BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Interpretif - Pemaknaan Kode Etik Jurnalistik Tentang Hak Jawab Dan Hak Koreksi Dalam Perspektif Fenomenologi Di Harian Tribun Medan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Interpretif

  Dalam Daymon (2008: 6), Miller mengungkapkan dalam kehidupan sehari-hari kita dihadapkan sekaligus dengan keteraturan dan ketidakaturan interaksi komunikasi, situasi- situasi yang terjadi mungkin biasa (kecil) ataupun luar biasa (besar), contohnya kita membuat beberapa pilihan tentang bagaimana cara yang terbaik berbicara dengan seorang pembimbing mengenai nilai yang buruk dalam sebuah ujian. Kita mencoba untuk menyikapi banyak- banyak komentar politik yang berdiskusi tentang hari itu. Dalam situasi-situasi keseharian ini, kita mencari sebuah pemahaman tentang bagaimana dan mengapa komunikasi bekerja.

  Metode penelitian kualitatif cenderung dihubungkan dengan paradigma interpretif. Metode ini memusatkan penyelidikan terhadap cara manusia memaknai cara kehidupan sosial mereka, serta bagaimana manusia perlunya memahami realitas sosial dari berbagai sudut pandang orang-orang yang hidup di dalamnya. Realitas sosial yang dihadapi manusia sudah terbentuk dari waktu ke waktu melalui proses komunikasi, interaksi dan sejarah bersama.

  Perspektif interpretif tumbuh berdasarkan ketidakpuasan dengan teori post-positivis. Perspektif positivis dipandang terlalu umum, terlalu mekanis, tidak mampu menangkap keruwetan, nuansa, dan kompleksitas dan interaksi manusia. Perspektif interprektif mencari sebuah pemahaman bagaimana kita membentuk dunia pemaknaan melalui interaksi dan bagaimana kita berprilaku terhadap dunia yang kita bentuk. Dalam pencarian jenis pemahaman ini, teori interpretif mendekati dunia dan pengetahuan dengan cara yang sangat berbeda dengan teori post positivis. Untuk itu, salah satu sudut pandang yang sangat memengaruhi teori interpretif dalam komunikasi yaitu fenomenologi (Ardianto dan Anees, 2007: 124).

2.2. Fenomenologi

  Sobur (2013: 14-15) secara etimologis, fenomenologi adalah terusan dari fenomenon dan logos. Kata logos lazimnya menunjuk ada pengertian uraian, percakapan, atau ilmu, seperti yang melekat pada disiplin psikologi, sosiologi, antropologi, atau etnologi.

  Selanjutnya akar kata yang termuat dalam istilah fenomenon ada dasarnya sama dengan akar kata fantasi, fantom, fosfor, dan foto, yang berarti sinar atau cahaya. Dari akar kata tersebut dibentuk kata kerja yang antara lain, berarti tamak, terlihat karena bercahaya atau bersinar. Jadi, fenomenologi bisa kita artikan sebagai uraian, percakapan, atau ilmu tentang

  

fenomenon atau suatu yang sedang menampakkan diri. Dalam bahasa filsafat, dapat juga

  dikatakan bahwa fenomenologi ialah percakapan dengan fenomenon, atau sesuatu yang sedang menggejala.

  Dalam arti yang lebih luas, kata “fenomenologi” mencakup aneka macam cara ouler untuk membicarakan fenomena-fenomena atau hal-hal yang tampak. Dengan demikian, istilah ini tidak lagi dipatoki secara jelas dan kritis. Kini, seperti dikatakan Wahana (2004:31), fenomenologi merupakan istilah yang digunakan secara luas dalam berbagai pengertian dalam filsafat modern, yang memiliki pokok persoalan “fenomena”.

  Pada pengertian yang paling inti, istilah fenomenologi menunjukan pada suatu teori spekulatif tentang penampilan pengalaman dan dalam penggunaan awal, pengertian fenomenologi dikaitkan dengan dikotomi “henomenon-noumenon,” suatu perbedaan antara yang tampak (phenomenon) dan yang tidak tampak (noumenon). Fenomenologi Husserl merupakan usaha spekulatif untuk menentukan hakikat yang seluruhnya didasarkan atas pengujian dan penganalisisan terhadap yang tampak.

  Pemikiran fenomenologi bukan merupakan sebuah gerakan pemilihan yang koheren. Prinsip paling dasar dari fenomenologi adalah bahwa pengetahuan tidak dapat ditemukan dalam pengalaman eksternal tetapi dalam kesadaran individu. Jadi, fenomenologi lebih mengitari penelitian untuk pemahaman subjektif ketimbang mencari objektivitas sebab akibat ada penjelasan universal (Ardianto dan Anees, 2007:127).

  Sobur (2013: 19) mengatakan tiga konsep dasar fenomenologi (Deetz, 1973, dalam Littlejohn dan Foss, 2008). Pertama, pengetahuan diperoleh secara langsung lewat pengalaman sadar—kita akan mengetahui dunia ketika berhubungan dengannya.

  Kedua,makna benda terdiri atas kekuatan benda dalam kehidupan seseorang. Dengan kata tersebut. Misal, seseorang akan mengambil bidang kajian ilmu komunikasi dengan serius sebagai pengalaman di bidang pendidikan ketika orang tersebut mengalami suatu yang akan memberikan pengaruh positif pada karirnya. Ketiga, bahasa pada dasarnya merupakan kendaraan makna. Manusia memahami dunia lewat bahasa yang digunakan guna mendefinisikan serta mengekspresikan dunia tersebut. Manusia mengetahui kunci karena bahasa yang hubungkan dengan benda tersebut: menuntut, membuka, besi, berat, dan sebagainya.

  Uraian Hall dan Lindzey mengartikan fenomenologi sebagai deskripsi tentang data (secara harfiah disebut the givens, yang terberi) tentang pengalaman langsung. Fenomenologi berusaha memahami—bukan menerangkan—gejala-gejala. Menurut Van Kaam (1966) dalam Sobur (2013: 16-17) merumuskannya sebagai “metode dalam psikologi yang berusaha untuk menyingkap dan menjelaskan gejala-gejala tingkah laku sebagaimana gejala-gejala tingkah laku tersebut mengungkapkan dirinya secara langsung dalam bentuk pengalaman. Fenomenologi terkadang dipandang sebagai metode lengkap untuk setiap ilmu pengetahuan dimulai dengan pengamatan terhadap apa yang diamati dan dijabarkan oleh subjek yang mengalami pada suatu waktu tertentu. Dalam filsafat, fenomenologi merupakan sebuah pendekatan filsafat yang berpusat pada analisis terhadap gejala yang membanjiri kesadaran manusia.

