Taro Sea Wall sebagai Mitigasi Struktura
PL 3001 Aspek Kebencanaan dalam Perencanaan
Taro Sea Wall sebagai Mitigasi Struktural Bencana Tsunami dan
Kegagalannya dalam Membendung The Great East Japan Tsunami 2011
Muhammad Rizki Rayani Ramadani - 15415028
PENDAHULUAN
Jepang merupakan salah satu negara dengan risiko bencana gempa terbesar di dunia. Negara
ini terletak pada daerah “ring of fire” yang terbentuk akibat pertemuan empat lempeng besar tektonik
dunia; lempeng Pasifik dan Filipina di bagian Timur serta lempeng Amerika Utara dan Eurasia di
bagian Barat. Risiko bencana tektonik Jepang terbentuk akibat bergeraknya lempeng Pasifik dan
Filipina ke arah Barat; mensubduksi ke arah bawah, dan mendesak kedua lempeng lainnya. Tekanan
yang dihasilkan oleh pergerakan ini sangat kuat yang kemudian mengakibatkan besarnya probabilitas
kejadian gempa, utamanya pada pantai Timur Jepang sebagai zona subduksi lempeng tektonik
tersebut.
Gambar I. Pertemuan Lempeng-Lempeng Tektonik di Jepang
Sumber : Courtesy of Dr Walter Hays, Global Alliance for Disaster Reduction
Berdasarkan hasil riset Japan National Seismic Hazard Maps untuk risiko bencana gempa
oleh Japan’s Headquarters for Earthquake Research Promotion pada tahun 2017, seluruh wilayah
Jepang dinyatakan sebagai wilayah rawan bencana gempa dengan intensitas tinggi. Hasil pemetaan ini
menunjukkan bahwa bagian Timur Pantai (The Great East) Jepang merupakan kawasan dengan
tingkat risiko sangat tinggi. Dengan probabilitas terjadinya aktivitas tektonik di dasar laut Jepang
yang tinggi, kawasan ini pun turut dinyatakan memiliki risiko bencana tsunami. Berdasarkan catatan
historis, bencana tsunami telah sering terjadi pada kawasan The Great East dengan catatan terbesar
terakhir terjadi pada tahun 2011 dimana gempa berkekuatan 9 skala richter menyebabkan tsunami
yang mampu menenggelamkan 561 km2 luas negara Jepang. Bencana ini dikenal sebagai The Great
East Japan Disaster.
Gambar II. Peta Probabilitas Risiko Gempa di Jepang Hingga Tahun 2047
Sumber : Japan’s Headquarters for Earthquake Research Promotion
Dengan berbagai pengalaman bencana historis, Jepang telah sadar akan tingkat risiko bencana
gempa maupun tsunami. Sehingga dalam merespon kondisi tersebut dan sebagai upaya
memertahankan kehidupan, dilakukanlah intervensi berupa berbagai upaya mitigasi, baik struktural
maupun non struktural. Prioritas mitigasi utamanya dilaksanakan pada pesisir timur Pantai Jepang
(The Great East) sebagai kawasan risiko bencana sangat tinggi yang diwujudkan melalui strategi
pembangunan infrastruktur. Salah satu implementasinya ialah Taro Sea Wall yang utamanya
dibangun untuk melindungi Kota Taro. Berdasarkan pendahuluan ini, akan diuraikan karakteristik
Taro Sea Wall sebagai salah satu bentuk upaya mitigasi struktural bencana tsunami di pesisir timur
Pantai Jepang, khususnya bagi Kota Taro, Prefektur Iwate.
