Peran Perempuan Dalam Pendidikan Islam (1)

1

PERAN PEREMPUAN DALAM PENDIDIKAN ISLAMI

A.

Pendahuluan

Jika diperhatikan secara seksama, ada fenomena menarik yang muncul
jelang pemilu legislatif tahun 2014 mendatang, yaitu lebih banyaknya baliho atau
spanduk calon-calon anggota legislatif perempuan untuk Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) pusat maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi
atau kabupaten/kota yang bertebaran baik di desa-desa maupun di perkotaan.
Realitas semakin banyaknya calon anggota legislatif dari perempuan ini
memunculkan pertanyaan : apakah ini menandakan semakin baik dan
meningkatnya taraf pendidikan perempuan di Indonesia? Jawabannya bisa ya bisa
pula tidak.
Seorang perempuan yang hendak mencalonkan diri menjadi anggota
legislatif tentu meniscayakan persyaratan berpendidikan yang cukup tinggi. Tetapi
mengukur peningkatan pendidikan perempuan dari sudut ini sangatlah simplistis
apalagi jika dikaitkan dengan upaya kejar target yang dilakukan oleh partai-partai

peserta pemilu yang diwajibkan memenuhi kuota 30 % keterwakilan perempuan
di parlemen sesuai Undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif
dan Undang-undang No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik, meskipun dua
undang-undang ini oleh beberapa kalangan masih dikritik karena bersifat
diskriminatif dan bertentangan dengan UUD 1945 terutama pasal 27. Dalam pasal
itu disebutkan, segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum

2

dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.
Ditambah lagi jika memperhatikan beberapa data yang mengungkap
tingkat pendidikan perempuan di Indonesia, antara lain :
Dari data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,
terdapat 25% penduduk perempuan berusia 15 tahun ke atas yang tidak memiliki
ijazah, sedangkan 18 dari 100 orang laki-laik berumur di atas 15 tahun tidak
memiliki ijazah.1 Dan penduduk buta aksara di Indonesia usia di atas 15 tahun
sebanyak 6,7 juta. Sebesar 60 persen dari jumlah tersebut adalah perempuan.2
Kemudian Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2011 menyebutkan,
perempuan Indonesia memiliki kecenderungan tidak melanjutkan pendidikan ke

jenjang lebih tinggi. Pada tahun yang sama, data BPS menyebut, angka partisipasi
murni (APM) perempuan jenjang SD 90 persen lebih, APM perempuan jenjang
SMP 69 persen lebih. Sedang APM perempuan jenjang SMU 48 persen lebih.
Selain itu, angka perempuan yang melek huruf pun jauh lebih rendah dibanding
lelaki, 90 persen untuk perempuan, sedangkan lelaki mencapai 95,59 persen.3
Fakta dan data tersebut di atas jelas masih menggambarkan problem dan
ironi tentang pendidikan perempuan di Indonesia yang di tahun 2013 ini menurut
BPS data penduduk perempuan adalah sebanyak 118.010.413 orang atau 49,66
persen dari total jumlah penduduk sebesar 237.641.326.4
Data tentang realitas pendidikan perempuan di Indonesia di atas hanyalah sedikit
gambaran tentang masih adanya ketimpangan (bias) gender yang dialami kaum
1
2
3
4

http://finance.detik.com. Tanggal 05-03-2013
http://kampus.okezone.com. Tanggal 28-02-2013
http://www.portalkbr.com. Tanggal 12-08-2013
http://www.tempo.co. tanggal 26-04-2013


3

perempuan. Ada banyak faktor penyebab mengapa kaum perempuan mengalami

bias (ketimpangan) gender, sehingga mereka belum setara. Pertama, budaya
patriarkhi yang sedemikian lama mendominasi dalam masyarakat. Kedua, faktor
politik, yang belum sepenuhnya berpihak kepada kaum perempuan. Ketiga, faktor
ekonomi dimana sistem kapitalisme global yang melanda dunia, seringkali justru
mengeksploitasi kaum perempuan. Keempat, faktor interpretasi teks-teks agama
yang bias gender.5
Dalam makalah ini penulis mencoba untuk mendeskripsikan peran
perempuan dalam pendidikan Islami. Beberapa sub pokok bahasan yang akan
penulis jelaskan adalah tentang makna peran perempuan, pentingnya partisipasi
perempuan dalam pendidikan, gerakan gender equality dan dampaknya bagi
pendidikan generasi penerus bangsa dan konsep gender equality dalam al-qur'an.

B.

Makna Peran Perempuan

Membicarakan peran perempuan tak bisa lepas dari pembicaraan tentang

hak-hak perempuan yang dimilikinya. Quraish Shihab menjelaskan, setidaknya
ada tiga hak yang dimiliki oleh perempuan yaitu : 1) Hak dalam bidang politik, 2).
Hak dalam memilih pekerjaan, dan 3). Hak dalam belajar.6
Dalam bidang politik hak perempuan dilegitimasi oleh al-Qur’an. Lebih lanjut
Quraish Shihab menjelaskan, s alah satu ayat yang seringkali dikemukakan oleh para

5 Abdul Mustaqim, Paradigma Tafsir Feminis : Membaca al-Qur`an dengan
Optik Perempuan, (Yogyakarta : Logung Pustaka, 2008), h. 15
6 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an, http://media.isnet.org

4

pemikir Islam dalam kaitan dengan hak-hak politik kaum perempuan adalah yang
tertera dalam surah Al-Tawbah ayat 71:
  
    



 

   
    
      

Artinya : Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka
adalah awliya' bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh untuk
mengerjakan yang ma'ruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka
itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa
lagi Mahabijaksana.