  Istilah fenomenologi diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert tahun 1764, pada Teori Penampakan. Teori ini bersama dengan teori kebenaran, logika, dan semiotika, merupakan empat disiplin filosofisnya. Lambert adalah filsufnya Jerman yang sezaman dengan Kant, merupakan orang yang pertama kali membicarakan masalah ini dengan memberi nama fenomenologi (phenomenology). Ia menggunakan istilah fenomena (phenomenon) bagi gambaran khayal dari pengalaman manusia, dan kemudian mengartikan fenomenologi (phenomenology) sebagai “teori tentang khayalan”, sedangkan Kant memberi arti baru dan lebih luas terhadap fenomena. Kant membedakan antara objek dan kejadian yang tampak dalam pengalaman kita dengan objek dan kejadian yang berada dalam dirinya sendiri serta tidak tampak dalam gejala-gejala yang kita tangkap dengan indra, yang pertama disebut fenomena (phenomenon), sedangkan yang berikut disebut numena (noumenon).

  Dengan kata lain, inti pendekatan fenomenologi adalah mengamati kehidupan dalam keseharian dalam suasana yang alamiah. Tradisi fenomenologi dapat menjelaskan tentang khalayak dalam berinteraksi dengan media. Demikian pula bagaimana proses yanng

  Tradisi fenomenologis memandang bahwa peran kepribadian dalam perilaku paling mudah dipahami dengan melukiskan peranan langsung orang, yaitu proses yang digunakan oleh mereka yang memperhatikan dan memahami fenomena yang disajikan langsung oleh mereka. Oleh sebab itu, tradisi fenomenologis menekankan bahwa cara orang mengalami dunia secara subjektif, sensasi, perasaan, dan fantasi yang terlibat dalam titik tolak ukur meneliti bagaimana orang menanggapi berbagai objek. Dua garis utama berpikir merefleksikan pendekatan fenomenologis, yaitu: a.

  Teori Gestalt tentang persepsi. Penganut teori ini berargumentasi bahwa aspek utama kepribadian ialah bagaimana orang menyusun pengalaman ke dalam pola atau konsfigurasi. Mereka menekankan prinsip kesederhanaan dalam penyusunan persepsi.

  b.

  Teori Medan. Teori ini beragumentasi bahwa kepribadian (pola prilaku yang kekal dan diperoleh dengan belajar) saja tidak dapat menerangkan bagaimana orang berprilaku. Setiap orang memiliki ruang hidup yang tersusun dari medan gaya. Dalam bertindak, individu mendekati atau menghindari gaya dan objek dalam ruang hidupnya sebagaimana ia memahami gaya itu saat bertindak (Surip, 2011:11). Tradisi fenomenologi memfokuskan perhatiannya terhadap pengalaman sadar seorang individu. Teori komunikasi yang masuk dalam tradisi fenomenologi berpandangan bahwa manusia secara aktif menginterpretasikan pengalaman mereka sehingga mereka dapat memahami lingkungannya melalui pengalaman personal dan langsung dengan lingkungan. Tradisi fenomenologi memberikan penekanan sangat kuat pada persepi dan interpretasi dari pengalaman subjektif manusia.

  Secara harfiah fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau paham yang menganggap bahwa fenomenalisme (gejala) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Sehingga dalam berbagai hal kita dapat mempelajari atau memahami sesuatu dari gejala atau penampakan. Yakni hal-hal yang menyangkut kenyataan sebagaimana tampaknya. Fenomenologi, dikemukakan oleh Edmund Husserl (1895-1938) sebagai tokoh terpentingnya. Husserl (L. Siregar, 2005 : 7-8) mengatakan :

  “This phenomenology, like the more inclusive pure phenomenology of experiences in

general, has, as its exclusive concern, experiences intuively seizable and analyzable in the

pure generality of their essence, not experiences empirically perceived and treated as real

facts, as experiences of human or animal experients in the phenomenal world that we posit as

an empirical fact. This phenomenology must bring to pure expression, must describe in terms

  

purely in such essences. Each such statement of essence is an apriori statement in the highest

sense of the world.”

  Fenomenologi ini sebagaimana halnya fenomenologi murni yang lebih inklusif tentang pengalaman secara umum kepedulian khusus, pengalaman yang dapat dideskripsikan dan dianalisis secara intuitif dalam hal umum yang murni, mengenai esensi bukan pengalaman yang diterima dan diperlakukan secara empiris sebagai fakta riil, seperti halnya pengalaman manusia atau hewan dalam dunia fenomenal yang kita asumsikan sebagai suatu fakta empiris. Fenomenologi ini harus dibawa kepada ekspresi murni, harus dapat menggambarkan arti konsep esensinya dan formula yang mengatur esensinya, esensi yang secara langsung membuat hal itu dapat dikenal dalam intuisi dan hubungan dengan dimana mereka berakar secara murni. Setiap pernyataan esensi merupakan pernyataan apriori dalam arti yang paling tinggi.

  Perspektif fenomenologi merupakan salah satu dari tiga pandangan dasar dari paradigma interpretif. Pertama kali dicetuskan oleh filsuf Jerman Edmund H. Husserl (1859- 1938). Perhatiannya pada cara mengatur gejala yang dialami sedemikian rupa sehingga dapat memahami dunia sekitarnya, dan sambil mengembangkan suatu pandangan dunia. Tak ada realitas yang terpisah (atau objektif) bagi orang. Yang ada hanyalah apa yang diketahui tentang pengalaman dan maknanya. Pengalaman subjektif sekaligus mengandung benda atau hal objektif dan realitas seseorang (Suyanto, 2005: 178-179).

  Secara harfiah fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau paham yang menganggap bahwa gejala adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Ia selalu berupaya ingin mendekati realitas tidak melalui argumen-argumen, konsep-konsep atau teori umum. “zuruck zu den sachen selbst”- kembali kepada benda-benda itu sendiri merupakan inti dari pendekatan yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya. Setiap objek memiliki hakikat, dan hakikat itu berbicara kepada kita jika kita membuka diri kepada gejala- gejala yang kita terima. Kalau kita mengambil jarak dari objek itu, melepaskan objek itu dari pengaruh pandangan-pandangan lain, dan gejala-gejala itu kita cermati, maka objek itu ’berbicara’ sendiri mengenai hakikatnya, dan kita memahaminya berkat intuisi dalam diri kita. Fenomenologi adalah tambahan dari pendapat Bentano bahwa subjek dan objek menjadi satu secara dialektis. Menurutnya manusia menampakkan dirinya sebagai hal yang transeden, sintesis dari objek dan subjek. Manusia sebagai entre aumonde (mengada pada alam) menjadi satu dengan alam itu. Manusia mengostitusi alamnya. Untuk melihat sesuatu hal, saya harus mengkonvers ikan mata, mengakomodasikan lensa, dan mengfiksasikan hal yang mau dilihat. (Maksum, 2008: 368-369).

