Apa itu Typography Tipografi Indonesia

Apa itu Typography? (Tipografi

Typography yang berasal dari kata YunaniTypos = bentuk dan graphein = menulis yang
merupakan seni dan teknik mengatur huruf menggunakan gabungan bentuk huruf
cetak, ukuran huruf, ketebalan garis, spasi antar huruf, garis pandu dan jarak antar
baris.

Pengertian tipografi menurut buku Manuale Typographicum adalah :
Typography can defined a art of selected right type printing in accordance with specific
purpose ; of so arranging the letter, distributing the space and controlling the type as to
aid maximum the reader's.
Dari pengertian diatas, memberikan penjelasan bahwa tipografi merupakan seni
memilih dan menata huruf dengan pengaturan penyebarannya pada ruang-ruang yang
tersedia, untuk menciptakan kesan khusus, sehingga akan menolong pembaca untuk
mendapatkan kenyamanan membaca semaksimal mungkin.
Sebagai bagian dari kebudayaa manusia, huruf tak pernah lepas dari kehidupan
keseharian. Hampir setiap bangsa di dunia menggunakannya sebagai sarana
komunikasi. Sejarah perkembangan tipografi dimulai dari penggunaan pictograph.
Bentuk bahasa ini antara lain dipergunakan oleh bangsa Viking Norwegia dan Indian
Sioux. Di Mesir berkembang jenis huruf Hieratia, yang terkenal dengan nama
Hieroglyphe pada sekitar abad 1300 SM. Bentuk tipografi ini merupakan akar dari

bentuk Demotia, yang mulai ditulis dengan menggunakan pena khusus.

Bentuk tipografi tersebut akhirnya berkembang sampai di Kreta, lalu menjalar ke Yunani
dan akhirnya menyebar keseluruh Eropa. Puncak perkembangan tipografi, terjadi
kurang lebih pada abad ke-8 SM di Roma saat orang Romawi mulai membentuk
kekuasaannya. Karena bangsa Romawi tidak memiliki sistem tulisan sendiri, mereka
mempelajari sistem tulisan Etruska yang merupakan penduduk asli Italia serta
menyempurnakannya sehingga terbentuk huruf-huruf Romawi.
Perkembangan tipgrafi saat ini mengalami perkembangan dari fase penciptaan dengan
tangan (hand drawn) hingga mengalami komputerisasi. Fase komputerisasi membuat
penggunaan tipografi menjadi lebih mudah dan dalam waktu yang lebih cepat dengan
jenis pilihan huruf yang ratusan jumlahnya. Berikut ini beberapa jenis huruf berdasarkan
klasifikasi yang dilakukan oleh James Craig, antara lain sbb :
1. Roman
Ciri dari huruf ini adalah memiliki sirip/kaki/serif yang berbentuk lancip pada ujungnya.
Huruf Roman memiliki ketebalan dan ketipisan yang kontras pada garis-garis hurufnya.
Kesan yang ditimbulkan adalah klasik, anggun, lemah gemulai dan feminin.
2. Egyptian
Adalah jenis huruf yang memiliki ciri kaki/sirip/serif yang berbentuk persegi seperti
papan dengan ketebalan yang sama atau hampir sama. Kesan yang ditimbulakn adalah

kokh, kuat, kekar dan stabil.
3. Sans Serif
Pengertian San Serif adalah tanpa sirip/serif, jadi huruf jenis ini tidak memiliki sirip pada
ujung hurufnya dan memiliki ketebalan huruf yang sama atau hampir sama. Kesan yang
ditimbulkan oleh huruf jenis ini adalah modern, kontemporer dan efisien.
4. Script
Huruf Script menyerupai goresan tangan yang dikerjakan dengan pena, kuas atau
pensil tajam dan biasanya miring ke kanan. Kesan yang ditimbulkannya adalah sifast
pribadi dan akrab.
5. Miscellaneous
Huruf jenis ini merupakan pengembangan dari bentuk-bentuk yang sudah ada.
Ditambah hiasan dan ornamen, atau garis-garis dekoratif. Kesan yang dimiliki adalah
dekoratif dan ornamental.

Tips membuat tipografi lebih menarik dan mudah dibaca :

Tipografi merupakan unsur penting di dalam desain, karena tipografi adalah inti.
Tipografi adalah salah satu elemen yang menyampaikan isi dan maksud dari sebuah
karya desain. Tidak jarang, desain yang efektif adalah desain yang hanya
menggunakan tipografi yang baik tanpa menggunakan elemen visual sama sekali.

Sebegitu pentingnya peran tipografi pada desain yang kita hasilkan, jadi biarpun desain
visual kita “wah”, tetapi kalau tipografi nya tidak mudah di baca dan susah di mengerti,
maka desain tersebut termasuk gagal. Untuk menghindari itu, berikut 6 tips dasar untuk
membuat tipografi lebih menarik, nyaman dan mudah terbaca.

1. Kerning
Kerning adalah jarak antar huruf. Dan ini merupakan favorit saya, kalau sudah bingung
bagaimana membuat judul/kalimat tertentu menjadi lebih menarik, saya biasanya
mendempetkan kerning pada judul/kalimat tersebut.
Namun harap di perhatikan, jangan sampai terlalu mendempetkan kerning karena
hasilnya judul/tulisan akan susah terbaca dan terasa ‘penuh’. Jadi, gunakanlah teknik
ini secukupnya.

2. Pemilihan font
Pemakaian jenis font yang tepat dapat membantu desain menjadi lebih menyatu dan
lebih cepat mengkomunikasikan maksud dari desain. Misalnya, pada desain brosur
kecantikan, kita tidak mungkin menggunakan font yang ‘keras’, berbentuk kaku dan
tebal. Akan lebih tepat jika kita menggunakan font yang tipis dan luwes, sesuai dengan
kepribadian target market yang di tuju, yaitu wanita.
Jenis font bisa di ibaratkan jenis ‘suara’ yang berbicara pada desain. Font dengan gaya

tebal akan terasa seperti suara laki-laki dan bersuara berat. Font berbentuk kaku dan
kotak-kotak, akan terasa seperti robot atau mesin yang berbicara, dan seterusnya.
Masing-masing jenis font mempunyai jenis suara tersendiri.

3. Berat dan Ukuran
Kita bisa memainkan berat (tebal tipis) dan ukuran (besar kecil) font, untuk memberikan
emphasis (elemen mana yang akan di baca atau di tampilkan terlebih dahulu).
Sehingga secara tidak langsung pembaca akan di tuntun sesuai dengan flow yang kita
mau.

Cara ini juga untuk mencegah pembaca pusing akan bagian mana yang seharusnya di
lihat terlebih dahulu. Salah urutan dalam membaca akan mengakibatkan informasi yang
kita sebarkan susah di mengerti.

4. Leading
Leading adalah jarak spasi antara kalimat atas dan bawah dalam satu paragraf.
Biasanya elemen ini jarang di utak-atik oleh kebanyakan desainer. Padahal leading
yang di atur dengan baik akan membuat pembaca tidak merasa lelah jika mereka
membaca suatu artikel yang panjang.
Jarak yang di hasilkan jika kita memainkan leading akan memberikan kesan ruang

kosong (whitespace). Yang tentu saja membuat mata tidak cepat lelah saat melihat teks
yang begitu banyak.

5. Warna
Warna pada font biasanya di sesuaikan dengan background. Jika background berwarna
(foto) maka lebih baik menggunakan 1 warna font yang netral (putih misalnya). Yang
pasti harus menghasilkan kontras yang cukup, sehingga tetap nyaman di baca dan
tidak ‘menusuk’ mata.
Teman-teman desainer kebanyakan pasti menyukai warna background hitam, namun
masalahnya kalau di website, kombinasi background hitam dan teks putih itu akan
menghasilkan ‘efek negatif film’ pada mata saat kita selesai membaca.
Akan lebih baik jika warna background di buat tetap gelap, namun tidak hitam 100%,
dan berikan warna abu-abu muda pada font. Dengan begitu maka mata tidak akan
terlalu lelah dan ‘efek negatif film’ tidak akan ada lagi.

