BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Gelombang dan Bunyi - Kajian Eksperimental Pengukuran Transmission Loss dari Paduan Aluminium-Magnesium Menggunakan Metode Impedance Tube

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Gelombang dan Bunyi

  Pada bagian ini akan diberikan beberapa definisi dan pengertian dasar mengenai gelombang dan bunyi serta hal-hal yang berkaitan dengan teori ini.

2.1.1 Pengertian Gelombang Gelombang adalah suatu getaran, gangguan atau energi yang merambat.

  Dalam hal ini yang merambat adalah getarannya, bukan medium perantaranya. Satu gelombang terdiri dari satu lembah dan satu bukit (untuk gelombang transversal) atau satu renggangan dan satu rapatan (untuk gelombang longitudinal). Besaran-besaran yang digunakan untuk mendiskripsikan gelombang antara lain panjang gelombang (λ) adalah jarak antara dua puncak yang berurutan, frekuensi (ƒ) adalah banyaknya gelombang yang melewati suatu titik tiap satuan waktu, periode (T) adalah waktu yang diperlukan oleh gelombang melewati suatu titik, amplitudo (A) adalah simpangan maksimum dari titik setimbang, kecepatan gelombang (v) adalah kecepatan dimana puncak gelombang (atau bagian lain dari gelombang) bergerak.

  Kecepatan gelombang harus dibedakan dari kecepatan partikel pada medium itu sendiri. Pada waktu merambat gelombang membawa energi dari satu tempat ke tempat lain. Saat gelombang merambat melalui medium maka energi dipindahkan sebagai energi getaran antar partikel dalam medium tersebut.

2.1.2 Jenis-Jenis Gelombang

  Berdasarkan arah getarnya gelombang dikelompokkan menjadi: a.

  Gelombang transversal Gelombang transversal adalah gelombang yang arah getarnya tegak lurus terhadap arah rambatannya. Satu gelombang terdiri dari satu lembah dan satu bukit. Contoh gelombang transversal dapat dilihat pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Gelombang transversal.

  (Sumber: http://fisikagelombang.blogspot.com/2010/02/gelombang- transversal_6154.html) b.

  Gelombang longitudinal Gelombang longitudinal adalah gelombang yang arah getarnya sejajar atau berimpit dengan arah rambatannya. Gelombang yang terjadi berupa rapatan dan renggangan. Contoh gelombang longitudinal dapat dilihat pada gambar 2.2.

Gambar 2.2 Gelombang longitudinal.

  (Sumber: http://fisikagelombang.blogspot.com/2010/02/gelombang- longitudinal.html)

2.1.3 Pengertian Bunyi Bunyi, secara harafiah dapat diartikan sebagai sesuatu yang kita dengar.

  Bunyi merupakan hasil getaran dari partikel-partikel yang berada di udara dan energi yang terkandung dalam bunyi dapat meningkat secara cepat dan dapat menempuh jarak yang sangat jauh (Egan, 1972).

  Defenisi sejenis juga dikemukakan oleh Bruel & Kjaer (1986) yang menyatakan bahwa bunyi diidentikkan sebagai pergerakan gelombang di udara yang terjadi bila sumber bunyi mengubah partikel terdekat dari posisi diam menjadi partikel yang bergerak.

  Secara lebih mendetail, Doelle (1972) menyatakan bahwa bunyi mempunyai dua defenisi, yaitu:

  1. Secara fisis, bunyi adalah penyimpangan tekanan, pergeseran partikel dalam medium elastik seperti udara. Definisi ini dikenal sebagai bunyi objektif.

  2. Secara fisiologis, bunyi adalah sensasi pendengaran yang disebabkan penyimpangan fisis yang digambarkan pada bagian atas. Hal ini disebut sebagai bunyi subjektif. Secara singkat, bunyi adalah suatu bentuk gelombang longitudinal yang merambat secara perapatan dan perenggangan terbentuk oleh partikel zat perantara serta ditimbulkan oleh sumber bunyi yang mengalami getaran. Rambatan gelombang bunyi disebabkan oleh lapisan perapatan dan peregangan partikel-partikel udara yang bergerak ke luar, yaitu karena penyimpangan tekanan.

  Hal serupa juga terjadi pada penyebaran gelombang air pada permukaan suatu kolam dari titik dimana batu dijatuhkan.

  Gelombang bunyi adalah gelombang yang dirambatkan sebagai gelombang mekanik longitudinal yang dapat menjalar dalam medium padat, cair dan gas.

  Medium gelombang bunyi ini adalah molekul yang membentuk bahan medium mekanik ini (Sutrisno, 1988). Gelombang bunyi ini merupakan vibrasi/getaran molekul-molekul zat dan saling beradu satu sama lain namun demikian zat tersebut terkoordinasi menghasilkan gelombang serta mentransmisikan energi bahkan tidak pernah terjadi perpindahan partikel.

2.1.4 Sifat-Sifat Bunyi

  Pengertian mengenai sifat-sifat dasar fisik bunyi merupakan suatu hal yang sangat penting untuk diketahui dalam mengembangkan suatu pendekatan secara sistematis terhadap masalah kontrol kebisingan. Bunyi mempunyai beberapa sifat seperti: asal dan perambatan bunyi, frekuensi bunyi, cepat rambat bunyi, panjang gelombang, intensitas, kecepatan partikel dan lain-lainya sebagai berikut.

  2.1.4.1 Asal dan perambatan bunyi

  Semua benda yang dapat bergetar mempunyai kecenderungan untuk menghasilkan bunyi. Bila ditinjau dari arah getarnya, bunyi termasuk gelombang longitudinal dan bila dilihat dari medium perambatannya, bunyi termasuk gelombang mekanik.

  2.1.4.2 Frekuensi bunyi

  Frekuensi merupakan gejala fisis objektif yang dapat diukur oleh instrumen- instrumen akustik. Frekuensi adalah ukuran jumlah putaran ulang per peristiwa dalam selang waktu yang diberikan. Untuk memperhitungkan frekuensi, seseorang menetapkan jarak waktu, menghitung jumlah kejadian peristiwa, dan membagi hitungan ini dengan panjang jarak waktu. Hasil perhitungan ini dinyatakan dalam satuan hertz (Hz) yaitu nama pakar fisika Jerman Heinrich Rudolf Hertz yang menemukan fenomena ini pertama kali.

