Tinjauan Filsafat Hukum terhadap Teori P
Tinjauan Filsafat Hukum terhadap Teori Pemidanaan
(Kontribusi Pemikiran dalam Rangka Pembaruan Hukum Pidana Nasional)
Oleh: H. Muammar Arafat Yusmad
Abstrak
Kata Kunci: Pemidanaan, Pembaruan hukum
Tulisan ini dimulai dari pandangan positivisme hukum bahwa suatu teori hukum
adalah bersangkut paut dengan hukum positif. Teori-teori pemidanaan yang yang kerap
digunakan oleh para penegak hukum dalam menjatuhkan pidana sebelum sebelum berlakunya
undang-undang pemasyarakatan masih bertujuan sebagai pembalasan atas duka nestapa yang
dirasakan oleh korban atas perbuatan pelaku kejahatan. Berlakunya UURI No. 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan mengubah paradigma pemidanaan dari sistem kepenjaraan yang
bertujuan untuk membalas perlakuan pelaku kejahatan, menjadi sistem pemasyarakatan yang
bertujuan agar warga binaan pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri dan
tidak mengulangi perbuatannya agar dapat diterima kembali dalam lingkungan masyarakat.
Sebagai media analisis, penulis menggunakan teori-teori pemidanaan yaitu teori
pembalasan (vergeldings theorie), teori mempertakutkan (afschriking theorie), teori
memperbaiki (verbeterings theorie) dan teori gabungan. Tulisan ini mencoba menjawab
persoalan seputar pemidanaan di Indonesia dalam pandangan positivisme hukum sebagai
salah satu agenda dalam pembaruan hukum pidana nasional.
. LATAR BELAKANG MASALAH
Sejak berabad-abad yang lalu dalam lapangan ilmu hukum telah terjadi perkembangan
pemikiran dari para pakar hukum pada masa itu. Hal inilah yang kemudian melahirkan
berbagai pemikiran-pemikiran dalam ilmu hukum yang pada gilirannya menjadi aliran-aliran
dan memiliki banyak penganut yang mempertahankannya dengan argumentasinya masingmasing. Timbulnya berbagai aliran tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi pergulatan
pemikiran yang tiada henti-hentinya dalam lapangan pemikiran ilmu hukum.
Pada lapangan filsafat hukum, Pengkajian aliran-aliran dalam filsafat hukum bukan
sekadar “napak tilas” perjalanan pemikiran para pakar dari masing-masing aliran, akan tatapi
dengan pemahaman dari berbagai pemikiran tersebut dapat menjadi masukan agar seseorang
dapat dengan mudah menghargai pendapat orang lain. Menurut Achmad Ali, “Dua orang
yang secara bersama-sama menatap fenomena X akan menafsirkan fenomena X tersebut
dengan persepsinya masing-masing yang bisa sama dan bisa saja berbeda. Demikian pula dua
orang yang membaca satu kata, dapat mengartikan/menafsirkan kata tersebut sesuai dengan
persepsi masing-masing”.1
Memahami pokok-pokok pemikiran dalam filsafat hukum, akan mengantar kita untuk
memahami berbagai corak pemikiran dalam ilmu hukum. Hal ini sesuai dengan ciri dari
tradisi keilmuan yaitu suatu pemikiran pada waktu tertentu tidak lagi sesuai dengan
zamannya dan akan tergantikan oleh pemikiran lainnya. Namun demikian, pemikiran lama
tersebut tatap menjadi sebuah pemikiran ilmiah yang berharga untuk dikaji ulang terus
menerus. Pemikiran lama boleh jadi suatu saat akan kembali tampil dengan bentuk-bentuk
baru sebagai hasil inovasi dari para pemikir hukum lainnya.
Demikian pula dalam lapangan filsafat hukum, bila dikaitkan dengan teori hukum akan
menghasilkan pemikiran hukum yang berdasarkan filsafat. Dalam hal ini penulis mencoba
untuk mengangkat sebuah teori dalam hukum pidana yaitu Teori Pemidanaan yang akan
ditinjau dari perspektif filsafat hukum dengan menggunakan salah satu aliran pemikiran
dalam filsafat hukum yaitu aliran positivisme hukum atau Legal Positivism. Positivisme
hukum adalah aliran filsafat hukum yang beranggapan bahwa suatu teori hukum adalah
bersangkut paut dengan hukum positif.
Teori pemidanaan dalam sistem pemasyarakatan yang berlaku di Indonesia sebelum
berlakunya undang-undang pemasyarakatan adalah teori pemidanaan dalam sistem
pemasyarakatan yang masih kental dengan nuansa kolonial. Tidak dapat dipungkiri memang,
selama 350 tahun Belanda menjajah Indonesia tentu saja banyak faham yang dibangun oleh
penjajah Belanda yang terbentuk dalam sebuah sistem dalam bidang apa saja yang tentunya
tak mudah untuk begitu saja diubah, tidak terkecuali dalam sistem hukum (Sistem Hukum
Pidana). Hingga saat ini Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di
Indonesia adalah warisan dari penjajah Belanda yang masih berlaku berdasarkan pasal 2
(dua) AB (Algemene Bepaling van Wetgeving) dan kemudian diundangkan dalam UU RI
No.1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana.2
KUHP memuat ketentuan yang mengatur tentang sistem pemidanaan sebagaimana yang
termaktub dalam Bab II pasal 10 yang mengatur tentang Hukuman-hukuman. Ketentuan
tersebut menyebutkan pula pengertian dan tujuan dijatuhkannya hukuman tersebut.
Pengertian hukuman adalah suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim
dengan vonis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana.3
Hasil dari kajian filsafat hukum terhadap teori pemidanaan yang berlaku di Indonesia
diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam kaitannya dengan pembaruan
hukum pidana Indonesia dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP)
yang saat ini tengah dalam proses pembahasan antara Pemerintah dan DPR.
B. PERMASALAHAN
Berdasarkan pemaparan dalam latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah
yang akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini adalah: (1). Bagaimana pandangan aliran
Positivisme Hukum (Legal Positivism) terhadap teori pemidanaan yang berlaku di
Indonesia ? (2). Kontribusi apakah yang dapat diberikan dari kajian filsafat hukum terhadap
teori pemidanaan dalam agenda pembaruan hukum pidana Indonesia?
C. PEMBAHASAN
1. Pandangan Aliran Positivisme Hukum (Legal Positivism) tentang Hukum
Dalam filsafat hukum terdapat aliran yang berpandangan bahwa teori hukum adalah
bersangkut paut dengan hukum positif. Aliran tersebut dikenal dengan istilah positivisme
hukum (Legal Positivism) . Aliran ini bersendi pada tiga hal tentang hukum yaitu:
a. Hukum tersebut adil atau tidak adil;
b. Hukum tersebut baik atau tidak baik (buruk);
c. Hukum tersebut berjalan efektif atau tidak efektif.
