Kebijakan kebijakan Politik Masa Orde Ba

Kebijakan-kebijakan Politik Masa Orde
Baru yang Mempengaruhi Sistem
Pemerintahan di Indonesia.
A. Penataan Kehidupan Politik
Jenderal Soeharto Penguasa Orde Baru.

Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) tahun 1966 merupakan dasar legalitas
dimulainya pemerintahan Orde Baru di Indonesia. Orde Baru merupakan tatanan
seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara, yang diletakan pada kemurnian
pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dan juga dapat dikatakan
bahwa Orde Baru merupakan koreksi terhadap penyelewangan pada masa lampau,
dan berusaha untuk menyusun kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan
stabilitas nasional guna mempercepat proses pembangunan bangsa. Melalui
Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966, Letjen Soeharto ditugaskan oleh MPRS
untuk membentuk Kabinet Ampera. Akibatnya muncul dualisme kepemimpinan
nasional. Berdasarkan Keputrusan Presiden No. 163 tanggal 25 Juli 1966
dibentuklah Kabinet Ampera.Dalam kabinet baru tersebut Soekarno tetap sebagai
presiden dan sekaligus menjabat sebagai pimpinan kabinet. Tetapi ketika kabinet
Ampera dirombak pada tanggal 11 Oktober 1966, jabatan Presiden tetap dipegang
Soekarno, dan Letjen Soeharto diangkat sebagai perdanamenteri yang memiliki
kekuasaan eksekutif dalam kabinet Ampera yang disempurnakan. Sesuai dengan

Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966, menyebabkan kekuasaan pemerintahan di
tangan Soeharto semakin besar sejak awal tahun 1967. Pada 10 Januari 1967 .
Presiden Soekarno menyerahkan Pelengkap pidato pertanggungjawaban presiden

yang disebut PelNawaksara, tidak diterima oleh MPRS berdasarkan Keputusan
Pimpinan MPRS No. 13/B/1967. Dan pada tanggal 20 Februari diumumkan tentang
penyerahan kekuasaan kepada pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966.
Sebagai tindak lanjut lembaga tertinggi Negara ini mengeluarkan Ketetapan No.
XXXIII/MPRS/1967 tertanggal 12 Maret 1967, yang secara resmi mencabut seluruh
kekuasaan pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno, dan mengangkat
Soeharto sebagai pejabat presiden Republik Indonesia.
Dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS itu, situasi konflik yang telah
menyebabkan terjadinya instabilitas politik nasional dapat teratasi. Dan pada tanggal
27 Maret 1968 Soeharto diangkat sebagai presiden Republik Indonesia berdasarkan
Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968, sampai presiden baru hasil pemilu
ditetapkan. Langkah-langkah yang dilakukan yaitu:

1. Pembentukan Kabinet Pembangunan

Kabinet pertama pada masa peralihan kekuasaan adalah Kabinet Ampera

dengan tugasnya Dwi Darma Kabinat Ampera yaitu menciptakan stabilitas politik
dan stabilitasekonomi sebagai persyaratan untuk melaksanakan pembangunan
nasional. Program Kabinet Ampera terkenal dengan nama Catur Karya Kabinet
Ampera yakni:


Memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan



Melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu yang ditetapkan, yaitu
tanggal 5 Juli 1968



Melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif untuk kepentingan nasional



Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala

bentuk dan manifestasinya



Setelah MPRS pada tanggal 27 Maret 1968 menetapkan Soeharto sebagai
presiden RI untuk masa jabatan lima tahun, maka dibentuklah

Kabinet Pembangunan dengan tugasnya yang disebut Panca Krida yang
meliputi:
1. Menciptakan stabilitas politik dan ekonomi
2. Menyusun dan melaksanakan Pemilihan Umum
3. Mengikis habis sisa-sisa Gerakan 30 September
4. Membersihkan aparatur Negara di pusat dan daerah dari pengaruh PKI.

2. Pembubaran PKI dan Organisasi massanya
Dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, serta stabilitas pemerintahan,
Soeharto sebagai pengemban Supersemar telah mengeluarkan kebijakan:


Membubarkan PKI pada tanggal 12 Maret 1966 yang diperkuat dengan

Ketetapan MPRS No IX/MPRS/1966



Menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang di Indonesia



Pada tanggal 8 Maret 1966 mengamankan 15 orang menteri yang dianggap
terlibat Gerakan 30 September 1965.

