Pencemaran Air di Sungai oleh Limbah Det

Pencemaran Air di Sungai oleh Limbah Detergen
Sungai merupakan aliran air permukaan yang berhulu disebuah mata air dan akan bermuara
di laut maupun danau, sungai juga merupakan sumber kehidupan bagi makhluk hidup yang
ada di sekitarnya. Di Indonesia, sungai merupakan sumber vital bagi kehidupan selain
sebagai sumber kehidupan sungai juga sebagai sumber air dalam pengairan persawahan yang
dimana sawah – sawah tersebut akan ditanami padi – padi oleh para petani. Selain itu sungai
di Indonesia dapat digunakan sebagi pusat aktivitas manusia seperti yang ada di daerah
Kalimantan dan beberapa daerah lainnya yaitu sungai dapat digunakan sebagai jalur
transportasi dan perdagangan. Dan sungai juga dapat digunakan sebagai tempat rekreasi
maupun olahraga yang sangat menegangkan dan menyenangkan yaitu olahraga arum jeram.
Pada saat ini sudah banyak perubahan – perubahan yang terjadi pada sungai yang merupakan
sumber kehidupan tersebut, hal – hal yang menjadi penyebab terjadinya perubahan yang ada
di sungai adalah pencemaran limbah – limbah yang di akibatkan oleh aktivitas manusia yang
semakin lama semakin modern di sekitar sungai. Limbah – limbah tersebut ada yang berupa
limbah cair maupun padat salah satunya berasal dari limbah deterjen rumah tangga. Deterjen
memilki formula untuk membersihkan substrat kotor di bawah kondisi pencucian yang
bervariasi, formula tersebut adalah surfaktan, builder dan aditif. Surfaktan dalam deterjen
berguna untuk mempengaruhi sudut kontak sistem pencucian, sedangkan builder memiliki
fungsi untuk membantu efisiensi surfaktan dalam proses pembersihan kotoran.
Salah satu kemampuan buider yang penting dan banyak digunakan adalah untuk
menyingkirkan ion penyebab kesadahan dari cairan pencuci dan mencegah ion tersebut

berinteraksi dengan surfaktan. Kandungan – kandungan dari surfaktan dan builder dapat
menghasilkan limbah dari deterjen tersebut yang sebagian besar adalah Natrium Trifosfat
yang dapat merusak kehidupan makhluk hidup yang ada di sungai tersebut seperti ikan,
fitoplankton dan makhluk hidup lainnya. Kandungan Natrium Trifosfat yang tinggi pada
deterjen dan terbuang ke sungai menyebabkan peningkatannya kandungan fosfat yang
terkandung di dalam sungai dan menyebabkan meningkatnya beberapa spesies ganggang
sehingga oksigen yang ada di dalam air akan berkurang dan menyebabkan kematian bagi ikan
– ikan yang ada di dalam sungai tersebut dan juga dengan peningkatan kandungan fosfat
dalam air sungai dapat menyebabakan masalah yang disebut eutrofikasi, yaitu masalah
lingkungan yang disebabkan oleh limbah fosfat khususnya yang terjadi pada ekosistem air
tawar.
Eutrofikasi sebenarnya merupakan kejadian alami yang dimana ekosistem air tawar
mengalami penuaan secara bertahap dan menjadi lebih produktif bagi tumbuhnya biomassa
dan dengan semakin modernnya zaman dan juga semakin banyak aktivitas manusia maka
proses alami ini berjalan lebih cepat dari seharusnya sehingga terjadinya peristiwa algal
bloom. Pesatnya pertumbuhan tumbuhan berukuran mikro akibat meningkatnya ketersediaan
fosfat dalam air dan kondisi yang memungkinkan. Hal ini bisa dikenali dengan warna air
yang menjadi kehijauan, berbau tak sedap, dan kekeruhannya yang menjadi semakin
meningkat. Banyaknya eceng gondok yang bertebaran di rawa-rawa dan danau-danau juga
disebabkan fosfat yang sangat berlebihan ini. Akibatnya, kualitas air di banyak ekosistem air

menjadi sangat menurun. Rendahnya konsentrasi oksigen terlarut, bahkan sampai batas nol,
menyebabkan makhluk hidup air seperti ikan dan spesies lainnya tidak bisa tumbuh dengan
baik sehingga akhirnya mati. Hilangnya ikan dan hewan lainnya dalam mata rantai ekosistem
air menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem air.