  Fenomenologi berpandangan bahwa apa yang tampak dipermukaan, termasuk pola perilaku manusia sehari-hari adalah gejala atau fenomena dari apa yang tersembunyi di “kepala” si pelaku. Sebab, realitas itu bergantung pada persepsi, pemahaman, pengertian, dan anggapan-anggapan seseorang.Itu terbenam sebagai suatu kompleks gramatika kesadaran di dalam diri manusia. Di situlah letak kunci jawaban terhadap apa yang terekspresi atau menggejala di tingkat perilaku (Bungin, 2003).

  Fenomenologi menunjuk banyak hal dasar yang penting bagi pemikiran interpretif. Maka fenomenologi sosial mempunyai sebuah pendekatan dan pembendaharaan kata untuk menginterpretasikan kehidupan dunia dan menjadi sebuah pemahaman bagaimana sikap alamiah kehidupan sehari-hari dimainkan. Prinsip dasar dari perspektif fenomenologi adalah bahwa pengetahuan tidak dapat ditemukan dalam pengalaman eksternal tetapi dalam diri kesadaran individu. Jadi, fenomenologi lebih mengitari penelitian untuk pemahaman subjektif ketimbang mencari objektivitas sebab akibat dan penjelasan universal. Makna adalah derivasi dari potensialitas sebuah objek atau pengalaman yang khusus dalam kehidupan pribadi. Dalam artian, makna sebuah pohon yang tumbuh di halaman belakang dapat berkisar dalam makna indahnya dahan-dahan, keteduhan yang penuh hasrat, kicauan burung yang mendiami pohon itu atau sebuah halangan yang tidak diinginkan untuk menyatukan konstruksi makna tersebut. Esensinya, makna yang berasal dari suatu objek atau pengalaman akan bergantung pada latar belakang individu dan kejadian tertentu dalam hidup.

  Ketiga, kalangan fenomenologi percaya bahwa dunia dialamidan makna dibangun melalui bahasa(Ardianto. 2007: 129).

2.2.1 Filsafat Fenomenologi

  Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada benda yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “hakikat segala sesuatu”.

  Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif dan instropeksi mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung: religious, moral, estetis, konseptual, dan indrawi. Perhatian filsafat hendaknya difokuskan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris (Maksum, 2011:191).

  Sebagai filsafat, fenomenologi memberi pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa yang ada. Dalam tahap-tahap penelitiannya, ia menemukan objek-objek yang membentuk dunia yang kita alami. Dengan demikian, fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali kepada benda itu sendiri, dan ini disebabkan benda itu sendiri merupakan objek kesadaran langsung dalam bentuk yang murni.

  Dalam (Sobur, 2013: 5) mengatakan Husserl memang mendefinisikan fenomenologi sebagai suatu disiplin filsafat yang akan melukiskan segala bidang pengalaman manusia. namun, ia sendiri memusatkan perhatian dan tenaganya pada pemberian dasar terhadap fenomenologi itu sebagai disiplin baru (Wahana, 2004: 32). Menurut Husserl, fenomenologi diperuntukkan membuka suatu jalan baru dalam filsafat: suatu transformasi mendasar filsafat, yakni kembali pada sumber asli dari intuisi. Dengan proses klarifikasi, fenomenologi akan membuka suatu wilayah yang luas dari penelitian ilmiah yang saksama, yang membuktikan kegunaannya tidak hanya bagi filsafat, tetapi juga bagi ilmu pengetahuan lainnya, yaitu memberikan penjelasan tentang landasan ilmu pengetahuan.

2.2.2 Fenomenologi Persepsi

  Dalam fenomenologi Merleau-Ponty, dunia persesi menjadi titik tolak dari pemikirannya (Brouwer, 1998). Persepsi ialah sumber daya dan dasar eksistensi. Persepsi pada dasarnya merupakan istilah yang meliputi seluruh hubungan manusia dengan dunia, khususnya pada taraf indrawi. Istilah ini bertalian dengan makna, tubuh, dan intersubjektivitas. Berpersepsi atau mengamati sama dengan percaya pada dunia. Manusia dapat digambarkan berada dalam dunia (etre-au-monde) dan persepsi ialah relasiasli manusia dengan dunia. Manusia terbuka bagi dunia. Inilah yang mendasari persepsi.

  Persepsi tidak pernah selesai dan definitif karena hubungan manusia dengan dunia ditandai oleh perspektif yang berganti-ganti. Fenomenologi dimaksudkan sebagai studi tentang esensi-esensi, dan menurutnya, semua problem ada dasarnya tidak lain daripada menentukan esensi-esensi, misalnya esensi persepsi, esensi kesadaran, dan lain-lain. Namun, fenomenologi juga merupakan suatu filsafat yang menempatkan kembali esensi-esensi dalam

  Dalam arti sempit, persepsi ialah penglihatan, yakni bagaimana cara seseorang melihat sesuatu, sedangkan dalam arti luas ialah pandangan atau pengertian yaitu bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu. Menurut DeVito, persepsi ialah proses ketika kita menjadi sadar akan banyaknya stimulus yang memengaruhi indra kita. Yusuf (1991: 108) menyebut persepsi sebagai ‘pemaknaan hasil pengamatan, sedangkan Gulo (1982) mendefinisikan persepsi sebagai proses seseorang menjadi sadar akan segala sesuatu dalam lingkungannya menjadi indra-indra yang dimilikinya.

  Persepsi terjadi di dalam benak individu yang mempersepsi, bukan di dalam objek dan selalu merupakan pengetahuan tentang penampakan. Maka, apa yang mudah bagi kita, boleh jadi tidak mudah bagi orang lain, atau apa yang jelas bagi orang lain mungkin terasa membinggungkan bagi kita. Dalam konteks inilah perlu memahami intrapribadi dari komunikasi antarpribadidengan melihat lebih jauh sifat-sifat persepsi.