Pelopor aliran positivisme hukum adalah John Austin, seorang pemikir yang
berkebangsaan Inggris. Menurut John Austin, Hukum Positif adalah peraturan yang berisi
petunjuk yang diperuntukkan bagi makhluk yang berakal dan dibuat oleh mahluk yang
berakal yang mempunyai kekuasaan terhadap mereka itu.
Aliran positivisme hukum ini hanya bersangkut paut pada hukum positif saja. Aliran ini
sama sekali tidak mengkaji hubungan antara hukum positif dengan hukum tuhan dan
kesusilaan. John Austin membagi hukum kedalam 2 (dua) kelompok utama yaitu Hukum
manusia (human law) dan hukum tuhan (law of god). Selanjutnya hukum manusia tersebut
dibagi lagi kedalam 2 (dua) sub bagian yaitu Hukum Positif (Positive Law) dan Kesusilaan
Positif (Positive Morality). Lebih lanjut John Austin mengemukakan bahwa sebuah peraturan
hukum untuk dapat dikategorikan atau menjadi hukum positif haruslah memiliki 4 (empat)
unsur yaitu:
a. Perintah (Command);
b. Sanksi (Sanction);
c. Kewajiban (Duty);
d. Kekuasaan (Sovereignity).
Semua hukum adalah perintah yang dibuat oleh penguasa yang berdaulat yang
ditujukan kepada yang diperintah dengan disertai ancaman sanksi apabila perintah tersebut
tidak dipatuhi/dilanggar. Tanpa keempat unsure diatas, suatu peraturan bukanlah hukum
positif melainkan kesusilaan positif (Positive Morality).
Menurut pandangan Satjipto Rahardjo, “Hukum harus dapat mengikuti perkembangan
sosial yang terjadi di masyarakat, oleh karenanya hukum berperan penting dalam perubahan
sosial”4
Setelah meninjau selayang pandang tentang perintah (command) dan hukuman
(sanction) sekarang marilah perlu ditinjau pula hubungan pembeda antara hukum positif
(peraturan) dan moral. Hart dalam tulisannya “Positivism and separation of Law and Moral”
menyebutkan 5 (lima) ciri positivisme hukum. 5 (lima) ciri positivisme hukum tersebut
adalah:
a. Hukum adalah suatu perintah yang datangnya dari manusia;
b. Tidak ada hubungan yang mutlak antara hukum dan kesusilaan (law and morality);
c. Analisa mengenai pengertian hukum (legal concept) adalah penting dan harus
dibedakan;
d. Sistem hukum adalah system logika yang tertutup (closed logical system);
e. Pertimbangan mengenai kekuasaan tidak dapat dibuat tanpa menggunakan
argumentasi dan bukti yang berdasarkan logika.
2. Teori Pemidanaan dalam Sistem Pemasyarakatan di Indonesia Sebelum berlakunya
UURI No. 12 Tahun 1995
Telah diuraikan bahwa teori pemidanaan dalam sistem pemasyarakatan yang berlaku di
Indonesia pada saat sebelum lahirnya UURI No. 12 Tahun 1995, masih sarat dengan nuansa
kolonial Belanda. Sebelum berlakunya undang-undang pemasyarakatan, di Indonesia berlaku
Ordonantie op de Voorwaardelijkndonesiae Invijheidstelling (Staatblad 1917 - 749, tgl 27
Desember 1917 jo Staatblad 1928-488) sepanjang yang berkaitan dengan pemasyarakatan,
Gestrictenreglement (Staatblad 1917-708, 10 Desember 1917), Dwangophoedingsregelin5g
(Staatblad 1917-741, 24 Desember 1917), dan Uitvoeringsordonantie op de
Voorwaaardelijke (Staatblad 1926-487, 6 November 1926) sepanjang yang berkaitan dengan
pemasyarakatan. Dapat dibayangkan, setelah 50 (lima puluh) tahun merdeka, barulah
memiliki regulasi tentang pemasyarakatan yang merupakan produk hukum nasional.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) bab II pasal 10 dijelaskan
mengenai jenis-jenis hukuman. Selain jenis-jenis hukuman, juga terdapat penjelasan tentang
tujuan dijatuhkannya hukuman tersebut. R. Soesilo menyebutkan 4 (empat) teori tujuan
penjatuhan hukuman (pemidanaan) itu. Keempat teori tersebut:
a. Teori Pembalasan (Vergeldings Theorie)
Teori ini berdasarkan perndapat pujangga E. Kant yaitu hukuman adalah suatu pembalasan,
hal ini berdasar atas sebuah pepatah kuno “siapa yang membunuh harus dibunuh”.
b. Teori Mempertakutkan (Afschrikings Theorie)
Teori ini berdasarkan pendapat pujangga Teuerbach yaitu hukuman harus dapat
mempertakutkan orang supaya jangan berbuat jahat.
c. Teori Memperbaiki (Verbeterings Theorie)
Menurut teori ini, penjatuhan hukuman dimaksudkan untuk memperbaiki orang yang telah
berbuat kejahatan.
d. Teori Gabungan
Menurut teori ini, dasar penjatuhan hukuman adalah “pembalasan”, akan tetapi maksudmaksud lainnya (pencegahan, mempertakutkan, memperbaiki) tidak boleh diabaikan. Hal ini
dimaksudkan agar tata tertib kehidupan bersama dapat dipertahankan.6
Berdasarkan keempat teori pemidanaan di atas, penulis berpendapat bahwa paradigma
yang berlaku di kalangan penegak hukum di Indonesia terkhusus pada mereka yang
berwenang untuk menjalankan proses penjatuhan hukuman, adalah kecenderungan untuk
menerapkan teori pemidanaan yang bertujuan pada pembalasan yang diberikan kepada para
pelaku kejahatan. Fenomena ini didasari oleh beberapa pandangan yang berlaku pada
masyarakat seperti “seorang pembunuh harus dibunuh”, “kejahatan harus dibalas dengan
kejahatan”, dan lain-lain. Kecenderungan untuk menerapkan teori pembalasan oleh aparat
penegak hukum juga berdasarkan pada tujuan untuk memuaskan rasa sakit hati si korban
yang telah menderita baik lahir maupun batin atas perbuatan terdakwa. Kepada pelaku
kejahatan harus diberikan perasaan duka nestapa yang setimpal dengan perbuatan yang telah
dilakukannya itu. Penerapan tujuan pemidanaan sebagai “ajang pembalasan” membuat aspek
pembinaan dan perbaikan menjadi kurang diperhatikan.
3. Teori Pemidanaan dalam Pandangan Positivisme Hukum.
Positivisme hukum atau hukum positif adalah suatu peraturan yang mengandung 4
(empat) unsur yaitu command, sanction, duty & sovereignity, yang apabila tidak dilengkapi
dengan ke empat unsur tersebut sebuah peraturan hanyalah merupakan kesusilaan positif
semata (positive morality) dan tidak memiliki suatu daya paksa apapun.
