BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kinerja 2.1.1. Pengertian Kinerja - Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja Perawat Pelaksana Ruang Rawat Inap kelas III di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2013

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kinerja

2.1.1. Pengertian Kinerja

  Menurut Wibowo (2010), akhir-akhir ini perusahaan telah menaruh perhatian pada pengukuran kinerja orang. Semua akuntabilitas orang dituangkan dalam evaluasi. Tetapi perusahaan jarang memahami bagaimana menerjemahkan kinerja orang kedalam kinerja organisasional, yang akhirnya mendorong kinerja karyawan paling bawah. Mata rantai yang hilang adalah budaya. Perusahaan lebih baik memahami dan membangun performance-driven organization, dengan memahami bagaimana budaya mareka mendorong kinerja mareka yang berada di baris depan.

  Kinerja menurut Sutrisno (2010), menjelaskan batasan kinerja sebagai kesuksesan seseorang didalam melaksanakan suatu pekerjaan. Prawirosentono (1999), mengemukakan kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggungjawab masing-masing, dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika.

  Kinerja merupakan gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu program kegiatan atau kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, visi dan misi organisasi yang dituangkan melalui perencanaan strategis suatu organisasi. Kinerja

  8 dapat diketahui dan diukur jika individu atau sekelompok karyawan telah mempunyai kriteria atau standar keberhasilan tolak ukur yang ditetapkan oleh organisasi. Oleh karena itu jika tanpa tujuan dan target yang ditetapkan dalam pengukuran, maka kinerja pada seseorang atau kinerja organisasi tidak mungkin dapat diketahui bila tidak ada tolak ukur keberhasilannya (Moeheriono, 2009).

  Pelaksanaan kinerja akan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor baik yang bersumber dari pekerja sendiri maupun yang bersumber dari organisasi. Dari pekerja sangat dipengaruhi oleh kemampuan atau kompetensinya sedang dari sisi organisasi dipengaruhi oleh seberapa hal baik kepemimpinan suatu organisasi dalam hal pemberdayaan pekerja, dan peningkatan kemampuan pekerja (Wibowo, 2007).

  Menurut teori Gibson,dkk, (1997) bahwa kinerja dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu; Faktor individu, psikologis dan organisasi. Secara teoritis variabel individu terdiri dari; kemampuan, keterampilan, latar belakang pribadi, dan demografis, variabel psikologis yang terdiri dari; persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi serta variabel organisasi terdiri dari; sumberdaya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan disain pekerjaan.

2.1.2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kinerja

  Menurut Prawirosentono (1999), bahwa faktor-faktor yang memengaruhi kinerja pegawai adalah sebagai berikut: a.

  Efektivitas dan Efisiensi Dalam hubungan dengan kinerja organisasi, maka ukuran baik buruknya kinerja diukur oleh efektivitas dan efisiensi. Masalahnya adalah bagaimana proses terjadinya efisiensi dan efektivitas organisasi. Dikatakan efektif bila mencapai tujuan, dikatakan efisiensi bila hal itu memuaskan sebagai pendorong mencapai tujuan, terlepas apakah efektif atau tidak. Artinya, efektivitas dari kelompok (organisasi) bila tujuan kelompok tersebut dapat dicapai sesuai dengan kebutuhan yang direncanakan. Sedangkan efisiensi berkaitan dengan jumlah pengorbanan yang dikeluarkan dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Agar tercapai tujuan yang diinginkan organisasi, salah satu yang perlu mendapat perhatian adalah hal yang berkaitan dengan wewenang dan tanggungjawab para peserta yang mendukung organisasi tersebut.

  b.

  Otoritas dan Tanggung jawab Dalam organisasi yang baik wewenang dan tanggungjawab telah didelegasikan dengan baik, tanpa adanya tumpang tindih tugas. Masing-masing karyawan yang ada dalam organisasi mengetahui apa yang menjadi haknya dan tanggungjawabnya dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Kejelasan dan wewenang dan tanggungjawab setiap orang dalam suatu organisasi akan mendukung kinerja karyawan tersebut. Kinerja karyawan akan dapat terwujud bila karyawan mempunyai komitmen dengan organisasinya dan ditunjang dengan disiplin kerja yang tinggi.

  c.

  Disiplin Secara umum, disiplin menunjukkan suatu kondisi atau sikap hormat yang ada pada diri karyawan terhadap peraturan dan ketetapan perusahaan. Disiplin meliputi ketaatan dan hormat terhadap perjanjian yang dibuat antara perusahaan dan karyawan. Dengan demikian, bila peraturan atau ketetapan yang ada dalam perusahaan itu diabaikan atau sering dilanggar, maka karyawan mempunyai disiplin yang buruk. Sebaliknya, bila karyawan tunduk pada ketetapan perusahaan, menggambarkan adanya disiplin yang baik.

  Disiplin juga berkaitan erat dengan sanksi yang perlu dijatuhkan kepada pihak yang melanggar. Dalam hal seorang karyawan melanggar peraturan yang berlaku dalam organisasi, maka karyawan bersangkutan harus sanggup menerima hukuman yang telah disepakati. Masalah disiplin para karyawan yang ada di dalam organisasi baik atasan maupun bawahan akan memberi corak terhadap kinerja organisasi. Kinerja organisasi akan tercapai, apabila kinerja individu maupun kinerja kelompok ditingkatkan. Untuk itu diperlukan inisiatif dari para karyawan dalam melaksanakan tugas.

  d.

  Inisiatif Inisiatif seseorang berkaitan dengan daya pikir, kreativitas dalam bentuk ide untuk merencanakan sesuatu yang berkaitan dengan tujuan organisasi. Setiap inisiatif sebaiknya mendapat perhatian atau tanggapan positif dari atasan, kalau memang dia atasan yang baik.

