Pilkada Tidak Langsung Menodai Amanat Re

Pilkada TIDAK Langsung : Menodai Amanat Reformasi ?
Oleh: Maya Damayanti

Abstrak

Reformasi adalah masa keempat dari transisi demokrasi di Indonesia. Sebelumnya,
demokrasi yang pertama kali yang dianut oleh bangsa ini adalah Demokrasi Konstitusional, dari
tahun 1945 hingga 1959 yang sangat menonjolkan peranan parlemen serta partai politik.
Selanjutnya, Indonesia memasuki Masa ke-II pada tahun 1959 hingga 1965 yang dikenal sebagai
masa Demokrasi Terpimpin. Tahun 1969 hingga 1998, Indonesia kembali mengalami perubahan
dalam hal demokrasi. Kali ini Demokrasi yang dianut adalah Demokrasi Pancasila yang dimana
merupakan demokrasi konstitusional dengan menonjolkan sistem presidensial. Dan terakhir,
tahun 1998 hingga sekarang, yang dikenal dengan nama Masa Reformasi. Masa yang diharapkan
mampu melahirkan sistem demokrasi yang ideal sebagai bentuk perbaikan dari tiga masa yang
telah lalu.
Pada masa ini, muncul berbagai kebijakan baru yang tentunya sangat berbeda dari masa
sebelumnya. Salah satu terobosan besar reformasi adalah tegaknya demokrasi yang ditandai
dengan

kebebasan rakyat yang nyata. Bebas dalam hal menyampaikan aspirasi berupa


dukungan, kritikan, atau bahkan keluhan terhadap pemerintah negara. Bebas dalam hal memilih
pemimpin yang diinginkan, mulai dari tingkat daerah, hingga tingkat Pusat.

Layaknya seorang ilmuan yang masih kebingungan menemukan bahan yang tepat dalam
eksperimen yang sedang ia lakukan, satu persatu bahan yang ada diuji tingkat keberhasilannya.
Kurang lebih seperti itulah demokrasi negara ini, tidak lain hanyalah objek percobaan. Percobaan
yang sudah dilakukan sejak lama, tepatnya setelah negara ini resmi menyatakan dirinya sebagai
negara yang merdeka. Sampai sekarang, perkembangan demokrasi yang sudah menginjak masa
keempat, sejak

16 tahun yang lalu tak kunjung menampakkan suatu keberhasilan yang

signifikan. Lalu apa yang salah dari bangsa ini ?
Jika mengulas kembali ke awal reformasi, ada sebuah tekad kuat yang merupakan misi
besar sekaligus menjadi tujuan dari terbentuknya reformasi, yakni keinginan akan tegaknya
demokrasi. Tegak, dalam arti sebagai bentuk introspeksi diri bangsa ini terhadap praktik politik
yang terjadi pada masa Indonesia ketiga, dimana demokrasi konstitusional yang sangat
menonjolkan sistem presidensial. Sebagai presiden pertama yang menjabat pada era baru ini,
presiden BJ Habibie berupaya keras untuk mewujudkan demokrasi yang ideal.
Begitu banyak perubahan yang terjadi dibandingkan pada masa orde baru, seperti upaya

pembentukan pemerintahan yang transparan, dengan

adanya kebijakan yang mengatur

pemberian hak terhadap rakyat untuk menyuarakan segala aspirasinya sehingga mulai
bermunculan partai-partai politik baru pada saat itu yang mencapai 48 partai. Sedangkan untuk
terobosan lain yang bisa dikatakan sangat penting karena membawa pengaruh yang cukup besar
dalam lingkungan politik adalah pembentukan 3 UU pokok yang demokratis, yang terdiri dari
UU Politik, UU pemilu, serta UU susunan dan kedudukan MPR, DPR, serta DPRD yang resmi
disahkan pada awal tahun 1999.
Upaya keras dalam pembentukan UU demokratis ini ternyata membawakan hasil, yaitu
berupa respon baik dari kalangan masyarakat Indonesia sendiri, serta
masyarakat dunia yang mengakui

respon baik dari

bahwa pemilu Indonesia 1999 menjadi pemilu yang

demokratis. Langkah selanjutnya yang dilakukan dalam proses demokratisasi Habibie adalah
perubahan yang dilakukan terhadap UUD 1945, seperti peranan DPR yang diperkuat, semua

anggota DPR dipilih melalui pemilu, pengawasan terhadap hak presiden diperketat, dan hak asasi
manusia memperoleh jaminan yang semakin kuat.

