telaah bahasa sebagai bahasa pengantar d
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kegiatan belajar mengajar di kelas adalah suatu bagian dari proses
interaksi natar individu atau kelompok manusia yang mana di dalamnya
membutuhkan bahasa sebagai media. Manusia lahir dan tumbuh dalam buaian
serta pelukan bahasa. Berbahasa ibarat menghirup udara. Setiap saat dikonsumsi
tanpa mempertanyakan darimana asal-usulnya. Manusia baru mulai resah tatkala
merasakan udara yang ada polusinya sehingga membuat sesak. Begitu pula
bahasa, ketika kita memamasuki komunitas asing yang tidak dapat dipahami.
Ketika kata-kata dan informasi tidak lagi dapat dimengerti, saat itulah manusia
mulai kritis untuk mempertanyakan bahasa dan fungsinya. 1 Muncul pertanyaan
tentang bahasa, apakah itu bahasa? Apa hakekat bahasa itu? Darimana bahasa
berasal? Dimana eksistensi bahasa? Lalu apa yang menjadi kebernilaian dari
bahasa tersebut dalam kegiatan belajar mengajar?
Manusia tidak dapat terlepas dari bahasa, ada ungkapan “tanpa bahasa,
manusia tak berbeda dengan anjing atau monyet.”2
“The great thinkers who have defined man as an animal rationale,” writes
Ernst Cassirer, “were not empiricists, nor did they ever intend to give an
empirical account of human nature. By this definition they were expressing
rather a fundamental moral imperative. Reason is a very inadequate term
with which to comprehend the forms of man’s cultural life in all their
richness and variety. But all these forms are symbolic forms. Hence,
instead of defining man as an animal rationale, we should define him as
animal symbolicum” (Cassirer 1974, 25-26).
Ernst Cassirer menunjukkan manusia sebagai animal symbolicum yang mana
menggunakan
simbol.
Dari
ungkapan
tersebut
tersirat
bahwasannya
ketergantungan manusia kepada bahasa meskipun sebatas simbol. Tanpa
1
Muhammad Khoyin, Filsafat Bahasa , Bandung: Pustaka Setia, 2013, hlm. 23.
Jujun S. Suria sumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer , Jakarta: Penebar
Swadaya, 2010, ,hlm. 171.
2
mempunyai kemampuan berbahasa ini maka kegiatan berfikir secara sistematis
dan teratur tidak mungkin dapat dilakukan. Tanpa bahasa manusia tidak akan
dapat berfikir secara rumit dan abstrak seperti apa yang kita lakukan dalam
berfikir ilmiah. Setiap saat manusia membutuhkan bahasa. Urgensi bahasa juga
tidak hanya dirasakan oleh manusia. Tuhan pun menggunakan bahasa yang untuk
menerjemahkan wahyu-wahyunya. Tidak dapat dihindari oleh siapa pun adalah
suatu kenyataan bahwa perintah-perintah Tuhan (devine instructions) selalu
bertumpu pada teks, sedangkan teks itu sendiri sepenuhnya bersandar pada alat
perantara “bahasa.3” Dengan demikian Tuhan dan malaikat-Nya pun berbahasa
dalam proses edukasinya.
Bahasa yang terdapat di suatu pendidikan / kegatan belajar mengajar,
memungkinkan manusia mengembangkan budaya, karena dengan bahasa ada
kemampuan untuk meneruskan nilai-nilai budaya dari generasi yang satu ke
generasi yang lain (tidak hanya transfer of knowledge).4 Sehingga dengan bahasa
manusia memungkinan untuk melakukan aktivitas transfer of values. Hasilnya
adalah manusia memungkinkan meneruskan trend sehingga eksistensinya tetap
terjaga. Lebih dari itu manusia bisa mengembangkan values tersebut sehingga ada
perkambangan kedepannya sehingga menjadi ilmu. Values, peradaban yang sudah
disebut di atas menunjukkan bahwa dengan bahasa memungkinkan ada proses
transfer nilai antar satu dengan yang lain. Kata lainnya jika dilihat secara sempit
adalah terjadi suatu interaksi antara seseorang kepada orang lain. Interaksi adalah
hubungan-hubungan sosial yang menyangkut hubungan antar individu, individu
(seseorang) dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Tanpa adanya
interkasi sosial maka tidak akan mungkin ada kehidupan bersama. Apabila dilihat
dengan perspetif yang lain, disitu juga dimensi yang mana terjadi dengan apa
yang dinamakan pendidikan.
Jika dilihat dari segi pendidikan bahasa memiliki keistimewaan bahwa
sukses dalam penguasaan segala bidang studi sangat bergantung pada bahasa lisan
3
Khaled M. Abou el Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif,
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004. Pengantar M. Amin Abdullah, hlm. xi
4
Jujun S. Suria sumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer , Jakarta: Penebar
Swadaya, 2010, ,hlm. 171.
atau literasi, karena pembelajaran segala bidang studi menggunakan bahasa.5
Tersampainya values dengan melalui perantara bahasa dengan baik, maka
ketercapaian pendidikan akan tinggi. Bahasa memikul peran penting pada bagian
ini. Sehingga kehadiran bahasa dalam pendidikan sangat dirasakan yang
diperlukan.
Ada anggapan bahwasannya bahasa memiliki kaitan erat dengan kognisi.
Pandangan behavioristik
yang menyatakan bahwa kognisi terlalu mentalistik
untuk dikaji dengan metode ilmiah sangat berlawanan dengan pandanganpandangan seperti yang dianut Piaget (1972), yang menyatakan bahwa
perkembangan kognitif berada tepat di pusat organisme manusia dan bahwa
bahasa bergantung kepada dan muncul dari perkembangan kognitif.6 Dari
berbagai pandangan bahasa ada satu pandangan yang paling masyhur tentang
relitivitas linguistik, yakni, bahwa setiap bahasa mendesakkan pada penuturnya
suatu “pandangan dunia” tertentu.7
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana bahasa sebagai pengantar dalam pendidikan ditinjau secara
ontologi?
2.
Bagaimana bahasa sebagai pengantar dalam pendidikan ditinjau secara
epistemologi?