Permasalahan lainnya, cyanobacteria (blue-green algae) diketahui mengandung
toksin sehingga membawa risiko kesehatan bagi manusia dan hewan. Algal bloom juga
menyebabkan hilangnya nilai konservasi, estetika, rekreasional, dan pariwisata sehingga
dibutuhkan biaya sosial dan ekonomi yang tidak sedikit untuk mengatasinya. Menyadari
bahwa senyawa fosfatlah yang menjadi penyebab terjadinya eutrofikasi, maka perhatian para
saintis dan kelompok masyarakat pencinta lingkungan hidup semakin meningkat terhadap
permasalahan ini. Ada kelompok yang condong memilih cara-cara penanggulangan melalui
pengolahan limbah cair yang mengandung fosfat, seperti detergen dan limbah manusia, ada
juga kelompok yang secara tegas melarang keberadaan fosfor dalam detergenPersoalan ini
sudah merupakan persoalan yang global dan melibatkan banyak pihak dan juga perlu
pengawasan yang benar - benar dilakukan secara terus menerus serta dilakukan pendekatan
melalui pendekatan lintas disiplin ilmu dan sektoral.
Pencegahan ini dapat dilakukan melalui kebijakan yang kuat untuk mengontrol pertumbuhan
penduduk karena dengan peningkatan pendudukan tersebut berarti akan menambah pula
kontribusi penambahan senyawa fosfat ke lingkungan air. Pemerintah juga harus membatasi

produsen deterjen agar tidak menggunakan fosfat dalam pembuatan deterjen tersebut, begitu
pula dengan produk makanan dan minuman diusahakan juga tidak mengandung bahan aditif
fosfat. Di samping itu, dituntut pula peran pemerintah di sektor pertanian agar penggunaan
pupuk fosfat dibatasi, serta perannya dalam pengelolaan sektor peternakan yang bisa
mencegah lebih banyaknya lagi fosfat lepas ke lingkungan air. Bagi masyarakat dianjurkan
untuk membatasi mengonsumsi makanan dan minuman yang mengandung aditif fosfat.
http://erlangga-lintang.blogspot.com/2011/08/pencemaran-air-di-sungai-oleh-limbah.html

Pengertian Euterofikasi
Eutrofikasi adalah suatu proses di mana suatu tumbuhan tumbuh dengan sangat cepat
dibandingkan pertumbuhan yang normal. Proses ini juga sering disebut dengan blooming.
Dengan kata lain merupakan pencemaran air yang disebabkan oleh munculnya nutrient yang
berlebihan ke dalam ekosistem air. Air dikatakan eutrofik jika konsentrasi total phosphorus
(TP) dalam air berada dalam rentang 35-100 µg/L. Sejatinya, eutrofikasi merupakan sebuah
proses alamiah dimana danau mengalami penuaan secara bertahap dan menjadi lebih
produktif bagi tumbuhnya biomassa. Diperlukan proses ribuan tahun untuk sampai pada
kondisi eutrofik.
Penyebab Terjadinya Euterofikasi
Problem eutrofikasi baru disadari pada dekade awal abad ke-20 saat alga banyak tumbuh di
danau-danau dan ekosistem air lainnya. Problem ini disinyalir akibat langsung dari aliran

limbah domestik. Hingga saat itu belum diketahui secara pasti unsur kimiawi yang
sesungguhnya berperan besar dalam munculnya eutrofikasi ini. Melalui penelitian jangka
panjang pada berbagai danau kecil dan besar, para peneliti akhirnya bisa menyimpulkan
bahwa fosfor merupakan elemen kunci di antara nutrient utama tanaman (karbon (C),
nitrogen (N), dan fosfor (P)) di dalam proses eutrofikasi.
Eutrofikasi dapat dikarenakan beberapa hal di antaranya karena ulah manusia yang tidak
ramah terhadap lingkungan. Hampir 90 % disebabkan oleh aktivitas manusia di bidang
pertanian. Para petani biasanya menggunakan pestisida atau insektisida untuk memberantas
hama tanaman agar tanaman tidak rusak. Akan tetapi botol – botol bekas pestisida itu dibuang
secara sembarangan baik di sekitar lahan pertanian atau daerah irigasi. Hal inilah yang
mengakibatkan pestisida dapat berada di tempat lain yang jauh dari area pertanian karena
mengikuti aliran air hingga sampai ke sungai – sungai atau danau di sekitarnya. Mengacu
pada buku Phosphorus Chemistry in Everyday Living, manusia memang berperan besar
sebagai penyumbang limbah fosfat. Secara fisiologis, jumlah fosfat yang dikeluarkan
manusia sebanding dengan jumlah yang dikonsumsinya. Limbah organik adalah sisa atau
buangan dari berbagai aktifitas manusia seperti rumah tangga, industri, pemukiman,
peternakan, pertanian dan perikanan yang berupa bahan organik; yang biasanya tersusun oleh
karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, fosfor, sulfur dan mineral lainnya (Polprasert, 1989).
Limbah organik yang masuk ke dalam perairan dalam bentuk padatan yang terendap, koloid,
tersuspensi dan terlarut. Pada umumnya, yang dalam bentuk padatan akan langsung

