MEA Indonesia Menuju Negara Neolliberali

MEA: Indonesia Menuju Negara Neoliberalisme
Oleh: Baiq Nurul Nahdiyat
Mengenal MEA
Tak lama lagi Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya akan memasuki era
pasar bebas ASEAN (MEA). Dengan adanya MEA, kawasan Asia Tenggara akan
menjadi sebuah pasar tunggal dan basis produksi; sebuah kawasan yang sangat
kompetitif dengan pembangunan ekonomi yang merata, serta terintegrasi penuh
dengan perekonomian global. Sebagai sebuah pasar tunggal dan basis produksi,
terdapat lima hal mendasar, yaitu (1) pergerakan bebas barang;(2) pergerakan bebas
jasa; (3) pergerakan bebas investasi; (4) pergerakan bebas modal; dan (5) pergerakan
bebas pekerja terampil. Jelaslah bahwa dalam MEA bukan hanya barang dan jasa
yang bebas bergerak, namun tenaga kerja juga bebas keluar-masuk negara lain.
Bagaimana dengan Indonesia? Sebagai negara berkembang, tipis harapan
Indonesia mampu bersaing dalam era pasar bebas ala ASEAN itu. Hingga saat ini
daya saing produk, baik dari sisi kualitas maupun harga masih kalah dari beberapa
negara ASEAN lainnya. Beragam kebijakan ekonomi pemerintah dalam bentuk
pencabutan subsidi dan liberalisasi perdagangan semakin melemahkan kekuatan
produk Indonesia dalam persaingan dengan produk-produk asing.
Dari sisi tenaga ahli dan terampil, jumlah yang dimiliki Indonesia juga
terbatas. Paradigma pendidikan yang dimiliki pemerintah justru mencetak tenagatenaga pekerja siap pakai yang hanya menjadi pekerja level bawah. Hendri Saparini,
Ph.D (ekonom dari CORE Indonesia) menyatakan, saat ini saja ketika MEA belum

diberlakukan, para pekerja terampil dari India sudah memasuki bursa ketenagakerjaan
di Indonesia. Dan mereka banyak menempati pos-pos penting dalam bidang produksi
tekstil negara ini.1
Sementara dari sisi potensi pasar, Indonesia memiliki bonus demografi.
Dengan pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, disertai tingkat konsumtivitas
yang tinggi pula, menjadikan negara ini sebagai pangsa pasar yang sangat
menggiurkan.
Tampak bahwa pihak yang paling diuntungkan dengan adanya MEA adalah
negara maju. Karena mereka lebih siap bersaing dari berbagai sisi, baik dari kebijakan
pemerintah, kekuatan investasi serta kesiapan SDM tenaga ahli. Sehingga ke
depannya, negara-negara maju inilah yang akan memanfaatkan ASEAN untuk
1

https://www.facebook.com/notes/muslimah-hizbut-tahrir-indonesia/masyarakatbutuh-sistem-islam-bukan-mea/1536232666591537.

perluasan pasar bagi produk barang, jasa serta tenaga kerja mereka tanpa hambatan
biaya cukai, dsb. Bisa dibayangkan, akan banyak corporate global yang menancapkan
investasinya untuk menguasai SDA dan SDM Indonesia. Jelaslah, MEA adalah alat
baru untuk menjajah negara-negara berkembang di bidang perekonomian.
Dampak MEA Bagi Masyarakat