3. Penyederhanaan Partai Politik
Pada tahun 1973 setelah dilaksanakan pemilihan umum yang pertama pada
masa Orde Baru pemerintahan pemerintah melakukan penyederhaan dan
penggabungan (fusi) partai- partai politik menjadi tiga kekuatan social politik.
Penggabungan partai-partai politik tersebut tidak didasarkan pada kesamaan
ideology, tetapi lebih atas persamaan program. Tiga kekuatan social politik itu
adalah:



Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan gabungan dari NU,
Parmusi, PSII, dan PERTI



Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari PNI, Partai
Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo



Golongan Karya

Penyederhanaan partai-partai politik ini dilakukan pemerintah Orde Baru dalam
upayamenciptakan stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengalaman
sejarah pada masa pemerintahan sebelumnya telah memberikan pelajaran, bahwa
perpecahan yang terjadi dimasa Orde Lama, karena adanya perbedaan ideologi
politik dan ketidakseragaman persepsiserta pemahaman Pancasila sebagai sumber
hukum tertinggi di Indonesia.

4. Pemilihan Umum


Selama masa Orde Baru pemerintah berhasil melaksanakan enam kali pemilihan
umum, yaitu tahun 1971, 1977, 1985, 1987, 1992, dan 1997. Dalam setiap Pemilu
yang diselenggarakan selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu
memperoleh mayoritas suara dan memenangkan Pemilu. Pada Pemilu 1997 yang
merupakan pemilu terakhir masa pemerintahan Orde Baru, Golkar memperoleh
74,51 % dengan perolehan 325 kursi di DPR, dan PPP memperoleh 5,43 %dengan
peroleh 27 kursi. Dan PDI mengalami kemorosotan perolehan suara hanya
mendapat11 kursi. Hal disebabkan adanya konflik intern di tubuh partai berkepala
banteng tersebut, dan PDI pecah menjadi PDI Suryadi dan PDI Megawati Soekarno
Putri yang sekarang menjadi PDIP .Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama
masa pemerintahan Orde Baru telah menimbulkan kesan bahwa demokrasi di
Indonesia telah berjalan dengan baik. Apalagi Pemilu berlangsung dengan asas
LUBER (langsung, umum, bebas, dan rahasia). Namun dalamkenyataannya Pemilu
diarahkan untuk kemenangan salah satu kontrestan Pemilu
yaituGolkar.Kemenangan Golkar yang selalu mencolok sejak Pemilu 1971 sampai
dengan Pemilu 1997 menguntungkan pemerintah di mana perimbangan suara di
MPR dan DPR didominasi oleh Golkar. Keadaan ini telah memungkinkan Soeharto
menjadi Presiden Republik Indonesia selama enam periode, karena pada masa
Orde Baru presiden dipilih oleh anggota MPR. Selain itu setiap

pertanggungjawaban, rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari
pemerintah selalu mendapat persetujuan MPR dan DPR tanpa catatan.

5. Peran Ganda (Dwi Fungsi) ABRI
Untuk menciptakan stabilitas politik, pemerintah Orde Baru memberikan peran
ganda kepada ABRI, yaitu peran Hankam dan sosial. Peran ganda ABRI ini
kemudian terkenal dengan sebutan Dwi Fungsi ABRI. Timbulnya pemberian peran
ganda pada ABRI karena adanya pemikiran bahwa TNI adalah tentara pejuang dan
pejuang tentara. Kedudukan TNI dan POLRI dalam pemerintahan adalah sama. di
MPR dan DPR mereka mendapat jatah kursi dengan cara pengangkatan tanpa
melalui Pemilu. Pertimbangan pengangkatan anggota MPR/DPR dari ABRI
didasarkan pada fungsinya sebagai stabilitator dan dinamisator.Peran dinamisator
sebanarnya telah diperankan ABRI sejak zaman Perang Kemerdekaan. Waktu itu
Jenderal Soedirman telah melakukannya dengan meneruskan perjuangan,
walaupun pimpinan pemerintahan telah ditahan Belanda. Demikian juga halnya yang
dilakukanSoeharto ketika menyelamatkan bangsa dari perpecahan setelah G 30 S
PKI, yangmelahirkankan Orde Baru.
Boleh dikatakan peran dinamisator telah menempatkan ABRI pada posisiyang
terhormat dalam percaturan politik bangsa selama ini.


6. Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)
Pada tanggal 12 April 1976 Presiden Soeharto mengemukakan gagasan
mengenai pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila, yang terkenal
dengan nama Ekaprasatya Pancakarsa atau Pedomanan Pengahayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4). Untuk mendukung pelaksanaan Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen, maka sejak tahun 1978
pemerintah menyelenggarakan penataran P4 secara menyeluruh pada semua
lapisan masyarakat. Penataran P4 ini bertujuan membentuk pemahaman yang sama
mengenai demokrasi Pancasila, sehingga dengan adanya pemahaman yang sama
terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 diharapkan persatuan dan

kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut opini
rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru.
Dan sejak tahun 1985 pemerintah menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal dan
kehidupan berorganisasi. Semua bentuk organisasi tidak boleh menggunakan
asasnya selain Pancasila. Menolak Pancasila sebagai sebagai asas tunggal
merupakan pengkhianatan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan
demikian Penataran P4 merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi, dan Pancasila
menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial
masyarakat Indonesia. Pancasila merupakan prestasi tertinggi Orde Baru, dan oleh

karenanya maka semua prestasi lainnya dikaitkan dengan nama Pancasila. Mulai
dari sistem ekonomi Pancasila, pers Pancasila, hubungan industri Pancasila,
demokrasi Pancasila, dan sebagainya. Dan Pancasila dianggap memiliki kesakralan
(kesaktian) yang tidak boleh diperdebatkan.

B. Penataan Politik Luar Negeri
Pada masa Orde Baru politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif kembali
dipulihkan. Dan MPR mengeluarkan sejumlah ketetapan yang menjadi landasan
politik luar negeri Indonesia. Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia harus
didasarkan kepada kepentingannasional, seperti pembangunan nasional,
kemakmuran rakyat, kebenaran, serta keadilan.

1. Kembali menjadi anggota PBB
Pada tanggal 28 Desember 1966 Indonesia kembali menjadi anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Keputusan untuk kembali menjadi anggota
PBB dikarenakan pemerintah sadar bahwa banyak manfaat yang diperoleh
Indonesia selama menjadi anggota pada tahun 1955-1964. . Kembalinya Indonesia
menjadi anggota PBB disambut baik oleh negara-negara Asia lainnya bahkan oleh
PBB sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan dipilihnya Adam Malik sebagai Ketua Majelis
Umum PBB untuk masa siding tahun 1974. Dan Indonesia juga

memulihkanhubungan dengan sejumlah negara seperti India, Thailand, Australia,
dan negara-negara lainnya yang sempat renggang akibat politik konfrontasi Orde
Lama.

2. Normalisasi Hubungan dengan Negara lain
 Pemulihan Hubungan dengan Singapura
Dengan perantaraan Dubes Pakistan untuk Myanmar, Habibur Rachman,
hubungan Indonesia dengan Singapura berhasil dipulihkan kembali. Pada tanggal 2
Juni 1966 pemerintah Indonesia menyampaikan nota pengakuan atas Republik
Singapura kepada Perdana Menteri Lee Kuan Yew. Dan pemerintah Singapura
menyampaikan nota jawaban kesediaan untuk mengadakan hubungan diplomatik
dengan Indonesia.
 Pemulihan Hubungan dengan Malaysia
Penandatanganan persetujuan normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia.
Normalisasi hubungan Indonesia dengan Malaysia dimulai dengan diadakannya
perundingan di Bangkok pada 29 Mei- 1 Juni 1966 yang menghasilkan Perjanjian
Bangkok. Isi perjanjian tersebut adalah:




Rakyat Sabah diberi kesempatan menegaskan kembali keputusan yang telah
merekaambil mengenai kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.



Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan diplomatik.



Tindakan permusuhan antara kedua belah pihak akan dihentikan.

Dan pada tanggal 11 Agustus 1966 penandatangan persetujuan pemulihan
hubungan Indonesia-Malaysia ditandatangani di Jakarta oleh Adam Malik
(Indonesia) dan Tun Abdul Razak (Malaysia).

Pembekuan Hubungan dengan RRC
Pada tanggal 1 Oktober 1967 Pemerintantah Republik Indonesia membekukan
hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Cina (RRC). Keputusan tersebut
dilakukan karena RRC telah mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dengan
cara memberikan bantuan kepada G 30 S PKI baik untuk persiapan, pelaksanaan,
maupun sesudah terjadinya pemberontakan tersebut. Selain itu pemerintah
Indonesia merasa kecewa dengan tindakan teror yang dilakukan orang-orang Cina
terhadap gedung, harta, dan anggota-anggota Keduataan Besar Republik Indonesia
di Peking. Pemerintah RRC juga telah memberikan perlindungan kepada tokohtokoh G 30 S PKI di luar negeri, serta secara terang-terangan menyokong
bangkitnya kembali PKI. Melalui media massanya RRC telah melakukan kampanye
menyerang Orde Baru. Dan pada 30 Oktober 1967 Pemerintah Indonesia secara
resmi menutup Kedutaan Besar di Peking