALAM PELAKSANAAN OTONOMI
DAERAH DI INDONESIA DI TENGAH GLOBALISASI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Lima belas tahun sudah reformasi di Indonesia berjalan (1998 –
2013). Sebagai salah satu hasil dari reformasi tersebut adalah terbentuknya
Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi daerah. Otonomi
Daerah berdasarkan undang-undangan No. 32 Tahun 2004 adalah hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Pada dasarnya Otonomi Daerah
merupakan suatu perubahan sistem pelaksanaan pemerintah dari pusat ke
pemerintah daerah (PemDa) meliputi ekonomi, sosial, politik. Melalui
otonomi daerah tersebut diharapakan akan terjadi suatu pembangunan yang
meningkat bagi daerah-daerah yang ada di Indonesia. Pembangunan tersebut
diharapkan mampu memanfaatkan segala potensi baik sumber daya alam
maupun sumber daya manusia sebagai aset dalam meningkatkan ekonomi
daerah.
Terdapat konsep desentralisasi dalam kebijakan otonomi daerah yang
merupakan penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat

kepada pemerintah daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahannya. Tuntutan reformasi akan keadilan dalam bidang ekonomi
bagi masyarakat daerah diwujudkan dalam kebijakan desentralisasi fiskal.
Desentralisasi fiskal merupakan penyerahan wewenang kepada pemerintah
daerah untuk mengelola sumber-sumber keuangan daerahnya melalui
prinsip money follos functions.1 Kebijakan ini diperkuat oleh UU No. 25
Tahun 1999 yang mengalami perubahan menjadi UU No. 33 Tahun 2004.
1

Roy W. Bahl, China: Evaluating the Impact of Intergovernmental Fiscal Reform dalam Fiscal
Decentralization in Developing Countries. Edited by Richard M. Bird and Francois Vaillan-court,
(United Kingdom: Cambridge University Press, 2000), hal 9.

1

2

Kebijakan desentralisasi fiskal ini dimaksudkan agar pemerintah
daerah mampu menjalankan fungsinya dengan baik serta dapat mendukung
dan meningkatkan keuangan pemerintah daerah dalam melaksanakan

otonomi.2 Pelimpahan wewenang dalam pengelolaan keuangan menuntut
pemerintah daerah agar dapat mandiri yang berarti bahwa dapat menggali
potensi daerah sebagai sumber penerimaan daerah serta dapat mengelola
keuangan untuk melaksanakan pemerintahannya. Pelaksanaan otonomi
daerah dimulai pada bulan Januari tahun 2000 sedangkan untuk kebijakan
desentralisasi fiskal sendiri baru dimulai pada tanggal 1 Januari tahun 2001.
Melalui otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah
memiliki wewenang untuk menggali pendapatan dan melakukan peran
alokasi secara mandiri dalam menetapkan prioritas pembangunan. Sehingga
dengan adanya otonomi dan desentralisasi fiskal diharapkan dapat lebih
memeratakan pembangunan berdasarkan potensi masing-masing daerah.
Seiring pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, dalam tatanan
global terjadi suatu perubahan dinamika politik dunia dimana terjalinnya
suatu konektisitas antar negara yang meliputi ekonomi, budaya, sosial dll,
antar lintas batas negara sehingga menciptakan suatu kehidupan masyarakat
yang global. Koneksitas lintas batas negara tersebut dikenal dengan
globalisasi. Globalisasi sebagai sebuah konsep dan fenomena baru
memberikan pengaruh yang besar terhadap kedaulatan negara. Terlepas dari
pemaknaan spesifik globalisasi, terdapat empat ciri dasar konsep globalisasi
yaitu:3

1. Meluasnya hubungan sosial (stretched social relations) : hal ini
mengacu pada munculnya saling keterhubungan antara jaringan
sosial-budaya, ekonomi dan politik di masyarakat yang
melintasi batas negara-negara.

2

Saragih, P.J, Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam Otonomi, (Jakarta : Ghalia
Indonesia, 2003), hal 35.
3
David Held, A Globalizing World? Culture, Economic, and Politics, (London: Routledge, 2000),
15-17.

3

2. Meningkatnya intensitas komunikasi (intensification of flows) :
berkaitan dengan makin meningkatnya intesitas hubungan antar
aktor dengan munculnya perkembangan ilmu dan teknologi,
3. Meningkatnya interpenetrasi (increasing interpenetration) :
interpentrasi


yang

terjadi

di

hampir

segala

bidang

mengakibatkan budaya dan masyarakat yang berada pada
wilayah berbeda akan saling berhadapan pada level lokal dan
internasional.
4. Munculnya infrastruktur global (global infrastructure) :
pengaturan institusional yang bersifat formal dan informal yang
diperlukan agar jaringan global bekerja.
Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, dari

keempat ciri globalisasi diatas kita dapat mengerti bahwa terjadi hubungan
lintas batas negara yang dapat saja dilakukan oleh pemerintah daerah. Oleh
karena itu, dalam hal ini, penulis mempertanyakan apakah pelaksanaan
otonomi daerah mempengaruhi terhadap kedaulatan negara dalam tekanan
globalisasi.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis akan merumuskan
masalah

terkait

dengan

apakah

pelaksanaan

otonomi

daerah


berpengaruh terhadap hilangnya kedaulatan negara Indonesia?
1.3. Batasan Masalah
Dalam menjawab rumusan masalah diatas, maka penulis akan
memberikan batasan masalah sehingga tidak terjadi pelebaran pemahaman
dalam menjawab rumusan masalah. Dalam makalah ini, penulis akan
menganalisa pemahaman otonomi daerah serta bagaimana pelaksanaan
otonomi daerah terhadap kedaulatan negara Indonesia.