PEMBAHASAN
Latar Belakang Pembangunan Taro Sea Wall
Taro Sea wall merupakan bentuk mitigasi bencana tsunami guna memberikan perlindungan
bagi Wilayah Tohoku, utamanya Prefektur Iwate dan Kota Taro. Prefektur Iwate terletak pada bagian
paling kiri Pulau Honshu sebagai pulau utama Jepang yang berbatasan secara langsung dengan laut
Pasifik di sebelah Timur. Dengan kondisi geografis ini, Prefektur Iwate memiliki tingkat risiko
bencana tsunami yang sangat tinggi. Sebelum the great east disaster, Prefektur Iwate telah beberapa
kali terpapar bencana tsunami, beberapa diantaranya yakni pada tahun 1896 yang menewaskan 1800
korban jiwa dan tahun 1933 dengan korban 911 jiwa. Belajar dari pengalaman tersebut, Jepang
sebagai negara dengan perkembangan teknologi dan teknik yang sangat pesat mencari cara untuk
membentuk suatu sistem yang mampu menghalau gelombang tsunami. Hingga diputuskan lah untuk
membangun sebuah sistem sea wall dengan bentuk struktur X disertai pembendung ke arah darat dan
laut setelah proses konsiderasi yang mendalam. Sea wall ini dibangun dari tanah yang dipadatkan dan
dilapisi beton dengan ketinggian 10 meter yang mampu menghalau gelombang tsunami setinggi 8
meter serta bentuk strukturnya yang mampu memecah gelombang tersebut ke arah samping dengan
dukungan kanal dan tanggul sungai.
Gambar III. Taro’s Great Wall pada The Great East Tsunami Tahun 2011
Sumber : http://www.kunstkritikk.no
Pembangunan Taro sea wall bukan hanya ditujukan sebagai penghalau gelombang tsunami,
melainkan juga untuk menghalau gelombang akibat angin typhoon. Pembangunan sea wall ini
dilaksanakan secara hati-hati dan selesai dalam jangka waktu 30 tahun hingga 1958. Selama bertahuntahun sea wall ini terbukti efektif dalam menahan tsunami kecil dan arus gelombang laut akibat
typhoon. Sistem mitigasi ini bahkan turut diterapkan di Chile dan berhasil menghalau tsunami pada
gempa Valdivia 1960. Kondisi ini lah yang menyebabkan kepercayaan masyarakat lokal terhadap sea
wall ini sangat tinggi hingga dijuluki sebagai Taro’s Great Wall.
Kegagalan Taro Sea Wall Pada The Great East Tsunami 2011
Mitigasi bencana struktural Taro sea wall nyatanya gagal berfungsi membendung gelombang
tsunami pada peristiwa The Great East Japan Tsunami, tepatnya pada 11 Maret 2011 silam. Pada
kejadian tersebut, terjadi gempa dengan intensitas 9,0 skala richter di pesisir timur laut Jepang (Laut
Pasifik), berjarak 130 km dari pusat gempa menuju Kota Taro, Prefektur Iwate yang kemudian
mengakibatkan bencana tsunami. Kegagalan taro sea wall ini disebabkan oleh tiga faktor utama;
pertama, kesalahan peringatan dini; kedua, struktur yang lemah relatif terhadap kekuatan tsunami; dan
terakhir, kurangnya ketinggian sea wall untuk membendung gelombang tsunami yang terjadi.
Kesalahan peringatan terjadi akibat kurang tepatnya estimasi tinggi gelombang yang akan
datang yakni setinggi 8 meter. Mayoritas masyarakat merasa aman dan percaya diri bahwa sea wall
yang ada mampu membendung gelombang tersebut dan tidak melakukan evakuasi. Nyatanya, tinggi
gelombang yang datang mencapai 28,7 meter sehingga tentunya sea wall terebut tidak mampu
menghadang gelombang yang datang. Akibatnya, gelombang tersebut mampu menyapu sejauh 40 mil
dari lepas pantai. Faktor lain dari kegagalan sea wall ini adalah lemahnya struktur relatif terhadap
kekuataan gempa dan tsunami. Guncangan gempa dengan magnitudo sebesar 9.0 skala richter
mengakibatkan penurunan kemampuan tanah dalam menahan beban diatasnya. Dengan energi
hantaman tsunami sebesar 1,9 x 1017 Joule (setara dengan 600 juta kali bom Hiroshima), beberapa
bagian dinding sea wall tidak mampu menahan energi tersebut, mengakibatkan bagian sea wall
selebar 500 meter runtuh dan ikut tersapu oleh gelombang tsunami.
