perencanaan pembangunan berbasis e informa

Musrenbang :

Forum awal dari proses perencanaan pembangunan
di Indonesia.
Oleh : Guritno Soerjodibroto1

Kondisi awal dan permasalahan dasar yang ada.
Mekanisme perencanaan pembangunan yang telah diterapkan di Indonesia sejak tahun 1982 melalui
mekanisme yang disebut ‘bottom-up planning’, sampai dengan saat ini tidak mengalami perubahan
secara essential. Dan yang lebih utama lagi adalah kelemahan kelemahan yang dihadapi masa lalu,
hingga saat ini belum ada upaya untuk mengatasinya, sehingga dapat dikatakan bahwa dari segi
pencapaian sasaran keseluruhan, mekanisme yang diadopsi ini masih banyak meninggalkan persoalan
dari pada pencapaian sasarannya.
Mekanisme yang disebut diatas adalah proses musrenbang (masa lalu disebut Rakorbang)2, yakni proses
yang diawali dari tingkat kelurahan atau desa dan berakhir pada tingkat kabupaten atau kota, sebagai
ide awal. Itu semua dimaknakan sebagai proses untuk merangkum aspirasi masyarakat yang akan
didengar dan dijadikan pertimbangan dalam perencanaan pembangunan. Untuk saat ini, hal ini menjadi
jauh lebih berkembang dalam memaknakannya, yakni bahwa musrenbang tidak terbatas untuk
megumpulkan aspirasi, tetapi juga dimanfaatkan sebagai perwujudan mekanisme demokrasi serta
partisipasi warga untuk melakukan koreksi dan penyempurnaan rumusan yang akan diambil pemerintah
dalam hal perencanaan pembangunan. Dengan berkembangnya jenis-jenis dokumen perencanaan

seperti diamanatkan oleh UU25 tahun 2004 , maka proses musrenbang ini tidak hanya terbatas pada
desa/kelurahan, kecamatan dan kabupaten/kota saja, melainkan juga untuk satuan kerja (SKPD),
propinsi dan bahkan kementerian.
Kegiatan bersama masyarakat yang selanjutnya diartikan sebagai pengejawantahan dari kata pastisipasi
seolah menjadi focus perhatian bagi pemerintah saat ini, sehingga kata ini diperlukan dimana-mana dan
kapan saja, meskipun menjadi tidak mau tahu apakah essensinya bergeser atau tidak. Partisipasi
menjadi lebih procedural dan mengikuti ritme yang telah ditentukan.
Beberapa pihak cenderung pesimis terhadap upaya mensosialisasikan paham partisipasi saat ini, seperti
uraian dibawah ini :

1

Senior Adviser, Regional and Spatial Planning, project Good Local Governance yg didukung oleh GTZ bekerjasama
dengan Departemen Dalam Negeri.
2
Dari Rakor yg berasal dari singkatan Rapat Koordinasi ke Musren yang berarti Musyawarah Perencanaan essensi
perbedaanya adalah bahwa Rakor member konotasi bahwa dominasi adalah pemerintah, dan musyawarah
perencanaan berarti setiap rumusan akan dimusyawarahkan bersama peserta, menjadi lebih inclusive.

Partisipasi. Sekarang kata ini mungkin sudah menjadi semacam mantra. Praktisi pembangunan masyarakat di Indonesia biasa

merapalnya tiga kali sehari. Konon, malahan ada yang menjadikan partisipasi sebagai “agama”. Mereka yakin benar jimat yang satu
ini ampuh untuk membuka kultur bisu masyarakat dan menembus barikade struktur kekuasaan yang menindas. Dulu, mantra ini
memang pernah begitu ditakuti, keramat, dan dianggap berbahaya. Hanya sedikit kalangan yang menguasai mantra ini, itupun
dilakukan sambil sembunyi-sembunyi. Salah satu diantara segelintir kalangan itu adalah LSM.
Tetapi sekarang mantra ini bisa dirapal siapa saja dan di mana saja. Meminjam istilah George Ritzer dalam The McDonaldization of
Society: An Investigation into The Changing Character of Contemporary Social Life (1993) partisipasi sudah mirip Mc Donald.
Partisipasi layaknya fast food, dijual massal, instan, dan menjadi bagian dari gaya hidup. Para aktivis biasanya merasa makin keren
dan modis jika memakai atribut partisipasi.(Dwijoko - diskusi di milis simfoni_desa@yahoogroups.com).

