Pengaruh Budaya Organisasi dan Insentif terhadap Kinerja Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap Pasien HIV/AIDS Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

(1)

PENGARUH BUDAYA ORGANISASI DAN INSENTIF TERHADAP KINERJA PERAWAT PELAKSANA DI RUANG RAWAT INAP

PASIEN HIV/AIDS RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN

T E S I S

Oleh

MERLIN SIKUMBANG 097032077/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PENGARUH BUDAYA ORGANISASI DAN INSENTIF TERHADAP KINERJA PERAWAT PELAKSANA DI RUANG RAWAT INAP

PASIEN HIV/AIDS RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Administrasi Rumah Sakit pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

MERLIN SIKUMBANG 097032077/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : PENGARUH BUDAYA ORGANISASI DAN INSENTIF TERHADAP KINERJA PERAWAT PELAKSANA DI RUANG RAWAT INAP PASIEN HIV/AIDS RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN

Nama Mahasiswa : Merlin Sikumbang Nomor Induk Mahasiswa : 097032077

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Administrasi Rumah Sakit

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Sitti Raha Agoes Salim, M.Sc) (

Ketua Anggota dr. Fauzi, S.K.M)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 28 Desember 2011 20 September 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Sitti Raha Agoes Salim, M.Sc Anggota : 1. dr. Fauzi, S.K.M

2. Prof. Dr. Ritha F. Dalimunthe, M.Si 3. Setiawan, S.Kp, M.N.S, Ph.D


(5)

PERNYATAAN

PENGARUH BUDAYA ORGANISASI DAN INSENTIF TERHADAP KINERJA PERAWAT PELAKSANA DI RUANG RAWAT INAP

PASIEN HIV/AIDS RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Januari 2012

Merlin Sikumbang 097032077/IKM


(6)

ABSTRAK

Jumlah pasien HIV/AIDS yang pulang atas permintaan sendiri tahun 2010 meningkat dibandingkan tahun 2009, yaitu dari 114 pasien menjadi 133 pasien. Hal ini diduga terkait dengan kinerja perawat pelaksana di RSUP HAM Medan dalam menangani pasien HIV/AIDS yang belum optimal.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh budaya organisasi dan insentif terhadap kinerja perawat pelaksana di Ruang Rawat Inap Pasien HIV/AIDS RSUP HAM Medan. Jenis penelitian survei explanatory. Populasi penelitian adalah seluruh perawat pelaksana di Ruang Rawat Inap Pasien HIV/AIDS Rindu A RSUP HAM Medan berjumlah 47 orang dan seluruhnya dijadikan sampel. Data diperoleh dengan wawancara langsung menggunakan kuesioner, dianalisis dengan regresi berganda pada α=0,05.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik variabel budaya organisasi dan insentif berpengaruh terhadap kinerja perawat pelaksana di ruang rawat inap pasien HIV/AIDS RSUP. Haji Adam Malik Medan. Variabel insentif memberikan pengaruh lebih besar terhadap kinerja perawat pelaksana di ruang rawat inap pasien HIV/AIDS RSUP. Haji Adam Malik Medan.

Disarankan kepada Manajemen RSUP. Haji Adam Malik Medan agar melakukan sosialisasi budaya organisasi kepada setiap perawat pelaksana, melakukan supervisi ke lapangan untuk mengawasi pelaksanaan budaya organisasi dalam pelayanan keperawatan serta mengupayakan pemberian insentif berdasarkan tingkat risiko infeksi ruangan, sesuai dengan hasil kerja, bentuk material serta waktu atau tanggal pemberian insentif tepat waktu sesuai dengan yang telah ditetapkan. Bidang Keperawatan RSUP. Haji Adam Malik Medan agar melatih semua perawat pada rawat inap pasien HIV/AIDS tentang pemakaian alat pelindung diri (APD) serta menjelaskan masing-masing kegunaan APD, memberikan pelatihan tentang perawatan pasien-pasien infeksi khususnya HIV/AIDS serta melakukan pemeriksaan kesehatan perawat secara berkala.


(7)

ABSTRACT

The number of HIV-AIDS patients who back is self demand in Haji Adam Malik General Hospital Center Medan in 2010 had an increase from in 2009 as many 114 patients to 133 patients. This allegedly related to the performance of the nurse in healing with HIV / AIDS patients inpatient room at Haji Adam Malik General Hospital Center Medan are low performance.

The purpose of this explanatory survey was to analyze the influence of organizational culture and incentive on the performance of the nurse in HIV / AIDS inpatient Room at Haji Adam Malik General Hospital Center Medan. The population of this study were all of nurses as 47 people and all of them were selected to be sample. The data for this study were obtained through interviews using questionnaire. The data obtained were analyzed through multiple regression test at α = 5%.

The result of this study showed that statistically organizational culture and incentive had significantly influence on the performance of the nurse in HIV/AIDS inpatient room at Haji Adam Malik General Hospital Center Medan. Variable of incentive was the greatest influence on the performance of the nurse in HIV/AIDS inpatient Room.

It is recommended that the management of Haji Adam Malik General Hospital Medan to socialization of organizational culture to every staff nurses and make supervision to room patient as controling nurse implementation of organizational culture and seek incentives based on risk infection room, skill level, ability, experience, and education level of every. The Nursing Division of Haji Adam Malik General Hospital Center Medan to training of all staff nurses about the protective equipment (APD), training about nursing of infecton patient HIV/AIDS and health checks periodically of staff nurses.

Key words: Organizational Culture, Incentives, Performance


(8)

KATA PENGANTAR

Segala Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat serta pertolonganNya yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul " Pengaruh Budaya Organisasi dan Insentif terhadap Kinerja Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap Pasien HIV/AIDS Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan ".

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Penulis, dalam menyusun tesis ini mendapat bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, yaitu Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K).

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si, Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, dan Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu


(9)

Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Dr. Sitti Raha Agoes Salim, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing dan dr. Fauzi, S.K.M, selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.

5. Prof. Dr. Ritha F. Dalimunthe, M.Si, dan Setiawan, S.Kp, M.N.S, Ph.D selaku penguji tesis yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.

6. Dr. Azwan Hakmi Lubis, Sp.A, M.Kes, Direktur RSUP. H.Adam Malik Medan yang telah berkenan memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan dan sekaligus memberikan izin belajar pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara serta izin melaksanakan penelitian di RSUP H. Adam Malik Medan.

7. Dr. Purnamawati, M.A.R.S, Kepala Bidang Pelayanan Medis RSUP. H.Adam Malik Medan yang telah memberikan masukan dan perhatian yang sebesar-besarnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

8. Dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.


(10)

9. Ayahanda H. Majid Sikumbang dan Ibunda Hj. Rusni Guci dengan segala dukungan dan semangat yang diberikan kepada penulis sehingga penulis selalu mendapat pendidikan terbaik.

9. Suami tercinta Agoes Soenarno, S.Sos dan anak-anak yang saya sayangi Clarissa Athaya Aglin dan Gisela Athaya Aglin yang telah memberikan segala perhatiannya yang begitu besar, penuh pengertian, kesabaran, pengorbanan dan do’a serta rasa cinta yang dalam, memotivasi dan memberikan dukungan moril agar bisa menyelesaikan tesis ini.

10. Rekan-rekan mahasiswa satu almamater di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat dan semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.

Medan, Januari 2012 Penulis

Merlin Sikumbang 097032077/IKM


(11)

RIWAYAT HIDUP

Merlin Sikumbang, lahir pada tanggal 29 Mei 1973 di Padangsidimpuan, anak keempat dari enam bersaudara dari pasangan Ayahanda H. Majid Sikumbang, dan Ibunda Hj. Rusni Guci.

Pendidikan formal penulis, dimulai dari pendidikan sekolah dasar di Sekolah Dasar Negeri IX Padangsidimpuan, selesai Tahun 1986, Sekolah Menengah Pertama di SMPN VI Padangsidimpuan, selesai Tahun 1989, Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri I Bukittinggi, selesai tahun 1992. Fakultas Kedokteran di FK UISU Medan, selesai Tahun 2002.

Mulai bekerja sebagai staf di IGD RSUP H. Adam Malik Medan, tahun 2003 sampai 2009, sebagai staf di Instalasi Rehabilitasi Medis RSUP H. Adam Malik Medan, tahun 2009 sampai 2010, sebagai Kepala Seksi Pelayanan Medis RSUP H. Adam Malik Medan, tahun 2010 sampai dengan sekarang.

Penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara sejak tahun 2009 hingga saat ini.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Hipotesis ... 9

1.5 Manfaat Penelitian ... 9

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1 Kinerja ... 11

2.1.1 Definisi Kinerja ... 11

2.1.2 Kinerja Keperawatan ... 12

2.1.3 Tujuan Penilaian Kinerja... 13

2.1.4 Unsur-unsur Penilaian Kinerja ... 14

2.1.5 Manfaat Penilaian Kinerja ... 15

2.1.6 Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja ... 16

2.2 Budaya Organisasi ... 17

2.2.1 Pengertian Budaya ... 17

2.2.2 Pengertian Organisasi... 17

2.2.3 Pengertian Budaya Organisasi ... 18

2.2.4 Karakteristik Budaya Organisasi... 24

2.2.5 Budaya Kuat, Budaya Lemah Serta Budaya Adaptif ... 27

2.2.6 Fungsi dan Manfaat Budaya Organisasi ... 28

2.2.7 Sumber-sumber Budaya Organisasi ... 29

2.2.8 Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja ... 30

2.3 Insentif ... 31

2.3.1 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemberian Insentif ... 32

2.4 Rumah Sakit ... 33

2.5 Perawat ... 35


(13)

2.5.2 Fungsi Perawat ... 37

2.6 HIV/AIDS ... 41

2.7.1 Pengertian HIV/AIDS ... 41

2.7.2 Situasi Epidemi HIV/AIDS ... 41

2.7 Landasan Teori ... 45

2.8 Kerangka Konsep Penelitian ... 46

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 47

3.1 Jenis Penelitian ... 47

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 47

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 47

3.2.2 Waktu Penelitian ... 47

3.3 Populasi dan Sampel ... 47

3.3.1 Populasi ... 47

3.3.2 Sampel ... 48

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 48

3.4.1 Data Primer ... 48

3.4.2 Data Sekunder ... 49

3.4.3 Validitas dan Reliabilitas ... 49

3.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 50

3.5.1 Variabel Bebas ... 50

3.5.2 Variabel Terikat ... 51

3.6 Metode Pengukuran ... 51

3.6.1 Metode Pengukuran Variabel Bebas ... 51

3.6.2 Metode Pengukuran Variabel Terikat ... 52

3.7 Metode Analisis Data ... 52

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 54

4.1 Gambaran Umum RSUP H.Adam Malik Medan ... 54

4.2 Identitas Responden ... 57

4.3 Analisa Univariat ... 59

4.3.1 Budaya Organisasi ... 59

4.3.2 Insentif ... 64

4.4 Kinerja ... 65

4.5 Analisis Multivariat ... 70

4.5.1 Pengaruh Budaya Organisasi dan Insentif terhadap Kinerja Perawat Pelaksana di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan ... 71


(14)

BAB 5. PEMBAHASAN ... 74

5.1 Pengaruh Budaya Organisasi Perawat Pelaksana terhadap Kinerja Pelaksana di Ruang Rawat Inap Pasien HIV/AIDS RSUP Haji Adam Malik Medan ... 74

5.2. Pengaruh Insentif terhadap Kinerja Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap Pasien HIV/AIDS RSUP Haji Adam Malik Medan .. 84

5.3 Pengaruh Budaya Organisasi dan Insentif terhadap Kinerja Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap Pasien HIV/AIDS RSUP Haji Adam Malik Medan ... 87

5.4 Keterbatasan Penelitian ... 88

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 90

6.1 Kesimpulan ... 90

6.2 Saran ... 90

DAFTAR PUSTAKA ... 92


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1.1 Jumlah Kunjungan Pasien HIV-AIDS di RSUP HAM Medan Tahun 2009-2010 ... 6 3.1 Pengukuran Variabel Bebas ... 51 3.2 Pengukuran Variabel Terikat ... 52 4.1 Distribusi Identitas Responden di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam

Malik Medan ... 58 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Proaktif di Rumah Sakit Umum Pusat

Haji Adam Malik Medan ... 59 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Inovasi dan Pengambilan Risiko di

Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan ... 61 4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Orientasi pada Hasil di Rumah Sakit

Umum Pusat Haji Adam Malik Medan ... 62 4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Kerjasama Tim di Rumah Sakit

Umum Pusat Haji Adam Malik Medan ... 63 4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Insentif di Rumah Sakit Umum Pusat

Haji Adam Malik Medan ... 65 4.7 Distribusi Responden Berdasarkan Pengkajian di Rumah Sakit Umum

Pusat Haji Adam Malik Medan ... 66 4.8 Distribusi Responden Berdasarkan Diagnosis di Rumah Sakit Umum

Pusat Haji Adam Malik Medan ... 67 4.9 Distribusi Responden Berdasarkan Rencana Tindakan di Rumah Sakit

Umum Pusat Haji Adam Malik Medan ... 68 4.10 Distribusi Responden Berdasarkan Pelaksanaan Tindakan Keperawatan

di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan ... 69 4.11 Distribusi Responden Berdasarkan Evaluasi Tindakan Keperawatan di

Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan ... 70 4.12 Uji Regresi Berganda Pengaruh Budaya Organisasi dan Insentif terhadap

Kinerja Perawat Pelaksana di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan ... 71 4.13 Uji Secara Serentak ... 73


(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Kuesioner Penelitian ... 97

2 Uji Validitas dan Reliabilitas ... 101

3 Uji Univariat dan Bivariat ... 107

4 Hasil Uji Regresi ... 121 6


(18)

ABSTRAK

Jumlah pasien HIV/AIDS yang pulang atas permintaan sendiri tahun 2010 meningkat dibandingkan tahun 2009, yaitu dari 114 pasien menjadi 133 pasien. Hal ini diduga terkait dengan kinerja perawat pelaksana di RSUP HAM Medan dalam menangani pasien HIV/AIDS yang belum optimal.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh budaya organisasi dan insentif terhadap kinerja perawat pelaksana di Ruang Rawat Inap Pasien HIV/AIDS RSUP HAM Medan. Jenis penelitian survei explanatory. Populasi penelitian adalah seluruh perawat pelaksana di Ruang Rawat Inap Pasien HIV/AIDS Rindu A RSUP HAM Medan berjumlah 47 orang dan seluruhnya dijadikan sampel. Data diperoleh dengan wawancara langsung menggunakan kuesioner, dianalisis dengan regresi berganda pada α=0,05.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik variabel budaya organisasi dan insentif berpengaruh terhadap kinerja perawat pelaksana di ruang rawat inap pasien HIV/AIDS RSUP. Haji Adam Malik Medan. Variabel insentif memberikan pengaruh lebih besar terhadap kinerja perawat pelaksana di ruang rawat inap pasien HIV/AIDS RSUP. Haji Adam Malik Medan.

Disarankan kepada Manajemen RSUP. Haji Adam Malik Medan agar melakukan sosialisasi budaya organisasi kepada setiap perawat pelaksana, melakukan supervisi ke lapangan untuk mengawasi pelaksanaan budaya organisasi dalam pelayanan keperawatan serta mengupayakan pemberian insentif berdasarkan tingkat risiko infeksi ruangan, sesuai dengan hasil kerja, bentuk material serta waktu atau tanggal pemberian insentif tepat waktu sesuai dengan yang telah ditetapkan. Bidang Keperawatan RSUP. Haji Adam Malik Medan agar melatih semua perawat pada rawat inap pasien HIV/AIDS tentang pemakaian alat pelindung diri (APD) serta menjelaskan masing-masing kegunaan APD, memberikan pelatihan tentang perawatan pasien-pasien infeksi khususnya HIV/AIDS serta melakukan pemeriksaan kesehatan perawat secara berkala.


(19)

ABSTRACT

The number of HIV-AIDS patients who back is self demand in Haji Adam Malik General Hospital Center Medan in 2010 had an increase from in 2009 as many 114 patients to 133 patients. This allegedly related to the performance of the nurse in healing with HIV / AIDS patients inpatient room at Haji Adam Malik General Hospital Center Medan are low performance.

The purpose of this explanatory survey was to analyze the influence of organizational culture and incentive on the performance of the nurse in HIV / AIDS inpatient Room at Haji Adam Malik General Hospital Center Medan. The population of this study were all of nurses as 47 people and all of them were selected to be sample. The data for this study were obtained through interviews using questionnaire. The data obtained were analyzed through multiple regression test at α = 5%.

The result of this study showed that statistically organizational culture and incentive had significantly influence on the performance of the nurse in HIV/AIDS inpatient room at Haji Adam Malik General Hospital Center Medan. Variable of incentive was the greatest influence on the performance of the nurse in HIV/AIDS inpatient Room.