  Atasan yang buruk akan selalu mencegah inisiatif bawahan, lebih-lebih bawahan yang kurang disenangi. Bila atasan selalu menghambat setiap inisiatif, tanpa memberikan penghargaan berupa argumentasi yang jelas dan mendukung, menyebabkan organisasi akan kehilangan energi atau daya dorong untuk maju. Dengan perkataan lain, inisiatif karyawan yang ada didalam organisasi merupakan daya dorong kemajuan yang akhirnya akan memengaruhi kinerja.

  Menurut Gibson, dkk (1997), ada tiga perangkat variabel yang memengaruhi kinerja seseorang, yaitu:

  1. Variabel Individual, terdiri dari: a.

  Kemampuan dan ketrampilan.

  Kondisi mental dan fisik seseorang dalam menjalankan suatu aktivitas atau pekerjaan.

  b.

  Latar belakang.

  Kondisi dimasa lalu yang mempengaruhi karakteristik dan sikap mental seseorang, biasanya dipengaruhi oleh faktor keturunan serta pengalaman dimasa lalu.

  c.

  Demografis Kondisi kependudukan yang berlaku pada individu atau karyawan, dimana lingkungan sekitarnya akan membentuk pola tingkah laku individu tersebut berdasarkan adat atau norma social yang berlaku.

  2. Variabel Organisasional, terdiri dari: a.

  Sumber daya Sekumpulan potensi atau kemampuan organisasi yang dapat diukur dan dinilai seperti sumber daya alam. b.

  Kepemimpinan Suatu seni mengkoordinasi yang dilakukan oleh pimpinan dalam memotivasi pihak lain untuk meraih tujuan yang diinginkan oleh organisasi.

  c.

  Imbalan.

  Balas jasa yang diterima oleh pegawai atau usaha yang telah dilakukan didalam proses aktivitas organisasi dalam jangka waktu tertentu secara instrinsik maupun ekstrinsik.

  d.

  Struktur Hubungan wewenang dan tanggung ajawab antar individu didalam organisasi dengan karakteristik tertentu dan kebutuhan organisasi.

  e.

  Desain Pekerjaan

  Job description yang diberikan kepada pegawai, apakah pegawai dapat melakukan pekerjaan sesuai dengan job description.

3. Variabel Psikologis, terdiri dari: a.

  Persepsi Suatu proses kognitif yang digunakan oleh seseorang untuk menafsirkan dan memahami dunia sekitarnya.

  b.

  Sikap Kesiapan mental yang dipelajari dan diorganisir melalui pengalaman dan mempunyai pengaruh tertentu atas cara tanggap seseorang terhadap orang lain. c.

  Kepribadian.

  Pola perilaku dan proses mental yang unik, mencirikan seseorang.

  d.

  Belajar Proses yang dijalani seseorang dari tahap tidak tahu menjadi tahu dan memahami sesuatu terutama yang berhubungan dengan organisasi dan pekerjaan.

  e.

  Motivasi.

  Merupakan hasil sejumlah proses yang bersifat internal atau eksternal bagi seorang individu yang menyebabkan timbulnya sikap antusias dan persistensi dalam melaksanakan kegiatan tertentu. Di sini tampak jelas bahwa pengertian kinerja itu lebih sempit sifatnya, yaitu hanya berkenaan dengan apa yang dihasilkan seseorang dari tingkah laku kerjanya.

  Biasanya orang yang mempunyai tingkat prestasi tinggi disebut sebagai orang yang produktif, dan sebaliknya orang yang tingkat prestasinya rendah, dikatakan sebagai tidak produktif atau dikatakan kinerjanya rendah.

2.1.3. Upaya Peningkatan Kinerja

  Sutrisno (2010) mengemukakan empat aspek dari kinerja yang diukur dalam peningkatan kinerja, yaitu:

  1. Kualitas yang dihasilkan, menerangkan tentang jumlah kesalahan, waktu, dan ketepatan dalam melaksanakan tugas.

  2. Kuantitas yang dihasilkan, berkenaan dengan berapa jumlah produk jasa yang dapat dihasilkan.

  3. Waktu kerja, menerangkan akan berapa jumlah absen, keterlambatan, serta masa kerja yang telah dijalani individu pegawai tersebut.

  4. Kerja sama, menerangkan akan bagaimana individu membantu atau menghambat usaha dari teman sekerjanya.

2.1.4. Penilaian Kinerja

  Idealnya performance appraisal diterapkan berdasarkan prinsip keseimbangan, kesepakatan dan kejujuran atau keterbukaan. Performance appraisal yang diterapkan berdasarkan prinsip keseimbangan, artinya cara-cara pengukuran dan standar yang ditetapkan haruslah sesuai dengan kepentingan karyawan dan organisasi. Kejujuran dalam penilaian merupakan syarat utama dalam sistem penilaian. Konsekuensi dari prinsip ini adalah proses penilaian harus terbuka dan hasil penilaian bisa didiskusikan antara bawahan dan atasan penilai (Moeheriono, 2009)

  Penilaian prestasi kerja (performance appraisal) adalah suatu proses yang digunakan pimpinan untuk menentukan apakah seorang karyawan melakukan pekerjaannya sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya. Evaluasi kinerja adalah penilaian yang dilakukan secara sistematis untuk mengetahui hasil pekerjaan karyawan dan kinerja organisasi. Disamping itu, juga untuk menentukan kebutuhan pelatihan kerja secara tepat, memberikan tanggung jawab yang sesuai kepada karyawan sehingga dapat melaksanakan pekerjaan yang lebih baik dimasa mendatang dan sebagai dasar untuk menetukan kebijakan dalam hal promosi jabatan atau penentuan imbalan (Mangkunegara, 2009).