Secara umum, ayat di atas dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban
melakukan kerja sama antarlelaki dan perempuan dalam berbagai bidang
kehidupan yang dilukiskan dengan kalimat menyuruh mengerjakan yang ma'ruf
dan mencegah yang munkar. Kata awliya', dalam pengertiannya, mencakup kerja
sama, bantuan dan penguasaan, sedang pengertian yang dikandung oleh
"menyuruh mengerjakan yang ma'ruf" mencakup segala segi kebaikan atau
perbaikan kehidupan, termasuk memberi nasihat (kritik) kepada penguasa.

Dengan demikian, setiap lelaki dan perempuan Perempuan hendaknya mampu
mengikuti perkembangan masyarakat agar masing-masing mereka mampu melihat
dan memberi saran (nasihat) dalam berbagai bidang kehidupan.7
Dalam catatan sejarah kenabian sendiri ada sejumlah besar perempuan
yang ikut memainkan peran-peran ini (politik) bersama kaum laki-laki. Khadijah,
Aisyah, Umm Salamah, dan para isteri nabi yang lain, Fathimah (anak), Zainab
(cucu) dan Sukainah (cicit). Mereka sering terlibat dalam diskusi tentang tema7

Ibid

5

tema sosial dan politik, bahkan mengkritik kebijakan-kebijakan domestik maupun
publik

yang

patriarkis.

Partisipasi


perempuan

juga

muncul

dalam

sejumlah“baiat” (perjanjian, kontrak) untuk kesetiaan dan loyalitas kepada
pemerintah. Sejumlah perempuan sahabat nabi seperti Nusaibah bint Ka’b, Ummu
Athiyyah al Anshariyyah dan Rabi’ bint al Mu’awwadz ikut bersama laki-laki
dalam perjuangan bersenjata melawan penindasan dan ketidakadilan. Umar bin
Khattab juga pernah mengangkat al Syifa, seorang perempuan cerdas dan
terpercaya, untuk jabatan manejer pasar di Madinah.8
Terkait hak dalam memilih pekerjaan, Kalau kita kembali menelaah
keterlibatan perempuan dalam pekerjaan pada masa awal Islam, maka tidaklah
berlebihan jika dikatakan bahwa Islam membenarkan mereka aktif dalam berbagai
aktivitas. Para perempuan boleh bekerja dalam berbagai bidang, di dalam ataupun
di luar rumahnya, baik secara mandiri atau bersama orang lain, dengan lembaga

pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukannya dalam
suasana terhormat, sopan, serta selama mereka dapat memelihara agamanya, serta
dapat pula menghindari dampak-dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap
diri dan lingkungannya. Secara singkat, dapat dikemukakan rumusan menyangkut
pekerjaan perempuan yaitu bahwa "perempuan mempunyai hak untuk bekerja,
selama

pekerjaan

tersebut

membutuhkannya

dan

atau

selama

mereka


membutuhkan pekerjaan tersebut"9
Dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh setiap
orang, termasuk kaum perempuan, mereka mempunyai hak untuk bekerja dan
8

Husein Muhammad, Partisipasi Politik Perempuan, artikel dalam
http://www.islamlib.com
9 Quraish, Membumikan….

6

menduduki jabatan jabatan tertinggi. Hanya ada jabatan yang oleh sementara
ulama dianggap tidak dapat diduduki oleh kaum perempuan, yaitu jabatan Kepala
Negara (Al-Imamah Al-'Uzhma) dan Hakim. Namun, perkembangan masyarakat
dari saat ke saat mengurangi pendukung larangan tersebut, khususnya
menyangkut persoalan kedudukan perempuan sebagai hakim.10
Kemudian tentang hak perempuan dalam belajar, sebagaimana dijelaskan
pula oleh Quraish Shihab11, bahwa terlalu banyak ayat Al-Quran dan hadis Nabi
saw. yang berbicara tentang kewajiban belajar, baik kewajiban tersebut ditujukan

kepada lelaki maupun perempuan. Wahyu pertama dari Al-Quran adalah perintah
membaca atau belajar.
     
