Representasi Perempuan Pada Majalah docx
I.
LATAR BELAKANG
Jika ditinjau dari segi etimologi atau asal katanya, istilah ‘majalah’ alias
‘magazine’ itu sendiri berakar dari sebuah kata dalam bahasa Arab: ‘makhazin’,
yang berarti gudang peluru. Hildick, masih dalam buku yang sama, lantas
memaknai bahwa majalah merupakan tempat dimana cerita dan artikel disimpan,
sama seperti senjata dan amunisi disimpan di gudang khusus. Pada perkembangan
selanjutnya, istilah ‘makhazin’ ini kemudian diadaptasi menjadi ‘magazin’ dalam
bahasa Perancis.
Persaingan dalam industri media massa pada jaman sekarang yang sudah
globalisasi, membuat majalah di Indonesia berlomba-lomba untuk memberikan
inovasi baru dan tampilan yang menarik perhatian khalayak. Namun terkadang,
majalah kesulitan dalam memilih inovasi apa yang tepat untuk menarik perhatian
khalayak. Majalah sebagai media komunikasi massa, diantaranya memilih
menyisipkan hiburan yang dimasukan ke dalam kolom artikel yang bertujuan
untuk menarik perhatian pembaca.
Dari majalah-majalah yang beredar, terlihat visualisasi wanita dalam majalah
pria dewasa tersebut berciri khas, wanita di dalam majalah pria dewasa
digambarkan lebih sensual dari tampilan pada majalah lainnya. Bisa dilihat dari
beberapa bagian tubuh wanita tersebut yang diberi penekanan, atau menjadi fokus
dari foto yang ditampilkan (Apsari dan Widiatmoko, 2010).
Fenomena munculnya majalah-majalah dewasa yang terbit untuk menarik
perhatian pembaca dengan manampilkan model-model wanita yang bertubuh seksi
menjadi fenomena yang kontroversi. Karena visualisasi tubuh wanita dijadikan
alat untuk berjualan. Fenomena ini mungkin dimulai sejak majalah franchise dari
luar negeri (mayoritas USA dan Australia) memasuki Indonesia pada tahun 90an.
Majalah khusus pria dewasa selalu mengeksploitasi rasa ketertarikan pria
kepada wanita, yang dinilai dari eksploitasi aspek fisik dan tergantung pada tipetipe wanita cantik menurut selera para pria. Ini sebabnya majalah pria selalu
bertahan dari masa ke masa bahkan cenderung bertambah jumlahnya beredar di
Indonesia, mulai dari majalah “De Lach” dari negeri Belanda tahun 1930an,
hingga majalah Playboy yang membuka cabang Indonesia di tahun 2000an
muncul di Indonesia.
Era kebebasan pers pasca reformasi dan adanya globalisasi ekonomi menjadi
dua faktor dibalik berkembangnya majalah franchise atau waralaba di negara ini.
Pihak asing tertarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia, dan di sisi lain
pengusaha lokal juga ingin memanfaatkan kesempatan untuk menerbitkan media
asing dengan gaya lokal.
Peredaran majalah-majalah ini, yang menjadi konsumsi para remaja Indonesia,
menampilkan sosok-sosok asing sebagai idola. Dan karena posisinya sebagai
majalah franchise, yang terikat adaptasi konten dengan kantor pusatnya di luar
negeri, kerap artikel yang disajikan di dalamnya tidak realistis dan aplikatif untuk
pembaca lokal.
“Pencapaian yang diperoleh (majalah franchise) memicu pemikiran bahwa
nilai-nilai Barat merupakan solusi atas kebutuhan wanita Indonesia. Dalam benak
wanita lokal, citra wanita Barat itu lebih seksi, cerdas, aktif, dan tentunya, lebih
menggoda dibanding mereka yang pasif dan tradisional. (Paramaditha, 2003:2)”
Fenomena lain yang menyusul belakangan adalah munculnya majalah lokal
yang murni dibuat oleh warga Indonesia-tetapi, mereka memasang selebriti asing
di sampul dan memasukkan artikel dengan nuansa budaya pop barat. Tampak
seperti waralaba, tetapi bukan waralaba. Kebanyakan majalah semacam ini
ditujukan pada pembaca wanita remaja.