It is recommended that the management of Haji Adam Malik General Hospital Medan to socialization of organizational culture to every staff nurses and make supervision to room patient as controling nurse implementation of organizational culture and seek incentives based on risk infection room, skill level, ability, experience, and education level of every. The Nursing Division of Haji Adam Malik General Hospital Center Medan to training of all staff nurses about the protective equipment (APD), training about nursing of infecton patient HIV/AIDS and health checks periodically of staff nurses.

Key words: Organizational Culture, Incentives, Performance


(20)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap organisasi baik organisasi perusahaan, organisasi sosial maupun organisasi pemerintah mempunyai tujuan yang dapat dicapai melalui pelaksanaan pekerjaan tertentu, dengan menggunakan seluruh sumber daya yang ada didalam organisasi tersebut, termasuk sumber daya manusia sebagai alat utama. Berhasil tidaknya suatu perusahaan tergantung pada kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam menjalankan aktivitasnya. Salah satu organisasi yang dimaksud adalah organisasi yang bergerak dalam bidang jasa pelayanan kesehatan, yaitu Rumah Sakit.

Perawat merupakan tenaga medis yang mempunyai kedudukan penting dalam menghasilkan kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit. Karena pelayanan yang diberikannya dilaksanakan selama 24 jam secara berkesinambungan sehinga menentukan kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit (Depkes RI, 2001).

Kinerja perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada praktek keperawatan yang langsung diberikan pada klien meliputi; pengkajian, diagnosis, rencana tindakan, pelaksanaan tindakan keperawatan dan evaluasi tindakan keperawatan, kemudian hasil pelaksananaan asuhan keperawatan ini didokumentasikan dalam dokumentasi asuhan keperawatan. Dokumentasi asuhan keperawatan merupakan suatu rangkaian sistem pencatatan dan pelaporan informasi tentang status kesehatan klien dan semua kegiatan asuhan


(21)

keperawatan yang dilakukan perawat kepada pasien dalam pelayanan asuhan keperawatan.

Perawat harus memiliki tanggung jawab, mempunyai pengetahuan tentang manajemen keperawatan dan keterampilan klinis sehingga mampu mengelola asuhan keperawatan kepada pasien agar menjadi berdaya guna dan berhasil guna. (Nurachmad, 2001). Dalam kondisi demikian maka terjadi interaksi yang kompleks, yaitu budaya kerja dan motivasi sejumlah individu dalam organisasi yang memengaruhi pencapaian kinerja dari organisasi tersebut.

Menurut Hofstede (1993); Gibson, et.al (1996); Robbins (2006); Ilyas (2001), bahwa budaya bepengaruh terhadap kinerja organisasi dan merupakan interaksi yang kompleks atas kinerja sejumlah individu dalam organisasi. Budaya organisasi menjadi sangat penting, karena merupakan kebiasaan-kebiasaan yang terjadi pada hierarki organisasi dan mewakili norma-norma perilaku yang diikuti oleh para anggota organisasi tersebut. Budaya yang produktif adalah budaya yang dapat menjadikan organisasi lebih kuat dan tujuan organisasi dapat terakomodasi melalui aktivitas sekelompok orang yang berperan aktif sebagai pelaku dalam pencapaian tujuan organisasi tersebut.

Tugas dan fungsi perawat di rumah sakit cukup luas dan kompleks, maka dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi yang menjadi tanggung jawab perawat tentu membutuhkan SDM yang profesional. Pentingnya aspek sumber daya manusia dalam organisasi menyebabkan kedudukan SDM mempunyai posisi yang paling tinggi. Menurut Heidjrachman (1996), kinerja adalah kesuksesan seseorang dalam


(22)

melaksanakan tugas dan tanggung jawab dalam bekerja. Sedangkan menurut Robbins (2006), kinerja merupakan ukuran hasil kerja yang menggambarkan sejauh mana aktivitas seseorang dalam melaksanakan tugas dan berusaha dalam mencapai tujuan yang ditetapkan oleh organisasi.

Perkembangan teknologi menuntut banyak perubahan maka organisasi merasa perlu untuk mengubah budaya pada organisasi guna menjamin kelangsungan hidupnya untuk memperoleh manfaat yang lebih kompetitif. Hal ini sering didorong oleh kenyataan bahwa budaya yang ada saat ini perlu disesuaikan dalam rangka memperbaiki keadaan masa datang seperti yang dibutuhkan organisasi. Kekuatan-kekuatan dalam lingkungan eksternal organisasi dapat mengisyaratkan kebutuhan perubahan budaya, misalnya timbulnya persaingan yang makin tajam dalam suatu lingkungan instansi yang menuntut perubahan budaya organisasi dalam rangka mengembangkan dirinya dan untuk kelangsungan hidup organisasi, sehingga organisasi mampu merespon keinginan masyarakat dengan lebih cepat. Di samping berasal dari lingkungan eksternal, kekuatan perubahan budaya juga bisa berasal dari dalam atau internal.

Suatu budaya organisasi berasal dari tiga sumber, yaitu : pendiri organisasi, pengalaman organisasi dan karyawan. Dengan demikian budaya organisasi dibentuk oleh pengaruh orang-orang yang mendirikan organisasi, lingkungan eksternal organisasi dan karyawan dari organisasi tersebut (Robbins, 2006).

Sumber daya manusia mempunyai berbagai macam kebutuhan yang ingin dipenuhinya. Keinginan untuk memenuhi kebutuhan inilah yang dipandang sebagai


(23)

pendorong atau penggerak bagi seseorang untuk melakukan sesuatu, termasuk melakukan pekerjaan atau bekerja. Manajemen rumah sakit harus bisa menciptakan suasana yang kondusif untuk mengetahui yang menjadi kebutuhan dan harapan karyawannya dengan cara memberikan dorongan atau motivasi melalui pemenuhan keinginan-keinginan karyawan seperti gaji atau upah, bekerja dengan nyaman, suasana kerja yang kondusif, dan penghargaan terhadap pekerjaan dengan mengupayakan pemberian insentif sesuai dengan jenjang karir dan kemampuannya serta bersifat progresif, karena insentif sangat diperlukan untuk memacu kinerja para karyawan dalam rangka mencapai tujuan organisasi.

Gibson et.al.(1996); Moorehead dan Griffin (2000); Assad (2002), menyatakan pemberian insentif sebagai sesuatu pemberian atau penghargaan yang diberikan oleh organisasi pada individu atau kelompok kerja yang menunjukkan kinerja yang baik diluar ketentuan pengupahan yang umum. Insentif lebih dikenal memiliki kaitan langsung dengan materi tetapi secara umum pemberian yang bersifat non material disebut sebagai reward.

Hasil penelitian Sinaga (2008) tentang pengaruh budaya organisasi dan reward terhadap kinerja karyawan pada PT. Soelong Laoet Medan, menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan budaya organisasi dan reward secara

simultan maupun parsial terhadap kinerja karyawan. Nilai koefisien determinasi (R Square) diperoleh sebesar 84,4%. Variabel yang dominan berpengaruh terhadap


(24)

yang berlaku di PT.Soeloeng Laoet Medan memiliki peranan yang sangat penting dalam meningkatkan kinerja karyawan.

Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan (RSUP HAM Medan), dalam aktivitasnya sehari-hari menyediakan beberapa fasilitas palayanan kesehatan. Adapun pelayanan kesehatan terdiri dari pelayanan medis (rawat inap dan rawat jalan), pelayanan penunjang medis maupun pelayanan penunjang non medis.

Berdasarkan data Bagian Informasi dan Data RSUP.HAM Medan tahun 2010, jumlah pasien HIV/AIDS yang pulang atas permintaan sendiri meningkat dibandingkan tahun 2009, yaitu dari 114 pasien menjadi 133 pasien. Salah satu indikator yang menunjukkan kinerja perawat dalam pelayanan keperawatan adalah persentase pasien yang pulang atas permintaan sendiri (Depkes RI, 2005).