Terhitung sejak 2003-2013, Penguasaan lahan oleh korporasi (dengan luas
5.000-30.000 Ha) mengalami pertumbuhan sebesar 24,57%. Hal ini berakibat makin
hilangnya akses petani gurem dan kecil terhadap lahannya (luas lahan 0-5000)
sebanyak 5.177.195. Ketika MEA diberlakukan, maka para petani akan semakin
termarginalkan karena kalah bersaing dengan korporasi besar. Tak pelak, angka
kemiskinan kaum tani bahkan jumlah pengangguran pun semakin meningkat (Rahmi
Hertanti, Indonesia For Global Justice).2
Belum lagi imbas persaingan produk lokal dan impor. Dengan modal yang
jauh lebih besar, dan penguasaan teknologi canggih plus keberpihakan negara, maka
negara besar dapat memproduksi barang jauh lebih banyak, yang konsekuensinya
dapat menghasilkan harga jual lebih rendah. Sementara masyarakat pada umumnya
memilih membeli produk yang lebih murah meski impor, sehingga lambat-laun
pengusaha lokal pun akan banyak yang gulung tikar karena kalah saing.
Tak hanya itu, jumlah pengangguran yang masih sangat besar bisa semakin
bertambah karena setiap lapangan pekerjaan di sektor formal semakin banyak diisi
oleh pekerja dari negara lain yang lebih produktif dan kompetitif. Belum lagi dampak
free trade dalam bidang jasa. Sektor jasa seperti pendidikan, kesehatan sangat
berpotensi tergulung akibat kalah bersaing dengan negara-negara sekelas Singapura
misalnya. Kalaupun diasumsikan tenaga terampil Indonesia bisa bersaing dengan
sempurna, maka hal itu harus dibayar dengan bergesernya dunia pendidikan menjadi

tidak ubahnya seperti lembaga “pelatihan kerja” yang membuat output pendidikan
hanya berorientasi pada visi kerja minus nilai-nilai utama pembentuk kepribadian
islami. Sebaliknya, ide-ide dan budaya-budaya kufur dari negara-negara lain akan
makin mencengkram.
Kenyataannya Indonesia sendiri jauh dari kata siap kalau mau tidak dikatakan
gagap menghadapi AEC sebagaimana gagapnya Indonesia menghadapi kesepakatan
pasar bebas lainnya seperti ASEAN-China FTA yang sudah berjalan lebih dulu. Saat
ini semua anggota ASEAN sedang sibuk mempersiapkan diri menghadapi
implementasi AEC pada 2015. Tiap negara berupaya meningkatkan daya saing agar
dapat menikmati manfaat dari penyatuan ekonomi kawasan yang memiliki populasi
penduduk sekitar 600 juta jiwa ini. Vietnam dan Thailand misalnya, telah cukup lama
memasukkan Bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran di sekolah. Tujuannya jelas,
mereka mengincar pasar ketenagakerjaan di Indonesia. Begitu pula Filipina gencar
2

Ibid.

memberikan pelatihan kepada para tenaga medis terkait dengan aspek kehidupan
sosial-budaya di Indonesia dan Malaysia karena berharap dapat sebanyak mungkin
menempatkan para pekerja bidang medis di Indonesia dan Malaysia saat AEC

diimplementasikan nanti. Sementara itu, Thailand, Malaysia, dan Singapura terus
meningkatkan daya saing iklim investasi, termasuk membenahi infrastruktur dan
menyiapkan berbagai insentif untuk menarik penanaman modal asing.3
Adapun Indonesia menurut data dari Kemendag RI tahun 2014, l ima tahun
terakhir ini, neraca perdagangan dengan mitra dagang negara ASEAN, belum bisa
memposisikan Indonesia menjadi negara yang unggul. Selama kurun waktu tersebut,
neraca perdagangan Indonesia terhadap delapan negara ASEAN terus mengalami
defisit. Pada tahun 2009 tercatat defisit sebesar US$ 2,5 miliar, dan terus berlanjut
merangkak naik hingga 2013 mejadi US$ 12,7 miliar. Ini berarti bahwa selama
periode 2009-2013, setiap tahunnya rata-rata defisit tersebut naik sebesar 20%. Dari
data tersebut, jelas bahwa sektor industri Indonesia belum siap bersaing dengan pasar
negara-negara ASEAN. Nilai impor yang terus menerus meninggi melebihi nilai
ekspor bisa menjadi bumerang atas nasib perekonomian Indonesia ke depan yang
diperparah dengan gelontoran barang-barang dari China, India, Australia, New
Zealand, Jepang, dll sebagai dampak atas kesepakatan yang sudah ditandatangani
ASEAN dengan negara-negara tersebut. Terlihat sekali bahwa dengan pasar bebas ini,
asing lebih diuntungkan daripada Indonesia dimana dengan jumlah penduduk terbesar
se-ASEAN menjadikan pasar Indonesia sangat menggiurkan bagi negara lain.4
Kondisi diatas jelas mengancam posisi Indonesia termasuk negara-negara
berkembang lainnya untuk sekedar menjadi negara periferi (pinggiran) dan bukan