1.4. Kerangka Dasar Pemikiran

4

Dalam makalah ini, penulis akan menggunakan teori mengenai
kedaulatan dalam tatanan globalisasi
1.4.1. Otonomi Daerah
Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani yaitu “outonomos”
yang berarti keputusan sendiri atau self government,4 istilah otonomi
ini memiliki beberapa pengertian didalamnya seperti;
1. otonomi adalah bentuk pemerintahan yang memiliki

hak untuk memerintah dan menentukan nasib
sendiri,
2. otonomi adalah pemerintahan yang dijamin tidak
adanya campur tangan pihak lain terhadap fungsi
daerah,
3. pemerintah otonomi memiliki pendapatan yang
cukup untuk menentukan hasil sendiri, mencapai
kesejahteraan hidup dan tujuan hidup secara adil,
4. pemerintahan otonomi memiliki supremasi dominasi
kekuasaan atau hukum yang dilaksanakan oleh
pemegang kekuasaan daerah.
Menurut Encyclopedia of Social Science, bahwa otonomi dalam
pengertian orisinil adalah the legal self sufficiency of social body and
its actual independence. Jadi ada dua ciri hakikat dari otonomi, yakni
legal self suffiency dan actual independence. Dalam kaitan dengan
politik atau pemerintahan, otonomi daerah berarti self government
atau condition of living under one’s own law. Dengan demikian
otonomi daerah yang memiliki legal self sufficiency yang bersifat self
government yang diatur dan diurus oleh own laws.5


4

Sidik Jatmika, Otonomi Daerah: Perspektif Hubungan Internasional, (Yogyakarta: BIGRAF
Publishing, 2001), hal 1.
5
Juanda, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah, PT Alumni, Bandung. Hal. 125

5

Koesoemaatmadja6

berpendapat

bahwa,

“Menurut

perkembangan sejarah di Indonesia, otonomi selain mangandung arti
perundang-undangan (regeling) juga mengandung arti pemerintahan
(bestuur).” Dalam literatur Belanda otonomi berarti pemerintahan

sendiri (zelfregering) yang oleh Van Vollenvohen dibagi atas membuat
undang-undang

sendiri

(zelfwetgeving),

melaksanakan

sendiri

(zelfuitvoering), mengadili sendiri (zelfrechtspraak) dan menindaki
sendiri

(zelfpolitie).

penyelenggaraan

Otonomi


pemerintahan

bukan
untuk

sekedar

mencapai

pemencaran
efesiensi

dan

efektivitas pemerintahan. Otonomi adalah sebuah tatanan kenegaraan
(staatsrechtelijk),

bukan

hanya


tatanan

administrasi

negara

(administratiefrechtelijk). Sebagai tatanan ketatanegaraan otonomi
berkaitan dengan dasar-dasar bernegara dan susunan organisasi
negara. Istilah otonomi mempunyai

makna atau kemandirian

(zelfstandigheid) tetapi bukan kemerdekaan (onafhankelijkheid).
Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu adalah wujud
pememberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan. Dalam
pemberian tanggung jawab terkandung dua unsur yaitu :
a. Pemberian tugas dalam arti sejumlah pekerjaan yang harus
diselesaikan serta kewenangan untuk melaksanakannya.
b. Pemberian
memikirkan

kepercayaan
dan

berupa

menetapkan

kewenangan
sendiri

untuk

bagaimana

menyelesaikan tugas itu.
Pada bagian lain Bagir Manan7 menyatakan otonomi adalah,
“Kebebasan dan kemandirian (vrijheid dan zelfsatndigheid) satuan
pemerintahan lebih rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian
urusan pemerintahan.” Urusan pemerintahan yang boleh diatur dan
diurus secara bebas dan mandiri itu menjadi atau merupakan urusan
6

Koesoemahatmadja, Mochtar, 1979, Pengantar Ke Sistem Pemerintah Daerah Di Indonesia,
Bina Cipta, Bandung. Hal 165
7
Manan, Bagir, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas
Hukum UII, Yogyakarta. Hal 179

6

rumah tangga satuan pemerintahan yang lebih rendah tersebut.
Kebebasan dan kemandirian merupakan hakikat isi otonomi.
Kebebasan dan kemandirian dalam otonomi bukan kemerdekaan.
Kebebasan dan kemandirian itu adalah kebebasan dan kemandirian
dalam ikatan kesatuan yang lebih besar. Otonomi hanya sekedar
subsistem dari sistem kesatuan yang lebih besar. Dari segi hukum tata
negara khususnya teori bentuk negara, otonomi adalah subsistem dari
negara kesatuan. Otonomi adalah fenomena negara kesatuan. Segala
pengertian dan isi otonomi adalah pengertian dan isi negara kesatuan.
Negara kesatuan merupakan landasan atas dari pengertian dan isi
otonomi.
Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia telah diatur
didalam Undang-undang. Peraturan perundang-undangan tersebut
mengalami perkembangan dari UU No. 22 Tahun 1999 menjadi UU
No. 32 Tahun 2004. Otonomi daerah pada dasarnya merupakan upaya
untuk mewujudkan tercapainya salah satu tujuan negara, yaitu
peningkatan

kesejahteraan

masyarakat

melalui

pemerataan

pelaksanaan pembangunan dan hasil-hasilnya. Daerah memiliki
kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan,
peningkatan peran serta prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang
bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Tujuan pemberian otonomi daerah yaitu untuk memungkinkan
daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri

untuk

meningkatkan

daya

guna

dan

hasil

guna

penyelenggaraan pemerintahan.8 Definisi mengenai otonomi daerah
kemudian secara jelas ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 pasal 1 ayat 5 tentang Pemerintah Daerah, yaitu sebagai
kewenangan

daerah

otonom

untuk

mengatur

dan

mengurus

kepentingan masyarakat setempat berdasarkan aspirasi masyarakat
8

Mudrajad Kuncoro, Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan
Peluang, (Yogyakarta: Erlangga, 2004), hal

7

sesuai dengan peraturan perundang-undangan.9 Sedangkan menurut
Mardiasmo, otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.10
Didalam Undang-Undang No 32 tahun 2004 juga dijelaskan
mengenai tujuan diadakannya otonomi daerah yang pada dasarnya
adalah untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya,
meningkatkan kesejahteraan rakyat, menggalakkan prakarsa dan peran
serta masyarakat secara nyata, dinamis, dan bertanggung jawab
sehingga memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, mengurangi
beban pemerintahan pusat dan campur tangan di daerah yang akan
memberikan peluang untuk koordinasi tingkat lokal.11
Menurut G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli, dengan
adanya otonomi daerah ini suatu daerah dapat mengurus dirinya
sendiri, baik dari segi hukum, segi politik, segi pemerintahan, segi
ekonomi

dan

segi

kultural.12

Sehingga

dengan

ini

muncul

kepercayaan, kesempatan, dan instrumen pada masyarakat daerah
untuk mengurus daerahnya sendiri, hal ini yang merupakan dasar dari
tumbuhnya civil society di daerah-daerah. Menurut Syaukani, terdapat
unsur-unsur yang menurutnya penting bagi pemerintah daerah untuk
memperbaiki dan mengembangkan demi mencapai tujuan otonomi
daerah dan menangani permasalahan yang dapat terjadi dalam
penyelenggaraan otonomi daerah, seperti memantapkan bidang
kelembagaan, meningkatkan kemampuan aparat pemerintahan daerah,
dan kemampuan finansial daerah untuk membiayai pembangunan
daerah.13
9

Dr. Marzuki M. Ag. Et al, Model Birokrasi Pemerintah Era Otonomi Daerah, ( tidak bertahun),
hal 6.
10
Mardiasmo, Akutansi Sektor Publik, (Yogyakarta: ANDI, 2002) hal 25.
11
http://www.kpu.go.id/dmdocuments/UU_32_2004_Pemerintahan%20Daerah.pdf diakses pada
tanggal 23 Juni 2012 pada pukul 16.05 WIB
12
Sidik Jatmika, op cit, hal 33.
13
Syaukani, Menatap Harapan Masa Depan Otonomi Daerah, (Kaltim: Gerbang Dayaku, 2001) hal
179

8

1.4.1.1.

