BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Identifikasi Peningkatan Keberfungsian Sosial Dan Penurunan Risiko Bunuh Diri Bagi Penderita Gangguan Kesehatan Mental Bipolar Disorder Di Kota Medan Melalui Terapi Pendampingan Psikososial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Identifikasi

  Identifikasi menurut Hawadi (2002:107) adalah suatu prosedur yang dipilih dan yang cocok dengan ciri-ciri yang akan dicari dan selaras dengan program yang mau dikembangkan. Hansen dan Linden (2002:107) menyatakan bahwa dalam identifikasi, maka proses identifikasi yang dipilih haruslah berdasarkan tujuan yang ingin dicapai. Prosedur identifikasi haruslah berdasarkan hal-hal dan tujuan program yang bisa dipertahankan.

  Prinsip identifikasi meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Metode identifikasi haruslah dipilih konsisten dengan defenisi.

2. Prosedur identifikasi haruslah bervariasi 3.

  Prosedur untuk identifikasi harus baku dan konsisten.

  4. Jika ada keterbatasan dalam lingkungan, maka kita harus mempertimbangkan apa yang dapat dilakukan dalam lingkungan tertentu (Hawadi, 2002: 108). Menurut Hawadi (2002:110) proses identifikasi ada dua, yakni pertama, tahap penjaringan dan tahap identifikasi serta studi kasus. Pada tahap penjaringan digunakan metode yang majemuk seperti melakukan tes. Pada tahap kedua, yang juga disebut dengan tahap identifikasi melibatkan pengetesan individu. Dalam hal ini tahapan terhadap proses identifikasi adalah 1) tahap penjaringan, 2) tahap seleksi untuk identifikasi akhir.

2.2 Keberfungsian Sosial

  Istilah keberfungsian sosial mengacu pada cara-cara yang dipakai oleh individu akan kolektivitas seperti keluarga dalam bertingkah laku agar dapat melaksanakan tugas-tugas kehidupannya serta dapat memenuhi kebutuhannya. Pun dapat diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dianggap penting dan pokok bagi penampilan beberapa peranan sosial tertentu yang harus dilaksanakan oleh setiap individu sebagai konsekuensi dari keanggotaannya dalam masyarakat. Penampilan dianggap efektif diantaranya jika suatu keluarga mampu melaksanakan tugas-tugasnya. Menurut Achlis (2011:32) keberfungsian sosial adalah kemampuan seseorang dalam melaksanakan tugas dan peranannya selama berinteraksi dalam situasi sosial tertentu berupa adanya rintangan dan hambatan dalam mewujudkan nilai dirinnya mencapai kebutuhan hidupnya.

  Keberfungsian sosial keluarga mengandung pengertian pertukaran dan kesinambungan, serta adaptasi resiprokal antara keluarga dengan anggotanya, dengan lingkungannya, dan dengan tetangganya, dan lain-lain. Kemampuan berfungsi sosial secara positif dan adaptif bagi sebuah keluarga salah satunya adalah jika berhasil dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan, peranan dan fungsinya terutama dalam sosialisasi terhadap anggota keluarganya.

  Skidmore, Thackeray dan Farley (dalam Modul Kementerian Sosial RI, 2008:76) menuliskan bahwa: ‘Social functioning to be a central purpose of social

  work and intervention was seen as the enhancement of social functioning.

  Artinya, keberfungsian sosial adalah tujuan utama atau inti dari pekerjaan sosial dan intervensinya. Keberfungsian sosial merupakan konsepsi yang penting bagi pekerjaan sosial. Ia merupakan pembeda antara profesi pekerjaaan sosial dengan profesi lainnya. Dimana, ada prinsip 'to help people to help themselves' yang masih diutamakan dalam praktik pekerjaan sosial, membantu para penyandang masalah kesejahteraan sosial dapat kembali berfungsi secara sosial.

2.3 Bunuh Diri

2.3.1 Definisi Bunuh Diri

  Secara umum, bunuh diri berasal dari bahasa Latin “suicidium”, dengan “sui” yang berarti sendiri dan “cidium” yang berarti pembunuhan. Schneidman mendefinisikan bunuh diri sebagai sebuah perilaku pemusnahan secara sadar yang ditujukan pada diri sendiri oleh seorang individu yang memandang bunuh diri sebagai solusi terbaik dari sebuah isu. Dia mendeskripsikan bahwa keadaan mental individu yang cenderung melakukan bunuh diri telah mengalami rasa sakit psikologis dan perasaan frustasi yang bertahan lama sehingga individu melihat bunuh diri sebagai satu-satunya penyelesaian untuk masalah yang dihadapi yang bisa menghentikan rasa sakit yang dirasakan (dalam Maris dkk., 2000).

  Dari aliran eksistensial, Baechler mengatakan bahwa bunuh diri mencakup semua perilaku yang mencari penyelesaian atas suatu masalah eksistensial dengan melakukan percobaan terhadap hidup subjek (dalam Maris dkk., 2000). Menurut Corr, Nabe, dan Corr (2003), agar sebuah kematian bisa disebut bunuh diri, maka harus disertai adanya intensi untuk mati. Meskipun demikian, intensi bukanlah hal yang mudah ditentukan, karena intensi sangat variatif dan bisa mendahului, misalnya untuk mendapatkan perhatian, membalas dendam ,mengakhiri sesuatu yang dipersepsikan sebagai penderitaan, atau mengakhiri hidup.

  Menurut Maris, Berman, Silverman, dan Bongar (2000), bunuh diri memiliki 4 pengertian, antara lain:

1. Bunuh diri adalah membunuh diri sendiri secara intensional 2.

  Bunuh diri dilakukan dengan intensi 3. Bunuh diri dilakukan oleh diri sendiri kepada diri sendiri 4. Bunuh diri bisa terjadi secara tidak langsung (aktif) atau tidak langsung

  (pasif), misalnya dengan tidak meminum obat yang menentukan kelangsungan hidup atau secara sengaja berada di rel kereta api.

  Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat dikatakan bahwa bunuh diri secara umum adalah perilaku membunuh diri sendiri dengan intensi mati sebagai penyelesaian atas suatu masalah.

  Memiliki sedikit definisi yang berbeda, percobaan bunuh diri dan bunuh diri yang berhasil dilakukan memiliki hubungan yang kompleks (Maris dkk.,2000). Hal tersebut dikarenakan adanya interaksi dan komorbid antara etiologi kedua perilaku tersebut. Di samping itu, kebanyakan pelaku bunuh diri melakukan beberapa percobaan bunuh diri sebelum akhirnya berhasil bunuh diri.