3.
Bagaimana bahasa sebagai pengantar dalam pendidikan ditinjau secara
aksiologi dan penerapannya?
5
Chaedar Alwasih, Filsafat Bahasa dan Pendidikan , Bandung: Rosdakarya, 2008, hlm.
16.
6
H Douglas Brown, Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa, (terj. Noor Cholis),
Peason Education, 2007.
7
Ibid,
BAB II
PEMBAHASAN
Pembahasan
1.
Bahasa sebagai pengantar dalam pendidikan secara ontologi
Ontologi adalah bicara tentang hakikat apa yang dikaji, bisa dari
sebuah hal yang metafisika, asumsi, dan peluang.8 Salah satu kajian ontologi
adalah things which are cintingent and things which are non contingent or
necessary. Dijelaskan lebih lanjut bahwasannya suatu pernyataan ada yang
sedang membutuhkan ruang atau tempat, ada yang telah membutuhkan ruang,
ada juga yang akan membutuhkan ruang.9 Sederhananya adalah mencari
tentang sifat dasar bahasa yang akhirnya menentukan pendapat, bahkan
keyakinan mengenai bahasa dan bagaimana ada sebagaimana manifestasi
bahasa dicari. Penulis tertarik menggunakan pendekatan logis dalam
mengkaji hakekat bahasa.
Bahasa sebagai sarana interaksi sosial. Seperti yang telah dibahas
pada bagian pendahuluan, adanya bahasa sangat dikonfirmasi. Sebagai bukti
manusia sangat menggunakan bahasa. Bahasa digunakan sebagai sarana
komunikasi dan ineraksi. Dari komunikasi sederhana dengan menggunakan
simbol10 hingga komunikasi ilmiah, yang memerlukan struktur dan tata
bahasa yang padu. Dipertegas oleh pertanyaan retoris Jujun: bagaimana
mungkin seorang bisa melakukan penalaran yang cermat tanpa menguasai
struktur bahasa yang tepat.11 Sehingga diasumsikan filosof terdahulu seperti
Thales 585 SM, Anaximander, Anaximenes 526 SM, Demokritus 460-370
SM, filosof paling masyhur Sokrates, Plato, Aristoteles, hingga filosof
8
Jujun S. Suria sumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer , Jakarta: Penebar
Swadaya, 2010, ,hlm. 63-81.
9
Kevin Mulligan (ed.) Language, Truth and Ontology, Belanda: kluwer Academic
Publisher, 1992, hlm. 4
10
Lihat bagian sebelumnya tentang animal symbolicum
11
Jujun S. Suria sumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer , Jakarta: Penebar
Swadaya, 2010, ,hlm. 169.
kontemporer Locke, Hume, Berkeley, Kant, Freud12 telah menguasai bahasa
dan mengafirmasi keberadaan bahasa, terlihat dari produk yang dia ciptakan.
Kembali pada persoalan interaksi, interaksi disini tidak hanya diwujudkan
dengan komunikasi berbentuk verbal dengan kata lain dialog saja, tetapi juga
bisa monolog. Ketika seseorang berbicara sendirian, bisa saja pembicaraan itu
ditujukan, secara mental, pada orang lain sebagai “pendengar”, yaitu “diri
sendiri” atau bisa jadi kepada figur yang tidak hadir secara kasat mata, seperti
Tuhan, atau seorang yang hadir secara imajinasi.13 Bahkan seperti yang
diungkapkan Prof. Amin Abdullah, bahwasannya Tuhan juga menggunakan
bahasa sebagai sarana komunikasi.14 Keberadaan bahasa sudah jelas adanya.
Bahasa juga disebut sebagai ujaran, dimana bahasa adalah apa yang
keluar dari tumbuh kita yang mana ditujukan untuk menyampaikan apa yang
kita fikirkan. Ujaran yang dipergunakan untuk menggambarkan atau
memerikan peristiwa, proses, keadaan, dsb dan sifatnya betul atau tidak betul,
dengan kata lain dalam mendeskripsikan suatu hal, membuat pernyataan akan
selalu bertumpu pada bahasa. Ini menarik karena bahasa tidak saja
dimanifestasikan sebagai ucapan akan tetapi juga meliputi intuisi hati, gerak
badan simbolik, sebagaimana yang dilakukan oleh teman-teman tuna rungu
wicara.
Bahasa selain dilihat dari sisi sarana interaksi dan ujaran bahasa bisa
pula dilihat dari dua bidang, yaitu:
a. bunyi yang dihasilkan oleh alat-alat ucap yaitu getaran yang
bersifat fisik yang merangsang alat pendengaran kita;
b. arti atau makna adalah isi yang terkandung di dalam arus bunyi
yang menyebabkan adanya reaksi itu.
Dapat ditarik kesimpulan bahwasannya setiap struktur bunyi ujaran tertentu
akan mempunyai arti tertentu pula.
Berbagai penjelasan tentunya sudah menjawab tentang hakekat
bahasa. Bahasa itu ada, dan tidak membutuhkan ruang. Karena bahasa
terkadang terdapat dalam batin/ hatin, atau bahkan bahasa yang ada dalam
12
Jostein Garden, Dunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat (terj), Bandung: Mizan, 2006.
Muhammad Khoyin, Filsafat Bahasa , Bandung: Pustaka Setia, 2013, hlm. 25.
14
Lihat bagian pendahuluan
13
Kalam Ilahi yang berada di lauhul mahfudz sebagaimana Kalam Ilahi paling
otentik, sebagaimana umatnya yang menyakini.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagaimana
juga diungkapkan oleh Jujun, bahawasannya bahasa sebagai serangkaian
bunyi dan lambang yang membentuk makna.15 Slecara lebih lengkapnya
bahasa adalah sistem sarana sistematis untuk mengkomunikasikan ide-ide
perasaan dengan menggunakan tanda-tanda.
Dari definisi tersebut, bahasa memiliki tujuh ciri, sebagai berikut16:
a.
Sistematik: yaitu bahasa memiliki pola dan kaidah yang harus
ditaati agar dapat dipahami oleh pemakainya
b.