mengendap menuju dasar perairan; sedangkan bentuk lainnya berada di badan air, baik di
bagian yang aerob maupun anaerob.
Proses Terjadinya Euterofikasi
Limbah organik kebanyakan akan mengair ke sungai, danau atau perairan lainnya melalui
aliran air hujan. Limbah organik yang masuk ke badan air yang anaerob akan dimanfaatkan
dan diurai (dekomposisi) oleh mikroba anaerobik atau fakultatif (BAN); dengan proses
seperti pada reaksi (3) dan (4):
COHNS + BAN è CO2 + H2S + NH3 + CH4 + produk lain + energi … ….(3)
COHNS + BAN + enerji è C5H7O2 N (sel MO baru) …..(4)
Kedua proses tersebut diatas mengungkapkan bahwa aktifitas mikroba yang hidup di bagian
badan air yang anaerob selain menghasilkan sel-sel mikroba baru juga menghasilkan
senyawa-senyawa CO2, NH3, H2S, dan CH4 serta senyawa lainnya seperti amin, PH3 dan
komponen fosfor. Asam sulfide (H2S), amin dan komponen fosfor adalah senyawa yang
mengeluarkan bau menyengat yang tidak sedap, misalnya H2S berbau busuk dan amin
berbau anyir. Selain itu telah disinyalir bahwa NH3 dan H2S hasil dekomposisi anaerob pada
tingkat konsentrasi tertentu adalah beracun dan dapat membahayakan organisme lain,

termasuk ikan.
Selain menghasilkan senyawa yang tidak bersahabat bagi lingkungan seperti tersebut diatas,
hasil dekomposisi di semua bagian badan air menghasilkan CO2 dan NH3 yang siap dipakai

oleh organisme perairan berklorofil (fitoplankton) untuk aktifitas fotosintesa; yang dapat
digambarkan sebagai reaksi.
Pengaruh pertama proses dekomposisi limbah organik di badan air aerobik adalah terjadinya
penurunan oksigen terlarut dalam badan air. Fenomena ini akan mengganggu pernafasan
fauna air seperti ikan dan udang-udangan; dengan tingkat gangguan tergantung pada tingkat
penurunan konsentrasi oksigen terlarut dan jenis serta fase fauna. Kesulitan fauna karena
penurunan oksigen terlarut sebenarnya baru dampak permulaaan, sebab jika jumlah pencemar
organik dalam badan air bertambah terus maka proses dekomposisi organik memerlukan
oksigen lebih besar dan akibatnya badan air akan mengalami deplesi oksigen bahkan bisa
habis sehingga badan air menjadi anaerob.
Pada badan air yang anaerob dekomposisi bahan organik menghasilkan gas-gas, seperti H2S,
metan dan amoniak yang bersifat racun bagi fauna seperti ikan dan udang-udangan. Seperti
penurunan oksigen terlarut; senyawa-senyawa beracun inipun dalam konsentrasi tertentu
akan dapat membunuh fauna air yang ada.
Interaksi kompleks antara nutrien, fitoplankton dan zooplankton tersebut menyebabkan badan
air yang mengalami eutrofikasi pada akhirnya akan didominasi oleh sejenis fitoplankton
tertentu yang pada umumnya tidak bisa dimakan oleh fauna air terutama zooplankton dan
ikan termasuk karena beracun.
Dampak Eutrofikasi
Selain menurunkan konsentrasi oksigen terlarut, menghasilkan senyawa beracun dan menjadi

tempat hidup mikroba patogen yang menyengsarakan fauna air; dekomposisi juga
menghasilkan senyawa nutrien (nitrogen dan fosfor) yang menyuburkan perairan. Nutrien
merupakan unsur kimia yang diperlukan alga (fitoplankton) untuk hidup dan
pertumbuhannya. Sampai pada tingkat konsentrasi tertentu, peningkatan konsentrasi nutrien
dalam badan air akan meningkatkan produktivitas perairan, karena nutrien yang larut dalam
badan air langsung dimanfaatkan oleh fitoplankton untuk pertumbuhannya sehingga populasi
dan kelimpahannya meningkat. Peningkatan kelimpahan fitoplankton akan diikuti dengan
peningkatan kelimpahan zooplankton, yang makanan utamanya adalah fitoplankton.
Akhirnya karena fitoplankton dan zooplankton adalah makanan utama ikan, maka kenaikan
kelimpahan keduanya akan menaikan kelimpahan (produksi) ikan dalam badan air tersebut.
Akan tetapi peningkatan konsentrasi nutrien yang berkelanjutan dalam badan air, apalagi
dalam jumlah yang cukup besar akan menyebabkan badan air menjadi sangat subur atau
eutrofik dan akan merangsang fitoplankton untuk tumbuh dan berkembang-biak dengan pesat
sehingga terjadi blooming sebagai hasil fotosintesa yang maksimal dan menyebabkan
peningkatan biomasa perairan tersebut.
Sehubungan dengan peningkatan konsentrasi nutrien dalam badan air, setiap jenis
fitoplankton mempunyai kemampuan yang berbeda dalam memanfaatkannya sehingga
kecepatan tumbuh setiap jenis fitoplankton berbeda. Selain itu setiap jenis fitoplankton juga
mempunyai respon yang berbeda terhadap perbandingan jenis nutrien yang terlarut dalam
badan air (Kilham dan. Fenomena ini menyebabkan komunitas fitoplankton dalam suatu