  Frekuensi yang dapat didengar oleh Manusia berkisar 20 sampai 20.000 Hz dan jangkauan frekuensi ini dapat mengalami penurunan pada batas atas rentang frekuensi sejalan dengan bertambahnya umur manusia. Jangkauan frekuensi audio manusia akan berbeda jika umur manusia juga berbeda. Besarnya frekuensi ditentukan dengan rumus:

  f ………………………………………………….....(2.1) =

  dimana:

   f = Frekuensi (Hz)

  T = Waktu (detik) Gelombang dengan berbagai macam frekuensi yang terbentuk pada gelombang sinusoida dapat ditunjukkan pada gambar 2.3.

Gambar 2.3 Gelombang sinusoida dengan berbagai macam frekuensi.

  (Sumbe Sedangkan periode adalah banyaknya waktu per banyaknya getaran, sehingga periode berbanding terbalik dengan frekuensi. Besarnya dapat ditentukan dengan rumus:

  T …………………………………………………....(2.2)

   =

  dimana: f = Frekuensi (Hz) T = Periode (detik)

2.1.4.3 Cepat rambat bunyi

  Cepat rambat bunyi di udara lebih kecil daripada cepat rambat cahaya di udara. Hal ini dapat dibuktikan, ketika musim hujan kita dapat melihat kilat terlebih dahulu baru kemudian terdengar bunyi geledek. Karena bunyi juga termasuk gelombang, maka cepat rambat bunyi juga memenuhi persamaan cepat rambat gelombang. Jika bunyi menempuh jarak (s) dalam selang waktu (t), maka persamaan cepat rambat bunyi adalah:

  v = ..... …………………………………………….....(2.3)

  Hubungan antara cepat rambat bunyi ( ), frekuensi ( ) dan panjang

  v f

  gelombang ( ) adalah:

  λ = f v λ ………………………………………………....(2.4)

  dimana:

   v = Cepat rambat bunyi (m/s) f = Frekuensi (Hz)

  λ

  o

  ………………………………………………….(2.5)

  v = √

  Kecepatan perambatan bunyi di dalam zat padat

  Suhu udara yang lebih panas atau lebih dingin mempengaruhi kecepatan bunyi di udara. Semakin rendah suhu udara maka cepat rambat bunyi semakin cepat karena partikel udara lebih banyak. Kecepatan perambatan bunyi di dalam zat padat, zat cair dan gas dirumuskan sebagai berikut: a.

  332 2. 15 340 3. 25 347 (Sumber: http://mgmpipagk.files.wordpress.com/2008/01/bunyi.pdf)

  No. Suhu ( o

Tabel 2.2 Cepat rambat bunyi di udara pada berbagai suhu.

  (Sumber: http://mgmpipagk.files.wordpress.com/2008/01/bunyi.pdf) Cepat rambat dalam medium udara dalam berbagai suhu medium dapat dilihat pada tabel 2.2.

  10. Baja 5.100

  9. Aluminium 5.000

  8. Emas 2.030

  C 1.440

  7. Air pada suhu 15

  = Panjang gelombang (m) Cepat rambat bunyi tergantung pada jenis medium perantara dan suhu medium seperti terlihat pada tabel 2.1.

  6. Timbal 1.300

  C 1.261

  o

  5. Hidrogen (H) pada suhu 0

  4. Alkohol 1.213

  3. Gabus 500

  C 347

  o

  2. Udara pada suhu 25

  1. Gas Karbon (C) 267

  No. Nama Medium Perantara Cepat Bunyi (m/s)

Tabel 2.1 Cepat rambat bunyi pada beberapa medium.

C) Cepat Bunyi (m/s) 1.

  b.

  Kecepatan perambatan bunyi didalam zat cair B = =

  ………………………..........(2.6)

  v

  =

  √

  ………………………………………………….(2.7)

c. Kecepatan perambatan bunyi didalam gas

  =

  √

  v

  2.1.4.4 Panjang Gelombang

  Panjang suatu gelombang bunyi dapat didefinisikan sebagai jarak yang ditempuh oleh perambatan bunyi selama tiap siklus. Hubungan antara panjang gelombang, frekuensi, dan cepat rambat bunyi dapat ditulis sebagai berikut:

  λ

  = ........................................................(2.9) dimana: λ = Panjang gelombang bunyi (m)

  c

  = Cepat rambat bunyi (m/s)

   f = Frekuensi (Hz)

  2.1.4.5 Intensitas Bunyi

  Intensitas bunyi adalah aliran energi yang dibawa gelombang udara dalam suatu daerah per satuan luas. Intensitas bunyi dalam arah tertentu di suatu titik adalah laju energi bunyi rata-rata yang ditransmisikan dalam arah tersebut

  ...................................................(2.8)

  • 6

  30

  Radiasi bunyi yang dihasilkan suatu sumber bunyi akan mengelilingi udara sekitarnya. Radiasi bunyi ini akan mendorong patikel udara yang dekat dengan

  (Sumber: Hemond Jr, Conrad J, 1983)

  94 105 138 175

  90

  88

  80

  80

  70

  32

  60

  20

  melewati satu-satuan luasan yang tegak lurus arah tersebut di titik bersangkutan. Untuk tujuan praktis dalam dalam pengendalian kebisingan lingkungan, tingkat tekanan bunyi sama dengan tingkat intensitas bunyi (Doelle, 1972). Intesitas bunyi pada tiap titik dari sumber dinyatakan dengan:

  Sumber Kebisingan Tingkat Kebisingan, dB Detik arloji Halaman tenang Kantor Pembicaraan normal, 1m Mobil di lalu lintas kota, 7m Industri Ruang teletype surat kabar Motor tempel 10 HP, 17m Jet lepas landas, 1100m Motor sport, 10m Mesin potong rumput, 3m Sirine, 50 HP, 30m Roket ruang angkasa

Tabel 2.3 Tingkat kebisingan rata-rata diukur pada beberapa jarak.