6. Lebar Paragraph
Hal ini sangat penting, karena sangat mempengaruhi kenyamanan membaca. Coba
bayangkan paragraf yang lebar di halaman website dengan artikel yang panjang. Kita
sampai harus perlu memutar kepala sedikit (dari kiri ke kanan) untuk membaca artikel
tersebut. Saya jamin kita hanya akan bertahan 1-2 paragraf saja!

Idealnya paragraf tidak terlalu lebar (dan tidak terlalu pendek), harus di sesuaikan
dengan besar font juga. Untuk ini memang kita harus mencoba langsung membaca
paragraf yang kita desain untuk menemukan lebar yang ideal. Jika kita masih
menggerakan kepala lumayan sering, itu artinya kita harus mengatur kembali lebar
paragraf tersebut.

Alfabet Latin atau Alfabet Romawi adalah alfabet yang pertama kalinya dipakai oleh
orang Romawi untuk menuliskan bahasa Latin kira-kira sejak abad ke-7 Sebelum
Masehi. Mereka belajar menulis dari orang-orang Etruria, sedangkan orang Etruria
belajar dari orang Yunani. Alfabet Etruska merupakan adapatasi dari alfabet Yunani.
Menurut hipotesis, semua aksara alfabetis tersebut berasal dari abjad Fenisia, dan
abjad Fenisia berasal dari hieroglif Mesir.
Pada saat ini alfabet Latin adalah aksara yang paling banyak dipakai di dunia untuk
menuliskan berbagai bahasa. Beberapa negara mengadopsi dan memodifkasi
alfabet Latin sesuai dengan fonologi bahasa mereka, karena tidak semua fonem
dapat dilambangkan dengan huruf Latin. Beberapa usaha modifkasi tersebut
antara lain dengan menambahkan huruf baru (contoh: J, Wi, penambahan diakritik
(contoh: Ñ, Üi, penggabungan huruf/ligatur (modifkasi bentuk, contoh: ß, Æ, Œi.
Beberapa negara mengatur penggunaan dwihuruf dalam bahasa resmi mereka,
yang melambangkan suatu fonem yang tidak dapat dilambangkan oleh alfabet

Latin, misalnya “Th” (untuk bunyi /θ/ dan /ð/i, “Ng” atau “Nk” (untuk bunyi /ŋ/i,
“Sch” atau “Sh” (untuk bunyi /ʃ/i, “Ph” (untuk bunyi /ɸ/ dan /f/i.
Sejarahnya
Dipercaya bahwa bangsa Romawi Kuno mengadopsi sebuah varian dari alfabet
Yunani di Cumae, sebuah koloni bangsa Yunani di Italia Selatan, pada abad ke-7 SM.
(Gaius Julius Hyginus dalam Fab. 277 menyebutkan legenda bahwa Carmenta,
seorang sibila Kimmeri, menyerap lima belas huruf Yunani menjadi alfabet Latin,
yang diperkenalkan lewat Latium oleh putranya, Evander, sekitar 60 tahun sebelum
perang Troya, namun tidak ada jejak sejarah mengenai kisah ini.i Alfabet Yunani
Kuno sendiri pada mulanya berasal dari abjad Fenisia. Dari alfabet Yunani di Cumae,
terciptalah alfabet Etruska dan selanjutnya bangsa Romawi mengadopsi 21 huruf
dari 26 huruf dalam alfabet Etruska, sebagai berikut:

Huruf ⟨C⟩ adalah varian bentuk gama di Yunani Barat, namun sama-sama dipakai
untuk melambangkan bunyi /ɡ/ dan /k/, kemungkinan karena pengaruh bahasa
Etruska, yang kurang memiliki konsonan plosif. Kemudian, sekitar abad ke-3 SM,
huruf ⟨Z⟩ — yang tidak diperlukan untuk menuliskan bahasa Latin yang lazim —
digantikan oleh huruf ⟨G⟩ yang baru, berasal dari bentuk ⟨C⟩ yang telah dimodifkasi

dengan menambahkan garis vertikal kecil. Sejak saat itu, ⟨G⟩ melambangkan

bunyi /ɡ/ (konsonan plosif bersuarai, sementara ⟨C⟩ melambangkan /k/ (konsonan
plosif nirsuarai. Huruf ⟨K⟩ amat jarang digunakan, misalnya dalam beberapa kata
seperti Kalendae, seringkali ejaannya tergantikan oleh ⟨C⟩.
Setelah penaklukkan Yunani oleh Romawi pada abad pertama SM, alfabet Latin
memungut (atau mengadopsi kembalii huruf Yunani ⟨Y⟩ dan ⟨Z⟩ untuk menuliskan
kata serapan dari bahasa Yunani, sehingga ditempatkan di akhir susunan alfabet.
Sebuah usaha oleh Kaisar Claudius yang memperkenalkan tiga huruf tambahan
tidak berhasil. Maka dari itu pada masa klasiknya, alfabet Latin hanya mengandung
23 huruf:
Beberapa nama huruf tersebut dalam bahasa Latin masih diragukan.
Bagaimanapun, umumnya bangsa Romawi tidak menggunakan nama-nama
tradisional seperti dalam alfabet Yunani (yang pada dasarnya diturunkan dari
rumpun abjad Semitik: Fenisia, Ibrani, Suryani, Arabi. Untuk huruf-huruf yang
melambangkan konsonan plosif (B, C, G, dsb.i, bangsa Romawi menambahkan
bunyi vokal /eː/ dalam penamaannya (kecuali ⟨K⟩ dan ⟨Q⟩, yang memerlukan vokal
berbeda agar dapat dibedakan dengan ⟨C⟩i dan nama-nama untuk huruf yang
melambangkan konsonan malaran dapat memakai bunyi lugas atau konsonan yang
diawali dengan bunyi /e/. Huruf ⟨Y⟩ saat diperkenalkan mungkin disebut “hy” /hyː/
seperti dalam bahasa Yunani, sementara nama upsilon masih belum digunakan,
namun kemudian diubah menjadi “i Graeca” (huruf I Yunanii karena penutur bahasa

Latin kesulitan membedakan bunyi vokal /y/ dengan /i/. ⟨Z⟩ diberi nama sesuai
namanya dalam bahasa Yunani, zeta.
Huruf kursif Romawi Kuno, juga disebut huruf kursif kapital, adalah bentuk tulisan
tangan sehari-hari, yang digunakan untuk keperluan bisnis bagi para pedagang,
untuk pembelajaran alfabet Latin bagi para anak-anak, dan untuk menuliskan titah
oleh Kaisar Romawi. Gaya penulisan yang lebih resmi berdasarkan pada Capitalis
Monumentalis, sementara huruf kursif digunakan untuk penulisan yang lebih cepat
dan informal. Huruf ini lazim digunakan sejak sekitar abad pertama SM hingga ke-3
M, namun mungkin kemunculannya lebih awal daripada masa tersebut. Huruf ini
merupakan dasar bagi huruf Unsial, suatu jenis huruf kapital yang digunakan pada
abad ke-3 hingga ke-8 M oleh para juru tulis Latin dan Yunani.
Huruf kursif Romawi Baru, juga dikenali sebagai huruf kursif kecil, digunakan sejak
abad ke-3 hingga ke-7 M, dan menggunakan bentuk huruf yang lebih mudah
dikenali di masa kini; ⟨a⟩, ⟨b⟩, ⟨d⟩, dan ⟨e⟩ mengambil bentuk yang lebih familier,
dan huruf lainnya proporsional antara satu sama lain. Huruf ini berkembang hingga
Abad Pertengahan sebagai aksara Merovingian dan Carolingian.
A
A adalah huruf pertama dalam alfabet Latin. Dalam bahasa Inggris huruf ini dibaca
[eɪː]; bentuk jamaknya aes.[1] Huruf ini berasal dari huruf Yunani Α (alfai dan sering
digunakan sebagai lambang vokal depan terbuka tak bulat. A juga sering digunakan

sebagai indikasi sesuatu yang bermakna “awal” atau “terbaik”.
Berdasarkan sejarahnya. Huruf A dapat ditelusuri ke sebuah piktogram kepala