Gambar IV. Taro’s Great Wall pada The Great East Tsunami Tahun 2011
Sumber : http://www.kunstkritikk.no
The Great East Tsunami merupakan bencana tsunami terparah yang pernah dialami Jepang
setelah Perang Dunia ke-2. Korban jiwa meninggal total dari bencana ini diestimasi sebanyak kurang
lebih 15.894 jiwa (Badan Keamanan Jepang, 2015). Dengan tiga prefektur terdampak paling parah,
baik dari korban meninggal dan hilang serta bangunan yang hancur, yakni Prefektur Miyagi,
Fukushima, dan Iwate sebagai ketiga prefektur yang paling dekat dengan titik pusat gempa (The
United Nations Environmental Programme (UNEP)). Kegagalan sea wall dalam membendung
gelombang tsunami ini turut mengakibatkan konsiderasi ulang oleh pemerintah Jepang dalam
penggunaan teknologi sea wall. Hal ini disebabkan pada The Great East Tsunami, air laut yang
melewati sea wall setinggi 10 meter terperangkap dalam struktur dalam waktu yang lama,
menenggelamkan banyak korban jiwa dan rumah masyarakat yang ada di dalamnya.
Gambar V. Terperangkapnya Air Laut dalam Struktur Sea Wall
Sumber : https://resultanengineering.wordpress.com/tag/sea-wall/
KESIMPULAN
Berdasarkan pengalaman The Great East Tsunami dan Taro Sea Wall sebagai mitigasi
struktural seperti yang telah dipaparkan, mitigasi non-struktural merupakan hal yang sangat penting
untuk dilaksanakan utamanya pada daerah dengan tingkat risiko bencana tinggi. Seperti halnya Jepang
yang meninjau ulang sistem pelaksanaan mitigasi. Peringatan dini harus dilaksanakan secara prima
dan se-teliti mungkin sebab akan sangat berpengaruh terhadap pengambilan keputusan sebagai respon
bencana selanjutnya. Konsep mitigasi harus memerhatikan perencanaan guna lahan daripada konsepsi
countermeasure. Konsepsi countermeasure mengandalkan keberadaan struktur rigid yakni sea wall
sebagai pemecah gelombang yang kemudian berganti orientasi dengan tsunami mitigation, land use
planning mitigation, konsepsi ini mengedepankan tata ruang dengan membagi-bagi kawasan terancam
tsunami tanpa menghilangkan penggunaan infrastruktur sea wall. Dengan teknologi yang mumpuni,
kawasan berpotensi terpapar tsunami dapat dideteksi dan dibagi menjadi dua level yakni daerah
terdampak tsunami dengan siklus 50 hingga 150 tahun; serta periode siklus 500 hingga 1000 tahun
yang dikenal sebagai supercycle. Berdasarkan zonasi inilah, kegiatan dan pembangunan daerah pesisir
diatur sedemikian rupa agar potensi kerusakan dan kerugian tsunami dapat diminimalisir. Selain itu,
pelaksanaan mitigasi bencana harus dilaksanakan secara partisipatif agar seluruh masyarakat
memahami sistem mitigasi bencana yang ada dan mampu memaknai pentingnya evakuasi diri.
Belajar dari pengalaman The Great East Tsunami ini pula, Jepang sebagai negara dengan
tingkat risiko bencana tsunami yang tinggi mengembangkan sistem peringatan dini yang paling
mutakhir. Pelatihan kedaruratan bukan hanya diselenggarakan oleh pemerintah namun juga secara
partisipatif oleh organisasi umum dan swasta. Infrastruktur bencana pun telah dikembangkan
termasuk sensor pendeteksi risiko bencana yang tersebar di seluruh bagian kepulauan. Selain itu,
dilakukan revisi building code di seluruh level pemerintahan dengan penyertaan kebutuhan spesifik
dan pengecekan wajib secara rutin. Menurut The United Nations Environmental Programme,
pemerintah Jepang sendiri telah memersiapkan beberapa langkah penting yakni;
1.
Merancang bangunan-bangunan yang tahan gempa. Ini sebagai langkah antisipasi awal apabila
terjadi gempa yang muncul sewaktu-waktu.
2.
Merencanakan aturan mengenai pemeliharaan lingkungan, seperti perlindungan hutan di pesisir
samudera dan perlindungan awal gelombang tsunami (dengan menempatkan batu-batu pemecah
ombak ditepian laut untuk mengurangi dampak tsunami). Poin kedua ini juga berperan sebagai
langkah pencegahan terhadap gelombang tsunami yang bisa datang seiring gempa.
