Guru Katolik dituntut memiliki spiritual

Guru Katolik dituntut memiliki
spiritualitas sebagai pendidik
05/05/2010
Frederik Ray Popo, siswa SMP Kanisius,
mengakui bahwa guru punya pengaruh sangat
besar terhadap murid
Para guru Katolik dituntut untuk memiliki
spiritualitas sehingga dapat melihat profesi
mengajar sebagai suatu panggilan untuk
melayani Gereja, sekolah, dan siswa.
Guru perlu memupuk spiritualitas di tengahtengah lingkungan profesi yang mulai
mengedepankan uang.
“Spiritualitas guru Katolik sangat penting,” kata Pastor Carolus Jande, ketua Majelis
Nasional Pendidikan Katolik (MNPK), dalam seminar di Kolese Kanisius, Jakarta, 2 Mei
lalu.
Acara dengan tema Spiritualitas Sang Guru Sang Peziarah: Mendalami Spiritualitas Guru
dan Pendidikan Kristiani, diadakan oleh Percetakan dan Toko Buku OBOR untuk
memperingati Hari Pendidikan Nasional.
Sekitar 200 peserta, kebanyakan guru-guru dari Keuskupan Agung Jakarta, hadir pada acara
tersebut.
Pastor Jande menekankan peran guru Katolik sebagai tokoh sentral dalam menentukan mutu

sekolah Katolik.
Spiritualitas yang berpijak pada Yesus Sang Guru mestinya menjadi hal utama bagi para guru
sehingga mampu mewariskan nilai-nilai iman di sekolah-sekolah Katolik.
Saat ini ada empat pengelola utama sekolah Katolik, yakni keuskupan, tarekat, paroki, dan
awam Katolik.
Namun dia mengeritik pengelola sekolah, terutama awam Katolik, yang lebih mengutamakan
ekonomi ketimbang spiritualitas.
Dia juga turut prihatin dengan adanya orang-orang yang menjadi guru hanya karena tidak
diterima di bidang lain. Sekolah Katolik harus menerima orang yang merasa terpanggil dan
motivasi menjadi guru.
Pastor Markus Wanandi SJ, ketua Komisi Pendidikan KAJ, mengatakan sekolah-sekolah
Katolik sangat memerlukan guru yang sungguh melayani dengan hati.

“Guru jangan memikirkan soal gaji atau utang saja …tapi juga siswa dengan menanamkan
nilai-nilai yang baik,” katanya.
Yulia Sri Prihartini, pembicara dari SMP Negeri di Yogyakarta, mengatakan menjadi guru
tidak hanya sekedar mengajar (teaching) tapi juga mendidik (educating). Guru harus
menggunakan cinta dan hati agar bisa menyentuh hidup siswa, katanya.
Sementara Frederik Ray Popo, siswa SMP Kanisius, mengakui kalau guru-guru memiliki
pengaruh yang sangat besar terhadap murid.

”Guru yang didambakan oleh para murid adalah guru yang mau mengabdi dan mempunyai
perhatian kepada siswanya,” lanjutnya

Mungkinkah Menerapkan Prinsip
Pendidikan Katolik?
[Dari editor Katolisitas:

Sekolah Katolik…, riwayatmu dulu….
Dewasa ini sering terdengar selentingan, atau bahkan keluhan dari kalangan umat Katolik,
bahwa sepertinya pendidikan Katolik di tanah air dewasa ini tidaklah seperti dulu. Di satu
generasi sebelum zaman ini, bahkan beberapa generasi sebelumnya, hampir semua sekolah
Katolik di tanah air terkenal baik mutunya dan banyak diminati. Kini, nampaknya tidak
otomatis demikian. Terlepas dari ada banyak alasan yang ada di luar kompetensi kami di
Katolisitas untuk membahasnya, namun ada satu hal yang memang dapat kembali kita
renungkan bersama. Apakah sekolah-sekolah Katolik di tanah air sudah sungguh-sungguh
mencerminkan pendidikan Katolik? Apakah yang dapat diusahakan agar pendidikan di
sekolah-sekolah Katolik menjadi semakin “Katolik”?
Hal inilah yang hendak kami ketengahkan, agar menjadi bahan permenungan kita bersama.
Salah seorang narasumber di situs Katolisitas, Maria Natalia Brownell MTS, ibu dari 5
orang anak, yang kini tinggal di Wisconsin, Amerika Serikat, kami undang untuk

membagikan pengalamannya lewat tulisan. Lia- demikian kami memanggilnya- dan
suaminya Kyle Brownell, turut berperan aktif dalam peningkatan kualitas sebuah sekolah
Katolik, yang bernama St. Adalbert Catholic School, di kota Rosholt, Wisconsin. Lia dan
suaminya Kyle, adalah anggota Komite Pendidikan di sekolah tersebut. Bagi kami,
pengalaman mereka sangatlah menarik. Mereka berdua, bersama dengan beberapa keluarga
Katolik lainnya terpanggil untuk ‘membenahi’ sekolah tersebut yang di sekitar tahun 2009
tahun silam hampir ‘ditutup’, karena semakin berkurangnya jumlah murid. Namun kini
setelah sekitar 6 tahun, jerih payah mereka mulai menghasilkan buah yang
menggembirakan. Menurut hasil test nasional Amerika (ITBS) yang baru-baru ini diadakan,
prestasi sekolah tersebut mencapai tingkat yang sangat memuaskan. Para pelajar di sekolah
itu berhasil masuk dalam golongan 4% ranking teratas dari seluruh pelajar di Amerika

Serikat (dari kelas TK sampai kelas 8). Bahkan untuk Science, mereka termasuk golongan
2%, artinya hanya 7 dari 1000 sekolah di seluruh Amerika yang lebih baik di bidang
Science, daripada sekolah St. Adalbert.
Namun di balik semua prestasi akademis itu, nampaknya ada suatu ‘mutiara’ yang jauh lebih
berharga. Yaitu, bagaimana sekolah itu menerapkan cara pendidikan Katolik dalam
kehidupan belajar dan mengajar; antara para murid, guru, orang tua, pastor dan kepala
sekolah. Dalam lingkungan yang saling menunjang, para guru membagikan ilmu mereka dan
para pelajar menjadi semakin terdorong untuk mencapai prestasi sebaik-baiknya, sambil

terus bertumbuh di dalam iman dan kecintaan mereka kepada Kristus dan Gereja Katolik.
Artikel ini ditulis untuk para pendidik, terutama mereka yang menjalankan tugas sebagai
guru di sekolah-sekolah Katolik. Semoga dapat berguna dan membangun semangat untuk
meningkatkan kualitas pendidikan Katolik di sekolah- sekolah Katolik di tanah air. ]

Pendidikan di sekolah Katolik: Apakah definisi dan tujuannya?
Sebenarnya, definisi pendidikan di sekolah Katolik adalah sederhana, yaitu pendidikan dan
pengajaran sekolah yang didasarkan oleh iman Katolik sebagaimana diajarkan oleh Gereja
Katolik. Artinya, iman Katolik-lah yang mendasari segala aspek pendidikan, dari mulai
guru-guru/ staf pengajar, kurikulum, lingkungan belajar, cara disiplin, peraturan-peraturan
sekolah, dan hal-hal lainnya. Dengan kata lain, sekolah Katolik menjadi lingkungan yang
sungguh Katolik, sehingga menjadi tempat yang kondusif bagi anak-anak untuk mengenal
dan mengasihi iman Katolik, serta bertumbuh di dalamnya.