Teori pemidanaan terdapat pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), pada
penjelasan pasal 10. Dari ke empat teori yang ada masing-masing memiliki konsep atas
tujuan dijatuhkannya sanksi pidana kepada seseorang. Ada teori pemidanaan yang ingin
membalaskan rasa sakit hati dari korban atas kerugian moral dan material akibat perbuatan
terdakwa, ada teori yang bertujuan untuk menakut-nakuti orang lain agar orang lain tidak lagi
melakukan perbuatan serupa, dan adapula teori yang bertujuan memperbaiki keadaan dan
menggugah kesadaran dari terdakwa agar menyadari kesalahannya serta tidak lagi
mengulangi perbuatannya yang membawa kerugian pada orang lain. Tentunya kesemua teori
tersebut di atas memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Aliran hukum positif (legal positivism) memandang perlunya suatu peraturan memiliki
keempat usur diatas yang diharapkan menjadi “pemaksa” bagi masyarakat agar dapat tunduk
dan patuh atas suatu peraturan yang berlaku. Perlu diingat bahwa peraturan tersebut adalah
petunjuk yang diperuntukkan bagi makhluk yang berakal dan dibuat oleh makhluk yang
berakal yang mempunyai kekuasaan (souveregnity) atas mereka itu (John Austin). Maksud
kata kekuasaan disini mutlak adanya dan bersifat imparatif. Tanpa kekuasaan maka daya
paksa tersebut tidak akan ada untuk mengarahkan masyarakat agar merasa berkewajiban
(duty) untuk menegakkan peraturan terebut.
Bila diperhatikan secara seksama, ke empat teori pemidanaan tersebut memiliki tujuan
yang sama yaitu tegaknya suatu ketentuan pidana dengan dilengkapi dengan adanya sanksi
(sanction) terhadap seseorang yang telah melanggar peraturan, adanya perintah (command)
agar seseorang tunduk dan patuh pada ketentuan pidana tersebut.
Bila ditelusuri lebih mendalam lagi mengenai teori pemidanaan yang ada, maka teori
pembalasan (vergeldings theorie) menitik beratkan tujuan pemidanaan pada upaya
pembalasan rasa sakit hati korban dan menimbulkan kerugian baik moral maupun materil atas
perbuatan terdakwa. Teori mempertakutkan (afshcrikkings theorie) menitikberatkan
penjatuhan sanksi pidana kepada seorang terdakwa yang bertujuan agar orang lain tidak
melakukan perbuatan serupa. Teori perbaikan (verbeterings theorie) menilai bahwa hukuman
yang dijatuhkan kepada seorang terdakwa haruslah dapat bertitik tolak pada adanya upaya
perbaikan kesalahan dan menggugah kesadaran diri terdakwa agar tidak lagi mengulangi
kesalahan yang sama di masa yang akan datang.
KUHP yang di dalamnya terdapat ketentuan hukum mengenai penjatuhan sanksi
(sanction) pidana kepada seseorang yang melanggar hukum adalah ketentuan yang berasal
dari manusia (makhluk berakal yang ditujukan kepada makhluk berakal). Ketentuan hukum
pidana memiliki sanksi pidana pada pelanggarnya adalah termasuk pada hakikat hukum
menurut John Austin yaitu adanya ancaman sanksi (sanction) apabila perintah (command)
yang dibuat oleh makhluk yang berakal dan ditujukan kepada makhluk yang berakal tersebut
dilanggar oleh seseorang. Itulah sebabnya sehingga hukum positif disebut Command of
sovereign atau command of “law giver”.
Lebih lanjut pemahaman filsafat dalam aliran positivisme hukum menilai bahwa antara
hukum dan moral tidak memiliki hubungan yang mutlak dan keduanya mesti dipisahkan
pemahaman dan penggunaannya satu sama lain (positivism and separation of law and moral).
Teori-teori pemidanaan yang terdapat dalam KUHP jelas mengandung konsep penegakan
moral (morality concept) agar hak-hak seseorang dapat terjaga. Namun demikian, hubungan
antara konsep hukum berupa sanksi dan konsep moral yang terdapat pada teori tujuan
pemidanaan yang terdapat pada KUHP bukanlah merupakan bentuk hubungan mutlak
(absolute relationship) tetapi hanya merupakan hubungan biasa yang pemahaman dan
penggunaannya harus dipisahkan satu sama lain.
Teori perbaikan (verbeterings theorie) bertujuan untuk memperbaki kesalahan terdakwa
dan menggugah kesadaran dirinya agar tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama di masa
yang akan datang. Teori ini mengandung konsep moral dan hukum yaitu sanksi yang
dijatuhkan kepada terdakwa atas perbuatannya yang merugikan hak orang lain. Hanya saja,
kelemahan mendasar dari teori ini adalah lebih mengedepankan aspek moralitas dengan
disertai perasaan “kasihan” yang berlebihan kepada terdakwa sehingga titik berat penjatuhan
sanksi adalah bertujuan menggugah kesadaran terdakwa untuk menyadari kesalahannya.
Disadari atau tidak, bila teori ini diterapkan dapat mengakibatkan rasa tidak puas dari korban
dan keluarganya akibat ringannya hukuman yang dijatuhkan pada terdakwa.
Berdasarkan pada pandangan filsafat hukum aliran positivisme hukum terhadap teoriteori pemidanaan, dapatlah dilihat bahwa menurut teori pemidanaan terdapat konsep moral
dan konsep hukum. Antara konsep moral dan konsep hukum mempunyai hubungan, akan
tetapi hubungan keduanya haruslah terpisahkan pemahaman dan penggunaannya dan
hubungan antara keduanya bukanlah merupakan hubungan mutlak (absolute relationship).
Antara konsep moral dan konsep hukum yang terkadung dalam teori-teori pemidanaan
tersebut diatas, kedudukannya masih berimbang, sehingga dapat saja terjadi ”bargainning
position” di antara keduanya, tentang mana yang lebih mendominasi kedudukan atas sebuah
teori pemidanaan. Akibat pengaruh tersebut dapat menyebabkan kaburnya makna positivme
hukum itu sendiri yaitu dominannya kekuatan sanksi yang atas kekuatan lainnya sebagai daya
paksa apabila suatu peraturan tersebut dilanggar. Oleh sebab itu, perlu dipikirkan dan
dikembangkan sebuah teori tentang penjatuhan hukuman yang didominasi pada aspek sanksi
(sanction) pada teori tersebut. Hal ini dimaksudkan agar sanksi sebagai hukuman tetap
dijatuhkan, kepentingan korban tidak terabaikan akibat perbuatan terdakwa sehingga
terbalaskan rasa sakit hatinya, dan terdakwa tetap memperoleh kesempatan untuk
memperbaiki dirinya.