Globalisasi dan Desentralisasi
Negara-negara merdeka dan berdaulat dibentuk dengan
satu misi yang sama, yaitu membangun kehidupan bersama
yang lebih sejahtera. Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 menyebutkan bahwa tujuan pembentukan Negara
Republik Indonesia (NKRI) adalah untuk melindungi warga
dan wilayah negara, serta memajukan kesejahteraan
umum.14 Permasalahan yang pertama mengemuka adalah
bagaimana upaya mencapai kesejahteraan bersama tersebut
ditempuh dengan cara yang efisien.15
Jong S. Jun dan Deil S. Wright mengaitkan fenomena
antara globalisasi dan desentralisasi. Kedua penulis ini
mengemukakan, bahwa globalisasi menjadikan pelakupelaku ekonomi bergerak secara langsung masuk ke daerahdaerah

dari

suatu

negara.

Globalisasi

mendorong

terbukanya potensi lokal, yang mendorong setiap daerah
untuk menyelerggarakn otonomi daerah untuk merespon
perkembangan global. Dikatakan secara lengkap berikut ini:
When
country’s
political,
economic,
and
development activities become globalized, the
national government may no longer be the dominant
entity…. Global changes occuring today are
creating new, complex, and decentralized system of
networks that are radically differentfrom the old
centralized system of governance which controlled
the process of international activities and decision
making. Global changes influence the functions and
actions of local administrators. And, as local
administrators become more conscious of global
influences, they become prepared to take innovative
actions without the supervision of the national
government. Promoting economic development
opportunities by working with with foreign business
14

Pembukaan UUD 1945, paragraf keempat.
Dikembangkan dari pemikiran Herbet Simon, Administrative Behavior, (New York: Free Press,
1971).
15

9

enterprises and socio-cultural exchange programs
area only two examples. Thus, the decentralization
of governmental processes in the context of
intergovernmental relations provides unlimited
opportunities for promoting local actions in the
global environment. ……local administrators can
learn to become effective in solving local problems
and active in promoting international activities.
Centralized governments, in general, respond slowly
not only to domestic but also to international
problem.16
Dennisa

A.

Rondinekki

dan

Shabbir

Cheema

mengemukakan bahwa desentralisasi berkembang bukan saja
berkenaan dengan menurunnya efektivitas penyelenggaraan
administrasi

publik

yang

tersentralisasi,

namun

juga

dikarenakan meningkatnya kompleksitas dan ketidakpastian
proses pembangunan.
The growing interest in decentralization planning
and administrations is attributable not only to the
disillusionment with the result of central planning
and the shift of emphasis to growth-with-equality
policies, but also the realization that development is
a complex and uncertain process that cannot be
easily planned and controlled from the center.17
Kedua Penulis ini mendefinisikan desentralisasi sebagai
transfer pengelolaan ke unit-unit yang lebih kecil atau berada
dibawahnya. Dikemukan sebagai berikut:
Decentralization is ….the transfer of planning,
decision making, or administrative authority from
central government to its field organizations, local
administrative
units,
semi-autonomous
and
parastatal organizations, local governments, or nongovernmental organization.18
16

Jong S. Jun & Deil S. Wright, Globalization and Decentralization: An Overview, (1996), Jung &
Wright (eds), Globalization and Decentralization, (Washington: Washington Georgetown
University Press, 1996), hal 3-4.
17
Dennis A. Rondinelli & Shabbir Cheema, Implementing Decentralization Policies: An
Introduction, (1983), dalam Cheema & Rondinelli (eds.), Decentaralization and Development:
Policy Implementations in Developing Countries, (London : Sage, 1983), hal 18-24.
18
Ibid

10

Rondinelli dan Cheema merumuskan empat bentuk
utama desentralisasi, yaitu dekonsentrasi, delegasi, devolusi,
dan transfer fungsi.
They refers to four major forms of decentralization:
deconcentration, delegation to semi-autonomous or
parastatal
agencies,
devolution
to
local
governments, and transfer functions from public to
non-government institutions….. Deconcentration
involves the redistribution of administrative
responsibilities
only
within
the
central
government… Delegation (to semi-autonomous or
parastatal agencies) is the delegation of decision
making and management authority for specific
functions to organizations that are not under the
direct control of central government ministries…
another form of decentralization seeks to create of
strengthen independent levels or units of
government through devolution of functions and
authority. Through devolution the central
government relinquishes certain functions or creates
new units or government that are outside its direct
control… Finally decentralization takes place in
many countries through the transfer of some
planning and administrative responsibility, or of
public functions, from government to voluntary,
private, or non government institutions.19
Christopher Pollitt, Johnson Brichall, dan Keith Putman
mengelompokkan desentralisasi menjadi empat klasifikasi,
yaitu desentralisasi politik dan desentralisasi administratif;
desentralisasi kompetitif dan desentralisasi non-kompetitif;
desentralisasi internal dan devolusi; dan desentralisasi
vertikal dan desentralisasi horisontal.
A. Political Decentralisation, where authority is
decentralized to elected representatives, and/or
Administrative Decentralization, where authority is
decentralised to managers or appointed bodies.
B. Competitive Decentralisation, e.g. competitive
tendering to provide a service, or Non-Competitive
19

Ibid

11

Decentralisation, e.g. when a school is given
greater authority to manage its own budget.
C. Internal Decentralisation is decentralisation
within an organisation, e.g. ‘empowering’ front line
staff, or Devolution is the decentralisation of
authority to a separate, legally established
organisation.
D. Vertical Decentralisation or Horizontal
Decentralisation, it is refer to the extent which the
managerial cadre in an organisation shares its
authority with other groups.20
Wacana desentralisasi dapat dikembalikan sebagai
wacana manajemen politik administrasi negara yang dipilih
untuk mengatur agar sumberdaya yang ada dapat dikelola dan
memberikan kebaikan bagi para warganya. Dengan demikian,
desentralisasi merupakan pertanyaan manajemen perihal
bagaimana sumberdaya dikelola agar mencapai tujuan. Di
sini, Anthony Jay (1987) mengemukakan bahwa states and
corporations can be defined in almost exactly the same way:
institutions for effective employment of resources.21
Pemahaman dasar ini mengacu dari istilah populer di
Amerika Latin, yang diangkat kembali oleh Peter Ferdinand
Drucker (1988), there is never underdeveloped countries,
there

is

always

undermanaged

countries;22

bahwa

sesungguhnya yang terjadi bukanlah terbelakang melainkan
kurang dikelola dengan baik. Permasalahan mendasar dari
manajemen, baik di sektor publik (negara), bisnis, maupun
nirlaba, pada dasarnya adalah luasan kendali (span of
control), karena manajemen berasal dari kata managerie yang
berarti “kusir yang mengendalikan”. Isu dasar dari setiap
manajemen adalah efisiensi dalam pengelolaan sumberdaya
agar dapat mencapai hasil (efektivitas). Bagi organisasi yang
20