menjadi negara core (pusat) karena yang dibidik lebih kepada pasar potensial dan
tenaga kerja murahnya. Jika negara core mengurusi terkait masalah R&D yang
menghasilkan karya seperti software, maka negara periferi hanya mengurusi bagian
manufaktur hardware yang padat karya sehingga membutuhkan banyak tenaga kerja
murah yang tidak terlalu terampil. Dengan kata lain terintegrasinya negeri-negeri
muslim termasuk Indonesia terhadap perekonomian global tidak lain bermakna
menyediakan tempat bagi berlangsungnya penjajahan model baru.
Yang lebih berbahaya lagi adalah jika korporasi asing dapat masuk menguasai
sektor-sektor vital negara karena kekuatan modal yang besar, maka barang-barang
kepemilikan umum seperti minyak bumi, gas bumi, dan barang tambang lain, serta
sumber mata air dan hutan akan menjadi milik mereka. Rakyat akan kehilangan
haknya, sedangkan pemerintah tidak bisa mengintervensi. Peran negara sebagai
pelayan rakyat semakin tereduksi, hanya berfungsi sebagai regulator saja. Akhirnya,
korporasi asing dapat menyetir penguasa. Dengan mempengaruhi perpolitikan suatu
negara untuk menghasilkan kebijakan yang menguntungkan perusahaan serta negara
asalnya, walaupun itu harus mengorbankan jutaan rakyat lokal.
3
4

Makalah HS September 2014.

Ibid.

Atas dasar itu semua, jelas kaum muslimin yang ada di kawasan ASEAN dan
negeri muslim lainnya haram menerima konsep pasar bebas yang dipropagandakan
oleh Amerika, Cina, dan negara-negara industri Barat. Pasalnya, kebijakan pasar
bebas membuka jalan selebar-lebarnya bagi negara-negara kufur untuk menguasai dan
mengontrol perekonomian negeri-negeri Islam. Padahal hal tersebut secara tegas
dilarang dalam Islam sebagaimana firman Allah SWT:
‫َولَنؤ يَ ؤج َع َل ا‬
‫سبِيل‬
َ َ‫اُ لِ ؤل َكافِ ِرينَ َعلَى ا ؤل ُمؤؤ ِمنِين‬
Allah tidak memperkenankan orang-orang kafir menguasai orang-orang
Mukmin (QS an-Nisa: 141).

Negara Lalai dan Tak Mandiri
Kesepakatan negara-negara berkembang dalam MEA ini merupakan bentuk
kelalaian dan ketidakmandirian negara untuk menyejahterakan rakyatnya. Negara
berkembang termasuk juga negeri-negeri muslim lainnya saat ini berada dalam
hegemoni kapitalis, mereka rela membebek apapun program yang disodorkan oleh
negara-negara kapitalis meski merugikan rakyatnya. Padahal mereka hanya diperalat

untuk memuaskan kerakusan kapitalis dalam menjajah baik secara fisik maupun non
fisik (melalui berbagai kebijakan-kebijakan skala global, regional maupun nasional).
Penjajahan negara-negara kapitalis ini merupakan jalan keluar bagi Barat
untuk keluar dari krisis ekonomi yang tak kunjung surut bahkan semakin menuju titik
kritis. Disamping sebagai solusi atas tingginya tingkat konsumsi masyarakat barat.
Menurut Abdul Qadim Zallum bahwa tujuan utama dari kebijakan liberalisasi
perdagangan tidak lain agar negara-negara berkembang di seluruh dunia dapat
membuka pasar mereka terhadap barang dan investasi AS dan negara-negara maju
yang memiliki superioritas atas negara-negara berkembang.5
Perdagangan Luar Negeri Khilafah6
1. Perjanjian Internasional Perspektif Islam
Sebelum menjelaskan tentang perdagangan luar negeri khilafah terlebih
dahulu dipaparkan secara global bagaimana aturan perjanjian luar negeri yang akan
dijalankan khilafah. Secara umum perjanjian negara Islam dengan negara kafir (dar
al-harb) hukumnya mubah. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT:

5

http://www.duniaterkini.com/2014/09/mea-indonesia-dan-khilafah-bagianii.html.
6


Ibid.