4. Upaya Penyempunaan Terhadap Teori Pemidanaan dalam Sistem Pemasyarakatan
Sebagai upaya untuk melakukan penyempurnaan teori pemidanaan pada hukum
pemasyarakatan dalam kaitannya dengan pembaruan hukum pidana, maka perlu dibuat
sebuah peraturan setingkat undang-undang yang secara khusus mengatur tentang
pemasyarakatan dan di dalamnya terkandung teori pemidanaan yang memenuhi unsur-unsur
sebuah sanksi yang akan dijatuhkan kepada terdakwa. Ketentuan tentang pemasyarakatan
tersebut berfungsi juga sebagai hukum pelaksanaan pidana. Dalam konsiderans undangundang pemasyarakatan dijelaskan bahwa sistem kepenjaraan yang diatur dalam berbagai
ordonansi, regeling dan reglement yang merupakan produk hukum kolonial Belanda sudah
tidak sesuai lagi dengan sistem pemasyarakatan yang berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa sistem pemasyarakatan merupakan
rangkaian penegakan hukum yang bertujuan agar warga binaan pemasyarakatan menyadari
kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima
kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat berperan aktif dalam pembangunan, dan dapat
hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Dengan demikian,
berdasarkan berbagai pertimbangan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa sistem kepenjaraan
tidak sesuai dengan sistem pemasyarakatan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar
1945.
5. Teori Pemidanaan dalam Sistem Pemasyarakatan yang Ideal di Masa Mendatang.
(Kontribusi pemikiran filsafat hukum terhadap teori pemidanaan)
Bercermin dari berbagai fenomena yang terjadi di bidang pemasyarakatan di Indonesia
baik pada masa berlakunya sistem kepenjaraan dengan aturan yang merupakan produk
hukum kolonial Belanda maupun sesudah berlakunya undang-undang pemasyarakatan yang
menggunakan istilah sistem pemasyarakatan, keduanya tentu memiliki kelebihan dan
kekurangan. Oleh karena itu perlu dipikirkan konsep teori pemidanaan dalam sistem
pemasyarakatan yang ideal di masa yang akan datang sebagai ius constituendum. Konsep
teori pemidanaan dalam sistem pemasyarakatan inilah yang merupakan penyempurnaan dari
sistem pemasyarakatan yang sudah ada dan berlaku sekarang.
Penulis berpendapat, dalam rangka penyempurnaan teori pemidanaan dalam sistem
pemasyarakatan saat ini pada gilirannya akan menjadi teori pemidanaan dalam sistem
pemasyarakatan yang ideal di masa yang akan datang, ada hal-hal yang perlu dilakukan
pembenahan oleh Pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM yaitu:
a. Untuk memperoleh hasil dari teori pemidanaan berdasarkan sistem pemasyarakatan
yang baik, diperlukan adanya suatu Integrated Criminal and Justice System (sistem
penanganan dan penyelesaian perkara pidana secara terpadu) antar sesama aparat
penegak hukum yang beranggotakan: polisi, jaksa, hakim, advokat, dan aparat
pemasyarakatan, yang kemudian dalam pelaksanaannya diperkuat lagi dengan
pengawasan dari masing-masing komisi pengawasan instansi tersebut dan
pengawasan dari masyarakat;
b. Berdasarkan kajian filsafat hukum dengan menggunakan aliran positivisme hukum
(legal positivism), dasar penjatuhan hukuman kepada seorang terdakwa adalah
pembalasan dan juga berdasarkan pada tujuan pemidanaan lainnya yaitu agar
terdakwa menyadari, memperbaiki, serta tidak lagi mengulangi kesalahannya yang
berakibat jatuhnya korban pada pihak lain. Disamping untuk menimbulkan efek jera,
penjatuhan hukuman bertujuan agar pihak lain takut untuk melakukan kejahatan
serupa, sehingga frekwensi terjadinya tindak kejahatan dapat semakin diminalisir;
c. Hendaknya aparat pemasyarakatan benar-benar dapat bertindak secara adil terhadap
para narapidana dalam hal perlakuan dan pelayanan dan kesempatan mengunjungi
keluarga dengan tidak membeda-bedakan antara narapidana yang satu dengan
narapidana yang lain, sehingga tidak akan memicu rasa kecemburuan antar
narapidana;
d. Perlu ditetapkan “kurikulum” pembinaan dan pendidikan yang benar-benar sesuai
dengan kebutuhan warga pemasyarakatan dan berlaku di seluruh lembaga
pemasyarakatan di Indonesia, sehingga terlihat bahwa warga pemasyarakatan
mendapat pembinaan dan pendidikan yang jelas, terpola dan sistematis;
e. Untuk menghindari kolusi dan nepotisme di lingkungan lembaga pemasyarakatan,
hendaknya kontak fisik (interaksi individual) yang tidak ada kaitannya dengan
program pembinaan narapidana antara aparat pemasyarakatan (utamanya sipir LP)
dapat diminimalisir.
Beberapa poin yang penulis sebutkan diatas, tentu saja masih merupakan sebahagian
kecil dari langkah-langkah yang perlu ditempuh oleh pemerintah dalam rangka perwujudan
teori pemidanaan dalam sistem pemasyarakatan yang ideal di masa yang akan datang. Namun
setidaknya dengan pembenahan dan penerapan beberapa poin tersebut diatas, akan mampu
untuk menciptakan kondisi pemasyarakatan yang sarat dengan nuansa pengayoman,
pendidikan, dan pembinaan tanpa meenafikan dasar pemidanaan sebagai upaya pembalasan
atas rasa sakit hati korban yang dilakukan oleh terdakwa.
D. PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bagian pembahasan diatas, penulis mengambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Dalam pandangan filsafat hukum dengan menggunakan aliran positivisme hukum
(legal positivism), sebuah peraturan harus memiliki 4 (empat) unsur untuk menjadi
hukum positif yaitu: Perintah (Command), Sanksi (Sanction), Kewajiban (duty) dan
Kekuasaan (Souvereignity). Teori pemidanaan dalam sistem pemasyarakatan yang
terdapat dalam Undang-undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) memiliki ke empat unsur tersebut diatas;
2. Teori Pemidanaan dalam sistem pemidanaan yang berlaku sebelum berlakunya
Undang-undang No. 12 Tahun 1995 yang menggunakan istilah sistem kepenjaraan
tidak sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945, olehnya itu menurut kajian
filsafat hukum dengan menggunakan aliran positifisme hukum tetap boleh ada
hubungan antara moralitas (upaya perbaikan diri terdakwa) dengan sanksi (hukuman
atas perbuatan terdakwa), meski demikian aspek sanksi (sanction) tetap harus
dominan dan hubungan antara moralitas dan hukum bukanlah merupakan hubungan
mutlak
(Kontribusi Pemikiran dalam Rangka Pembaruan Hukum Pidana Nasional)
Oleh: H. Muammar Arafat Yusmad
Abstrak
Kata Kunci: Pemidanaan, Pembaruan hukum
Tulisan ini dimulai dari pandangan positivisme hukum bahwa suatu teori hukum
adalah bersangkut paut dengan hukum positif. Teori-teori pemidanaan yang yang kerap
digunakan oleh para penegak hukum dalam menjatuhkan pidana sebelum sebelum berlakunya
undang-undang pemasyarakatan masih bertujuan sebagai pembalasan atas duka nestapa yang
dirasakan oleh korban atas perbuatan pelaku kejahatan. Berlakunya UURI No. 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan mengubah paradigma pemidanaan dari sistem kepenjaraan yang
bertujuan untuk membalas perlakuan pelaku kejahatan, menjadi sistem pemasyarakatan yang
bertujuan agar warga binaan pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri dan
tidak mengulangi perbuatannya agar dapat diterima kembali dalam lingkungan masyarakat.
Sebagai media analisis, penulis menggunakan teori-teori pemidanaan yaitu teori
pembalasan (vergeldings theorie), teori mempertakutkan (afschriking theorie), teori
memperbaiki (verbeterings theorie) dan teori gabungan. Tulisan ini mencoba menjawab
persoalan seputar pemidanaan di Indonesia dalam pandangan positivisme hukum sebagai
salah satu agenda dalam pembaruan hukum pidana nasional.
. LATAR BELAKANG MASALAH
Sejak berabad-abad yang lalu dalam lapangan ilmu hukum telah terjadi perkembangan
pemikiran dari para pakar hukum pada masa itu. Hal inilah yang kemudian melahirkan
berbagai pemikiran-pemikiran dalam ilmu hukum yang pada gilirannya menjadi aliran-aliran
dan memiliki banyak penganut yang mempertahankannya dengan argumentasinya masingmasing. Timbulnya berbagai aliran tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi pergulatan
pemikiran yang tiada henti-hentinya dalam lapangan pemikiran ilmu hukum.
Pada lapangan filsafat hukum, Pengkajian aliran-aliran dalam filsafat hukum bukan
sekadar “napak tilas” perjalanan pemikiran para pakar dari masing-masing aliran, akan tatapi
dengan pemahaman dari berbagai pemikiran tersebut dapat menjadi masukan agar seseorang
dapat dengan mudah menghargai pendapat orang lain. Menurut Achmad Ali, “Dua orang
yang secara bersama-sama menatap fenomena X akan menafsirkan fenomena X tersebut
dengan persepsinya masing-masing yang bisa sama dan bisa saja berbeda. Demikian pula dua
orang yang membaca satu kata, dapat mengartikan/menafsirkan kata tersebut sesuai dengan
persepsi masing-masing”.1
Memahami pokok-pokok pemikiran dalam filsafat hukum, akan mengantar kita untuk
memahami berbagai corak pemikiran dalam ilmu hukum. Hal ini sesuai dengan ciri dari
tradisi keilmuan yaitu suatu pemikiran pada waktu tertentu tidak lagi sesuai dengan
zamannya dan akan tergantikan oleh pemikiran lainnya. Namun demikian, pemikiran lama
tersebut tatap menjadi sebuah pemikiran ilmiah yang berharga untuk dikaji ulang terus
menerus. Pemikiran lama boleh jadi suatu saat akan kembali tampil dengan bentuk-bentuk
baru sebagai hasil inovasi dari para pemikir hukum lainnya.
Demikian pula dalam lapangan filsafat hukum, bila dikaitkan dengan teori hukum akan
menghasilkan pemikiran hukum yang berdasarkan filsafat. Dalam hal ini penulis mencoba
untuk mengangkat sebuah teori dalam hukum pidana yaitu Teori Pemidanaan yang akan
ditinjau dari perspektif filsafat hukum dengan menggunakan salah satu aliran pemikiran
dalam filsafat hukum yaitu aliran positivisme hukum atau Legal Positivism. Positivisme
hukum adalah aliran filsafat hukum yang beranggapan bahwa suatu teori hukum adalah
bersangkut paut dengan hukum positif.
Teori pemidanaan dalam sistem pemasyarakatan yang berlaku di Indonesia sebelum
berlakunya undang-undang pemasyarakatan adalah teori pemidanaan dalam sistem
pemasyarakatan yang masih kental dengan nuansa kolonial. Tidak dapat dipungkiri memang,
selama 350 tahun Belanda menjajah Indonesia tentu saja banyak faham yang dibangun oleh
penjajah Belanda yang terbentuk dalam sebuah sistem dalam bidang apa saja yang tentunya
tak mudah untuk begitu saja diubah, tidak terkecuali dalam sistem hukum (Sistem Hukum
Pidana). Hingga saat ini Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di
Indonesia adalah warisan dari penjajah Belanda yang masih berlaku berdasarkan pasal 2
(dua) AB (Algemene Bepaling van Wetgeving) dan kemudian diundangkan dalam UU RI
No.1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana.2
KUHP memuat ketentuan yang mengatur tentang sistem pemidanaan sebagaimana yang
termaktub dalam Bab II pasal 10 yang mengatur tentang Hukuman-hukuman. Ketentuan
tersebut menyebutkan pula pengertian dan tujuan dijatuhkannya hukuman tersebut.
Pengertian hukuman adalah suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim
dengan vonis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana.3
Hasil dari kajian filsafat hukum terhadap teori pemidanaan yang berlaku di Indonesia
diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam kaitannya dengan pembaruan
hukum pidana Indonesia dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP)
yang saat ini tengah dalam proses pembahasan antara Pemerintah dan DPR.
B. PERMASALAHAN
Berdasarkan pemaparan dalam latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah
yang akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini adalah: (1). Bagaimana pandangan aliran
Positivisme Hukum (Legal Positivism) terhadap teori pemidanaan yang berlaku di
Indonesia ? (2). Kontribusi apakah yang dapat diberikan dari kajian filsafat hukum terhadap
teori pemidanaan dalam agenda pembaruan hukum pidana Indonesia?
C. PEMBAHASAN
1. Pandangan Aliran Positivisme Hukum (Legal Positivism) tentang Hukum
Dalam filsafat hukum terdapat aliran yang berpandangan bahwa teori hukum adalah
bersangkut paut dengan hukum positif. Aliran tersebut dikenal dengan istilah positivisme
hukum (Legal Positivism) . Aliran ini bersendi pada tiga hal tentang hukum yaitu:
a. Hukum tersebut adil atau tidak adil;
b. Hukum tersebut baik atau tidak baik (buruk);
c. Hukum tersebut berjalan efektif atau tidak efektif.