...Bacalah demi Tuhanmu yang telah menciptakan “
Baik lelaki maupun perempuan diperintahkan untuk menimba ilmu
sebanyak mungkin, mereka semua dituntut untuk belajar. Para perempuan di
zaman Nabi saw. menyadari benar kewajiban ini, sehingga mereka memohon
kepada Nabi agar beliau bersedia menyisihkan waktu tertentu dan khusus untuk
mereka dalam rangka menuntut ilmu pengetahuan. Permohonan ini tentu saja
dikabulkan oleh Nabi saw.
Al-Quran memberikan pujian kepada ulu al-albab, yang berzikir dan
memikirkan tentang kejadian langit dan bumi. Zikir dan pemikiran menyangkut
hal tersebut akan mengantar manusia untuk mengetahui rahasia-rahasia alam raya
ini, dan hal tersebut tidak lain dari pengetahuan. Mereka yang dinamai ulu al10 Ibid
11 Ibid

7

albab tidak terbatas pada kaum lelaki saja, tetapi juga kaum perempuan. Hal ini
terbukti dari ayat yang berbicara tentang ulu al-albab yang dikemukakan di atas.

Setelah Al-Quran menguraikan tentang sifat-sifat mereka, ditegaskannya bahwa:
      
.…        

Artinya : “Maka Tuhan mereka mengabulkan permohonan mereka dengan
berfirman: "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orangorang yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun
perempuan..." (QS 3:195).
Ini berarti bahwa kaum perempuan dapat berpikir, mempelajari dan
kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati dari zikir kepada Allah serta apa
yang mereka ketahui dari alam raya ini. Pengetahuan menyangkut alam raya
tentunya berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu, sehingga dari ayat ini dapat
dipahami bahwa perempuan bebas untuk mempelajari apa saja, sesuai dengan
keinginan dan kecenderungan mereka masing-masing.
C.

Pentingnya Partisipasi Perempuan Dalam Pendidikan
Salah satu hak kemanusiaan adalah menuntut ilmu. Demikian juga

perempuan bebas dalam menuntut ilmu.12 Lebih jelas, Ibrahim Amini
mengungkapkan bahwa apabila perempuan tidak bersuami, maka dia bisa mencari
ilmu dan tidak seorangpun yang mencegahnya untuk belajar. Namun apabila ia
menikah untuk melanjutkan pendidikan, dia harus bermusyawarah dan saling
memahami dengan suaminya.13
Dalam konteks pendidikan Islam Pentingnya pendidikan bagi perempuan
12 Ibrahim Amini. Bangga Jadi Muslimah. Jakarta:Al-Huda.2007. Hal. 15
13 Ibid. Hal. 15

8

tidak terlepas dari perannya yang sangat sentral dalam pendidikan anak-anaknya
kelak. Artinya, perempuan merupakan figur inti bagi pendidikan dalam ranah
domestik-rumah tangganya. Pendek kata, perempuan adalah ujung tombak
pendidikan masyarakat dalam mengembangkan budaya, sosial, sastra, politik
hingga agama.
Apabila kita kaji kembali sejarah Islam baik di bidang politik, pertahanan
negara, irfan, dan ilmu hadits, maka kita akan melihat banyak perempuan teladan
yang memiliki andil besar dalam perjuangan dan dakwah Islam.14
Di zaman Rasulullah saw., seorang perempuan bernama Khansa’ dikenal
dengan andilnya yang cukup besar dalam mendidik anak-anaknya, dengan
memotivasi dan mempersiapkan mental mereka, dan mengirim mereka ke medan
perang. Khansa’ merupakan penyair terkemuka pada masa Jahiliyyah hingga ia
memeluk Islam dan menjadi perempuan penyair terkenal.
Banyak perempuan lain dalam Islam yang memiliki peran strategis dalam
melakukan transformasi sosial di lingkungannya. Lemahnya pendidikan bagi
perempuan akan berpengaruh besar pada lemahnya umat Islam baik dari segi
budaya, politik, hukum dan sebagainya.
Peran perempuan yang demikian besar itu telah dicatat oleh sejarah.
Dimana peran pendidikan itulah yang menjadi kekuatan besar dalam
mengembangkan peradaban umat. Dengan ini bisa dikatakan bahwa emansipasi
sudah berjalan dalam Islam sejak lama.
Di Indonesia sendiri, fakta yang menunjukkan pendidikan agama bagi
14 Jawadi Amuli. Keindahan dan Keagungan Wanita; Pandangan Ilahi.
Jakarta:Lentera.2005. Hal. 352

9

perempuan Indonesia sudah dimulai sejak 1920-an. Bahkan, fenomena perempuan
yang berpartisipasi dalam budaya tinggi Islam, seperti pembacaan Al-Quran,
menjadi pegawai pemerintah, pendidikan kegamaan tampak lebih nyata di
Indonesia ketimbang di Mesir”.15 Fenomena tersebut bertahan hingga kini bahkan
terus berkembang. Perempuan di Indonesia secara positif berkompetisi dalam
pembangunan kebudayaan, pendidikan dan sosial dalam masyarakat Islam.
Lebih-lebih, perempuan saat ini tingkat pendidikan dan kesadaran terhadap
pendidikannya terus meningkat. Situasi ini memungkinkan perempuan berperan
lebih besar dalam membangun dan mengembangkan peradaban umat Islam
bahkan global.
Namun ada hal yang paradoxical dalam pembicaraan mengenai
pendidikan dan perempuan. Di satu sisi, peran pendidik sering diidentikkan
dengan perempuan, sementara di sisi lain akses kaum perempuan ke dunia
pendidikan masih merupakan masalah besar.
Pengajar atau guru sering diidentikkan dengan perempuan, karena
pekerjaan ini lebih mengutamakan kesabaran, ketelatenan dan kepedulian. Hal-hal
tersebut identik dengan sikap feminine yang dimiliki oleh kaum perempuan. Oleh
karena itu, dalam tulisan-tulisan klasik berbahasa Inggris, kata ganti untuk guru
seringkali digunakan kata ganti untuk orang ketiga perempuan (she). Bahkan
dalam Islam juga diajarkan bahwa sekolah pertama bagi anak-anak adalah ibunya