Christopher Pollitt, Johnson Birchall, and Keith Putman, Decentralising Public Serive Management, (London:
MacMillan, 1998), hal 6-9.
21
22

Ibid
Anthony Jay, Management and Machiavelli, (London: Hutchincon Book, 1987).

12

mempunyai ukuran besar, hal tersebut berkenaan dengan
pertanyaan apakah suatu organisasi dikelola secara terpusat
atau didelegasikan kepada bagian-bagiannya.
Pertanyaan yang dihadapi setiap organisasi negara
dalam

mencapai

diselenggarakan

tujuannya

secara

adalah

sentralisasi

apakah

atau

negara

desentralisasi.

Pertanyaan ini semakin relevan bagi negara yang luas,
berpenduduk besar, dan diversitas yang sangat tinggi seperti
Indonesia.
Para pendiri Negara Republik Indonesia nampaknya
menyadari bahwa sistem politik Indonesia dapat dikelola
dengan

lebih

baik

jika

diselenggarakan

secara

terdesentralisasi. Karena itu, konstitusi UUD 1945 pasal 18
menyebutkan bahwa:
“Pembagian daerah Indonesia atas dasar daerah
besar dan daerah kecil dengan bentuk susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang,
dengan memandang dan mengingat dasar
permusyawaratan dalam sistem pemerintahan
negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah yang
bersifat istimewa”
Politik desentralisasi tersebut diterjemahkan melalui
kebijakan-kebijakan otonomi daerah, yang sejak 1945 hingga
saat ini, Indonesia telah mempunyai sembilan kebijakan
desentralisasi, yaitu UU. No. 1 Tahun 1945, UU No. 22
Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957, PP No. 6 Tahun 1959 jo
Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1960, UU No. 18 Tahun
1965, UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999, dan
UU No. 32 Tahun 2004.
Menurut UU No. 31 Tahun 2004 tentang Otonomi
Daerah,

desentralisasi

adalah

penyerahan

wewenang

pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam
kerangka

Negara

Kesatuan

Republik

Indonesia.

13

Desentralisasi

merupakan

salah

satu

dari

upaya

penyelenggaraan pemerintahan yang didelegasikan kepada
pemerintah

daerah,

selain

dekonsentrasi

dan

tugas

Perbantuan. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang
dari Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah
dan atau perangkat pusat di daerah. Tugas Perbantuan adalah
penugasan dari Pemerintah kepada Daerah dan Desa dan dari
daerah ke Desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang
disertai pembiayaan, saran dan prasarana, serta sumber daya
manusia

dengan

kewajiban

melaporkan

dan

mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang
menugaskan.
1.4.2. Globalisasi
Globalisasi sebagai sebuah konsep dan fenomena dalam
hubungan internasional memberikan pengaruh yang besar terhadap
kedaulatan. Dalam aplikasinya globalisasi bisa diartikan berbeda-beda
bagi banyak orang. Scholte mengidentifikasikan bahwa globalisasi
bisa bermakna sebagai internasionalisasi, liberalisasi, universalisasi,
westernisasi, dan deteritorialisasi.23
Makna internasionalisasi adalah

meningkatnya

intensitas

interaksi lintas batas dan saling ketergantungan antar negara.
Liberalisasi dimaknai sebagai proses untuk memindahkan laranganlarangan yang dibuat oleh negara dalam rangka membentuk ekonomi
dunia yang lebih terintegrasi. Konsepsi ketiga, universalisasi
bermakna menyebarnya berbagai macam obyek dan pengalaman dari
masyarakat di seluruh dunia. Sedangkan konsep yang terakhir lebih
merupakan kritik bagi proses memaksakan sistem budaya, sistem
politik dan sistem ekonomi negara-negara Barat dalam panggung
dunia.
23

Jan Aart Scholte dalam buku John Baylis and Steve Snith. (eds. 2001), Globalization of World
Politics, Edisi Kedua, Oxford: Oxford University Press,

14

Dalam hal ini, kaitan antara globalisasi terhadap kebijakan
otonomi daerah di Indonesia adalah globalisasi selalu disertai dengan
nilai-nilai demokrasi. Paska krisis 1998 yang kemudian disertai
dengan perkembangan reformasi politik menuju demokrasi di
Indonesia, salah satu tuntutan reformasi adalah pelaksanaan otonomi
daerah yang bertujuan tercipatanya pembangunan yang merata dan
pengelolaan sumberdaya alam maupun manusia dilakukan oleh
pemerintah

daerah

dengan

tujuan

terciptanya

kesejahteraan

masyarakat.
Perkembangan globalisasi dan otonomi daerah selanjutnya oleh
penulis membagi kedalam dua subbab yang berkaitan dengan
kedaulatan negara serta desentralisasi.
1.4.2.1.

Globalisasi dan Kedaulatan Negara
Konsep kedaulatan mengemuka dalam politik global
sejak dilakukannya Traktat Westphalia di Eropa pada tahun
1648. Traktat Westphalia ini mengakhiri perang yang
berlangsung di Eropa selama 30 tahun. Perang yang terjadi
didaratan Eropa ini muncul karena adanya otoritas penuh
dari Vatikan sebagai pemegang otoritas agama tertinggi
terhadap semua pemerintahan di Eropa. Kekuasaan supranasional dari Vatikan dan Roma ini kemudian ditentang oleh
kerajaan-kerajaan di Eropa seperti Jerman (Habsburg),
Perancis dan Inggris, terlebih setelah penentantangan ini
dimotivasi juga oleh maraknya perkembangan agama
Protestan dan Anglican di sejumlah negara. Perang yang
berlangsung dari tahun 1618 hingga 1648 meruntuhkan
kekuasaan Vatikan dan Roma serta memunculkan negaranegara yang sekuler. Dalam pandangan mereka sebuah
negara harus mempunyai kekuasaan yang absolut atas
teritori mereka sendiri, tanpa dibatasi oleh kekuasaan supranasional atau supra-teritorial dan tanpa intervensi dari pihak