seekor sapi jantan dalam hieroglif Mesir atau abjad Proto-Sinaitik.[2] Sekitar tahun
1600 SM huruf dalam abjad Fenisia mempunyai bentuk linear yang menjadi dasar
bagi bentuk-bentuk berikutnya. Namanya tampaknya sangat erat berkaitan dengan
alef dalam abjad Ibrani.
Ketika bangsa Yunani kuno mengadopsi abjad, mereka tidak menggunakan
konsonan celah suara (bunyi hamzahi yang dikandung huruf ini dalam bahasa
Fenisia dan bahasa-bahasa Semit lainnya, karena itu mereka menggunakan tanda
ini untuk vokal /a/, dan mempertahankan namanya dengan perubahan kecil (alfai.
Dalam prasasti-prasasti Yunani yang paling awal setelah Zaman Kekelaman Yunani,
yang terjadi pada abad ke-8 SM, huruf ini dituliskan terbaring, tetapi dalam alfabet
Yunani berikutnya, huruf ini pada umumnya mirip dengan huruf besar A modern,
meskipun berbagai variasi setempat dapat dibedakan dengan memperpendek salah
satu kakinya, atau dengan sudut tempat garis melintang diletakkan.
Bangsa Etruska membawa alfabet Yunani ke dalam peradaban mereka di Jazirah
Italia dan membiarkan huruf ini tidak berubah. Kemudian orang-orang Romawi
mengadopsi alfabet Etruska untuk menulis bahasa Latin, dan huruf yang dihasilkan
kemudian dilestarikan dalam alfabet Latin modern yang digunakan untuk menulis

banyak bahasa, termasuk bahasa Inggris.
Dalam bahasa Inggris, “a” biasanya melambangkan bunyi vokal depan hampir
terbuka takbulat (IPA: /æ/; seperti pada kata padi, vokal belakang terbuka takbulat
(IPA: /ɑː/; seperti pada kata fatheri, atau diftong /eɪ/ seperti pada kata ace dan
major, karena efek Pergeseran Vokal Besar-besaran.
Pada kebanyakan bahasa yang menggunakan sistem alfabet Latin, “a”
melambangkan bunyi vokal depan terbuka takbulat (/a/i. Dalam Alfabet Fonetik
Internasional, variasi huruf “a” mengindikasikan berbagai vokal yang berbeda-beda
pula. Dalam sistem X-SAMPA, huruf besar “A” menandakan vokal belakang terbuka
takbulat dan huruf kecil “a” menandakan vokal depan terbuka takbulat.
“A” adalah huruf ketiga yang paling sering digunakan dalam bahasa Inggris, dan
yang kedua terbanyak digunakan dalam bahasa Spanyol dan Perancis. Dalam suatu
studi, rata-rata, sekitar 3.68% huruf yang digunakan dalam bahasa Inggris
cenderung kepada ‹a›, sedangkan angka 6.22% untuk bahasa Spanyol dan 3.95%
untuk bahasa Perancis.[3]
“A” seringkali digunakan untuk menunjukkan sesuatu atau seseorang dengan
kualitas atau status yang lebih baik dan bergengsi: A-, A atau A+, hasil terbaik yang
diberikan oleh guru/dosen kepada tugas siswa/mahasiswa; nilai A untuk restoran
yang bersih, dsb.
B
B adalah huruf kedua dalam alfabet Latin. Dalam bahasa Latin dan bahasa lain pada
umumnya (termasuk bahasa Indonesiai, huruf ini biasanya melambangkan
konsonan dwibibir, khususnya fonem [b], konsonan letup dwibibir bersuara.
Berdasarkan sejarahnya. ‹B› berasal dari sebuah piktogram denah sebuah rumah
dalam aksara hieroglif Mesir atau aksara Proto-Sinaitik. Sekitar tahun 1050 SM,
huruf itu dikembangkan dalam abjad Fenisia menjadi bentuk linear dan bernama
beth.
Dalam kebanyakan bahasa yang memakai alfabet Latin, huruf B menandakan
konsonan letup dwibibir brsuara (/b/i. Dalam bahasa Estonia, Islandia, dan juga

transkripsi bahasa Tionghoa, B tidak bersuara, tetapi masih dibedakan dari huruf P,
yang dipanjangkan menjadi /pp/ dalam bahasa Estonia, dan dihembuskan pula
menjadi /pʰ/ dalam bahasa Tionghoa dan Islandia. Dalam bahasa Fiji, B
dipranasalisasi menjadi /mb/, sementara dalam bahasa Zulu dan bahasa Xhosa
menjadi konsonan letup-balik /ɓ/, berbanding dwihuruf Bh yang melambangkan /b/.
Bahasa Finlandia hanya memakai huruf b untuk kata pinjaman.
Dalam huruf IPA dan X-SAMPA, huruf /b/ menandakan konsonan letup dwibibir
bersuara. Adanya bentuk variasi huruf b yang menandakan konsonan dwibir
berkaitan, seperti konsonan letup-balik dwibibir bersuara dan konsonan getar
dwibibir. Dalam X-SAMPA, huruf besar B menandakan konsonan desis dwibibir
bersuara.
C
C adalah huruf ketiga dalam alfabet Latin. Dalam bahasa Indonesia, huruf ini
disebut ce sedangkan dalam bahasa Inggris disebut cee, dibaca [siː].[1] Dalam
bahasa Latin, huruf ini melambang fonem /k/, konsonan letup langit-langit belakang
tak bersuara, sedangkan dalam bahasa Indonesia dan Melayu huruf ini
melambangkan fonem /tʃ/, konsonan gesek pascarongga-gigi tak bersuara.
Berdasarkan sejarahnya. ‹C› dan ‹G› berasal dari huruf yang sama. Bangsa Semit
menamakannya gimel (Arab: jimi. Lambangnya diadaptasi dari hieroglif Mesir yang
berbentuk umban tongkat, yang mungkin merupakan arti dari nama gimel itu
sendiri. Kemungkinan lainnya adalah lambang itu menggambarkan unta, yang
dalam rumpun bahasa Semit disebut gamal.
Dalam Bahasa Etruska, konsonan letup (eksplosifi tidak mempunyai penyuaraan
kontrastif, jadi huruf Yunani Γ (Gammai diadaptasi ke dalam alfabet Etruska untuk
mewakili fonem /k/. Pun dalam Alfabet Yunani Barat, mulanya Gamma mengambil
bentuk dalam alfabet Etruska Awal, kemudian dalam Etruska Klasik. Selanjutnya
dalam bahasa Latin huruf itu mengambil bentuk C pada alfabet Latin klasik. Huruf
Latin Awal menggunakan C untuk konsonan /k/ dan /ɡ/, tetapi selama abad ketiga
SM, satu huruf yang diubah, telah diperkenalkan sebagai lambang bunyi /ɡ/, dan C
sendiri ditetapkan untuk melambangkan bunyi /k/. Penggunaan huruf C (dan
variasinya yaitu Gi menggantikan sebagian besar penggunaan K dan Q. Oleh
karena itu, pada masa kuno dan sesudahnya, G telah dikenal setara secara fonetik
dengan Gamma, dan C sama dengan Kappa, dalam alih aksara kata-kata Yunani ke
dalam ejaan Latin, seperti pada kata KA∆MOΣ, KYPOΣ, ΦΩKIΣ, dalam surat-surat
Romawi ditulis CADMVS, CYRVS, PHOCIS.
Aksara lain mempunyai huruf-huruf mirip dengan bentuk C tetapi tidak sama dalam
penggunaan dan asal mulanya, khususnya huruf Sirilik Es, yang berasal dari suatu
bentuk huruf Yunani sigma, dikenali sebagai “lunar sigma” karena bentuknya
menyerupai bulan sabit.
Ketika alfabet Romawi diperkenalkan di Britania Raya, C hanya melambangkan
bunyi /k/ dan nilai huruf ini dipertahankan dalam kata serapan seluruh bahasa Keltik
kepulauan: dalam bahasa Welsh, Irlandia, dan Gaelik, C melambangkan bunyi /k/.
Penulisan bahasa Inggris Kuna atau “Anglo-Saxon” yang dipelajari dari bangsa Kelt,
sesungguhnya dari Irlandia; maka dari itu C dalam bahasa Inggris Kuna juga pada
mulanya melambangkan /k/; kata dalam bahasa Inggris Modern seperti kin, break,
broken, thick, dan seek, semuanya berasal dari bahasa Inggris Kuna yang ditulis