15 Syafiq Hasyim (Ed.). Menakar “Harga: Perempuan. Bandung: Mizan. 1999.
Hal. 36

10

(perempuan). Hal ini menunjukkan bahwa peran perempuan dalam dunia
pendidikan sesungguhnya sudah berlangsung sejak sangat lama.16
Peran perempuan sebagai pengajar atau guru ternyata seringkali tidak
sebanding dengan tingkat partisipasi perempuan sebagai peserta didik. Pada
umumnya, akses kaum perempuan untuk memperoleh pendidikan formal,
terutama di negara-negara berkembang belum sebesar kaum laki-laki.
David Archer, sebagaimana dikutip Muhammad Zuhdi, menyebutkan
bahwa salah satu kegagalan yang sangat serius di dunia pendidikan dalam upaya
global mengejar tujuan pembangunan millenium (Millenium Development Goals)
adalah akses kaum perempuan di dunia pendidikan. Menurut Archer lebih dari
100 juta anak di dunia tidak memiliki akses ke sekolah, dan 59% dari mereka
adalah anak-anak perempuan. Lebih dari itu lebih dari satu juta orang dewasa
tidak bisa baca-tulis, dan dua pertiganya adalah perempuan. Banyak persoalan
sosial di berbagai belahan dunia yang dapat dipecahkan atau dikurangi jika anakanak memiliki kemampuan baca-tulis yang memadai.17
Rendahnya akses kaum perempuan ke dunia pendidikan formal antara lain
disebabkan oleh masih berkembangnya anggapan bahwa laki-laki adalah tulang
punggung keluarga, dan karenanya merekalah yang lebih perlu memperoleh
pendidikan agar kelak mendapat pekerjaan yang layak. Sementara perempuan

16 Muhammad Zuhdi, Pendidikan dan Perempuan, makalah pada forum
diskusi bulanan Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Senin, 18 Desember 2006
17 Ibid

11

tidak memiliki tanggung jawab sebesar laki-laki dalam hal memperoleh pekerjaan
dan memberikan nafkah kepada keluarga.
D.

Gerakan Gender Equality Dan Dampaknya Bagi Pendidikan Generasi
Penerus Bangsa
Sekarang ini, kita semua melihat bahwa kehidupan masyarakat manusia

sedang menuju pada tuntutan-tuntutan demokratisasi, keadilan, dan penegakan
hak-hak asasi manusia. Semua tema ini meniscayakan adanya kesetaraan manusia.
Dan semua ini merupakan nilai-nilai yang tetap diinginkan oleh kebuadayaan
manusia di segala tempat dan zaman. Tuhan juga tentu menghendaki semua nilai
terwujud dalam kebudayaan manusia. Oleh karena itu, nilai-nilai tersebut
seharusnya

menjadi

landasan

bagi

semua

kepentingan

wacana-wacana

kebudayaan, ekonomi, hukum dan politik. Dengan begitu, dalam wacana-wacanaa
ini diharapkan tidak akan lagi ada pernyataan-pernyataan yang memberi peluang
bagi

terciptanya

sistem

kehidupan

yang

diskriminatif,

subordinatif,

memarjinalkan manusia, siapapun orangnya dan apapun jenis kelaminnya, lakilaki ataupun perempuan.18 Nilai-nilai ideal tentang kesetaraan pun tak terkecuali
menjadi tuntutan dan wacana kritis dalam dunia pendidikan Islam baru-baru ini.
Jika kita kembali membaca ulang tentang rumusan tujuan pendidikan Islam
antara lain bahwa Pendidikan Islam bertujuan mencapai pertumbuhan kepribadian
manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan jiwa, intelek, diri
manusia yang rasional, perasaan dan indera. Karena itu pendidikan harus
mencakup pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya : spiritual, intelektual,
18

Husein Muhammad, Fiqh Perempuan : Refleksi Kiai atas Wacana Agama
dan Gender (Yogyakarta : LKiS, 2007) hlm. 15-16