badan air mempunyai struktur dan dominasi jenis yang berbeda dengan badan air lainnya.
Selain merugikan dan mengancam keberlanjutan fauna akibat dominasi fito-plankton yang
tidak dapat dimakan dan beracun; blooming yang menghasilkan biomasa (organik) tinggi
juga merugikan fauna; karena fenomena blooming selalu diikuti dengan penurunan oksigen
terlarut secara drastis akibat pe-manfaatan oksigen yang ber lebihan untuk de-komposisi
biomasa (organik) yang mati. Seperti pada analisis dampak langsung tersebut diatas maka
rendahnya konsentrasi oksigen terlarut apalagi jika sampai batas nol akan menyebabkan ikan

dan fauna lainnya tidak bisa hidup dengan baik dan mati. Selain menekan oksigen terlarut
proses dekomposisi tersebut juga menghasilkan gas beracun seperti NH3 dan H2S yang pada
konsentrasi tertentu dapat membahayakan fauna air, termasuk ikan. Selain badan air
didominasi oleh fitoplankton yang tidak ramah lingkungan seperti tersebut diatas, eutrofikasi
juga merangsang pertumbuhan tanaman air lainnya, baik yang hidup di tepian (eceng
gondok) maupun dalam badan air (hydrilla). Oleh karena itulah maka di rawa-rawa dan
danau-danau yang telah mengalami eutrofikasi tepiannya ditumbuhi dengan subur oleh
tanaman air seperti eceng gondok (Eichhornia crassipes), Hydrilla dan rumput air lainnya.
Permasalahan lainnya, cyanobacteria (blue-green algae) diketahui
mengandung toksin sehingga membawa risiko kesehatan bagi manusia dan
hewan. Algal bloom juga menyebabkan hilangnya nilai konservasi,
estetika, rekreasional, dan pariwisata sehingga dibutuhkan biaya

sosial dan ekonomi yang tidak sedikit untuk mengatasinya
Cara Menanggulangi Eutrofikasi
Menyadari bahwa senyawa fosfatlah yang menjadi penyebab terjadinya eutrofikasi, maka
perhatian para saintis dan kelompok masyarakat pencinta lingkungan hidup semakin
meningkat terhadap permasalahan ini. Ada kelompok yang condong memilih cara-cara
penanggulangan melalui pengolahan limbah cair yang mengandung fosfat, seperti detergen
dan limbah manusia, ada juga kelompok yang secara tegas melarang keberadaan fosfor dalam
detergen. Program miliaran dollar pernah dicanangkan lewat institusi St Lawrence Great
Lakes Basin di AS untuk mengontrol keberadaan fosfat dalam ekosistem air. Sebagai
implementasinya, lahirlah peraturan perundangan yang mengatur pembatasan penggunaan
fosfat, pembuangan limbah fosfat dari rumah tangga dan permukiman. Upaya untuk
menyubstitusi pemakaian fosfat dalam detergen juga menjadi bagian dari program tersebut.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan penanggulangan terhadap problem ini sulit
membuahkan hasil yang memuaskan. Faktor-faktor tersebut
adalah aktivitas peternakan yang intensif dan hemat lahan, konsumsi
bahan kimiawi yang mengandung unsur fosfat yang berlebihan,
pertumbuhan penduduk Bumi yang semakin cepat, urbanisasi yang semakin
tinggi, dan lepasnya senyawa kimia fosfat yang telah lama terakumulasi
dalam sedimen menuju badan air.