dengan C: cyn, brecan, brocen, Þicc, dan séoc. Tetapi selama periode bahasa
Inggris Kuna, /k/ sebelum vokal depan (/e/ dan /i/i mengalami palatalisasi, berubah
menjadi bunyi [tʃ] pada abad kesepuluh, meskipun C masih digunakan, seperti pada
kata cir(iice, wrecc(eia. Sementara itu di daratan benua Eropa, perubahan fonetik
serupa juga terjadi (contohnya dalam bahasa Italiai.
Dalam bahasa Latin Rakyat, /k/ dipalatalisasi menjadi [tʃ] di Italia and Dalmatia; di
Perancis dan semenanjung Iberia, bunyinya menjadi [ts]. Meskipun demikian C
masih digunakan sebelum vokal depan (E, Ii dengan nilai bunyi yang berbeda.
Kemudian, fonem /kʷ/ dalam bahasa Latin (ditulis sebagai QVi tidak terbibirkan
sehingga menjadi bunyi /k/, berarti bahasa-bahasa Roman mengandung bunyi /k/
sebelum vokal depan. Di samping itu, bahasa Normandia menggunakan huruf
Yunani K sehingga bunyi /k/ dapat dilambangkan oleh K maupun C, yang kemudian
dapat melambangkan bunyi /k/ maupun /ts/ tergantung apakah mendahului vokal
depan atau tidak. Kaidah menggunakan C dan K diterapkan pada penulisan bahasa
Inggris setelah penaklukan Normandia, mengakibatkan pengejaan kembali katakata Inggris Kuna. Sementara ejaan kata candel, clif, corn, crop, cú, dalam bahsa
Inggris Kuna masih lestari, Cent, cæ´ (cé´ i, cyng, brece, séoce, sekrang (tanpa
perubahan bunyii dieja Kent, keȝ, kyng, breke, dan seoke; bahkan kemudian cniht
(knighti diubah menjadi kniht dan þic (thicki diubah thik atau thikk. Ejaan cw dalam
Inggris Kuna teragntikan oleh qu dari bahasa Perancis sehingga kata cwén dan cwic
menjadi queen dan quick.
Bunyi [tʃ] yang merupakan palatalisasi bunyi /k/ Inggris Kuna telah berkembang,
juga muncul dalam bahasa Perancis, terutama seperti aturan /k/ sebelum ‹a› dalam
bahasa Latin. Dalam bahasa Perancis bunyi itu ditulis Ch, seperti pada kata champ
(dari bahasa Latin camp-umi dan pengejaan ini diperkenalkan ke dalam bahasa
Inggris. Dalam Injil Hatton, ditulis sekitar tahun 1160, tertulis pada Matius i-iii, child,
chyld, riche, mychel, untuk kata cild, rice, mycel, dari versi Inggris Kuna yang
disalin. Dalam hal ini, C dalam bahasa Inggris Kuno tergantikan oleh K, Qu, Ch,
tetapi selain itu, C dengan nilai bunyi baru yaitu /ts/ sebagian besar datang dari
kata-kata Perancis seperti processiun, emperice, grace, dan disubtitusikan untuk
ejaan Ts dalam beberapa kata-kata Inggris Kuno, seperti miltse, bletsien, dan milce,
blecien dalam bahasa Inggris Pertengahan.
Cetakan kisah drama tragedi Romeo dan Juliet pada tahun 1597 (abad ke-16i,
dengan ejaan yang menyerupai ejaan bahasa Inggris masa kini. Huruf C digunakan
di tengah dan awal kata dengan nilai bunyi berbeda. Tidak ditemukan penggunaan
huruf J karena digantikan oleh huruf I, demikian pula huruf V karena digantikan oleh
huruf U, variasi huruf V.
Pada akhir abad ke-13 di Perancis dan Inggris, bunyi (konsonan geseki /ts/ tidak
tergesekkan sehingga menjadi bunyi /s/ (desisi; dan semenjak itu C melambangkan
bunyi /s/ sebelum vokal depan, baik secara etimologis, seperti pada lance, cent,
atau (bertentangan dengan etimologii untuk menghindari ambigu karena
penggunaan “etimologis” S untuk bunyi /z/, seperti pada kata ace, mice, once,
pence, defence. Maka untuk menunjukkan etimologi, ejaan bahasa Inggris lebih
memilih penulisan advise, devise, daripada advize, devize, sementara advice,
device, dice, ice, mice, twice, dan lain-lain tidak mencerminkan etimologi; contoh
lebih lanjut adalah hence, pence, defence, dsb., yang tidak mengandung keperluan
etimologis terhadap huruf C. Generasi sebelumnya juga menulis sence untuk kata

sense. Maka dari itu, di masa kini rumpun bahasa Roman dan bahasa Inggris
memiliki ciri umum yang diwarisi dari bahasa Latin Rakyat, yaitu C yang memiliki
nilai bunyi “keras” ([k]i dan “lembut” (biasanya konsonan afrikat atau frikatifi
tergantung vokal yang mengikutinya.
Dalam ortogaf bahasa Inggris, Perancis, Spanyol dan Portugis, C menandakan nilai
“lembut” sebelum E atau I, dan selain itu melambangkan nilai “keras” dari bunyi /k/.
Seperti beberapa hal lainnya yang bertentangan dengan ejaan bahasa Inggris,
terdapat pula beberapa pengecualian: “soccer” dan “Celt” adalah kata-kata yang
mengandung bunyi /k/.
Pelafalan nilai “lembut” berbeda-beda menurut bahasa. Dalam ortograf bahasa
Inggris, Perancis, Portugis, dan Spanyol di Amerika Latin dan Spanyol Selatan, nilai
bunyi C lembut adalah /s/. Dalam bahasa Spanyol yang dituturkan di Spanyol Utara
dan Tengah, nilai bunyi C lembut adalah konsonan desis gigi tak bersuara (/θ/i.
Dalam bahasa Italia dan Romania, nilai C lembut adalah [tʃ], konsonan gesek
pascarongga-gigi tak bersuara, seperti pelafalan C dalam bahasa Indonesia.
D
D adalah huruf keempat dalam alfabet Latin. Dalam bahasa Indonesia disebut de
(dibaca [ˈde]i, sedangkan dalam bahasa Inggris dan Melayu disebut dee (dibaca
[ˈdiː]i. Dalam bahasa Latin dan bahasa Indonesia, huruf ini melambangkan fonem
/d/, konsonan letup rongga-gigi bersuara.
Huruf Semitik Dâlet kemungkinan besar berkembang dari logogram yang bermakna
“ikan” atau “pintu”. Terdapat berbagai hieroglif Mesir yang mungkin
mengilhaminya. Dalam bahasa Semitik, Yunani Kuno, dan Latin, huruf ini
melambangkan konsonan /d/; dalam huruf Etruska pula huruf ini seolah-olah tidak
diperlukan, tetapi masih dilestarikan (lihat huruf Bi. Huruf Yunani yang setara
dengannya adalah: Δ (besari atau δ (kecili (Deltai.
Bentuk huruf kecil “d”, yang terdiri dari satu lekukan dan satu garis vertikal yang
tinggi, berkembang dari perubahan bervariasi pada bentuk huruf besar “D”. Dalam
penulisan pada zaman dahulu adalah suatu kelaziman untuk memulai lekukan pada
kiri garis vertikal, sehingga menghasilkan suatu serif di atas lekukan itu. Serif ini
disambung manakala bagian lain huruf ini dikurangi, menghasilkan suatu tangkai
bersudut dan lengkungan. Kemudian tangkai bersudut ini berubah menjadi tangkai
vertikal.
Dalam kebanyakan bahasa yang memakai alfabet Latin, huruf d melambangkan
bunyi /d/, tetapi dalam alfabet bahasa Vietnam, huruf ini dibaca /z/ di utara dan /j/
(seperti “y” dalam “ya”i di selatan.
Dalam bahasa Jerman, huruf d berbunyi /d/ (konsonan letup rongga-gigi bersuarai,
tetapi berubah menjadi /t/ (konsonan letup rongga-gigi tak bersuarai jika di akhir
kata.
Dalam bahasa Fiji, huruf ini melambangkan konsonan hambat pranasal /nd/.
Dalam beberapa bahasa yang mana konsonan hambat tak bersuara tanpa
hembusan berlawanan dengan konsonan hambat tak bersuara berhembusan, d
melambangkan /t/ tanpa hembusan, sementara t juga berbunyi /tʰ/ berhembusan.
Contoh-contoh bahasa berkenaan meliputi bahasa Islandia, bahasa Gaelik Scot,
bahasa Navajo, dan alih aksara pinyin untuk bahasa Mandarin.
Dalam angka Romawi, D memiliki nilai 500, berasal dari setengah ↀ (bernilai 1000;