Abritase atau mana suka: karena unsur-unsur bahasa dipilih
secara acak tanpa dasar, tidak ada hubungan logis antara bunyi
dan makna yang disimbolkannya. Pilihan suatu kata disebut kursi,
meja, guru, murid dan lain-lain ditentukan bukan atas dasar
kriteria atau standar tertentu, melainkan secara mana suka
c.
Ujar atau ucapan atau vocal: bentuk dasar bahasa adalah ujaran,
karena media bahasa terpenting adalah bunyi
d.
Manusiawi: karena bahasa menjadi berfungsi selama manusia
yang memanfaatkannya, bukan makhluk lainnya
e.
Komunikatif:
karena
fungsi
bahasa
adalah
sebagai
alat
komunikasi atau alat penghubung antara anggota-anggota
masyarakat
Pesan intinya, hakekat bahasa itu ada sebagai media oleh manusia.
Letaknya setelah penalaran, saat output, dan sebelum penalaran saat input.
Bahasa hadir sebagai penyambung. Konsekuensi dari bahasa tersebut akan
ada intrepetasi masing-masing dari setiap penerima bahasa itu tersendiri, yang
mana nafsu, akal masing-masing (penalaran), tendensi akan mempengaruhi.
Retorika bahasa yang indah dan menawan pasti akan menginisiasi
penerimanya agar bersikap indah layaknya ingin mengimitasi bahasa tersebut,
15
Jujun S. Suriasumantri (ed.), ilmu dalam Perspektif, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1999, hlm. 175. Dalam Muhammad Khoyin, Filsafat Bahasa , Bandung: Pustaka Setia, 2013, hlm.
25.
16
A. Chaedar Alwasilah, Linguistik: Suatu Pengantar , Bandung: Angkasa, 1993, Hlm.
83-89.
akan tetapi juga butuh waktu yang lama untuk menguasainya. Selain itu, ada
bahasa yang lugas, to do poin, yang sangat mudah dipahami, akan tetapi akan
menyebabkan murid (penerima bahasa) gersang akan seni.
2.
Bahasa sebagai pengantar dalam pendidikan secara epistemologi
Epistemologi atau Filsafat pengetahuan merupakan salah satu cabang
filsafat yang mempersoalkan masalah hakikat pengetahuan. Apabila kita
berbicara mengenai filsafat pengetahuan, yang dimaksud dalam hal ini adalah
ilmu pengetahuan kefilsafatan yang secara khusus hendak memperoleh
pengetahuan tentang hakikat pengetahuan.17 Sedangkan cara terbaik untuk
memperoleh ilmu adalah dengan memunculkan pertanyaan yang tepat. Dalam
perkembangannya muncul istilah inkuiri (inquiry) yang berarti mencari
kebenaran, pengetahuan dan informasi.18 Pada bagian ini penulis akan
mencoba melakukan aktifitas mencari dan mempertanyakan bahasa
sebagaimana yang telah terkonsep pada motode epistemologi. Selanjutkan
mengkaji bagaimana bahasa tersebut ditemukan dan dibangun secara
sistematis.
Peneliti mencoba menggunakan metode Rene Descartes19, yaitu
meditasi untuk mencoba menggali bahasa itu tersendiri, dan bagaimana bahas
tersebut hadir dan memfasilitasi sebuah proses belajar mengajar. Peneliti
tidak akan mencoba mengulas bagaimana asal-usul bahasa dikaji secara rinci.
Dari beberapa perenungan atas bahasa sebagai pengantar dalam pendidikan
tersebut terdiri dari dua bangunan teori. Yang pertama dari bahasa itu sendiri,
yang kedua adalah bagaimana bahasa sebagai media khusus pendidikan, tidak
hanya sebagai sarana interaksi.
Karakteristik bahasa dan syarat bahasa tentunya sudah ada pada
bagian sebelumnya, dari sini dapat penulis simpulkan bahwasannya bahasa
tersebut masih terlalu umum. Tatkala bersinggungan dengan pemanfaatannya
sebagai bahasa pendidikan maka akan muncul syarat-syarat lagi untuk
Fuad Farid Isma’il, Abdul Hamid Mutawlli, Cepat Menguasai Ilmu Filsafat,
Yogyakarta: IRCiSoD, 2003, hlm. 48-49
18
Stanley Rosen (ed.), The Philosopher’s Handbook: Essential Readings from Plato to
Kant, dalam Jaakko Hintikka, Pendahuluan , New York: Random House Reference, 2003, hlm.
402
19
Ibid, dalam Rene Descartes, hlm. 427-436.
17
kesana. Bagaimana bahasa harus sudah by design seperti: sopan, subtantif,
memotivasi, dlsb. Bahasa yang ada dalam pendidikan (yaitu sebagai
pengantar pendidikan) hendaknya bisa membuat pemahaman yang satu corak
oleh siswa, dan idealnya setiap perkataan yang muncul dari guru haruslah
menjadi inspirasi bagi setiap muridnya. Sehingga disusunlah bagaimana
kaedah paedagogi yang di dalamnya dimasukkan bagaimana guru berbahasa
(komunikasi) dengan muridnya.
3.
Bahasa sebagai pengantar dalam pendidikan secara aksiologi
Secara lebih spesifik bahasa sebagai pengantar pendidikan memiliki
beberapa syarat khusus seperti yang telah disinggung pada bagian
epistemologi. Pada saat guru mengajar tentunya guru harus memperhatikan
beberapa aspek: sopan, subtantif, menginspirasi, estetika bahasa. Dari
keempat aspek tersebut apabila dapat diaplikasikan secara baik dan benar
tentu saja hasilnya tidak hanya mengarahkan pemahaman siswa yang purna,
akan tetapi juga dapat menginspirasi para siswa agar bisa melakukan
pendalaman, pengayaan, mengelaborasi materi/ pesan yang diterima.
Keempat aspek tersebut penting karena, dalam pendidikan tersebut
tidak hanya melibatkan nalar semata, akan tetapi disitu juga menyinggung
perasaan. Guru dituntut bisa menyampaikan nilai-nilai tanpa harus
menyinggung siswanya. Pada bagian ini akan sangat terlihat peran bahasa
sebagai pengantar dalam pendidikan tersebut. seperti kalimat “dasar bodoh!