  Menurut Moeheriono (2009), penilaian dalam 360º terhadap karyawan adalah menentukan siapa yang harus menilai. Ada beberapa pilihan untuk menentukan siapa yang menilai yaitu seperti berikut:

  1 Atasan langsung. Hampir sebagian besar perusahaan menggunakan hanya atasan langsung sebagai penilai kinerja seseorang. Artinya penilaian tidak hanya dilakukan oleh atasan langsung, minimal dilakukan oleh dua atasan diatasnya.

  2 Rekan sekerja. Alasan kenapa rekan sekerja dilibatkan dalam penilaian karena rekan sekerja sehari-hari berinteraksi dengan pegawai yang dinilai. Interaksi ini memberikan pandangan menyeluruh terhadap kinerja seorang pegawai dalam pekerjaannya.

3 Diri sendiri. Evaluasi diri sendiri dimaksudkan untuk merangsang pembahasan kinerja antara karyawan dan atasan.

  4 Bawahan langsung. Evaluasi bawahan langsung dapat membedakan informasi yang tepat dan rinci mengenai perilaku seorang manajer karena penilai mempunyai kontak langsung dengan yang dinilai.

  5 Pelanggan. Baik pelanggan internal maupun eksternal. Pelanggan internal adalah orang-orang didalam perusahaan yang kadar interaksinya (dalam pekerjaan dengan pegawai yang dinilai sangat tinggi, sedangkan pelanggan eksternal adalah orang-orang diluar perusahaan yang membeli produk atau jasa.

  Setiap orang sebagai pelaku yang melaksanakan kegiatan yang sesuai dengan fungsinya harus dinilai kinerjanya. Untuk mengetahui kinerja karyawan diperlukan kegiatan-kegiatan khusus. Bernadin dan Russel (2000) mengajukan enam kinerja primer yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja yaitu: a.

  Quality merupakan tingkat sejauh mana proses atau hasil pelaksanaan kegiatan mendekati kesempurnaan atau mendekati tujuan yang diharapkan.

  b.

  Quantity merupakan jumlah yang dihasilkan misalnya jumlah rupiah, unit, dan siklus kegiatan yang dilakukan.

  c.

  Timeliness merupakan sejauh mana suatu kegiatan diselesaikan pada waktu yang dikehendaki dengan memerhatikan koordinasi output lain serta waktu yang tersedia untuk kegiatan orang lain.

  d.

  Cost effectiveness merupakan tingkat sejauh mana penggunaan sumber daya organisasi (manusia, keuangan, teknologi dan material) dimaksimalkan untuk mencapai hasil tertinggi atau pengurangan kerugian dari setiap unit penggunaan sumber daya.

  e.

  Need for supervision merupakan tingkat sejauh mana seorang pekerja dapat melaksanakan suatu fungsi pekerjaan tanpa memerlukan pengawasan seorang supervisor untuk mencegah tindakan yang diinginkan.

  f.

  Interpersonal impact merupakan tingkat sejauh mana pegawai memelihara harga diri, nama baik dan kerjasama diantara rekan kerja dan bawahan. .

  Menurut Robbins (2006), kinerja merupakan wujud hasil kerja yang dihasilkan oleh seseorang. Kinerja digunakan sebagai dasar penilaian atau evaluasi dan sistem yang merupakan kekuatan penting untuk memengaruhi perilaku karyawan. Penilaian kinerja mempunyai tujuan untuk memotivasi para karyawan dalam mencapai sasaran organisasi dan dalam mematuhi perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya agar membuahkan tindakan dan hasil yang diinginkan.

  Sutrisno (2010), mengatakan agar penilaian kinerja dapat dilaksanakan dengan baik diperlukan metode yang memenuhi persyaratan berikut :

  1. Yang diukur adalah benar-benar prestasi dan bukan faktor-faktor lain seseorang seperti yang menyangkut pribadi seseorang.

  2. Menggunakan tolak ukur yang jelas dan yang pasti menjamin bahwa pengukuran itu bersifat objektif.

  3. Dimengerti, dipahami dan dilaksanakan sepenuhnya oleh semua anggota organisasi yang terlibat.

  4. Dilaksanakan secara konsisten dan didukung sepenuhnya oleh pimpinan puncak organisasi.

2.1.5. Manfaat Penilaian Kinerja

  Menurut Cantika Yuli (2005), apabila penilaian prestasi kerja dapat dilakukan secara baik dan objektif maka akan dapat diperoleh manfaat-manfaat yang dapat dirasakan sebagai berikut:

1 Bagi manajer penilai

  Dengan melakukan penilaian secara objektif, penilai (manajer) akan mudah mengindentifikasi beberapa hal mengenai karyawan yang dinilai, seperti kekuatan dan kelemahan karyawan, beberapa masalah yang ada, masalah potensial dan kebutuhan akan program pelatihan.

  2 Bagi karyawan Karena yang dinilai adalah karyawan maka karyawan akan memperoleh kesempatan untuk mengekspresikan pandangannya, mengetahui kekuatannya dan kelemahan dirinya, memiliki kesempatan untuk mendiskusikan tujuan organisasi dan mengindentifikasi peranan dirinya.

  3 Bagi organisasi Secara umum penilaian prestasi kerja karyawan akan mampu meningkatkan kinerja individu, meningkatkan kinerja departemen, adanya efisiensi meningkatnya kualitas produksi. Organisasi juga akan dapat menggunakan penilaian prestasi sebagai alat pengambilan keputusan dalam rangka menetapkan kompensasi dan proposi jabatan.

  Menurut Mangkunegara (2009) manfaat yang lain dari penilaian prestasi kerja (kinerja) karyawan adalah : a.

  Sebagai dasar dalam pengambilan keputusan yang digunakan untuk prestasi, pemberhentian dan besarnya balas jasa.

  b.