12

imajinasi, fisik, ilmiah, bahasa, baik secara individual maupun secara kolektif, dan
mendorong semua aspek ini ke arah kebaikan dan mencapai kesempurnaan.
Tujuan akhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan ketundukan yang
sempurna kepada Allah baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat
manusia”.19 Dalam rumusan tujuan pendidikan Islam ini tidak dijumpai adanya
diskriminasi antara laki-laki ataupun perempuan yang bernotabene makhluk Allah
yang sama-sama sempurna.
Wacana tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan ini lazim disebut
sebagai kesetaraan gender. Dalam memahami konsep gender, Mansour Fakih
membedakannya antara gender dan seks (jenis kelamin). Pengertian seks lebih
condong pada pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia berdasarkan
ciri biologis yang melekat, tidak berubah dan tidak dapat dipertukarkan. Dalam
hal ini sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau 'kodrat'. Sedangkan konsep
gender adalah sifat yang melekat pada laki-laki atau perempuan yang dikonstruksi
secara sosial maupun kultural dan dapat dipertukarkan. Sehingga semua hal yang
dapat dipertukarkan antara sifat laki-laki dan perempuan, yang bisa berubah dari
waktu ke waktu, dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas
ke kelas yang lain, itulah yang disebut dengan gender.20
Wacana gender merupakan isu penting di awal tahun 2000-an. Isu ini jauhjauh hari telah diprediksi pada tahun 1990-an oleh John Naisbit dan Patricia
19

Rumusan tujuan pendidikan Islam tersebut merupakan hasil konferensi
Internasional Pertama tentang Pendidikan Islam di Mekkah pada 1977. Lihat
Azyumardi Azra dalam Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi di Tengah
Tantangan Millenium III (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2012) hlm.
64
20 Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005), hlm. 8-9

13

Aburdene, sebagaimana dikutip Jamali Sahrodi.. Kedua futurolog suami istri ini
melihat fenomena yang muncul pada abad ke-20 sebagai titik tolak kebangkitan
kaum perempuan. Bermula dari gerakan feminism, yang mengejar kesetaraan
kaum perempuan dari kaum laki-laki. Kemudian, tuntutan kaum feminism
menuntut kesamaan dalam berbagai bidang kehidupan manusia antara laki-laki
dan perempuan. Gencarnya gerakan kaum feminis dapat dipahami sebagai
counter atas sikap sosial yang tidak adil atas kaum perempuan sepanjang masih
terdapat adanya ketimpangan sikap masyarakat terhadap kaum perempuan.21
Secara   etimologis   kata   ‘gender’   berasal   dari   bahasa   Inggris   yang   berarti
‘jenis kelamin’.  22 Dalam Webster’s New World Dictionary , Edisi 1984 ‘gender’
diartikan sebagai ‘perbedaan ya ng tampak antara laki­laki dan perempuan dilihat
dari segi nilai dan tingkah laku’ . Sementara itu dalam Concise Oxford Dictionary
of  Current  English  Edisi  1990, kata  ‘gender’ diartikan  sebagai  ‘penggolongan
gramatikal terhadap kata­kata benda dan kata­kata lain yang berkaitan dengannya,
yang secara garis besar berhubungan dengan jenis kelamin serta ketiadaan jenis
kelamin (atau kenetralan)’.
Secara   terminologis,   ‘gender’   oleh   Hilary   M.   Lips   didefinisikan   sebagai
harapan­harapan   budaya   terhadap   laki­laki   dan   perempuan.   H.T.   Wilson
mengartikan   ‘gender’   sebagai   suatu   dasar   untuk   menentukan   perbedaan
sumbangan   laki­laki   dan   perempuan   pada   kebudayaan   dan   kehidupan   kolektif
yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki­laki dan perempuan. Sementara itu,
21 Jamali Sahrodi, Gender dalam Perspektif Masaruddin Umar, dalam jurnal Equalita

22

vol. 8 No. 1 juli 2008, Pusat Studi Gender, Cirebon, h. 105
Echols, John M. dan Hassan Shadily,
Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta:
Gramedia), Cet. XII, h. 265

14

Elaine Showalter mengartikan ‘gender’ lebih dari sekedar pembedaan laki­laki
dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya. Ia lebih menekankan gender
sebagai konsep analisis yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu.23
Istilah gender diketengahkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan
mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan
Allah dan mana yang merupakan bentukan budaya yang dikonstruksikan,
dipelajari, dan disosialisasikan. Pembedaan ini sangat penting karena selama ini
seringkali dicampuradukan mana cirri manusia yang kodrati dan dapat berubah
atau diubah, dengan ciri manusia yang bersifat nonkodrati yang sebenarnya dapat
berubah atau diubah. Dengan kata lain, masyarakat tidak membedakan yang mana
sebetulnya jenis kelamin (kodrat) dan yang mana gender24.
Wacana dan gerakan gender berangkat dari realitas ketertindasan, dan
keterpinggiran kaum perempuan dalam banyak ranah kehidupan antara lain ranah
pendidikan. Padahal, sebagaimana dinyatakan Ramayulis, bahwa pendidikan
perempuan dalam ajaran Islam termasuk kewajiban agama karena pengetahuan
merupakan suatu kebutuhan bagi manusia. Pendidikan bagi perempuan tidak
terbatas pada pendidikan agama saja tetapi meliputi juga pendidikan rumah
tangga,

(cara

mendidik

dan

membesarkan

anak),

pendidikan

social

kemasyarakatan dan pendidikan intelektual.25

23
24

Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an. (Jakarta:
Paramadina, 1999), h. 33-34