tapi di kemudian hari, M dipakai sebagai lambang 1000i, sehingga D berarti 500
(angkai atau tahun 500.
E
E adalah huruf Latin yang kelima. Dalam bahasa Inggris, namanya dibaca [iː]. Huruf
E paling banyak digunakan dalam bahasa Inggris.[1] Huruf ini biasanya
melambangkan bunyi vokal tak bulat depan hampir tertutup.
Menurut sejarahnya E diperoleh dari huruf Yunani epsilon yang kira-kira identik
bentuknya (Ε, εi dan fungsinya. Menurut etimologi, huruf hê Semitik kemungkinan
melambangkan bentuk manusia yang bersembahyang atau bersorak (hillul,
‘kegembiraan’i, dan juga mungkin berdasarkan suatu hieroglif Mesir yang serupa
bentuknya tetapi berbeda bunyi dan kegunaannya. Dalam abjad Semitik, huruf ini
mewakili bunyi /h/ (dan /e/ dalam kata asingi, dalam bahasa Yunani hê menjadi
Εψιλον (Epsiloni yang mewakili bunyi /e/. Orang-orang Etruska dan Romawi Kuno
juga menggunakan huruf ini sedemikian, maka munculah huruf Romawi “E”.
Meskipun bahasa Inggris pertengahan menggunakan E sebagai lambang bunyi /e/
panjang dan pendek, oleh sebab Peralihan Vokal Besar-besaran, kegunaannya
dalam bahasa Inggris agak berbeda. Bunyi /eː/ (dalam “me” atau “bee”i menjadi
/iː/, sementara /e/ pendek (seperti bedi bertahan sebagai vokal madya.
Seperti huruf vokal Latin lainnya, ‹e› muncul dengan nilai bunyi yang panjang dan
pendek. Pada mulanya perbedaan terletak pada panjangnya vokal, namun
kemudian ‹e› pendek mewakili vokal /ɛ/. Dalam bahasa lainnya yang menggunakan
‹e›, huruf itu mewakili nilai bunyi yang berbeda-beda, kadangkala dengan tanda
aksen untuk menegaskan perbedaan pelafalan (‹e ê é è ë ē ĕ ě ẽ ė ẹ ę ẻ›i.
Dwihuruf dengan ‹e› sering ditemukan dalam berbagai bahasa untuk
melambangkan diftong dan monoftong, seperti ‹ea› atau ‹ee› untuk /iː/ atau /eɪ/
dalam bahasa Inggris; ‹ei› untuk /aɪ/ dalam bahasa Jerman; dan ‹eu› untuk /ø/
dalam bahasa Prancis, /ɔɪ/ dalam bahasa Jerman, /ɯ/ dalam bahasa Korea, /ɤ/
dalam bahasa Sunda.
Dalam ilmu pasti seperti fsika dan kimia, huruf E digunakan untuk melambangkan
tenaga (energyi, terutama dalam rumus “E=mc2.
F
F adalah huruf Latin ke-6. Namanya dalam bahasa Inggris, Indonesia, dan Melayu
adalah ef, dibaca [ɛf]. Huruf ini sering digunakan untuk menandai bunyi konsonan
desis bibir-gigi nirsuara.
Asal-usul huruf F bermula dari huruf Semitik vâv yang melambangkan bunyi /v/, dan
kemungkinan mulanya menggambarkan “kait” atau “gada”. Huruf vâv mungkin
juga terbentuk berdasarkan suatu hieroglif Mesir, yang menggambarkan “gada”:
Bentuk huruf Fenisia waw diserap ke dalam huruf Yunani sebagai huruf vokal,
upsilon (yang menyerupai keturunannya, huruf Y, tetapi juga menjadi leluhur hurufhuruf U, V, dan Wi; dan juga dalam satu bentuk lain, yaitu huruf konsonan digamma
yang menyerupai huruf F Romawi, tetapi diucapkan /w/ seperti dalam bahasa
Fenisia. Kemudian, fonem /w/ tersebut pudar dari bahasa Yunani, lalu fungsi
digamma sebagai angka saja.
Dalam bahasa Etruska, F juga diucapkan /w/. Pada akhirnya orang Etruska
mengemukakan satu inovasi yaitu menggunakan dwihuruf FH untuk bunyi /f/, dan

huruf F mewakili fonem /f/ saat orang Romawi menyerapnya (karena mereka sudah
meminjam huruf U dari huruf Yunani upsilon untuk bunyi /w/i. Huruf phi (Φ φi juga
menyamai bunyi /f/ dalam bahasa Yunani.
Huruf kecil f tidak boleh diidentikkan dengan huruf ſ, yaitu s panjang yang
digunakan pada zaman dahulu. Contohnya, “sinfulness” ditulis “ſinfulneſs” apabila
memakai huruf s panjang. Kegunaan huruf s panjang memudar menjelang akhir
abad ke-19, kemungkinan untuk menghindari kekeliruan dengan huruf f.
G
Huruf G atau g adalah huruf ke-7 dalam alfabet Latin. Dalam bahasa Indonesia dan
Melayu, huruf G mewakili konsonan letup langit-langit belakang bersuara (/ɡ/i.
Huruf G juga digunakan dalam dwihuruf “ng” untuk konsonan sengau langit-langit
belakang (/ŋ/i. Dalam bahasa Inggris, huruf G digunakan untuk konsonan letup
langit-langit belakang bersuara dan juga konsonan gesek pascarongga-gigi
bersuara (/dʒ/i.
Huruf G diperkenalkan pada zaman Latin Kuno sebagai suatu bentuk lain bagi huruf
C untuk membedakan konsonan langit-langit belakang bersuara (/ɡ/i dengan yang
tidak bersuara (/k/i.
Orang pertama yang diketahui menulis huruf G ialah Spurius Carvilius Ruga, orang
Romawi pertama yang membuka sekolah berbayar, dan mengajar sekitar 230 SM.
Ketika itu, huruf K makin kurang dipakai, sedangkan huruf C yang mulanya mewakili
bunyi /ɡ/ dan /k/ sebelum bunyi vokal terbuka, kemudian hanya mewakili bunyi /k/
dalam setiap kedudukan.
Penempatan G oleh Ruga menunjukkan bahwa susunan alfabet, yang berkaitan
dengan nilai huruf itu sebagai angka Yunani, menarik perhatian pada abad ke-3 SM.
Sampson (1985i berpendapat bahwa: “Jelas sekali bahwa susunan alfabet dirasakan
sebagai perihal yang begitu konkrit sehingga suatu huruf baru boleh ditambah di
tengah susunan hanya jika terdapat ‘ruangan’ setelah menggeser huruf yang
lama.”[1] Menurut beberapa catatan, huruf ketujuh sebelumnya, yaitu Z,
disingkirkan dari alfabet Latin pada awal abad ke-3 SM oleh seorang censor
Romawi, Appius Claudius, yang merasa huruf itu asing dan tidak penting.[2]
Tidak lama kemudian, kedua konsonan langit-langit belakang /k/ dan /ɡ/ mengalami
proses palatalisasi dan alofon sebelum vokal di depan; maka dari itu, huruf C dan G
mempunyai nilai bunyi berbeda dalam rumpun bahasa Roman, serta juga bahasa
Inggris (akibat pengaruh bahasa Perancisi.
Huruf g kecil mempunyai dua bentuk dasar yang berlainan: “g berekor terbuka” dan
“g berekor melingkar” .
Bahasa non-Roman biasanya menggunakan ‹g› untuk melambangkan bunyi /ɡ/
tanpa mempedulikan posisi. Di antara bahasa-bahasa Eropa, bahasa Belanda
adalah pengecualian karena tidak mengandung bunyi /ɡ/ dalam kosakata aslinya,
sebaliknya ‹g› melambangkan bunyi konsonan desis langit-langit belakang bersuara
(IPA: /ɣ/i, bunyi yang tidak ada dalam bahasa Inggris Modern. Bahasa Faroe
menggunakan ‹g› untuk melambangkan /dʒ/, selain /g/, dan juga menggunakannya
untuk mengindikasikan bunyi semivokal.
Nilai lembut dari pengucapan ‹g› berbeda-beda dalam rumpun bahasa Roman (/ʒ/
dalam bahasa Perancis dan Portugis; [(diʑ] dalam Katalan; /d͡ʒ/ dalam bahasa Italia
dan Romania; dan /x/ dalam bahasa Spanyol dialek Castilla, /h/ dalam dialek bahasa