Dalam kata yang lebih sederhana, pemahaman mengenai partisipasi dalam kenyataanya yang dilakukan
saat ini adalah sekedar ‘model berkerumun’ dalam membahas sesuatu.
Meskipun juga untuk mendapatkan kata akhir mengenai makna partsipasi dalam kaitanya proses
perencanaan pembangunan sampai dengan saat ini juga masih belum menemukan intinya apakah lebih
memfokuskan pada proses yang berarti penguatan dialog untuk kesetaraan dalam proses pengambilan
keputusan, ataukah pencapaian hasil yang dapat memuaskan semua pihak ?
Untuk tidak berpanjang dalam masalah diatas, dalam kesempatan ini pembahasan keseluruhan
mencoba untuk menghindarinya, dan lebih memfokuskan untuk upaya pencapaian sasaran yang tidak
membebani atau mengecewakan semua pihak dengan tetap menghormati proses dan peran yang
selayaknya ada di tiap pelaku.
Permasalahan dalam hasil :

Pelibatan masyarakat sebagai kata ganti kata partisipasi (untuk menghindari debat yang berkepanjangan
mengenai esseni dan definisi partisipasi) dalam proses perencanaan sejak awal di niatkan untuk dapat
megekplorasi kebutuhan pembangunan secara benar. Selanjutnya daftar kebutuhan tersebut
dirumuskan kedalam beberapa proposal yang diajukan sebagai input bagi proses penganggaran di
RAPBD.
Akan tetapi, fakta yang terjadi sejak dimulainya proses pelibatan masyarakat ini adalah tidak pernahnya
atau selalu terjadinya penumpukkan jumlah proposal yang dihasilkan dari proses pelibatan masyarakat
diatas dari proses ke proses dan tahun ke tahun. Dan juga selanjutnya ditambah dengan tak ada
beritanya mengenai kapan proposal tersebut diatas akan direalisir atau diakomodasi dalam daftar
program dan kegiatan di APBD.
Untuk mersepon keresahan diatas, memang selalu ada cara untuk menjawab, yakni dibangunya criteria
bersama untuk menentukan skala prioritas di tiap proposal masyarakat diatas. Melalui proses panjang
(yakni tingkat kecamatan dan kabupaten/kota, setidaknya), dalam kata akhirnya, masyarakat hanya
cukup dipuaskan dengan informasi bahwa proposal yang ada belum dapat diakomodasi dalam APBD
karena masih ada prioritas lain yang lebih tinggi, sementara budget yang ada terbatas.
Keberulangan situasi seperti diatas, jelas menjemukan bagi masyarakat dan bahkan mungkin juga bagi
aparat yang memang tidak mempunyai daya untuk mengatasi situasi tersebut diatas. Walaupun,
kesemuanya sudah mengadopsi kata partsipasi yang diharuskan untuk dilakukan dalam peraturan
pelaksanaan proses perencanaan (musrenbang) ini.


Persoalan yang ada adalah ‘ Apakah kondisi diatas harus tetap dipertahankan ? Aparat harus
menemukan dan mencari kata yang tepat untuk ‘menyejukkan hati’ masyarakat ? Di pihak lain,
masyarakat dibiarkan terus untuk merasa tidak puas karena proposalnya tidak pernah/ sedikit sekali
yang direalisir dengan dana dari APBD ?
Kalau hal ini terus berjalan seperti kondisi diatas, hal mendasar yang relative rawan akan dapat muncul,
yakni “menurunnya kepercayaan rakyat kepada aparatnya”………….
Permasalahan dalam proses :
Kemauan pemerintah untuk melibatkan masyarakat sebagai pemeran utama dalam proses perencanaan
di tingkat masyarakat adalah awal yang baik. Akan tetapi apabila kemauan diatas tidak dikemas dalam
proses yang benar, hal inipun dikawatirkan akan menghasilkan efek yang tidak diharapkan. Setidaknya
upaya pemberdayaan masyarakat yang didengungkan justru akan menumpulkan semangat dan nilai nilai
social yang sudah berakar dimasyarakat.
Keterbatasan waktu, keterbatasan ruang serta keterbatasan motivasi dari pihak aparatur ataupun
fasilitatornya, seringkali menjadi unsur dominan dalam menyumbangkan kegagalan untuk menciptakan
proses pelibatan yang baik.
Bagaimana menjadikan isu perencanaan pembangunan menjadi isu yang menarik bagi masyarakat di
perkotaan dan perdesaan adalah satu isu besar yang saat ini ada. Dan karenanya, pihak pihak yang hadir
di setiap proses musrenbang pada akhirnya memang menjadi terbatas dan dapat disebut ‘yang itu-itu
juga’. Pihak warga yang lebih potensial untuk berkonstrubusi seperti para pakar serta pengusaha,
menjadi jauh dari tertarik untuk hadir, disisi lain, pihak yang paling ‘lemah’ dari sisi ekonomi maupun