http://babyastoninspired.wordpress.com/2011/11/10/dampak-eutrofikasi/

Penyebab dan Dampak Pencemaran Air
Limbah Pemukiman
Limbah pemukiman mengandung limbah domestik berupa sampah
organik dan sampah anorganik serta deterjen. Sampah organik adalah
sampah yang dapat diuraikan atau dibusukkan oleh bakteri. Contohnya
sisa-sisa sayuran, buah-buahan, dan daun-daunan. Sedangkan sampah
anorganik sepertikertas, plastik, gelas atau kaca, kain, kayu-kayuan,
logam, karet, dan kulit. Sampah-sampah ini tidak dapat diuraikan oleh
bakteri (non biodegrable). Sampah organik yang dibuang ke sungai
menyebabkan berkurangnya jumlah oksigen terlarut, karena sebagian
besar digunakan bakteri untuk proses pembusukannya. Apabila sampah
anorganik yang dibuang ke sungai, cahaya matahari dapat terhalang dan
menghambat proses fotosintesis dari tumbuhan air dan alga, yang
menghasilkan oksigen. Tentunya anda pernah melihat permukaan air
sungai atau danau yang ditutupi buih deterjen. Deterjen merupakan
limbah pemukiman yang paling potensial mencemari air. Pada saat ini
hampir setiap rumah tangga menggunakan deterjen, padahal limbah
deterjen sangat sukar diuraikan oleh bakteri.

Sehingga tetap aktif untuk jangka waktu yang lama. Penggunaan deterjen
secara besar-besaran juga meningkatkan senyawa fosfat pada air sungai
atau danau. Fosfat ini merangsang pertumbuhan ganggang dan eceng
gondok. Pertumbuhan ganggang dan eceng gondok yang tidak terkendali
menyebabkan permukaan air danau atau sungai tertutup sehingga
menghalangi masuknya cahaya matahari dan mengakibatkan
terhambatnya proses fotosintesis.
Jika tumbuhan air ini mati, akan terjadi proses pembusukan yang
menghabiskan persediaan oksigen dan pengendapan bahan-bahan yang
menyebabkan pendangkalan.

Penyebab dan Dampak
Limbah Industri

Pencemaran

Air

Limbah industri sangat potensial sebagai penyebab terjadinya
pencemaran air. Pada umumnya limbah industri mengandung limbah B3,
yaitu bahan berbahaya dan beracun. Menurut PP 18 tahun 99 pasal 1,
limbah B3 adalah sisa suatu usaha atau kegiatan yang mengandung
bahan berbahaya dan beracun yang dapat mencemarkan atau merusak
lingkungan hidup sehingga membahayakan kesehatan serta kelangsungan
hidup manusia dan mahluk lainnya. Karakteristik limbah B3 adalah korosif/
menyebabkan karat, mudah terbakar dan meledak, bersifat toksik/
beracun dan menyebabkan infeksi/ penyakit. Limbah industri yang
berbahaya antara lain yang mengandung logam dan cairan asam.
Misalnya limbah yang dihasilkan industri pelapisan logam, yang
mengandung tembaga dan nikel serta cairan asam sianida, asam borat,

asam kromat, asam nitrat dan asam fosfat. Limbah ini bersifat korosif,
dapat mematikan tumbuhan dan hewan air. Pada manusia menyebabkan
iritasi pada kulit dan mata, mengganggu pernafasan dan menyebabkan
kanker.
Logam yang paling berbahaya dari limbah industri adalah merkuri atau
yang dikenal juga sebagai air raksa (Hg) atau air perak. Limbah yang
mengandung merkurei selain berasal dari industri logam juga berasal dari
industri kosmetik, batu baterai, plastik dan sebagainya. Di Jepang antara
tahun 1953- 1960, lebih dari 100 orang meninggal atau cacat karena
mengkonsumsi ikan yang berasal dari Teluk Minamata. Teluk ini tercemar
merkuri yang bearasal dari sebuah pabrik plastik. Senyawa merkuri yang
terlarut dalam air masuk melalui rantai makanan, yaitu mula-mula masuk
ke dalam tubuh mikroorganisme yang kemudian dimakan yang
dikonsumsi manusia. Bila merkuri masuk ke dalam tubuh manusia melalui
saluran pencernaan, dapat menyebabkan kerusakan akut pada ginjal
sedangkan pada anak-anak dapat menyebabkan Pink Disease/ acrodynia,
alergi kulit dan kawasaki disease/ mucocutaneous lymph node syndrome.

http://niki-sp2.blogspot.com/p/pencemaran-air.html

Eutrofikasi merupakan masalah lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah fosfat (PO3-),
khususnya dalam ekosistem air tawar. Definisi dasarnya adalah pencemaran air yang disebabkan oleh

munculnya nutrient yang berlebihan ke dalam ekosistem air. Air dikatakan eutrofik jika konsentrasi
total phosphorus (TP) dalam air berada dalam rentang 35-100 µg/L. Sejatinya, eutrofikasi merupakan
sebuah proses alamiah di mana danau mengalami penuaan secara bertahap dan menjadi lebih
produktif bagi tumbuhnya biomassa. Diperlukan proses ribuan tahun untuk sampai pada kondisi
eutrofik. Proses alamiah ini, oleh manusia dengan segala aktivitas modernnya, secara tidak disadari
dipercepat menjadi dalam hitungan beberapa dekade atau bahkan beberapa tahun saja. Maka
tidaklah mengherankan jika eutrofikasi menjadi masalah di hampir ribuan danau di muka Bumi,
sebagaimana dikenal lewat fenomena algal bloom.