Apa yang membedakan antara pengajaran secara umum dengan
pengajaran/ pendidikan Katolik?
Secara umum, proses pengajaran dipahami sebagai proses penyaluran informasi dari guru
kepada muridnya. Namun pendidikan Katolik tidak hanya terbatas kepada penyaluran
informasi dari guru kepada murid. Pendidikan Katolik tidak hanya mencakup pengajaran dan
pembekalan akal budi ataupun pemikiran seorang anak dengan informasi yang sebanyakbanyaknya. Sebab di samping membekali murid dengan ilmu pengetahuan, pendidikan

Katolik juga membekali, membangun, dan membentuk iman dan spiritualitasnya. Iman dan
spiritualitas ini tidak saja mencakup pengajaran agama secara teoritis, tetapi juga
pembentukan watak, karakter dan moralitas tiap-tiap murid.
Untuk pendidikan spiritual inilah, kita kembali mengingat akan apa hakekat kita sebagai
manusia yang diciptakan Allah. Secara sempurna, manusia diciptakan Tuhan sebagai ciptaan
yang spiritual atau mahluk rohani. Inilah yang membuat kita berbeda dengan mahluk ciptaan
lainnya. Tidak saja kita memiliki akal budi, perasaan, dan hati nurani; kitapun diberikan
anugerah yang termulia untuk bisa menjalin hubungan yang khusus dengan Allah Sang
Pencipta. Tuhan menciptakan kita manusia supaya kita bisa menjalin hubungan yang akrab
denganNya. Allah memanggil kita untuk menjadi kudus, seperti para Santo dan Santa di
surga. Ya, kita semua dipanggil untuk menjadi serupa seperti Kristus.
Maka, tujuan utama kita hidup di dunia ini adalah untuk hidup kudus.[1] Tuhan memberikan
kepada kita anugerah untuk bisa mencari Dia, mengenal Dia lebih lanjut, menjalin hubungan
denganNya melalui doa, renungan harian, sakramen, dan mencintai Dia dengan segenap akal
budi, hati nurani, dan keberadaan kita di dunia. Yesus katakan di dalam hukum cinta kasih:

“Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, dan dengan
segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu.” (Mrk 12:30) Oleh karena itu, segala
yang kita miliki: kepandaian, akal budi, keberadaan, hati nurani dan iman kepercayaansegala yang ada pada kita, selayaknya kita arahkan kepada Tuhan. Semuanya itu adalah
untuk digunakan sebagai sarana untuk mengenal Allah, mencintai Dia, dan mendekatkan diri

kita kepada-Nya. Dengan tujuan hidup yang berpusat kepada Tuhan inilah, kita akan
dikuduskan sesuai dengan gambaran dan rupa Allah, agar dapat bertemu denganNya kembali
di Surga. Dengan pengertian tersebut, pendidikan menurut iman Kristiani adalah pendidikan
yang tidak hanya berpusat kepada penyempurnaan akal budi manusia, tetapi juga
penyempurnaan hati nurani, moralitas, karakter pribadi, dan iman kepercayaannya.
Pendidikan yang seperti inilah yang menjadi tujuan sekaligus ciri khas pendidikan Katolik.

Apa yang membedakan pendidikan Katolik dari pendidikan Kristen
non-Katolik?
Pendidikan Katolik berbeda dari pendidikan Kristen non-Katolik, karena pendidikan Katolik
juga mengikutsertakan peran Gereja Katolik di dalam pembangunan dan pembentukan
karakter seseorang anak. Peran Gereja sangat penting, karena Gereja sudah dipercayakan oleh
Kristus sendiri untuk menggembalakan umat-Nya agar dapat mencapai Surga. Melalui
sakramen-sakramen kudus, Kitab Suci, devosi kudus (seperti rosario, doa-doa, litani,
renungan harian), pengajaran ataupun penghayatan akan kehidupan para santo/santa, dan
banyak tradisi Gereja lainnya; seorang anak diajar, dibimbing, diarahkan, dan dibentuk hati
nurani-nya, karakternya, dan iman kepercayaannya untuk menjadi seseorang yang kudus.
Sebagai contohnya, kalau seorang anak tidak mau menurut kepada gurunya, berbuat salah
dan tidak mau mengerjakan pekerjaan sekolah sebagaimana semestinya, anak tersebut akan
ditegur dan diperingati oleh gurunya. Dia akan dihadapkan kepada dua pilihan : kembali

menjadi anak benar, atau terus menjadi anak nakal. Karena Kristus mengajar kita untuk
kembali ke jalan yang benar, maka di dalam hati nuraninya, umumnya anak tersebut akan
terpanggil dan tergerak untuk menjadi anak yang baik kembali. Gereja Katolik berperan
dalam hal ini, dengan memberikan dia kesempatan untuk menerima sakramen Pengakuan
Dosa dan menerima sakramen Ekaristi kudus. Dengan cara dan kesempatan ini, anak
tersebut dibantu oleh karunia Roh Kudus, agar terus tergerak untuk kembali ke jalan yang
benar dan menjadi murid yang baik kembali. Motivasi-nya adalah bukan saja untuk
mempunyai nilai yang baik, dan menjadi anak yang bertanggung jawab, tetapi juga untuk
menyenangkan hati Tuhan dan orang tuanya. Dengan proses sedemikian, anak tersebut akan
menjadi lebih dekat dengan Tuhan, dan karenanya lebih kudus.
Maka, tujuan utama sekolah Katolik, sesungguhnya sama dan sejalan dengan tujuan utama
Gereja Katolik, yaitu menjadi sarana umat Allah untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan
sarana umat untuk bertumbuh dalam kekudusan, agar dapat memperoleh janji keselamatan di
Surga. Dengan tujuan misi yang mulia seperti inilah, sekolah-sekolah Katolik harus terus
berusaha dengan segenap tenaga untuk senantiasa memperbaiki dan menyempurnakan
keberadaannya, agar menjadi saluran berkat dan anugerah Allah kepada umat-Nya, yaitu para
murid dan semua pihak yang terlibat di dalam proses pendidikan di sekolah tersebut.
Dengan demikian, alangkah baiknya kalau sekolah Katolik dihubungkan dengan Gereja
Katolik di sekitarnya. Sekolah Katolik selayaknya memberikan kesempatan beberapa kali
seminggu (misalnya : satu ataupun dua kali) bagi murid-muridnya untuk mengikuti perayaan

Ekaristi di pagi hari. Anak-anak perlu didorong dan diberi kesempatan yang rutin untuk

menerima sakramen Pengakuan Dosa, melakukan devosi bersama seperti Rosario, Kerahiman
Ilahi, Jalan Salib, Litani kepada para Orang Kudus, dan Adorasi Sakramen Mahakudus.
Kesempatan semacam ini sangatlah penting untuk membimbing spiritualitas dan karakter
seseorang, baik para murid, maupun para pengajar. Tambahan lagi, peran Pastor sebagai
gembala juga sesungguhnya cukup penting, untuk membimbing dan mengarahkan anak-anak
agar menerapkan ajaran Kristus di dalam tingkah lakunya sehari-hari, baik di sekolah
maupun di rumah. Peran Pastor juga berperan penting bagi para guru/staff di sekolah, untuk
membantu memberi motivasi dan pengarahan kepada mereka agar menjadi guru yang baik,
dalam mendidik dan membimbing anak-anak didik mereka.