  . Tingkat tekanan bunyi beberapa macam bising dan bunyi tertentu ditunjukkan dalam tabel 2.3.

  2

  W/cm

  ) Ambang batas pendengaran manusia, yaitu nilai minimum intensitas daya bunyi yang dapat dideteksi telinga manusia, adalah 10

  2

  ) W = Daya akustik (Watt) A = Luas area yang ditembus tegak lurus oleh gelombang bunyi (m

  2

  I = ......................................................(2.10) dimana: I = Intensitas bunyi (W/m

2.1.4.6 Kecepatan Partikel

  permukaan luar sumber bunyi. Hal ini akan menyebabkan bergeraknya partikel- partikel di sekitar radiasi bunyi yang disebut dengan kecepatan partikel pada persamaan.

  V = ....................................................(2.11) dimana: V = Kecepatan partikel (m/s)

  = Tekanan (Pa)

  3

  ) ρ = Massa jenis bahan (Kg/m c = cepat rambat bunyi (m/s)

  2.1.4.7 Titinada

  Sifat sensasi pendengaran yang memungkinkan kita menyusun bunyi dalam suatu skala yang berkisar dari frekuensi rendah ke tinggi disebut dengan titinada.

  Secara subjektif fisiologis, titinada sama dengan frekuensi. Titinada terutama tergantung pada frekuensi bunyi perangsang, makin tinggi frekuensinya, makin tinggi pula titinadanya.

  2.1.4.8 Warna Nada

  Sensasi bunyi yang mempunyai titinada disebut nada. Nada murni adalah sensasi bunyi frekuensi tunggal, ditandai dengan ketunggalan titinadanya. Bunyi ini dapat dihasilkan dengan memukul garpu tala atau dengan memainkan nada rendah secara lembut pada suling. Kebanyakan bunyi musik tidak menghasilkan nada murni saja, tetapi menghasilkan bunyi yang terdiri dari beberapa frekuensi tambahan, yang disebut dengan nada kompleks. Nada kompleks adalah sensasi bunyi yang ditandai oleh lebih dari satu frekuensi. Frekuensi terendah yang berada dalam suatu nada kompleks disebut nada dasar, sedangkan komponen-komponen dengan frekuensi lebih tinggi disebut nada atas atau parsial.

2.1.4.9 Kekerasan Bunyi

  Kekerasan bunyi adalah sifat sensasi pendengaran yang subjektif dan dalam besaran kekerasan ini, bunyi dapat disusun pada skala yang berkisar dari lemah sampai keras. Kekerasan adalah tanggapan subyektif terhadap tekanan 20 bunyi dan intensitas bunyi. Phon adalah satuan tingkat kekerasan bunyi, yang dibentuk oleh suatu percobaan psikologis yang sangat luas. Skala phon ikut memperhatikan kepekaan telinga yang berbeda terhadap bunyi dengan frekuensi yang berbeda.

2.2 Pengaruh Kebisingan

  Kebisingan yang cukup tinggi, di atas 70 dB dapat menyebabkan kegelisahan, kurang enak badan, kejenuhan mendengar, sakit lambung dan masalah peredaran darah. Kebisingan di atas 85 dB dapat menyebabkan kemunduran serius pada kondisi kesehatan seseorang. Bila hal ini berkepanjangan dapat merusak pendengaran yang bersifat sementara maupun permanen. Tingkat kebisingan yang cukup tinggi untuk menyebabkan ketulian sementara atau permanen terjadi di industri. Berbagai kriteria telah ditetapkan dan menyatakan tingkat kebisingan maksimum yang tidak boleh dilampaui. Bila tingkat kebisingan melampaui tingkat kebisingan yang membahayakan maka harus diambil suatu tindakan pencegahan untuk mereduksinya.

Tabel 2.4 memperlihatkan batasan tingkat kebisingan pada industri yang dizinkan oleh Walsh-Healey Public Contracts, yang jika dilampaui harus dilakukan

  tindakan proteksi terhadap pekerja.

Tabel 2.4 Tingkat kebisingan yang dizinkan oleh Walsh-Healey Public Contracts.

  Durasi, perhari Tingkat Bunyi (Jam) (dB)

  8

  90

  6

  92

  4

  95

  3

  97 2 100 1.5 102 1 105 0.5 110

  0.25 atau kurang 115 (Sumber: Hemond Jr, Conrad J, 1983)

2.3 Teknik Pengendalian Kebisingan

  Pengendalian kebisingan merupakan tindakan penurunan/pengurangan kebisingan di sumber-sumber kebisingan, mengontrol jalannya kebisingan dan perlindungan terhadap pendengar, jika tingkat kebisingan sudah melewati batas yang diizinkan. Penurunan kebisingan dengan metoda aplikasi akustik pada permesinan sejak tahap desain merupakan hal yang paling efektif mengingat besarnya biaya yang harus dikeluarkan dan persoalan pengendalian kebisingan bersifat multi dimensi atau lintas ilmu.

  Untuk mendapatkan suatu rancangan material akustik, komponen mesin maupun ruangan yang bersifat low noise design, ada hal-hal tertentu yang harus dilakukan, salah satunya adalah identifikasi. Source atau Noise Generation

  Mechanism (NGM) harus diketahui, bersifat apakah NGM-nya, apakah air borne, solid borne, ataupun fluid borne. Identifikasi ini mencakup sumber, propagasi dan

  radiasi dan berdasarkan data-data kualitatif, eksperimen dan pengalaman.Dalam mengidentifikasi sumber-sumber kebisingan suatu sistem haruslah diketahui komponen-komponen mana saja yang bersifat aktif maupun pasif. Dalam arti mana saja yang memiliki NGM dan yang tidak memiliki NGM. Indentifikasi propagasi atau jalannya rambatan bunyi mencakup komponen mana saja yang berpotensial meneruskan dan yang merefleksikan kembali dalam satu material. Dengan demikian, dapat diketahui karakteristik atau perilaku rambatan. Identifikasi radiasi sangat tergantung dari bentuk geometri dari stuktur mesin atau komponen. Bagian/area mana saja yang berpotensial dan bersfat dominan. Radiasi juga dipengaruhi oleh situasi sekitar objek yang menjadi permasalahan, seperti tipe medan bunyi, ruang terbuka atau tertutup dan emisi dari mesin-mesin yang berdekatan.