Akibat eutrofikasi
Kondisi eutrofik sangat memungkinkan alga, tumbuhan air berukuran mikro, untuk tumbuh
berkembang biak dengan pesat (blooming) akibat ketersediaan fosfat yang berlebihan serta
kondisi lain yang memadai. Hal ini bisa dikenali dengan warna air yang menjadi kehijauan,
berbau tak sedap, dan kekeruhannya yang menjadi semakin meningkat. Banyaknya eceng
gondok yang bertebaran di rawa-rawa dan danau-danau juga disebabkan fosfat yang sangat
berlebihan ini. Akibatnya, kualitas air di banyak ekosistem air menjadi sangat menurun.
Rendahnya konsentrasi oksigen terlarut, bahkan sampai batas nol, menyebabkan makhluk
hidup air seperti ikan dan spesies lainnya tidak bisa tumbuh dengan baik sehingga akhirnya
mati. Hilangnya ikan dan hewan lainnya dalam mata rantai ekosistem air menyebabkan
terganggunya keseimbangan ekosistem air. Permasalahan lainnya, cyanobacteria (blue-green
algae) diketahui mengandung toksin sehingga membawa risiko kesehatan bagi manusia dan
hewan. Algal bloom juga menyebabkan hilangnya nilai konservasi, estetika, rekreasional, dan
pariwisata sehingga dibutuhkan biaya sosial dan ekonomi yang tidak sedikit untuk
mengatasinya.

Sejarah pengetahuan tentang eutrofikasi
Problem eutrofikasi baru disadari pada dekade awal abad ke-20 saat alga banyak tumbuh di
danau-danau dan ekosistem air lainnya. Problem ini disinyalir akibat langsung dari aliran
limbah domestik. Hingga saat itu belum diketahui secara pasti unsur kimiawi yang
sesungguhnya berperan besar dalam munculnya eutrofikasi ini.
Melalui penelitian jangka panjang pada berbagai danau kecil dan besar, para peneliti akhirnya
bisa menyimpulkan bahwa fosfor merupakan elemen kunci di antara nutrient utama tanaman
(karbon (C), nitrogen (N), dan fosfor (P)) di dalam proses eutrofikasi.
Sebuah percobaan berskala besar yang pernah dilakukan pada tahun 1968 terhadap Danau
Erie (ELA Lake 226) di Amerika Serikat membuktikan bahwa bagian danau yang hanya
ditambahkan karbon dan nitrogen tidak mengalami fenomena algal bloom selama delapan
tahun pengamatan. Sebaliknya, bagian danau lainnya yang ditambahkan fosfor (dalam bentuk
senyawa fosfat)-di samping karbon dan nitrogen-terbukti nyata mengalami algal bloom.
Menyadari bahwa senyawa fosfatlah yang menjadi penyebab terjadinya eutrofikasi, maka
perhatian para saintis dan kelompok masyarakat pencinta lingkungan hidup semakin
meningkat terhadap permasalahan ini. Ada kelompok yang condong memilih cara-cara

penanggulangan melalui pengolahan limbah cair yang mengandung fosfat, seperti detergen
dan limbah manusia, ada juga kelompok yang secara tegas melarang keberadaan fosfor dalam
detergen. Program miliaran dollar pernah dicanangkan lewat institusi St Lawrence Great
Lakes Basin di AS untuk mengontrol keberadaan fosfat dalam ekosistem air. Sebagai
implementasinya, lahirlah peraturan perundangan yang mengatur pembatasan penggunaan
fosfat, pembuangan limbah fosfat dari rumah tangga dan permukiman. Upaya untuk
menyubstitusi pemakaian fosfat dalam detergen juga menjadi bagian dari program tersebut.