Salah satu fungsi RSUP HAM Medan sebagai Rumah Sakit Pusat Rujukan adalah merawat pasien penderita HIV/AIDS. Kasus HIV/AIDS di Indonesia menurut Departemen Kesehatan RI, tahun 2009 berjumlah 22.664 orang (6.554 kasus

HIV dan 16.110 kasus AIDS). Provinsi Sumatera Utara menduduki peringkat 8 setelah Provinsi Jawa Tengah. Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara,

kasus HIV/AIDS tahun 2009, berjumlah 1.419 orang (783 kasus HIV dan 636 kasus AIDS). Kasus tertinggi, yaitu sebesar 1.040 orang (621 kasus HIV dan 422 kasus AIDS) ada di Kota Medan dan kedua adalah sebesar 102 kasus di Kabupaten Deli Serdang. Kasus penularan yang terbesar adalah melalui hubungan seksual berisiko, yaitu sebanyak 656 kasus dan penggunaan jarum suntik tidak steril terutama pada pengguna napza suntikan, yaitu sebanyak 569 kasus. Kebanyakan pasien HIV dan


(25)

AIDS ini dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan (Profil RSUP HAM Medan, 2010).

Jumlah kunjungan pasien HIV dan AIDS tahun 2009-2010 menurut data rekam medik RSUP HAM Medan, terus mengalami peningkatan, adapun jumlah kunjungan pasien HIV-AIDS di RSUP HAM Medan seperti ditunjukkan pada Tabel 1.1

Tabel 1.1 Jumlah Kunjungan Pasien HIV-AIDS di RSUP HAM Medan Tahun 2009-2010

No Tahun Pasien Masuk

Keterangan

Hidup Meninggal Pulang atas Permintaan Sendiri

1 2009 411 207 90 114

2 2010 552 309 110 133

Sumber : Data Bagian Rekam Medis RSUP.HAM Medan, 2011

Data di atas menunjukkan kunjungan pasien HIV-AIDS di RSUP HAM medan pertahunnya berfluktuasi naik dan pasien HIV-AIDS yang pulang atas permintaan sendiri juga mengalami peningkatan, baik pada tahun 2009 maupun pada tahun 2010. Meningkatnya jumlah pasien pulang atas permintaan sendiri merupakan salah satu gambaran rendahnya kinerja petugas medis dan non medis di RSUP HAM Medan.

RSUP HAM Medan telah berusaha memberikan pelayanan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, namun kenyataan dilapangan masih banyak dijumpai kendala-kendala dalam pelayanan pasien HIV-AIDS, seperti keterbatasan tenaga medis. Tenaga medis saat ini ada 6 (enam) orang, yaitu tenaga dokter spesialis dan


(26)

yang sudah pernah mengikuti pelatihan khusus hanya 3 tiga (orang) sebanyak satu kali. RSUP HAM Medan menugaskan 101 orang tenaga perawat setiap bulannya, dan semua perawat mempunyai kesempatan yang sama untuk memberikan pelayanan langsung kepada pasien HIV-AIDS, sementara jumlah perawat yang sudah mendapatkan pelatihan khusus baru 2 orang (Bidang Keperawatan RSUP H.Adam Malik, 2011).

Hasil wawancara yang dilakukan pada bulan Maret 2011 dengan beberapa orang perawat untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi dalam pelayanan keperawatan di unit pelayanan pasien HIV/AIDS, diperoleh informasi bahwa diantara perawat pelaksana ada yang enggan memberikan pelayanan asuhan keperawatan kepada pasien HIV-AIDS dengan alasan takut tertular, dikarenakan minimnya pengetahuan, keterampilan dan persediaan Alat Pelindung Diri (APD) seperti masker, kaca mata, sepatu boot, celemek plastik dan baju yang jumlahnya terbatas dalam menangani kasus pasien HIV-AIDS di rumah sakit.

Informasi tambahan diperoleh dari bagian Hukum organisasi dan Humas (Hukormas) RSUP HAM Medan, tentang berbagai keluhan pasien melalui surat yang masuk ke kotak saran. Dari surat yang masuk ke kotak saran diambil secara acak sebanyak 30 surat yang berisi dengan berbagai keluhan pasien tentang pelayanan keperawatan dimana sebanyak 81,7% pasien menyatakan perawat tidak ramah, tidak empati, pelayanan perawat lambat dan kurang sesuai dengan pedoman asuhan keperawatan (Bagian Hukormas RSUP HAM Medan, 2011).

Berdasarkan permasalahan yang dihadapi dalam pelayanan keperawatan di unit pelayanan pasien HIV/AIDS serta informasi dari Bagian Hukormas RSUP HAM


(27)

Medan, menunjukkan budaya organisasi yang mendukung tercapainya visi dan misi rumah sakit: proactivity (proaktif), excellence (unggul), team work (kerjasama tim), innovation (inovasi), dan responsibility (bertanggung jawab), belum dapat diwujudkan dalam konteks pelayanan keperawatan, khususnya dalam penanganan pasien penderita HIV/AIDS.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Bidang Keperawatan RSUP HAM Medan yang dilakukan pada bulan Maret 2011, diketahui berbagai upaya telah dilakukan manajemen untuk meningkatkan kinerja perawat, seperti memberikan insentif secara berkala kepada perawat, memberikan kesempatan kepada perawat untuk melanjutkan pendidikan secara bergantian, dan melatih perawat secara bergantian dalam menangani pasien HIV-AIDS, namun kinerja perawat masih rendah yang ditunjukkan dari tingginya pasien HIV-AIDS yang pulang atas permintaan sendiri (Bidang Keperawatan RSUP H.Adam Malik, 2011).

Memerhatikan uraian secara teoritis serta didukung beberapa penelitian terdahulu yang telah disebutkan di atas, dan permasalahan yang ditemui pada RSUP HAM Medan saat ini, maka peneliti tertarik untuk meneliti ”Pengaruh Budaya Organisasi dan Insentif terhadap Kinerja Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap Pasien HIV/AIDS Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan”.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah: bagaimana pengaruh budaya organisasi (inovasi dan pengambilan risiko, orientasi pada hasil, proaktif, kerjasama tim) dan Insentif


(28)

(kriteria, sistem dan bentuk pemberian insentif) terhadap kinerja perawat pelaksana di Ruang Rawat Inap Pasien HIV/AIDS RSUP HAM Medan?.

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk menganalisis pengaruh budaya organisasi (inovasi dan pengambilan risiko, orientasi pada hasil, proaktif, kerjasama tim) dan insentif (kriteria, sistem dan bentuk pemberian insentif) terhadap kinerja perawat pelaksana di Ruang Rawat Inap Pasien HIV/AIDS RSUP HAM Medan.

1.4 Hipotesis

Budaya organisasi (inovasi dan pengambilan risiko, orientasi pada hasil, proaktif, kerjasama tim) dan insentif (kriteria, sistem dan bentuk pemberian insentif) berpengaruh terhadap kinerja perawat pelaksana di Ruang Rawat Inap Pasien HIV/AIDS RSUP HAM Medan.

1.5 Manfaat Penelitian

1) Penelitian ini sebagai bahan masukan bagi manajemen Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan dalam pengambilan kebijakan tentang kinerja perawat, khususnya dalam penanganan pasien HIV/AIDS.

2) Penelitian ini sebagai bahan masukan bagi perawat di rumah sakit dalam upaya meningkatkan kinerjanya.


(29)

3) Penelitian ini menambah khasanah ilmu pengetahuan yang terkait dengan Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) di rumah sakit, khususnya tentang budaya organisasi dan insentif.


(30)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kinerja

2.1.1 Definisi Kinerja

Pencapaian kinerja yang optimal sesuai dengan potensi yang dimiliki seorang karyawan merupakan hal yang selalu menjadi perhatian para pemimpin organisasi. Menurut Robbins (2006), kinerja merupakan ukuran hasil kerja yang mana hal ini menggambarkan sejauh mana aktivitas seseorang dalam melaksanakan tugas dan berusaha dalam mencapai tujuan yang ditetapkan.

Menurut Triffin dan MacCormick (1979), kinerja individu berhubungan dengan individual variable dan situational variable. Perbedaan individu akan menghasilkan kinerja yang berbeda pula. Individual variable adalah variabel yang berasal dari dalam diri individu yang bersangkutan, misalnya kemampuan, kepentingan, dan kebutuhan-kebutuhan tertentu. Sedangkan situational variable adalah variabel yang bersumber dari situasi pekerjaan yang lebih luas (lingkungan organisasi), misalnya pelaksanaan supervisi, karakteristik pekerjaan, hubungan dengan teman sekerja dan pemberian imbalan.

Menurut Mangkunegara (2002), adalah hasil kerja secara kuantitas dan kualitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Baik tidaknya karyawan dalam menjalankan tugas yang diberikan perusahaan dapat diketahui dengan melakukan


(31)

penilaian terhadap kinerja karyawannya. Penilaian kinerja merupakan alat yang sangat berpengaruh untuk mengevaluasi kerja karyawan bahkan dapat memotivasi dan mengembangkan karyawan.

