BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Hijab sebagai Pemaknaan Sosial - Makna Simbolik Jilbab dalam Komunitas Berjilbab (Hijabers Community)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Hijab sebagai Pemaknaan Sosial

  Seperti yang dikutip penulis dalam Fadwa El Guindi (2005:30), jilbab secara etimologi berasal dari Bahasa Inggris, yaitu veil. Veil mempunyai empat dimensi pengertian, yaitu “dimensi material”, “dimensi ruang”, “dimensi komunikasi”, dan “dimensi religius”. Dimensi material berisi pakaian dan ornamen-oranamen seperti jilbab dalam arti bagaian dari pakaian yang menutupi kepala, bahu, dan wajah, atau dalam arti hiasan yang menutup topi dan menggantung di depan mata. Dalam penggunaan ini veil tidak saja menutupi wajah, tetapi terus memanjang samapai kepala dan bahu. Dimensi ruang, mengartikan veil sebagai layar yang membagi ruang secara fisik, sedangkan dimensi komunikatif menekankan pada makna penyembunyian dan ketidaktampakkan. Kemudian yang terakhir, dimensi religius mengartikan kata veil sebagai pengasingan diri dari kehidupan dunia dan kebutuhan seksual (tidak kawin), sebagaimana kehidupan atau sumpah biarawati.

  Jilbab di Indonesia merupakan salah satu simbol yang identitas dari seorang muslimah. Jilbab menggambarkan ketaatan seorang muslimah kepada ajaran agama Islam, dikarenakan Islam memang mewajibkan bagi perempuan untuk menutup auratnya, dan jilbab merupakan salah satu penutup aurat bagian kepala hingga ke dada perempuan. Dalam kehidupan sosial, sebagian masyarakat memandang bahwa seorang muslimah yang memakai jilbab seharusnya bisa menjaga perilaku dan bahasanya agar tetap baik dan sopan sebagaimana selayaknya kesucian dari sebuah jilbab yang dikenakannya. Masyarakat berasumsi dan mengharapkan bahwa semua muslimah yang berjilbab itu sholeha, baik budi pekerti dan tutur bahasanya, karena pemikiran mereka tentang kesucian jilbab tadi, padahal belum tentu semua muslimah yang berjilbab sama seperti apa yang mereka fikirkan.

2.2 Komunitas Hijabers Sebagai Kelompok Sosial

  Kelompok sosial adalah kesatuan sosial yang terdiri dari kumpulan individu yang hidup bersama dengan mengadakan hubungan timbal balik yang cukup intensif dan teratur, sehingga diharapkan pembagian tugas, struktur, serta norma-norma tertentu yang berlaku. (Syarbaini, 2009: 39). Kelompok sosial juga merupakan inti kehidupan dalam masyarakat, dari kelompok akan diperoleh orientasi seseorang di dunia. Keanggotaan dan partisipasi dalam dalam kelompok sosial pun memberikan kepada seseorang suatu perasaan memiliki (Henslin, 2006: 120). Kelompok sosial bukan merupakan kelompok statis. Setiap kelompok sosial pasti mengalami perkembangan serta perubahan. Beberapa kelompok sosial sifatnya lebih stabil daripada kelompok sosial lainnya, atau dengan kata lain strukturnya tidak mengalami perubahan yang mencolok. Ada pula kelompok sosial yang mengalami perubahan sebagai akibat proses formasi ataupun reformasi dari pola-pola di dalam kelompok tersebut karena pengaruh dari luar.

  Kelompok sosial memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1.

  Adanya motif yang sama, motif yang sama merupakan pengikat sehingga setiap anggota kelompok tidak bekerja sendiri-sendiri, melainkan bekerja bersama untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

  2. Adanya sikap In-group dan Out-group, apabila orang lain di luar kelompok itu bertingkah laku seperti mereka, anggota kelompok akan menyingkirkan diri. Sikap menolak yang ditunjukkan oleh kelompok itu disebut sikap Out-group atau sikap terhadap orang luar. Kelompok tersebut menunjukkan orang luar untuk membuktikan kesediaannya berkorban bersama dan kesetiakawanannya, dan kemudian menerima orang itu dalam segala kegiatan kelompok. Sikap menerima disebut sikap In-group atau sikap terhadap “orang dalam”.