Begini saja tidak bisa.” Kalimat seperti itu harus dihidari, karena kalimat
seperti itu bukan mengarahkan kembali anak ke arah yang benar tapi justru
membunuh potensinya. Seharusnya “ayo nak, kamu pasti bisa! Ayo dicoba
terus hingga kamu bisa .” Bahasa yang subtantif itu juga perlu, agar
pembelajaran akan tepat sasaran. Terkadang apabila guru terlalu jauh melebar
dalam menjelaskan suatu topik, anomali yang muncul adalah siswa justru
mengenang pada pembahasan yang melebar tersebut, namun poin intinya
tidak bisa didapat. Selain itu guru juga dituntut harus bisa menginspirasi
muridnya.
Sebuah
mendemonstrasikan,
adagium
guru
“guru
hebat
biasa
menjelaskan,
menginspirasi”
guru
menekankan
baik
bahwa
pentingnya guru untuk menginspirasi. Tujuannya adalah bagaimana
pembelajaran itu tidak selesai di kelas, akan tetapi setelah kegiatan belajar
mengajar selesai siswa secara mandiri mampu mengelaborasi, mencari tahu
lebih, dan mencoba-coba apa yang disampaikan guru. Dari situ prinsip belajar
sepanjang hayat akan bisa terpenuhi.
Menurut sudut pandang yang lebih luas, bahasa sebagai pengantar
pendidikan memiliki nilai instrumental. Bahasa akan berguna atau bermafaat
tatkala digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan. Maka mafhum
mukholafah-nya bahasa tidak akan berguna atau bermanfaat tatkala tidak
digunakan. Contoh lain untuk memudahkan adalah pisau merupakan pisau
yang baik karena dapat saya gunakan untuk mengiris, bukan karena kualitas
yang terkadung dalam diri pisau tersebut. Manusia (dalam hal ini yang
dimaksud adalah guru atau pendidik) memiliki peranan sebagai ‘segi
pragmatis’ sedang bahasa dalam pendidikan tersebut sebagai ‘segi semantis’.
Baik-buruknya bahasa dalam pendidikan tergantung pada unsur
penggunanya. Apabila seorang guru dan murid dapat menggunakan bahasa
dengan proporsional dan fungsional maka bahasa tersebut akan bernilai baik.
Akan tetapi acapkali bahasa digunakan sebagai sarana mendeskripsikan
berkaitan buruk tentang orang lain yang mana di dalamnya terkandung unsur
yang jauh dari moral. Jadi bahasa dalam pendidikan penulis simpulkan tidak
bebas nilai. Karena harus memperhatikan nilai yang terkadung dalam
aplikasinya. Selain itu bisa juga disangkut-pautkan dengan estetika, bilamana
seorang murid dan guru bisa merangkai bahasa dan digunakan dengan
fungsional dan proporsional maka akan terlihat keindahan dalam interaksi di
dalamnya. Berbeda dengan situasi dimana seorang murid tidak bisa mengatur
bahasanya sehingga bahasa yang semestinya berada di pasar digunakan di
kelas. Contohnya adalah, “Kang itu nomor 4 apa yang pas?” Seharusnya ,
“Pak/ Bu Guru saya, apakah nomor 4 sudah benar jawabannya?”
Contoh yang lain berkaitan dengan nilai adalah, penulis mencoba
menghadapkan antara bahasa sebagai pengantar pendidikan dan kloning
sebagai sarana reproduksi unggul. Jelas disitu kloning sudah menciderai
hakekat manusia, karena akan merusak sistem alamiah yang ada di dunia ini.
Sedangkan bahasa bisa menjadi sarana memajukan hakekat manusia. Karena
dengan bahasa manusia dapat menjadi lebih bermoral, berwawasan, dlsb.
BAB III
KESIMPULAN
Beberapa penjelasan yang telah coba penulis uraikan dapat ditarik benang
merah bahwasannya bahasa sebagai pengantar pendidikan adalah bagian dari alat
komunikasi, yang mana lebih spesifik dibatasi dengan nilai-nilai paedagogis.
Hakekatnya bahasa adalah sebagai media antara peserta didik dan pendidik. Corak
bahasa akan mempengaruhi bagaimana penerimaan dari setiap peserta didik, maka
penting seorang pendidik harus mampu menyampaikan bahasa pendidikan dengan
sopan, subtantif, inspiratif, dan memperhatikan estetika. Dari keempat aspek
tersebut apabila dapat diaplikasikan secara baik dan benar tentu saja hasilnya tidak
hanya mengarahkan pemahaman siswa yang purna, akan tetapi juga dapat
menginspirasi para siswa agar bisa melakukan pendalaman, pengayaan,
mengelaborasi materi/ pesan yang diterima, dari situ prinsip belajar sepanjang
hayat akan bisa terealisasi.
Daftar Pustaka
Abou el Fadl, Khaled M. 2004. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih
Otoritatif, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Alwasih, Chaedar. 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan, Bandung: Rosdakarya.
Alwasilah, Chaedar. 1993. Linguistik: Suatu Pengantar , Bandung: Angkasa.
Brown, H Douglas. 2007. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa, (terj.
Noor Cholis), Peason Education.
Mulligan, Kevin (ed.). 1992. Language, Truth and Ontology, Belanda: kluwer
Academic Publisher.
Garden, Jostein. 2006. Dunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat (terj), Bandung:
Mizan.
Isma’il, Fuad Farid., Mutawlli, Abdul Hamid. 2003. Cepat Menguasai Ilmu
Filsafat, Yogyakarta: IRCiSoD.
Khoyin, Muhammad. 2013. Filsafat Bahasa , Bandung: Pustaka Setia.
Kattsoff, Loius O. 2004. Pengantar Filsafat (terj. Soejono Soemargono ),
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Rosen, Stanley (ed.). 2003. The Philosopher’s Handbook: Essential Readings
from Plato to Kant. New York: Random House Reference.
Suriasumantri, Jujun S. 2010. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer . Jakarta:
Penebar Swadaya.