2.1.2 Kinerja Keperawatan

Kinerja profesi keperawatan dinilai tidak hanya berdasarkan konsep keilmuan yang dimiliki tetapi juga berdasarkan pelayanan yang diberikan kepada pasien. Untuk memberikan pelayanan yang prima seorang perawat tidak hanya membutuhkan keahlian medis tetapi harus memiliki empati dan tingkat emosionalitas yang baik (PPNI, 2002).

Pengembangan bidang keperawatan sebagai suatu profesi, diperlukan penetapan standar praktik keperawatan. Standar praktik sangat penting untuk menjadi pedoman objektif di dalam menilai asuhan keperawatan. Apabila sudah ada standar, klien akan yakin bahwa ia mendapatkan asuhan yang bermutu tinggi. Standar praktik juga sangat penting jika terjadi kesalahan yang terkait dengan hukum (Sitorus, 2006).

Penetapan standar ini juga bertujuan untuk mempertahankan mutu pemberian asuhan keperawatan yang tinggi. Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) sudah menetapkan standar praktek keperawatan yang dikembangkan berdasarkan standar praktik keperawatan yang dikeluarkan oleh American Nursing Association/ANA (PPNI, 2002). Standar praktik keperawatan adalah :

Standar I : Perawat mengumpulkan data tentang kesehatan klien. Standar II : Perawat menetapkan diagnosa keperawatan.


(32)

Standar IV : Perawat mengembangkan rencana asuhan keperawatan yang berisi rencana tindakan untuk mencapai hasil yang diharapkan.

Standar V : Perawat mengimplementasikan tindakan yang sudah ditetapkan dalam rencana asuhan keperawatan.

Standar VI : Perawat mengevaluasi perkembangan klien dalam mencapai hasil akhir yang sudah ditetapkan.

Standar pelayanan keperawatan yang disebutkan di atas merupakan standar umum yang dilakukan oleh seluruh perawat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai perawat.

2.1.3 Tujuan Penilaian Kinerja

Menurut Simamora (2004), penilaian kinerja (performance appraisal) adalah prosesnya organisasi mengevaluasi pelaksanaan kerja individu. Penilaian kinerja memberikan mekanisme penting bagi manajemen untuk digunakan dalam menjelaskan tujuan-tujuan dan standar kinerja individu di waktu berikutnya.

Menurut Simamora (2004), menyatakan tujuan penilaian kinerja digolongkan kedalam tujuan evaluasi dan tujuan pengembangan.

a. Tujuan Evaluasi.

Melalui pendekatan evaluatif, dilakukan penilaian kinerja masa lalu seorang karyawan. Evaluasi yang digunakan untuk menilai kinerja adalah rating deskriptif. Hasil evaluasi digunakan sebagai data dalam mengambil keputusan-keputusan mengenai promosi dan kompensasi sebagai penghargaan atas peningkatan kinerja karyawan.


(33)

b. Tujuan Pengembangan.

Pendekatan pengembangan diharapkan dapat meningkatkan kinerja karyawan di masa yang akan datang. Aspek pengembangan dari penilaian kinerja mendorong perbaikan karyawan dalam menjalankan pekerjaannya.

2.1.4 Unsur-unsur Penilaian Kinerja

Unsur-unsur kinerja atau prestasi kerja para karyawan akan dinilai oleh setiap perusahaan tidak selalu sama, namun pada dasarnya unsur-unsur yang dinilai tersebut mencakup hal-hal sebagai berikut (Simamora, 2004):

a. Efisiensi Kinerja

Efisiensi kinerja adalah karyawan selalu berusaha menampilkan hasil kerja yang lengkap dan tidak melakukan kesalahan.

b. Efektivitas Kinerja

Efektivitas kinerja adalah melakukan sesuatu dengan tepat atau kemampuan untuk menentukan tujuan yang tepat.

c. Tanggung Jawab

Tanggung jawab adalah kemampuan karyawan untuk menyelesaikan tugas tepat waktu sesuai dengan ketentuan perusahaan, karyawan bersedia bekerja lembur jika pekerjaan yang ditugaskannya belum selesai, karyawan berusaha mempelajari hal-hal baru yang belum diketahuinya yang menyangkut pekerjaan, karyawan selalu mencari jalan keluar atas masalah pekerjaan yang dihadapinya dan karyawan selalu meneliti hasil pekerjaannya.


(34)

d. Kerjasama

Kerjasama karyawan adalah suatu kondisi dimana setiap karyawan saling bertukar pikiran dan saling membantu dalam menyelesaikan pekerjaannya.

e. Loyalitas.

Loyalitas karyawan adalah kesetiaan karyawan terhadap perusahaan. Setiap karyawan merasa memiliki perusahaan (sense of belonging) yang tinggi sehingga karyawan akan selalu setia bekerja.

f. Komunikasi

Komunikasi karyawan adalah komunikasi karyawan dengan atasan dan sesama rekan kerja.

g. Suasana Kerja

Suasana kerja karyawan adalah keadaan tempat bekerja karyawan yang mendukung untuk membantu menyelesaikan setiap pekerjaannya.

h. Disiplin

Disiplin adalah kepatuhan karyawan akan aturan yang ditentukan oleh perusahaan, disiplin akan waktu bekerja dan frekuensi kehadiran.

2.1.5 Manfaat Penilaian Kinerja

Ada lima manfaat penilaian kinerja yang dikemukakan oleh Mulyadi (1997), yaitu:

1. Mengelola operasi organisasi secara efektif dan efisien melalui pemotivasian karyawan secara maksimum.


(35)

2. Membantu pengambilan keputusan yang bersangkutan dengan karyawan, sepcrti promosi, transfer dan pemberhentian.

3. Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan karyawan dan menyediakan kriteria seleksi dan evaluasi program pelatihan karyawan.

4. Menyediakan umpan balik bagi karyawan mengenai bagaimana atasan mereka menilai kinerja mereka.

5. Menyediakan suatu dasar distribusi penghargaan

2.1.6 Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja

Mangkunegara (2002) mengemukakan bahwa faktor yang memengaruhi kinerja adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation).

a. Faktor Kemampuan (ability).

Karyawan yang memiliki pengetahuan yang memadai untuk jabatannya dan terampil dalam mengerjakan pekerjaannya sehari hari, maka ia lebih mudah untuk mencapai kinerja yang diharapkan.

b. Faktor Motivasi (motivation).

Motivasi terbentuk dari sikap karyawan dalam menghadapi situasi kerja. Motivasi merupakan kondisi yang terarah untuk mencapai tujuan kerja atau organisasi.

Kinerja profesi keperawatan dinilai tidak hanya berdasarkan konsep keilmuan yang dimiliki tetapi juga berdasarkan pelayanan yang diberikan kepada pasien. Untuk memberikan pelayanan yang prima seorang perawat tidak hanya membutuhkan keahlian medis belaka tetapi ia harus memiliki empati dan tingkat emosionalitas yang baik. Kinerja perawat melalui asuhan keperawatan yang langsung di berikan pada


(36)

klien pada bagian tatanan pelayanan kesehatan terdiri dari 5 (lima) komponen, yaitu melakukan pengkajian, merumuskan diagnosa, menyusun perencanaan, implementasi, dan evaluasi hasil-hasil tindakan klien. Kinerja perawat yang diukur melalui asuhan keperawatan ini merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja perawat di Rumah sakit dirangkum dalam bentuk dokumentasi asuhan keperawatan.

2.2 Budaya Organisasi 2.2.1 Pengertian Budaya

Budaya (culture) berasal dari perkataan lain colere yang artinya mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan, terutama mengolah atau bertani. Atau bisa juga diartikan sebagai segala daya dan aktivitas untuk mengolah dan mengubah alam. Budaya merupakan nilai-nilai dan kebiasaan yang diterima sebagai acuan bersama yang diakui dan dihormati. Budaya telah menjadi konsep penting dalam memahami masyarakat dan kelompok manusia untuk waktu yang lama.

2.2.2 Pengertian Organisasi

Menurut Etzioni dalam Tjandra (2005), organisasi merupakan suatu bentuk kerjasama kelompok manusia atau orang di bidang tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Schmerhorn dalam Tika (2006), organisasi adalah kumpulan orang

yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Menurut Chester J. Bernard dalam Tika (2006), organisasi adalah kerjasama dua orang atau lebih,

suatu sistem dari aktivitas-aktivitas dan kekuatan-kekuatan perorangan yang dikoordinasikan secara sadar.