Secara garis besar, kurikulum yang bagaimana yang harus
diterapkan di sekolah Katolik ?
Kurikulum yang baik harus disesuaikan dengan ajaran iman Katolik. Sesuai dengan tujuan
dan misi dari sekolah Katolik, kurikulum ini harus membantu membina akal budi, iman, dan
karakter seorang anak secara maksimal, sesuai dengan keberadaan mereka masing-masing
sebagai ciptaan Tuhan yang unik. Kurikulum yang dipakai harus bisa membangun
keberadaan seorang anak secara menyeluruh, membangun keseluruhan pribadi anak, baik
tubuh maupun jiwa, termasuk pikiran/ akal budi dan hati nurani. Semua mata pelajaran yang

diterapkan selayaknya disampaikan dari perspektif dan sudut pandang Gereja Katolik. Ini
bukan berarti bahwa kurikulum hanya dipenuhi dengan pelajaran agama Katolik sepanjang
hari. Tetapi ajaran Kristiani harus menjadi fokus utama dalam menganalisa semua pelajaran
yang diberikan. Dengan kata lain, pelajaran yang diberikan atau buku-buku yang dipakai
harus selaras dan tidak bertentangan dengan ajaran iman Katolik. Sebagai contohnya :
pemilihan buku-buku bacaan di dalam kelas adalah buku-buku yang menyampaikan ajaran
moralitas yang baik, yang menyampaikan unsur-unsur kebenaran dan kekudusan. Maka
kalau kita dihadapkan kepada pilihan antara buku : “Chronicles of Narnia: the Lion, the
Witch, and the Wardrobe”, atau “Harry Potter”, sekolah Katolik seharusnya memilih buku
“Chronicles of Narnia”. Alasannya adalah karena buku “Chronicles of Narnia” lebih jelas
menerapkan ajaran Kristiani, yang mengutamakan unsur persahabatan, pengorbanan dan
perjuangan teguh dalam melawan kejahatan, dan pada akhirnya iblis akan dikalahkan dengan
iman dan kebenaran, heroisme, dan unsur-unsur kebaikan lainnya. Tokoh karakter utamanya
pun adalah orang biasa yang berjuang dengan motivasi menegakkan kebenaran. Juga tokoh
singa ‘Ashland’ menyerupai gambaran Kristus Sang Penyelamat. Sedangkan kisah Harry
Potter, tokoh utamanya adalah seorang anak yang mempunyai kepandaian sebagai penyihir
dengan kuasa kegelapan, yang dapat melakukan banyak trik penyihir yang ajaib. Kalau
dibanding dengan seksama, buku manakah di antara kedua buku itu yang lebih sesuai dengan
nilai-nilai Kristiani? Tentu saja buku “Chronicles of Narnia”!
Kurikulum yang baik juga membantu anak-anak untuk bisa berpikir sendiri, yang dilandasi

oleh prinsip Kristiani. Kurikulum yang baik juga harus dapat memotivasi seorang anak untuk
menyukai proses belajar (‘to know how to learn, and to love learning’). Karenanya,
kurikulum yang benar tidak hanya memberikan mereka dasar cara belajar yang baik, tetapi
juga memberikan dasar prinsip yang kuat dalam membaca, menulis, matematika, dan iman
Katolik. Dari dasar yang kuat inilah, pelajaran berikutnya akan terus disusun di atasnya.
Pelajaran-pelajaran lain, seperti ilmu pengetahuan sosial, ilmu pengetahuan alam, musik,
seni rupa, dll; bertolak dari empat pelajaran utama tersebut.
Selanjutnya, adalah penting bahwa dalam menyampaikan mata pelajaran, para guru
menyampaikan nilai-nilai iman Kristiani sehubungan dengan mata pelajaran tersebut.

Misalnya, dalam mempelajari ilmu pengetahuan alam, anak-anak dibimbing untuk melihat
Tuhan sebagai Sang Pencipta alam semesta, dengan segala keindahan dan keagungannya.
Dalam mempelajari ilmu sosial, anak-anak diberi pengertian bahwa Tuhan menginginkan
kita untuk bekerja sama, antara bangsa yang satu dan bangsa yang lain, sehingga terjadi
kedamaian dan kemakmuran di segala penjuru dunia. Dalam mempelajari musik, alangkah
baiknya kalau para murid diberi kesempatan untuk mempelajari musik klasik yang umum
mewarnai musik-musik gerejawi, agar para murid mempunyai penghargaan terhadap musik
gerejawi. Dalam mempelajari seni rupa, para murid diajar untuk dapat mengagumi
keindahan seni rupa klasik yang menggambarkan keagungan Tuhan dan ciptaanNya.
Maka, secara garis besar, dalam penyampaian kurikulum, ada tiga prinsip yang perlu

ditekankan: yaitu mengajarkan anak-anak akan ‘kebenaran, kebaikan, dan keindahan’ -the
truth, the good, and the beautiful. Ini adalah prinsip dasar dari ‘Classical Education’ yang
tradisional yang menghasilkan banyak santo/santa, para penemu, pemikir, pemimpin, dan
tokoh-tokoh utama di Gereja dan di dunia.

Siapa saja yang harus mengerti akan peran, tujuan ataupun misi
dari sekolah Katolik ini?
Pengertian akan pentingnya pendidikan Katolik, tujuan ataupun misi utama yang mulia dari
sekolah Katolik ini harus dimengerti, dihayati dan dilaksanakan oleh semua staf pengajar,
kepala sekolah, pembimbing, dan semua pihak yang terlibat dalam pendidikan di sekolah
tersebut.
Alangkah baiknya kalau para guru ataupun staf pengajar memiliki misi dan tujuan hidup yang
sesuai dengan tujuan dan misi Gereja. Tujuan hidup untuk menjadi serupa seperti Kristus,
dan para orang kudus seharusnya menjadi tujuan hidup pribadi dari semua staf pengajar. Hal
ini sangatlah penting, karena guru-guru ini berperan sebagai uluran tangan Tuhan untuk
mengajar, membimbing dan membentuk anak-anak didik mereka. Para guru adalah penyalur
berkat Tuhan kepada murid-muridnya. Maka seorang guru berperan sebagai teladan hidup
bagi anak-anak muridnya. Umumnya pikiran seorang anak sangatlah sederhana. Seringkali
sulit bagi mereka untuk memahami karakter seseorang yang tidak pernah mereka lihat,
seperti karakter para Santo ataupun Santa. Karenanya, pengaruh orang-orang di sekitar
mereka yang mereka lihat setiap hari, yang berinteraksi dengan kehidupan mereka seharihari, akan mempunyai dampak yang sangat penting dalam pertumbuhan karakter mereka.
Kalau guru-guru di sekolah dan orang tua mereka di rumah berusaha sedapat mungkin untuk
melaksanakan ajaran Kristus, mempunyai kehidupan rohani yang dekat dengan Tuhan;
bertingkah laku dan bertutur kata yang baik dan bijaksana, penuh pengertian, dan cinta kasih;
maka secara otomatis anak-anak pun akan terpanggil untuk menjadi seperti mereka. Dengan
cara inilah akhirnya, mereka dapat bertumbuh dalam iman dan kekudusan, seperti para orang
kudus yang mengikuti teladan Kristus.
Selain dari pihak sekolah, orangtua juga perlu mengetahui peran dan tujuan pendidikan dan
sekolah Katolik. Sejujurnya, peran orang tua sebagai pendidik pertama dan utama bagi anakanak mereka, tidaklah tergantikan (lih. KGK 1653). Maka, para orang tua berperan sangat
penting dalam perkembangan rohani dan karakter seorang anak. Sebab sebelum anak-anak
bertemu dan berinteraksi dengan orang lain, mereka mengenal orangtua mereka terlebih dulu.
Oleh karena itu, secara kodrati, Tuhan memberikan orangtua kepercayaan tunggal yang
begitu besar untuk menjadi uluran tangan Tuhan dalam mendidik, membina dan mengarahkan
anak-anak yang dipercayakan Tuhan kepada mereka. Dengan demikian, menjadi kudus,