  Beck (dalam Salkovskis, 1998) mendefinisikan percobaan bunuh diri sebagai sebuah situasi dimana seseorang telah melakukan sebuah perilaku yang sebenarnya atau kelihatannya mengancam hidup dengan intensi menghabisi hidupnya, atau memperlihatkan intensi demikian, tetapi belum berakibat pada kematian. Dengan demikian, yang dimaksud dengan percobaan bunuh diri adalah upaya untuk membunuh diri sendiri dengan intensi mati tetapi belum berakibat pada kematian.

  2.3.2 Metode Bunuh Diri

  Richman menyatakan ada dua fungsi dari metode bunuh diri (dalam Maris dkk., 2000). Fungsi pertama adalah sebagai sebuah cara untuk melaksanakan intensi mati. Sedangkan pada fungsi yang kedua, Richman percaya bahwa metode memiliki makna khusus atau simbolisasi dari individu.

  Secara umum, metode bunuh diri terdiri dari 6 kategori utama yaitu: 1. Obat (memakan padatan, cairan, gas, atau uap) 2.

  Menggantung diri (mencekik dan menyesakkan nafas) 3. Senjata api dan peledak 4. Menenggelamkan diri 5. Melompat 6. Memotong (menyayat dan menusuk)

  2.3.3 Faktor Penyebab Bunuh Diri

  Bunuh diri bukanlah merupakan satu hal tetapi terdiri dari banyak fenomena yang tumpang tindih. Oleh sebab itu, tidak ada satupun kasus bunuh diri yang memiliki etiologi yang sama (Maris dkk.,2000). Schneidman menyebut bunuh diri sebagai hasil dari “psychache”. Psychache merupakan rasa sakit dan derita yang tidak tertahankan dalam jiwa dan pikiran. Rasa sakit tersebut pada dasarnya berasal dari jiwa seseorang ketika merasakan secara berlebih rasa malu, rasa bersalah, penghinaan, kesepian, ketakutan, kemarahan, kesedihan karena menua, atau berada dalam keadaan sekarat (dalam Maris dkk., 2000). Di samping itu, Mann dari bidang psikiatri mengatakan penyebab bunuh diri berada di otak, akibat kurangnya tingkat 5-HIAA, reseptor post-sinapsis, dan pertanda biologis lainnya (dalam Maris dkk., 2000).

  Tidak ada faktor tunggal pada kasus bunuh diri, setiap faktor yang ada saling berinteraksi. Namun demikian, tidak berarti bahwa seorang individu yang melakukan bunuh diri memiliki semua karakteristik di bawah ini. Berikut beberapa faktor penyebab bunuh diri yang didasarkan pada kasus bunuh diri yang berbeda-beda tetapi memiliki efek interaksi di antaranya (Maris, dalam Maris dkk.,2000; Meichenbaum, 2008):

  1. Major-depressive illness, affective disorder 2.

  Penyalahgunaan obat-obatan (sebanyak 50% korban percobaan bunuh memiliki level alkohol dalam darah yang positif)

  3. Memiliki pikiran bunuh diri, berbicara dan mempersiapkan bunuh diri 4.

  Sejarah percobaan bunuh diri 5. Sejarah bunuh diri dalam keluarga 6. Isolasi, hidup sendiri, kehilangan dukungan, penolakan 7. Hopelessness dan cognitive rigidity 8. Stresor atau kejadian hidup yang negatif (masalah pekerjaan, pernikahan, seksual, patologi keluarga, konflik interpersonal, kehilangan, berhubungan dengan kelompok teman yang suicidal) 9. Kemarahan, agresi, dan impulsivitas 10.

  Rendahnya tingkat 5-HIAA 11. Key symptoms (anhedonia, impulsivitas, kecemasan / panik, insomnia global, halusinasi perintah)

  12. Suicidality (frekuensi, intensitas, durasi, rencana dan perilaku persiapan bunuh diri)

13. Akses pada media untuk melukai diri sendiri 14.

  Penyakit fisik dan komplikasinya 15. Repetisi dan komorbid antara faktor-faktor di atas

2.3.4 Penjelasan Bunuh Diri

  Penjelasan-penjelasan dari perspektif yang berbeda berikut hendaknya dipandang sebagai satu kesatuan dalam memahami perilaku bunuh diri yang kompleks.

  1. Penjelasan Psikologis Leenars (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003) mengidentifikasi tiga bentuk penjelasan psikologis mengenai bunuh diri. Penjelasan yang pertama didasarkan pada Freud yang menyatakan bahwa “suicide is murder turned around 180

  

degrees ”, dimana dia mengaitkan antara bunuh diri dengan kehilangan seseorang

  atau objek yang diinginkan. Secara psikologis, individu yang berisiko melakukan bunuh diri mengidentifikasi dirinya dengan orang yang hilang tersebut. Dia merasa marah terhadap objek kasih sayang ini dan berharap untuk menghukum atau bahkan membunuh orang yang hilang tersebut. Meskipun individu mengidentifikasi dirinya dengan objek kasih sayang, perasaan marah dan harapan untuk menghukum juga ditujukan pada diri. Oleh karena itu, perilaku destruktif diri terjadi.

  Penjelasan kedua memandang masalah bunuh diri pada dasarnya adalah masalah kognitif. Pada pandangan ini, depresi merupakan faktor kontribusi yang sangat besar, yang khususnya diasosiasikan dengan hopelessness. Fokus pandangan ini terletak pada penilaian negatif yang dilakukan oleh suicidal person terhadap diri, situasi sekarang, dunia, dan masa depan. Sejalan dengan penilaian ini, pikiran yang rusak muncul. Pikiran ini seringkali otomatis, tidak disadari, dan dicirikan oleh sejumlah kesalahan yang mungkin. Beberapa diantaranya begitu menyeluruh sehingga membentuk distorsi-distorsi kognitif.

  Beck (dalam Pervine, 2005) memperkenalkan model kognitif depresi yang menekankan bahwa seseorang yang depresi secara sistematis salah menilai pengalaman sekarang dan masa lalunya. Model ini terdiri dari 3 pandangan negatif mengenai diri, dunia, dan masa depan. Dia memandang dirinya tidak berharga dan tidak berguna, memandang dunia menuntut terlalu banyak darinya, dan memandang masa depan itu suram. Ketika skema kognitif yang disfungsional (automatic thoughts) ini diaktifkan oleh kejadian hidup yang menekan, individu berisiko melakukan bunuh diri.