‫ق‬
ٌ ‫صلُونَ إِلَى قَ ؤو ٍم بَ ؤينَ ُك ؤم َوبَ ؤينَ ُه ؤم ِميثَا‬
ِ َ‫إِ ال الا ِذينَ ي‬
“Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum,
yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian.” (QS al—Nisa’ [4]: 90).
‫سلا َمةٌ إِلَى أَ ؤهلِ ِه‬
ٌ ‫َوإِنؤ َكانَ ِمنؤ قَ ؤو ٍم بَ ؤينَ ُك ؤم َوبَ ؤينَ ُه ؤم ِميثَا‬
َ ‫ق فَ ِديَةٌ ُم‬
“Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara
mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang
diserahkan kepada keluarganya.” (QS al-Nisâ [4]: 92)
Demikian pula Rasulullah SAW misalnya melakukan perjanjian dengan
Yuhanah bin Ru’bah pemilik kota Ilah dan bani Dhamrah.
Syarat-syarat yang disepakati dalam perjanjian tersebut wajib ditunaikan oleh
kaum muslimin sebagaimana halnya negara lain yang terlibat dalam perjanjian
tersebut. Rasulullah SAW bersabda, “Al-Muslimu(na) ‘inda syuruthihim” (Kaum
muslimin (wajib) terikat pada syarat-syarat yang mereka buat). Namun tentu yang

sejalan dengan Islam. Jika syaratnya bertentangan maka isi perjanjian tersebut harus
ditolak dan haram terikat padanya. Perjanjian netralitas yang bersifat permanen antara
dua negara misalnya, yakni perjanjian untuk tidak saling menyerang sepanjang masa,
perjanjian untuk menetapkan daerah perbatasan secara permanen tidak boleh
disepakati. Ini karena perjanjian tersebut akan membatasi pelaksanaan jihad fi
sabilillah. Demikian pula perjanjian untuk menyewakan pangkalan udara dan militer
kepada negara-negara kafir juga tidak boleh ditandatangani. Ini karena perjanjian
tersebut akan memudahkan negara kafir menguasai negara Islam. Rasulullah SAW
bersabda, “Kullu syarth(in) laisa fi kitabillahi fahuwa bathil” (Semua syarat yang
bertentangan dengan Kitabullah maka bathil).
Adapun perjanjian luar negeri dalam bidang ekonomi, perdagangan dan
keuangan maka secara umum hukumnya mubah karena masuk dalam kategori hukum
sewa atas barang dan jasa (ijarah), jual-beli (bai’), dan pertukaran mata uang (sharf).
Namun demikian jika di dalam klausul perjanjian tersebut terdapat hal-hal yang
bertentangan dengan syara’ maka tidak boleh disepakati dan ditindaklanjuti. Sebagai
contoh kesepakatan untuk mengekspor komoditi yang sangat vital bagi negara Islam,
mengekspor komoditas yang justru memperkuat negara lain sehingga dapat
mengancam negara Islam atau perjanjian yang merugikan industri-industri dalam
negeri. Semua hal tersebut diharamkan karena mengakibatkan bahaya (dharar) bagi
ummat Islam. Hal ini didasarkan pada kaedah ushul:

‫کل فرد من أفراد المباح إﺫا کان يؤدي إلی ضرر يمنع ﺫالك الفرد ويبقی الشيﺀ مباحا‬
“Setiap bagian yang masuk dalam kategori mubah jika mengantarkan pada
dharar maka bagian tersebut dilarang sementara bagian-bagian lain yang masuk
dalam kategori tersebut tetap mubah.