_____ 1992. Ilmu Dalam Perspektif, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kegiatan belajar mengajar di kelas adalah suatu bagian dari proses
interaksi natar individu atau kelompok manusia yang mana di dalamnya
membutuhkan bahasa sebagai media. Manusia lahir dan tumbuh dalam buaian
serta pelukan bahasa. Berbahasa ibarat menghirup udara. Setiap saat dikonsumsi
tanpa mempertanyakan darimana asal-usulnya. Manusia baru mulai resah tatkala
merasakan udara yang ada polusinya sehingga membuat sesak. Begitu pula
bahasa, ketika kita memamasuki komunitas asing yang tidak dapat dipahami.
Ketika kata-kata dan informasi tidak lagi dapat dimengerti, saat itulah manusia
mulai kritis untuk mempertanyakan bahasa dan fungsinya. 1 Muncul pertanyaan
tentang bahasa, apakah itu bahasa? Apa hakekat bahasa itu? Darimana bahasa
berasal? Dimana eksistensi bahasa? Lalu apa yang menjadi kebernilaian dari
bahasa tersebut dalam kegiatan belajar mengajar?
Manusia tidak dapat terlepas dari bahasa, ada ungkapan “tanpa bahasa,
manusia tak berbeda dengan anjing atau monyet.”2
“The great thinkers who have defined man as an animal rationale,” writes
Ernst Cassirer, “were not empiricists, nor did they ever intend to give an
empirical account of human nature. By this definition they were expressing
rather a fundamental moral imperative. Reason is a very inadequate term
with which to comprehend the forms of man’s cultural life in all their
richness and variety. But all these forms are symbolic forms. Hence,
instead of defining man as an animal rationale, we should define him as
animal symbolicum” (Cassirer 1974, 25-26).
Ernst Cassirer menunjukkan manusia sebagai animal symbolicum yang mana
menggunakan
simbol.
Dari
ungkapan
tersebut
tersirat
bahwasannya
ketergantungan manusia kepada bahasa meskipun sebatas simbol. Tanpa
1
Muhammad Khoyin, Filsafat Bahasa , Bandung: Pustaka Setia, 2013, hlm. 23.
Jujun S. Suria sumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer , Jakarta: Penebar
Swadaya, 2010, ,hlm. 171.
2
mempunyai kemampuan berbahasa ini maka kegiatan berfikir secara sistematis
dan teratur tidak mungkin dapat dilakukan. Tanpa bahasa manusia tidak akan
dapat berfikir secara rumit dan abstrak seperti apa yang kita lakukan dalam
berfikir ilmiah. Setiap saat manusia membutuhkan bahasa. Urgensi bahasa juga
tidak hanya dirasakan oleh manusia. Tuhan pun menggunakan bahasa yang untuk
menerjemahkan wahyu-wahyunya. Tidak dapat dihindari oleh siapa pun adalah
suatu kenyataan bahwa perintah-perintah Tuhan (devine instructions) selalu
bertumpu pada teks, sedangkan teks itu sendiri sepenuhnya bersandar pada alat
perantara “bahasa.3” Dengan demikian Tuhan dan malaikat-Nya pun berbahasa
dalam proses edukasinya.
Bahasa yang terdapat di suatu pendidikan / kegatan belajar mengajar,
memungkinkan manusia mengembangkan budaya, karena dengan bahasa ada
kemampuan untuk meneruskan nilai-nilai budaya dari generasi yang satu ke
generasi yang lain (tidak hanya transfer of knowledge).4 Sehingga dengan bahasa
manusia memungkinan untuk melakukan aktivitas transfer of values. Hasilnya
adalah manusia memungkinkan meneruskan trend sehingga eksistensinya tetap
terjaga. Lebih dari itu manusia bisa mengembangkan values tersebut sehingga ada
perkambangan kedepannya sehingga menjadi ilmu. Values, peradaban yang sudah
disebut di atas menunjukkan bahwa dengan bahasa memungkinkan ada proses
transfer nilai antar satu dengan yang lain. Kata lainnya jika dilihat secara sempit
adalah terjadi suatu interaksi antara seseorang kepada orang lain. Interaksi adalah
hubungan-hubungan sosial yang menyangkut hubungan antar individu, individu
(seseorang) dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Tanpa adanya
interkasi sosial maka tidak akan mungkin ada kehidupan bersama. Apabila dilihat
dengan perspetif yang lain, disitu juga dimensi yang mana terjadi dengan apa
yang dinamakan pendidikan.
Jika dilihat dari segi pendidikan bahasa memiliki keistimewaan bahwa
sukses dalam penguasaan segala bidang studi sangat bergantung pada bahasa lisan
3
Khaled M. Abou el Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif,
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004. Pengantar M. Amin Abdullah, hlm. xi
4
Jujun S. Suria sumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer , Jakarta: Penebar
Swadaya, 2010, ,hlm. 171.
atau literasi, karena pembelajaran segala bidang studi menggunakan bahasa.5
Tersampainya values dengan melalui perantara bahasa dengan baik, maka
ketercapaian pendidikan akan tinggi. Bahasa memikul peran penting pada bagian
ini. Sehingga kehadiran bahasa dalam pendidikan sangat dirasakan yang
diperlukan.
Ada anggapan bahwasannya bahasa memiliki kaitan erat dengan kognisi.
Pandangan behavioristik
yang menyatakan bahwa kognisi terlalu mentalistik
untuk dikaji dengan metode ilmiah sangat berlawanan dengan pandanganpandangan seperti yang dianut Piaget (1972), yang menyatakan bahwa
perkembangan kognitif berada tepat di pusat organisme manusia dan bahwa
bahasa bergantung kepada dan muncul dari perkembangan kognitif.6 Dari
berbagai pandangan bahasa ada satu pandangan yang paling masyhur tentang
relitivitas linguistik, yakni, bahwa setiap bahasa mendesakkan pada penuturnya
suatu “pandangan dunia” tertentu.7
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana bahasa sebagai pengantar dalam pendidikan ditinjau secara
ontologi?
2.
Bagaimana bahasa sebagai pengantar dalam pendidikan ditinjau secara
epistemologi?
3.