  Penjelasan ketiga menyatakan bahwa perilaku bunuh diri itu dipelajari. Teori ini berpendapat bahwa sebagai seorang anak, individu suicidal belajar untuk tidak mengekspresikan agresi yang mengarah keluar dan sebaliknya membalikkan agresi tersebut menuju pada dirinya sendiri. Di samping itu, sebagai akibat dari

  

reinforcement negatif, individu tersebut menjadi depresi. Depresi dan kaitannya

  dengan perilaku bunuh diri atau mengancam hidup lainnya bisa dilihat sebagai

  

reinforcer positif, karena menurut pandangan ini individu dipandang tidak dapat

  bersosialisasi dengan baik dan belum mempelajari penilai budaya terhadap hidup dan mati.

  Sebagai tambahan, Jamison (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003) mengemukakan bahwa psikopatologi adalah elemen paling umum pada perilaku bunuh diri. Dia percaya bahwa sakit mental memainkan suatu peranan penting pada perilaku bunuh diri. Beberapa kondisi psikopatologis yang difokuskannya adalah bipolar disorder atau mood disorder, schizophrenia, borderline dan antisocial personality disorder , alkoholik, dan penyalahgunaan obat-obatan.

  2. Penjelasan Biologis Banyak penelitian telah dilakukan untuk menemukan penjelasan biologis yang tepat untuk perilaku bunuh diri. Beberapa peneliti percaya bahwa ada gangguan pada level serotonin di otak, dimana serotonin diasosiasikan dengan perilaku agresif dan kecemasan. Penelitian lain mengatakan bahwa perilaku bunuh diri merupakan bawaan lahir, dimana orang yang suicidal mempunyai keluarga yang juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Walaupun demikian, hingga saat ini belum ada faktor biologis yang ditemukan berhubungan secara langsung dengan perilaku bunuh diri.

  3. Penjelasan Sosiologis Penjelasan yang terbaik datang dari sosiolog Durkheim yang memandang perilaku bunuh diri sebagai hasil dari hubungan individu dengan masyarakatnya, yang menekankan apakah individu terintegrasi dan teratur atau tidak dengan masyarakatnya. Berdasarkan hubungan tersebut, Durkheim (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003) membagi bunuh diri menjadi 4 tipe yaitu Egoistic Suicide, Altruistic Suicide, Anomic Suicide, dan Fatalistic Suicide.

2.3.5 Teori Bunuh Diri Emile Durkheim

  Emile Durkheim merupakan tokoh sosiologi klasik yang terkenal dengan teori bunuh dirinya. Dalam bukunya “SUICIDE” Emile mengemukakan dengan jelas bahwa yang menjadi penyebab bunuh diri adalah pengaruh dari integrasi sosial. Teori ini muncul karena Emile melihat didalam lingkungannya terdapat orang-orang yang melakukan bunuh diri. Yang kemudian menjadikan Emile tertarik untuk melakukan penelitian di berbagai negara mengenai hal ini. Peristiwa bunuh diri merupakan kenyataan-kenyataan sosial tersendiri yang karena itu dapat dijadikan sarana penelitian dengan menghubngkannya terhadap struktur sosial dan derajat integrasi sosial dari suatu kehidupan.

2.3.5.1 Alasan dan Jenis Bunuh Diri

  Terdapat empat alasan orang bunuh diri menurut Durkheim (2007:17), yaitu: a)

  Karena alasan agama Dalam penelitiannya, Durkheim mengungkapkan perbedaaan angka bunuh diri dalam penganut ajaran Katolik dan Protestan. Penganut agama Protestan cenderung lebih besar angka bunuh dirinya dibandingkan dengan penganut agama Katolik. Perbedaan ini dikarenakan adanya perbedaan kebebasan yang diberiakn oleh kedua agama tersebut kepada penganutnya. Penganut agama Protestan memperoleh kebebasan yang jauh lebih besar untuk mencari sendiri hakekat ajaran-ajaran kitab suci, sedangkan pada agama Katolik tafsir agama ditentukan oleh pemuka Gereja. Akibatnya kepercayaan bersama dari penganut Protestan berkurang sehingga menimbulkan keadaan dimana penganut agama Protestan tidak lagi menganut ajaran/tafsir yang sama. Integrasi yang rendah inilah yang menjadi penyebab laju bunuh diri dari penganut ajaran ini lebih besar daripada penganut ajaran agama Katolik.

  b) Karena alasan keluarga

  Semakin kecil jumlah anggota dari suatu keluarga, maka akan semakin kecil pula keinginan untuk terus hidup. Kesatuan sosial yang semakin besar, semakin besar mengikat orang-orang kepada kegiatan sosial di antara anggota-anggota kesatuan tersebut. Kesatuan keluarga yang lebih besar biasanya lebih akan terintegrasi.

  c) Karena alasan politik

  Durkheim disini mengungkapkan perbedaan angka bunuh diri antara masyarakat militer dengan masyarakat sipil. Dalam keadaan damai angka bunuh diri pada masyarakat militer cenderung lebih besar daipada masyarakat sipil. Dan sebaliknya, dalam situasi perang masyarakat militer angka bunuh dirinya rendah. Didalam situasi perang masyarakat militer lebih terintegrasi dengan baik dengan disipilin yang keras dibandingkan saat keadaan damai di dalam situasi ini golongan militer cenderung disiplinnya menurun sehingga integrasinya menjadi lemah.

  d) Karena alasan kekacauan hidup (anomie) Bunuh diri dengan alasan ini dikarenakan bahwa orang tidak lagi mempunyai pegangan dalam hidupnya. Norma atau aturan yang ada sudah tidak lagi sesuai dengan tuntutan jaman yang ada.

   

  Sedangkan jenis-jenis bunuh diri menurut Durkheim adalah:

  a. Bunuh diri Egoistic Adalah suatu tindak bunuh diri yang dilakukan seseorang karena merasa kepentingannya sendiri lebih besar daripada kepentingan kesatuan sosialnya.

  Seseorang yang tidak mampu memenuhi peranan yang diharapkan (role

  

expectation ) di dalam role performance (perananan dalam kehidupan sehari-hari),

maka orang tersebut akan frustasi dan melakukan bunuh diri.

  b. Bunuh diri Anomic Bunuh diri yang terjadi ketika kekuatan regulasi masyarakat terganggu dimana terjadi ketidakjelasan norma-norma yang mengatur cara berpikir, bertindak dan merasa para anggota masyarakat, gangguan itu mungkin membuat individu merasa tidak puas karena lemahnya kontrol terhadap nafsu mereka, yang akan bebas berkeliaran dalam ras yang tidak akan pernah puas terhadap kesenangan. Menurut Durkheim, suatu keadaan anomik dapat dilihat dari indikator ekonomi maupun domestik. Analisa statistik Durkheim memperlihatkan bahwa krisis ekonomi membuat orang kehilangan arah. Dalam keadaan seperti ini, ungkap Durkheim mereka harus beradaptasi dengan kondisi yang menimpa mereka, kondisi yang sangat menyiksa; mereka membayangkan penderitaan karena serba berkekurangan bahkan sebelum mereka mencoba kehidupan ini. Pertumbuhan kemakmuran yang mendadak dalam masyarakat juga memiliki dampak serupa terhadap peningkatan angka bunuh diri dalam masyarakat.