Jamali Sahrodi, Filsafat Pendidikan Islami (Bandung : Arfino Raya, 2011),
hlm. 105
25 Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta : Kalam Mulia, 2012), hlm.
409

15

Kebijakan nasional menyangkut pendidikan dapat ditelusuri dari UU No. 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan bahwa
kesempatan pendidikan pada setiap satuan pendidikan tidak membedakan jenis
kelamin, agama, suku, ras, kedudukan sosial, dan tingkat kemampuan ekonomi,
dan tetap mengindahkan kekhususan satuan pendidikan yang bersangkutan (pasal
7). Selanjutnya Undang-undang tersebut direspon oleh pemerintah untuk
membuat kebijakan yang megakomodir isu gender dalam pendidikan berupa
Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam
Pembangunan Nasional. Instruksi Presiden tersebut kemudian juga dijabarkan
oleh Menteri Pendidikan Nasional dengan melahirkan kebijakan berupa Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional nomor 84 tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan yang menekankan kepada setiap
satuan unit kerja bidang pendidikan yang melakukan perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan, dan program pembangunan
bidang pendidikan agar mengintegrasikan gender di dalamnya.
Meskipun kebijakan nasional di bidang pendidikan seperti dipaparkan di
atas sudah cukup memadai untuk dijadikan acuan pembangunan pendidikan yang
berwawasan gender, namun dalam realitasnya masih saja terjadi ketimpangan
gender.
Sejumlah hasil penelitian mengungkapkan bahwa kesenjangan gender bukan
diakibatkan oleh satu faktor tunggal, melainkan terdapat sejumlah faktor yang
saling kait mengkait. Setidaknya, dapat disebutkan empat faktor utama, yakni
faktor akses, kontrol, partisipasi dan benefit. Faktor akses terlihat nyata dalam

16

proses penyusunan kurikulum dan proses pembelajaran yang cenderung bias lakilaki (bias toward male). Dalam kedua proses ini harus diakui proporsi laki-laki
sangat dominan. Indikasinya dapat dilihat pada penulis buku-buku pelajaran
dalam berbagai bidang studi yang mayoritas adalah laki-laki (85%). Selain itu,
jumlah tenaga pengajar lebih didominasi laki-laki. Akibatnya, proses pembelajaran menjadi bias laki-laki (bias against female). Kondisi ini semakin diperburuk
oleh kenyataan bahwa sensitivitas gender masyarakat, baik laki-laki dan
perempuan masih sangat rendah.26
Pendidikan termasuk salah salah satu pranata sosial yang paling
bertanggung jawab melestarikan ketimpangan-ketimpangan gender. Materi
pengajaran agama yang berkembang juga merupakan salah satu faktor yang
mungkin banyak mempengaruhi budaya patriarkhal. Materi-materi ini harus dikaji
ulang dan disusun kembali agar ketimpangan-ketimpangan tidak lagi terjadi, dan
keadilan bagi perempuan- yang juga keadilan bagi semua –akan terwujud.27
Ketimpangan gender dalam pendidikan, antara lain berwujud kesenjangan
memperoleh kesempatan yang konsisten pada setiap jenis dan jenjang pendidikan.
Perempuan cenderung memiliki kesempatan pendidikan yang lebih kecil
dibandingkan dengan laki-laki. Semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin lebar
kesenjangannya. Kesenjangan ini pada gilirannya membawa kepada berbedanya
rata-rata penghasilan laki-laki dan perempuan.
E.

Konsep Gender Equality dalam al-Qur'an

26 Iswah Adriana, Kurikulum Berbasis Gender : Membangun Pendidikan
Berkesetaraan (Jurnal Tadrîs. Volume 4. Nomor 1. 2009)
27 Jamali Sahrodi, Filsafat Pendidikan Islami, hlm. 105

17

Nasaruddin Umar menjelaskan bahwa Al-Qur'an memberikan pandangan
optimistis terhadap kedudukan dan keberadaan perempuan. Semua ayat yang
membicarakan tentang Adam dan pasangannya, sampai keluar ke bumi, selalu
menekankan kedua belah pihak dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang
(dlamir mutsanna), seperti kata huma, misalnya keduanya memanfaatkan fasilitas
sorga (Q., s. al-Baqarah/2:35), mendapat kualitas godaan yang sama dari setan
(Q., s. al-A'rif/7:20), sama-sama memakan buah khuldi dan keduanya menerima
akibat terbuang ke bumi (7:22), sama-sama memohon ampun dan sama-sama
diampuni.Tuhan (7:23). Setelah di bumi, antara satu dengan lainnya saling
melengkapi, "mereka adalah pakaian bagimu dan kamu juga adalah pakaian bagi
mereka" (Q., s. al-Baqarah/2:187).28
Ukuran kemuliaan di sisi Tuhan adalah prestasi dan kualitas tanpa
membedakan etnik dan jenis kelamin (Q., s. al-Hujurat/49:13). Al-Qur'an tidak
menganut faham the second sex yang memberikan keutamaan kepada jenis
kelamin tertentu, atau the first ethnic, yang mengistimewakan suku tertentu. Pria
dan wanita dan suku bangsa manapun mempunyai potensi yang sama untuk
menjadi 'abid dan khalifah (Q., s. al-Nisa'/4:124 dan s. al-Nahl/16:97).29
Sosok ideal, perempuan muslimah (syakhshiyah al-ma'rah) digambarkan
sebagai kaum yang memiliki kemandirian politik/al-istiqlal al-siyasah (Q., s. alMumtahanah/60:12), seperti sosok Ratu Balqis yang mempunyai kerajaan
"superpower"/'arsyun 'azhim (Q., s. al-Naml/27:23); memiliki kemandirian
28 Nasaruddin Umar, Perspektif Jender Dalam Islam, http://media.isnet.org
29 Ibid