social sering merasa ‘tak layak’ untuk hadir di forum perencanaan ini. Ini adalah phenomena yang
dijumpai saat ini.
Keterbatasan ruang, yakni jumlah kursi atau ruang fisik untuk menampung para peserta terpaksa
menjadi referensi utama bagi upaya untuk menetapkan masyarakat mana yang perlu diundang dalam
forum perencanaan ini . Pihak-pihak yang disebut sebagai ‘tokoh masyarakat’ pada akhirnya menjadi
primadona dalam forum ini,meskipun seringkali ukuran tokoh ini berasosiasi dengan usia, yakni mereka
yang sudah berusia tua, yang seringkali juga mereka ini tidak mampu merepresentasikan warganya
karena kapasitas. Mereka terpilih hanya mempunyai kelebihan secara psikologis saja.
Apa yang menjadi inti persoalan ?
Proses perencanaan pembangunan yang diterapkan di seluruh pemerintah daerah di Indonesia saat ini
secara diagramtis dapat digambarakan seperti dibawah (lihat diagram : Jalur Proses Prencanaan
Pembangunan)
Dari proses tersebut terlihat bahwa banyak langkah yang harus dilakukan serta waktu yang dibutuhkan
untuk sampai pada hasil akhir yakni dokumen APBD. Untuk dapat melaksanakan kegiatan perencanaan
tahunan, referensi utama yang ada adalah dokumen-dokumen perencanaan yang ada berupa Renstra
SKPD, dokumen RPJMD yang sudah mengakomodasi sasaran RPJPD serta hasil dari Forum SKPD. Ketiga

dokumen tersebut, adalah acuan utama yang harus dipergunakan untuk menyusun Renja SKPD, RKPD
dan berlanjut ke KUA serta PPAS.
Sebagai input utama untuk merekam kondisi yang sedang dihadapi diperlukan mekanisme musrenbang

dimulai dari tingkat desa/kelurahan, kecamatan hingga kabupaten/kota. Keseluruhan pada intinya
merupakan INPUT bagi proses perencanaan pembangunan. Dengan demikian, proses perencanaan
pembangunan adalah proses mempertemukan situasi yang dihadapi saat ini dengan referensi atau arah
pembangunan yang sudah ditetapkan dalam dokumen perencanaan jangka menengah yang ada.

Input

Referensi

Ketika keseluruhan proses perencanaan pembangunan diartikan sebagai upaya untuk menyiapkan
pelaksanaan pembangunan, maka hal mendasar yang harus dihasilkan adalah bahwa hasil perencanaan
harus dapat merefleksikan :
a. Upaya elaborasi mandate Prioritas Nasional yang sudah ditetapkan oleh pemerintah untuk
dilaksanakan di seluruh daerah
b. Langkah-langkah strategis dalam mengoperasionalkan Visi pembangunan daerah yang
merupakan ekstraksi atau kepanjangan dari visi jangka panjang yang ada.
c. Upaya konsisten untuk meningkatkan kualitas pelayanan dasar
d. Berbagai program yang bersifat multi years yang harus dilanjutkan serta program yang
belum selesai pada ahun sebelumnya.
e. Persoalan atau isu-isu yang sedang dihadapi saat ini yang terbaru, yang secara teoritis belum