  Pertumbuhan ekonomi yang mendadak membuat tatanan moral sekonyong- konyong runtuh, sementara tatanan moral yang baru belum cukup rampung untuk menggantikan tatanan moral sebelumnya.

  c. Bunuh diri Altruistic Orang melakukan bunuh diri karena merasa dirinya sebagai beban dalam masyarakat. Contohnya adalah seorang istri yang melakukan bunuh diri yang telah ditinggal mati oleh suaminya. Serta juga bunuh diri yang dilakukan oleh orang Jepang “hara kiri”, yaitu bunuh diri yang dilakukan oleh anggota militer demi membela negaranya.

  d. Bunuh diri Fatalisme Adalah bunuh diri yang dilakukan karena rasa putus asa. Tidak ada lagi semangat untuk melanjutkan hidup.

2.3.5.2 Teori Struktural Fungsional dan Studi Bunuh Diri

  Teori struktural fungsional adalah teori yang menjelaskan tentang bagaimana sebuah struktur dalam suatu negara dapat mempengaruhi individu dan masyarakat dalam berbagai aspek. Teori struktural fungsional dalam studi Emile Durkheim tentang Bunuh Diri (Suicide). Bunuh diri adalah suatu fakta sosial yang terjdi dalam masyarakat yang penyebabnya dikarenakan sebuah struktur yang terjadi dalam suatu negara, yang kemudian dampaknya terjadi kepada masyarakat ataupun individu.

  Kenyataan dari fakta sosial itu sendiri adalah bahwa gejala sosial yang terjadi secara nyata dan riil dan dipengaruhi oleh kesadaran individu serta perilakunya yang berbeda dari karakteristik psikologi, biologis ataupun karakteristik yang lain. Karakteristik fakta sosial menurut Durkheim adalah, pertama bahwa setiap tindakan atau gejala sosial individu dipengaruhi oleh faktor eksternal. Seperti norma – norma dan peraturan – peraturan bahwa individu selalu dalam situasi yang sama selalu melakukan dan mematuhi aturan dan norma – norma yang ada, hal itu terbukti semua tindakan dan aktivitas individu selalu dipengaruhi oleh faktor – faktor eksternal diluar kesadaran manusia.

  Kedua, bahwa fakta sosial itu bersifat memaksa, hal tersebut dapat dilihat jika individu dalam melaksanakan aturan yang berlaku selalu terdapat paksaan dalam dirinya. Paksaan tersebut dapat menjadi sesuatu yang biasa, jika proses yang dilakukan individu berhasil alhasil, semua aturan yang ada telah menjadi sesuatu yang biasa tanpa adanya paksaan.

  Ketiga, bahwa fakta sosial bersifat umum dan menyeluruh. Hal tersebut dapat diartikan fakta sosial bukan milik individu melainkan milik masyarakat luas dan fakta sosial bersifat kolektif (Samuel, 2010:25).

  Menurut Durkheim, fakta sosial adalah seluruh cara bertindak, baku maupun tidak yang dilakukan individu karena adanya paksaan eksternal dan fakta sosial adalah seluruh tindakan masyarakat yang secara umum dilakukan tanpa manifestasi dari individu. Durkheim membedakan fakta soaial menjadi dua yaitu fakta sosial material dan fakta sosial nonmaterial. Fakta sosial material adalah gaya arsitektur, bentuk teknologi, bentuk perundangan yang mudah dipahami, karena dapat diamati secara langsung. Fakta sosial material sering mengekspresikan kekuatan moral yang lebih besar dan kuat yang berada dalam luar individu bersifat memaksa, hal itu disebut fakta sosial nonmaterial. Fakta sosial nonmaterial dipandang penting oleh Durkheim, karena fakta ini mengandung batasan – batasan tertentu, ia ada dalam pikiran individu. Semua ketentuan manusia bukan hanyan berasal dari pikiran individu semata, melainkan dari interaksi manusia itu sendiri. Pada level lain fakta sosial material yang berupa struktur (misal birokrasi), yang bercampur dengan komponen morfologis (kepadatan penduduk dalam lingkungan dan jalur komunikasi mereka), fakta sosial nonmaterialnya adalah norma birokrasi.

  Fakta sosial nonmaterial sesuatu yang sangat penting dalam studi Durkheim, maka dengan ini akan mempertengahkan jenis – jenis fakta sosial nonmaterial yaitu moralitas, kesadaran kolektif, representasi kolektif dan aliran sosial. Moralitas, dalam mempelajari moralitas yang harus diperhatikan terdiri dari dua aspek. Pertama, moralitas adalah fakta sosial yang dipengaruhi oleh faktor – faktor eksternal yang dapat dipelajari secara empiris bukan secara fisiologis karena moralitas dapat dilihat bentuknya secara keseluruhan namun moralitas harus dipelajari secara empiris.

  Moralitas sangat erat hubungannya dengan struktur sosial. Kedua, moralitas adalah sesuatu yang diidentifikasi dengan masyarakat. Masyarakat tidak mungkin tidak bermoral, namun bisa jadi masyarakat itu kehilangan kekuatan moralnya jika ia menganggap kepentingan – kepentingan kolektif (bersan) menjadi kepentingan individu belaka. Selama moralitas itu adala fakta sosial, moralitas dapat memaksa masyarakat atau individu untuk mematuhi kepentingan bersama.

  Kesadaran kolektif, menurut Durkheim definisi kesadaran kolektif adalah seluruh kepercayaan bersama orang kebanyakan dalam masyarakat yang akan menimbulkan sebuah sistem yang tetap dan memiliki kehidupan sendiri bersifat umum. Durkheim memandang kesadran kolektif tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan melalui kepercayaan dan sistem bersama. Durkheim menilai bahwa kesadaran kolektif tidak dapat telepas dari fakta sosial dan Durkheim pun tidak memungkiri kalau kesadaran kolektif dapat terwujud melalui kesadaran – kesadaran individu (Samuel, 2010:37).