2.4 Material Akustik

  Material akustik adalah material teknik yang fungsi utamanya adalah untuk menyerap suara/bising. Material akustik adalah suatu bahan yang dapat menyerap energi suara yang datang dari sumber suara. Pada dasarnya semua bahan dapat menyerap energi suara, namun besarnya energi yang diserap berbeda-beda untuk tiap bahan. Energi suara tersebut dikonversi menjadi energi panas, yang merupakan hasil dari friksi dan resistansi dari berbagai material untuk bergerak dan berdeformasi. Sama halnya dengan besar energi suara yang sangat kecil bila dilihat dalam satuan Watt, energi panas yang dihasilkan juga sangat kecil sehingga secara makrokopis tidak akan terlalu terasa perubahan temperatur pada bahan tersebut. Peredam suara merupakan suatu hal penting didalam desain akustik, dan dapat diklasifikasikan menjadi 4 bagian yaitu: (1) Material berpori (porous materials), (2) Membran penyerap (panel absorbers), (3) Rongga penyerap (cavity resonators), dan (4) Manusia dan furnitur.

  1. Material berpori (porous material), seperti bahan akustik yang umum digunakan, yaitu mineral wool, plester akustik, sama seperti karpet dan bahan gorden, yang dikarakterisasi dengan cara membuat rajutan yang saling mengait sehingga membentuk pori yang berpola. Pada saluran dan rongga yang sempit dan saling merekat inilah terjadi perubahan energi, dari energi suara menjadi energi vibrasi, kalor atau perubahan momentum. Daya penyerapan atau peredaman dari suatu jenis material adalah fungsi dari frekuensi. Penyerapan relatif rendah pada frekuensi rendah dan meningkat terhadap ketebalan material. Absorpsivitas frekuensi rendah dapat ditingkatkan dengan cara melapisi material sehingga menambah ketebalannya. Mengecat plaster dan tile, secara varial akan menghasilkan efektivitas reduksi yang cukup besar.

  2. Membran penyerap (panel absorber): lembar bahan solid (tidak porus) yang dipasang dengan lapisan udara dibagian belakangnya (air space

  backing ).Bergetarnya panil ketika menerima energi suara serta transfer

  energi getaran tersebut ke lapisan udara menyebabkan terjadinya efek penyerapan suara. Sama halnya separti material berpori, yang berfungsi sebagai peredam suara, yaitu merubah energi suara menjadi energi vibrasi dan kalor. Penambahan porous absorber pada bagian ruang kosong antara ruang panil dan dinding akan lebih jauh meningkatkan efisiensi dari penyerapan frekuensi rendah.

  3. Rongga penyerap (cavity resonator), rongga udara dengan volume tertentu dapat dirancang berdasarkan efek resonator Helmholzt. Efek osilasi udara pada bagian leher (neck) yang terhubung dengan volume udara dalam rongga ketika menerima energi suara menghasilkan efek penyerapan suara, menyerap energi suara paling efisien pada pita frekuensi yang sempit di dekat sumber gaungnya. Peredam jenis ini biasanya dalam bentuk elemen tunggal, seperti blok beton standar dengan rongga yang ditempatkan didalamnya; bentuk lain terdiri dari panel yang berlubang-lubang dan kisi-kisi kayu dengan selimut absorbsi diantaranya. Selain memberikan nilai estetika arsitektur, sistem yang baru saja dijelaskan (bentuk kedua) memberikan absorbsi yang berguna untuk rentang frekuensi yang lebih lebar daripada kemungkinan yang diberikan oleh elemen tunggal berongga (struktur sandwich).

4. Penyerapan suara tiap benda diberikan oleh manusia, meja, kursi dan furniture. Furnitur kayu termasuk didalamnya adalah kursi dan meja.

  Untuk kondisi dimana terdapat banyak orang dengan meja dan kursi (seperti dapat kita temukan di dalam ruang kelas dan ruang kuliah), akan lebih cocok jika digunakan peredaman per orang dan per benda dari furnitur yang diberikan daripada peredaman oleh manusia saja. dengan menentukan jumlah dan distribusi peredam jenis ini, dapat dimungkinkan untuk merancang kelakuan waktu gaung terhadap frekuensi untuk memperoleh hampir semua lingkungan akustik yang diinginkan. Hal ini juga dapat memungkinkan untuk merancang sebuah ruangan dimana karakteristik gaungnya dapat diubah dengan cara menggeser atau merubah posisi panil dimana posisi permukaan berpengaruh terhadap sifat peredaman yang berbeda. Selama waktu gaung optimum bergantung terhadap fungsi ruangan, dengan cara ini dapat dimungkinkan untuk merancang sebuah ruangan serba guna (multipurpose rooms).

  Bagaimanapun, cara seperti ini akan lebih efektif untuk menekan biaya dan memberikan solusi yang fleksibel, khususnya di dalam ruangan yang besar.

2.5 Sifat Akustik

  Kata akustik berasal dari bahasa Yunani yaitu akoustikos, yang artinya segala sesuatu yang bersangkutan dengan pendengaran pada suatu kondisi ruang yang dapat mempengaruhi mutu bunyi (Suptandar, 2004). Fenomena absorpsi suara seperti terlihat pada gambar 2.4.

Gambar 2.4 Fenomena absorpsi suara oleh suatu permukaan bahan.