terkamodasi pada upaya-upaya yang ada di butir-butir diatas (a s/d d).
Terkait dengan pengadaan informasi untuk mengungkapkan isu-isu saat ini diatas inilah diperlukan
proses musrenbang dari segala tingkat yang ada saat ini. Sehingga konsentrasi pelaksanaan musrenbang

pada dasarnya adalah untuk ‘mengupdate’ dan ‘menangkap informasi’ terkini yang harus ditangani oleh
pemerintah melalui anggaran belanjanya.
Mengapa daftar usulan atau proposal masayarakat kurang tepat ?
Berbagai konsep dasar tentang partisipasi yang diterapkan oleh berbagai pelaku, utamanya para
lembaga swadaya masyarakat, diartikan sebagai sebuah upaya pemberdayaan masyarakat melalui
peningkatan kemampuan masyarakat dalam mengaktualisasikan hak-haknya dalam proses perencanaan
pembangunan, yang berujung pada pembuatan proposal pembangunan.
Dalam hal, masyarakat mempunyai otoritas sendiri, maka pemahaman bahwa masyarakat harus dapat
merencanakan dirinya sendiri adalah tepat. Akan tetapi hal ini juga harus dibarengi dengan kapasitas
masyarakat untuk menindak lanjutinya.
Mengutip Arnstein (1969) Partisipasi adalah bagaimana masyarakat dapat terlibat dalam perubahan
sosial yang memungkinkan mereka mendapatkan bagian keuntungan dari kelompok yang berpengaruh.
Dari pernyataan diatas, kata ‘terlibat’ dan ‘mendapatkan bagian keuntungan’ disini menjadi essensi
sentral dari makna partisipasi dalam kerangka besar yakni perubahan sosial. Untuk itu, dalam posisi
dialog antara masyarakat dengan aparat untuk tujuan agar masyarakat mendapatkan ‘keuntungan’,
seyogyanya memang dibedakan fungsinya karena faktanya memang berbeda. Masyarakat jelas bukan

yang bertanggung jawab untuk setiap rumusan rencana yang harus dibiayai dengan sumber dana
APBD, tetapi aparatlah yang harus bertanggung jawab untuk itu (lihat : peraturan tentang evaluasi
kinerja pemerintah). Disisi lain, masyarakat bukanlah ahli perencana , tetapi aparat lah yang mempunyai
kapasitas untuk ini secara profesionalitas maupun legalitas. Dalam konteks perencanaan pembangunan,
dimana proses dan keputusan berada diluar jangkauan kewenangan masyarakat itu sendiri, maka ada
baiknya bila aktualisasi hak masyarakat dalam hal ini tidak pada level penentu kebijakan (decision
maker), tetapi lebih kepada pemberi input (informasi)
Persoalan mendasar yang terjadi dalam proses perencanaan berbasis dialog diatas adalah :
-

Lemahnya kemampuan aparat dalam mendengarkan suara rakyat

-

Kurang efektivnya mekanisme perumusan strategi penanganan masalah bersama yang
seharusnya dilakukan bersama antara pemerintah (aparat) dengan masyarakat.

-

Terbiasanya masyarakat untuk mengajukan proposal meskipun tidak memahami persoalan

yang akan dipecahkan dan selalu proposalnya ditangguhkan hingga waktu yang tak terbatas.
Sementara itu, dorongan dari berbagai kalangan terutama LSM juga senada, yakni menginginkan
agar masyarakat dapat merebut posisi dialog sehingga dapat menghasilkan proposal sesuai
dengan yang diajukan.

Bila hal itu dilakukan, sisi negatip yang dapat muncul adalah bahwa proposal yang diajukan oleh setiap
warga peserta forum dialog (musrenbang) dari segi validitas nya belum dapat dijamin baik mengenai
validitasnya dan juga kemanfaatanya. Masih perlu dipertanyakan apakah proposal tsb menyelesaikan