2. Perdagangan Luar Negeri Khilafah
Dalam pandangan politik ekonomi Islam, perdagangan luar negeri dikontrol
sepenuhnya oleh negara dan ditujukan untuk memperkuat stabilitas politik dalam
negeri, dakwah Islam dan perekonomian dalam negeri. Kontrol Khilafah dalam
perdagangan luar negeri mutlak diperlukan, sebab faktor yang diperhatikan dan diatur
dalam perdagangan luar negeri bukanlah komoditas yang diperdagangkan antara dua
negara, tetapi pemilik komoditas atau negara asal dari komoditas tersebut. Pandangan
ekonomi politik seperti ini didasarkan pada sebuah anggapan bahwa perdagangan luar
negeri harus mengikuti hukum Islam yang mengatur interaksi negara khilafah dengan
negara-negara lain. Atas dasar itu, perusahaan atau warga negara Khilafah Islamiyah
tidak boleh melakukan perdagangan luar negeri secara langsung tanpa sepengetahuan
dan ijin dari negara khalifah.
Dalam pandangan politik Islam, seluruh negara yang berada di luar khilafah
adalah negara kafir yang wajib diperangi (kafir harbi), baik kafir harbi fi’l[an]
maupun kafir harbi hukm[an]. Negara kafir harbi hukm[an] adakalanya membuat

perjanjian dengan Khilafah (kafir mu’âhid) dan adakalanya meminta perlindungan
kepada Khilafah (kafir musta’min). Klasifikasi seperti ini mutlak dilakukan untuk
menetapkan ketentuan hukum perdagangan luar negeri dengan mereka.
Adapun ketentuan perdagangan luar negeri khilafah dapat dipilah menjadi dua,
yakni yang berhubungan dengan ekspor dan impor komoditas. Berhubungan dengan
ekspor komoditas ke luar negeri, ketentuannya adalah sebagai berikut:
1. Warga negara khilafah baik muslim atau kafir dzimmi dilarang menjual
persenjataan, sistem komunikasi alat-alat berat dan strategis lain kepada negara,
perusahaan, atau warga negara darul kufur jika komoditas tersebut digunakan
untuk memerangi Khilafah. Adapun barang-barang yang tidak strategis semacam
pakaian, makanan, perabotan, souvenir dan lain-lain maka dibolehkan menjualnya
kepada negara kafir. Namun, jika ketersediaan komoditas-komoditas tersebut
amat sedikit di dalam negeri dan akan membahayakan ketahanan ekonomi
khilafah maka khilafah bisa melarang untuk menjualnya ke negara kafir.
2. Perdagangan luar negeri dengan negara kafir harbi fi’l[an] adalah haram.
Terhadap negara seperti ini, Khilafah tidak akan mengijinkan warga negara
maupun perusahaan-perusahaan yang berada di dalam negeri Khilafah untuk
melakukan perdagangan luar negeri dengan mereka apapun komoditasnya.
Pasalnya, melakukan perdagangan luar negeri dengan negara-negara kafir harbi
fi’l[an] termasuk dalam ta’âwun yang dilarang.
Adapun ketentuan yang berhubungan dengan impor komoditas dari luar negeri
dapat dirinci sebagai berikut;