  Untuk mengukur sejauh mana seorang karyawan dapat menyelesaikan perkerjaannya.

  c.

  Sebagai dasar untuk mengevaluasi efektivitas seluruh kegiatan dalam perusahaan. d.

  Sebagai dasar untuk mengevaluasi program latihan dan keefektifan jadwal kerja, metode kerja, struktur organisasi, gaya pengawasan, kondisi kerja dan pengawasan.

  e.

  Sebagai indikator untuk menentukan kebutuhan akan latihan bagi karyawan yang berada dalam organisasi.

  f.

  Sebagai alat untuk meningkatkan motivasi kerja karyawan sehingga dicapai performance yang baik.

  g.

  Sebagai alat untuk dapat melihat kekurangan atau kelemahan dan meningkatkan kemampuan karyawan selanjutnya.

  h.

  Sebagai kriteria menentukan, seleksi dan penempatan karyawan. i.

  Sebagai alat untuk memperbaiki atau mengembangkan kecakapan karyawan.

  f. Sebagai dasar untuk memperbaiki atau mengembangkan uraian tugas (job description ).

2.1.6. Kinerja Perawat dalam Keperawatan

  Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI, 1999) sudah menetapkan standar praktek keperawatan yang dikembangkan berdasarkan standar praktik keperawatan yang dikeluarkan oleh American Nursing Association sebagai berikut: Standar I : Perawat mengumpulkan data tentang kesehatan pasien Standar II : Perawat menetapkan diagnosa keperawatan.

  Standar III : Perawat mengindentifikasi hasil yang diharapkan untuk setiap pasien. Standar IV : Perawat mengembangkan rencana asuhan keperawatan yang berisi rencana tindakan untuk mencapai hasil yang diharapkan.

  Standar V : Perawat melaksanakan tindakan yang sudah ditetapkan dalam rencana tindakan.

  Standar VI : Perawat mengevaluai perkembangan klien dalam mencapai hasil akhir yang sudah ditetapkan.

2.2. Teori tentang Keperawatan

2.2.1. Pengertian Keperawatan

  Tenagakeperawatan salah satu sumber daya manusia di rumah sakit yang menentukan penilaian terhadap kualitas pelayanan kesehatan. Menurut Priharjo (1995) perawat adalah orang yang mengasuh, merawat dan melindungi, merawat orang yang sakit, luka dan lanjut usia.

  Gunarsa (1995), tenaga keperawatan adalah seorang yang dipersiapkan melalui pendidikan untuk turut serta merawat dan menyembuhkan orang yang sakit, usaha rehabilitasi, pencegahan penyakit, yang dilaksanakan sendiri atau dibawah pengawasan dan supervisi dokter dan kepala ruangan.

  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 13 ayat 3 disebutkan setiap tenaga keperawatan yang harus bekerja di Rumah Sakit sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan rumah sakit, standar prosedur operasional yang berlaku, etika profesi, menghormati hak pasien dan mengutamakan keselamatan.

2.2.2. Uraian Tugas Pokok dan Fungsi Keperawatan 1.

  Memberikan pelayanan keperawatan langsung berdasarkan proses keperawatan sebagai berikut: a.

  Melakukan pengkajian kepada pasien.

  b.

  Menyusun rencana perawatan sesuai dengan diagnose keperawatan pasien c. Melaksanakan tindakan perawatan sesuai dengan rencana.

  d.

  Mengevaluasi tindakan keperawatan yang telah diberikan.

  e.

  Mendokumentasikan semua tindakan keperawatan pasien pada catatan keperawatan.

  2. Melaksanakan program medis dengan penuh tanggung jawab.

  a.

  Pemeriksaan obat b. Pemeriksaan laboratorium c. Persiapan pasien yang akan dioperasi 3. Memerhatikan keseimbangan kebutuhan fisik, mental, social dan spiritual pasien.

  a.

  Memelihara kebersihan klien dan lingkungan.

  b.

  Mengurangi penderitaan klien dengan member rasa aman, nyaman dan ketenangan.

  c.

  Pendekatan dan komunikasi terapeutik.

  4. Mempersiapkan pasien secara fisik dan mental untuk menghadapi tindakan keperawatan dan pengobatan.

  5. Melatih pasien untuk menolong dirinya sendiri sesuai dengan kemampuannya.

  6. Membantu kepala ruangan dalam penatalaksanaan ruangan secara administrasi.

  7. Mengatur dan menyiapkan alat-alat yang ada diruangan menurut fungsinya supaya siap pakai.

  a.

  Menyiapkan data pasien baru, pulang dan meninggal b. Sensus harian dan formulir.

  c.

  Rujukan harian dan formulir.

  8. Mengatur dan menyiapkan alat-alat yang ada diruangan menurut fungsinya supaya siap pakai.

  9. Mencipkan dan memelihara kebersihan, keamanan, kenyamanan dan keindahan ruangan.

  10. Melaksanakan tugas dinas pagi, sore, malam secara bergantian sesuai jadwal tugas.

  11. Membuat laporan harian pasien.

  Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan keperawatan merupakan bagian dari sumber daya kesehatan yang sangat diperlukan dalam mendukung penyelenggaraan upaya kesehatan. Penyelenggaraan pelayanan keperawatandi rumah sakit mempunyai karakteristik dan organisasi yang sangat kompleks. Berbagai jenis tenaga keperawatan dengan perangkat keilmuannya masing-masing berinteraksi satu sama lain.

  Kusumapraja (2006) bahwa pelayanan prima yang memberikan kepada pelanggan apa yang memang mareka harapkan pada saat mareka membutuhkan serta dengan cara yang meraka inginkan dapat diupayakan dengan pembenahan budaya organisasi sehingga setiap tenaga keperawatan mampu melaksanakan pelayanan prima dalam memberikan asuhan keperawatan.