Asal fosfat
Menurut Morse et al [1], 10 persen berasal dari proses alamiah di lingkungan air itu sendiri
(background source), 7 persen dari industri, 11 persen dari detergen, 17 persen dari pupuk
pertanian, 23 persen dari limbah manusia, dan yang terbesar, 32 persen, dari limbah
peternakan. Paparan statistik di atas (meskipun tidak persis mewakili data di Tanah Air)
menunjukkan bagaimana berbagai aktivitas masyarakat di era modern dan semakin besarnya
jumlah populasi manusia menjadi penyumbang yang sangat besar bagi lepasnya fosfor ke
lingkungan air.
Mengacu pada buku Phosphorus Chemistry in Everyday Living, manusia memang berperan
besar sebagai penyumbang limbah fosfat. Secara fisiologis, jumlah fosfat yang dikeluarkan
manusia sebanding dengan jumlah yang dikonsumsinya. Tahun 1987 saja rata-rata orang di
AS mengonsumsi dan mengekskresi sejumlah 1,4 lb (pounds) fosfat per tahun. Bersandar
pada data ini, dengan sekitar 290 juta jiwa populasi penduduk AS saat ini, maka sekitar 406
juta pounds fosfor dikeluarkan manusia AS setiap tahunnya.
Lantas, berapa jumlah fosfor yang dilepaskan oleh penduduk bumi sekarang yang sudah
mencapai sekitar 6,3 miliar jiwa? Jika dihitung, akan menghasilkan sebuah angka yang sangat
fantastis! Ini belum termasuk fosfat yang terkandung dalam detergen yang banyak digunakan
masyarakat sehari-hari dan sumber lainnya seperti disebut di atas.
Tanpa pengelolaan limbah domestik yang baik, seperti yang terjadi di negara-negara dunia
ketiga, tentu bisa dibayangkan apa dampaknya terhadap lingkungan hidup, khususnya
ekosistem air.
Berapa sebenarnya jumlah fosfor (P) yang diperlukan oleh blue-green algae (makhluk hidup
air penyebab algal bloom) untuk tumbuh? Ternyata hanya dengan konsentrasi 10 part per
billion (ppb/sepersatu miliar bagian) fosfor saja blue-green algae sudah bisa tumbuh. Tidak
heran kalau algal bloom terjadi di banyak ekosistem air. Dalam tempo 24 jam saja populasi
alga bisa berkembang dua kali lipat dengan jumlah ketersediaan fosfor yang berlebihan akibat
limbah fosfat di atas.
Tentu saja limbah fosfat yang lepas ke lingkungan air akan mengalami pengenceran di
sungai-sungai, di samping sebelumnya telah melewati pula tahap pengolahan limbah
domestik. Yang disebut terakhir secara ketat hanya berlaku di negara maju seperti AS dan
Eropa. Berdasarkan ini pun, ternyata masih akan tersisa sejumlah 12-31 ppb fosfor yang
notabene lebih dari cukup bagi tumbuhnya blue-green algae. Bisa diperkirakan (sebelum
akhirnya dibuktikan) kandungan fosfat di banyak aliran sungai dan danau di Indonesia,
khususnya di kota-kota besar, akan jauh lebih tinggi dari angka yang disebutkan di atas. Dari
sini kita bisa mengetahui betapa seriusnya persoalan yang diakibatkan oleh limbah fosfat ini

Penanganan eutrofikasi
Dewasa ini persoalan eutrofikasi tidak hanya dikaji secara lokal dan temporal, tetapi juga
menjadi persoalan global yang rumit untuk diatasi sehingga menuntut perhatian serius banyak
pihak secara terus-menerus. Eutrofikasi merupakan contoh kasus dari problem yang menuntut
pendekatan lintas disiplin ilmu dan lintas sektoral.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan penanggulangan terhadap problem ini sulit
membuahkan hasil yang memuaskan. Faktor-faktor tersebut adalah aktivitas peternakan yang
intensif dan hemat lahan, konsumsi bahan kimiawi yang mengandung unsur fosfat yang
berlebihan, pertumbuhan penduduk Bumi yang semakin cepat, urbanisasi yang semakin
tinggi, dan lepasnya senyawa kimia fosfat yang telah lama terakumulasi dalam sedimen
menuju badan air.
Lalu apa solusi yang mungkin diambil? Menurut Forsberg [2], yang utama adalah dibutuhkan
kebijakan yang kuat untuk mengontrol pertumbuhan penduduk (birth control). Karena apa?
Karena sejalan dengan populasi warga Bumi yang terus meningkat, berarti akan meningkat
pula kontribusi bagi lepasnya fosfat ke lingkungan air dari sumber-sumber yang disebutkan di
atas. Pemerintah juga harus mendorong para pengusaha agar produk detergen tidak lagi
mengandung fosfat. Begitu pula produk makanan dan minuman diusahakan juga tidak
mengandung bahan aditif fosfat. Di samping itu, dituntut pula peran pemerintah di sektor
pertanian agar penggunaan pupuk fosfat tidak berlebihan, serta perannya dalam pengelolaan
sektor peternakan yang bisa mencegah lebih banyaknya lagi fosfat lepas ke lingkungan air.
Bagi masyarakat dianjurkan untuk tidak berlebihan mengonsumsi makanan dan minuman
yang mengandung aditif fosfat.
Di negara-negara maju masyarakat yang sudah memiliki kesadaran lingkungan (green
consumers) hanya membeli produk kebutuhan rumah sehari-hari yang mencantumkan label
"phosphate free" atau "environmentally friendly".
Negara-negara maju telah menjadikan problem eutrofikasi sebagai agenda lingkungan hidup
yang harus ditangani secara serius. Sebagai contoh, Australia sudah mempunyai program
yang disebut The National Eutrophication Management Program, yang didirikan untuk
mengoordinasi, mendanai, dan menyosialisasi aktivitas riset mengenai masalah ini. AS
memiliki organisasi seperti North American Lake Management Society yang menaruh
perhatian besar terhadap kelestarian danau melalui aktivitas sains, manajemen, edukasi, dan
advokasi.
Selain itu, mereka masih mempunyai American Society of Limnology and Oceanography
yang menaruh bidang kajian pada aquatic sciences dengan tujuan menerapkan hasil
pengetahuan di bidang ini untuk mengidentifikasi dan mencari solusi permasalahan yang
diakibatkan oleh hubungan antara manusia dengan lingkungan.
Negara-negara di kawasan Eropa juga memiliki komite khusus dengan nama Scientific
Committee on Phosphates in Europe yang memberlakukan The Urban Waste Water Treatment
Directive 91/271 yang berfungsi untuk menangani problem fosfat dari limbah cair dan cara
penanggulangannya. Mereka juga memiliki jurnal ilmiah European Water Pollution Control,
di samping Environmental Protection Agency (EPA) yang memberlakukan peraturan dan
pengawasan ketat terhadap pencemaran lingkungan.