  3. Adanya solidaritas, solidaritas adalah kesetiakawanan antar anggota kelompok sosial. Terdapatnya solidaritas yang tinggi dalam kelompok tergantung kepada kepercayaan setiap anggota akan kemampuan anggota lain.

  4. Adanya struktur kelompok, adanya suatu sistem mengenai relasi antar anggota kelompok berdasarkan peranan dan status mereka serta sumbangan masing-masing dalam interaksi kelompok untuk mencapai tujuan tertentu(Soetarno, 1994: 31-34 dalam Huraerah dan Purwanto, 2005: 6-7)

  Ada tiga konsep utama yang digunakan Homans (dalam Johnson, 1994: 62) untuk menggambarkan kelompok kecil, yaitu kegiatan, interaksi dan perasaan.

  Ketiga elemen ini membentuk suatu keseluruhan yang terorganisasi dan berhubungan secara timbal-balik. Artinya kegiatan akan mempengaruhi (dan dipengaruhi oleh) pola-pola interaksi dan perasaan-perasaan: interaksi akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kegiatan dan perasaan, dan perasaan akan berhubungan timbal-balik dengan kegiatan dan interaksi. Jika salah satu elemen ini berubah, maka kedua yang lainnya akan mungkin berubah.

  Dalam kelompok juga akan ditemukan kekompakan di antara anggotanya, kekompakan kelompok adalah tongkat kebersamaan yang menggambarkan ketertarikan anggota kelompok kepada kelompoknya dan hal ini meliputi tiga klasifikasi pengertian, yaitu:

  1. Sebagai daya tarik kelompok terhadap anggota-anggotanya 2.

  Sebagai koordinasi dan usaha-usaha anggota kelompok 3. Sebagai tindakan motivasi anggota kelompok untuk mengerjakan berbagai tugas kelompok dengan penuh semangat dan efisien

  Sementara itu, Luancevich menjelaskan enam faktor yang dapat meningkatkan kekompakan kelompok, yaitu:

  1. Kesepakatan anggota terhadap tujuan kelompok 2.

  Tingkat keseringan berinteraksi 3. Adanya keterikatan pribadi 4. Adanya persaingan antar kelompok 5. Adanya evaluasi yang menyenangkan, dan 6. Adanya perlakuan antar anggota dalam kelompok sebagai manusia bukan mesin (Carolin Nitimihardjo dan Jusman Iskandar, 1993: dalam

  Huraerah dan Purwanto, 2005)

2.3 Trend Hijab dalam Perubahan Sosial

  Tren fashion berhijab belakangan ini sedang marak di Indonesia. Para wanita muslim khususnya yang tinggal di kota-kota besar banyak mengikuti tren hijab masa kini. Berhijab bukan lagi karena faktor agama namun lebih kepada faktor sosial-budaya yang sedang mengitarinya. Munculnya kreasi dan variasi dalam dunia jilbab saat ini menjadikan hijab sebagai budaya pop yang sedang menjamur di kalangan masyarakat. Para wanita muslimah yang berjilbab seakan berevolusi dan berusaha “tampil” di dalam dunianya dengan selalu mencari dan menukar gaya penampilannya dengan ide-ide baru yang ada di dunia fashion terkini. Bahkan yang sebelumnya belum ingin berhijab karena faktor ketidaksiapan jasmani rohani, kini seperti berlomba-lomba menunjukkan penampilan baru mereka dengan hijabnya.

  Budaya pop atau pop culture ini dalam Ridho Al-Hamdi (2009: 2) merupakan budaya yang disukai oleh banyak orang dan menyenangkan. Selain itu, budaya pop disebut juga sebagai budaya tinggi, dimana menurut John Storey yang dikutip penulis dalam Ridho Al-Hamdi (2009), adalah kreasi dari hasil kreatifitas individu. Budaya pop juga disebut sebagai budaya massa, yaitu budaya yang diproduksi oleh massa untuk dikonsumsi oleh massa, dan budaya massa dianggap sebagai dunia impian secara kolektif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa “budaya pop” adalah budaya hasil kreatifitas individu atau masyarakat yang disukai oleh banyak orang karena dianggap sebagai dunia impian yang menyenangkan.