15

lain. Negara-negara sekuler ini menyatakan kedaulatan
adalah hak eksklusif yang dimiliki suatu negara untuk
mengatur rakyatnya didalam batas teritorinya, sebagai
akibat

pelimpahan

kekuasaan

yang

diberikan

oleh

rakyatnya.
Globalisasi memberikan dinamika yang penting bagi
kedaulatan

sebagai

sebuah

konsep

maupun

dalam

aplikasinya di politik global. Terbukanya akses komunikasi
beserta kecepatannya, perpindahan melalui alat transportasi,
munculnya jaringa-jaringan sosial, ekonomi-politik baru
yang melintasi batas negara mengurangi makna dan
kaparitas negara sebegai pemegang otoritas penuh. Berbagai
tantangan yang muncul dari era globalisasi seperti yang
dijelaskan oleh Jackson dan Sorensen antara lain:24
1. Kekuatan pasar global
Kekuatan pasar global sangat mudah melakukan
penetrasi

terhadap

suatu

negara

dan

memberikan efek besar bagi ekonomi nasional
negara tersebut. Yang bisa termasuk dalam
kekuatan pasar global selalu yang berhubungan
dengan ekonomi juga berkaitan dengan isu-isu
global lain seperti masalah lingkungan hidup,
sistem komunikasi global, perdagangan senjata
dan narkoba, kejahatan transnasional. Kesemua
isu

tersebut

akan

mempengaruhi

negara

manapun dengan mudah dan memberikan
dampak yang besar bagi otoritas pemerintahan
negara tersebut.
2. Perkembangan norma internasional seperti hak
asasi

manusia

dari

hukum

kemanusiaan

(humanitarian law). Dasar dari hak asasi
24

Robert Jacksin dan George Sorensen, Introduction to International Relations, (New York:
Oxford University Press, 1999).

16

manusia

dan

humanitarian

law

bersifat

universal dan menempatkan manusia sebagai
aktor yang universal dan mempunyai hak-hak
yang harus dilindungi oleh semua aktor
internasional lainnya dalam mengaplikasikan
perlindungan

terhadap

hak asasi manusia

memberikan tantangan besar terhadap prinsip
non-intervensi yang melekat dalam konsep
kedaulatan.

Sebagai

contoh

seperti

yang

tercantum dalam piagam PBB, bahwa hak asasi
manusia

dan

demokrasi

harus

dihormati.

Bahkan pada tahun 1991, Javier Perez de
Cuellar menyatakan apabila sebuah negara
gagal melakukan ini, maka akan memancing
intervensi PBB ke dalam negara tersebut.
3. Kontrol terhadap ketertiban dan keamanan
Negara tidak lagi mempunyai kontrol mutlak
terhadap kemanan negara dan warganegaranya.
Sebagai

contoh

pengeluaran/belanja

di

Amerika

Serikat

masyarakat

untuk

keamanan pribadi seperti pengawal pribadi
maupun jasa keamanan komersial melebihi
budget negara untuk kepolisian. Dinegara maju
warga negara mempunyai pilihan untuk masalah
keamanan pribadi mereka, selain daripada yang
disediakan neegara. Dalam kasus lainnya di
negara-negara berkembang dan lemah, negara
sulit untuk bisa mempunyai otoritas keamanan
mutlak terhadap semua teritorinya. Bahkan
dibeberapa kasus negara berkembang, sebagian
dari teritori sebuah negara dikuasai oleh
kelompok pemberontak/ separatis.

17

Dari perkembangan tersebut, David Held dalam
bukunya Globalizing World: Culture, Economics, Politics,
merangkum dampak globalisasi terhadap sistem negara dan
kedaulatan kedalam tiga perspektif.25 Pertama, Perspektif
globalis mengatakan bahwa globalisasi merupakan sebuah
fenomena nyata dan merupakan perubahan signifikan dalam
hubungan internasional. Dampak globalisasi bisa dirasakan
dalam setiap aspek kehidupan manusia dimana saja dan
berdampak besar bagi eksistensi, batas dan fungsi dari
negara. Arus globalisasi membentuk kampung dunia
(global village) yang cenderung membentuk kultur yang
makin homogen.
Perspektif globalis sendiri terbagi atas dua kelompok
yaitu antara positive globalist dan pessimistic globalist.
Positive globalis melihat optimis dampak globalisasi yang
dapat meningkatkan kualias hidup manusia, dan mengajak
orang secara bersama-sama memahami budaya pihak lain
dan

meningkatkan

saling

percaya

diantara

mereka.

Pandangan optimis melihat kecenderungan manusia untuk
bisa bekerjasama dalam memecahkan masalah-masalah
global

apabila

mereka

mempunyai

kesadaran

dan

tanggungjawab sebagai penduduk dunia.
Sedangkan pessimistic globalis memandang dampak
globalisasi secara negatif. Pandangan ini menekankan
munculnya dominasi dari aktor terkuat dalam membentuk
sistem politik dan sistem ekonomi yang lebih homogen.
Aktor dominan ini pada akhirnya akan terus memaksakan
agenda mereka dalam konteks globalisasi. Dominasi
nantinya akan memunculkan ketidakmerataan penyebaran
keuntungan dari globalisasi, sehingga globalisasi hanya
akan menguntungkan kelompok negara yang terkuat saja.
25

David Held, Globalizing World: Culture, Economics, Politic, (London: Routledge, 2000)

18

Berkaitan dengan peran dari negara dan kedaulatan,
perspektif globalis memandang bahwa kedua peran,
kapasitas dan kedaulatan negara akan terus menerus
berkurang dan diganggu oleh fenomena globalisasi. Otoritas
negara menjadi terlalu kecil dan tidak berdaya dalam
berhadapan

dengan

masalah-masalah

global,

seperti

masalah pemanasan global, penerapan universalitas dalam
hak asasi manusia, perdagangan ilegal obat bius dan lainlain.
Perspektif kedua, tradisionalis percaya bahwa negara
masih merupakan aktor yang sentral dalam panggung dunia.
Globalisasi merupakan sebuah mitos yang terlalu dibesarbesarkan. Secara fundamental tidak terjadi sesuatu yang
baru dalam interaksi antar negara maupun struktur sosial.
Kaum tradisionalis percaya bahwa pertukaran dan aktivitas
ekonomi dan kultural merupakan kontinuitas dari pola yang
sudah terbentuk sebelumnya, yang dimulai pada awal abad
ke-19. Semakin intensifnya pertukaran dan interaksi yang
terjadi justru makin menguatkan peran negara dalam
mengatur hubungan antar manusia. Globalisasi dinilai
semakin memperkuat dan mengukuhkan peran negara.
Perspektif ketiga transformasionalis yang merupakan
jalan tengah dan lebih konstruktif. Kaum transformasionalis
menolak asumsi dasar dari kaum tradisonalis maupun
globalis. Perspektif transformasionalis sepakat dengan
pemikiran Tradisionalis yang menganggap bahwa fenomena
globalisasi terlalu dilebih-lebihkan oleh kaum globalis.
Transformasionalis masih percaya bahwa negara secara
politik, ekonomi, dan militer masih memegang peranan
penting dalam hubungan internasional, karena sampai
sekarang belum ada aktor yang dapat menyaingi aktor
negara.