seperti para orang kudus di Surga, sudah selayaknya juga menjadi tujuan hidup setiap orang
tua. Tujuan untuk hidup kudus ini harus menjadi tujuan hidup para orang tua secara pribadi,
bukan hanya menjadi tujuan ideal yang ‘di awang-awang’ oleh para orang tua secara kolektif.
Sebab jika orang tua juga berjuang untuk hidup kudus, ini akan sangat berpengaruh kepada
nilai-nilai yang mereka terapkan dalam keluarga, yaitu tentang apa- apa yang diperbolehkan
ataupun tidak diperbolehkan di dalam rumah tangga mereka. Di sinilah penting agar proses
pendidikan di sekolah melibatkan juga peran orang tua, atau tepatnya berjalan seiring dengan
pendidikan dari orang tua, agar apa yang diajarkan di sekolah dilanjutkan secara konsisten di
rumah, terutama yang menyangkut nilai-nilai positif sehubungan dengan pembentukan
karakter anak.
Relevan di sini untuk disebutkan besarnya pengaruh media sekular, termasuk internet, hand
phone, berbagai entertainment -seperti film, video game, musik- dan buku-buku bacaan, bagi
pikiran, perkembangan karakter dan kerohanian seorang anak. Tak dapat dipungkiri, bahwa
dalam hal ini orangtua adalah pondasi dan benteng keluarga yang utama untuk menjaga dan
mengawasi hal-hal apa saja yang mempengaruhi pikiran seorang anak, yang dapat
berpengaruh juga terhadap pembentukan karakternya. Orang tua, bersama para pendidik di
sekolah harus dapat menentukan hal-hal yang baik bagi perkembangan anak dan hal-hal yang
bersifat merusak dan mengotori pikiran seorang anak. Segala jenis buku, media,
entertainment, dll yang tidak sesuai dengan ajaran Kristiani, sedapat mungkin harus
dijauhkan dan dicegah pemakaiannya dan sirkulasinya dari kehidupan anak-anak sehari-hari.
Termasuk di sini adalah jenis film yang mereka lihat, buku cerita yang mereka baca, website
yang mereka cari di komputer, video game yang mereka mainkan, dll. Semua hal ini perlu
diarahkan agar membantu dan bukannya merusak kerohanian anak ataupun mempengaruhi
karakter anak secara negatif. Banyak sekali penelitian yang sudah dilakukan, yang
mempelajari pengaruh buruk dari film, video game, musik sekular, dan media sekular lainnya
terhadap perkembangan akal budi, moralitas, dan karakter anak. Akses terhadap film atau
video game tertentu dapat mengakibatkan anak-anak menjadi hiper-aktif, tidak bisa
berkonsentrasi saat belajar, tidak senang membaca, tidak dapat bersosialisasi dengan baik,
tidak dapat berimajinasi, dll; karena otak mereka sudah dibiasakan untuk terstimulasi dengan
entertainment yang sifatnya cepat, menarik, ber-glamour, dan materialistis. Belum lagi
tambahan pengaruh buruk dari segi moralitas, yang berpotensi membawa anak-anak untuk
melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran dan pandangan iman Kristiani. Untuk
membentengi anak-anak dari pengaruh negatif ini, orang tua bukan saja perlu secara aktif
menjaga jenis entertainment dan pengaruh media di dalam keluarganya, mereka juga harus
membatasi pemakaiannya. Jika diperlukan, para pendidik di sekolah perlu untuk
mengingatkan orang tua akan hal ini, terutama jika karena hal-hal ini, anak-anak tidak dapat
berkonsentrasi belajar di sekolah. Orang tua perlu diingatkan agar tidak mengandalkan
media, entertainment untuk menjadi baby-sitter bagi anak-anak mereka. Ini bukan berarti
bahwa semua media entertainment buruk sifatnya. Tetapi baik orang tua maupun para
pendidik di sekolah perlu mengawasi, agar anak-anak dapat memilih permainan ataupun
tayangan yang mendukung pertumbuhan moral yang positif untuk perkembangan karakter
anak, dan adalah perlu agar jumlah waktu penggunaan ataupun akses kepada hal-hal tersebut
dibatasi.

Apakah peranan sekolah Katolik terhadap masyarakat ?
Peran sekolah Katolik terhadap masyarakat juga sejalan dengan peran Gereja Katolik
terhadap masyarakat di sekitarnya. Tuhan memanggil kita untuk menjadi garam dunia dan
terang dunia (Mat 5:13, 14), artinya untuk menjadikan dunia menjadi lebih baik dan agar kita

bersinar di tengah kegelapan. Oleh karena itu, sekolah Katolik berperan penting dalam
mendidik, membina dan membangun suatu generasi, yang tidak hanya percaya dan beriman
kepada Tuhan, tetapi juga peka terhadap kehidupan dan masyarakat di sekitarnya. Anak-anak
semestinya dibimbing untuk menjadi pemimpin masa depan yang tidak hanya penuh dengan
ilmu, ketrampilan, dan kepandaian; tetapi juga menjadi pemimpin yang takut akan Tuhan,
rendah hati dan mempunyai jiwa melayani sesama. Untuk itulah pendidikan Katolik ini
sangat penting peranannya, karena pendidikan Katolik bertujuan untuk menghasilkan orangorang yang berintegritas, terbentuk secara keseluruhan (‘well rounded people’). Berintegritas
di sini, bukan saja hanya dalam hal pemikiran, tetapi juga dalam perkataan dan perbuatan.
Alangkah baik dan mulianya kalau dunia ini mempunyai pemimpin-pemimpin utama di
masyarakat yang tidak saja pandai, tetapi juga beriman kepada Tuhan, rendah hati, adil,
bijaksana dan penuh kasih terhadap sesama, terutama mereka yang lemah dan menderita.
Seperti banyak Santo/Santa yang diberikan kepercayaan untuk menjadi pemimpin suatu
organisasi di dalam Gereja ataupun di masyarakat, atau lebih lagi suatu negara; misalnya St.
Patrick dengan peranannya untuk membimbing dan memimpin masyarakat di Irlandia kepada
Tuhan, atau Mother Teresa dalam memimpin Sisters of Charity menjadi berkat pelayanan
masyarakat miskin di India, atau St. Fransiskus dari Asisi dalam mendirikan ordo Fransiskan,
atau St. Thomas Aquinas yang melalui tulisannya dan pengajarannya menjadi salah seorang
Pujangga Gereja yang berperan penting dalam menyampaikan ajaran iman secara sistematik,
dan lain lain. Semua orang kudus tersebut mempunyai peran yang sangat besar dalam
mewujudkan panggilan hidup untuk menjadi garam dan terang dunia. Tuhan menggunakan
mereka, satu-persatu secara pribadi, dengan cara-Nya yang khusus untuk menjadi saluran
berkat-Nya dalam karya-Nya menyelamatkan dunia.