Inilah rasa frustasi yang dibebankan kepada remaja kita dengan hadirnya
media-media asing ini; mereka dituntut untuk memenuhi standar yang tidak
realistis (1: cantik ala barat, 2: airbrushing & photoshop). Intan Paramaditha
dalam salah satu jurnal ilmiahnya mengistilahkan fenomena ini sebagai
‘munculnya rasa cemas karena harus hidup sebagai perempuan dunia ketiga.’
Keprihatinan kami yang lain muncul dari ‘jurang’ yang ada antara majalah
untuk laki-laki dan perempuan. Esai yang kritis, konten yang padat, semua itu
umumnya ditemukan pada majalah pria. Majalah untuk perempuan? Fitur
utamanya tampak seperti katalog belanja. Komodifikasi konten sangat kental
dalam lembar-lembar majalah yang mengkilap.
Riset terakhir tahun 2002 menyatakan bahwa setiap tahun sekitar 300 judul
majalah konsumen diluncurkan (Campbell, Martin & Fabos, 2008). Dari riset ini
menunjukkan bahwa konsumen dari majalah semakin bertambah dan semakin
banyak majalah pria dewasa yang mengangkat visualisasi wanita sebagai objek
untuk di konsumsi oleh masyarakat luas. Penampilan para wanita inipun sangat
terbuka dan vulgar dalam setiap cover majalah pria dewasa.
Sumber Jurnal:
Paramaditha, Intan . (2013). Cultural Identity and Female Representation in
Indonesian Women’s Magazines. Wacana Vol. 5, 1-11.
Apsari, Diana dan Widiatmoko, Didit . (2010). Visualisasi Wanita Indonesia Dalam
Majalah Pria Dewasa . Wimba Vol. 2, 65-79.
Sumber Buku:
C.R. Martin, B. Fabos, Campbell. (2008). Media and Culture. St. Martin’s,
Paperback: Bedford.
LATAR BELAKANG
Jika ditinjau dari segi etimologi atau asal katanya, istilah ‘majalah’ alias
‘magazine’ itu sendiri berakar dari sebuah kata dalam bahasa Arab: ‘makhazin’,
yang berarti gudang peluru. Hildick, masih dalam buku yang sama, lantas
memaknai bahwa majalah merupakan tempat dimana cerita dan artikel disimpan,
sama seperti senjata dan amunisi disimpan di gudang khusus. Pada perkembangan
selanjutnya, istilah ‘makhazin’ ini kemudian diadaptasi menjadi ‘magazin’ dalam
bahasa Perancis.
Persaingan dalam industri media massa pada jaman sekarang yang sudah
globalisasi, membuat majalah di Indonesia berlomba-lomba untuk memberikan
inovasi baru dan tampilan yang menarik perhatian khalayak. Namun terkadang,
majalah kesulitan dalam memilih inovasi apa yang tepat untuk menarik perhatian
khalayak. Majalah sebagai media komunikasi massa, diantaranya memilih
menyisipkan hiburan yang dimasukan ke dalam kolom artikel yang bertujuan
untuk menarik perhatian pembaca.
Dari majalah-majalah yang beredar, terlihat visualisasi wanita dalam majalah
pria dewasa tersebut berciri khas, wanita di dalam majalah pria dewasa
digambarkan lebih sensual dari tampilan pada majalah lainnya. Bisa dilihat dari
beberapa bagian tubuh wanita tersebut yang diberi penekanan, atau menjadi fokus
dari foto yang ditampilkan (Apsari dan Widiatmoko, 2010).
Fenomena munculnya majalah-majalah dewasa yang terbit untuk menarik
perhatian pembaca dengan manampilkan model-model wanita yang bertubuh seksi
menjadi fenomena yang kontroversi. Karena visualisasi tubuh wanita dijadikan
alat untuk berjualan. Fenomena ini mungkin dimulai sejak majalah franchise dari
luar negeri (mayoritas USA dan Australia) memasuki Indonesia pada tahun 90an.