2.2.3. Komponen dalam Proses Keperawatan

  Proses keperawatan yang dilakukan dalam asuhan keperawatan melalui tahap pengkajian, tahap diagnosis keperawatan, tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, serta tahap evaluasi. Nanda (2009), mengemukkan bahwa setiap tahapan tersebut terdapat beberapa kegiatan atau langkah yang harus di tempuh:

  1. Tahap pengkajian merupakan langkah pertama dari proses keperawatan dengan mengumpulkan data-data yang akurat dari klien sehingga akan diketahui berbagai permasalahan yang ada. Untuk melakukan langkah pertama ini diperlukan pengetahuan dan kemampuan yang harus dimiliki oleh perawat diantaranya pengetahuan tentang kebutuhan atau system biopsikososial dan spiritual bagi manusia yang memandang manusia dari aspek biologis, psikologis, sosial dan tinjauan dari aspek spiritual, juga pengetahuan akan kebutuhan perkembangan manusia (tumbuh kembang darikebutuhan dasarnya), pengetahuan tentang konsep sehat dan sakit, pengetahuan tentang patofisiologi dari penyakit yang dialami, pengetahuan tentang system keluarga dan kultur budaya serta nilai-nilai keyakinan yang dimiliki klien.Sedangkan kemampuan yang harus dimiliki oleh perawat dapat meliputi kemampuan melakukan observasi secara sistematis pada klian, kemampuan berkomunikasi sacara verbal atau nonverbal, kemampuan menjadi pendengar yang baik, kemampuan dalam menciptakan hubungan saling membantu, kemampuan dalam membangun suatu kepercayaan, kemampuan mengadakan wawancara serta adanya kemampuan dalam melakukan pengkajian atau pemeriksaan fisik keperawatan. Melalui pengetahuan dan kemampuan yang harus dimiliki pada tahap pengkajian ini maka tujuan dari pengkajian akan dapat dicapai.

  2. Tahap diagnosis keperawatan merupakan keputusan klinis mengenai seseorang, keluarga, atau masyarakat sebagai akibat dari masalah kesehatan atau proses kehidupan yang actual atau potensial . Diagnosis keperawatan ini dapat memberikan dasar pemilihan intervensi untuk menjadi tanggung jawab perawat.

  Formulasi diagnosis keperawatan adalah bagaimana diagnosis keperawatan digunakan dalam proses pemecahan masalah karena melalui identifikasi masalah dapat digambarkan berbagai masalah keperawatan yang membutuhkan asuhan keperawatan, di samping itu dengan menentukan atau menginvestigasi dari etiologi masalah, maka akan dapat dijumpai faktor yang menjadi kendala atau penyebabnya. Dengan menggambarkan tanda dan gejala akan dapat digunakan untuk memperkuat masalah yang ada. Untuk menyusun diagnosis keperawatan yang tepat, dibutuhkan beberapa pengetahuan dan keterampilan yang harus dimiliki di antaranya: kemampuan dalam memahami beberapa masalah keperawatan, faktor yang menyebabkan masalah, batasan karakteristiknya, beberapa ukuran normal dari masalah tersebut serta kemampuan dalam memahami mekanisme penanganan masalah, berpikir kritis, dan membuat kesimpulan dari masalah.

  3. Tahap perencanaan merupakan suatu proses penyusunan berbagai intervensi keperawatan yang dibutuhkan untuk mencegah, menurunkan atau mengurangi masalah-masalah klien. Perencanaan ini merupakan langkah ketiga dalam membuat suatu proses keperawatan. Dalam menentukan tahap perencanaan bagi perawat diperlukan berbagai pengetahuan dan keterampilan diantaranya pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan klien, nilai dan kepercayaan klien, batasan praktek keperawatan, peran dari tenaga kesehatan lainnya, kemampuan dalam memecahkan masalah, mengambil keputusan, menulis tujuan serta memilih dan membuat strategi keperawatan yang aman dalam memenuhi tujuan, menulis instruksi keperawatan serta kemampuan dalam melaksanakan kerja sama dengan tingkat kesehatan lain.

  4. Tahap Pelaksanaan: Merupakan langkah keempat dalam tahap proses keperawatan dengan melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah direncanakan dalam rencana tindakan keperawatan. Dalam tahap ini perawat harus mengetahui berbagai hal diantaranya bahaya- bahaya fisik dan perlindungan pada klien, teknik komunikasi, kemampuan dalam prosedur tindakan, pemahan tentang hak-hak dari pasien serta dalam memahami tingkat perkembangan pasien. Dalam pelaksanaan rencana tindakan terdapat dua jenis tuindakan, yaitu tindakan jenis mandiri dan tindakan kolaborasi. Sebagai profesi, perawat mempunyai kewenangan dan tanggungjawab dalam menentukan asuhan keperawatan.

  5. Tahap Evaluasi: Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau tidak. Dalam melakukan evaluasi perawat seharusnya memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam memahami respon terhadap intervensi keparawatan, kemampuan menggambarkan kesimpulan tentang tujuan yang dicapai serta kemampuan dalam menghubungkan tindakan keperawatan pada kriteria hasil. Pada tahap evaluasi ini terdiri dari dua kegiatan yaitu kegiatan yang dilakukan dengan mengevaluasi selama proses keperawatan berlangsung atau menilai dari respon klien di sebut evaluasi proses, dan kegiatan melakukan evaluasi dengan target tujuan yang diharapkan disebut sebagai evaluasi hasil.

2.3. Budaya Organisasi

2.3.1. Pengertian Budaya Organisasi

  Robbins (2006), menyatakan bahwa budaya organisasi (organization culture) sebagai suatu sistem pemahaman bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi lain. Sebuah sistem pemaknaan bersama dibentuk oleh warganya yang sekalian menjadi pembeda dengan organisasi lain. Sistem pemaknaan bersama merupakan seperangkat karakter kunci dari nilai- nilai organisasi.