3.
Mengembangkan sistem peringatan dini bencana alam (disaster-early warning system). Ini
dimaksudkan agar semua pihak, mulai dari gugus tugas siaga bencana (disaster task force unit)
supaya bisa merespon dengan cepat, serta masyarakat yang berpotensi mengalami dampak bencana
agar segera mempersiapkan diri untuk berlindung di tempat yang sudah dipersiapkan.
4.
Mendirikan area perlindungan (shelter) bagi korban terdampak bencana alam.
5.
Memberikan pelatihan rutin kepada masyarakat sebagai respon cepat atas bencana alam yang bisa
datang kapan saja.
6.
Mengembangkan secara terus-menerus sistem tanggap darurat bencana agar mampu bekerja secara
efektif.
7.
Pelaksanaan latihan evakuasi bencana secara rutin.
Referensi (diakses Senin, 30 Oktober 2017)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Nateghi, Roshanak. 2016. Statistical Analysis of the Effectiveness of Seawalls and Coastal Forests in
Mitigating Tsunami Impacts in Iwate and Miyagi Prefectures
http://www.aljazeera.com/news/asia-pacific/2011/03/2011311105046675615.html
https://www.usatoday.com/story/news/world/2016/03/08/5-years-later-japan-still-struggles-recovertsunami-disaster/81431884/
https://id.linkedin.com/pulse/perbedaan-tingkat-kerusakan-tsunami-di-jepang-fudai-syaeful-rohman
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4980023/
https://www.japantimes.co.jp/news/2015/11/29/national/tsunami-fears-haunt-residents-recoveringiwate-town/#.WfYH_FuCzIU
https://www.nbcnews.com/news/world/japanese-tsunami-survivors-fight-plans-mammoth-seawallsn148166\
https://resultanengineering.wordpress.com/tag/sea-wall/
http://www.nytimes.com/2011/04/02/world/asia/02wall.html
10. https://drrindonesia.co.id/kenapa-jepang-menjadi-nomor-satu-dalam-kesiagaan-bencana/
11. http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/10/10/mbnmqa-belajar-manajemenpenanganan-bencana-dari-jepang
Taro Sea Wall sebagai Mitigasi Struktural Bencana Tsunami dan
Kegagalannya dalam Membendung The Great East Japan Tsunami 2011
Muhammad Rizki Rayani Ramadani - 15415028
PENDAHULUAN
Jepang merupakan salah satu negara dengan risiko bencana gempa terbesar di dunia. Negara
ini terletak pada daerah “ring of fire” yang terbentuk akibat pertemuan empat lempeng besar tektonik
dunia; lempeng Pasifik dan Filipina di bagian Timur serta lempeng Amerika Utara dan Eurasia di
bagian Barat. Risiko bencana tektonik Jepang terbentuk akibat bergeraknya lempeng Pasifik dan
Filipina ke arah Barat; mensubduksi ke arah bawah, dan mendesak kedua lempeng lainnya. Tekanan
yang dihasilkan oleh pergerakan ini sangat kuat yang kemudian mengakibatkan besarnya probabilitas
kejadian gempa, utamanya pada pantai Timur Jepang sebagai zona subduksi lempeng tektonik
tersebut.
Gambar I. Pertemuan Lempeng-Lempeng Tektonik di Jepang
Sumber : Courtesy of Dr Walter Hays, Global Alliance for Disaster Reduction
Berdasarkan hasil riset Japan National Seismic Hazard Maps untuk risiko bencana gempa
oleh Japan’s Headquarters for Earthquake Research Promotion pada tahun 2017, seluruh wilayah
Jepang dinyatakan sebagai wilayah rawan bencana gempa dengan intensitas tinggi. Hasil pemetaan ini
menunjukkan bahwa bagian Timur Pantai (The Great East) Jepang merupakan kawasan dengan
tingkat risiko sangat tinggi. Dengan probabilitas terjadinya aktivitas tektonik di dasar laut Jepang
yang tinggi, kawasan ini pun turut dinyatakan memiliki risiko bencana tsunami. Berdasarkan catatan
historis, bencana tsunami telah sering terjadi pada kawasan The Great East dengan catatan terbesar
terakhir terjadi pada tahun 2011 dimana gempa berkekuatan 9 skala richter menyebabkan tsunami
yang mampu menenggelamkan 561 km2 luas negara Jepang. Bencana ini dikenal sebagai The Great
East Japan Disaster.