masalah yang dihadapi , cukup diragukan ketika proses perumusan masalahnya belum dapat dijamin
kualitasnya.
Perubahan pendekatan dimana ?
Melihat jumlah proposal yang kadang juga termasuk didalamnya berupa proposal yang basisnya vested
interest, yang bila di konversikan ke jumlah budget yang diajukan menjadi sangat tidak rational, maka
hampir selalu seluruh jumlah proposal tersebut diatas hanya berakhir pada ‘ruang tunggu’ alias tidak
diketahui kapan akan dimasukkan dalam APBD. Kondisi inilah yang selanjutnya melandasi perubahan
pendekatan yang diajukan disini.
Melalui konsep bahwa memahami permasalahan dengan benar pada dasarnya sudah merupakan separo
jalan untuk menyelesaikan permasalahan itu sendiri, maka dalam konsep yang ditawarkan disini,
masyarakat di tingkat desa lebih didorong untuk lebih mengenali permasalahan yang mereka hadapi

dengan cara yang lebih benar. Bukan sekedar menyatakan langsung disepakati bahkan juga langsung
memberikan solusi berupa proposal yang belum tentu merupakan jawaban atas masalah yang ada,
tetapi masih diperlukan proses analisis dan pembangunan kesamaan pendapat diantara peserta
mengenai masalah yang diajukan tersebut. Sehingga pada akhirnya dapat dikenali atau dirumuskan ‘
core issue’ nya – inti masalahnya yang harus di rumuskan.
Masalah yang dirumuskan dengan benar tersebut diatas selanjutnya akan dijadikan input bagi semua
pihak yang berkepentingan dan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pembangunan.
Mekanisme identifikasi masalah ini akan menjadi forum yang diperbaharui melalui penyediaan fasilitator
yang memadai untuk kepentingan ini. Dan hasil akhirnya adalah rumusan masalah yang memang ada di
lingkungan yang ada dengan masalah yang mudah terlihat dan terasakan oleh semua stakeholder (sudah
menjadi phenomena umum).
Keterlibatan fasilitator yang mempunyai kemampuan yang memenuhi persyaratan disini menjadi sangat
vital. Untuk itu diperlukan proses pelatihan yang efektiv terhadap para calon fasilitator nantinya.
Bagaimana aparatur harus bertindak ?
Ditingkat desa, sepenuhnya adalah dominasi warga. Sementara di tingkat kecamatan, dimana outputnya
adalah setara dengan Renja SKPD, maka sudah selayaknya di tingkat kecamatan ini, pihak SKPD sudah
harus terlibat aktif. Persoalan yang ada diantara musrenbang tingkat desa dan kecamatan adalah
persoalan transformasi ‘apa yang diresahkan masyarakat’ kedalam ‘format dokumen perencanaan di
SKPD’.
Untuk kepentingan kualitas perencanaan di tiap SKPD, akurasi informasi dan permasalahan yang

dihadapi masyarakat akan menjadi sangat penting untuk di prioritaskan , karena selanjutnya rumusan
rencana SKPD akan jauh lebih mudah untuk dipertanggungjawabkan. Setidaknya efektivitas rencana
relative dapat dijamin bila sumber informasinya langsung dari calon penerima manfaat.

Untuk membangun kesamaan pendapat dan kualitas rasa memiliki hasil-hasil dialog, prosedur yang
dibangun untuk ini adalah berupa pembahasan masalah bersama untuk merumuskan strategi dan upaya
penanganan masalah yang ada. Pihak SKPD akan menjadi narasumber untuk tema/isu yang sesuai,
sementara warga dan lsm atau pakar(bila ada) akan menjadi peserta dalam dialog / forum tersebut.
Untuk menjaga efektivitas komunikasi, diperlukan disini seorang fasilitator yang mengetahui tujuan dan
prinsip-prinsip partisipasi. Perlu ada proses pelatihan khusus untuk ini.
Dengan berorientasi pada format Renja SKPD, setidaknya untuk setiap kegiatan sebagai penjabaran dari
strategi penanganan masalah yang sdh teridentifikasi, akan ada rumusan kegiatan, target dan indicator
akan menjadi perhatian utama dalam hasil akhir di tingkat kecamatan ini. Dengan demikian, selanjutnya
akan mudah untuk diketahui SKPD mana yang paling relevan untuk bertanggung jawab atau mengusung
daftar kegiatan tersebut ke proses penganggaran selanjutnya.