  (Sumber : FTI ITB 2010) Fenomena suara yang terjadi akibat adanya berkas suara yang bertemu atau menumbuk bidang permukaan bahan, maka suara tersebut akan dipantulkan

  (reflected), diserap (absorb), dan diteruskan (transmitted) atau dengan ditransmisikan oleh bahan tersebut (Ruijgrok, 1993). Medium gelombang bunyi dapat berupa zat padat, cair, ataupun gas. Frekuensi gelombang bunyi dapat diterima manusia berkisar antara 20 Hz sampai dengan 20 kHz, atau dinamakan sebagai jangkauan yang dapat didengar (audible range) (Young dan Freedman ,2003).

  Berdasarkan penelitian Martiandi (2010), karakteristik panel akustik komposit kayu afrika dapat digunakan sebagai panel absorbsi untuk frekuensi tinggi. Tsoumis (1991) menyatakan bahwa bunyi yang dihasilkan mempunyai nada rendah atau tinggi bergantung pada frekuensi dan dipengaruhi oleh dimensi, kerapatan, dan elastisitas bunyi yang dihasilkan dari nada yang lebih tinggi.

  Ketika gelombang bunyi yang dihasilkan oleh sumber lain yang menjangkau kayu, sebagian dari energi akustiknya dipantulkan dan sebagian masuk ke dalam kayu. Suara atau bunyi biasanya merambat melalui udara, suara atau bunyi tidak dapat merambat melalui ruang hampa.

2.5.1 Koefisien Absorbsi

  Menurut Jailani (2004) penyerapan suara (sound absorption) merupakan perubahan energi dari energi suara menjadi energi panas atau kalor.

  Kualitas dari bahan peredam suara ditunjukkan dengan harga α (koefisien penyerapan bahan terhadap bunyi), semakin besar α maka semakin baik digunakan sebagai peredam suara. Nilai α berkisar dari 0 sampai 1. Jika α bernilai

  0, artinya tidak ada bunyi yang diserap sedangkan jika α bernilai 1, artinya 100% bunyi yang dating diserap oleh bahan (Khuriati, 2006). Besarnya energi suara yang dipantulkan, diserap, atau diteruskan bergantung pada jenis dan sifat dari bahan atau material tersebut. Pada umumnya bahan yang berpori (porous

  material ) akan menyerap energi suara yang lebih besar dibandingkan dengan jenis

  bahan lainnya. Adanya pori-pori menyebabkan gelombang suara dapat masuk kedalam material tersebut. Energi suara yang diserap oleh bahan akan dikonversikan menjadi bentuk energi lainnya, pada umumnya diubah ke energi kalor (Wirajaya, 2007).

  Perbandingan antara energi suara yang diserap oleh suatu bahan dengan energi suara yang datang pada permukaan bahan tersebut didefinisikan sebagai koefisien penyerap suara atau koefisien absorbsi (α)

  

Absorbed Energy

    ....................................(2.12)

  

Incident Energy

  Perbandingan antara suara yang diserap dengan suara yang datang bisa dilihat pada gambar 2.5.

Gambar 2.5 Proses terjadinya koefisien serap bunyi.

  (Sumber: http://vokuz.com/peredam-suara/) Terdapat dua metode untuk mengukur koefisien absorbsi suara, yaitu dengan tabung impedansi (impedance tube) yang dapat mengukur koefisien absorbsi suara normal, serta pengukuran dengan ruang dengung (reverberation room ) yang dapat mengukur koefisien absorbsi suara sabine (Wirajaya, 2007).

2.5.2 Transmission Loss Transmission loss adalah kemampuan suatu bahan untuk mereduksi suara.

  Nilainya biasa disebut dengan decibel (dB). Semakin tinggi nilai Transmission

  Loss ( TL), semakin bagus bahan tersebut dalam mereduksi suara (Bpanelcom

  ,2009). Sound Transmission Class (STC) adalah kemampuan rata-rata suatu bahan dalam mereduksi suara dari berbagai frekuensi.

  transmission loss

  Semakin tinggi nilai STC, semakin bagus bahan tersebut dalam mereduksi suara (Bpanelcom, 2009). Untuk memudahkan dalam menentukan besamya penyekatan suara maka didefinisikan suatu besaran angka tunggal sound

  transmission class yang dilakukan dari pengukuran TL dengan filter 1/3 oktaf

  pada rentang frekuensi 125 Hz s.d. 4000 Hz. Nilai STC ditetapkan berdasarkan baku mutu ASTM E 413 tentang Classification for Rating Sound Insulation yang dikeluarkan oleh American Society for Testing and Materials (ASTM).

  Deskripsi dari nilai STC adalah sebagai berikut (Bpanelcom, 2009):

  50

  • – 60 Sangat bagus sekali, suara keras terdengar lemah/tidak sama sekali

  40

  • – 50 Sangat bagus, suara terdengar lemah

  35

  • – 40 Bagus, suara keras terdengar tetapi harus lebih didengarkan

  30

  • – 35 Cukup, suara keras cukup terdengar

  25

  • – 30 Jelek, suara normal mudah atau jelas didengar

  20 – 25 Sangat jelek, suara pelan dapat terdengar.

  Untuk mengetahui harga dari transmission loss tersebut, ada beberapa metode pengukuran yang dapat dilakukan yaitu:

1. Metode Reverberation Room

  Dalam metode tes ini, transmission loss didefinisikan sebagai perbedaan antara tingkat tekanan suara rata-rata dari ruang sumber bunyi dan ruang penerima. Proses terjadinya transmission loss pada material akustik seperti terlihat pada gambar 2.6.

Gambar 2.6 Proses terjadinya transmission loss pada material akustik.