  Representatif kolektif, karena kesadaran kolektif memiliki sesuatu yang luas dan tidak memiliki bentuk yang tetap dan hanya bisa dipelajari dengam melalui fakta sosial material, maka Durkeim pun memilih sesuatu yang lebih spesifik dalam karya – karyanya. Contoh dari representatif kolektif adalah simbol agama, mitos dan lgenda populer. Semua itu adalah cara – cara masyarakat merefleksikan dirinya dan mempresentasikan kepercayaan, norma, dan nilai kolektif dan mendorong kita untuk menyesuaikan diri dengan klaim kolektif. Representasi kolektif tidak dapat ditimbulkan oleh kesadaran – kesadran individu, karena reperesentatif kolektif berhubungan langsung dengan simbol material.

  Aliran sosial, sebagian besar faktas sosial Durkheim selalu di hubungakan dengan organisasi soial. Tetapi fakta sosial tudk dapat menghadirkan bentuk yang jelas, karena fakta sosial tidak dapat timbul melalui kesadaran - kesadaran individu. Aliran atau arus sosial dapat dicontohkan dengan, luapan emosi, perasaan, amarah, semangat dan rasa kasihan. Kita dapat diseret oleh arus sosial ia memiliki kekuatan untuk memaksa kita, meski kita baru menyadari ketika kita bergulat dengan perasaan bersama kita.

  Bunuh diri sebagai fakta sosial, dimana Durkheim mendefinisikan bunuh diri adalah sebagai penyebeb kematian sesorang baik secara langsung maupun tidak langsung, oleh tindakan positif ataupun negatif yang pelakunya sadar jika perbuatannya dapat menimbulkan kematian dalam dirinya. Studi tentang bunuh diri ini sebelumnya didasarkan pada dua penyebab, yaitu gangguan psikologis, gangguan biologis dan ekologis / kosmis.

  Bunuh diri karena gangguan psikologis ada empat jenis pertama, maniacal

  suicide yaitu bunuh diri didasarkan adanya halusinasi baik dalam rangka melawan

  maupun menuruti halusinasi tersebut, kedua melancholy suicide yaitu dimana pelaku dalam keadaan depresi berat dan kesedihan yang meluap – luap, ketiga

  

obsessive suicide yaitu bunuh diri atas dasar obsesi atau keinginan sendiri untuk

  membunuh dirinya sendiri, meskipun tindakan bunuh diri tidak didasari oleh motivasi tertentu yang masuk akal, keempat impulsive suicide yaitu bunuh diri didasarkan pada dorongan impulsif (Samuel, 2010:67).

  Durkheim menafsirkan bahwa bunuh diri tidak selamanya karena adanya gangguan psikologis, karena tidak dapat dipertanggungjwabkan, data yang dikumpulkan bersifat terbatas sehingga kesimpulan yang ditarik tidak menciptakan suatu kesimpulan yang terperinci secara spesifik. Berdasarkan data statistik Durkheim terlihat adanya hubungan antara kasus bunuh diri dan ciri- ciri sosial pelakunya. Ciri tersebut adalah agama, jenis kelamin, asal negara, dan usia.

  Dari abad ke abad bunuh diri semakin menimbulkan keraguan, singkatnya bunuh diri tidak sekedar atas gangguan psikologis. Durkheim juga tidak menyetujui jika bunuh diri karena adanya faktor biologis. Yang menjadi dasar dari faktor biologis tersebut adalah ras dan asal – usul keturunan, kaena tidak adanya definisi yang jelas terhadap penjelasan ras itu sendiri. Durkheim menyebutkan bahwa adanya faktor non – biologis yang dapat mempengaruhi faktor bunuh diri.

  Hasil tafsir ekologis atau kosmis adalah bahwa bunuh diri dapat dipengaruhi karena suhu dan tekanan udara dalam suatu daerah. Berdasarkan data statistik Durkheim tidak adanya pengaruh bunuh diri dengan pengaruh iklim, suhu dan kelembaban udara. Durkheim menjelaskan tingkat bunuh diri dalam musim panas bukan karena cuaca yang panas itu hanya sebuah kondisi geografis dari alam, tetapi hal tersebut dikarenakan oleh tingkat aktivitas di musim panas lebih padat dari pada di musim dingin. Intinya kondisi cuaca tidak dapat mempengaruhi bunuh diri, tetapi terdapat kondisi sosial yang mempengaruhinya. Apa yang membedakan pandangan Durkheim bukan semata – mata karena faktor dari individu. Bunuh diri merupakan gejala sosial dalam masyarakat, bunuh diri merupakan sebuah fakta sosial yang tidak dapat direduksi menjadi fakta sosial lannya, karena sudah memiliki karakteristik dan dasar – dasar sendiri.

  Bunuh diri sebagai fakta sosial dapat dilihat jika kita dapat mencermati jenis – jenis bunuh diri dan hubungannya dengan dua jenis fakta sosial utamanya, integrasi dan regulasi. Integrasi merujuk kepada kuat tidaknya keterikatan masyarakat, sedangkan regulasi merujuk kepada tingkat paksaan eksternal yang dirasakan individu. Jika adanya integrasi yang meningkat, dikelompokkan menjadi bunuh diri alturuistis, jika integrasi menurun dikelompokkan menjadi bunuh diri egeoistis. Sedangkan bunuh diri fatalistis berkaitan dengan regulasi yang tinggi, dan jika regulasi rendah maka hal itu berkaitan dengan bunuh diri anomik.

  Bunuh diri Egoistis adalah bunuh diri dimana kelompok tidak dapat berinteraksi dengan baik. Lemahnya integrasi menimbulkan anggapan individu bukan bagian dari masyarakat dan sebaliknya masyarakat bukan bagian dari individu. Menurut Durkheim bagian paling baik dari manusia adalah adanya moralitas, nilai dan tujuan yang berasal dari masyarakat, dengan hal itu manusia dapat melampaui keterpurukan dan kekecewaan. Tanpa adanya hal itu, besar kemungkinn akan terjadi tindakan bunuh diri karena depresi dan frustasi.

  Bunuh diri Altruistis terjadi karena adanya integrasi yang kuat yang terjadi dalam suatu kelompok. Misalnya seseorang yang melakukan bunuh diri karena terlalu tunduk terhadap ketuanya, contohnya kasus pembunuhan massal yang dilakukan oleh pengikit pendeta Jim Jones di Jonestwon, Guyana pada tahun 1978. Kasus para teroris pada saat bom bali 11 September 2001, mereka menanggap bunuh diri itu dapat dikatakan mati syahid untuk membela agamanya.