Majalah khusus pria dewasa selalu mengeksploitasi rasa ketertarikan pria
kepada wanita, yang dinilai dari eksploitasi aspek fisik dan tergantung pada tipetipe wanita cantik menurut selera para pria. Ini sebabnya majalah pria selalu
bertahan dari masa ke masa bahkan cenderung bertambah jumlahnya beredar di
Indonesia, mulai dari majalah “De Lach” dari negeri Belanda tahun 1930an,
hingga majalah Playboy yang membuka cabang Indonesia di tahun 2000an
muncul di Indonesia.
Era kebebasan pers pasca reformasi dan adanya globalisasi ekonomi menjadi
dua faktor dibalik berkembangnya majalah franchise atau waralaba di negara ini.
Pihak asing tertarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia, dan di sisi lain
pengusaha lokal juga ingin memanfaatkan kesempatan untuk menerbitkan media
asing dengan gaya lokal.
Peredaran majalah-majalah ini, yang menjadi konsumsi para remaja Indonesia,
menampilkan sosok-sosok asing sebagai idola. Dan karena posisinya sebagai
majalah franchise, yang terikat adaptasi konten dengan kantor pusatnya di luar
negeri, kerap artikel yang disajikan di dalamnya tidak realistis dan aplikatif untuk
pembaca lokal.
“Pencapaian yang diperoleh (majalah franchise) memicu pemikiran bahwa
nilai-nilai Barat merupakan solusi atas kebutuhan wanita Indonesia. Dalam benak
wanita lokal, citra wanita Barat itu lebih seksi, cerdas, aktif, dan tentunya, lebih
menggoda dibanding mereka yang pasif dan tradisional. (Paramaditha, 2003:2)”
Fenomena lain yang menyusul belakangan adalah munculnya majalah lokal
yang murni dibuat oleh warga Indonesia-tetapi, mereka memasang selebriti asing
di sampul dan memasukkan artikel dengan nuansa budaya pop barat. Tampak
seperti waralaba, tetapi bukan waralaba. Kebanyakan majalah semacam ini
ditujukan pada pembaca wanita remaja.
Inilah rasa frustasi yang dibebankan kepada remaja kita dengan hadirnya
media-media asing ini; mereka dituntut untuk memenuhi standar yang tidak
realistis (1: cantik ala barat, 2: airbrushing & photoshop). Intan Paramaditha
dalam salah satu jurnal ilmiahnya mengistilahkan fenomena ini sebagai
‘munculnya rasa cemas karena harus hidup sebagai perempuan dunia ketiga.’
Keprihatinan kami yang lain muncul dari ‘jurang’ yang ada antara majalah
untuk laki-laki dan perempuan. Esai yang kritis, konten yang padat, semua itu
umumnya ditemukan pada majalah pria. Majalah untuk perempuan? Fitur
utamanya tampak seperti katalog belanja. Komodifikasi konten sangat kental
dalam lembar-lembar majalah yang mengkilap.
Riset terakhir tahun 2002 menyatakan bahwa setiap tahun sekitar 300 judul
majalah konsumen diluncurkan (Campbell, Martin & Fabos, 2008). Dari riset ini
menunjukkan bahwa konsumen dari majalah semakin bertambah dan semakin
banyak majalah pria dewasa yang mengangkat visualisasi wanita sebagai objek
untuk di konsumsi oleh masyarakat luas. Penampilan para wanita inipun sangat
terbuka dan vulgar dalam setiap cover majalah pria dewasa.
Sumber Jurnal:
Paramaditha, Intan . (2013). Cultural Identity and Female Representation in
Indonesian Women’s Magazines. Wacana Vol. 5, 1-11.
Apsari, Diana dan Widiatmoko, Didit . (2010). Visualisasi Wanita Indonesia Dalam
Majalah Pria Dewasa . Wimba Vol. 2, 65-79.
Sumber Buku:
C.R. Martin, B. Fabos, Campbell. (2008). Media and Culture. St. Martin’s,
Paperback: Bedford.