  Pertama, persepsi adalah pengalaman. Untuk mengartikan makna dari seseorang, objek atau peristiwa, kita harus memiliki dasar/basis untuk melakukan interprestasi. Dasar ini biasanya kita tentukan pada pengalaman masa lalu kita dengan orang, objek atau peristiwa tersebut, atau dengan hal-hal yang menyerupainya. Tanpa landasan pengalaman sebagai pembandingnya tidak mungkin untuk mempresentasikan suatu makna, sebab ini akan membawa kita kepada suatu kebinggungan.

  Kedua, persepsi adalah selektif. Ketika mempersepsikan hanya bagian-bagian tertentu dari objek atau orang. Dengan kata lain, kita melakukan seleksi hanya pada karakteristik tertentu dari objek-objek persepsi kita dan mengabaikan yang lain. Dalam hal ini biasanya kita mempersepsikan apa yang kita ‘inginkan’ atas dasar sikap, nilai, dan keyakinan yang ada dalam diri kita dalam mengabaikan karakteristik yang telah relevan atau berlawanan dengan nilai dan keyakinan tersebut. Ketiga, persepsi adalah penyimpulan. Proses psikologis dari persepsi mencakup penarikan kesimpulan melalui suatu proses induksi secara logis. Interprestasi yang dihasilkan melalui persepsi pada dasarnya adalah penyimpulan atas informasi yang tidak lengkap.

  Keempat, persepsi tidak akurat. Setiap persepsi yang kita lakukan, akan mengandung kesalahan dalam kadar tertentu. Hal ini antara lain disebabkan oleh pengaruh pengalaman masa lalu, selektifitas, dan penyimpulan. Biasanya ketidakakuratan ini terjadi karena penyimpulan yang terlalu mudah, atau menyamaratakan. Adakalanya persepsi tidak akurat karena orang menganggap sama, sesuatu yang sebenarnya hanya mirip. Dan semakin tidak

  Kelima, persepsi adalah evaluaktif. Persepsi tidak akan pernah objektif, karena kita melakukan interprestasi berdasarkan pengalaman dan merefleksikan sikap, nilai dan keyakinan pribadi yang digunakan untuk memberi makna pada objek persepsi. Karena persepsi merupakan proses kognitif psikologis yang ada di dalam diri kita, maka bersifat subjektifitas. Fisher mengemukakan bahwa persepsi bukan hanya merupakan proses intrapribadi tetapi juga sesuatu yang sangat pribadi dalam tindak persepsi menyebabkan persepsi sangat subjektif (Fajar Marhaeni, 2009: 151-152).

  Fenomenologi ialah suatu filsafat transendental yang menaruh antara kurung anggapan- anggapan sikap natural dengan maksud memahaminya dengan baik. Namun, fenomenologi juga merupakan filsafat yang menganggap dunia selalu ‘sudah ada’, mendahului segala refleksi, sebagai suatu kehadiran yang tak terasingkan. Fenomenologi berusaha sekuat tenaga untuk memulihkan kembali kontak langsung dan wajar dengan dunia, supaya akhirnya dunia dapat diberikan suatu status filosofis. Di satu pihak, fenomenologi mempunyai ambisi menjadi suatu ‘ilmu rigorus’, tetapi di pihak lain ia ingin juga mempertanggungjawabkan ruang, waktu, dan dunia sejauh ‘dihayati’. Fenomenologi adalah ikhtiar untuk secara langsung melukiskan pengalaman kita sebagaimana adanya tanpa memperhatikan asal-usul psikologisnya dan keterangan-keterangan kausal yang dapat disajikan ilmuwan, sejarawan, dan sosiolog.

  Orang sering kebingungan memaknai fenomena yang berasal dari penafsiran karena penafsiran tersebut dikhususkan pada data subjektifitas serta bidang fenomenal yang tidak berhubungan dengan fenomenologi.

  Dalam pandangan Merleau-Ponty, persesi merupakan suatu intensi dari seluruh eksistensi, yakni cara mengada dalam dunia pra-reflektif yang disebutnya sebagai etre-au-

  

monde (ada-dalam-dunia). Dalam konteks ini, pengertian persesi bukanlah sebagai batas

  kesadaran dalam kontaknya dengan dunia luar, melainkan justru menunjukkannya bahwa kesadaran selalu bersifat mendunia ada eksistensi yang konkret, sebuah kesadaran yang menumbuh. Ia menjelaskan keunggulan persepsi secara langsung menunjukkan sebuah kehadiran subjek ketika kebenaran dan nilai-nilai yang dibentuk terjadi. Pemahaman persepsi semacam ini mendeskripsikan pengalaman sewaktu terlahirkan (Sobur, 2013: 368-369).

2.2.3 Metode Fenomenologi Menurut Husserl (Maksum, 2011: 191), fenomenologi merupakan metode dan filsafat.

  Sebagai metode, fenomenologi membentangkan langkah. Langkah yang harus diambil sehingga sampai pada fenomeno yang murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan ciri-ciri instiksik fenomena sebagaimana fenomena itu sendiri menampakan diri kepada kesadaran. Kita harus berangkat dari subjek manusia serta kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada “kesadaran murni”. Untuk mencapai kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari. Kalau ini dapat dilakukan maka akan tersisa gambaran-gambaran yang hakiki dan intuisi esensi.

  Untuk memahami filsafat Husserl, ada beberapa kata kunci yang perlu diketahui: 1. Fenomena adalah realitas esensi atau dalam fenomena terkandung pula nomena

  (sesuatu yang berada di balik fenomena) 2. Pengamatan adalah aktivitas spiritual atau rohani 3. Kesadaran adalah sesuatu yang interaksional (terbuka dan terarah pada subjek) 4.

  Substansi adalah konkret yang menggambarkan isi dan struktur kenyataan sekaligus bisa terjangkau.

  Menurut filsafat fenomenologi yang diajukan oleh Husserl (Praja 2003:181), usaha untuk mencapai hakikat realitas segala fenomena itu melalui reduksi atau penyaringan yang terdiri dari: 1.

  Reduksi Fenomenologi Fenomena seperti disebut diatas adalah menampakkan diri. Dalam praktik hidup sehari- hari, kita tidak memperhatikan penampakan itu. Apa yang kita lihat secara spontan sudah cukup meyakinkan kita bahwa objek yang kita lihat adalah rill atau nyata. Kita telah meyakini sebagai realitas di luar nikah. Akan tetapi, karena yang dituju oleh fenomenologi adalah realitas dalam arti yang di luar dirinya dan ini hanya dapat dicapai dalam “mengalami” secara intuitif, maka apa yang dianggap sebagai realitas dalam pandangan biasa itu untuk sementara harus ditinggalkan atau dibuat dalam kurung. Segala subjekivitas disingkirkan. Termasuk di dalam kesadaran adalah fenomena itu sendiri. Karena itulah reduksi ini disebut fenomenologis.