Spanyol lainnyai. Dalam rumpun bahasa tersebut, kecuali Italia dan Romania,
pelafalan “G lembut” sama seperti pelafalan huruf J dalam bahasa bersangkutan.
Dalam bahasa Inggris, huruf G dapat melambangkan konsonan gesek pascaronggagigi bersuara (IPA: /dʒ/; “G lembut”i, seperti pada kata giant, ginger, dan geology;
atau konsonan letup langit-langit belakang bersuara (IPA: /ɡ/; “G keras”i, seperti
pada kata goose, gargoyle, dan game. Dalam beberapa kata yang berasal dari
bahasa Perancis, “G lembut” dilafalkan sebagai konsonan desis (/ʒ/i, seperti pada
kata rouge, beige, dan genre. Pada umumnya, ‹g› diucapkan lembut sebelum ‹e›,
‹i›, dan ‹y› pada kata-kata yang berasal dari bahasa Roman, selain itu
menggunakan “G keras”; ada banyak kosakata Inggris yang tidak berasal dari
bahasa Roman yang menggunakan “G keras” tanpa mengacuhkan posisi
(contohnya geti, dan tiga kata (gaol, margarine, algaei yang diucapkan lembut
sebelum huruf hidup ‹a›.
Beberapa dwihuruf yang mengandung G umum dijumpai dalam bahasa Inggris.
Dwihuruf ‹gh› yang muncul setelah penggunaan yogh dihapuskan dari alfabet,
mengambil nilai bunyi yang berbeda-beda meliputi /ɡ/, /ɣ/, /x/, dan /j/. Dwihuruf itu
kini mengandung banyak nilai bunyi, termasuk bunyi /f/ dalam kata enough, /ɡ/
dalam kata serapan seperti spaghetti, dan sebagai indikator pengucapan bunyi
panjang dalam ejaan kata-kata seperti eight dan night. ‹Gn› dengan nilai bunyi /nj/
juga umum terdapat dalam kata serapan, seperti kata lasagna (meskipun pada awal
kata, seperti gnome, huruf ‹g› tidak diucapkani.
Dalam bahasa Italia dan Romania, ‹gh› digunakan untuk melambangkan bunyi /ɡ/
sebelum vokal depan, selain ‹g› sebagai lambang bunyi lembut. Dalam bahasa Italia
dan Perancis, ‹gn› digunakan untuk melambangkan bunyi konsonan sengau langitlangit /ɲ/, bunyi yang dilambangkan oleh dwihuruf ‹ny› pada kata nyamuk dalam
bahasa Indonesia. Dalam bahasa Italia, trihuruf ‹gli›, saat ditulis sebelum huruf
hidup, konsonan hampiran-sisi langit-langit /ʎ/; dalam artikula tertentu dan kata
ganti gli (IPA: /ʎi/i, dwihuruf ‹gl› melambangkan bunyi yang sama.
Huruf G juga digunakan sebagai bahasa gaul untuk kata Gangster atau Gangsta,
biasanya digunaka pada frasa seperti My grand dad is a ‘G’ (kakekku seorang
Gangsteri.
Dalam kebanyakan bahasa, seperti bahasa Denmark, Filipino, Indonesia, Inggris,
Maori (Te Reo Māorii, Melayu, dan Vietnam, ‹g› dikombinasikan membentuk
dwihuruf ‹ng› agar melambangkan konsonan sengau langit-langit belakang /ŋ/ dan
dilafalkan seperti ‹ng› pada kata “tong”.
G juga digunakan dalam ilmu pasti. Dalam Fisika, G adalah simbol konstanta
gravitasi, sedangkan g adalah simbol percepatan gravitasi. G merupakan singkatan
dari prefks Giga yang berarti 1.000.000.000. Dalam Sistem Satuan Internasional, g
adalah singkatan dari unit massa: gram.
H
H adalah huruf ke-8 dalam alfabet Latin. Dalam bahasa Indonesia, huruf ini disebut
ha. Dalam bahasa Inggris, huruf ini disebut aitch (jamak: aitchesi, dibaca /ˈeɪtʃ/ atau
/ˈheɪtʃ/. Huruf ini biasanya melambangkan konsonan desis celah suara nirsuara.
Huruf Semitik ‫( ח‬ḥêṯi kemungkinan besar melambangkan konsonan desis hulu
kerongkongan tak bersuara (/ħ/i. Bentuk huruf ini mungkin berarti pagar. Alfabet
Yunani H awal berbunyi /h/, tetapi lama-kelamaan menjadi huruf vokal eta (Η, ηi

yang berbunyi /ɛː/ (dalam bahasa Yunani modern, fonem ini bergabung dengan /i/.i
Bahasa Etruska dan bahasa Latin pernah memiliki fonem /h/, namum hampir semua
rumpun bahasa Roman kehilangan bunyi itu. Kemudian bahasa Romania meminjam
fonem /h/ dari bahasa-bahasa Slavia di dekatnya, dan bahasa Spanyol
mengembangkan bunyi /h/ sekunder dari /f/ sebelum kehilangan bunyi itu lagi,
sementara beberapa dialek bahasa Spanyol memakai /h/ sebagai alofon /s/ di
beberapa wilayah yang memakai bahasa tersebut.
Dalam Alfabet Fonetik Internasional, simbol ini digunakan untuk mewakili dua
bunyi. Huruf kecilnya, [h], mewakili konsonan desis celah suara tak bersuara atau
‘berhembus’, dan huruf besar yang dikecilkan, [ʜ], melambangkan konsonan desis
katup napas tak bersuara.
H juga digunakan dalam ilmu pasti. Dalam kimia, H adalah simbol kimia untuk
Hidrogen. H adalah simbol konstanta Hubble (huruf besari dan
ketinggian/kedalaman (huruf kecili dalam fsika.
H juga merupakan singkatan dari unit induktansi dalam sistem Satuan
Internasional: henry.
I
Huruf I atau i adalah huruf ke-9 dalam alfabet Latin. I merupakan lambang angka 1
(satui atau tahun 1 dalam angka Romawi.
Dalam rumpun bahasa Semit, huruf Yôdh mungkin berasal dari suatu piktogram
untuk “lengan” dan “tangan”, berasal dari hieroglif serupa yang membawa nilai
konsonan desis hulu kerongkongan bersuara (/ʕ/i dalam bahasa Mesir, tetapi
dialihkan ke /j/ (seperti y pada kata “ya”i oleh orang-orang Semit, karena kata
Semit untuk “lengan” diawali dengan bunyi itu. Huruf ini juga boleh digunakan
untuk bunyi vokal /i/, terutama dalam kata asing.
Orang Yunani menerima suatu bentuk yodh Fenisia ini sebagai huruf iota (Ι, ιi
mereka untuk bunyi vokal /i/, begitu juga dalam alfabet Italik Kuno. Dalam bahasa
Latin (seperti dalam bahasa Yunani Moderni, huruf ini juga dipakai untuk bunyi
konsonan /j/. Huruf J modern mulanya merupakan bentuk variasi bagi huruf ini, dan
keduanya dapat digunakan bergantian untuk vokal dan konsonan, sehingga
akhirnya dibedakan pada abad ke-16.
Detail crucifx Yesus dengan tulisan INRI yang merupakan singkatan dari Iesus
Nazarenus Rex Iudaeorum. Huruf I dipakai sebagai lambang konsonan /j/ karena
huruf J maupun Y belum tercipta.
Dalam berbagai bahasa, huruf I biasanya melambangkan vokal depan tertutup
takbulat (/i/i. Pada mulanya dipakai untuk bunyi konsonan hampiran langit-langit
(simbol IPA: [j]; contohnya ejaan Latin Kuno untuk Yesus: Iesus atau Iesvs, karena
dulu huruf J dan U belum terciptai, tetapi kemudian bunyi /j/ dilambangkan oleh
huruf J dan Y.
Dalam bahasa Inggris modern, I melambangkan berbagai bunyi berbeda, terutama
diftong “panjang” /aɪ/ yang berkembang dari /iː/ bahasa Inggris Pertengahan
setelah Peralihan Vokal Besar-besaran pada abad ke-15, serta juga vokal “pendek”
terbuka /ɪ/ seperti pada kata bill. Titik pada atas ‘i’ kecil kadangkala dipanggil tittle.
Dalam alfabet Turki, I bertitik dan tanpa titik dianggap sebagai huruf yang berbeda
dan keduanya mempunyai bentuk huruf besar (I, İi dan kecil (ı, ii.
Beberapa jenis huruf Jerman seperti fraktur atau schwabacher, yang tak terpakai