  Gibson,dkk (1997), merumuskan kultur organisasi mengandung bauran nilai- nilai, kepercayaan, asumsi, persepsi, norma, kekhasan dan pola perilaku. Kreitner dan Kinicki (2006), memberi batasan budaya organisasi sebagai nilai dan keyakinan bersama yang mendasari identitas organisasi yang berfungsi sebagai pemberi rasa identitas kepada anggota mempromosikan komitmen kolektif, meningkatkan stabilitas sistem sosial, serta mengendalikan perilaku para anggota.

  Tipologi yang digeneralisasi menjadi budaya organisasi secara umum adalah : (a) budaya yang dikembangkan dalam organisasi secara kekeluargaan (clan culture), (b) organisasi dengan peraturan, kebijakan, prosedur kerja, serta pengambilan keputusan yang jelas (bureaucratic culture), (c) organisasi dengan dinamika pegawai untuk berkreasi dan berinovasi (entrepreneaurial culture), (d) organisasi dengan orientasi pengembangan pemasaran (market culture) (Gibson,dkk, 1997).

2.3.2. Fungsi Budaya Organsisi

  Fungsi budaya organisasi adalah untuk beradaptasi dengan lingkungan eksternal dan mempertahankan keberlangsungan hidup organisasi, serta dalam melakukan integrasi internal. Menurut Robbin (2006) ada lima fungsi budaya organisasi:

  1 Budaya mempunyai peran menetapkan tapal batas, artinya budaya menciptakan perbedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lainnya.

  2 Budaya memberikan rasa identitas keanggotaan organisasi.

  3 Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada suatu yang lebih jelas dari pada kepentingan diri pribadi seseorang.

  4 Budaya meningkatkan kemantapan sistem sosial dengan memberikan standar- standar yang tepat mengenai seluruh tugas yang harus dilakukan individu dalam organisasi.

  5 Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan mekanisme pengendali yang memandu dan membentuk sikap dan perilaku individu dalam organisasi.

  Menurut Kreitner dan Kinicki (2006) membagi fungsi budaya organisasi menjadi empat (1) memberikan identititas kepada karyawannya, (2) memudahkan komitmen kolektif dan (3) mempromosikan stabilitas sistem sosial, membentuk perilaku dengan membantu manajer (top management) dalam menjalankan tugasnya.

2.3.3. Pembentukan Budaya Organisasi

  Menurut Robbin (2006) budaya organisasi terbentuk pada dasarnya melalui beberapa tahap, seperti pada gambar 2.1 berikut ini.

  Manajemen Puncak Fisologi Kriteria Budaya

  Organisasi Seleksi Organisasi Sosialisasi

Gambar 2.1. Pembentukan Budaya Organisasi

  (Sumber ; Robbin, 2006)

  Budaya organiasi terbentuk diawali dengan falsafah dasar pemilik organisasi yang merupakan budaya asli organisasi yang mempunyai pengaruh sangat kuat dalam kriteria yang tepat. Tahap selanjutnya falsafah dasar organisasi yang diturunkan manajer puncak yang bertugas menciptakan suatu iklim organisasi yang kondusif dan dapat diterima oleh seluruh anggota berupa nilai–nilai peraturan, kebiasaan agar dapat dimengerti. Tahap selanjutnya adalah tahap sosialisasi, dengan sosialisasi yang tepat, maka akan terbentuk budaya organisasi yang diharapkan (Robbin, 2006).

2.3.4. Dimensi Budaya Organisasi

  Hofstede dalam Sobirin (2007) mengelompokkan budaya organisasi ke dalam 6 dimensi:

  1. Process Oriented vs. Result Oriented Pada process oriented culture, perhatian organisasi lebih ditujukan pada proses aktivitas yang berjalan dan sejauh mana orang-orang yang bekerja pada organisasi patuh terhadap ketentuan atau kebijakan yang telah digariskan organisasi. Sementara, pada result orientedculture perhatian organisasi lebih ditujukan pada hasil kegiatan ketimbang prosesnya sehingga sering organisasi tidak memperdulikan bagaimana proses dilakukan tetapi yang penting hasilnya cepat didapat.

  2. Employee Oriented vs. Job Oriented

  Employee oriented culture menggambarkan lingkungan internal organisasi

  pekerja yang menginginkan agar organisasi terlebih dahulu memperhatikan kepentingan mereka sebelum berorientasi pada pekerjaan. Job oriented culture beranggapan bahwa para karyawan harus mendahulukan pekerjaan sebelum menuntut dipenuhinya kepentingan mereka.

  3. Parochial vs. Profesional

  Parochial culture menjelaskan bahwa tingkat kebergantungan karyawan pada

  atasan dan pada organisasi cenderung sangat tinggi. Karyawan merasa bahwa dirinya adalah bagian integral dari organisasi. Professional culture karyawan merasa bahwa kehidupan pribadi adalah urusan mereka sendiri dan alasan organisasi merekrut mereka adalah karena kompetensi dalam melakukan pekerjaan bukan latar belakang keluarga atau alasan lain.

  4. Open system vs. Close System

  Open system culture menjelaskan bahwa organisasi cenderung tidak menutup diri dari perubahan baik yang terjadi pada lingkungan internal maupun eksternal.

  

Close systemculture sebaliknya, organisasi diperlakukan sebagai sebuah mesin

  (machine organization) yang bekerja mengikuti pola yang sudah ada tanpa banyak melakukan perubahan.