Pelopor aliran positivisme hukum adalah John Austin, seorang pemikir yang
berkebangsaan Inggris. Menurut John Austin, Hukum Positif adalah peraturan yang berisi
petunjuk yang diperuntukkan bagi makhluk yang berakal dan dibuat oleh mahluk yang
berakal yang mempunyai kekuasaan terhadap mereka itu.
Aliran positivisme hukum ini hanya bersangkut paut pada hukum positif saja. Aliran ini
sama sekali tidak mengkaji hubungan antara hukum positif dengan hukum tuhan dan
kesusilaan. John Austin membagi hukum kedalam 2 (dua) kelompok utama yaitu Hukum
manusia (human law) dan hukum tuhan (law of god). Selanjutnya hukum manusia tersebut
dibagi lagi kedalam 2 (dua) sub bagian yaitu Hukum Positif (Positive Law) dan Kesusilaan
Positif (Positive Morality). Lebih lanjut John Austin mengemukakan bahwa sebuah peraturan
hukum untuk dapat dikategorikan atau menjadi hukum positif haruslah memiliki 4 (empat)
unsur yaitu:
a. Perintah (Command);
b. Sanksi (Sanction);
c. Kewajiban (Duty);
d. Kekuasaan (Sovereignity).
Semua hukum adalah perintah yang dibuat oleh penguasa yang berdaulat yang
ditujukan kepada yang diperintah dengan disertai ancaman sanksi apabila perintah tersebut
tidak dipatuhi/dilanggar. Tanpa keempat unsure diatas, suatu peraturan bukanlah hukum
positif melainkan kesusilaan positif (Positive Morality).
Menurut pandangan Satjipto Rahardjo, “Hukum harus dapat mengikuti perkembangan
sosial yang terjadi di masyarakat, oleh karenanya hukum berperan penting dalam perubahan
sosial”4
Setelah meninjau selayang pandang tentang perintah (command) dan hukuman
(sanction) sekarang marilah perlu ditinjau pula hubungan pembeda antara hukum positif
(peraturan) dan moral. Hart dalam tulisannya “Positivism and separation of Law and Moral”
menyebutkan 5 (lima) ciri positivisme hukum. 5 (lima) ciri positivisme hukum tersebut
adalah:
a. Hukum adalah suatu perintah yang datangnya dari manusia;
b. Tidak ada hubungan yang mutlak antara hukum dan kesusilaan (law and morality);
c. Analisa mengenai pengertian hukum (legal concept) adalah penting dan harus
dibedakan;
d. Sistem hukum adalah system logika yang tertutup (closed logical system);
e. Pertimbangan mengenai kekuasaan tidak dapat dibuat tanpa menggunakan
argumentasi dan bukti yang berdasarkan logika.
2. Teori Pemidanaan dalam Sistem Pemasyarakatan di Indonesia Sebelum berlakunya
UURI No. 12 Tahun 1995
Telah diuraikan bahwa teori pemidanaan dalam sistem pemasyarakatan yang berlaku di
Indonesia pada saat sebelum lahirnya UURI No. 12 Tahun 1995, masih sarat dengan nuansa
kolonial Belanda. Sebelum berlakunya undang-undang pemasyarakatan, di Indonesia berlaku
Ordonantie op de Voorwaardelijkndonesiae Invijheidstelling (Staatblad 1917 - 749, tgl 27
Desember 1917 jo Staatblad 1928-488) sepanjang yang berkaitan dengan pemasyarakatan,
Gestrictenreglement (Staatblad 1917-708, 10 Desember 1917), Dwangophoedingsregelin5g
(Staatblad 1917-741, 24 Desember 1917), dan Uitvoeringsordonantie op de
Voorwaaardelijke (Staatblad 1926-487, 6 November 1926) sepanjang yang berkaitan dengan
pemasyarakatan. Dapat dibayangkan, setelah 50 (lima puluh) tahun merdeka, barulah
memiliki regulasi tentang pemasyarakatan yang merupakan produk hukum nasional.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) bab II pasal 10 dijelaskan
mengenai jenis-jenis hukuman. Selain jenis-jenis hukuman, juga terdapat penjelasan tentang
tujuan dijatuhkannya hukuman tersebut. R. Soesilo menyebutkan 4 (empat) teori tujuan
penjatuhan hukuman (pemidanaan) itu. Keempat teori tersebut:
a. Teori Pembalasan (Vergeldings Theorie)
Teori ini berdasarkan perndapat pujangga E. Kant yaitu hukuman adalah suatu pembalasan,
hal ini berdasar atas sebuah pepatah kuno “siapa yang membunuh harus dibunuh”.
b. Teori Mempertakutkan (Afschrikings Theorie)
Teori ini berdasarkan pendapat pujangga Teuerbach yaitu hukuman harus dapat
mempertakutkan orang supaya jangan berbuat jahat.
c. Teori Memperbaiki (Verbeterings Theorie)
Menurut teori ini, penjatuhan hukuman dimaksudkan untuk memperbaiki orang yang telah
berbuat kejahatan.
d. Teori Gabungan
Menurut teori ini, dasar penjatuhan hukuman adalah “pembalasan”, akan tetapi maksudmaksud lainnya (pencegahan, mempertakutkan, memperbaiki) tidak boleh diabaikan. Hal ini
dimaksudkan agar tata tertib kehidupan bersama dapat dipertahankan.6
Berdasarkan keempat teori pemidanaan di atas, penulis berpendapat bahwa paradigma
yang berlaku di kalangan penegak hukum di Indonesia terkhusus pada mereka yang
berwenang untuk menjalankan proses penjatuhan hukuman, adalah kecenderungan untuk
menerapkan teori pemidanaan yang bertujuan pada pembalasan yang diberikan kepada para
pelaku kejahatan. Fenomena ini didasari oleh beberapa pandangan yang berlaku pada
masyarakat seperti “seorang pembunuh harus dibunuh”, “kejahatan harus dibalas dengan
kejahatan”, dan lain-lain. Kecenderungan untuk menerapkan teori pembalasan oleh aparat
penegak hukum juga berdasarkan pada tujuan untuk memuaskan rasa sakit hati si korban
yang telah menderita baik lahir maupun batin atas perbuatan terdakwa. Kepada pelaku
kejahatan harus diberikan perasaan duka nestapa yang setimpal dengan perbuatan yang telah
dilakukannya itu. Penerapan tujuan pemidanaan sebagai “ajang pembalasan” membuat aspek
pembinaan dan perbaikan menjadi kurang diperhatikan.
3. Teori Pemidanaan dalam Pandangan Positivisme Hukum.
Positivisme hukum atau hukum positif adalah suatu peraturan yang mengandung 4
(empat) unsur yaitu command, sanction, duty & sovereignity, yang apabila tidak dilengkapi
dengan ke empat unsur tersebut sebuah peraturan hanyalah merupakan kesusilaan positif
semata (positive morality) dan tidak memiliki suatu daya paksa apapun.