(37)

Organisasi memiliki ciri-ciri adanya pembagian kerja, kekuasaan dan tanggung jawab berkomunikasi, pembagian yang direncanakan untuk mempertinggi realisasi tujuan khusus, adanya satu atau lebih pusat kekuasaan yang mengawasi penyelenggaraan usaha-usaha bersama dalam organisasi dan pengawasan, serta memiliki pengaturan personil dalam mengatur anggotanya dalam melaksanakan tugas organisasi. Sedangkan menurut Hendri L. Sisk dalam Cahyani (2004) menyatakan organisasi sebagai suatu kelompok orang yang terlibat bersama-sama dalam hubungan yang resmi untuk mencapai suatu tujuan.

Organisasi memiliki ciri-ciri adanya pembagian kerja kekuasaan dan tanggung jawab berkomunikasi, pembagian yang direncanakan untuk mempertinggi realisasi tujuan khusus, adanya satu atau lebih pusat kekuasaan yang mengawasi penyelenggaraan usaha-usaha bersama dalam organisasi dan pengawasan, serta memiliki pengaturan personil dalam mengatur anggotanya dalam melaksanakan tugas organisasi. Organisasi sesungguhnya merupakan suatu koneksitas manusia yang bersifat resmi, ditandai oleh aktivitas kerjasama, terintegrasi dalam lingkungan yang lebih luas, memberikan pelayanan dan produksi tertentu dan tanggung jawab kepada hubungan dengan lingkungannya.

2.2.3 Pengertian Budaya Organisasi

Budaya organisasi adalah norma-norma dan kebiasaan yang diterima sebagai suatu kebenaran oleh semua orang dalam organisasi. Budaya organisasi menjadi acuan bersama di antara manusia dalam berinteraksi dalam organisasi. Jika orang


(38)

bergabung dalam sebuah organisasi, mereka membawa nilai-nilai dan kepercayaan yang telah diajarkan kepada mereka.

Menurut Peter F. Drucker dalam Tika (2006), budaya organisasi adalah pokok penyelesaian masalah-masalah eksternal dan internal yang pelaksanaannya dilaksanakan secara konsisten oleh suatu kelompok yang kemudian diwariskan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang tepat untuk memahami, memikirkan dan merasakan terhadap masalah-masalah terkait seperti di atas.

Menurut Schein dan Amstrong dalam Heidjrachman (1996) menyatakan bahwa budaya perusahaan sebagai pola asumsi dasar yang ditemukan oleh kelompok tertentu, ditemukan atau dikembangkan untuk mempelajari cara mengatasi masalah-masalah adaptasi dari luar dan cara berintegrasi, yang telah berfungsi dengan baik atau dianggap berlaku, dan karena itu harus diajarkan kepada para anggota baru sebagai yang benar untuk mengundang, memikirkan, dan merumuskan masalah-masalah ini.

Robbins (2006) menyatakan bahwa budaya organisasi (organization culture) sebagai suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi lain. Sebuah sistem pemaknaan bersama dibentuk oleh warganya yang sekaligus menjadi pembeda dengan organisasi lain. Sistem pemaknaan bersama merupakan seperangkat karakter kunci dari nilai-nilai organisasi (a system of shared Meaning held by members that distinguishes the organization from other organization. This system of shared meaning is, oncloser examination, a set of key characteristics that the orgnization value).


(39)

Budaya organisasi adalah norma-norma dan kebiasaan yang diterima sebagai suatu kebenaran oleh semua orang dalam organisasi. Budaya organisasi menjadi acuan bersama diantara manusia dalam melakukan interaksi dan organisasi. Menurut Susanto (2007) yang menyatakan bahwa budaya organisasi adalah sebagai nilai-nilai yang menjadi pedoman sumber daya manusia untuk menghadapi permasalahan eksternal dan usaha penyesuaian integrasi ke dalam perusahaan sehingga masing-masing anggota organisasi harus memahami nilai-nilai yang ada dan bagaimana mereka harus bertindak dan berperilaku.

Hofstede (1993) menyatakan bahwa budaya organisasi sebagai konstruksi dari dua tingkat karakteristik, yaitu karakteristik organisasi yang kelihatan (observable) dan yang tidak kelihatan (unobservable). Pada level observable, budaya organisasi mencakup beberapa aspek organisasi seperti arsitektur, seragam, pola perilaku, peraturan, bahasa, dan seremoni yang dilakukan perusahaan. Pada level (unobsorvable), budaya organisasi mencakup shared value, norma-norma, kepercayaan, asumsi-asumsi para anggota organisasi untuk mengelola masalah dan keadaan-keadaan sekitarnya. Perusahaan yang berorientasi pada kepentingan pasar memerlukan budaya dukungan (support culture) dan budaya prestasi (achievement culture) sebagai cara meningkatkan motivasi dan komitmen karyawan. Budaya organisasi yang efektif adalah budaya organisasi yang mengakar kuat dan dalam. Perusahaan yang berbudaya demikian, hampir semua individunya menganut nilai-nilai yang seragam dan konsisten.


(40)

Setiap organisasi atau bahkan setiap bagian dalam suatu organisasi menunjukkan simbol dan ritual yang berbeda karena di dalamnya terdiri dari berbagai individu dengan latar belakang dan pengalaman yang beragam. Hofstede (1993) menyatakan bahwa ada 6 (enam) dimensi budaya organisasi yang dapat ditemukan pada berbagai organisasi, yaitu:

a. Process-oriented versus results-oriented

Organisasi dengan budaya berorientasi pada proses ditandai dengan karyawan yang bekerja di dalamnya cenderung memperhatikan pada proses kegiatan dan bukan pada pencapaian hasil, menghindari risiko, tidak berusaha dengan keras, dan berpendapat bahwa setiap hari esok yang akan dialaminya bermakna sama dengan hari-hari sebelumnya tanpa perubahan tantangan. Sebaliknya pada budaya organisasi yang berorientasi pada hasil, karyawan cenderung memusatkan perhatiannya pada pencapaian hasil terlepas dari proses atau kegiatan yang dilakukannya, merasa nyaman dengan situasi yang berbeda atau menantang, selalu berusaha secara maksimal, dan menganggap bahwa datangnya hari esok akan membawa tantangan tersendiri yang berbeda dengan hari-hari atau waktu sebelumnya. Dengan konteks yang demikian ini, budaya organisasi dengan orientasi-orientasi pada hasil merupakan strong culture atau budaya yang positif.

b. Employee-oriented versus job-oriented

Dalam organisasi yang berorientasi pada employee, karyawan merasa bahwa masalah-masalah personel mereka pada dasarnya adalah masalah organisasi juga, pimpinan harus bertanggung jawab dalam mengatasi masalah kesejahteraan individu


(41)

dan keluarganya, sementara dalam pengambilan keputusan organisasi cenderung melibatkan banyak pihak atau komunal. Sebaliknya dalam organisasi yang berorientasi pada job, karyawan merasakan adanya tekanan yang kuat untuk menyelesaikan semua pekerjaan, sementara proses pengambilan keputusan dilakukan secara invidual.

c. Parochial versus professional

Pengenalan terhadap organisasi yang berbudaya parochial dapat ditentukan melalui perasaan karyawan dalam hal ikut memiliki organisasi (employee’s belonging to the organization). Sementara dalam organisasi berbudaya profesional, faktor profesionalisme karyawan merupakan penentu utama sebagai identitas organisasi. d. Open system versus closed system

Karyawan dalam organisasi dengan sistem terbuka merasa bahwa organisasi dan semua karyawannya bersikap terbuka dan mau menerima terhadap hadirnya pendatang/pegawai baru dan pihak-pihak eksternal lainnya, semua pihak merasa ada kesesuaian dengan nilai-nilai organisasi, serta karyawan baru tidak memerlukan waktu yang lama untuk menyesuaikan diri dengan organisasi. Dalam organisasi dengan budaya sistem tertutup, interaksi antara karyawan cenderung tertutup dan rahasia, hanya orang-orang atau pihak tertentu yang merasa cocok atau sesuai dengan nilai-nilai organisasi, sementara bagi karyawan baru membutuhkan waktu yang lama untuk menyesuaikan diri dengan keadaan organisasi.