  5. Loose Control vs. Tight Control

  Loose control culture, organisasi dengan tingkat pengendalian yang longgar,

  organisasi seolah tidak memiliki alat pengendali dan tata aturan formal yang memungkinkan organisasi bisa mengendalikan pekerjanya. Tight control culture, organisasi semacam ini cenderung menetapkan aturan yang ketat bahkan dalam batas yang cenderung kaku. Penyimpangan terhadap aturan sangat tidak ditolerir.

  6. Normative vs. Pragmatic

  Normative culture menganggap bahwa tugas yang diemban organisasi

  terhadap dunia luar merupakan bentuk implementasi dari peraturan konvensi maupun tertulis, yang tidak boleh dilanggar. Pragmatic culture adalah organisasi yang berorientasi pada konsumen. Aturan dan prosedur kerja bisa saja dilanggar jika hal tersebut menghambat pencapaian hasil dan pemenuhan kebutuhan konsumen.

  Greenberg danBaron dalam Wibowo (2010) menyatakan budaya organisasi adalah kerangka kerja kognitif yang terdiri dari sikap, nilai-nilai, norma perilaku dan harapan yang diterima bersama oleh anggota organisasi. Akar setiap budaya organisasi adalah serangkaian karakteristik inti yang dihargai secara kolektif oleh anggota organisasi.

  1. Inovasi dan pengambilan resiko merupakan tingkat daya pendorong karyawan untuk bersikap inovatif dan berani mengambil resiko. Karyawan didorong rela berkorban untuk memberikan yang terbaik bagi organisasi dan dapat menciptakan sesuatu hal yang baru dalam menghadapi ketidakpastian lingkungan. Organisasi berorientasi bagi para pengambil resiko dan inovator, juga berorientasi pada hasil yang dicapai oleh karyawan dan lebih menyukai karyawan yang agresif.

  Organisasi cenderung untuk mencari orang-orang berbakat dari segala usia dan pengalaman, organisasi juga menawarkan insentif finansial yang sangat besar dan kebebasan besar bagi mereka yang sangat berprestasi.

  2. Perhatian terhadap detail yaitu tingkat tuntutan terhadap karyawan untuk mampu memperlihatkan ketepatan, analisis dan perhatian terhadap detail. Sejauh mana karyawan diharapkan menunjukkan kecermatan, analisis dan perhatian terhadap detail. Dimana diperlukan karyawan yang handal dan memiliki kompetensi dalam memberikan perhatian kepada masalah-masalah yang perlu ditangani dengan lebih serius. Organisasi akan merekrut para lulusan muda universitas, memberi pelatihan istimewa, dan kemudian mengoperasikan lulusan muda ini dalam suatu fungsi yang khusus. Organisasi lebih menyukai karyawan yang lebih cermat, teliti dan mendetail dalam menghadapi dan memecahkan suatu masalah.

  3. Orientasi terhadap hasilyaitu tingkat tuntutan terhadap manajemen untuk lebih memusatkan perhatian terhadap hasil, dibandingkan perhatian pada teknik dan proses yang digunakan untuk meraih hasil tersebut. Hasil yang didapat harus sesuai dengan yang diharapkan organisasi.

  4. Orientasi terhadap individu yaitu tingkat keputusan manajemen dalam mempertimbangkan efek-efek hasil terhadap individu yang ada di dalam organisasi.

  5. Orientasi terhadap tim yaitu tingkat aktifitas pekerjaan yang diatur dalam tim, bukan secara perorangan. Kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim yaitu diperlukan kerjasama dalam melaksanakan tugas bersama untuk mendapatkan hasil yang maksimal, bukan individu. Organisasi lebih condong ke arah orientasi orang dan orientasi tim dimana perusahaan memberi nilai tinggi pada karyawan yang dapat menyesuaikan diri dalam sistem organisasi. Organisasi juga menyukai karyawan yang setia dan mempunyai komitmen yang tinggi dan mengutamakan kerja sama tim.

  6. Agresivitas yaitu tingkat tuntutan terhadap orang-orang agar berlaku agresiv dan bersaing dan tidak bersikap santai. Berkaitan dengan semangat dan spirit dalam melakukan suatu pekerjaan.

7. Stabilitas yaitu tingkat penekanan aktifitas organisasi dalam mempertahankan status quo berbanding pertumbuhan.

  Masing-masing karakteristik ini berada dalam suatu kesatuan, dari tingkat yang rendah menuju tingkat yang lebih tinggi. Penilaian organisasi berdasarkan tujuh karakteristik ini, akan diperoleh gambaran majemuk dari budaya organisasi itu. Gambaran ini menjadi dasar untuk pemahaman bersama yang dimiliki para anggota mengenai organisasi, bagaimana segala sesuatu dikerjakan berdasarkan pengertian bersama, dan cara para anggota berperilaku.

2.3.5 Manfaat Budaya Organisasi

  Robbins (1993), mengemukakan beberapa manfaat budaya organisasi adalah sebagai berikut : a.

  Membatasi peran yang membedakan antara organisasi yang satu dengan organisasi yang lain. Setiap organisasi mempunyai peran yang berbeda sehingga perlu memiliki akar budaya yang kuat dalam sistem dan kegiatan yang ada dalam organisasi.

  b.

  Menimbulkan rasa memiliki identitas bagi para anggota organisasi. Dengan budaya organisasi yang kuat, anggota organisasi akan merasa memiliki identitas yang merupakan ciri khas organisasi.

  c.

  Mementingkan tujuan bersama daripada mengutamakan kepentingan individu.

  d.

  Menjaga stabilitas organisasi. Kesatuan komponen-komponen organisasi yang direkatkan oleh pemahaman budaya yang sama akan membuat kondisi organisasi relatif stabil.

  2.3.6. Sumber-Sumber Budaya Organisasi

  Isi dari suatu budaya organisasi terutama berasal dari tiga sumber (Robbins, 2006),yaitu : a.