  Durkheim pun meyimpulkan bahwa semakin lemahnya integrasi akan menimbulkan bunuh diri egoistis, dan semakin tingginya integrasi akan menimbulkan bunuh diri altruistis.

  Bunuh diri Anomik terjadi karena adanya gangguan regulasi yang terjadi di dalam masyarakat. Dimana masyarakat tidak dapat menahan nafsunya untuk memenuhi kebutuhan yang belum mencapai kepuasan atau lemahnya kontrol dalam diri manusia terhadap nafsunya. Angka bunuh diri anomik dapat tejadi dari karena adanya gangguan positif maupun negatif. Kedua macam gangguan tersebut menimbulkan otoritas dri masyarakat kepada invidu. Situasi seperti ini menimbulkan tidak berlakunya norma lama, dan belum timbulnya norma baru dalam masyarakat sehingga timbul rasa ketercerabutan dan hilangnya norma – norma yang mengikat. Kasus seperti ini dapat dijumpai pada kasus depresi ekonomi. Peningkatan bunuh diri selama periode deregulasi kehidupan sosial, Durkheim melihat tentang pengaruh merusak dari nafsu individu yang tidak terbatas dan terbebas dari pengaruh eksternal. Hal tersebut dapat menimbulkan tindakan dekstruktif tiada batas, termasuk membunuh diri sendiri.

  Bunuh diri fatalistis terjadi pada saat regulasi meningkat. Contoh dari bunuh diri ini adalah bunuh diri budak yang terus ditindas oleh sebuah struktur yang membatasi setiap tindakannya. Bunuh diri ini tidak banyak di bahas dalam studi Durkheim tentang bunuh diri.

  Hubungan teori struktural fungsional dengan studi bunuh diri sebagai fakta sosial adalah bahwa sebuah struktur yang dibangun masyarakat berdasarkan atas kesadaran individu yang dipengaruhi faktor eksternal bersifat memaksa dan bersifat menyeluruh untuk masyarakat atau bersifat kolektif yang berfungsi untuk mengatur dan memaksa individu. Teori struktural fungsional berdasarkan atas fakta sosial masuk dalam ranah fakta sosial nonmaterial dan studi bunuh dirinya cenderung kepada bunuh diri Fatalistis dan bunuh diri anomik.

2.3.6 Pikiran Bunuh Diri

  Pikiran bunuh diri adalah pikiran untuk membunuh diri sendiri tanpa melakukan bunuh diri secara eksplisit. Sedangkan suicide ideators adalah orang yang memikirkan atau membentuk intensi untuk bunuh diri yang bervariasi derajat keseriusannya tetapi tidak melakukan percobaan bunuh diri secara eksplisit atau bunuh diri (Maris dkk.,2000). Pikiran bunuh diri bervariasi mulai dari yang non-spesifik (“Hidup ini tidak berarti”), yang spesifik (“Saya berharap saya mati”), pikiran dengan intensi (“Saya akan membunuh diri saya”), sampai pikiran yang berisi rencana (“Saya akan membunuh diri saya sendiri dengan pistol”).

  Pikiran bunuh diri paling sering diasosiasikan dengan gangguan depresi (Maris dkk., 2000). De Catanzaro (dalam Maris dkk., 2000) menemukan bahwa antara 67% hingga 84% pikiran bunuh diri bisa dijelaskan dengan masalah hubungan sosial dan hubungan dengan lawan jenis, terutama yang berkaitan dengan loneliness dan perasaan membebani keluarga. Adapun dua motivasi yang paling sering muncul dalam pikiran bunuh diri adalah untuk melarikan diri dari masalah dalam kehidupan dan untuk membalas dendam pada orang lain (Maris, dalam Maris dkk., 2000).

  Intensi merupakan komponen yang penting dalam pikiran bunuh diri sekaligus merupakan konsep dalam bunuh diri yang paling susah diukur (Maris dkk., 2000). Jobes, Berman, dan Josselman telah mendaftar beberapa kriteria agar intensi bunuh diri dapat diukur. Beberapa kriteria tersebut adalah pernyataan verbal yang eksplisit, percobaan bunuh diri yang pernah dilakukan, persiapan untuk mati, hopelessness, dan lain sebagainya (dalam Maris dkk., 2000).

2.4 Kesehatan Mental

2.4.1 Pengertian Kesehatan Mental atau Jiwa

  Definisi sehat menurut badan kesehatan dunia (WHO) adalah suatu keadaan sejahtera yang meliputi fisik, mental dan sosial yang tidak hanya bebas dari penyakit atau kecacatan. Maka secara analogi kesehatan jiwa pun bukan hanya sekedar bebas dari gangguan tetapi lebih kepada perasan sehat, sejahtera dan bahagia (well being), ada keserasian antara pikiran, perasaan, perilaku, dapat merasakan kebahagiaan dalam sebagian besar kehidupannya serta mampu mengatasi tantangan hidup sehari-hari.

  Penanganan pada klien dengan masalah kesehatan jiwa merupakan tantangan yang unik karena masalah kesehatan jiwa mungkin tidak dapat dilihat secara langsung, seperti pada masalah kesehatan fisik yang memperlihatkan berbagai macam gejala dan disebabkan berbagai hal kejadian masa lalu yang sama dengan kejadian saat ini, tetapi mungkin muncul gejala yang berbeda banyak klien dengan masalah kesehatan jiwa tidak dapat menceritakan masalahnya bahkan mungkin menceritakan hal yang berbeda dan kontradiksi. Kemampuan mereka untuk berperan dan menyelesaikan masalah juga bervariasi (Keliat, 2005).

  Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1966, adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu selaras dengan keadasan orang lain. Makna kesehatan jiwa mempunyai sifat yang harmonis dan memperhatikan segi kehidupan manusia dan cara berhubungan dengan orang lain. Dari pengertian dapat disimpulkan bahwa kesehatan jiwa adalah suatu kondisi perasaan sejahtera secara subjektif, suatu penilaian diri tentang perasaan mencangkup aspek konsep diri, kebugaran dan kemampuan mengendalikan diri (Riyadi, Suyono dan Purwanto Teguh, 2009).

  Zakiah Daradjat, dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar untuk Kesehatan Jiwa di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1984) mengemukakan lima buah rumusan kesehatan jiwa yang lazim dianut para ahli. Kelima rumusan itu disusun mulai dari rumusan- rumusan yang khusus sampai dengan yang lebih umum, sehingga dari urutan itu tergambar bahwa rumusan yang terakhir seakan- akan mencakup rumusan-rumusan sebelumnya (Daradjat, 2003:45-46).