1. Khilafah mengijinkan kaum muslim dan kafir dzimmi untuk mengimpor
komoditas dari negara-negara kafir. Terhadap kafir mu’ahid, yakni orang kafir
yang negaranya menjalin perjanjian dengan Khilafah, maka mereka akan
diperlakukan sesuai dengan butir-butir perjanjian tersebut, baik yang menyangkut
komoditas yang mereka impor dari khilafah, maupun komoditas yang mereka
ekspor ke dalam negeri khilafah. Hanya saja, mereka tetap tidak boleh mengimpor
persenjataan dan alat-alat pertahanan strategis dari khilafah.
2. Terhadap negara kafir harbi fi’l[an], tidak ada hubungan perdagangan dengan
mereka. Yang ada hanyalah hubungan perang (qital).
3. Kafir harbi tidak dibolehkan masuk ke wilayah khilafah, kecuali ada ijin masuk
dari negara. Jika mereka masuk tanpa ijin, mereka diperlakukan sebagaimana
halnya kafir harbi fi’l(an), yakni harta dan jiwa mereka tidak mendapatkan
perlindungan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perdagangan luar negeri khilafah
dikontrol sepenuhnya oleh negara. Atas dasar itu, di perbatasan-perbatasan wilayah
Khilafah dengan negara-negara kafir, harus ada pengawas (mashalih) yang bertugas
memantau lalu lintas orang yang masuk dan keluar dari khilafah.
Dalam konteks tertentu, khilafah juga bisa melakukan sejumlah proteksi untuk
melindungi stabilitas ekonomi. Hanya saja, proteksi yang dilakukan oleh khilafah
tidak sama dengan proteksi yang dilakukan oleh negara kapitalis. Proteksi yang
dilakukan oleh khilafah tidak ditujukan untuk melindungi stabilitas ekonomi saja,
tetapi juga ditujukan untuk mewujudkan stabilitas politik dan tugas mengemban
risalah Islam ke seluruh dunia. Kebijakan proteksi yang dianut khilafah selalu sejalan
dengan prinsip kesetaraan dan keadilan dalam interaksi dengan negara-negara kafir.
Misalnya, jika negara kafir mengenakan tarif 20 persen atas komoditas-komoditas
kaum Muslim yang masuk ke negara mereka, maka khilafah juga akan mengenakan
tarif yang sama terhadap komoditas-komoditas mereka yang masuk ke dalam
khilafah.
Adapun mengenai cukai (tarif) yang dikenakan atas komoditas perdagangan
yang keluar masuk di wilayah khilafah tentu berbeda dengan cukai yang dipraktikkan
pada perdagangan luar negeri sekarang. Cukai dikenakan kepada pelaku perdagangan
dari negara kafir. Adapun pelaku perdagangan dari warga negara khilafah, baik
muslim atau kafir dzimmi, maka sama sekali tidak boleh ada cukai, baik terhadap
komoditas yang mereka ekspor maupun yang mereka impor. Penetapan tarif cukai
atas orang-orang kafir ditentukan berdasarkan prinsip kesetaraan dan keseimbangan
seperti di atas.
3. Strategi Khilafah Memperkuat Pasar Dalam Negeri
Dalam membangun sistem pasar harus diutamakan pembangunan pasar dalam
negeri terlebih dahulu sehingga industri yang ditumbuhkan memiliki basis pasar

dalam negeri. Dalam hal ini industry-industri yang sesuai dengan kebutuhan pasar
dalam negeri akan ditumbuhkan. Cara pengaturan untuk menumbuhkan pasar dalam
negeri tetap tidak boleh melanggar prinsip kebebasan dan saling ridha dalam
mekanisme peradaran barang dan jasa.
Prinsip yang dijaga dalam pengembangan industry khilafah adalah menjaga
mata rantai industry agar memiliki kemampuan sejak dari pengadaan bahan baku
hingga produk akhir yang siap pakai. Dalam hal ini suatu industry diatur sedemikian
rupa sehingga mampu memproduksi secara cukup dengan menjamin keamanan suplai
bagi industry berikutnya yang menjadikan produk industry sebelumnya sebagai bahan
bakunya. Demikian seterusnya. Dalam sistem ini kemandirian harus diutamakan.
Dalam arti suatu bahan atau produk yang diperlukan untuk bahan baku bagi proses
industry berikutnya harus dihindarkan untuk diekspor. Sebaliknya suatu industry
dihindarkan untuk mengimpor suatu produk sebagai bahan bakunya selama terdapat
industry yang secara internal berada dalam wilayah kaum muslimin yang mampu
memproduksi bahan tersebut. Dengan sistem ini akan ditumbuhkan saling
ketergantungan yang menguntungkan (di dalam negeri) dalam rangka menumbuhkan
industry-industri yang terkait dengan mata rantai industry yang sedang dibangun.
Adapun strategi khilafah untuk memperkuat produsen dalam negeri adalah
sebagai berikut:
1. Menyediakan sarana dan prasarana yang memadai untuk mempermudah aktivitas
perekonomian di dalam negeri, mulai dari penyediaan sarana transportasi yang
handal, manufaktur, telekomunikasi, gudang, serta sarana-sarana penting lainnya.
2. Memberlakukan undang-undang anti hak paten dan royalti atas penggunaan
penemuan-penemuan baru di bidang sains dan teknologi. Undang-undang ini
dibuat untuk mempercepat terjadinya transfer teknologi dan skill di seluruh
kawasan negara khilafah sehingga akan meningkatkan kemampuan dan kualitas
produksi dalam negeri.
3. Memberlakukan sanksi terhadap perusahaan-perusahaan yang memproduksi
produk-produk manufaktur yang membahayakan manusia dan merusak
lingkungan. Kaedah ushul fiqih menyatakan: adh-dhararu yuzâlu (bahaya itu
harus dihilangkan). Dengan sanksi ini, standar manufaktur dan produk akan selalu
terkontrol dan terpelihara sehingga memiliki kualitas yang sangat tinggi.
4. Menyediakan modal dan pinjaman tanpa bunga bagi kegiatan-kegiatan
perekonomian dalam negeri. Dengan itu niscaya pertumbuhan ekonomi dalam
negeri bisa dipacu secara maksimal. Apa lagi sistem moneter yang digunakan oleh
khilafah adalah sistem moneter yang berbasis emas dan perak, yang
memungkinkan terciptanya kestabilan pada sektor fiskal. Jika ini terjadi, dunia
usaha di dalam negeri Khilafah akan bergerak stabil dan ekspansinya akan tumbuh
secara maksimal.
5. Menjaga mekanisme pasar di dalam negeri dengan cara menjaga pasar dari
praktik-praktik yang bisa mengguncang stabilitas pasar semacam penimbunan,