Bagaimana bahasa sebagai pengantar dalam pendidikan ditinjau secara
aksiologi dan penerapannya?
5
Chaedar Alwasih, Filsafat Bahasa dan Pendidikan , Bandung: Rosdakarya, 2008, hlm.
16.
6
H Douglas Brown, Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa, (terj. Noor Cholis),
Peason Education, 2007.
7
Ibid,
BAB II
PEMBAHASAN
Pembahasan
1.
Bahasa sebagai pengantar dalam pendidikan secara ontologi
Ontologi adalah bicara tentang hakikat apa yang dikaji, bisa dari
sebuah hal yang metafisika, asumsi, dan peluang.8 Salah satu kajian ontologi
adalah things which are cintingent and things which are non contingent or
necessary. Dijelaskan lebih lanjut bahwasannya suatu pernyataan ada yang
sedang membutuhkan ruang atau tempat, ada yang telah membutuhkan ruang,
ada juga yang akan membutuhkan ruang.9 Sederhananya adalah mencari
tentang sifat dasar bahasa yang akhirnya menentukan pendapat, bahkan
keyakinan mengenai bahasa dan bagaimana ada sebagaimana manifestasi
bahasa dicari. Penulis tertarik menggunakan pendekatan logis dalam
mengkaji hakekat bahasa.
Bahasa sebagai sarana interaksi sosial. Seperti yang telah dibahas
pada bagian pendahuluan, adanya bahasa sangat dikonfirmasi. Sebagai bukti
manusia sangat menggunakan bahasa. Bahasa digunakan sebagai sarana
komunikasi dan ineraksi. Dari komunikasi sederhana dengan menggunakan
simbol10 hingga komunikasi ilmiah, yang memerlukan struktur dan tata
bahasa yang padu. Dipertegas oleh pertanyaan retoris Jujun: bagaimana
mungkin seorang bisa melakukan penalaran yang cermat tanpa menguasai
struktur bahasa yang tepat.11 Sehingga diasumsikan filosof terdahulu seperti
Thales 585 SM, Anaximander, Anaximenes 526 SM, Demokritus 460-370
SM, filosof paling masyhur Sokrates, Plato, Aristoteles, hingga filosof
8
Jujun S. Suria sumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer , Jakarta: Penebar
Swadaya, 2010, ,hlm. 63-81.
9
Kevin Mulligan (ed.) Language, Truth and Ontology, Belanda: kluwer Academic
Publisher, 1992, hlm. 4
10
Lihat bagian sebelumnya tentang animal symbolicum
11
Jujun S. Suria sumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer , Jakarta: Penebar
Swadaya, 2010, ,hlm. 169.
kontemporer Locke, Hume, Berkeley, Kant, Freud12 telah menguasai bahasa
dan mengafirmasi keberadaan bahasa, terlihat dari produk yang dia ciptakan.
Kembali pada persoalan interaksi, interaksi disini tidak hanya diwujudkan
dengan komunikasi berbentuk verbal dengan kata lain dialog saja, tetapi juga
bisa monolog. Ketika seseorang berbicara sendirian, bisa saja pembicaraan itu
ditujukan, secara mental, pada orang lain sebagai “pendengar”, yaitu “diri
sendiri” atau bisa jadi kepada figur yang tidak hadir secara kasat mata, seperti
Tuhan, atau seorang yang hadir secara imajinasi.13 Bahkan seperti yang
diungkapkan Prof. Amin Abdullah, bahwasannya Tuhan juga menggunakan
bahasa sebagai sarana komunikasi.14 Keberadaan bahasa sudah jelas adanya.
Bahasa juga disebut sebagai ujaran, dimana bahasa adalah apa yang
keluar dari tumbuh kita yang mana ditujukan untuk menyampaikan apa yang
kita fikirkan. Ujaran yang dipergunakan untuk menggambarkan atau
memerikan peristiwa, proses, keadaan, dsb dan sifatnya betul atau tidak betul,
dengan kata lain dalam mendeskripsikan suatu hal, membuat pernyataan akan
selalu bertumpu pada bahasa. Ini menarik karena bahasa tidak saja
dimanifestasikan sebagai ucapan akan tetapi juga meliputi intuisi hati, gerak
badan simbolik, sebagaimana yang dilakukan oleh teman-teman tuna rungu
wicara.
Bahasa selain dilihat dari sisi sarana interaksi dan ujaran bahasa bisa
pula dilihat dari dua bidang, yaitu:
a. bunyi yang dihasilkan oleh alat-alat ucap yaitu getaran yang
bersifat fisik yang merangsang alat pendengaran kita;
b. arti atau makna adalah isi yang terkandung di dalam arus bunyi
yang menyebabkan adanya reaksi itu.
Dapat ditarik kesimpulan bahwasannya setiap struktur bunyi ujaran tertentu
akan mempunyai arti tertentu pula.
Berbagai penjelasan tentunya sudah menjawab tentang hakekat
bahasa. Bahasa itu ada, dan tidak membutuhkan ruang. Karena bahasa
terkadang terdapat dalam batin/ hatin, atau bahkan bahasa yang ada dalam
12
Jostein Garden, Dunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat (terj), Bandung: Mizan, 2006.
Muhammad Khoyin, Filsafat Bahasa , Bandung: Pustaka Setia, 2013, hlm. 25.
14
Lihat bagian pendahuluan
13
Kalam Ilahi yang berada di lauhul mahfudz sebagaimana Kalam Ilahi paling
otentik, sebagaimana umatnya yang menyakini.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagaimana
juga diungkapkan oleh Jujun, bahawasannya bahasa sebagai serangkaian
bunyi dan lambang yang membentuk makna.15 Slecara lebih lengkapnya
bahasa adalah sistem sarana sistematis untuk mengkomunikasikan ide-ide
perasaan dengan menggunakan tanda-tanda.
Dari definisi tersebut, bahasa memiliki tujuh ciri, sebagai berikut16:
a.
Sistematik: yaitu bahasa memiliki pola dan kaidah yang harus
ditaati agar dapat dipahami oleh pemakainya
b.