lagi semenjak akhir Perang Dunia II, tidak terlalu membedakan bentuk huruf besar I
dan J. Karakter yang sama, sebuah ‘J’ dengan serif di atasnya berbentuk tilde,
kadangkala digunakan untuk keduanya, tetapi huruf kecil i dan j masih dibedakan.
Huruf I digunakan pula dalam ilmu pasti. I merupakan simbol kimia untuk Yodium
(Iodiumi. Dalam fsika, I adalah simbol arus listrik.
J
J adalah huruf kesepuluh dalam alfabet Latin, dan huruf terakhir yang ditambah
dalam kalangan 26 huruf. Namanya adalah je, dibaca [dʒeɪ].
J asalnya merupakan bentuk lain huruf I, sedangkan huruf I berasal dari huruf iota
Yunani. Bentuk huruf kecil j digunakan pada Abad Pertengahan untuk mengakhiri
angka Romawi menggantikan i. Penggunaan yang berbeda diawali dalam bahasa
Jerman Hulu Pertengahan.[1] Petrus Ramus (d. 1572i menjadi orang pertama yang
secara jelas membedakan I dan J sebagai lambang bunyi yang berbeda. Mulanya,
kedua huruf I dan J melambangkan /i/, /iː/, dan /j/; tetapi rumpun bahasa Roman
mengembangkan bunyi-bunyi baru (dari /j/ dan /g/i yang menjadi bunyi-bunyi
lambang I dan J; oleh itu, J bahasa Inggris (dari J Perancis, dan akhirnya dipakai
dalam Indonesiai agak berbeda bunyinya dari [j]*
Koin emas dari Italia (abad ke-15 Mi, bergambar Yohanes Pembaptis dengan tulisan
S Iohannes B di sekelilingnya. Huruf I digunakan karena pada masa itu huruf J
maupun Y belum tercipta.
Semua bahasa Jermanik kecuali Inggris, Skotlandia dan Luksemburg menggunakan J
untuk /j/; begitu juga dalam bahasa Albania, serta rumpun bahasa Ural dan Slavia
yang memakai alfabet Romawi, seperti bahasa Hongaria, Finlandia, Estonia,
Polandia, Ceko, dan Slowakia. Sebagian bahasa dalam rumpun ini, seperti bahasa
Serbia, turut menyerap J ke dalam abjad Sirilik untuk tujuan yang sama. Oleh
karena itulah, huruf kecilnya dipilih sebagai lambang fonetik IPA untuk [j]* (seperti
“y” dalam “ya”i.
Penggunaan J sebagai lambang konsonan gesek pascarongga-gigi (/dʒ/i terdapat
dalam bahasa Igbo, Indonesia, Melayu, Shona, Somali, Oromo dan Zulu. Bahasa
Inggris menggunakannya pada beberapa kata, misalnya kata jam (dibaca [d͡ʒæm]i.
Dalam bahasa Basque, diafonem yang dilambangkan oleh j dilafalkan berbeda-beda
menurut dialek: [j], [ʝ], [ɟ], [ʒ], [ʃ], [x] (yang terakhir umum digunakan di País
Vascoi.
Dalam bahasa Indonesia, J awalnya melambangkan /j/, konsonan hampiran langitlangit. Sejak tahun 1972, bunyi tersebut digantikan dengan Y dan huruf J digunakan
untuk melambangkan /dʒ/.
Dalam ejaan standar bahasa Italia modern, hanya kata dari bahasa Latin, nama diri
(seperti Jesi, Letojanni, Juventus, dsb.i atau kata dari bahasa asing yang memakai J.
Sampai abad ke-19, J cenderung digunakan daripada I dalam diftong, sebagai
pengganti akhiran -ii, dan dalam kelompok vokal (seperti pada kata Savojai; aturan
ini cukup ketat dalam pedoman ejaan resmi. J juga digunakan untuk menyerap
bunyi /j/ dalam dialek, misalnya ajo dalam bahasa Romanesque menjadi aglio
(–/ʎ/–i. Novelis Italia Luigi Pirandello menggunakan J pada kelompok vokal dalam
karya-karyanya yang ditulis dalam bahasa Italia; ia juga menulis bahasa ibunya,
bahasa Sicilia dengan tetap mempertahankan penggunaan J.
Dalam bahasa Spanyol, J melambangkan /x/ atau /h/ (yang berkembang dari