  (Sumber: http://archive.nrc-cnrc.gc.ca/eng/facilities/irc/floor- transmission/airborne-sound-transmission.html) Secara matematis reduksi bising dinyatakan dalam persamaan berikut:

  NR = L1

  • – L2 .........................................(2.13) dimana: NR = Reduksi bising (dB) L1 = Tingkat tekanan bunyi dalam ruang sumber bunyi (dB) L2 = Tingkat tekanan bunyi dalam ruang penerima (dB) Sedangkan hubungan antara Transmission Loss (TL) dengan reduksi bising (NR) dinyatakan dalam persamaan berikut:
TL = NR + 10 log .............................(2.14) dimana: TL = Transmission Loss (dB)

  NR = Noise Reduction ( dB) S = Luas permukaan antara ruang sumber bunyi dengan ruang

  2

  penerima (m )

  2 A 2 = Penyerapan total ruang penerima (sabin.m )

  = S1.α1 + S2.α2 . . . + Sn.αn Pada gambar 2.5 terjadi pengurangan intensitas bunyi, pengurangan ini terjadi karena karakter material akustik merubah energi bunyi menjadi bentuk energi lainnya, apakah melalui proses konduksi, konveksi atau transmitansi. Dengan adanya proses perubahan tersebut, maka yang tersaring dan keluar menjadi energi bunyi lagi hanya sebagian saja. Proses inilah yang dimaksud dengan rugi tranmisi bunyi atau Transmission Loss (TL).

  Untuk mengetahui berapa besar intensitas bunyi sebelum dan sesudah melalui partisi atau penghalang dapat dilakukan pengukuran dengan alat

  Sound Level Meter (SLM), satuannya dalam decibel (dB). Di dalam

  bangunan atau ruang mesin, kemungkinan TL dapat terjadi pada semua bahan pada elemen bangunan, misalnya bahan lantai bertingkat, dinding ruang eksterior maupun interior, bahan bukaan (pintu dan jendela), maupun plafond .

2. Metode Tabung Impedansi

  Metode ini menggunakan sebuah tabung dan 4 buah mikropon sebagai sensor penangkap bunyi. Metode pengukuran ini mengacu pada standar ASTM E2611-09. Gambar 2.7 menunjukkan skema diagram tabung impedansi untuk mengukur transmission loss.

Gambar 2.7 Tabung impedansi untuk pengukuran transmission loss.

  (Sumber: Sung Soo Jung, 2008) Satu set dari dua mikrofon dipasang di up stream tube dan satu set dari dua mikrofon dipasang di down stream tube sehingga pengukuran dari kedua insiden dan refleksi gelombang dapat dicapai. Tekanan bunyi pada posisi masing-masing mikropon dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut: ....................................

  (2.15) .................................... (2.16) .................................... (2.17) .................................... (2.18) dimana:

  A,B,C, dan D = Amplitudo tegangan (Volt)

  • -1

  k = Nomor gelombang (m ) x = Jarak antara sampel dan mikropon 1 (m)

  1 x

  2 = Jarak antara sampel dan mikropon 2 (m)

  x = Jarak antara sampel dan mikropon 3 (m)

  3

  x

  4 = Jarak antara sampel dan mikropon 4 (m)

  Sehingga transfer fungsi akustik kompleks antara keempat mikropon ini dapat dituliskan sebagai berikut: ...............................................(2.19)

  ...............................................(2.20) Dan rasio auto-spectrum antara upstream tube dan downstream tube yaitu: .....................................

  (2.21)

  √ ⁄

  Maka nilai transmission loss nya dapat ditentukan sebagai berikut: TL = 20 Log

  20 Log | ....................(2.22)

  |

  | | –

  dimana: TL = Transmission Loss (dB) k = Nomor gelombang s = Selisih antara jarak 2 mikropon,

  | | | = |

  H = Rasio tekanan bunyi antara mikropon 1 dan 2

  12 H 34 = Rasio tekanan bunyi antara mikropon 3 dan 4

  Ht = Rasio auto-spectrum antara upstream tube dan downstream tube

2.6. Aluminium

2.6.1 Sejarah Aluminium

  Aluminium diambil dari bahasa Latin: alumen, alum. Orang-orang Yunani dan Romawi kuno menggunakan alum sebagai cairan penutup pori-pori dan bahan penajam proses pewarnaan. Pada tahun 1787, Lavoisier menebak bahwa unsur ini adalah oksida logam yang belum ditemukan. Pada tahun 1761, de Morveau mengajukan nama alumine untuk basa alum. Pada tahun 1827, Wohler disebut sebagai ilmuwan yang berhasil mengisolasi logam ini. Pada tahun 1807, Davy memberikan proposal untuk menamakan logam ini aluminum, walau pada akhirnya setuju untuk menggantinya dengan aluminium. Nama yang terakhir ini sama dengan nama banyak unsur lainnya yang berakhir dengan “ium”.

  C.M. Hall seorang berkebangsaan Amerika dan Paul Heroult berkebangsaan Prancis, pada tahun 1886 mengolah aluminium dari alumina dengan cara elektrolisa dari garam yang terfusi. Selain itu Karl Josep Bayer seorang ahli kimia berkebangsaan Jerman mengembangkan proses yang dikenal dengan nama proses Bayer untuk mendapat aluminium murni.

  Proses Bayer ini mendapat aluminium dengan memasukkan bauksit halus yang sudah dikeringkan kedalam pencampur lalu diolah dengan soda api (NaOH) dibawah pengaruh tekanan dan suhu diatas titik didih. NaOH akan bereaksi dengan bauksit menghasilkan aluminat natrium yang larut. Selanjutnya tekanan dikurangi dengan ampas yang terdiri dari oksida besi, silikon, titanium dan kotoran-kotoran lainnya dipisahkan. Lalu alumina natrium tersebut dipompa ke tangki pengendapan dan dibubuhkan kristal hidroksida alumina sehingga kristal itu menjadi inti kristal. Inti dipanaskan diatas suhu 980°C dan menghasilkan alumina dan dielektrosida sehingga terpisah menjadi oksigen dan aluminium murni. Pada setiap 1 kilogram aluminium memerlukan 2 kilogram alumina dan 4 kilogram bauksit, 0,6 kilogram karbon, criolit dan bahan-bahan lainnya. Penggunaan aluminium ini menduduki urutan kedua setelah besi dan baja dan tertinggi pada logam bukan besi untuk kehidupan industi.