(42)

e. Tight control versus loose control

Pengendalian yang ketat ditunjukkan dengan adanya kesadaran setiap individu terhadap pentingnya makna efisiensi (cost-conscious), cenderung tepat waktu dalam pekerjaan dan penyelesaiannya dan karyawan bersikap serius tentang organisasi dan pekerjaannya. Adapun dalam organisasi yang berbudaya pengendalian longgar menunjukkan tidak adanya pihak yang menyadari makna pentingnya tentang biaya (cost), bekerja tidak sesuai dengan jadwal penyelesaian, dan banyak menggelar jokes tentang organisasi dan pekerjaannya.

f. Pragmatic versus normative emphasis towards clients

Organisasi dengan budaya pragmatis memiliki ciri khusus, yaitu terdapat penekanan utama pada pemenuhan kebutuhan pelanggan di mana hasil yang dicapai merupakan pertimbangan yang lebih penting daripada sekedar suatu pelaksanaan prosedur yang benar. Organisasi seperti ini juga bersifat fleksibel dalam menyikapi etika dalam bisnis. Sebaliknya organisasi dengan budaya normatif di dalamnya terdapat upaya keras untuk mematuhi prosedur dengan benar dan menganggapnya lebih penting daripada pencapaian hasil, sementara terhadap etika organisasi memiliki standar tinggi yang dipakai sebagai acuan.

Dimensi keenam dalam budaya organisasi ini utamanya berkaitan dengan topik terkini dalam bisnis, yaitu tentang orientasi perusahaan pada pelanggan. Perusahaan yang berbeda pada tekanan kompetensi yang ketat cenderung berbudaya pragmatis, sebaliknya organisasi yang bersifat monopolistis di mana tidak terdapat persaingan dalam bisnis cenderung bersifat normatif.


(43)

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, budaya organisasi dapat dikatakan sebagai aturan main yang ada di dalam perusahaan yang akan menjadi pegangan dari sumber daya manusia dalam menjalankan kewajibannya dan nilai-nilai untuk berperilaku dalam organisasi. Nilai-nilai tersebut tercermin dalam perilaku dan sikap mereka sehari-hari selama mereka berada dalam organisasi tersebut dan sewaktu mewakili organisasi berhadapan dengan pihak luar. Dengan kata lain, budaya organisasi mencerminkan cara karyawan melakukan sesuatu (membuat keputusan, melayani orang, dan sebagainya).

2.2.4 Karakteristik Budaya Organisasi

Robbins (2006) menyatakan ada 10 karakteristik yang apabila dicampur dan dicocokkan, dengan budaya organisasi. Kesepuluh karakteristik budaya organisasi tersebut sebagai berikut:

1. Inisiatif Individual

Inisiatif individual adalah merupakan tanggung jawab, kebebasan atau independensi yang dipunyai setiap individu dalam mengemukakan pendapat. Inisiatif individu tersebut perlu dihargai oleh kelompok atau pimpinan suatu organisasi sepanjang menyangkut ide untuk memajukan dan mengembangkan organisasi/perusahaan.

2. Toleransi terhadap Tindakan Berisiko

Dalam budaya organisasi perlu ditekankan, sejauh mana para pegawai dianjurkan untuk dapat bertindak agresif, inovasi dan pengambilan risiko. Suatu budaya organisasi dikatakan baik, apabila dapat memberikan toleransi kepada


(44)

anggota para pegawai untuk dapat bertindak agresif dan inovasi untuk memajukan organisasi/perusahaan serta berani mengambil risiko terhadap apa yang dilakukannya. 3. Pengarahan

Pengarahan dimaksudkan sejauh mana suatu organisasi/perusahaan dapat menciptakan dengan jelas sasaran perusahaan dan harapan yang diinginkan. Sasaran dan harapan tersebut jelas tercantum dalam visi, misi, dan tujuan organisasi. Kondisi dapat berpengaruh terhadap kinerja organisasi/perusahaan.

4. Integrasi

Integrasi dimaksudkan bahwa suatu organisasi/perusahaan dapat mendorong unit organisasi untuk bekerja dengan cara yang terkoordinasi. Kekompakan unit-unit organisasi dalam bekerja dengan cara yang terkoordinasi. Kekompakan unit-unit-unit-unit organisasi dalam bekerja dapat mendorong kualitas dan kuantitas pekerjaan yang dihasilkan.

5. Dukungan Manajemen

Dukungan manajemen dimaksudkan para manajer dapat memberikan komunikasi atau arahan, bantuan serta dukungan yang jelas terhadap bawahan (karyawan). Dukungan manajemen ini sangat membantu kelancaran kinerja suatu organisasi/ perusahaan.

6. Kontrol

Alat kontrol yang dapat dipakai adalah peraturan-peraturan atau norma-norma yang berlaku dalam suatu organisasi atau perusahaan. Untuk itu diperlukan sejumlah


(45)

peraturan dan tenaga pengawas (atasan langsung) yang dapat digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku pegawai/karyawan dalam suatu organisasi. 7. Identitas

Identitas dimaksudkan bahwa para anggota/karyawan suatu organisasi/ perusahaan dapat mengidentifikasikan dirinya sebagai satu kesatuan dalam perusahaan dan bukan sebagai kelompok kerja tertentu atau keahlian profesional tertentu. Identitas diri sebagai satu kesatuan dalam perusahaan sangat membantu manajemen dalam mencapai tujuan dan sasaran organisasi/perusahaan.

8. Sistem Imbalan

Sistem Imbalan dimaksudkan alokasi imbalan (seperti kenaikan gaji, promosi, dan sebagainya) didasarkan atas prestasi kerja pegawai, bukan sebaliknya didasarkan senioritas, sikap pilih kasih, dan sebagainya. Sistem imbalan yang didasarkan atas prestasi kerja pegawai dapat mendorong pegawai/karyawan suatu organisasi/perusahaan untuk bertindak dan berperilaku inovasi dan mencari prestasi kerja yang maksimal sesuai kemampuan dan keahlian yang dimilikinya.

Sistem imbalan yang didasarkan atas senioritas dan pilih kasih, akan berakibat tenaga kerja yang punya kemampuan dan keahlian dapat berlaku pasif dan frustasi. Kondisi semacam ini dapat berakibat kinerja organisasi/perusahaan menjadi terhambat.

9. Toleransi terhadap Konflik

Para pegawai atau karyawan didorong untuk mengemukakan konflik melalui kritik secara terbuka. Perbedaan pendapat merupakan fenomena yang sering


(46)

terjadi dalam suatu organisasi/perusahaan. Namun, perbedaan pendapat atau kritik yang terjadi bisa dijadikan sebagai media untuk melakukan perbaikan atau perubahan strategi untuk mencapai tujuan suatu organisasi/perusahaan.

10. Pola Komunikasi

Komunikasi dibatasi oleh hierarki kewenangan yang formal. Kadang-kadang hierarki kewenangan dapat menghambat terjadinya pola komunikasi antara atasan dan bawahan atau antar karyawan itu sendiri.

2.2.5 Budaya Kuat, Budaya Lemah serta Budaya Adaptif

Budaya menyampaikan kepada karyawan bagaimana pekerjaan dilakukan dan apa-apa saja yang bernilai penting. Bergantung pada kekuatannya, budaya dapat mempunyai pengaruh yang bermakna pada sikap dan perilaku anggota-anggota organisasi. Suatu budaya yang kuat ditandai oleh nilai-nilai inti organisasi yang dipegang kukuh dan disepakati secara luas. Pada budaya yang kuat para anggota memegang tata nilai inti organisasi (core values) secara intensif dan dianut bersama secara meluas (Robbins, 2006). Menurut Sathe seperti dikutip Ndraha (2003), budaya yang ideal adalah budaya kuat, di mana kekuatan budaya mampu memengaruhi intensitas perilaku.

Organisasi dengan budaya kuat memiliki serangkaian nilai dan norma yang kohesif dan mengikat anggota organisasi dan mendorong munculnya komitmen dari anggotanya untuk mencapai tujuan organisasi. Organisasi tersebut mengadopsi praktek-praktek ketenagakerjaan yang menunjukkan komitmen pada para anggotanya (Ratmawati dan Herachwati, 2006). Menurut Kuczmarski dan Kuczmarski seperti


(47)

dikutip Hanafi (2006), budaya yang kuat dan kohesif adalah budaya yang menegaskan nilai-nilai dan norma imperatif untuk diwujudkan dalam tindakan nyata sehari-hari. Nilai-nilai dan norma imperatif dikomunikasikan dan disepakati menjadi pedoman perilaku yang diharapkan bersama. Semakin banyak anggota organisasi yang menerima nilai inti dan semakin besar komitmen mereka terhadap nilai-nilai tersebut, semakin kuat suatu budaya. Suatu budaya yang kuat memiliki pengaruh yang besar terhadap sikap anggota organisasi dibandingkan dengan budaya yang lemah (Robbins, 2006). Sebaliknya, budaya perusahaan dipandang lemah bila sangat terfragmentasi dan tidak disatukan dan diikat dalam nilai dan keyakinan bersama.