Teori pemidanaan terdapat pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), pada
penjelasan pasal 10. Dari ke empat teori yang ada masing-masing memiliki konsep atas
tujuan dijatuhkannya sanksi pidana kepada seseorang. Ada teori pemidanaan yang ingin
membalaskan rasa sakit hati dari korban atas kerugian moral dan material akibat perbuatan
terdakwa, ada teori yang bertujuan untuk menakut-nakuti orang lain agar orang lain tidak lagi
melakukan perbuatan serupa, dan adapula teori yang bertujuan memperbaiki keadaan dan
menggugah kesadaran dari terdakwa agar menyadari kesalahannya serta tidak lagi
mengulangi perbuatannya yang membawa kerugian pada orang lain. Tentunya kesemua teori
tersebut di atas memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Aliran hukum positif (legal positivism) memandang perlunya suatu peraturan memiliki
keempat usur diatas yang diharapkan menjadi “pemaksa” bagi masyarakat agar dapat tunduk
dan patuh atas suatu peraturan yang berlaku. Perlu diingat bahwa peraturan tersebut adalah
petunjuk yang diperuntukkan bagi makhluk yang berakal dan dibuat oleh makhluk yang
berakal yang mempunyai kekuasaan (souveregnity) atas mereka itu (John Austin). Maksud
kata kekuasaan disini mutlak adanya dan bersifat imparatif. Tanpa kekuasaan maka daya
paksa tersebut tidak akan ada untuk mengarahkan masyarakat agar merasa berkewajiban
(duty) untuk menegakkan peraturan terebut.
Bila diperhatikan secara seksama, ke empat teori pemidanaan tersebut memiliki tujuan
yang sama yaitu tegaknya suatu ketentuan pidana dengan dilengkapi dengan adanya sanksi
(sanction) terhadap seseorang yang telah melanggar peraturan, adanya perintah (command)
agar seseorang tunduk dan patuh pada ketentuan pidana tersebut.
Bila ditelusuri lebih mendalam lagi mengenai teori pemidanaan yang ada, maka teori
pembalasan (vergeldings theorie) menitik beratkan tujuan pemidanaan pada upaya
pembalasan rasa sakit hati korban dan menimbulkan kerugian baik moral maupun materil atas
perbuatan terdakwa. Teori mempertakutkan (afshcrikkings theorie) menitikberatkan
penjatuhan sanksi pidana kepada seorang terdakwa yang bertujuan agar orang lain tidak
melakukan perbuatan serupa. Teori perbaikan (verbeterings theorie) menilai bahwa hukuman
yang dijatuhkan kepada seorang terdakwa haruslah dapat bertitik tolak pada adanya upaya
perbaikan kesalahan dan menggugah kesadaran diri terdakwa agar tidak lagi mengulangi
kesalahan yang sama di masa yang akan datang.
KUHP yang di dalamnya terdapat ketentuan hukum mengenai penjatuhan sanksi
(sanction) pidana kepada seseorang yang melanggar hukum adalah ketentuan yang berasal
dari manusia (makhluk berakal yang ditujukan kepada makhluk berakal). Ketentuan hukum
pidana memiliki sanksi pidana pada pelanggarnya adalah termasuk pada hakikat hukum
menurut John Austin yaitu adanya ancaman sanksi (sanction) apabila perintah (command)
yang dibuat oleh makhluk yang berakal dan ditujukan kepada makhluk yang berakal tersebut
dilanggar oleh seseorang. Itulah sebabnya sehingga hukum positif disebut Command of
sovereign atau command of “law giver”.
Lebih lanjut pemahaman filsafat dalam aliran positivisme hukum menilai bahwa antara
hukum dan moral tidak memiliki hubungan yang mutlak dan keduanya mesti dipisahkan
pemahaman dan penggunaannya satu sama lain (positivism and separation of law and moral).
Teori-teori pemidanaan yang terdapat dalam KUHP jelas mengandung konsep penegakan
moral (morality concept) agar hak-hak seseorang dapat terjaga. Namun demikian, hubungan
antara konsep hukum berupa sanksi dan konsep moral yang terdapat pada teori tujuan
pemidanaan yang terdapat pada KUHP bukanlah merupakan bentuk hubungan mutlak
(absolute relationship) tetapi hanya merupakan hubungan biasa yang pemahaman dan
penggunaannya harus dipisahkan satu sama lain.
Teori perbaikan (verbeterings theorie) bertujuan untuk memperbaki kesalahan terdakwa
dan menggugah kesadaran dirinya agar tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama di masa
yang akan datang. Teori ini mengandung konsep moral dan hukum yaitu sanksi yang
dijatuhkan kepada terdakwa atas perbuatannya yang merugikan hak orang lain. Hanya saja,
kelemahan mendasar dari teori ini adalah lebih mengedepankan aspek moralitas dengan
disertai perasaan “kasihan” yang berlebihan kepada terdakwa sehingga titik berat penjatuhan
sanksi adalah bertujuan menggugah kesadaran terdakwa untuk menyadari kesalahannya.
Disadari atau tidak, bila teori ini diterapkan dapat mengakibatkan rasa tidak puas dari korban
dan keluarganya akibat ringannya hukuman yang dijatuhkan pada terdakwa.
Berdasarkan pada pandangan filsafat hukum aliran positivisme hukum terhadap teoriteori pemidanaan, dapatlah dilihat bahwa menurut teori pemidanaan terdapat konsep moral
dan konsep hukum. Antara konsep moral dan konsep hukum mempunyai hubungan, akan
tetapi hubungan keduanya haruslah terpisahkan pemahaman dan penggunaannya dan
hubungan antara keduanya bukanlah merupakan hubungan mutlak (absolute relationship).
Antara konsep moral dan konsep hukum yang terkadung dalam teori-teori pemidanaan
tersebut diatas, kedudukannya masih berimbang, sehingga dapat saja terjadi ”bargainning
position” di antara keduanya, tentang mana yang lebih mendominasi kedudukan atas sebuah
teori pemidanaan. Akibat pengaruh tersebut dapat menyebabkan kaburnya makna positivme
hukum itu sendiri yaitu dominannya kekuatan sanksi yang atas kekuatan lainnya sebagai daya
paksa apabila suatu peraturan tersebut dilanggar. Oleh sebab itu, perlu dipikirkan dan
dikembangkan sebuah teori tentang penjatuhan hukuman yang didominasi pada aspek sanksi
(sanction) pada teori tersebut. Hal ini dimaksudkan agar sanksi sebagai hukuman tetap
dijatuhkan, kepentingan korban tidak terabaikan akibat perbuatan terdakwa sehingga
terbalaskan rasa sakit hatinya, dan terdakwa tetap memperoleh kesempatan untuk
memperbaiki dirinya.