Bagaimana mewujudkan sekolah Katolik yang baik?
Sejujurnya kami percaya bahwa dewasa ini masih ada sejumlah sekolah Katolik yang baik
dan bermutu, namun karena kami tidak mempunyai akses untuk membahas apa yang
diterapkan di sana, maka kami memutuskan untuk membagikan pengalaman kami bersama
dengan beberapa keluarga lainnya, bersama dengan Pastor paroki untuk mengembangkan
sebuah sekolah Katolik kecil di Amerika. Sekolah ini bernama St. Adalbert School di
Rosholt, Wisconsin. Kami yang tergabung dalam Komite Pendidikan, selama enam tahun
terakhir ini berusaha dengan segenap hati dan tenaga, untuk memperbaiki keberadaannya,
untuk menjadi lebih menyerupai gambaran sekolah Katolik yang dikehendaki oleh Gereja
Katolik.

Case Study : St. Adalbert Catholic School di Rosholt, Wisconsin, USA
Latar Belakang
St. Adalbert Catholic School adalah sekolah Katolik kecil, yang berlokasi di kota kecil
Rosholt, Wisconsin. Sekolah ini terdiri dari kelas Pre-Kindergarten (TK kecil) sampai
Middle School (SMP). Jumlah muridnya hanya terdiri dari sekitar 45 sampai 50 orang.
Penduduk di kota kecil Rosholt ini pada umunya adalah petani atau pekerja di daerah
pertanian/ perkebunan, buruh pabrik, atau pekerja kantoran. Keadaan perekonomian di kota
ini termasuk menengah ke bawah, yang pasti bukan seperti gambaran glamour kehidupan di
kota besar Amerika yang digambarkan lewat media TV/ film. Penduduk di Rosholt ini
umumnya beragama Katolik dan Kristen non-Katolik, yaitu Lutheran. Mereka umumnya
adalah keturunan dari pendatang Eropa, seperti Polandia, Germany, Irlandia, dan Norwegia.

St. Adalbert Catholic school ini terletak berseberangan dengan St. Adalbert Catholic Church.
Seperti keadaannya dengan banyak sekolah Katolik di Amerika, sekolah adalah bagian dari
paroki; istilahnya: sekolah paroki (parish school). Karenanya, Pastor dari Gereja St. Adalbert
juga menjadi pastor di St. Adalbert school.
Di tahun 2008, Saint Adalbert school merubah kurikulum yang dipakai hampir secara total.
Mereka berusaha untuk menjadi sekolah yang lebih berkualitas baik, dari segi akademis dan
dari segi iman Katolik. Perubahan ini merupakan titik balik utama dalam sejarah sekolah ini.
Tahun itu merupakan tahap pertama dari proses perkembangan kualitas secara
berkesinambungan untuk menjadi sekolah Katolik yang ideal, seperti yang diharapkan oleh
Gereja Katolik.
Misi Sekolah dan Pelaksanaan
Misi dari St. Adalbert school adalah “to teach children as Jesus did, so that they become
future leaders and the new saints of the new millennium”- “mengajarkan kepada anak-anak
sebagaimana Yesus mengajar, sehingga kelak mereka dapat menjadi para pemimpin dan para
orang kudus di era milenium.” Maka, St. Adalbert school tidak saja mengutamakan tingginya
kualitas akademis, tetapi juga tingginya pembentukan iman Katolik dari murid-muridnya.
Sekolah ini selalu berusaha sedapat mungkin untuk memberikan kualitas pelajaran dan
lingkungan belajar yang terbaik bagi semua muridnya, sesuai dengan ajaran iman Katolik.
Motto yang sering dipakai dalam menggambarkan keberadaan sekolah ini adalah mendorong
agar, “anak-anak yang biasa dapat mengerjakan hal-hal yang luar biasa” (ordinary children
doing extra-ordinary things).
Dari usaha pertama yaitu mencari guru, St. Adalbert school sedapat mungkin mencari guru
Katolik yang benar-benar mengerti dan mempraktekkan ajaran Katolik di dalam
kehidupannya sehari-hari. Guru-guru di sekolah ini benar-benar berdedikasi tinggi. Mereka
meluangkan waktu dan tenaga sepenuhnya untuk mengajar murid-murid di sekolah ini.
Terlebih lagi, karena sekolah ini sangat kecil, satu orang guru harus mengajar dua level
(grades) di dalam satu ruang kelas. Mereka hanya mempunyai waktu yang singkat sekali
untuk ‘break-time’. Karena paroki St. Adalbert ini juga adalah paroki kecil yang tidak banyak
umatnya, paroki ini hanya dapat memberikan gaji yang kecil/ secukupnya kepada gurugurunya. Walaupun demikian, mereka tetap datang mengajar dan membina murid-muridnya
dengan sabar dan penuh berjiwa pelayanan. Ketika ditanya mengapa mereka mau bekerja di
sekolah Katolik, jawabannya adalah: karena mereka ingin dan dengan senang hati mau
melayani Tuhan dan Gereja-Nya. Ini adalah panggilan pelayanan, bukan untuk mencari uang
semata, tetapi sungguh-sungguh untuk melayani Tuhan dan Gereja. Motivasi ini terlihat
sekali sewaktu para guru ini mengajar. Walaupun lelah bekerja, mereka selalu tersenyum dan
nampak bahagia melakukan tugas-tugas mereka. Mereka sangat peduli akan keberadaan dan
perkembangan murid-murid mereka; bukan hanya yang ada di dalam kelasnya sendiri, tetapi
juga murid-murid lainnya di sekolah tersebut. Mereka mengikuti kurikulum yang sudah
ditetapkan dengan komitmen yang tinggi.
Para guru itu menyalurkan bakat ketrampilan dan kreasi mereka dengan memberikan anakanak tugas-tugas kreatif yang beraneka ragam, sehingga menambah ‘kehidupan’ di sekolah
tersebut. Sedapat mungkin, para guru mengadaptasikan iman Katolik ke dalam mata
pelajaran yang mereka ajarkan. Dengan demikian, iman Katolik bukan hanya terbatas pada
pelajaran agama, tetapi menjadi suatu kehidupan yang bisa dirasakan, dilihat dan dinikmati di
setiap hari di sekolah tersebut. Iman Katolik menjadi semacam udara yang dihirup dan