Gambar II. Peta Probabilitas Risiko Gempa di Jepang Hingga Tahun 2047
Sumber : Japan’s Headquarters for Earthquake Research Promotion
Dengan berbagai pengalaman bencana historis, Jepang telah sadar akan tingkat risiko bencana
gempa maupun tsunami. Sehingga dalam merespon kondisi tersebut dan sebagai upaya
memertahankan kehidupan, dilakukanlah intervensi berupa berbagai upaya mitigasi, baik struktural
maupun non struktural. Prioritas mitigasi utamanya dilaksanakan pada pesisir timur Pantai Jepang
(The Great East) sebagai kawasan risiko bencana sangat tinggi yang diwujudkan melalui strategi
pembangunan infrastruktur. Salah satu implementasinya ialah Taro Sea Wall yang utamanya
dibangun untuk melindungi Kota Taro. Berdasarkan pendahuluan ini, akan diuraikan karakteristik
Taro Sea Wall sebagai salah satu bentuk upaya mitigasi struktural bencana tsunami di pesisir timur
Pantai Jepang, khususnya bagi Kota Taro, Prefektur Iwate.
PEMBAHASAN
Latar Belakang Pembangunan Taro Sea Wall
Taro Sea wall merupakan bentuk mitigasi bencana tsunami guna memberikan perlindungan
bagi Wilayah Tohoku, utamanya Prefektur Iwate dan Kota Taro. Prefektur Iwate terletak pada bagian
paling kiri Pulau Honshu sebagai pulau utama Jepang yang berbatasan secara langsung dengan laut
Pasifik di sebelah Timur. Dengan kondisi geografis ini, Prefektur Iwate memiliki tingkat risiko
bencana tsunami yang sangat tinggi. Sebelum the great east disaster, Prefektur Iwate telah beberapa
kali terpapar bencana tsunami, beberapa diantaranya yakni pada tahun 1896 yang menewaskan 1800
korban jiwa dan tahun 1933 dengan korban 911 jiwa. Belajar dari pengalaman tersebut, Jepang
sebagai negara dengan perkembangan teknologi dan teknik yang sangat pesat mencari cara untuk
membentuk suatu sistem yang mampu menghalau gelombang tsunami. Hingga diputuskan lah untuk
membangun sebuah sistem sea wall dengan bentuk struktur X disertai pembendung ke arah darat dan
laut setelah proses konsiderasi yang mendalam. Sea wall ini dibangun dari tanah yang dipadatkan dan
dilapisi beton dengan ketinggian 10 meter yang mampu menghalau gelombang tsunami setinggi 8
meter serta bentuk strukturnya yang mampu memecah gelombang tersebut ke arah samping dengan
dukungan kanal dan tanggul sungai.
Gambar III. Taro’s Great Wall pada The Great East Tsunami Tahun 2011
Sumber : http://www.kunstkritikk.no
Pembangunan Taro sea wall bukan hanya ditujukan sebagai penghalau gelombang tsunami,
melainkan juga untuk menghalau gelombang akibat angin typhoon. Pembangunan sea wall ini
dilaksanakan secara hati-hati dan selesai dalam jangka waktu 30 tahun hingga 1958. Selama bertahuntahun sea wall ini terbukti efektif dalam menahan tsunami kecil dan arus gelombang laut akibat
typhoon. Sistem mitigasi ini bahkan turut diterapkan di Chile dan berhasil menghalau tsunami pada
gempa Valdivia 1960. Kondisi ini lah yang menyebabkan kepercayaan masyarakat lokal terhadap sea
wall ini sangat tinggi hingga dijuluki sebagai Taro’s Great Wall.