  Budaya pop model jilbab yang berkembang saat ini, dan didukung pula oleh media massa yang tidak henti-hentinya menampilkan sosok figur yang digemari masyarakat, menjadikan jilbab tidak lagi terkesan konservatif (kaku), sehingga menambah animo masyarakat terdahap ketertarikannya dalam mengenakan jilbab. Jilbab yang mereka pakai juga banyak dipengaruhi oleh kehadiran komunitas wanita berjilbab seperti hijabers community, yang selain menampilkan ide-ide kreatifitas baru dalam berhijab, kehadiran mereka tampaknya juga menginspirasi banyak wanita muslimah sehingga banyak yang tertarik untuk ikut menjadi bagian dari komunitas-komunitas hijaber yang ada agar dikatakan “gaul”.

2.4 Interaksionisme Simbolik

  Teori Interaksionalisme simbolik (symbolic interactionism) adalah pendekatan teoritis dalam memahami hubungan antara manusia dan masyarakat.

  Ide dasar teori interaksionisme simbolik adalah bahwa tindakan dan interaksi manusia hanya dapat dipahami melalui pertukaran simbol atau komunikasi yang sarat makna. Teori interaksionisme simbolik mulai berkembang pada pertengahan abad ke-20. interaksionisme simbolik berakar dari dua kata yang bermakna berbeda, yaitu interaksi dan simbol.

  Menurut seorang filosof Amerika pada awal abad ke-19, George Herbert Mead, orang tak hanya menyadari orang lain tetapi juga mampu menyadari dirinya sendiri. Dengan demikian orang tidak hanya berinteraksi dengan orang lain, tetapi secara simbolis dia juga berinteraksi dengan dirinya sendiri. Interaksi simbolis dilakukan dengan menggunakan bahasa, sebagai satu-satunya simbol yang terpenting, dan melalui isyarat. Simbol bukan merupakan fakta-fakta yang sudah jadi, simbol berada dalam proses yang berkelanjutan. Proses penyampaian makna ini yang merupakan pokok dari sejumlah analisa kaum interaksionis simbolis. Bagi Mead, pokok permasalahan sosiologi ialah interaksi para aktor yang terorganisir dan terpola di dalam situasi-situasi sosial.

  Setelah Mead meninggal, Herbert Blumer, yang juga merupakan salah satu sosiolog di Universitas Chicago, mengambil alih seluruh karyanya serta membenahi teori sosialnya dan menamai gagasan Mead tersebut: interaksionisme simbolik. Blumer sendiri juga terpengaruh oleh pemikiran Herbert Mead tentang interaksionisme simbolik. Karya Blumer yang terkenal dalam perspektif teori ini adalah kumpulan esainya yang berjudul Symbolic Interactionism: Perspective and

  Method .

  Blumer mengutarakan tentang tiga prinsip utama interaksionisme simbolik, yaitu tentang pemaknaan (meaning), bahasa (language), dan pikiran (thought). Premis ini nantinya mengantarkan kepada konsep ‘diri’ seseorang dan sosialisasinya kepada ‘komunitas’ yang lebih besar, yakni masyarakat.

  Blumer mengajukan premis pertama, bahwa human act toward people or things on the basis of the meanings they assign to those people or things .

  Maksudnya, manusia bertindak atau bersikap terhadap manusia yang lainnya pada dasarnya dilandasi atas pemaknaan yang mereka kenakan kepada pihak lain tersebut.

  Sebagai contoh, di kota-kota besar jika ada seorang wanita yang berbusana minim (sexy) ketika mengunjungi sebuah mall, ke tempat-tempat hiburan lain atau ke acara-acara ekslusif seperti di gedung atau hotel-hotel mewah, maka orang- orang yang berada di lingkungan tersebut akan menganggap itu hal yang wajar dan sah-sah saja, atau bahkan malah mengagumi karena keberaniannya untuk berbusana seperti itu. Lain halnya jika seorang yang berbusana minim tersebut datang ke desa, atau melakukan aktivitas-aktivitas disana dengan penampilan yang sexy, masyarakat didesa tersebut akan melihat dan memperhatikannya dari atas sampai bawah dengan tatapan aneh, mereka akan menganggap wanita tersebut tidak mempunyai nilai-nilai kesopanan dan nilai-nilai agama. Maka dapat disimpulkan bahwa interaksi-interaksi yang terjadi antara wanita berbusana sexy tersebut dengan masyarakat kota dan di desa dilandasi dengan pemikiran- pemikiran yang berbeda.