  1. Kesehatan mental adalah terhindarnya orang dari gejala gangguan jiwa (neurose) dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psichose). Definisi ini banyak dianut di kalangan psikiatri (kedokteran jiwa) yang memandang manusia dari sudut sehat atau sakitnya.

  2. Kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan tempat ia hidup. Definisi ini tampaknya lebih luas dan lebih umum daripada definisi yang pertama, karena dihubungkan dengan kehidupan sosial secara menyeluruh.

  Kemampuan menyesuaikan diri diharapkan akan menimbulkan ketenteraman dan kebahagiaan hidup.

  3. Kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh- sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problema-problema yang biasa terjadi, serta terhindar dari kegelisahan dan pertentangan batin (konflik). Definisi ini menunjukkan bahwa fungsi-fungsi jiwa seperti pikiran, perasaan, sikap, pandangan dan keyakinan harus saling menunjang dan bekerja sama sehingga menciptakan keharmonisan hidup, yang menjauhkan orang dari sifat ragu-ragu dan bimbang, serta terhindar dari rasa gelisah dan konflik batin.

  4. Kesehatan mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang lain, serta terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa. Definisi keempat ini lebih menekankan pada pengembangan dan pemanfaatan segala daya dan pembawaan yang dibawa sejak lahir, sehingga benar-benar membawa manfaat dan kebaikan bagi orang lain dan dirinya sendiri.

  5. Kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguh- sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaiandiri antara manusia dengan dirinya dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketaqwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan bahagia di akhirat. Definisi ini memasukkan unsur agama yang sangat penting dan harus diupayakan penerapannya dalam kehidupan, sejalan dengan penerapan prinsip-prinsip kesehatan mental dan pengembangan hubungan baik dengan sesama manusia.

  Dalam buku lainnya yang berjudul Islam dan Kesehatan Mental, Zakiah Daradjat (2008:9) mengemukakan, kesehatan mental adalah terhindar seseorang dari gangguan dan penyakit kejiwaan, mampu menyesuaikan diri, sanggup menghadapi masalah-masalah dan kegoncangan-kegoncangan biasa, adanya keserasian fungsi-fungsi jiwa (tidak ada konflik) dan merasa bahwa dirinya berharga, berguna dan bahagia, serta dapat menggunakan potensi yang ada padanya seoptimal mungkin.

  Ketiga, menurut M.Buchori (dalam Daradjat, 2008:11), kesehatan mental (mental hygiene) adalah ilmu yang meliputi sistem tentang prinsip-prinsip, peraturan-peraturan serta prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan rohani. Orang yang sehat mentalnya ialah orang yang dalam rohani atau dalam hatinya selalu merasa tenang, aman, dan tenteram. Jalaluddin dengan mengutip H.C. Witherington (dalam Daradjat, 2008:12) menambahkan, permasalahan kesehatan mental menyangkut pengetahuan serta prinsip-prinsip yang terdapat lapangan psikologi, kedokteran, psikiatri, biologi, sosiologi, dan agama.

  Keempat, Kartini Kartono, Jenny Andari (2009:15) mengetengahkan rumusan bahwa mental hygiene atau ilmu kesehatan mental adalah ilmu yang mempelajari masalah kesehatan mental atau jiwa, bertujuan mencegah timbulnya gangguan/penyakit mental dan gangguan emosi, dan berusaha mengurangi atau menyembuhkan penyakit mental, serta memajukan kesehatan jiwa rakyat. Dengan demikian mental hygiene mempunyai tema sentral yaitu bagaimana cara orang memecahkan segenap keruwetan batin manusia yang ditimbulkan oleh macam-macam kesulitan hidup, serta berusaha mendapatkan kebersihan jiwa, dalam pengertian tidak terganggu oleh macam-macam ketegangan, kekalutan dan konflik terbuka serta konflik batin. Kesehatan mental seseorang berhubungan dengan kemampuan menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapi. Setiap manusia memiliki keinginan-keinginan tertentu, dan di antara mereka ada yang berhasil memperolehnya tanpa harus bekerja keras, ada yang memperolehnya setelah berjuang mati-matian, dan ada yang tidak berhasil menggapainya meskipun telah bekerja keras dan bersabar untuk menggapainya.

2.4.2 Ciri-Ciri Kesehatan Mental

  Marie Jahoda (dalam Daradjat, 2003:35) memberikan batasan yang agak luas tentang kesehatan mental. Kesehatan mental tidak hanya terbatas pada absennya seseorang dari gangguan kejiwaan dan penyakitnya. Akan tetapi, orang yang sehat mentalnya memiliki ciri-ciri utama sebagai berikut.

  1. Sikap kepribadian yang baik terhadap diri sendiri dalam arti dapat mengenal diri sendiri dengan baik.

  2. Pertumbuhan, perkembangan, dan perwujudan diri yang baik.

  3. Integrasi diri yang meliputi keseimbangan mental, kesatuan pandangan, dan tahan terhadap tekanan- tekanan yang terjadi.

  4. Otonomi diri yang mencakup unsur-unsur pengatur kelakuan dari dalam atau kelakuan-kelakuan bebas.

  5. Persepsi mengenai realitas, bebas dari penyimpangan kebutuhan, serta memiliki empati dan kepekaan sosial.

  6. Kemampuan untuk menguasai lingkungan dan berintegrasi dengannya secara baik.

  Adapun ciri-ciri mental sehat menurut WHO, adalah: 1. Mempunyai kemampuan menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyataan, meskipun kenyataan itu buruk,

  2. Mempunyai rasa kepuasan dari usahanya atau perjuangan hidupnya, 3.

  Mempunyai kesenangan untuk memberi dari pada menerima, 4. Merasa bebas secara relatif dari ketegangan dan kecemasan, 5. Berhubungan dengan orang lain secara tolong menolong dan saling memuaskan,

  6. Menerima kekecewaan untuk dipakainya sebagai pelajaran dikemudian hari,

  7. Mengarahkan rasa permusuhan kepada penyelesaian yang kreatif dan konstruktif,

  8. Mempunyai daya kasih sayang yang besar serta mampu mendidik.

  Sementara itu kriteria fungsi psikologis yang sehat menurut WHO adalah: 1. Menerima diri secara penuh (mencintai & menghargai diri), tetapi bukan obsesi diri,

  2. Memahami diri sendiri 3.

  Percaya diri, kontrol diri, sehingga menjadi mandiri, asertif, self efficacy, 4. Persepsi yang jernih terhadap realitas, 5. Keberanian dan ketahanan mental, 6. Keseimbangan dan fleksibilitas, 7. Menyukai orang lain, 8. Menghargai kehidupan, 9. Memiliki tujuan hidup.