Kegagalan Taro Sea Wall Pada The Great East Tsunami 2011
Mitigasi bencana struktural Taro sea wall nyatanya gagal berfungsi membendung gelombang
tsunami pada peristiwa The Great East Japan Tsunami, tepatnya pada 11 Maret 2011 silam. Pada
kejadian tersebut, terjadi gempa dengan intensitas 9,0 skala richter di pesisir timur laut Jepang (Laut
Pasifik), berjarak 130 km dari pusat gempa menuju Kota Taro, Prefektur Iwate yang kemudian
mengakibatkan bencana tsunami. Kegagalan taro sea wall ini disebabkan oleh tiga faktor utama;
pertama, kesalahan peringatan dini; kedua, struktur yang lemah relatif terhadap kekuatan tsunami; dan
terakhir, kurangnya ketinggian sea wall untuk membendung gelombang tsunami yang terjadi.
Kesalahan peringatan terjadi akibat kurang tepatnya estimasi tinggi gelombang yang akan
datang yakni setinggi 8 meter. Mayoritas masyarakat merasa aman dan percaya diri bahwa sea wall
yang ada mampu membendung gelombang tersebut dan tidak melakukan evakuasi. Nyatanya, tinggi
gelombang yang datang mencapai 28,7 meter sehingga tentunya sea wall terebut tidak mampu
menghadang gelombang yang datang. Akibatnya, gelombang tersebut mampu menyapu sejauh 40 mil
dari lepas pantai. Faktor lain dari kegagalan sea wall ini adalah lemahnya struktur relatif terhadap
kekuataan gempa dan tsunami. Guncangan gempa dengan magnitudo sebesar 9.0 skala richter
mengakibatkan penurunan kemampuan tanah dalam menahan beban diatasnya. Dengan energi
hantaman tsunami sebesar 1,9 x 1017 Joule (setara dengan 600 juta kali bom Hiroshima), beberapa
bagian dinding sea wall tidak mampu menahan energi tersebut, mengakibatkan bagian sea wall
selebar 500 meter runtuh dan ikut tersapu oleh gelombang tsunami.
Gambar IV. Taro’s Great Wall pada The Great East Tsunami Tahun 2011
Sumber : http://www.kunstkritikk.no
The Great East Tsunami merupakan bencana tsunami terparah yang pernah dialami Jepang
setelah Perang Dunia ke-2. Korban jiwa meninggal total dari bencana ini diestimasi sebanyak kurang
lebih 15.894 jiwa (Badan Keamanan Jepang, 2015). Dengan tiga prefektur terdampak paling parah,
baik dari korban meninggal dan hilang serta bangunan yang hancur, yakni Prefektur Miyagi,
Fukushima, dan Iwate sebagai ketiga prefektur yang paling dekat dengan titik pusat gempa (The
United Nations Environmental Programme (UNEP)). Kegagalan sea wall dalam membendung
gelombang tsunami ini turut mengakibatkan konsiderasi ulang oleh pemerintah Jepang dalam
penggunaan teknologi sea wall. Hal ini disebabkan pada The Great East Tsunami, air laut yang
melewati sea wall setinggi 10 meter terperangkap dalam struktur dalam waktu yang lama,
menenggelamkan banyak korban jiwa dan rumah masyarakat yang ada di dalamnya.
Gambar V. Terperangkapnya Air Laut dalam Struktur Sea Wall
Sumber : https://resultanengineering.wordpress.com/tag/sea-wall/
KESIMPULAN
Berdasarkan pengalaman The Great East Tsunami dan Taro Sea Wall sebagai mitigasi
struktural seperti yang telah dipaparkan, mitigasi non-struktural merupakan hal yang sangat penting
untuk dilaksanakan utamanya pada daerah dengan tingkat risiko bencana tinggi. Seperti halnya Jepang
yang meninjau ulang sistem pelaksanaan mitigasi. Peringatan dini harus dilaksanakan secara prima
dan se-teliti mungkin sebab akan sangat berpengaruh terhadap pengambilan keputusan sebagai respon
bencana selanjutnya. Konsep mitigasi harus memerhatikan perencanaan guna lahan daripada konsepsi
countermeasure. Konsepsi countermeasure mengandalkan keberadaan struktur rigid yakni sea wall
sebagai pemecah gelombang yang kemudian berganti orientasi dengan tsunami mitigation, land use
planning mitigation, konsepsi ini mengedepankan tata ruang dengan membagi-bagi kawasan terancam
tsunami tanpa menghilangkan penggunaan infrastruktur sea wall. Dengan teknologi yang mumpuni,
kawasan berpotensi terpapar tsunami dapat dideteksi dan dibagi menjadi dua level yakni daerah
terdampak tsunami dengan siklus 50 hingga 150 tahun; serta periode siklus 500 hingga 1000 tahun
yang dikenal sebagai supercycle. Berdasarkan zonasi inilah, kegiatan dan pembangunan daerah pesisir
diatur sedemikian rupa agar potensi kerusakan dan kerugian tsunami dapat diminimalisir. Selain itu,
pelaksanaan mitigasi bencana harus dilaksanakan secara partisipatif agar seluruh masyarakat
memahami sistem mitigasi bencana yang ada dan mampu memaknai pentingnya evakuasi diri.