  Reduksi pertama ini merupakan “pembersihan diri” dari segala subjektivitas yang dapat mengganggu perjalanan mencapai realitas itu. Jika hal ini berhasil, kia akan sampai

  2. Reduksi Eidetis Eidetis berasal dari kata eidos. Eduksi eidetis ialah penyaingan atau penempatan di dalam kurung segala hal yang bukan eidos, inti sari atau ealias fenomena. Dengan reduksi eidetis, semua segi, aspek, dan profil dalam fenomena yang hanya kebetulan dikesampingkan. Karena aspek dan profil tidak pernah menggambarkan objek secara utuh.

  Setiap objek adalah kompleks mengandung aspek dan profil yang tiada terhingga.

  Hakikat (realitas) yang dicapai dalam hal ini adalah stuktur dasar yang meliputi isi fundamental dan semua sifat hakiki. Untuk menentukan apakah sifat-sifat tertentu adalah hakikat atau bukan, Husserl memakai prosedur mengubah contoh-contoh. Ia menggambarkan contoh-contoh tertentu yang epesentatif melukiskan fenomena. Kemudian dikurangi atau ditambahkan salah satu sifat. Pengurangan atau penambahan yang tidak mengurangi atau menambahkan makna fenomena dianggap sebagai sifat-sifat yang hakiki.

  Reduksi eidetis ini menunjukan bahwa dalam fenomenologi kriteria kohesi berlaku. Artinya, pengamatan-pengamatan yang beruntun terhadap objek harus dapat disatukan dalam suatu horizon yang konsisten. Setiap pengamatan memberi harapan akan tindakan-tindakan yang sesuai dengan yang pertama atau yang selanjutnya.

  3. Reduksi Transendental Di dalam reduksi ini yang ditempatkan di antaranya dua kurung adalah eksistensi dan segala sesuatu yang tidak mempunyai hubungan timbal balik dengan kesadaran murni, agar dari objek itu akhirnya orang sampai kepada apa yang ada pada subjek sendiri. Reduksi ini dengan sendirinya bukan lagi mengenai objek atau fenomena yang bukan mengenai hal-hal yang menampakkan diri kepada kesadaran. Reduksi ini merupakan pengarahan ke subjek dan mengenai hal-hal yang menampakkan diri dalam kesadaran sendiri. Kesadaran di sini bukan pula kesadaran empiris lagi, bukan kesadaran dalam arti menyadarkan diri berdasarkan penemuan dengan fenomena tertentu. Kesadaran yang ditentukan adalah kesadaran yang besifat murni atau transendental, yaitu yang ada bagi diri dalam aktrus-aktrus. Dengan singkat dapat disebut sebagai subjektivitas atau “aku” transendental.

  Dalam hal ini “aku” transendental mengkonstitusi esensi-esensi umum. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya Husserl menyadari bahwa objek-objek pada umumnya tidak terlepas dari proses sejarah dan budaya. Artinya, sejarah dan budaya mempunyai saham sedangkan subjek lebih dari satu. Untuk menghindar ini, Husserl membuat lebenswelt (dunia yang hidup atau dunia manusia umum). Dengan reduksi ini, apa yang disadari adalah realitas absolut dari fenomena, meliputi seluruh perspektif. Dan “aku” transendental dari subjek. Ini yang ditempuh Husserl untuk menghindar solipisme fenomenologis.

  Tujuan dari semua reduksi ini adalah menemukan bagaimana objek dikonstitusi sebagai fenomena asli dalam kesadaran manusia. Husserl ingin dengan metode ini memberikan landasan yang kuat dan netral bagi filsafat dan ilmu pengetahuan umum.

2.3 Komunikasi Fajar Marhaeni (2009:16) mengatakan komunikasi adalah prasyarat kehidupan manusia.

  karena komunikasi adalah salah satu aktivitas yang sangat fundamental dalam kehidupan umat manusia. Kebutuhan manusia untuk berhubungan dengan sesamanya diakui oleh jampir semua agama telah ada sejak Tuhan menciptakan Adam dan Hawa di muka bumi ini.

  Kapan manusia berkomunikasi dengan manusia lainnya, tidak ada data autentik yang dapat menerangkan tentang hal itu. Hanya saja diperkirakan bahwa kemampuan manusia untuk berkomunikasi dengan orang lain secara lisan adalah suatu peristiwa yang berlangsung dengan sendirinya.

  Evert M. Rogers (1986) dalam bukunya communication technology: The New Media in

  

Society , antara lain menyebutkan bahwa sejarah komuniksi sudah dikenal diperkirakan

  dimulai sejak sekitar 4.000 tahun sebelum masehi (sM), dan biasa disebut jaman Cro-Mag- Non. Baru sekitar tahun 22.000 sM, para ahli pra-sejarah menemukan lukisan-lukisan dalam gua yang diperkirakan karya komunikasi manusia pada zaman tertentu.

  Sifat manusia untuk menyampaikan keinginannya dan untuk mengetahui hasrat orang lain, merupakan awal keterampilan manusia berkomunkasi secara otomatis melalui lambang- lambang isyarat, kemudian disusul dengan kemampuan dan memberi arti setiap lambang- lambang itu dalam bentuk bahasa verbal. Rogers pun menilai peristiwa ini sebagai generasi pertama kecakapan manusia berkomunikasi sebelum mampu mengutarakan pikirannya secara tertulis.

  Pada mulanya komunikasi yang tetap hanya terdapat pada masyarakat kecil, kelompok orang yang hidup berdekatan yang merupakan satu unit politik. Tetapi sekarang, akibat dari kecepatan media informasi dan kompleksnya berbagai macam hubungan, maka komunikasi dipergunakan oleh kebanyakan orang. Ia dipergunakan dalam semua kesempatan baik dalam pembahasan maupun membicarakan berbagai masalah.