18

ekonomi/al-istiqlal al-iqtishadi (Q., s. al-Nahl/16:97), seperti pemandangan yang
disaksikan Nabi Musa di Madyan, wanita mengelola peternakan (Q., s. alQashash/28:23), kemandirian di dalam menentukan pilihan-pilihan pribadi/alistiqlal al-syakhshi yang diyakini kebenarannya, sekalipun harus berhadapan
dengan suami bagi wanita yang sudah kawin (Q., s. al-Tahrim/66:11) atau
menentang pendapat orang banyak (public opinion) bagi perempuan yang belum
kawin (Q., s. al-Tahrim/66:12). Al-Qur'an mengizinkan kaum perempuan untuk
melakukan gerakan "oposisi" terhadap berbagai kebobrokan dan menyampaikan
kebenaran (Q., s. al-Tawbah/9:71). Bahkan al-Qur'an menyerukan perang terhadap
suatu negeri yang menindas kaum perempuan (Q., s. al-Nisa'/4:75).30
Gambaran yang sedemikian ini tidak ditemukan di dalam kitab-kitab suci
lain. Tidaklah mengherankan jika pada masa Nabi ditemukan sejumlah perempuan
memiliki kemampuan dan prestasi besar sebagaimana layaknya kaum laki-laki.
Untuk memilih tipe bagi manusia mukmin, Allah SWT mencontohkan
perempuan-perempuan sebagai teladan. Sebagaimana tersebut dalam Al-Quran
Surat At-Tahrim ayat 11;





      
      
     

dan Allah membuat isteri Fir'aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia
berkata: "Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu[1488] dalam firdaus, dan
selamatkanlah aku dari Fir'aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang
zhalim.

30 Ibid

19

dan memilih untuk memilih tipe bagi kaum kafir sebagaimana dalam At-Tahrim
ayat 10;
      
      

 



       
  
Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir.
keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba
kami; lalu kedua isteri itu berkhianat[1487] kepada suaminya (masing-masing), Maka suaminya
itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya):
"Masuklah ke dalam Jahannam bersama orang-orang yang masuk (jahannam)".

Dari

kedua

ayat

tersebut,

perlu

dicermati

bagaimana

Allah

merepresentasikan kedua tipologi manusia yang berlawanan tersebut kepada
sosok perempuan. Ini menunjukkan bahwa suatu transformasi baik yang bersifat
progresif (maju) atau degradatif (mundur) di berbagai aspek kehidupan tidak lepas
dari peranan kaum perempuan; artinya peradaban dunia Islam tidak lepas dari
kaum muslimahnya.31
Disamping konsepsi kesetaraan gender yang tergambar dalam al-Qur`an di
atas, begitu pula ada beberapa riwayat yang menjelaskan bahwa nabi tidak pernah
membedakan kesempatan untuk menggali pengetahuan tentang keislaman bagi
para sahabatnya baik laki-laki maupun perempuan. Dalam riwayat lain misalnya,
imam Bukhori pernah menggambarkan bahwa istri nabi Muhammad Saw yaitu
Aisyah binti Abu Bakar ra pernah memuji para perempuan Anshar yang selalu
belajar sebagaimana penuturannya : “perempuan terbaik adalah mereka yang dari
Anshar, merek tidak pernah malu untuk belajar agama”. (riwayat Bukhori,
31 Hj. Masyithoh, Peran Pendidikan Muslimah Dalam Mengembangkan
Kebudayaan, Pendidikan Dan Sosial Dalam Masyarakat Islam, Makalah
dalam Seminar, “Islamic World: Women’s Role and Responsibility of Muslim
Women” 17 Des 2011