Amandemen UUD 1945 juga memperkenalkan pertama kalinya pemilihan umum untuk
memilih presiden dan wakil presiden secara langsung, serta pemilihan kepala daerah yang diatur
dalam undang- undang no.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Dalam undang-undang
itu disebutkan bahwa kepala daerah diseluruh Indonesia dipilih melalui

pilkada, mulai

pertengahan 2005.
Semenjak itu, semua kepala daerah yang telah habis masa jabatannya harus dipilih
melalui pilkada, yang pada hakekatnya ditujukan untuk menjadikan pemerintah daerah lebih
demokratis. Tentu saja pilkada ini berbeda dengan pilkada sebelumnya yang dilakukan oleh
DPRD, tanpa campur tangan rakyat sedikitpun. Seperti yang dikatakan oleh Miriam Budiardjo
dalam bukunya Dasar-Dasar Ilmu Politik(2008: 135) : “ Pelaksanaan pemilu legislatif dan
pemilihan presiden pada tahun 2004 menjadi tonggak sejarah politik yang penting dalam sejarah
politik Indonesia modern karena terpilihnya anggota-anggota DPR, DPD, dan DPRD telah
menuntaskan demokratisasi di bidang lembaga-lembaga politik di Indonesia”.
Namun sayangnya, demokratisasi dengan pemilihan langsung kepala daerah tidak serta

merta menjadikan Indonesia menjadi Negara yang pure demokrasi.Nyatanya, pilkada secara
langsung ternyata membawa permasalahan baru di rana politik Indonesia.KKN

(Korupsi,

Kolusi, dan nepotisme) yang umumnya terjadi diantara sesama elit politik seperti masa orde
baru, telah menyebar dan menjadi marak terjadi di kalangan masyarakat biasa.
Peraturan komisi pemilihan umum no.69 tahun 2009 pasal 1 nomor 11 tentang pedoman
teknis kampanye yang mengatakan: “. . . kampanye adalah penyampaian pesan-pesan oleh
pasangan calon kepada masyarakat melalui media cetak dan elektronik secara berulang-ulang
berbentuk tulisan, gambar, animasi, promosi, suara, peragaan, sandiwara, debat, dan bentuk
lainnya yang berisi ajakan, himbauan untuk memberikan dukungan kepada pasangan calon”,
hanya dipandang sebagai sebuah formalitas tertulis semata. Pada praktiknya, bukan hanya pesan
atau himbauan yang menyebar, tapi para calon pasangan pilkada mulai menggunakan cara yang
berbeda seperti pembagian beras, daging, dan hal-hal lainnya yang menjurus ke arah KKN.

Dampaknya, sangat jelas terlihat pada jumlah kepala daerah yang terlibat sekaligus
menjadi tersangka dalam kasus korupsi.Tahun 2010 saja, tercatat ada 448 kasus korupsi yang
ditangani oleh kepolisian dan komisi pemberantas korupsi (KPK). Meski sempat mengalami
penurunan pada tahun 2011 menjadi 436 kasus, kemudian turun lagi menjadi 402 kasus, namun

menginjak tahun 2013, hal sebaliknya terjadi, yaitu peningkatan signifikan yang sangat tinggi
mencapai 560 kasus. Sementara tahun 2014, diperkirakan bahwa kasus korupsi akan terus
meningkat, karena untuk saat ini jumlahnya sudah mencapai 308 kasus. Dari 308 kasus yang
terjadi di tahun ini 42,6% dilakukan oleh pemerintah daerah (pemda). Hal yang sama dengan
kasus korupsi yang terjadi 2013 lalu, dimana jumlah tersangka juga sebagian besar berasal dari
pemerintah daerah.
Terlepas dari permasalahan korupsi oleh oknum-oknum yang berada di pemerintah
daerah, permasalahan politik di tanah air dari hari ke hari semakin terkesan “berantakan” .
Terlebih, tahun ini menjadi tahun kedua perebutan kursi kepala negara yang sebelumnya sudah
dilakukan tahun 2004 lalu. Pemilihan kepala negara yang hanya diikuti oleh dua partai besar
Indonesia, yaitu Joko Widodo bersama Jusuf Kalla dari PDIP dan Prabowo Subianto ditemani
Hatta Rajasa dari Gerindra.Sebelum menyusut dan tersisa menjadi 2 partai, pada awalnya ada 11
partai mendaftarkan diri untuk ikut pemilu 2014.Namun perlahan, satu persatu dari 11 partai itu
mulai melakukan koalisi hingga tersisa Gerindra dan PDIP.
Kemenangan akhirnya berhasil mengantarkan Jokowi menjadi presiden terpilih Indonesia
periode 2014-2019. Kemenangan yang bisa dikatakan "agak berbelit" ini tidak hanya berhasil
menyedot perhatian rakyat Indonesia saja, namun juga rakyat dunia. Semua berawal dari
pernyataan Prabowo yang

keluar dari


proses pemilu 2014 sesaat setelah hasil pemilu

dikeluarkan oleh KPU dengan pasangan nomor urut 2 sebagai pemenang. Pernyataan tertulis itu
disampaikan dengan tegas oleh Prabowo didepan awak media, yang meski tidak ditemani oleh
pasangannya, Hatta Rajasa. Salah satu isi dari pernyataan itu adalah mengenai hasil pemilu yang
dianggap tidak adil, karena terdapat kecurangan-kecurangan masif yang terstuktur dan
sistematik.