  Kata atau istilah “komunikasi” (Bahasa Inggris “communication”) berasal dari bahsa latin “communicatus” yang berarti “berbagi” atau “menjadi milik bersama”. Dengan demikian, kata komunikasi menurut kamus bahasamengacu pada suatu upaya yang bertujuan untuk mencapai kebersamaan. Menurut Webster New Collogiate Dictionary dijelaskan bahwa komunikasi adalah “suatu proses pertukaran informasi di antara individu melalui sistem lambang-lambang, tanda-tanda atau tingkah laku”. Berikut ini adalah beberapa definisi tentang ilmu komunikasi yang dikemukan oleh para ahli sebagai berikut:

  Hovland, Janis & Kelley Komunikasi adalah suatu proses melalui dimana seseorang

  (komunikator) menyampaikan stimulus (biasanya dengan bentuk kata-kata) dengan tujuan mengubah atau membentuk perilaku orang-orang lainnya (khalayak). Berelson & Steiner Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi, gagasan, emosi, keahlian, dan lain- lain melalui penggunaan simbol-simbol seperti kata-kata, gambar, angka-angka, dan lain- lain.Bierstedt dalam menyusun urutan ilmu, menganggap jurnalistik sebagai ilmu komunikasi, dalam hal ini ilmu terapan (applied Science). Karena ilmu komunikasi bersifat interdisipliner atau multidisipliner, ini disebabkan oleh objek materialnya sama dengan ilmu- ilmu lainnya, terutama yang termasuk ke dalam ilmu sosial atau ilmu kemasyarakatan.

  Perkembangan Communication Science atau Communicology di Amerika Serikat yaitu ilmu yang mempelajari gejala-gejala sosial sebagai akibat dari proses komunikasi massa, komunikasi kelompok dan komunikasi antarpersonal. Kebutuhan orang-orang Amerika akan

science of communication tampak sudah sejak tahun 1940-an, pada waktu itu Joseph A.

Devito dalam bukunya, Communicology: An Introduction to the Study of Communication, mendefinisikan communicology sebagai berikut:“bahwa komunikologi adalah ilmu komunikasi, terutama komunikasi oleh dan di antara manusia. Seorang komunikologi adalah seorang ahli ilmu komunikasi. Istilah komunikasi dipergunakan untuk menunjukan tiga bidang studi yang berbeda yaitu proses komunikasi, pesan yang dikomunikasikan dan studi mengenai proses komunikasi.

  Di definisikan oleh Devito bahwa suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau lebih, yakni kegiatan menyampaikan dan menerima pesan, yang dapat distorsi dari gangguan- gangguan dalam suatu konteks yang menimbulkan suatu efek dan kesempatan untuk arus balik. Oleh karena itu, kegiatan komunikasi meliputi komponen-komponen komunikasi

  Komunikasi adalah inti semua hubungan sosial, apabila orang telah mengadakan hubungan tetap, maka sistem komunikasi yang mereka lakukan akan menentukan apakah sistem tersebut dapat mempererat atau mempersatukan mereka, mengurangi ketegangan atau melenyapkan persengketaan apabila muncul. Manusia sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial, memiliki dorongan ingin tahu, ingin mau dan berkembang, maka salah satu sarananya adalah komunikasi. Karenanya, komunikasi merupakan kebutuhan yang mutlak bagi kehidupan manusia.

  Komunikasi memberikan sesuatu kepada orang lain dengan kontak tertentu atau dengan mempergunakan sesuatu alat. Banyak komunikasi terjadi dan berlangsung tetapi kadang- kadang tidak tercapai kepada sasaran tentang apa yang dikomunikasikan itu. Dimungkinkan adanya komunikasi yang baik antara pemberi pesan dan penerima pesan kalau terjalin persesuaian di antara keduanya.Terlaksana komunikasi yang baik, banyak rintangan yang ditemui dan dihadapi, baik rintangan bersifat fisik, individual, bahasa dan sampai perbedaan arti yang dimaksud oleh orang yang diajak berkomunikasi. Saling pengertian dapat terjadi dengan menggunakan bahasa yang baik, sehingga pihak yang menerima dapat mengerti apa yang diberikan atau dipesankan, dengan demikian tercipta situasi komunikasi yang serasi. komunikasi itu merupakan suatu kegiatan manusia yang sedemikian otomatis. Dengan berkomunikasi, orang dapat menyampaikan pengalamannya kepada orang lain, sehingga pengalaman itu menjadi milik orang lain pula, tanpa mengalaminya sendiri. Melalu komunikasi, orang dapat merencanakan masa depannya, membentuk kelompok dan lain-lain. Dengan komunikasi, manusia dapat menyampaikan informasi, opini, ide, konsepsi, pengetahuan, perasaan, sikap, perbuatan dan sebagainya kepada sesamanya secara timbal balik, baik sebagai penyampai maupun penerima komunikasi. Sehingga dengan demikian, terbinalah perkembangan kepribadiannya baik sebagai diri pribadi maupun kemasan sosial, serta tercapainya pula kehidupan bersama dan bermasyarakat.

  Dari apa yang dikatakan terbukti bahwa kegiatan komunikasi yang dilakukan manusia, seringkali dengan tanpa pikir, sebenarnya merupakan kegiatan yang pokok dalam kehidupan bermasyarakat atau sebagaimana dinyatakan oleh seorang tokoh komunikasi bahwa “communication is human existen and social proces”. Melalui komunikasi orang dapat mempengaruhi dan mengubah sikap tingkah laku orang lain, membentuk suatu konsensus, yang dikenal sebagai pendapat umum, kelompok. Dari komunikasi memungkinkan suatu ide (baru atau lama) tersebar dan dihayati orang, dituntut ataupun ditolak, berhasil atau gagalnya

  Inilah sebabnya mengapa pada akhir-akhir ini di Indonesia komunikasi makin penting dan diperhatikan orang. Hal ini karena komunikasi merupakan alat pembangunan, sebab mereka lebih banyak berhadapan dan berhubungan dengan pelaksana pembangunan dan masyarakat luas (Widjaja, 1986: 4-6).

  Komunikasi adalah komponen penting dalam pola tindakan manusia. Karena itu komunikasi juga perlu dikaji karena begitu rumit dan komplit. Bernett pearce (1989) mengatakan munculnya peran komunikasi sebagai penemuan revolusioner (revolusionarydiscovery) yang sebagian besar disebabkan oleh penemuan teknologi komunikasi seperti radio, televisi, telepon, satelit, dan jaringan komputer. Pada saat yang bersamaan muncul dan berkembang industrialisasi, tumbuhnya korporasi multinasional dan politik global.