19

Menurut

transformasionalis

negara

masih

tetap

mempunyai ruang gerak untuk menyesuaikan diri dalam
arus globalisasi. solusi terhadap persaingan antar aktor
internasional dalam menyalurkan powernya adalah dengan
munculnya sebuah struktur dunia baru yang progresif dan
demokratis. Negara tetap memainkan peran penting dalam
batas teritorialnya terutama untuk menghasilkan kerangka
kebijakan yang transparan dan accountable di tataran lokal
dan nasional. Transformasionalis menekankan pentingnya
interaksi antar struktur yang mewakili kecenderungan
globalisasi dan agen-agen di tingkat lokal dan nasional yang
akan menentukan arah globalisasi tersebut.
Berhubungan
dengan
kedudukan

negara,

transformasionalis percaya bahwa negara mesti melakukan
adaptasi

fungsi

dan

perannya

terhadap

tren

dan

perkembangan globalisasi. rekonfigurasi dan rekonstruksi
negara

dalam

kapasitasnya,

power,

yurisdiksi

dan

otoritasnya harus bersinergi dalam perubahan yang terjadi.
Negara tidak kehilangan power maupun perannya, hanya
negara harus berbagi peran dan kedaulatannya terbagi
dengan agen dan aktor lainnya.
Dalam hal ini, penulis menggunakan pemahaman transformasionalis berkaitan
dengan kedaulatan negara ditengah globalisasi. kedaulatan negara tidak hilang,
akan tetapi terjadi pembagian kekuasaan negara.

20

1.5. Hipotesa

21

Berikut adalah konsep pemikiran penulis

OTONOMI DAERAH
David Held (2000)
Jong S. Jun dan Deil S. Wright
(1996)

NEGAR
A

GLOBALISASI DAN
DESENTRALISASI

GLOBALISASI DAN KEDAULATAN
Tertdapat tiga Perspektif:
Tradisionalis
Globalis
Transformalis

OTONOMI DAERAH

Globalisasi
menjadikan
pelaku-pelaku
ekonomi bergerak secara langsung masuk ke
daerah-daerah dari suatu negara. Globalisasi
mendorong terbukanya potensi lokal, yang
mendorong
setiap
daerah
untuk
menyelenggarakan otonomi daerah untuk
merespon perkembangan global

Level
analisis
terdapat
pada
penyelenggaraan administrasi publik.

Negara secara politik, ekonomi dan militer
masih memegang peranan penting dalam
hubungan internasional. Negara masih
mempunyai
ruang
gerak
untuk
menyesuaikan diri dalam arus globalisasi.
Negara tetap memainkan peran penting
dalam batas teritorialnya terutama untuk
menghasilkan kerangka kebijakan yang
treansparan dan aaccountable ditataran lokal
dan nasional.

Level analisis terdapat pada interaksi antar
struktur yang mewakili kecenderungan
globalisasi dan agen-agen di tingkat lokal
dan nasional yang menentukan arah
globalisasi tersebut.

Dapat ditarik hipotesa awal bahwa Pelaksanaan Otonomi Daerah tidak
menghilangkan kedaulatan negara pada era globalisasi. Hal ini dapat di lihat
melalui Application of knowledge, procedures and technical deliberation,
Mobilization accross borders, transnational coalition building.

1.6. Metode Penelitian

22

1.6.1. Tipe Penelitian
Adapun tipe penelitian yang digunakan penulis dalam makalah ini
adalah tipe penelitian deskriptif yakni menggambarkan, mencatat,
menganalisis serta menginterpretasikan kedaulatan negara dalam
pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia di era Globalisasi.
1.6.2. Teknik Pengumpulan Data
Data dalam makalah ini diperoleh dengan cara studi pustaka (Library
Research) dengan cara mengumpulkan berbagai materi yang berkaitan
dengan judul penelitian ini dari berbagai sumber yang berupa bukubuku, dokumen-dokumen, surat kabar, jurnal ilmiah, majalah, dan
situs internet.
1.6.3. Jenis Data
Jenis data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah data
sekunder yang berupa hasil analisis dari berbagai literatur seperti :
buku-buku yang relevan, dokumen, jurnal, makalah, dan tulisantulisan pada berbagai website.
1.6.4. Teknik Analisis Data
Dalam menganalisis data yang diperoleh, peneliti akan menggunakan
teknik analisis secara deskriptif kualitatif yakni data yang diperoleh
akan dianalisis dan disajikan dalam bentuk kata-kata lisan maupun
tertulis. Teknik ini bertujuan untuk menggambarkan secara sistematis
fakta-fakta dan data-data yang diperoleh, serta hasil-hasil penelitian
baik dari hasil studi lapang maupun studi literatur untuk kemudian
memperjelas gambaran hasil penelitian.
1.7. Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari 4 bab. Pada tiap penulis akan menjelaskan
korelasi antara otonomi daerah terhadap kedaulatan negara ditengah
globalisasi. Ada pun sistematika penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut:
BAB I

Pendahuluan
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai latar belakang
penulis mengangkat pembahasan makalah ini. Dalam bab

23

ini pula akan dijelaskan mengenai rumusan masalah,
batasan masalah, kerangk teori, jenis penelitian serta
sistematika penulisan sehingga penyusunan makalah ini
dapat terarah sesuai dengan pembahasan yang penulis
ambil.
BAB II

Kebijakan Otonomi Daerah di Indonesia
Pada bab ini, penulis akan menjelaskan mengenai kebijakan
pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia yang akan
ditinjau melalui historis pelaksanaan otonomi daerah
sebagai salah satu tuntutan reformasi yang terjadi paska
kerusuhan 1998.

BAB III Pengaruh Pelaksanaan Otonomi Daerah terhadap
Kedaulatan Negara di tengah Globalisasi.
Pada bab ini, penulis menjelaskan mengenai pengaruh
pelaksanaan otnomi daerah terhadap kedaulatan negara di
tengah globalisasi yang akan dilihat melalui pendekatan
transformasionalis

terkait

globalisasi

dan

kedaulatan

negara.
BAB IV Kesimpulan
Pada bab ini, penulis akan menyimpulkan hasil dari temuan
pembahasan dari bab I hingga III.