4. Upaya Penyempunaan Terhadap Teori Pemidanaan dalam Sistem Pemasyarakatan
Sebagai upaya untuk melakukan penyempurnaan teori pemidanaan pada hukum
pemasyarakatan dalam kaitannya dengan pembaruan hukum pidana, maka perlu dibuat
sebuah peraturan setingkat undang-undang yang secara khusus mengatur tentang
pemasyarakatan dan di dalamnya terkandung teori pemidanaan yang memenuhi unsur-unsur
sebuah sanksi yang akan dijatuhkan kepada terdakwa. Ketentuan tentang pemasyarakatan
tersebut berfungsi juga sebagai hukum pelaksanaan pidana. Dalam konsiderans undangundang pemasyarakatan dijelaskan bahwa sistem kepenjaraan yang diatur dalam berbagai
ordonansi, regeling dan reglement yang merupakan produk hukum kolonial Belanda sudah
tidak sesuai lagi dengan sistem pemasyarakatan yang berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa sistem pemasyarakatan merupakan
rangkaian penegakan hukum yang bertujuan agar warga binaan pemasyarakatan menyadari
kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima
kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat berperan aktif dalam pembangunan, dan dapat
hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Dengan demikian,
berdasarkan berbagai pertimbangan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa sistem kepenjaraan
tidak sesuai dengan sistem pemasyarakatan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar
1945.
5. Teori Pemidanaan dalam Sistem Pemasyarakatan yang Ideal di Masa Mendatang.
(Kontribusi pemikiran filsafat hukum terhadap teori pemidanaan)
Bercermin dari berbagai fenomena yang terjadi di bidang pemasyarakatan di Indonesia
baik pada masa berlakunya sistem kepenjaraan dengan aturan yang merupakan produk
hukum kolonial Belanda maupun sesudah berlakunya undang-undang pemasyarakatan yang
menggunakan istilah sistem pemasyarakatan, keduanya tentu memiliki kelebihan dan
kekurangan. Oleh karena itu perlu dipikirkan konsep teori pemidanaan dalam sistem
pemasyarakatan yang ideal di masa yang akan datang sebagai ius constituendum. Konsep
teori pemidanaan dalam sistem pemasyarakatan inilah yang merupakan penyempurnaan dari
sistem pemasyarakatan yang sudah ada dan berlaku sekarang.
Penulis berpendapat, dalam rangka penyempurnaan teori pemidanaan dalam sistem
pemasyarakatan saat ini pada gilirannya akan menjadi teori pemidanaan dalam sistem
pemasyarakatan yang ideal di masa yang akan datang, ada hal-hal yang perlu dilakukan
pembenahan oleh Pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM yaitu:
a. Untuk memperoleh hasil dari teori pemidanaan berdasarkan sistem pemasyarakatan
yang baik, diperlukan adanya suatu Integrated Criminal and Justice System (sistem
penanganan dan penyelesaian perkara pidana secara terpadu) antar sesama aparat
penegak hukum yang beranggotakan: polisi, jaksa, hakim, advokat, dan aparat
pemasyarakatan, yang kemudian dalam pelaksanaannya diperkuat lagi dengan
pengawasan dari masing-masing komisi pengawasan instansi tersebut dan
pengawasan dari masyarakat;
b. Berdasarkan kajian filsafat hukum dengan menggunakan aliran positivisme hukum
(legal positivism), dasar penjatuhan hukuman kepada seorang terdakwa adalah
pembalasan dan juga berdasarkan pada tujuan pemidanaan lainnya yaitu agar
terdakwa menyadari, memperbaiki, serta tidak lagi mengulangi kesalahannya yang
berakibat jatuhnya korban pada pihak lain. Disamping untuk menimbulkan efek jera,
penjatuhan hukuman bertujuan agar pihak lain takut untuk melakukan kejahatan
serupa, sehingga frekwensi terjadinya tindak kejahatan dapat semakin diminalisir;
c. Hendaknya aparat pemasyarakatan benar-benar dapat bertindak secara adil terhadap
para narapidana dalam hal perlakuan dan pelayanan dan kesempatan mengunjungi
keluarga dengan tidak membeda-bedakan antara narapidana yang satu dengan
narapidana yang lain, sehingga tidak akan memicu rasa kecemburuan antar
narapidana;
d. Perlu ditetapkan “kurikulum” pembinaan dan pendidikan yang benar-benar sesuai
dengan kebutuhan warga pemasyarakatan dan berlaku di seluruh lembaga
pemasyarakatan di Indonesia, sehingga terlihat bahwa warga pemasyarakatan
mendapat pembinaan dan pendidikan yang jelas, terpola dan sistematis;
e. Untuk menghindari kolusi dan nepotisme di lingkungan lembaga pemasyarakatan,
hendaknya kontak fisik (interaksi individual) yang tidak ada kaitannya dengan
program pembinaan narapidana antara aparat pemasyarakatan (utamanya sipir LP)
dapat diminimalisir.
Beberapa poin yang penulis sebutkan diatas, tentu saja masih merupakan sebahagian
kecil dari langkah-langkah yang perlu ditempuh oleh pemerintah dalam rangka perwujudan
teori pemidanaan dalam sistem pemasyarakatan yang ideal di masa yang akan datang. Namun
setidaknya dengan pembenahan dan penerapan beberapa poin tersebut diatas, akan mampu
untuk menciptakan kondisi pemasyarakatan yang sarat dengan nuansa pengayoman,
pendidikan, dan pembinaan tanpa meenafikan dasar pemidanaan sebagai upaya pembalasan
atas rasa sakit hati korban yang dilakukan oleh terdakwa.
D. PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bagian pembahasan diatas, penulis mengambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Dalam pandangan filsafat hukum dengan menggunakan aliran positivisme hukum
(legal positivism), sebuah peraturan harus memiliki 4 (empat) unsur untuk menjadi
hukum positif yaitu: Perintah (Command), Sanksi (Sanction), Kewajiban (duty) dan
Kekuasaan (Souvereignity). Teori pemidanaan dalam sistem pemasyarakatan yang
terdapat dalam Undang-undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) memiliki ke empat unsur tersebut diatas;
2. Teori Pemidanaan dalam sistem pemidanaan yang berlaku sebelum berlakunya
Undang-undang No. 12 Tahun 1995 yang menggunakan istilah sistem kepenjaraan
tidak sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945, olehnya itu menurut kajian
filsafat hukum dengan menggunakan aliran positifisme hukum tetap boleh ada
hubungan antara moralitas (upaya perbaikan diri terdakwa) dengan sanksi (hukuman
atas perbuatan terdakwa), meski demikian aspek sanksi (sanction) tetap harus
dominan dan hubungan antara moralitas dan hukum bukanlah merupakan hubungan
mutlak