langkah yang dijalani di sekolah. Misalnya: di bulan Mei yang baru saja berlalu, untuk
memperingati dan menghormati Bunda Maria, setiap kelas diwajibkan untuk menggambar
Bunda Maria dari segala penjuru dunia, sebesar satu pintu masuk kelas. Ada kelas yang
menggambar Bunda Maria dari Polandia, Bunda Maria dari Lourdes, Bunda Maria dari
Guadalupe- Mexico, Bunda Maria dari Korea/Japan, dst. Semua gambar ini adalah upaya
kerja sama dari anak-anak di kelas masing-masing. Gambar yang indah ini kemudian mereka
pasang di pintu masuk ruang kelas. Mereka juga menggambar bunga-bunga, taman, burung,
kupu-kupu, pohon, dll sepanjang korridor dan langit-langit sekolah. Tujuannya adalah
mereka ingin menciptakan “Mother Mary’s Garden” (kebun Bunda Maria), supaya selama
bulan Mei ini, anak-anak diberi kesempatan khusus untuk menghayati dan menghormati
Bunda Maria, yang adalah Bunda Tuhan Yesus dan Bunda semua umat Kristen. Anak-anak
sangat bangga dan senang sekali dengan kreativitas ciptaan mereka. Proyek ini bukan saja
menghasilkan sesuatu karya yang indah, yang bisa dinikmati setiap orang, tetapi juga
membantu mendekatkan hati anak-anak dan semua orang yang melihat kepada Bunda Maria
dan kepada Tuhan kita yang telah memilihnya untuk melahirkan Yesus Kristus Putera-Nya.
Idealisme para guru
Karena paroki St. Adalbert ini juga adalah paroki kecil yang tidak banyak umatnya, paroki ini
hanya dapat memberikan gaji yang kecil/ secukupnya kepada guru-gurunya. Walaupun
demikian, mereka tetap datang mengajar dan membina murid-muridnya dengan sabar dan
penuh berjiwa pelayanan. Ketika ditanya mengapa mereka mau bekerja di sekolah Katolik,
jawabannya adalah: karena mereka ingin dan dengan senang hati mau melayani Tuhan dan
Gereja-Nya. Ini adalah panggilan pelayanan, bukan untuk mencari uang ataupun berbisnis
semata, tetapi sungguh-sungguh untuk melayani Tuhan dan Gereja. Motivasi ini terlihat
sekali sewaktu para guru ini mengajar. Walaupun lelah bekerja, mereka selalu tersenyum dan
nampak bahagia melakukan tugas-tugas mereka. Mereka sangat peduli akan keberadaan dan
perkembangan murid-murid mereka; bukan hanya yang ada di dalam kelasnya sendiri, tetapi
juga murid-murid lainnya di sekolah tersebut. Mereka mengikuti kurikulum yang sudah
ditetapkan dengan komitmen yang tinggi.
Guru-guru di St. Adalbert school menganggap bahwa menjadi guru di sekolah ini adalah
suatu pelayanan kepada Tuhan dan Gereja Katolik. Bagi mereka, menjadi guru di sekolah
Katolik adalah kesediaan memenuhi kehendak Tuhan dan panggilan hidup dari Tuhan, agar
mereka dapat memberikan dampak positif dan pengaruh yang besar kepada anak-anak didik
yang dipercayakan Tuhan kepada mereka. Para guru ini melihat kesempatan mendidik anakanak tersebut sebagai berkat yang besar, karena dipercayakan untuk turut membentuk akal
budi dan karakter setiap dari anak-anak itu. Sebagai pendidik, para guru berperan sebagai
“saluran” berkat Tuhan kepada anak-anak didik mereka. Dengan demikian, para guru
mengabdikan diri mereka sebagai pelayan Tuhan, seperti yang dikatakan oleh Mother Teresa,
“I am like a pencil in the hand of God”.
Dengan menganggap tugas sebagai guru sebagai tugas pelayanan kepada Tuhan, maka para
guru di sekolah St. Adalbert adalah para guru yang termotivasi dari dalam. Mereka terpanggil
untuk membawa para murid mereka tidak hanya sukses secara akademis, tetapi juga secara
rohani. Mereka terdorong untuk turut mengarahkan anak-anak didik mereka agar dapat
sampai ke Surga. Mereka tidak termotivasi dengan uang ataupun ketenaran/ prestige.
Sejujurnya, bagi saya, semangat pengabdian mereka sangatlah “too good too be true”, dan
tentulah mereka dapat melakukan hal ini karena bantuan rahmat Tuhan.

Menurut pengamatan saya, idealisme yang tinggi dari para guru ini terjadi karena:
1. Mereka bukan hanya Katolik di KTP saja, tetapi adalah orang-orang yang
hidup melaksanakan imannya, dan berusaha semampu mereka untuk
mengikuti ajaran Gereja. Mereka mempunyai kehidupan rohani sendiri,
rajin membaca Kitab Suci dan buku-buku Katolik lainnya, melaksakan
devosi seperti rosario, dan Adorasi, mengaku dosa dalam sakramen
Pengakuan Dosa secara rutin, dst.
2. Mereka mencintai iman Katolik mereka, mereka meyakini bahwa Gereja
Katolik mengajarkan kepenuhan kebenaran iman Kristiani, dan bahwa
Kristus telah mendirikan Gereja sebagai sarana keselamatan.
3. Mereka tidak melakukan hal-hal yang menentang ajaran Gereja. Mereka
tidak hidup bersama pasangannya sebelum menikah, mereka yang sudah
menikah, tidak menggunakan alat-alat kontrasepsi, mereka tidak
mendukung aborsi, tidak mendukung perkawinan sesama jenis, dst yang
dilarang oleh Gereja. Memang dalam penerimaan guru mereka harus
menandatangani bahwa mereka harus menyetujui semua ajaran Gereja
Katolik, termasuk ketaatan untuk tidak melakukan hal-hal yang ditolak
oleh Gereja. Ketaatan ini penting agar para guru itu dapat menjadi teladan
iman bagi anak-anak didik mereka.
4. Mereka menyukai aktivitas mengajar. Mereka menjadi guru bukan karena
semata-mata pekerjaan. Para guru itu menyukai anak-anak, dan
berbahagia dapat terlibat dalam pembentukan karakter mereka.

Garis Besar Kurikulum
Kurikulum yang diterapkan di sekolah ini mengikuti kurikulum dengan pandangan
‘traditional/classical education’. Dari kelas Pre-Kindergarten sampai kelas 2, fokus yang
diutamakan adalah belajar membaca, menulis, berhitung dan Katekismus Katolik dasar.
Penekanan diberikan pada pentingnya membaca melalui diktasi, phonics, ’decoding’ words,
dan basic grammar English. Buku-buku yang mereka baca adalah buku-buku yang sesuai
dengan level mereka masing-masing, dengan kesempatan untuk naik ke level yang berikutnya
jika dipandang memadai. Dari segi literatur, anak-anak diarahkan untuk membaca buku-buku
novel klasik yang memiliki pemilihan bahasa yang baik, disertai dengan jalan cerita yang
menarik untuk anak-anak di level mereka masing-masing. Untuk matematika, mereka dilatih
mengenal dunia matematika dengan ‘hands-on’ aktivitas, menghapal Math’s facts, berhitung
dasar, dan pengulangan yang rutin. Tujuan utama sampai kelas 2 ini adalah agar mereka bisa
membaca dengan lancar buku novel klasik anak (tanpa gambar) setebal ± 150 – 200 halaman.
Di sekolah ini, komputer sama sekali tidak digunakan sampai murid-murid mencapai kelas 3,
waktu mereka mengetik karangan/tulisannya yang pertama.
Dari kelas 3 sampai kelas 5, penekannya adalah : menggunakan bahasa Inggris untuk belajar
pelajaran yang lain, seperti mengarang bahasa Inggris (writing), sejarah, geografi, ilmu alam,
classical literature yang lebih mendalam. Karena anak-anak ini sudah terlatih sejak TK kecil
untuk mendengar buku bacaan yang baik, dan belajar berhitung dengan cepat; mereka akan
terus terdorong untuk membaca buku dengan tata bahasa yang baik, dan mengerjakan tugas
pekerjaan Matematika yang cukup challenging.