BAB II
KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA

24

Krisis moneter serta ambruknya perekonomian memicu perlawanan
terhadap pemerintahan orde daru pada awal tahun 1998 untuk menuntut reformasi
yang nyata, demokrasi dan desentralisasi. Gelombang reformasi tersebut menjadi
pendorong disahkannya kerangka hukum baru mengenai hubungan pemerintahan
pusat dan daerah yang dituangkan dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999.
Melalui UU No. 22 Tahun 1999, pembangunan daerah dilaksanakan melalui
penguatan otonomi daerah dan pengelolaan sumber daya yang mengarah pada
terwujudnya tata kepemerintahan yang baik atau good governance. Otonomi
daerah memberi hak serta wewenang kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Keberadaan pemerintahan di daerah adalah merupakan suatu bentuk
organisasi pemerintah yang lebih kecil atau pada tingkatan daerah yang dikatakan
sebagai pemerintahan daerah. Karena itu, penyerahan kekuasaan dari rakyat pada
negara demokrasi terbagi dua:26
1. Pemerintah (eksekutif) yang diserahi kekuasaan untuk melaksanakan
pengaturan berbagai kebutuhan masyarakat.
2. Lembaga perwakilan rakyat (legislatif) yaitu lembaga yang
berwenang dalam hal merumuskan dan membuat aturan untuk
dilaksanakan oleh pemerintah serta melakukan pengawasan atas
tindakan-tindakan pemerintah.
Fungsi yang diemban oleh eksekutif (kepala daerah) terdiri dari tiga fungsi
yaitu: fungsi eksekutif, fungsi legislatif dan fungsi yudikatif. Oleh karena itu,
eksekutif dalam melaksanakan sistem demokrasi salah satu fungsinya yang paling
menonjol adalah fungsi pemerintahan. Sehingga sejalan dengan berbagai hal
tersebut di atas mendorong secara serius kepala daerah (gubernur, bupati dan
walikota) untuk melaksanakan dan menjalankan roda pemerintahan guna
mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan pembangunan yang berkelanjutan.

26

M. Satria, Implementasi Undang-Undang Pemerintahan Daerah serta Prinsip-Prinsip Good
Governance Oleh Kepala Daerah dalam Penyelenggaraan Hak Otonomi, hal 3 dalam
http://118.97.35.230/pustaka/download/satria/IMPLEMENTASI%20UNDANG-UNDANG
%20PEMERINTAHAN%20DAERAH%20SERTA%20PRINSIP-PRINSIP.pdf

25

Berbagai pengaturan dalam semua undang-undang tentang pemerintahan
daerah membuat peran kepala daerah sangat strategis, karena kepala daerah sangat
penting

dalam

menunjukan

keberhasilan

pembangunan

local

maupun

pembangunan nasional pada umumnya, sebab pemerintahan daerah merupakan
subsistem dari pemerintahan nasional atau Negara, efektifitas pemerintahan
Negara tergantung pada efektifitas penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Keberhasilan kepemimpinan di daerah menentukan kesuksesan kepemimpinan
nasional.
Pelaksanaan otonomi daerah dilihat sebagai wada berkah bagi daerahdaerah. Dengan kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah itu, daerah-daerah menjadi milik keleluasan
dan kebebasan untuk mengatur dan mengelola dirinya sendiri. Otonomi bertiti
tolak dari adanya hak dan wewenang untuk berprakarsa dan mengambil keputusan
dalam mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya guna kepentingan
masyarakatnya dengan jalan mengadakan berbagai peraturan daerah yang tidak
bertentangan dengan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang
lebih tinggi.27
Dalam hubungan inilah pemerintah perlu melaksanakan pembagian
kekuasaan kapada pemerintah daerah yang dikenal dengan istilah desentralisasi,
bentuk dan susunannya tampak dari ketentuan-ketentuan didalam undang-undang
yang mengaturnya. Seperti Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang memuat pengertian otonomi daerah dalam Pasal 1
angka 5 “otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Karena praktek penyelenggaraan Negara yang dahulu dilaksanakan diubah
yaitu kekuasaan eksekutif yang tidak terpusat dan mekanisme hubungan pusat dan
daerah pun menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan
dengan memberikan kekuasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi
27

E. koswara, Otonomi daerah untuk demokrasi dan kemandirian rakyat, (Jakarta: PT. Sembrani
aksara nusantara , 2001), hal 77.

26

daerah melalui peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan didaerah.
Hal yang sangat mendasar dari peraturan perundang-undangan tersebut adalah
memberikan kesempatan dan kekuasaan daerah untuk membangun daerahnya dan
lebih memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas serta
meningkatkan peran dan fungsi lembaga eksekutif, (gubernur, bupati, walikota)
serta legislative (DPRD). Kemudian Van Kepmen mendefinisikan otonomi daerah
antara lain:
a. Bahwa otonomi mempunyai arti lain dari pada kedaulatan yang
merupakan atribut dari Negara, akan tetapi tidak pernah merupakan
atribut dari bagian-bagiannya seperti gemeente, provinsi dan sebagainya,
yang hanya memiliki hak-hak yang berasal dari Negara, sebagai bagian
yang dapat berdiri sendiri akan tetapi tidak mungkin dianggap merdeka,
lepas ataupun sejajar dengan Negara.
b. Bahwa dengan demikian, Negara atau pemerintah pusatlah yang
mempunyai kata terakhir terhadap ketentuan tentang batas-batas
otonom, baik dengan cara positif maupun negative.
c. Bahwa yang demikian itu, sesuai pula sepenuhnya dengan maksud dari
pada desentralisasi, yang tidak lebih dari pada suatu saran untuk
mencapai penyelenggaraan kepentingan-kepentingan setempat dengan
cara yang tepat atau patut, sehingga desentralisasi itu dilakukan tidak
hanya karena adanya kehendak untuk mendentralisasikan.
Pengertian otonomi daerah diatas mencerminkan adanya desentralisasi,
sebagaimana isi dari Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah Pasal 1 angka 7 “desentralisasi adalah penyerahan
wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan dalam system Negara Kesatuan Republik
Indonesia”. Ada beberapa alasan mengapa pemerintah perlu melakukan
desentralisasi kekuasaan kepada pemerintah daerah. Menurut Josep Riwu Kaho
antara lain:
a. Dilihat dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan (game
teori), desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan

27

kekuasaann pada satu pihak saja yang pada akhirnya dapat
menimbulkan tirani.
b. Dalam bidang politik, penyelenggaraan desentralisasi dianggap
sebagai tindakan pendemokrasian, untuk menarik rakyat ikut serta
dalam pemerintahan dan melatih diri dalam mempergunakan hakhak demokrasi.
c. Dari sudut teknik organisatoris pemerintahan, alasan mengadakan
pemerintahan daerah (desentralisasi) adalah semata-mata untuk
mencapai sesuatu pemerintah yang efisien. Apa yang dianggap
lebih utama untuk diurus oleh pemerintah setempat, pengurusannya
diserahkan kepada daerah.
d. Dari sudut kultural, desentralisasi perlu diadakan supaya perhatian
dapat sepenuhnya ditumpuhkan pada kekhususan suatu daerah,
seperti geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak
kebudayaan dan latar belakang sejarah.
e. Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi
diperlukan karena pemerintah daerah dapat lebih banyak dan secara
langsung membantu pembangunan tersebut.
2.1. Dasar Hukum, Prinsip dan Titik Berat Otonomi Daerah
Keberadaan suatu negara atau pemerintah, tingkat pertama harus
dilihat dari kehadiran seperangkat dasar hukum atau aturan hukum
yang berlaku secara sah dan pada keberadaan suatu pemerintah.
Adapun dasar hukum Pemerintah Daerah (Otonomi Daerah) di
Indonesia adalah:
a. Pasal 18 dan UUD 1945 (Pasca Amandemen)
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas
daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi
atas kabupaten dan kota yang tiap-tiap provinsi,
kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan
daerag yang diatur dengan undang-undang.

28

(2) Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan
kota

mengatur

dan

mengurus

sendiri

urusan

pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan.
b. TAP MPR RI Nomor XVI/MPR/1998
Tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan,
pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang
berkeadilan serta pertimbangan Keuangan pusat dan
daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
c. Undang-Undang
Tedapat 7 Undang-undang tentang Otonomi Daerah dan
satu ketetapan Presiden yang pernah ditetapkan, yaitu:
 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945,
 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 (berlaku


bagi Indonesia Barat).
Staat Blad Nomor 22 Tahun 1950 (berlaku bagi



Indonesia Indonesia Timur),
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 (bersifat



terlampau demokratis),
Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 6



Tahun 1957 (disempurnakan),
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 Pokok-



pokok Pemerintahan Daerah,
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang



Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah,
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang

Pemerintahan Daerah.
Seperti yang diatur dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004
tentang

Otonomi

Daerah,

bahwa

Otonomi

Daerah

selain

diselenggarakan atas dasar asas desentralisasi dan dekonsentrasi juga
didasarkan atas asa perbantuan. Hal ini berarti bahwa daerah selain

29

diberi wewenang juga mengatur dan mengurus

kepentingan

masyarakat sendiri, dearah juga diberi wewenang dan tugas untuk
menjalankan pekerjaan-pekerjaan pemerintah pusat dan membantu
tugas pemerintah pusat di daerah.
a. Asas Desentralisasi
Desentralisasi

pada

dasarnya

menyangkut

mengenai

distribusi kekuasaan pemerintah yang dilaksanakan secara
utuh di daerah kabupaten dan daerah kota. Dampak
administratif dari penyerahan kewenangan pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah harus disertai dengan penyerahan
dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta
sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan yang
diserahkan tersebut.28
b. Asas Dekonsentrasi
Dekonsentrasi

adalah

pelimpahan

wewenang

dari

pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/
perangkat pusat daerah. Dalam penyelenggaraan asas
dekonsentrasi dilaksanakan di Daerah Propinsi yang juga
berkedudukan sebagai wilayah administrasi. Dengan prinsip
otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, amak asa
dekonsentrasi dapat dianggap sebagai komplemen atau
perlengkapan terhadap asa desentralisasi.29
c. Asas Tugas Pembantuan
Di dalam penyelenggaraan pemerintah daerah memberikan
pula kemungkinan bagi pelaksanaan asas tugas pembantuan.
Tugas pemantuan merupakan penugasan dan pemerintah
kepada daerah dan desa dan daerah ke daerah untuk
28

Sadu Wasistiono, Kapita Selekta Penyelanggaraan Pemerintah Daerah, cetakan ketiga, (Jakarta:
Fokus Media, 2003), hal 17.
29
H. Abubakar Busro dan Abu Daud Busroh, Hukum Tata Negara, (Jakarta: Ghalisa Indonesia,
1985). Hal 147.

30

melaksanakan tugas tertentu disertai pembiayaan sarana dan
prasarananya serta sumber daya manusia dengan kewajiban
melaporkan

pelaksanaannnya

jawabkannnya

kepada

yang

dan

mempertanggung

menugaskannya. 30

Dari

penjelasan diatas bahwa asa tugas pembantuan dapat
dilaksanakan di daerah propinsi, daerah kabupaten/daerah
kota dan desa dan daerah ke daerah dalam rangka menjaga
keutuhan

NKRI.

Oleh

karena

itu,

penyelenggaraan

pemrintah daerah dalam kaitannya dengan Otonomi daerah
lebih mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi. 31 Hal
ini berbeda dengan otonomi daerah yang dimaksud didalam
Undang-undang

No.

5 Tahun

1974,

dimana

lebih

ditonojolkan asas sentralisasi, sehingga daerah tidak
memiliki kebebasan mengatur.
Salah satu prinsip Otonomi Daerah yang dianut oleh UndangUndang No. 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di
Daerah adalah Otonomi Daerah yang nyata dan bertanggung jawab
lebih merupakan kewajiban bagi daerah daipada hak. Sedangkan
prinsip otonomi daerah yang dianut oleh Undang-Undang No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahn Daerah adalah Otonomi Daerah
yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Dengan prinsip otonomi
luas, nyata dan bertanggug jawab, maka memberikan kewenangan
yang lebih banyak kepada daerah Kabupaten/Kota yang didasarkan
atas asas desentralisasi. Kewenangan otonomi luas, nyata dan
bertanggung jawab sebagaiman dimaksud dalam penjelasan umum
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 adalah:
a) Otonomi

luas

adalah

keleluasaan

daerah

untuk

menyelenggarakan pemrintah yang mencakup kewenangan
semua bidang kecuali kewenangan politik luar negeri,
30
31

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah, Pasal 1 angka 9.
Ibid.

31

pertahanan, kemanan, peradilan, moneter, fiskal, agama serta
kewenangan

bidang

lainnya

yang

ditetapkan

dengan

peraturan pemerintah. Disamping itu keleluasaan Otonomi
Daerah mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat
dalam penyelenggaraan mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, pengadilan dan evaluasi.
b) Otonomi nyata adalah keleluasaan
menyelenggarakan

kewenangan

daerah

pemerintah

di

u