penipuan, riba, pungli dan lain sebagainya. Negara tidak akan intervensi dengan
cara menetapkan harga (ta’sir) dengan alasan untuk melindungi konsumen atau
produsen.
6. Menciptakan stabilitas politik dan keamanan dalam negeri dengan menerapkan
sanksi-sanksi keras terhadap siapa saja yang berusaha menciptakan instabilitas di
dalam negeri.
7. Khilafah berusaha keras untuk tidak melakukan hutang dan penarikan investasi
luar negeri. Selain justru akan memperlemah perekonomian dalam negeri, hutang
dan investasi luar negeri sering dijadikan alat oleh negara-negara kafir untuk
mendikte negara-negara penghutang.
8. Mengelola dan mengatur sepenuhnya asset-asset milik umum secara profesional
demi kemakmuran rakyat. Khilafah tidak akan melakukan privatisasi pada asetaset strategis yang menjadi hajat hidup orang banyak.
Dengan strategi inilah, produsen dalam negeri akan terlindungi, dan mampu
menghasilkan produk-produk yang mampu bersaing dengan produk-produk luar
negeri. WaLlâhu a’lam bi ash-shawâb.
Daftar Pustaka
AEC Menjadikan Indonesia Negara. http://kastratekis.blogspot.com/2014/04/aecmenjadikan-indonesia-negara.html. 04 November 2014.
Makalah HS Bulan September 2014. Perdagangan Luar Negeri Khilafah Vs
Perdagangan Bebas Kapitalisme (Telaah Kritis Asean Economic
Community).
Mea Indonesia dan Khilafah. http://www.duniaterkini.com/2014/09/mea-indonesiadan-khilafah-bagian-ii.html. 04 November 2014.
MHTI. Masyarakat Butuh Sistem Islam Bukan Mea.
https://www.facebook.com/notes/muslimah-hizbut-tahrir-indonesia/masyar
akat-butuh-sistem-islam-bukan-mea/1536232666591537. 04 November
2014.
Pasar Bebas Sejatinya Adalah Alat Penjajahan.
http://www.globalmuslim.web.id/2014/06/pasar-bebas-sejatinya-adalahalat.html. 04 November 2014.
Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah Juz 2 (terj.)

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

IbM Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) Menuju Desa Mandiri Energi

25 108 26

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111

Pengaruh Kerjasama Pertanahan dan keamanan Amerika Serikat-Indonesia Melalui Indonesia-U.S. Security Dialogue (IUSSD) Terhadap Peningkatan Kapabilitas Tentara Nasional Indonesia (TNI)

2 68 157