20

Muslim, Abu Daud dan An-Nasa`i). Bahkan mereka berani menuntut kepada Nabi
Saw ketika mereka merasakan bahwa hak belajar mereka tidak terpenuhi bila
dibandingkan dengan kesempatan yang diberikan kepada sahabat laki-laki.32
Ditegaskan pula oleh Asghar Ali Engineer, bahwa hak-hak wanita yang telah
digariskan di dalam syariat tidak hanya didasarkan pada teks Al-Qur`an, namun
juga pada sunnah Nabi dan pendapat para fuqaha (hakim). Seorang hakim Mesir
yang sangat terkenal, al- Shaikh Muhammad al- Khadari, dalam bukunya
mengatakan bahwa, sebagaimana dikutip Asghar, fiqh al- islami (hukum Islam)
didasarkan pada al-Qur’an, apa yang datang dari Rasul Allah- ucapan dan
perbuatannya, serta ara’ al fuqaha (pendapat para hakim yang dipengaruhi oleh
zamannya masing-masing). Sehingga jelas sekali bahwa syariat itu juga
bercampur dengan pendapat orang yang tidak lepas dari konteks zaman ketika dia
hidup.33
Semuanya semakin menegaskan bahwa al-Qur`an, Sunnah dan berbagai
pendapat para ulama mengandung ajaran yang tidak menegasikan hak-hak dan
peran perempuan dalam Islam. Kehadiran Islam di muka bumi ini termasuk
membawa misi kesamaan derajat manusia yang tak memandang jenis kelamin
laki-laki maupun perempuan sebagai pengejawantahan ajaran tauhid sebagai
ajaran utama dalam Islam. Di mata Tuhan yang menentukan kualitas manusia
hanyalah ketakwaan kepada-Nya.
F.

Penutup

32 Lihat tulisan Faqihuddin Abdul Kodir, Menuju Pendidikan Yang Memihak Perempuan,
dalam Swara Rahima edisi No. III, Maret 2003, h. 20-24

33
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung
Prihantoro, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), cet. V, h. 236

21

Demikian deskripsi tentang peran perempuan dalam pendidikan Islami yang
menguraikan beberapa sub topik bahasan seperti tentang makna peran perempuan
yang tak bisa dilepaskan dari hak-hak yang dimiliki perempuan baik hak dalam
bidang politik, memilih pekerjaan maupun hak dalam belajar (pendidikan).
Tentang pentingnya partisipasi perempuan dalam pendidikan juga diulas
bagaimana sesungguhnya perempuan pun memiliki akses yang sama untuk
mengaktualisasikan diri dalam bidang pendidikan sebagai konsekwensi wajar dari
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan bersama membangun
peradaban manusia yang harmonis dengan ditegakkannya keadilan, kesetaraan,
dan keharmonisan hubungan sesama manusia.
Dalam konteks pendidikan Islami, konsep-konsep gender equality
sedemikian rupa dielaborasi dan memiliki landasan konseptual yang kuat karena
diterakan dalam al-Qur`an, hadits Nabi serta sejarah Islam sendiri. Dengan
demikian kesetaraan laki-laki dan perempuan (gender equality) merupakan bagian
yang inheren dengan ajaran Islam itu sendiri. Meskipun oleh beberapa kalangan
ditentang dan ditolak karena dianggap sebagai konsep dan gerakan dari barat yang
berakar dari feminisme barat yang bertentangan dengan nilai dan ajaran Islam.

22

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mustaqim, Paradigma Tafsir Feminis : Membaca al-Qur`an
dengan Optik Perempuan, (Yogyakarta : Logung Pustaka,
2008)
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung
Prihantoro, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), cet. V
Azyumardi Azra dalam Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi
di Tengah Tantangan Millenium III (Jakarta : Kencana Prenada
Media Group, 2012)

23

Faqihuddin Abdul Kodir, Menuju Pendidikan Yang Memihak
Perempuan, dalam Swara Rahima edisi No. III, Maret 2003
Hj.

Masyithoh,
Peran
Pendidikan
Muslimah
Dalam
Mengembangkan Kebudayaan, Pendidikan Dan Sosial Dalam
Masyarakat Islam, Makalah dalam Seminar, “Islamic World:
Women’s Role and Responsibility of Muslim Women” 17 Des
2011

Husein Muhammad, Fiqh Perempuan : Refleksi Kiai atas Wacana
Agama dan Gender (Yogyakarta : LKiS, 2007)
Husein Muhammad, Partisipasi Politik Perempuan, artikel dalam
http://www.islamlib.com
Ibrahim Amini. Bangga Jadi Muslimah. Jakarta:Al-Huda.2007
Iswah Adriana, Kurikulum Berbasis Gender : Membangun
Pendidikan Berkesetaraan (Jurnal
Jamali Sahrodi, Filsafat Pendidikan Islami (Bandung : Arfino Raya,
2011)
Jawadi Amuli. Keindahan dan Keagungan Wanita; Pandangan
Ilahi. Jakarta:Lentera.2005
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an,
http://media.isnet.org
Mansour Fakih, Analisis Gender &
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005)

Transformasi

Sosial

Muhammad Zuhdi, Pendidikan dan Perempuan, makalah pada
forum diskusi bulanan Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Senin, 18 Desember 2006
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif AlQur’an. (Jakarta: Paramadina, 1999)
Nasaruddin
Umar,
Perspektif
http://media.isnet.org

Jender

Dalam

Islam,

Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta : Kalam Mulia,
2012)
Syafiq Hasyim (Ed.). Menakar “Harga: Perempuan. Bandung:
Mizan. 1999

24

Website
http://finance.detik.com. Tanggal 05-03-2013
http://kampus.okezone.com. Tanggal 28-02-2013
http://www.portalkbr.com. Tanggal 12-08-2013
http://www.tempo.co. tanggal 26-04-2013