  Secara historis, pengembangan praktek pengecoran untuk aluminium dan paduannya merupakan prestasi yang relatif baru. Paduan aluminium tidak tersedia dalam jumlah yang substansial untuk pengecoran tujuan hingga lama. Setelah penemuan pada tahun 1886 dari proses elektrolitik pengurangan aluminium oksida oleh Charles Martin Hall di Amerika Serikat dan Paul Heroult di Perancis. Meskipun penemuan Hall disediakan aluminium dengan biaya sangat kecil, nilai penuh dari aluminium sebagai bahan pengecoran tidak didirikan sampai paduan cocok untuk proses pengecoran yang sedang berkembang. Sejak sekitar 1915, kombinasi keadaan-secara bertahap mengurangi biaya, perluasan transportasi udara, pengembangan pengecoran paduan spesifik, sifat yang lebih baik, dan dorongan yang diberikan oleh dua perang duniatelah mengakibatkan penggunaan terus meningkat dari aluminium coran. Aluminium dan magnesium paduan coran, logam ringan, yang membuat langkah-langkah cepat ke arah penggunaan teknik yang lebih luas.

  Aluminium dasar paduan mungkin secara umum akan ditandai sebagai sistem eutektik, mengandung bahan intermetalik atau unsur-unsur sebagai fase berlebih. Karena kelarutan relatif rendah sebagian besar elemen paduan dalam aluminium dan paduan kompleksitas yang dihasilkan, salah satu paduan dasar aluminium dapat berisi beberapa fase logam, yang terkadang cukup kompleks dalam komposisi. Fase ini biasanya lebih larut lumayan dekat suhu eutektik dari pada suhu kamar, sehingga memungkinkan untuk panas-mengobati beberapa dari paduan oleh solusi dan penuaan panas-perawatan. Contoh spesifik dari penerapan panas-perawatan yang diberikan dalam paragraf berikutnya.

2.6.2 Sifat-Sifat Aluminium

  Semua sifat-sifat dasar aluminium, tentu saja, dipengaruhi oleh efek dari berbagai elemen aluminium paduan. Unsur-unsur paduan utama dalam pengecoran aluminium paduan dasar adalah tembaga, silikon, magnesium, seng, kromium, mangan, timah dan titanium.

  Aluminium dasar paduan mungkin secara umum akan ditandai sebagai sistem eutektik, mengandung bahan intermetalik atau unsur-unsur sebagai fase berlebih.

  Aluminium telah menjadi salah satu logam industri yang paling luas penggunaannya di dunia. Aluminium banyak digunakan di dalam semua sektor utama industri seperti angkutan, konstruksi, listrik, peti kemas dan kemasan, alat rumah tangga serta peralatan mekanis. Adapun sifat-sifat aluminium antara lain sebagai berikut: 1.

  Ringan Memiliki bobot sekitar 1/3 dari bobot besi dan baja, atau tembaga dan banyak digunakan dalam industri transportasi seperti angkutan udara.

  2. Tahan terhadap korosi Sifatnya durabel sehingga baik dipakai untuk lingkungan yang dipengaruhi oleh unsur-unsur seperti air, udara, suhu dan unsur-unsur kimia lainnya, baik di ruang angkasa atau bahkan sampai ke dasar laut.

  3. Kuat Aluminium memiliki sifat yang kuat terutama bila dipadu dengan logam lain. Digunakan untuk pembuatan komponen yang memerlukan kekuatan tinggi seperti: pesawat terbang, kapal laut, bejana tekan, kendaraan dan lain-lain.

  4. Mudah dibentuk Dengan semua proses pengerjaan logam, aluminium mudah dibentuk karena dapat disambung dengan logam/material lainnya melalui pengelasan,

  brazing , solder, adhesive bonding, sambungan mekanis, atau dengan teknik penyambungan lainnya.

  5. Konduktor listrik Setiap satu kilogram aluminium dapat menghantarkan arus listrik dua kali lebih besar jika dibandingkan dengan tembaga. Karena aluminium tidak mahal dan ringan, maka aluminium sangat baik untuk kabel-kabel listrik overhead maupun bawah tanah.

  6. Konduktor panas Sifat ini sangat baik untuk penggunaan pada mesin-mesin/alat-alat pemindah panas sehingga dapat memberikan penghematan energi.

  7. Memantulkan sinar dan panas Dapat dibuat sedemikian rupa sehingga memiliki kemampuan pantul yang tinggi yaitu sekitar 95% dibandingkan dengan kekuatan pantul sebuah cermin. Sifat pantul ini menjadikan aluminium sangat baik untuk peralatan penahan radiasi panas.

  8. Non magnetik Karenanya sangat baik untuk penggunaan pada peralatan elektronik, pemancar radio/TV dan lain-lain. Dimana diperlukan faktor magnetisasi negatif.

  9. Tak beracun Karenanya sangat baik untuk penggunaan pada industri makanan, minuman, dan obat-obatan, yaitu untuik peti kemas dan pembungkus.

  10. Memiliki ketangguhan yang baik Dalam keadaan dingin dan tidak seperti logam lainnya yang menjadi getas bila didinginkan. Sifat ini sangat baik untuk penggunaan pada pemrosesan maupun transportasi LNG dimana suhu gas cair LNG ini dapat mencapai dibawah -

  150˚C.

  11. Mampu diproses ulang-guna Dengan mengolahnya kembali melalui proses peleburan dan selanjutnya dibentuk menjadi produk seperti yang diinginkan. Proses ulang- guna ini dapat menghemat energi, modal dan bahan baku yang berharga.

  12. Menarik Aluminium sering digunakan tanpa diberi proses pengerjaan akhir.

  Tampak permukaan aluminium sangat menarik dan karena itu cocok untuk perabot rumah (hiasan), bahan bangunan dan mobil. Disamping itu aluminium dapat diberi surface treatment, dapat dikilapkan, disikat atau dicat dengan berbagai warna, dan juga diberi proses anodisasi. Proses ini menghasilkan lapisan yang juga dapat melindungi logam dari goresan dan jenis abrasi lainnya.