Mekanisme Kerja yang diperlukan
Sebagai konskewensi dari upaya perbaikan diatas, diperlukan perubahan terhadap instrument dan
proses pendampingan yang sesuai dengan kebutuhan yang ada.
Dengan dasar perubahan bahwa
format yang dipergunakan yakni :

untuk mensinkronkan hasil musrenbang, diperlukan sinkronisasi

a. rumusan di tingkat kecamatan menggunakan format yang mengadopsi format Renja SKPD
b. rumusan di tingkat kabupaten menggunakan format yang mengadopsi format Matrik RKPD
Ditingkat kecamatan setidaknya sudah dapat dirumuskan :
-

-

Cara cara (kegiatan) mengatasi masalah yang sudah diidentifikasi di tingkat desa yang sudah di
kelompokkan sesuai cakupan layanan tiap SKPD, sehingga dapat diketahui SKPD mana yang
akan bertanggung jawab terhadap tindak lanjut dari usulan kegiatan ini.
Ukuran atau target yang ditetapkan untuk setiap kegiatan.

Di tingkat SKPD, dengan bekal rumusan di tingkat kecamatan diatas, SKPD melakukan ‘assessment dan
konfirmasi’ untuk setiap usulan kegiatan melalui proses kunjungan lapangan untuk assessment dan
pelaksanan Forum SKPD untuk konfirmasi ke stakeholder.
Di tingkat kabupaten, keseluruhan daftar kegiatan yang telah di nilai dan di konformasikan diatas,
dikonsolidasikan dengan berbagai program pembangunan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah
daerah terkait. Harapan terakhir dari proses ini berupa input bagi pengisian (ingat : bukan penyusunan)
matrik RKPD.
Secara ilustratif, hal ini dapat terlihat pada diagram dibawah ini (lihat diagram : Hubungan fungsional
Musrenbang dengan format perencanaan yang ada)

Diagram : Hubungan fungsional Musrenbang dengan format perencanaan yang ada.

Sumber : Presentasi Guritno Soerjodibroto “ Perencanaan pembangunan untuk rakyat”.

Dari segi operasional, keseluruhan mekanisme yang dibutuhkan untuk mengakomodasi perubahan yang
dimaksud diatas selanjutnya dapat terlihat pada Diagram Alir : Proses Pelaksanaan Modifikasi Musren
Desa + Kecamatan (dibawah).
Perbedaan yang mendasar :
-

Warga lebih didorong untuk menyampaikan permasalahan riil (bukan solusi) yang dihadapi
melalui proses pendampingan yang berkualitas.

-

Aparat formal (SKPD) bersama warga membahas kemungkinan pemecahan masalah yang telah
diidentifikasi yang diorientasikan ke format Renja SKPD

-

Berbagai informasi permasalahan (pelayanan dasar) yang diungkapkan di tingkat desa akan
dimanfaatkan sebagai informasi dasar perencanaan di tiap SKPD

-

Fungsi Bapeda untuk mengkoordinasikan perencanaan pembangunan sudah harus
diselenggarakan pada saat proses pengelompokkan masalah ke kelompok layanan SKPD, dan

mendistribuskannya ke SKPD terkait untuk dimanfaatkan sebagai bahan pembahasan dip roses
di kecamatan.
-

Keseluruhan hasil adalah merepresentasikan makna perencanaan pembangunan yang memang
seharusnya dilakukan yakni : mengatasi masalah atau isu-isu yang ada di masyarakat, sebagai
bagian yang tak terpisahkan dari program pembangunan satu daerah.

Diagarm Alir : Proses Pelaksanaan Modifikasi Musren Desa + Kecamatan

Kelompok
Masayarakat 3

Fasilitator

Pembahasan, perumusan
dan penetapan MASALAH

Kelompok MASALAH
Anggota
MASALAH 1
MASALAH n
Wakil warga Wakil masalah 1
Wakil masalah n
SKPD
SKPD 1
SKPD n
Pakar –Univ Pakar / Univ/LSM
Pakar/Univ/LSM

Strategi Penanganan
MASALAH

Masalah
………

Kegiatan
………..

SKPD
………..