Abritase atau mana suka: karena unsur-unsur bahasa dipilih
secara acak tanpa dasar, tidak ada hubungan logis antara bunyi
dan makna yang disimbolkannya. Pilihan suatu kata disebut kursi,
meja, guru, murid dan lain-lain ditentukan bukan atas dasar
kriteria atau standar tertentu, melainkan secara mana suka
c.
Ujar atau ucapan atau vocal: bentuk dasar bahasa adalah ujaran,
karena media bahasa terpenting adalah bunyi
d.
Manusiawi: karena bahasa menjadi berfungsi selama manusia
yang memanfaatkannya, bukan makhluk lainnya
e.
Komunikatif:
karena
fungsi
bahasa
adalah
sebagai
alat
komunikasi atau alat penghubung antara anggota-anggota
masyarakat
Pesan intinya, hakekat bahasa itu ada sebagai media oleh manusia.
Letaknya setelah penalaran, saat output, dan sebelum penalaran saat input.
Bahasa hadir sebagai penyambung. Konsekuensi dari bahasa tersebut akan
ada intrepetasi masing-masing dari setiap penerima bahasa itu tersendiri, yang
mana nafsu, akal masing-masing (penalaran), tendensi akan mempengaruhi.
Retorika bahasa yang indah dan menawan pasti akan menginisiasi
penerimanya agar bersikap indah layaknya ingin mengimitasi bahasa tersebut,
15
Jujun S. Suriasumantri (ed.), ilmu dalam Perspektif, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1999, hlm. 175. Dalam Muhammad Khoyin, Filsafat Bahasa , Bandung: Pustaka Setia, 2013, hlm.
25.
16
A. Chaedar Alwasilah, Linguistik: Suatu Pengantar , Bandung: Angkasa, 1993, Hlm.
83-89.
akan tetapi juga butuh waktu yang lama untuk menguasainya. Selain itu, ada
bahasa yang lugas, to do poin, yang sangat mudah dipahami, akan tetapi akan
menyebabkan murid (penerima bahasa) gersang akan seni.
2.
Bahasa sebagai pengantar dalam pendidikan secara epistemologi
Epistemologi atau Filsafat pengetahuan merupakan salah satu cabang
filsafat yang mempersoalkan masalah hakikat pengetahuan. Apabila kita
berbicara mengenai filsafat pengetahuan, yang dimaksud dalam hal ini adalah
ilmu pengetahuan kefilsafatan yang secara khusus hendak memperoleh
pengetahuan tentang hakikat pengetahuan.17 Sedangkan cara terbaik untuk
memperoleh ilmu adalah dengan memunculkan pertanyaan yang tepat. Dalam
perkembangannya muncul istilah inkuiri (inquiry) yang berarti mencari
kebenaran, pengetahuan dan informasi.18 Pada bagian ini penulis akan
mencoba melakukan aktifitas mencari dan mempertanyakan bahasa
sebagaimana yang telah terkonsep pada motode epistemologi. Selanjutkan
mengkaji bagaimana bahasa tersebut ditemukan dan dibangun secara
sistematis.
Peneliti mencoba menggunakan metode Rene Descartes19, yaitu
meditasi untuk mencoba menggali bahasa itu tersendiri, dan bagaimana bahas
tersebut hadir dan memfasilitasi sebuah proses belajar mengajar. Peneliti
tidak akan mencoba mengulas bagaimana asal-usul bahasa dikaji secara rinci.
Dari beberapa perenungan atas bahasa sebagai pengantar dalam pendidikan
tersebut terdiri dari dua bangunan teori. Yang pertama dari bahasa itu sendiri,
yang kedua adalah bagaimana bahasa sebagai media khusus pendidikan, tidak
hanya sebagai sarana interaksi.
Karakteristik bahasa dan syarat bahasa tentunya sudah ada pada
bagian sebelumnya, dari sini dapat penulis simpulkan bahwasannya bahasa
tersebut masih terlalu umum. Tatkala bersinggungan dengan pemanfaatannya
sebagai bahasa pendidikan maka akan muncul syarat-syarat lagi untuk
Fuad Farid Isma’il, Abdul Hamid Mutawlli, Cepat Menguasai Ilmu Filsafat,
Yogyakarta: IRCiSoD, 2003, hlm. 48-49
18
Stanley Rosen (ed.), The Philosopher’s Handbook: Essential Readings from Plato to
Kant, dalam Jaakko Hintikka, Pendahuluan , New York: Random House Reference, 2003, hlm.
402
19
Ibid, dalam Rene Descartes, hlm. 427-436.
17
kesana. Bagaimana bahasa harus sudah by design seperti: sopan, subtantif,
memotivasi, dlsb. Bahasa yang ada dalam pendidikan (yaitu sebagai
pengantar pendidikan) hendaknya bisa membuat pemahaman yang satu corak
oleh siswa, dan idealnya setiap perkataan yang muncul dari guru haruslah
menjadi inspirasi bagi setiap muridnya. Sehingga disusunlah bagaimana
kaedah paedagogi yang di dalamnya dimasukkan bagaimana guru berbahasa
(komunikasi) dengan muridnya.
3.
Bahasa sebagai pengantar dalam pendidikan secara aksiologi
Secara lebih spesifik bahasa sebagai pengantar pendidikan memiliki
beberapa syarat khusus seperti yang telah disinggung pada bagian
epistemologi. Pada saat guru mengajar tentunya guru harus memperhatikan
beberapa aspek: sopan, subtantif, menginspirasi, estetika bahasa. Dari
keempat aspek tersebut apabila dapat diaplikasikan secara baik dan benar
tentu saja hasilnya tidak hanya mengarahkan pemahaman siswa yang purna,
akan tetapi juga dapat menginspirasi para siswa agar bisa melakukan
pendalaman, pengayaan, mengelaborasi materi/ pesan yang diterima.
Keempat aspek tersebut penting karena, dalam pendidikan tersebut
tidak hanya melibatkan nalar semata, akan tetapi disitu juga menyinggung
perasaan. Guru dituntut bisa menyampaikan nilai-nilai tanpa harus
menyinggung siswanya. Pada bagian ini akan sangat terlihat peran bahasa
sebagai pengantar dalam pendidikan tersebut. seperti kalimat “dasar bodoh!