2.6.3 Heat Treatment Pada Aluminium Paduan

  Heat treatment merupakan suatu proses pemanasan dan pendinginan yang terkontrol, dengan tujuan mengubah sifat fisik dan sifat mekanis dari suatu bahan atau logam sesuai dengan yang dinginkan. Proses dalam heat treatment meliputi heating, colding, dan cooling. Adapun tujuan dari masing-masing proses yaitu: a.

  Heating: proses pemanasan sampai temperatur tertentu dan dalam periode waktu. Tujuannya untuk memberikan kesempatan agar terjadinya perubahan struktur dari atom-atom dapat menyeluruh. b.

  Holding: proses penahanan pemanasan pada temperatur tertentu, bertujuan untuk memberikan kesempatan agar terbentuk struktur yang teratur dan seragam sebelum proses pendinginan.

  c.

  Cooling: proses pendinginan dengan kecepatan tertentu, bertujuan untuk mendapatkan struktur dan sifat fisik maupun sifat mekanis yang diinginkan. Perlakuan panas pada aluminium paduan dilakukan dengan memanaskan sampai terjadi fase tunggal kemudian ditahan beberapa saat dan diteruskan dengan pendinginan cepat hingga tidak sempat berubah ke fase lain. Jika bahan tadi dibiarkan untuk jangka waktu tertentu maka terjadilah proses penuaan (aging).

  Perubahan akan terjadi berupa presipitasi (pengendapan) fase kedua yang dimulai dengan proses nukleasi dan timbulnya klaster atom yang menjadi awal dari presipitat. Presipitat ini dapat meningkatkan kekuatan dan kekerasannya. Proses ini merupakan proses age hardening yang disebut natural aging. Jika setelah dilakukan pendinginan cepat kemudian dipanaskan lagi hingga di bawah temperatur solvus (solvus line) kemudian ditahan dalam jangka waktu yang lama dan dilanjutkan dengan pendinginan lambat di udara disebut proses penuaan buatan (artificial aging). Diagram fasa perubahan mikrostruktur paduan Al-Cu dapat dilihat pada gambar 2.8.

Gambar 2.8 Diagram fasa perubahan mikrostruktur paduan Al-Cu.

  (Sumber: William K. Dalton: 259) Proses dari pemanasan awal hingga pendinginan cepat disebut proses perlakuan pelarutan (solution treatment), dan proses sesudahnya disebut proses perlakuan pengendapan (precipitation treatment).

2.6.3.1 Mekanisme Pengerasan

  Untuk menjelaskan mekanisme terjadinya pengerasan, sebagai contoh diambil untuk diagram fase Al-Cu. Dari diagram tampak bahwa kelarutan Cu dalam Al menurun dengan menurunnya temperatur. Suatu paduan dengan 4 % Cu mulai membeku di titik 1 dengan membentuk dendrit larutan padat

  . Dan pada titik 2 seluruhnya sudah membeku menjadi larutan padat dengan 4 % Cu. Pada titik 3 kelarutan Cu dalam Al mencapai batas jenuhnya, bila temperaturnya diturunkan akan ada Cu yang keluar dari larutan padat berupa CuAl2. Makin rendah temperaturnya makin banyak Cu-Al yang keluar. Pada gambar struktur mikro Al-Cu tampak partikel CuAl tersebar didalam matriks

  . Dengan pemanasan kembali sampai diatas garis solvus (titik 3) semua Cu larut kembali di dalam . Dengan pendingan cepat (quench) Cu tidak sempat keluar dari

  . Pada suhu kamar struktur masih tetap berupa larutan padat fase tunggal Sifatnyapun masih belum berubah. Masih tetap lunak dan sedikit ulet. Dalam keadaan ini larutan dikatakan sebagai larutan yang lewat jenuh karena mengadung

  solute yang melampaui batas jenisnya untuk temperatur itu. Setelah beberapa saat larutan yang lewat jenuh ini akan mengalami perubahan kekerasan dan kekuatan.

  Menjadi lebih kuat dan keras, tetapi struktur mikro tidak tampak mengalami perubahan.

  Penguatan ini terjadi karena timbulnya partikel CuAl2 (fase ) yang berpresipitasi di dalam kristal

  . Presipitat ini sangat kecil tidak tampak di mikroskop (submicroscopic) dan akan menyebabkan terjadinya tegangan pada lattis kristal di sekitar presipitat ini . Karena presipitat tersebar merata didalam lattis kristal. Maka dapat dikatakan seluruh lattis menjadi tegang mengakibatkan kekuatan dan kekerasan menjadi lebih tinggi.

  Aging dapat dilakukan dengan membiarkan larutan lewat jenuh itu pada

  temperatur kamar selama beberapa waktu. Dinamakan natural aging atau dengan memanaskan kembali larutan lewat jenuh itu ke temperatur di bawah garis solvus dan dibiarkan pada temperatur tersebut selama beberapa saat. Dinamakan artficial

  aging Bila aging temperatur terlalu tinggi dan atau aging time terlalu panjang

  maka partikel yang terjadi akan terlalu besar (sudah mikroskopik) sehingga effek penguatannya akan menurun bahkan menghilang sama sekali, dan ini dinamakan

  over aged .

  Proses precipitation hardening atau hardening dapat dibagi menjadi beberapa tahap yaitu:

  1. Solution treatment, yaitu memanaskan paduan hingga diatas solvus line.

  2. Mendinginkan kembali dengan cepat (quenching) 3.

  Aging, yaitu menahan pada suatu temperatur tertentu (temperatur kamar atau temperatur dibawah solvus line) selang waktu tertentu.

  Paduan Aluminium lainnya yang dapat di perlakukan panas sebagaimana diagram fasa di bawah ini:

1. Paduan Al-Mg dengan kadar Mg kurang dari 17,1 % termasuk yang heat

  treatable karena jika dipanaskan di atas garis solvus mampu mencapai fasa tunggal. Diagram fasa paduan Al-Mg dapat dilihat pada gambar 2.9.

Gambar 2.9 Diagram fasa paduan Al-Mg.

  (Sumber: Hansen & Anderko,1958) 2. Paduan Al-Si masuk kategori non heat tretable, tetapi untuk paduan Al-