  Pemaknaan tentang apa yang nyata bagi kita pada hakikatnya berasal dari apa yang kita yakini sebagai kenyataan itu sendiri. Karena kita yakin bahwa hal tersebut nyata, maka kita mempercayainya sebagai kenyataan. Dalam contoh yang sama apabila kita memaknai wanita yang berbusana sexy tersebut sebagai hal yang wajar dan patut dikagumi maka kita menganggap bahwa pada kenyataannya berbusana sexy memang benar hal yang wajar dan patut dikagumi, begitu pula sebaliknya.

  Premis kedua Blumer adalah meaning arises out of the social interaction

  

that people have with each other (Pemaknaan muncul dari interaksi sosial yang

  dipertukarkan di antara mereka). Makna bukan muncul atau melekat pada sesuatu atau suatu objek secara alamiah. Makna tidak bisa muncul ‘dari sananya’. Makna berasal dari hasil proses negosiasi melalui penggunaan bahasa (language)—dalam perspektif interaksionisme simbolik. Di sini, Blumer menegaskan tentang pentingnya penamaan dalam proses pemaknaan. Sementara itu Mead juga meyakini bahwa penamaan simbolik ini adalah dasar bagi masyarakat manusiawi (human society).

  Premis ketiga Blumer adalah an individual’s interpretation of symbols is

  

modified by his or her own thought process (interpretasi seorang individu

mengenai simbol disesuaikan dengan proses pemikiran individu itu sendiri).

  Interaksionisme simbolik menggambarkan proses berpikir sebagai perbincangan dengan diri sendiri. Proses berpikir ini sendiri bersifat refleksif.

  Walaupun secara sosial kita berbagi simbol dan bahasa yang sama seperti dalam konteks wanita berbusana sexy tadi, belum tentu dalam proses berpikir kita sama-sama menafsirkannya dengan cara atau maksud yang sama dengan orang lain. Semuanya sedikit banyak dipengaruhi oleh interpretasi individu dalam penafsiran simbolisasi itu sendiri.

  Setelah kita paham tentang konsep meaning, language, dan thought saling terkait, maka kita dapat memahami konsep Mead tentang ‘diri’ (self). Konsep diri menurut Mead sebenarnya kita melihat diri kita lebih kepada bagaimana orang lain melihat diri kita (imagining how we look to another person). Kaum interaksionisme simbolik melihat gambaran mental ini sebagai the looking-glass self dan bahwa hal tersebut dikonstruksikan secara sosial.

  Dalam konsepsi interaksionisme simbolik dikatakan bahwa kita cenderung menafsirkan diri kita lebih kepada bagaimana orang-orang melihat atau menafsirkan diri kita. Kita cenderung untuk menunggu, untuk melihat bagaimana orang lain akan memaknai diri kita, bagaimana ekspektasi orang terhadap diri kita.

  Oleh karenanya konsep diri kita terutama kita bentuk sebagai upaya pemenuhan terhadap harapan atau tafsiran orang lain tersebut kepada diri kita.

  Dikaitkan dengan teori, kelompok berjilbab atau komunitas hijabers ini sesuai dengan namanya yang menonjolkan kata jilbab atau hijab yang merupakan simbol yang sangat islami, mempengaruhi pemikiran dan ekspektasi masyarakat yang mendengar atau melihat keberadaan mereka. Simbol jilbab yang mereka kenakan akan menjadi sorotan dan perbandingan sesuai dengan nilai-nilai dan batasan yang berkembang di masyarakat mengenai esensi jilbab itu sendiri, terutama di kalangan umat muslim. Gebrakan model berhijab mereka yang menjadi tren masa kini mungkin memberikan sumbangsih warna baru dalam dunia mode Indonesia bahkan mancanegara, namun perubahan yang mereka bawa tersebut belum tentu bisa diterima begitu saja oleh setiap lapisan kultur di masyarakat Indonesia.