Waktu
jeda

Pengelompokkan MASALAH sesuai
cakupan layanan SKPD :
a. Urusan Wajib
b. Urusan Pilihan

Pendamping
Fasilitator

Proses di tingkat Kecamatan

Kelompok
Masayarakat 1

Proses di tingkat Desa

Kelompok
Masayarakat 2

Manfaat yang akan di dapat :
1. Berbagai ‘keluhan’ atau permasalahan yang dikeluhkan masyarakat sudah dapat diakomodasi
oleh kegiatan dan program sesuai cakupan layanan tiap SKPD
2. Setelah musren Desa, warga tidak lagi mempersoalkan ‘usulan’ yang mereka ajukan. Ada
perobahan cara memahami bahwa : usulan yang diajukan masyarakat belum tentu menjawab
masalah, kalaupun usulan itupun menjawab masalah, usulan tadi belum tentu dapat
diakomodasi oleh SKPD.
3. Dengan tidak adanya proses pengusulan ‘usulan’, maka diharapkan tidak ada lagi muncul istilah
‘proposal siluman’, atau ‘proposal kepentingan pribadi’ bahkan milik atau interest pribadi atau
kelompok .
4. Dengan adanya proses pembahasan bersama dalam merumuskan strategi penanganan tiap
masalah oleh peserta (bila dimungkinkan ada pakar dr warga) bersama SKPD selaku
narasumber, setidaknya akan terjadi ‘pembauran yg solid’ sehingga ‘kesetaraan diantara warga
dan aparat semakin terasa’. Kepemilikan program dan kegiatan menjadi lebih kuat di sisi aparat
dan warga.
5. Dalam penyusunan Renja, tiap SKPD akan menerima informasi yang riil menyentuh harkat dan
hajat hidup masyarakat, sehingga program dan kegiatan SKPD akan lebih memberi manfaat
6. Para pejabat Lurah ataupun Camat, tidak lagi harus menjawab keluhan warga tentang “ apakah
usulan kami sudah ditampung, kapan usulan kami di realisasikan ?”…tetapi dapat lebih
meyakinkan bahwa masalahnya sudah masuk dalam program-program SKPD, tanpa harus
memaksa SKPD mengorbankan ‘interest’nya.
7. Peran Bapeda khusunya atau pemerintah daerah umumnya, akan lebih mudah membangun
‘trust’ masyarakat

Lampiran 1:
Merumuskan Masalah
Merumuskan masalah dengan benar sudah merupakan separo langkah dalam mencapai tujuan.
Pendapat umum ini mudah dipahami, karena dalam berbagai proses perencanaan, hal yang sebenarnya
menjadi titik crucial adalah menetapkan dan merumuskan masalah yang harus diatasi.
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan masalah ?
Ketika melihat berbagai argument mengenai pengertian atau batasan masalah, sangat beragam
jawabnya, dan cenderung memaknakan masalah sebagai hal yang terkait dengan diri sendiri. Akan
tetapi, pengertian masalah yang lebih luas sulit ditemukan. Untuk itu, disini akan ditawarkan
pemahaman untuk ini sebagai langkah atau metoda untuk memfasilitasi perumusan masalah
pembangunan yang dihadapi oleh masyarakat.
Dalam proses musrenbang-musyawarah perencanaan pembangunan di tingkat desa terutama,
masyarakat difasilitasi untuk merumuskan aspirasi, yang selanjutnya diwujudkan dalam bentuk
‘kebutuhan’ yang berupa usulan atau proposal pembangunan. Padahal kenyataanya, setiap proposal
diatas pada akhirnya belum dapat dipastikan sebagai upaya untuk mengatasi masalah yang ada.
Proposal yang ada lebih sering berorientasi pada ‘keinginan maju’, tetapi bukan ‘keinginan mengatasi
masalah’, sehingga pada akhirnya muncul istilah daftar keinginan (wish list). Hal ini terjadi pada proses
musrenbang di berbagai daerah di Indonesia. Hal ini juga karena disebabkan oleh adanya petunjuk
dalam Surat Edaran Bersama yang menyatakan bahwa lewat proses partisipatip dintingkat desa, akan
dihasilkan daftar usulan pembangunan oleh masyarakat.

(Lampiran ini belum selesai, direncanakan untuk dimanfaatkan sebagi satu handouts)