2.4.3 Kesehatan Mental dan Keberfungsian Sosial

  Menurut Moeljono Notosoedirjo (2009:33), guru besar psikiatri dan kesehatan mental Fakultas kedokteran dan program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya, bahwa meskipun sudah dijelaskan beberapa kesehatan mental pada bagian di atas, untuk menetapkan suatu keadaan psikologis berada dalam keadaan sehat tidaklah mudah. Kalangan ahli kesehatan mental telah membuat kriteria-kriteria atau kondisi optimum seseorang dapat dikatakan berada dalam kondisi yang sehat. Kondisi optimum ini dapat dijadikan sebagai acuan dan arah yang dapat dituju dalam melakukan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan mental serta pencegahannya.

  Di kalangan ahli kesehatan mental, istilah yang digunakan untuk menyebut kesehatan mental berbeda-beda, kriteria yang dibuat pun tidak sama secara tekstual, meskipun memiliki maksud yang sama. Dapat disebut di sini, Maslow menyebut kondisi optimum itu dengan self-actualization, Rogers menyebutnya dengan fully functioning, Allport memberi nama dengan mature personality, dan banyak yang menyebut dengan mental health.

  Semuanya bermaksud yang sama, tidak ada yang perlu diperdebatkan meskipun berada dalam kerangka teorinya masing-masing. Pada bagian berikut akan diuraikan berbagai pandangan tentang kriteria kesehatan mental itu satu persatu, dengan maksud dapat memberikan gambaran yang lebih luas tentang kondisi mental yang sehat.

  Manifestasi mental yang sehat (secara psikologis) menurut Maslow dan Mittlemenn (dalam Daradjat, 2013: 11-13) adalah sebagai berikut: 1. Adequate feeling of security (rasa aman yang memadai).

  Perasaan merasa aman dalam hubungannya dengan pekerjaan, sosial, dan keluarganya.

  2. Adequate self-evaluation (kemampuan menilai diri sendiri yang memadai), yang mencakup: (a) harga diri yang memadai, yaitu merasa ada nilai yang sebanding pada diri sendiri dan prestasinya,

  (b) memiliki perasaan berguna, yaitu perasaan yang secara moral masuk akal, dengan perasaan tidak diganggu oleh rasa bersalah yang berlebihan, dan mampu mengenai beberapa hal yang secara sosial dan personal tidak dapat diterima oleh kehendak umum yang selalu ada sepanjang kehidupan di masyarakat.

  3. Adequate spontanity and emotionality (memiliki spontanitas dan perasaan yang memadai, dengan orang lain).

  Hal ini ditandai oleh kemampuan membentuk ikatan emosional secara kuat dan abadi, seperti hubungan persahabatan dan cinta, kemampuan memberi ekspresi yang cukup pada ketidaksukaan tanpa kehilangan kontrol, kemampuan memahami dan membagi rasa kepada orang lain, kemampuan menyenangi diri sendiri dan tertawa. Setiap orang adalah tidak senang pada suatu saat, tetapi dia harus memiliki alasan yang tepat.

  4. Efficient contact with reality (mempunyai kontak yang efisien dengan realitas).

  Kontak ini sedikitnya mencakup tiga aspek, yaitu dunia fisik, sosial, dan diri sendiri atau internal. Hal ini ditandai dengan: (a) tiadanya fantasi yang berlebihan, (b) mempunyai pandangan yang realistis dan pandangan yang luas terhadap dunia, yang disertai dengan kemampuan menghadapi kesulitan hidup sehari-hari, misalnya sakit dan kegagalan

  (c) kemampuan untuk berubah jika situasi eksternal tidak dapat dimodifikasi. Kata yang baik untuk ini adalah: bekerja sama tanpa dapat ditekan (cooperation, with the inevitable).

  5. Adequate bodily desires and ability to gratify them (keinginan- keinginan jasmani yang memadai dan kemampuan untuk memuaskannya).

  Hal ini ditandai dengan: (a) suatu sikap yang sehat terhadap fungsi jasmani, dalam arti menerima mereka tetapi bukan dikuasai;

  (b) kemampuan memperoleh kenikmatan kebahagiaan dari dunia fisik dalam kehidupan ini, seperti makan, tidur, dan pulih kembali dari kelelahan;

  (c) kehidupan seksual yang wajar, keinginan yang sehat untuk memuaskan tanpa rasa takut dan konflik;

  (d) kemampuan bekerja; (e) tidak adanya kebutuhan yang berlebihan untuk mengikuti dalam berbagai aktivitas tersebut.

  6. Adequate self-knowledge (mempunyai kemampuan pengetahuan yang wajar). Termasuk di dalamnya, antara lain: (a) cukup mengetahui tentang: motif, keinginan, tujuan, ambisi, hambatan, kompensasi, pembelaan, perasaan rendah diri, dan sebagainya,

  (b) penilaian yang realistis terhadap milik dan kekurangan. Penilaian diri yang jujur adalah dasar kemampuan untuk menerima diri sendiri sebagai sifat dan tidak untuk menanggalkan (tidak mau mengakui) sejumlah hasrat penting atau pikiran jika beberapa di antara hasrat- hasrat itu secara sosial dan personal tidak dapat diterima. Hal itu akan selalu terjadi sepanjang kehidupan di masyarakat.

  7. Integration and concistency of personality (kepribadian yang utuh dan konsisten).

  Ini bermakna, antara lain:

  (a) cukup baik perkembangannya, kepandaiannya, berminat dalam beberapa aktivitas;

  (b) memiliki prinsip moral dan kata hati yang tidak terlalu berbeda dengan pandangan kelompok;

  (c) mampu untuk berkonsentrasi; (d) tiadanya konflik-konflik besar dalam kepribadiannya dan tidak diasosiasi terhadap kepribadiannya.

  8. Adequate life goal (memiliki tujuan hidup yang wajar).

  Hal ini berarti: (a) memiliki tujuan yang sesuai dan dapat dicapai; (b) mempunyai usaha yang cukup dan tekun mencapai tujuan; (c) tujuan itu bersifat baik untuk diri sendiri dan masyarakat.

  9. Ability to learn from experience (kemampuan untuk belajar dari pengalaman). Kemampuan untuk belajar dari pengalaman termasuk tidak hanya kumpulan pengetahuan dan kemahiran ketrampilan terhadap dunia praktik, tetapi elastisitas dan kemauan menerima dan oleh karena itu, tidak terjadi kekakuan dalam penerapan untuk menangani tugas-tugas pekerjaan. Bahkan lebih penting lagi adalah kemampuan untuk belajar secara spontan.