Dari kelas 6 sampai kelas 8 (SMP), penekanan baru ditambahkan pada mengajar anak untuk
menganalisa dan berpikir secara lebih dalam. Pelajaran-pelajaran yang diterapkan harus
disesuaikan sehingga melatih daya pikir anak untuk menganalisa suatu keadaan yang lebih
abstrak, dengan cara dialogue dan pembahasan dari pandangan Gereja Katolik. Penekanan
logika menganalisa harus mulai diterapkan di dalam kurikulum pelajaran. Hal ini penting,
supaya anak-anak mulai diajar untuk mengaplikasikan pelajaran Katolik yang mereka sudah
dapat, dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Pelajaran Agama
Adalah sangat penting, bahwa kurikulum pelajaran agama yang diberikan adalah kurikulum
yang sesuai dengan ajaran Gereja Katolik. Sekolah St. Adalbert menggunakan buku terbitan
Ignatius Press yang berjudul Faith and Live series. Di sana disampaikan ajaran iman Katolik
dengan penuh (tidak dikompromikan) walaupun disampaikan sesuai dengan umur anak.
Prinsipnya ajaran iman Katolik tidak dapat diubah ataupun dikurangi, namun cara
penyampaiannya saja, yang disesuaikan.
Di sekolah St. Adalbert, pelajaran agama diadakan setiap hari, di setiap kelas, sekitar 20
menit; kecuali hari Jumat, karena setiap Jumat sudah diadakan perayaan Ekaristi, dan
Benediction setelahnya di gereja. Guru yang mengajarkan agama sama dengan guru
kelasnya. Kekecualian adalah pada kelas yang gurunya adalah non-Katolik. Pelajaran agama
bagi kelas ini diberikan oleh guru yang Katolik, dan guru yang non-Katolik ini ‘bertukar
tugas’ sementara dengan guru ini, dengan mengajarkan mata pelajaran spelling (membaca)
pada kelas yang lain. Guru yang non- Katolik ini menghormati apa yang diajarkan di sekolah.
Ia berpartisipasi dalam doa Rosario maupun doa-doa lainnya. Walaupun tidak menerima
Komuni dalam perayaan Ekaristi, ia mengikuti perayaan tersebut dengan khidmat. Pada saat
pembagian Komuni ia maju ke depan untuk menerima berkat dari Father.
Kehidupan Spiritualitas komunitas sekolah
Berikut adalah jadwal rutinitas rohani setiap minggu yang dilakukan di St. Adalbert School:
1. Waktu masuk sekolah adalah jam 8:00 pagi. Doa pagi dilakukan di kelas
masing-masing.
2. Pada hari Rabu pagi dan Jumat pagi, semua murid dan staf guru pergi ke
gereja untuk mengikuti perayaan Ekaristi pagi.
3. Pada hari Jumat pagi, setelah Misa pagi, semua murid dan staf guru
mengikuti Adorasi Sakramen Mahakudus, Litani para kudus, dan devosi
Kerahiman Ilahi/ “Divine Mercy”.
4. Pada hari Selasa dan Kamis, murid-murid belajar mengenai Santo/santa
tertentu (disesuaikan dengan kalendar liturgi), atau berdoa rosario.
5. Kurang lebih 3 minggu sekali, setiap anak diberikan kesempatan untuk
menerima Sakramen Pengakuan Dosa.
6. Setiap anak laki-laki dari kelas 3 sampai kelas 8 menjadi misdinar secara
bergantian.

7. Pada waktu makan siang (jam 11:20 a.m), doa makan dilakukan di kelas
masing-masing.
8. Tepat pada jam 12:00 siang, semua staf/ murid berdoa Angelus (Malaikat
Tuhan).
9. Setelah istirahat siang/waktu main selama 30 menit, pelajaran di sekolah
kembali dilakukan dan diakhiri jam 3:00 siang dengan doa penutup.

Di samping jadwal rutinitias di atas, ada acara-acara lain yang dilakukan untuk membantu
mendalami iman:
1. Acara Natal dilakukan di bulan Desember, dengan topik yang berfokus
pada kelahiran Kristus dan keselamatan melalui Inkarnasi Kristus.
2. Semasa Adven dan Prapaskah, murid-murid diberikan aktivitas yang
mempersiapkan mereka kepada Natal/Paskah.
3. Seni rupa/musik yang diajarkan sepanjang tahun seringkali bertemakan
Kristiani, disesuaikan dengan perayaan/hari-hari khusus Gereja.
4. Selain pendidikan agama, murid-murid juga belajar mengenal dan
memperdalam pengertian mereka akan orang-orang kudus. Terutama
pada waktu merayakan hari ‘para orang kudus’ (All Saints’ Day) 1
November, mereka melakukan perayaan khusus dengan memberikan
kesempatan bagi murid-muridnya untuk memakan pakaian seperti
Santo/santa yang dipilih. Anak- anak yang lebih besar memberikan
presentasi akan Santo/santa yang mereka pilih.
5. Pada waktu masa Prapaskah, murid-murid mengikuti acara Jalan Salib.
6. Pada bulan Mei, diadakan upacara ‘May Crowning’, di mana murid-murid
memberikan mahkota bunga yang mereka rangkai kepada patung Bunda
Maria.
7. Di akhir tahun ajaran, diadakan konser /pementasan yang bertemakan
ajaran Kristiani.
8. Beberapa kali dalam tahun pelajaran diadakan field trip/tour/ziarah ke
tempat-tempat kudus, seperti grotto (taman gua Maria), Gereja Katedral,
Shrine, dll.
9. Pada tanggal December 5, Pastor dari St. Adalbert Church memakai jubah
menyerupai Santo Nicholas (bukan sebagai santa Klaus) dan mengunjungi
setiap kelas.
10.Anak-anak diajar untuk peka terhadap masalah sosial dengan
mengunjungi/ berpartisipasi dalam acara sosial di sekitarnya, seperti:
mengunjungi panti jompo, atau para homeless, membantu membungkus
makanan untuk dikirim ke daerah yang membutuhkan, berpartisipasi
dalam ‘pro-life’ movement untuk memerangi aborsi di Amerika, membuat
selimut untuk diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan dll.

Pengaruh positif pelaksanaan devosi terhadap perilaku anak-anak
Salah satu ciri khas sekolah Katolik yang menonjol adalah pelaksanaan doa bersama di
sekolah. Pelaksanaan doa bersama, devosi, perayaan Ekaristi Kudus, dan penerimaan
sakramen-sakramen lainnya, seperti sakramen Pengakuan dosa, Komuni pertama dan
Penguatan/ Krisma berperanan sangat besar sekali terhadap perilaku anak-anak. Melalui doadoa devosi, anak-anak diajar untuk meluangkan waktu mereka bagi Tuhan. Di tengah-tengah
kesibukan belajar dan kegiatan sekolah yang banyak memakan waktu, mengadakan waktu
untuk Tuhan adalah penting sekali untuk diajarkan kepada anak.
Maka berdoa bersama, selayaknya tidak dipandang sebagai ‘membuang-buang waktu’,
namun sebagai kesempatan untuk mendidik anak-anak untuk mengutamakan Tuhan dalam
hidup mereka. Berikut ini adalah hal-hal positif yang ditimbulkan dengan pelaksanaan devosi
dalam komunitas sekolah:
1. Pelaksanaan devosi membuat anak-anak menjadi lebih tenang di dalam
hatinya, lebih memiliki self-control/ pengendalian diri untuk menjaga
kelakuannya sehari-hari di sekolah.
2. Secara tidak langsung, mereka juga belajar untuk mengerjakan pekerjaan
sekolah lainnya dengan lebih fokus -karena keterbatasan waktu- dan
sistematis.
3. Pelaksanaan devosi juga mengajar anak-anak untuk memulai harinya
dengan Tuhan dan menjalin hubungan yang baik dengan Tuhan.
4. Hubungan yang baik dengan Tuhan akan membawa akibat hubungan yang
baik antara anak-anak dan para guru juga dengan sesama murid dan
sesama guru.
5. Hubungan yang baik dengan Tuhan membuat Roh Kudus akan bekerja di
dalam hati setiap murid dan guru, untuk memberikan segala sesuatu yang
terbaik di sekolah, dan untuk bersikap seperti Kristus di dalam segala hal.