Belajar dari pengalaman The Great East Tsunami ini pula, Jepang sebagai negara dengan
tingkat risiko bencana tsunami yang tinggi mengembangkan sistem peringatan dini yang paling
mutakhir. Pelatihan kedaruratan bukan hanya diselenggarakan oleh pemerintah namun juga secara
partisipatif oleh organisasi umum dan swasta. Infrastruktur bencana pun telah dikembangkan
termasuk sensor pendeteksi risiko bencana yang tersebar di seluruh bagian kepulauan. Selain itu,
dilakukan revisi building code di seluruh level pemerintahan dengan penyertaan kebutuhan spesifik
dan pengecekan wajib secara rutin. Menurut The United Nations Environmental Programme,
pemerintah Jepang sendiri telah memersiapkan beberapa langkah penting yakni;
1.
Merancang bangunan-bangunan yang tahan gempa. Ini sebagai langkah antisipasi awal apabila
terjadi gempa yang muncul sewaktu-waktu.
2.
Merencanakan aturan mengenai pemeliharaan lingkungan, seperti perlindungan hutan di pesisir
samudera dan perlindungan awal gelombang tsunami (dengan menempatkan batu-batu pemecah
ombak ditepian laut untuk mengurangi dampak tsunami). Poin kedua ini juga berperan sebagai
langkah pencegahan terhadap gelombang tsunami yang bisa datang seiring gempa.
3.
Mengembangkan sistem peringatan dini bencana alam (disaster-early warning system). Ini
dimaksudkan agar semua pihak, mulai dari gugus tugas siaga bencana (disaster task force unit)
supaya bisa merespon dengan cepat, serta masyarakat yang berpotensi mengalami dampak bencana
agar segera mempersiapkan diri untuk berlindung di tempat yang sudah dipersiapkan.
4.
Mendirikan area perlindungan (shelter) bagi korban terdampak bencana alam.
5.
Memberikan pelatihan rutin kepada masyarakat sebagai respon cepat atas bencana alam yang bisa
datang kapan saja.
6.
Mengembangkan secara terus-menerus sistem tanggap darurat bencana agar mampu bekerja secara
efektif.
7.
Pelaksanaan latihan evakuasi bencana secara rutin.
Referensi (diakses Senin, 30 Oktober 2017)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Nateghi, Roshanak. 2016. Statistical Analysis of the Effectiveness of Seawalls and Coastal Forests in
Mitigating Tsunami Impacts in Iwate and Miyagi Prefectures
http://www.aljazeera.com/news/asia-pacific/2011/03/2011311105046675615.html
https://www.usatoday.com/story/news/world/2016/03/08/5-years-later-japan-still-struggles-recovertsunami-disaster/81431884/
https://id.linkedin.com/pulse/perbedaan-tingkat-kerusakan-tsunami-di-jepang-fudai-syaeful-rohman
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4980023/
https://www.japantimes.co.jp/news/2015/11/29/national/tsunami-fears-haunt-residents-recoveringiwate-town/#.WfYH_FuCzIU
https://www.nbcnews.com/news/world/japanese-tsunami-survivors-fight-plans-mammoth-seawallsn148166\
https://resultanengineering.wordpress.com/tag/sea-wall/
http://www.nytimes.com/2011/04/02/world/asia/02wall.html
10. https://drrindonesia.co.id/kenapa-jepang-menjadi-nomor-satu-dalam-kesiagaan-bencana/
11. http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/10/10/mbnmqa-belajar-manajemenpenanganan-bencana-dari-jepang