  Riset sosiologi yang dilakukan pada tahun 1930-an kebanyakan menyelidiki cara komunikasi dapat memengaruhi individu dan masyarakat, sedangkan topik-topik riset yang populer dalam bidang psikologi sosial kala itu, antara lain adalah riset mengenai efek film terhadap anak-anak, riset mengenai propaganda, persuasi, dan dinamika kelompok. Barulah France Dance (1970) melakukan terobosan penting dalam upayanya memberikan klarifikasi terhadap pengertian komunikasi. Ia mengklasifikasikan teori komunikasi yang banyak itu berdasarkan sifat-sifatnya. Ia mengajukan sejumlah elemen dasar yang digunakan untuk membedakan komunikasi. Ia menemukan tiga hal yang disebutnya dengan 'diferensiasi konseptual kritis (critical conceptual differention) yang membentuk dimensi dasar teori komunikasi, yang terdiri atas dimensi level observasi, dimensi kesengajaan, dan dimensi penilaian normatif. Sementara Judy C. Pearson dan Paul E. Nelson mengemukakan bahwa komunikasi mempunyai dua fungsi umum. Pertama, untuk kelangsungan hidup sendiri yang meliputi: keselamatan fisik, meningkatkan kesadaran pribadi, menampilkan diri kita sendiri kepada orang lain dan mencapai ambisi pribadi. Kedua, untuk kelangsungan hidup masyarakat, tepatnya untuk memperbaiki hubungan sosial dan mengembangkan keberadaan suatu masyarakat (Mulyana, 2002: 5).

  Harold Laswell mendefenisikan komunikasi dengan mencoba menjawab beberapa unsur berikut: who, says what, in which channel, to whom, with what effect. Ini berarti bahwa komunikasi dalam prosesnya meliputi lima unsur yaitu adanya komunikator yang bertindak sebagai penyampai pesan, pesan, saluran sebagai sarana penyampai pesan, komunikan yang berperan sebagai penerima pesan dan efek yang merupakan umpan balik sebagai reaksi

  Defenisi di atas menjelaskan bahwa pada dasarnya komunikasi merupakan proses atau pengoperan ‘sesuatu’ berupa lambang atau simbol dalam bentuk informasi, karena kata kunci komunikasi adalah informasi. Sedangkan kegiatan komunikasi yang berlangsung lebih menunjukkan kepada komunikasi interpersonal atau disebut juga proses komunikasi secara primer dengan menggunakan lambang (simbol) sebagai medianya secara langsung mampu menerjemahkan pikiran dan atau perasaan komunikator atau pada komunikan.

  Dalam Bugin(2008:254-255)Menurut Sendjaja dkk. (2002) dalam tataran teoritis, paling tidak kita mengenal atau memahami komunikasi dari dua perspektif kognitif dan perilaku. Komunikasi menurut Colin Cherry, yang mewakili perspektif kognitif adalah penggunaan lambang-lambang (symbols) untuk mencapai kesamaan makna dan berbagai informasi tentang satu objek atau kejadian. Informasi adalah sesuatu (fakta, opini, gagasan) dari satu partisipan kepada partisipan lain melalui pengunaan kata-kata atau lambang lainnya. Jika pesan yang disampaikan diterima secara akurat, receiver akan memiliki informasi yang sama seperti yang dimiliki sender, oleh karena itu tindak komunikasi telah terjadi.

  Sementara Skinner dari perspektif perilaku memandang komunikasi sebagai perilaku verbal atau simbolis dimana sender berusaha mendapatkan satu efek yang dikehendakinya pada receiver. Masih dalam perspektif perilaku, Dance menegaskan bahwa komunikasi ada karena adanya satu respons melalui lambang-lambang verbal dimana simbol verbal tersebut bertindak sebagai stimulus untuk memperoleh respons. Kedua pengertian komunikasi yang disebut terakhir, mengacu pada hubungan stimulus respons antara sender dan receiver.

  Dalam kehidupan sehari-hari, proses komunikasi diawali oleh sumber (source) baik individu ataupun kelompok yang berusaha berkomunikasi dengan individu atau kelompok lain.

  Para pakar komunikasi memiliki pendapat berbeda dalam mengemukakan fungsi- fungsi komunikasi, meskipun adakalanya terdapat kesamaan dan tumpang tindih di antara berbagai pendapat tersebut. Thomas M Scheidel (Mulyana, 2002: 4) mengemukakan bahwa kita berkomunikasi terutama untuk menyatakan dan mendukung identitas diri, untuk membangun kontak sosial dengan orang di sekitar kita dan untuk mempengaruhi orang lain untuk merasa, berpikir atau berperilaku seperti yang kita inginkan. Namun tujuan dasar kita berkomunikasi adalah untuk mengendalikan lingkungan fisik dan psikologis kita.

2.3.1 Komunikasi Massa

  Pengertian komunikasi massa, pada suatu sisi adalah proses dimana organisasi media memproduksi dan menyebarkan pesan kepada publik secara luas dan pada sisi lain diartikan sebagai bentuk komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen dan anonim melalui media cetak maupun elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara rentak dan sesaat.

  Pengertian proses komunikasi massa pada hakikatnya merupakan proses pengoperan lambang-lambang yang berarti, yang dilakukan melalui saluran (channel), biasanya dikenal dengan media printed (press), media auditif (radio), media visual (gambar, lukisan) atau media audio visual (televisi dan film). Yang dimaksud dengan media disini adalah alat yang digunakan untuk mencapai massa (sejumlah orang yang tidak terbatas) (Ardianto, 2004: 31- 32).

  Komunikasi massa mempunyai titik tekan dan bahasan sendiri. Misalnya, Wilbur Schramm (1958) dalam bukunya Introduction of Mass Communication Research menunjukan, beberapa penelitian yang dilakukan pada 1920-an dan 1930-an memusatkan perhatiannya pada analisis sejarah surat kabar dan majalah atau deskipsi interprestasi pesan media. Bahkan dalam jurnal ilmiah tetua komunikasi Journalism Quarterly dikemukan bahwa wilayah kajian jurnalistik dan komunikasi massa bisa ditekankan pada sejarah, hukum dan analisis isi media (Nurudin, 2003: 1-2).

  Komunikasi massa adalah salah satu aktivitas sosial yang berfungsi di masyarakat. Robert K. Merton mengemukakan, bahwa fungsi aktivitas sosial memiliki dua aspek, yaitu fungsi nyata (manifest function) adalah fungsi nyata yang diinginkan, kedua fungsi tidak nyata atau tersembunyi (latent function), adalah fungsi yang tidak diinginkan (Bugin, 2008: 78). Sehingga pada dasarnya setiap fungsi sosial dalam masyarakat itu memiliki efek fungsional dan disfungsional.