Referensi
1.

^ 1993 (The Economic and Environment Impact of Phosphorus Removal from
Wastewater in the European Community)

2.

^ (Which Policies Can Stop Large Scale Eutrophication? Water Science and
Technology, Vol 37, Issue 3,1998, p 193-200)

http://id.wikipedia.org/wiki/Eutrofikasi

II.2 Fosfat (PO4)

Fosfat terdapat dalam air alam atau air limbah sebagai senyawa ortofosfat, polifosfat
dan fosfat organis. Setiap senyawa fosfat tersebut terdapat dalam bentuk terlarut, tersuspensi
atau terikat di dalam sel organisme dalam air. Di daerah pertanian ortofosfat berasal dari
bahan pupuk yang masuk ke dalam sungai melalui drainase dan aliran air hujan. Keberadaan
senyawa fosfat dalam air sangat berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem perairan.
Bila kadar fosfat dalam air rendah, seperti pada air alam (< 0,01 mg P/L), pertumbuhan dan
ganggang akan terhalang.
Fosfat yang berasal dari air atau limbah alami biasanya berbentukl sebagai senyawa
fosfat saja. Senyawa fosfat dapat diklasifikasikan sebagai ortho fosfat, fosfat yang
terkondensasi (pyro, metha, polifosfat lainnya), dan senyawa fosfat yang terikat secara
organik.
Senyawa-senyawa fosfat yang biasa dideteksi dengan cara colorimetry tanpa
hidrolisis atau oksidasi dengan pemanasan sampel disebut sebagai “fosfor reaktif” atau ortho
fosfat. Hidrolisis asam pada titik didih airmengubah fosfat terlarut atau fosfat partikulat yang
berkondensasi menjadi orthofosfat terlarut. Istilah “fosfat yang terhidrolisis asam” lebih
disukai daripada “ fosfat terkondensasi”. Fraksi-fraksi senyawa fosfat yang terkonversi
menjadi orthofosfat hanya oleh proses oksidasi yang dekstruktif dari zat-zat organic disebut
sebagai “fosfat organic”. Total fosfat seperti juga fraksi fosfat yang terlarut atau tersuspensi
dapat dibagi secara analitik menjadi 3 bagian seperti tersebut diatas.
Metode ini menggunakan teknik oksidasi persulfat untuk membebaskan/menetapkam
fosfat organic. Metode colorimetric yang dipergunakan adalah metode asam askorbat.
Ammonium molibdat dan potassium antimonil tartrat dalam media asam dengan orthofosfat
untuk membentuk asam heteropoli-asam fosfomolibdat yang tereduksi menjadi molybdenum
yang berwarna biru oleh asam askorbat.
Metode asam askorbat dapat digunakan untuk penetapan bentuk-bentuk fosfat tertentu
didalam air minum, air permukaan, air payau, air limbah rumah tangga dan limbah industry.
Cara uji ini digunakan untuk penentuan kadar fosfat yang terdapat dalam air/air limbah antara
0,01-1.0 mg/L PO43- dengan menggunakan metode asam askorbat dengan alat
spektrofotometer pada panjang gelombang 880 nm.