Tidak berhenti sampai disitu, tanggal 25 Juli 2014, pihak dari tim nomor urut 1 Prabowo
Subianto kembali memunculkan cerita baru, yaitu berupa tuntutan yang ditujukan kepada KPU
melalui Mahkamah Konstitusi. Namun kembali, untuk yang kedua kalinya, MK mengumumkan
pihak nomor urut 2 sebagai pemenang.Setelah perkara kecurangan pemilu terselesaikan, Koalisi
Merah Putih yang merupakan pendukung Prabowo kembali muncul ke permukaan tepatnya saat
sidang Paripurna.Pada sidang tersebut, Koalisi Merah Putih berhasil menang telak atas pimpinan
MPR dan juga pimpinan DPR. Selain itu, kemenangan paling berarti yang didapatkan oleh
Koalisi Merah Putih adalah Kemenangan atas UU Pilkada tanggal 26 September lalu, dengan
keputusan sidang yang menyatakan pilkada dilakukan secara tidak langsung .
Keputusan sidang yang bisa dikatakan cukup mengejutkan ini berhasil menarik perhatian
masyarakat, terlebih mengetahui bahwa pihak Demokrat yang ternyata walk out saat pemungutan

suara. Masih dengan alasan yang kurang jelas, ketua umum Demokrat, presiden Susilo Bambang
Yudhoyono mengeluarkan perpu (peraturan pemerintah penggati UU) terkait Pilkada tidak
langsung. Dalam perpu tersebut, SBY dengan tegas menolak pilkada dilakukan secara tidak
langsung .
Lalu yang menjadi pertanyaan sekarang , apakah pilkada tidak langsung sama dengan
menodai amanat Reformasi ? Jawabannya adalah iya. Karena seperti yang sudah saya bahas
dalam pendahuluan, salah satu yang menjadi amanat reformasi adalah kebebasan rakyat yang
nyata. Salah satunya dengan bebas memilih pemimpin yang diinginkan. Lalu karena menodai,
apakah kemudian hal itu menjadi hal yang salah ? Belum tentu.

Pada dasarnya, kebebasan nyata memang merupakan salah satu hal yang diharapkan
terwujud oleh reformasi.Namun, tidak dapat kita pungkiri bahwa segala hal selalu memiliki sisi
positif dan negatif, termasuk kebebasan dalam pilkada langsung.Disatu sisi, dengan pilkada
langsung yang dilakukan oleh rakyat, negara telah memberikan kesempatan bagi rakyat untuk
memilih pemimpin yang diinginkan dan diyakini mampu membangun dan membawa perubahan
yang positif guna terwujud kesejahteraan bersama. Namun apa jadinya jika pemimpin yang
menjadi pilihan rakyat tidak seperti yang diharapkan ?
Seperti yang persis terjadi saat ini, dengan ratusan kasus korupsi oleh lembaga
pemerintah daerah. Hal itulah yang sebenarnyamenjadi


faktor kuat yang melatarbelakangi

Dewan Perwakilan Rakyat memilih agar pilkada dilakukan secara tidak langsung pada saat
sidang UU pilkada akhir September lalu. Dewan Perwakilan Rakyat melihat bahwa selama ini
pemilihan umum yang dilakukan masih belum sesuai dengan asas langsung, rahasia, umum,
jujur, dan juga adil, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 22 ayat 1 UUD 1945.
Peraturan baru tersebut diharapkan dapat meminimalisir sekaligus menjadi introspeksi
diri kecurangan politik oleh pemerintah daerah yang telah terjadi sebelumnya. Mengingat bahwa
orang- orang yang akan memimpin merupakan pilihan DPRD yang tentunya harus memenuhi
syarat-syarat yang telah ditetapkan. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa peraturan baru
tersebut akan membawa dampak negatif yang sama, atau mungkin lebih parah. Apabila hal itu
terjadi, makaada kemungkinan lagi bahwa pilkada akan kembali dilakukan secara langsung atau
mungkin dengan solusi lainnya. Seperti yang saya katakan diawal, segala proses ini tidak lain
seperti percobaan seorang ilmuan, yang dilakukan agar menemukan bahan yang tepat untuk
menjadi sebuah produk yang pada akhirnya dapat bermanfaat.

Daftar Pustaka

Budiardjo,Miriam.2008.Dasar-dasar ilmu politik.Gramedia:Jakarta.
Surbakti, Ramlan.1992.Memahami ilmu politik.Gramedia: Jakarta.

Hidajat,Imam.2012.Teori-teori politik.Setara Pers: Malang.
http://nasional.kompas.com/read/2014/08/18/10085091/Tren.Korupsi.Naik.Lagi
http://www.kpu.go.id/dmdocuments/pkpu_15_2013_kampanye.pdf