  Fungsi komunikasi massa di dalam masyarakat amatlah banyak, akan tetapi yang pada umumnya dinilai penting antara lain adalah fungsi surveillance (pengawasan). Bagi masyarakat, fungsi ini antara lain memberitahukan adanya bahaya atau bencana alam seperti gempa bumi, banjir, gunung meletus dan sebagainya. Komunikasi massa dapat juga memberi atau meningkatkan status sosial anggota masyarakat karena mengetahui berbagai berita yang dimuatnya. Mereka yang mengetahui berita-berita aktual sudah tentu akan menjadi pusat dapat mengatur startegi yang sebaiknya diambil untuk mengendalikan mereka. Sebaliknya, komunikasi massa juga dapat menambah keyakinan kelompok-kelompok masyarakat untuk semakin yakin atas gerakan-gerakan yang diambil dan bergabung dengan kelompok lainnya.

  Yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa fungsi komunikasi massa, dapat juga negatif, misalnya saja dapat menimbulkan kegelisahan masyarakat karena adanya ancaman perang. Semakin tidak terkendalinya harga-harga pangan dari peredaran dan sejenisnya. Sementara itu, fungsi interprestasi dan preskripsi juga tak kalah pentingnya, terutama berita-berita tentang kejadian yang dapat menimbulkan dampak negatif dan membahayakan masyarakat. Ambillah sebuah contoh berita tentang penganiayaan mahasiswa oleh oknum aparat atau sebaliknya penganiayaan terhadap aparat oleh oknum mahasiswa (Fajar Marhaeni, 2009: 249).

  Menurut Ardianto (2004: 48) komunikasi massa merupakan sejenis kekuatan sosial yang dapat menggerakkan proses sosial ke arah suatu tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Akan tetapi untuk mengetahui secara tepat dan rinci mengenai kekuatan sosial yang dimiliki oleh komunikasi massa dan hasil yang dapat dicapainya dalam menggerakkan proses sosial tidaklah mudah. Oleh karena itu, efek atau hasil yang dapat dicapai oleh komunikasi yang dilaksanakan media (lisan, tulisan, visual/audio visual) perlu dikaji melalui metode tertentu yang bersifat analisis psikologi dan analisi sosial.

  Dalam komunikasi massa kita juga membutuhkan gatekeeper (pentapis infomasi atau palang pintu) yakni beberapa individu atau kelompok yang bertugas menyampaikan atau mengirimkan infomasi dari individu ke individu yang lain melalui media massa. Definisi yang dikemukan oleh Bittne di atas menekankan akan arti pentingnya gatekeeper dalam proses komunikasi massa. Inti dari pendapat itu bisa dikatakan begini, dalam proses komunikasi massa disamping melibatkan unsur-unsur komunikasi sebagaimana umumnya, ia membutuhkan peran media massa sebagai alat untuk menyampaikan atau menyebarkan informasi. Media massa tidak berdiri sendiri. Di dalamnya ada beberapa individu yang bertugas melakukan pengelolahan informasi sebelum informasi itu sampai kepada audience- nya. Mereka yang bertugas itu sering disebut gatekeeper. Jadi, informasi yang diterima

  

audience dalam komunikasi massa sebenarnya sudah diolah oleh gatekeeper dan disesuaikan

  dengan misi, visi media yang bersangkutan, khalayak sasaran dan orientasi bisnis atau ideal yang menyertainya. Bahkan, sering pula disesuaikan dengan kepentingan penanam modal atau aparat pemerintah yang tidak jarang ikut campur tangan dalam sebuah penerbitan

  Satu kenyataan yang tak terbantah dan sangat memengaruhi proses komunikasi dalam masyarakat modern sekarang ini adalah keberadaan media massa (cetak maupun elektronik).Media massa telah menjadi fenomena tersendiri dalam proses komunikasi massa dewasa ini. Bahkan ketergantungan manusia pada media massa sudah sedemikian besar. Jika Anda hidup pada masyarakat modern seperti saat ini, akan sulit Anda menghindar dari peran media mulai dari bangun pagi sampai tidur di malam hari. Ketergantungan yang tinggi pada media massa tersebut akan mendudukkan media sebagai alat yang akan ikut membentuk apa dan bagaimana masyarakat.

  Arti penting dari media massa, menurut Dennis McQuail (1987) dalam (Nurudin (2003: 31-32) pernah menyodorkan beberapa asumsi pokok: 1.

  Media merupakan industri yang berubah dan berkembang yang menciptakan lapangan kerja, barang dan jasa serta menghidupkan industri lain yang terkait.

  Media juga merupakan industri tersendiri yang memiliki peraturan dan norma- norma yang menghubungkan institusi tersebut dengan masyarakat dan institusi sosial lainnya.

  2. Media massa merupakan sumber kekuatan – alat kontrol, manajemen, dan inovasi dalam masyarakat yang dapat didayagunakan sebagai pengganti kekuatan atau sumber daya lainnya.

  3. Media merupakan lokasi (atau norma) yang semakin berperan, untuk menampilkan peristiwa-peristiwa kehidupan masyarakat, baik yang bertaraf nasional maupun internasional.

  4. Media sering kali berperan sebagai wahana pengembangan kebudayaan, bukan saja dalam pengertian pengembangan bentuk seni dan simbol, tetapi juga dalam pengertian pengembangan tata cara, mode, gaya hidup dan norma-norma.

  5. Media telah menjadi sumber dominan bukan saja bagi individu untuk memperoleh gambaran dan citra realitas sosial, tetapi juga bagi masyarakat dan kelompok secara kolektif. Media juga menyuguhkan nilai-nilai dan penilaian normatif yang dibaurkan dengan berita dan hiburan.

  Nurudin (2003: 8) mengatakanAlaxis S Tan (1981) mencoba untuk memberikan sifat khusus yang dipunyai oleh komunikasi massa. Ia memberikan ciri komunikasi massa dengan komunikasi massa dengan interpersonal communication kita akan mengetahui apa itu komunikasi massa,” katanya.

  Ciri khusus yang bisa membedakan keduanya terletak pada penerima pesannya (audience). Di awal perkembangannya, defenisi komunikasi massa sebagai sebuah studi ilmiah terletak pada mass society sebagai audience komunikasi. Konsep mass society ini memang istilah yang sering dipakai dalam lapangan sosiologi yang mendeskripsikan orang- orang institusi mereka dalam sebuah negara industri maju.

  Kemudian istilah itu digunakan pula dalam komunikasi massa. Herbet Blumer (1939) kemudian menggunakan konsep ini (yang berasal dari mass society) untuk menyebutkan

  

mass audience (penerima pesan dalam komunikasi massa). Yang disebut dalam penerima