konsonan gesek /dʒ/i, serupa dengan bunyi “h” atau “kh” Indonesia.
Dalam bahasa Perancis, Portugis dan Rumania, huruf J mulanya berbunyi /dʒ/ tetapi
kini berubah menjadi /ʒ/ (seperti pada kata measure bahasa Inggrisi.
Dalam bahasa Turki, Azerbaijan dan Tatar, huruf J umumnya melambangkan bunyi /
ʒ/.
“J” ialah satu-satunya huruf yang tidak ditemukan dalam sistem periodik unsur
(namun Jl pernah digunakan untuk mewakili joliotium, dan J sendiri pernah dipakai
untuk yodium[2]i.
K
K adalah huruf ke-11 dalam alfabet Latin. Dalam bahasa Indonesia, namanya
disebut ka; dalam bahasa Inggris disebut kay, dibaca [ˈkɛɪ].
Huruf K berasal dari huruf Κ (kapai Yunani, yang diambil dari huruf kap dalam abjad
bahasa Semitik, yang berbentuk lambang tangan terbuka.[1] Huruf kap itu mungkin
dipinjam oleh kaum Semit yang tinggal di Mesir dari hieroglif bentuk “tangan” yang
melambangkan bunyi /d/ pada kata “tangan” dalam bahasa Mesir Kuno, yaitu d-r-t.
Orang Semit menetapkan bunyi /k/ untuk huruf ini karena kata “tangan” dalam
bahasa mereka diawali dengan bunyi tersebut.[2]
Pada prasasti kuno berbahasa Latin, huruf C, K dan Q dipakai untuk melambangkan
bunyi /k/ dan /g/ (yang tidak dibedakan dalam penulisani. Dalam hal ini, Q
digunakan untuk melambangkan /k/ atau /g/ sebelum vokal bulat, K sebelum /a/,
dan C selain itu. Kemudian, penggunaan C (dan G sebagai variannyai menggantikan
banyak penggunaan K dan Q. K tersisa hanya pada beberapa ejaan yang
ketinggalan zaman seperti Kalendae, ‘hari pertama tiap bulan’.[3]
Ketika kata-kata Yunani diserap ke dalam bahasa Latin, huruf Kapa diubah menjadi
C, dengan beberapa pengecualian seperti praenomen Kaeso.[1] Beberapa kata dari
alfabet lainnya juga dialihaksarakan menjadi C. Maka dari itu, rumpun bahasa
Roman hanya mengandung K pada kata-kata dari bahasa lain. Rumpun bahasa
Keltik juga cenderung menggunakan C daripada K, dan pengaruh tersebut terbawa
ke dalam bahasa Inggris Kuno. Di masa kini, bahasa Inggris adalah satu-satunya
bahasa dari rumpun bahasa Germanik yang giat menggunakan huruf C keras di
samping huruf K (walaupun bahasa Belanda juga memakai huruf C dalam kata
pinjaman bahasa Latin serta mengikuti hukum pembedaan “lembut keras” dalam
kata-kata tersebut, begitu pula bahasa Perancis dan Inggris, tetapi tidak bagi
kosakata Belanda aslii.
Beberapa ahli bahasa Inggris cenderung membalikkan proses alih aksara Latin bagi
kata-kata khas Yunani, misalnya mengeja Hecate menjadi “Hekate”. Penulisan
bahasa-bahasa yang tidak memiliki sistem tulisan sendiri sehingga menggunakan
alfabet Latin biasanya memilih K untuk bunyi /k/, seperti Kwakiutl.
Dalam Alfabet Fonetik Internasional, [k] merupakan lambang konsonan letup langitlangit belakang nirsuara.
Beberapa aksara lain juga menunjukkan aksara bersudut tajam yang menandakan
bunyi /k/ atau suku kata yang bermula dengan bunyi /k/, contohnya: ‫ ك‬Arab, ‫כ‬
Ibrani, dan ㄱ Korea. Hubungan fonetik-visual seperti ini pernah dikaji oleh Wolfgang
Köhler. Bagaimanapun, banyak juga contoh-contoh huruf berbunyi /k/, seperti ค
dalam aksara Thai dan Ք dalam alfabet Armenia.

L
L adalah huruf ke-12 dalam alfabet Latin. Huruf ini disebut el, dibaca [ɛl]. Huruf L
berasal dari bentuk huruf Semitik “tongkat” atau “kambing” yang mewakili bunyi /l/.
Ini mungkin berdasarkan hieroglif Mesir yang telah diadaptasi oleh orang Semit
untuk tujuan penulisan. Huruf Yunani Lambda Λ (huruf besari atau λ (huruf kecili,
yang juga merupakan huruf Etruska serta Latin, mewakili bunyi yang sama
sebagaimana huruf Semitik tersebut.
Dalam bahasa Inggris, L memiliki beberapa nilai, tergantung kemunculannya
sebelum atau setelah huruf hidup. Bunyi konsonan hampiran-sisi rongga-gigi (bunyi
yang dilambangkan oleh Alfabet Fonetik Internasional sebagai “L” kecili diucapkan
bila mendahului vokal, seperti pada kata lip atau please, sementara bunyi
hampiran-sisi rongga-gigi tervelarisasi (IPA: [ɫ]i dilafalkan pada kata bell dan milk.
Velarisasi ini tidak muncul pada banyak bahasa-bahasa Eropa yang menggunakan
L; itu juga merupakan faktor yang membuat pelafalan L menjadi sulit bagi
pengguna bahasa yang tidak memiliki, atau memiliki nilai bunyi berbeda, untuk L^,
eperti pada bahasa Jepang atau bahasa Tionghoa dialek selatan.
L dapat muncul sebelum hampir setiap bunyi letup, desis, atau gesek dalam bahasa
Inggris. Dwihuruf umum seperti LL, yang memiliki nilai sama seperti L dalam bahasa
Inggris, namun memiliki nilai berbeda yaitu konsonan desis-sisi ronga-gigi tak
bersuara (IPA: /ɬ/i dalam bahasa Welsh, yang muncul pada awal kata.
Bunyi hampiran-sisi langit-langit atau L palatal (IPA: /ʎ/i muncul dalam berbagai
bahasa, dan dilambangkan dengan GL dalam bahasa Italia, LL dalam bahasa
Spanyol dan Katalan, LH dalam Portugis, dan Ļ dalam Latvia.
L adalah lambang angka 50 (lima puluhi atau tahun 50 dalam angka Romawi.
L juga digunakan dalam ilmu pasti. Dalam fsika, L adalah simbol panjang. L
singkatan dari unit volume dalam sistem Satuan Internasional: liter.
M
M adalah huruf Latin modern yang ke-13. Namanya em, dibaca [ɛm]. Bentuk huruf
M berasal dari huruf Fenisia Mem, melalui huruf Yunani Mu (Μ, μi. Huruf Mem
Semitik kemungkinan besar melambangkan air. Diketahui bahawa masyarakat
Semit yang hidup di Mesir kira-kira 2000 SM mengadaptasi hierogif “air” yang
mulanya melambangkan konsonan sengau rongga-gigi (/n/i, karena kata Mesir
untuk “air” berbunyi “n-t”. Simbol itu dijadikan huruf M dalam bahasa Semitik,
karena kata air dalam bahasa mereka diawali dengan bunyi tersebut.
Huruf M melambangkan bunyi konsonan sengau dwibibir (mi, baik dalam bahasa
klasik maupun modern. Dalam Alfabet Fonetik Internasional, huruf M kecil
melambangkan konsonan sengau dwibibir, sedangkan variasi bentuknya (ɱi
melambangkan konsonan sengau bibir-gigi. Kamus Bahasa Inggris Oxford (edisi
pertamai menyatakan bahawa huruf ‘m’ kadangkala berbunyi vokal dalam kata
seperti spasm dan akhiran -ism. Dalam istilah modern, penggunaan demikian
diuraikan sebagai konsonan suku ([m̩]i.
N
N adalah huruf Latin yang ke-14. Namanya disebut en (dibaca [ɛn]i. Salah satu
hieroglif berupa ular di Mesir Kuno digunakan untuk melambangkan bunyi huruf J
seperti dalam kata “jari”, karena perkataan Mesir bagi “ular” berbunyi djet.

Dipercaya bahwa bangsa Semit di Mesir menyesuaikan hieroglif untuk menciptakan
abjad pertama, dan maka dari itu menggunakan lambang ular bagi bunyi /n/,
karena kata “ular” dalam bahasa mereka mungkin sekali diawali dengan konsonan
tersebut, namun nama huruf ini dalam abjad Fenisia, Ibrani, Aramea dan Arab
berbunyi nun, yaitu “ikan” dalam beberapa bahasa tersebut. Huruf ini berbunyi /n/,
seperti dalam alfabet Yunani, Etruska, Latin dan semua bahasa di masa sekarang.
N berfungsi sebagai konsonan sengau gigi atau konsonan sengau rongga-gigi dalam
hampir semua bahasa yang memakai alfabet. Dalam Alfabet Fonetik Internasional,
huruf kecil [n] melambangkan konsonan sengau rongga-gigi. Huruf besar N yang
dikecilkan ([ɴ]i melambangkan bunyi konsonan sengau tekak.
Salah satu dwihuruf yang menyertakan huruf adalah , yang menghasilkan konsonan
sengau langit-langit belakang (dibaca [ŋ]i, seperti pada kata “sengau”. Dalam
bahasa Inggris, n biasanya tidak diucapkan saat diikuti oleh m, dalam kata seperti
hymn (meskipun dilafalkan pada kata damnationi. Pada beber

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111

Pengaruh Kerjasama Pertanahan dan keamanan Amerika Serikat-Indonesia Melalui Indonesia-U.S. Security Dialogue (IUSSD) Terhadap Peningkatan Kapabilitas Tentara Nasional Indonesia (TNI)

2 68 157

Sistem Informasi Pendaftaran Mahasiswa Baru Program Beasiswa Unggulan Berbasis Web Pada Universitas Komputer Indonesia

7 101 1