Peran guru dalam mendisiplinkan murid yang nakal
Tentu saja pengaruh guru-guru penting sekali dalam membantu anak-anak untuk bersikap
baik di sekolah. Jika anak-anak nakal, para guru mengingatkan mereka dengan memberikan
pertanyaan, “What would Jesus do?” jika Ia ada dalam keadaan tersebut. Karena anak-anak
sudah dengan sendirinya ingin berlaku baik, peringatan ini cukup dilakukan sekali ataupun
dua kali saja.
Cara mendisiplinkan murid yang dilakukan di St. Adalbert school adalah sistem disiplin
secara Kristiani. Yang dimaksud di sini adalah disiplin atas dasar ‘kasih Kristus kepada anakanak-Nya’. Maka disiplin ini bukan didasarkan atas kemarahan ataupun pelampiasan
kekesalan guru dan juga bukan dengan pendidikan dengan sistem militer. Disiplin ini
didasarkan pada motivasi, “Apa yang sebaiknya dilakukan untuk membantu pembentukan
karakter anak ini untuk menjadi lebih baik?”
Misalnya, terhadap anak-anak kelas TK kecil sampai kelas dua, apabila seorang murid sedang
nakal, tindakan yang dilakukan adalah:

1. Memperingatkan dengan nada suara yang biasa -tetapi cukup bisa
didengar oleh anak- untuk memberhentikan perbuatan nakalnya dan
kembali menjadi anak baik.
2. Apabila anak tersebut mengabaikan peringatan tersebut, guru akan
memberikan peringatan yang kedua kalinya dengan nada suara yang lebih
tegas, dan bisa juga lebih keras, sebab kemungkinan murid itu benarbenar tidak mendengar sebelumnya.
3. Apabila anak tersebut tetap mengabaikan peringatan yang kedua kalinya,
maka guru akan mendekatkan dirinya kepada sang murid, melihat murid
tersebut dengan seksama dalam jarak yang dekat -maksudnya adalah
supaya bisa berkomunikasi dengan lebih personal- mengingatkan anak
tersebut akan apa yang mungkin Yesus lakukan dalam keadaan seperti itu,
atau juga mengingatkan akibat perbuatan anak tersebut terhadap dirinya
sendiri, terhadap orang di sekitarnya, dan terhadap Tuhan -karena dia
mengabaikan Tuhan dan membuat Tuhan sedih). Penting bagi guru untuk
mengambil nada suara yang tenang, tetapi tegas; tidak perlu marahmarah atau berteriak-teriak dengan suara yang keras. Nada suara yang
membentak-bentak akan memberikan dampak yang tidak produktif. Hal
ini akan membuat anak menjadi takut atau bertambah marah-tergantung
karakter anaknya, tetapi tidak membantu mereka memperbaiki diri.
Tambahan lagi, guru tersebut juga menjadi kehilangan pengendalian
dirinya sendiri.
4. Kadang-kadang anak tersebut perlu dipindahkan dari
situasi/lingkungannya, dengan cara pergi ke tempat lain, atau masih di
dalam kelas yang sama atau kalau perlu, ke kantor kepala sekolah), untuk
‘take a break’, supaya dia bisa punya waktu untuk berpikir dan
merenungkan akibat perbuatannya tersebut pada dirinya sendiri, orang
lain, dan Tuhan.
5. Setelah selesai merenungkan perbuatannya, anak tersebut sebaiknya
berdoa singkat, minta ampun pada Tuhan, karena telah membuat Tuhan
bersedih. Anak itu juga harus minta maaf kepada orang lain (murid lainnya
ataupun guru) yang terkena akibat perbuatannya.

Untuk murid-murid yang lebih besar, caranya kurang lebih sama. Perbedaannya adalah,
mereka harus kembali diingatkan kepada hukum 10 perintah Allah, hukum cinta kasih, atau
hukum Gereja yang lainnya. Mereka diingatkan bahwa apa yang dilakukan mereka sudah
melanggar hukum Allah, dan membuatNya berduka. Penting juga untuk diingat bahwa anak
yang lebih besar sangat terpengaruh akan teman-temannya. Mereka mudah sekali merasa
malu, kalau dikoreksi di depan anak-anak lainnya. Karenanya, kadangkala akan lebih efektif
kalau waktu untuk komunikasi dengan anak dilakukan di ruangan yang lain / di luar kelas
atau di kantor kepala sekolah. Dalam situasi tertentu, perlu juga untuk melibatkan Pastor
(kalau ada kesempatan) untuk berbicara kepada anak tersebut secara pribadi. Peranan Pastor/
Romo sebagai bapa rohani, sesungguhnya mengambil bagian dalam peran kebapaan Tuhan
sendiri. Karena itu, Pastor dapat memberikan pengarahan kepada anak tersebut tentang
bagaimana Tuhan memandangnya, dan bagaimana tindakan yang dilakukannya dapat
menimbulkan akibat yang negatif bagi orang lain, dan bagaimana ke depannya agar anak
tersebut dapat menjadi lebih baik. Cara untuk meminta maaf kepada orang lain bisa dilakukan
dengan menulis kartu, atau surat dengan tata-bahasa dan tulisan yang sebaik-baiknya.

Perlunya melibatkan orang tua dalam pendidikan anak-anak
Orang tua sangat besar pengaruhnya dalam mendidik anak. Dalam melibatkan orangtua,
pertama kali pentingnya bagi pihak sekolah dan orangtua berada dalam pengertian yang sama
mengenai cara mendidik anak. Maksudnya, pihak sekolah dan orang tua harus kurang lebih
melihat dari cara pandang yang sama, sehingga apa yang dilakukan di sekolah juga ditunjang
oleh orangtua di rumah. Contohnya:
1. Mengerjakan pekerjaan sekolah/ rumah. Orangtua sebaiknya ikut terlibat
(disesuaikan dengan umur anak) akan perkejaan sekolah anak.
Maksudnya, orangtua harus mengetahui akan apa yang dikerjakan/
dipelajari oleh anaknya di sekolah. Tujuannya adalah apabila ada hal-hal
yang tidak sesuai/ tidak baik yang didapat dari anak di sekolah (misalnya
dari buku bacaan, teman, internet, dll), orangtua bisa lebih pro-aktif
mencegah pengaruhnya bagi anak.
Alangkah baiknya bagi orang tua untuk benar-benar memahami peran
utamanya dalam pendidikan dan pembentukan anak. Katekismus Gereja
Katolik sendiri mengajarkan bahwa peran orang tua tersebut adalah yang
pertama dan utama apabila dibanding dengan peranan sekolah. Sekolah
fungsinya hanya membantu orangtua dalam mendidik anak. Pada
akhirnya, tujuan orang tua yang utama adalah membawa dan
mengarahkan anaknya ke Surga.
2. Dalam masalah mendisiplinkan anak. Apabila seorang anak didisiplinkan di
sekolah, lalu pulang ke rumah dengan complain-complain atau
menyalahkan gurunya, orangtua tidak boleh langsung membela anaknya
dan menyalahkan gurunya. Orangtua harus dengan kepala dingin
mendengar masalah yang dikemukakan anaknya, dan berusaha
menjelaskan kepada anaknya mengapa guru/ pihak sekolah melakukan
kebijaksanaan yang demikian.
Apabila orangtua merasa ada hal yang tidak jelas akan keadaan yang
dilaporkan oleh anak, orang tua bisa menghubungi pihak sekolah dan
berbicara dengan guru/kepala sekolah unt