  Pendiri organisasi. Pendiri sering disebut berkepribadian dinamis, nilai yang kuat, dan visi yang jelas tentang bagaimana organisasi seharusnya. Pendiri mempunyai peranan kunci dalam menarik karyawan. Sikap dan nilai mereka siap diteruskan kepada karyawan baru.

  b.

  Pengalaman organisasi menghadapi lingkungan eksternal. Penghargaan organisasi terhadap tindakan tertentu dan kebijakannya mengarah pada pengembangan berbagai sikap dan nilai.

  c.

  Karyawan, hubungan kerja. Karyawan membawa harapan, nilai dan sikap mereka ke dalam organisasi. Hubungan kerja mencerminkan aktivitas utama organisasi yang membentuk sikap dan nilai.

  2.3.7. Hubungan Budaya Organisasi dan Kinerja

  Penelitian Kotter dan Heskett (1997) yang berjudul “Corporate Culture and

  

Performance” bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara budaya

  organisasi dan kinerja ekonomi jangka panjang untuk mengklasifikasi sifat dan alasan-alasan bagi hubungan tersebut dan untuk mengetahui apakah dan bagaimana:hubungan tersebut dapat di eksploitasi untuk meningkatkan kinerja suatu organisasi.Penelitian ini melakukan survey terhadap 207 perusahaan dalam dua puluh duaindustri di Amerika Serikat. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa;

  1. Budaya kerja dapat mempunyai dampak terhadap kinerja jangka panjang

  2. Budaya kerja mungkin akan menjadi suatu faktor bahkan lebih penting lagi dalam menentukan keberhasilan dan kegagalan organisasi di masa datang.

  3. Budaya kerja yang menghambat kinerja keuangan jangka panjang cukup banyak, mudah berkembang, bahkan penuh dengan orang-orang yang pandai dan berakalsehat.

  4. Meskipun sulit di rubah, budaya kerja dapat dibuat agar bersifat lebih meningkatkan kinerja.

2.4. Landasan Teori

  Budaya organisasi merupakan nilai dan norma yang berlaku disuatu organisasi dan dianut secara bersama-sama oleh para anggotanya, yang merupakan fakor penting dalam menentukan keberhasilan organisasi mencapai tujuannya. Semakin kuat suatu budaya, semakin besar pengaruhnya terhadap perilaku dan kinerja seorang pegawai. Budaya organisasi dalam penelitian ini berdasarkan teori Greenberg danBaron dalam Wibowo (2010), meliputi: (1) inovasi dan pengambilan risiko, (2) perhatian ke detail, (3) orientasi hasil, (4) orientasi individu, (5) orientasi tim, (6) keagresifan dan (7) stabilitas. Namun dalam penelitian budaya organisasi diukur hanya 5 indikator saja, yaitu (1) inovasi dan pengambilan risiko, (2) perhatian ke detail, (3) orientasi hasil, (4) orientasi tim, dan (5) keagresifan. Pembatasan penelitian dilakukan dengan pertimbangan penekanan pada keadaan yang nyata bahwa orientasi individu dan stabilitas tidak diikutkan menjadi variabel penelitian karena orientasi individu merupakan keputusan manajemen terhadap perawat pelaksana dalam proses pembuatan dan stabilitas itu sendiri merupakan variabel tetap, dimana kondisi beban kerja perawat saat ini dalam meningkatkan kinerjanya dikaitkan dengan ketersediaan anggaran yang masih terbatas.

  Kinerja merupakan pencapaian yang optimal sesuai dengan potensi yang dimiliki seorang karyawan. Bernadin dan Russel (2000) mengajukan enam kinerja primer yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja yaitu Quality, Quantity, Timeliness, Cost effectiveness, Need for supervision, dan Interpersonal impact.

  Kinerja dalam penelitian ini diukur berdasarkan 5 (lima) indikator yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi.

2.5 Kerangka Konsep

  Berdasarkan latar belakang permasalahan dan tujuan penelitian maka dapat digambarkan kerangka konsep penelitian sebagai berikut.

  Budaya Organisasi

  • Inovasi dan pengambilan risiko

  Kinerja Perawat Pelaksana

  • Perhatian ke detail

  Ruang Rawat Inap

  • Orientasi hasil

  Kelas III

  • Orientasi tim
  • Keagresifan

Dokumen yang terkait

Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja Perawat Pelaksana Ruang Rawat Inap kelas III di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2013

0 44 117

Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transformasional Kepala Ruang Dan Motivasi Intrinsik Perawat Pelaksana Kontrak Terhadap Kinerja Perawat Pelaksana Kontrak Di Ruang Rawat Inap RSUD Dr. Pirngadi Medan

8 115 135

Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2012

12 126 157

Pengaruh Kepemimpinan dan Komunikasi terhadap Kinerja Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap RSUD Kota Padangsidimpuan

1 63 135

Pengaruh Budaya Organisasi dan Insentif terhadap Kinerja Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap Pasien HIV/AIDS Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

6 78 115

Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja Perawat Pelaksana di RSUD Dr. RM. Pratomo Bagansiapiapi Kabupaten Rokan Hilir

2 37 171

Pengaruh Motivasi Intrinsik Terhadap Kinerja Perawat Pelaksana di Instalasi Rawat Inap RSU Dr. Pirngadi Medan Tahun 2007

0 35 105

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Kinerja 1.1 Pengertian Kinerja - Kinerja Perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Kabanjahe

0 0 22

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komunikasi 2.1.1. Pengertian Komunikasi - Pengaruh Komunikasi Interpersonal terhadap Kinerja Perawat Pelaksana Ruang Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Tahun 2014

1 1 26

A. Karakteristik Perawat - Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja Perawat Pelaksana Ruang Rawat Inap kelas III di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2013

0 0 14