Begini saja tidak bisa.” Kalimat seperti itu harus dihidari, karena kalimat
seperti itu bukan mengarahkan kembali anak ke arah yang benar tapi justru
membunuh potensinya. Seharusnya “ayo nak, kamu pasti bisa! Ayo dicoba
terus hingga kamu bisa .” Bahasa yang subtantif itu juga perlu, agar
pembelajaran akan tepat sasaran. Terkadang apabila guru terlalu jauh melebar
dalam menjelaskan suatu topik, anomali yang muncul adalah siswa justru
mengenang pada pembahasan yang melebar tersebut, namun poin intinya
tidak bisa didapat. Selain itu guru juga dituntut harus bisa menginspirasi
muridnya.
Sebuah
mendemonstrasikan,
adagium
guru
“guru
hebat
biasa
menjelaskan,
menginspirasi”
guru
menekankan
baik
bahwa
pentingnya guru untuk menginspirasi. Tujuannya adalah bagaimana
pembelajaran itu tidak selesai di kelas, akan tetapi setelah kegiatan belajar
mengajar selesai siswa secara mandiri mampu mengelaborasi, mencari tahu
lebih, dan mencoba-coba apa yang disampaikan guru. Dari situ prinsip belajar
sepanjang hayat akan bisa terpenuhi.
Menurut sudut pandang yang lebih luas, bahasa sebagai pengantar
pendidikan memiliki nilai instrumental. Bahasa akan berguna atau bermafaat
tatkala digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan. Maka mafhum
mukholafah-nya bahasa tidak akan berguna atau bermanfaat tatkala tidak
digunakan. Contoh lain untuk memudahkan adalah pisau merupakan pisau
yang baik karena dapat saya gunakan untuk mengiris, bukan karena kualitas
yang terkadung dalam diri pisau tersebut. Manusia (dalam hal ini yang
dimaksud adalah guru atau pendidik) memiliki peranan sebagai ‘segi
pragmatis’ sedang bahasa dalam pendidikan tersebut sebagai ‘segi semantis’.
Baik-buruknya bahasa dalam pendidikan tergantung pada unsur
penggunanya. Apabila seorang guru dan murid dapat menggunakan bahasa
dengan proporsional dan fungsional maka bahasa tersebut akan bernilai baik.
Akan tetapi acapkali bahasa digunakan sebagai sarana mendeskripsikan
berkaitan buruk tentang orang lain yang mana di dalamnya terkandung unsur
yang jauh dari moral. Jadi bahasa dalam pendidikan penulis simpulkan tidak
bebas nilai. Karena harus memperhatikan nilai yang terkadung dalam
aplikasinya. Selain itu bisa juga disangkut-pautkan dengan estetika, bilamana
seorang murid dan guru bisa merangkai bahasa dan digunakan dengan
fungsional dan proporsional maka akan terlihat keindahan dalam interaksi di
dalamnya. Berbeda dengan situasi dimana seorang murid tidak bisa mengatur
bahasanya sehingga bahasa yang semestinya berada di pasar digunakan di
kelas. Contohnya adalah, “Kang itu nomor 4 apa yang pas?” Seharusnya ,
“Pak/ Bu Guru saya, apakah nomor 4 sudah benar jawabannya?”
Contoh yang lain berkaitan dengan nilai adalah, penulis mencoba
menghadapkan antara bahasa sebagai pengantar pendidikan dan kloning
sebagai sarana reproduksi unggul. Jelas disitu kloning sudah menciderai
hakekat manusia, karena akan merusak sistem alamiah yang ada di dunia ini.
Sedangkan bahasa bisa menjadi sarana memajukan hakekat manusia. Karena
dengan bahasa manusia dapat menjadi lebih bermoral, berwawasan, dlsb.
BAB III
KESIMPULAN
Beberapa penjelasan yang telah coba penulis uraikan dapat ditarik benang
merah bahwasannya bahasa sebagai pengantar pendidikan adalah bagian dari alat
komunikasi, yang mana lebih spesifik dibatasi dengan nilai-nilai paedagogis.
Hakekatnya bahasa adalah sebagai media antara peserta didik dan pendidik. Corak
bahasa akan mempengaruhi bagaimana penerimaan dari setiap peserta didik, maka
penting seorang pendidik harus mampu menyampaikan bahasa pendidikan dengan
sopan, subtantif, inspiratif, dan memperhatikan estetika. Dari keempat aspek
tersebut apabila dapat diaplikasikan secara baik dan benar tentu saja hasilnya tidak
hanya mengarahkan pemahaman siswa yang purna, akan tetapi juga dapat
menginspirasi para siswa agar bisa melakukan pendalaman, pengayaan,
mengelaborasi materi/ pesan yang diterima, dari situ prinsip belajar sepanjang
hayat akan bisa terealisasi.
Daftar Pustaka
Abou el Fadl, Khaled M. 2004. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih
Otoritatif, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Alwasih, Chaedar. 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan, Bandung: Rosdakarya.
Alwasilah, Chaedar. 1993. Linguistik: Suatu Pengantar , Bandung: Angkasa.
Brown, H Douglas. 2007. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa, (terj.
Noor Cholis), Peason Education.
Mulligan, Kevin (ed.). 1992. Language, Truth and Ontology, Belanda: kluwer
Academic Publisher.
Garden, Jostein. 2006. Dunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat (terj), Bandung:
Mizan.
Isma’il, Fuad Farid., Mutawlli, Abdul Hamid. 2003. Cepat Menguasai Ilmu
Filsafat, Yogyakarta: IRCiSoD.
Khoyin, Muhammad. 2013. Filsafat Bahasa , Bandung: Pustaka Setia.
Kattsoff, Loius O. 2004. Pengantar Filsafat (terj. Soejono Soemargono ),
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Rosen, Stanley (ed.). 2003. The Philosopher’s Handbook: Essential Readings
from Plato to Kant. New York: Random House Reference.
Suriasumantri, Jujun S. 2010. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer . Jakarta:
Penebar Swadaya.
_____ 1992. Ilmu Dalam Perspektif, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.