2.2.6 Fungsi dan Manfaat Budaya Organisasi

Budaya organisasi memiliki beberapa fungsi organisasi, yaitu (1) memberi batasan untuk mendefinisikan peran, sehingga memperhatikan perbedaan yang jelas antar organisasi; (2) memberikan pengertian identitas terhadap anggota organisasi; (3) memudahkan munculnya komitmen terhadap sesuatu yang lebih besar dibanding minat anggota organisasi secara perorangan; (4) menunjukkan stabilitas sistem sosial; (5) memberikan pengertian dan mekanisme pengendalian yang dapat dijadikan pedoman untuk membentuk sikap serta perilaku para anggota organisasi; dan (6) membantu para anggota organisasi mengatasi ketidakpastian, karena pada akhirnya budaya organisasi berperan untuk membentuk pola pikir dan perilaku anggota organisasi (Robbins, 2006).

Ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh kedua belah pihak, baik organisasi maupun para anggotanya, manakala suatu organisasi menerapkan budaya organisasi, dalam pengertian memberi perhatian pada sistem nilai yang dianut


(48)

organisasi. Manfaat tersebut adalah: (1) memberikan pedoman bagi tindakan pengambil keputusan; (2) mempertinggi komitmen organisasi; (3) menambah konsistensi perilaku para anggota organisasi; dan (4) mengurangi keraguan para anggota organisasi, karena budaya memberitahukan kepada anggota organisasi bagaimana sesuatu dilakukan dan apa yang dianggap penting.

Memerhatikan fungsi dan manfaat budaya tersebut di atas, maka budaya dalam suatu organisasi sangat penting. Oleh karena itu budaya senantiasa dipelihara dan dikembangkan karena disadari budaya merupakan alat (tool) dalam setiap melaksanakan kegiatan-kegiatan organisasi serta menjadi stimulasi untuk meningkatkan kinerja organisasi.

2.2.7 Sumber-Sumber Budaya Organisasi

Isi dari suatu budaya organisasi terutama berasal dari tiga sumber (Robbins, 2006), yaitu:

a. Pendiri organisasi. Pendiri sering disebut memiliki kepribadian dinamis, nilai yang kuat, dan visi yang jelas tentang bagaimana organisasi seharusnya. Pendiri mempunyai peranan kunci dalam menarik karyawan. Sikap dan nilai mereka siap diteruskan kepada karyawan baru. Akibatnya, pandangan mereka diterima oleh karyawan dalam organisasi, dan tetap dipertahankan sepanjang pendiri berada dalam organisasi tersebut, atau bahkan setelah pendirinya meninggalkan organisasi.


(49)

b. Pengalaman organisasi menghadapi lingkungan eksternal. Pengalaman organisasi terhadap tindakan tertentu dan kebijakannya mengarah pada pengembangan berbagai sikap dan nilai.

c. Karyawan, hubungan kerja. Karyawan membawa harapan, nilai, sikap mereka ke dalam organisasi. Hubungan kerja mencerminkan aktivitas utama organisasi yang membentuk sikap dan nilai.

Budaya organisasi sering dibentuk dengan adanya pengaruh orang-orang yang mendirikan organisasi tersebut, Juga lingkungan eksternal organisasi beroperasi, dan oleh karyawan serta hakikat dari organisasi tersebut.

2.2.8 Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja

Menurut Robbins (2006), budaya organisasi memengaruhi kinerja dan karyawan. Persepsi subjektif karyawan secara keseluruhan terhadap organisasi didasarkan pada beberapa faktor seperti derajat toleransi risiko, tekanan atau perhatian tim serta dukungan masyarakat. Persepsi keseluruhan ini (persepsi baik atau tidak baik) membentuk suatu budaya organisasi atau kepribadian, yang kemudian memengaruhi kinerja karyawan yang mengakibatkan makin hebat dan kuatnya suatu budaya. Faktor-faktor tersebut meliputi; (1) inovasi dan pengambilan risiko (inovation and risk taking), (2) perhatian pada detail (attention to detail), (3) orientasi

hasil (outcome orientation), (4) orientasi masyarakat (people orientation), (5) berorientasi tim (team orientation), (6) agresifitas (aggressiveness), dan (7) stabilitas (stability)


(50)

2.3 Insentif

Moorehead dan Griffin (2000) mendefinisikan pemberian insentif sebagai sesuatu pemberian atau penghargaan yang diberikan oleh organisasi pada seseorang/ kelompok kerja yang menunjukkan prestasi/kinerja yang baik diluar ketentuan pengupahan yang umum. Assad (2002), menarik kesimpulan mengenai upah/insentif adalah penghargaan dari energi karyawan yang dimanifestasikan sebagai hasil produksi, atau suatu jasa yang dianggap sama dengan itu, yang berwujud uang, tanpa jaminan pasti dalam tiap-tiap minggu atau bulan.

Gibson et.al.(1996) menyebutkan 4 (empat) bentuk insentif yang umum diberikan kepada karyawan yang berprestasi, yaitu:

1. Material berupa bonus, hadiah-hadiah khusus, uang cuti atau materi-materi lain dan uang lembur. Kenaikan gaji khusus ataupun berkala dalam skala tertentu dapat dianggap menjadi suatu bentuk dari insentif.

2. Promosi atau kenaikan pangkat serta jabatan.

3. Pengakuan atau pengumuman dari prestasi seseorang atau grup di lingkungan yang luas.

4. Dalam bentuk yang berlawanan apabila prestasi atau kinerja tersebut ditemukan tidak baik atau di bawah target maka bentuk reward lebih tepat disebut sebagai ganjaran atau punishment (hukuman).

Menurut Simamora (2000), program insentif yang baik harus memenuhi beberapa aturan sebagai berikut:


(51)

b. Spesifik, para karyawan perlu mengetahui secara rinci apa yang diharapkan supaya mereka kerjakan.

c. Dapat dicapai, setiap karyawan harus memiliki kesempatan yang masuk akal untuk memperoleh sesuatu.

d. Dapat diukur, tujuan yang terukur merupakan landasan di mana rencana insentif dibangun.

2.3.1 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemberian Insentif

Pemberian insentif sangat dipengaruhi oleh falsafah/kebijakan manajemen organisasi di dalam pemeliharaan sumber daya manusia. Secara psikologis manusia memiliki sifat yang berbeda-beda dalam meneguhkan motivasi kerja. Ada manusia yang tradisionil menurut A. Maslow dalam Moorehead dan Griffin (2000), sangat dipengaruhi oleh penyediaan kebutuhan fisik dasar seperti makanan dan kebutuhan fisiologis lain. Maslow sendiri mengungkapkan bahwa motivasi sebagian orang sangat berlainan yaitu memenuhi kebutuhan psikologis yaitu self esteem atau self fulfilment. Psikolog McClelland (1961), mengatakan ada faktor high achiever dan low achiever yang menyebabkan tergeraknya motivasi individu di dalam berprestasi.

Menurut Gibson et.al. (1996), dasar atau kriteria pemberian insentif menjadi motivasi tersendiri bagi karyawan untuk mencapai kriteria-kriteria yang ditentukan, sehingga karyawan memperoleh insentif sesuai dengan diharapkan. Moorehead dan Griffin (2000), menyebutkan pihak HRD (Human Resources Development) memperhatikan semua faktor-faktor manusia dari personel perusahaan di dalam mengembangkan pemeliharaan asset SDM. Jadi faktor-faktor yang memengaruhi


(52)

sistem pemberian insentif oleh pihak manajemen adalah faktor-faktor motivasi yang dipantau banyak atau dominan menjadi dasar budaya personel perusahaan. Insentif lebih dikenal memiliki kaitan langsung dengan materi tetapi secara umum pemberian yang bersifat non material disebut sebagai reward.

2.4 Rumah Sakit

Rumah sakit merupakan suatu institusi yang fungsi utamanya memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Tugas rumah sakit adalah melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan dan pemulihan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan upaya rujukan.

Penyelenggaraan upaya–upaya kesehatan dan mengelola rumah sakit agar tetap dapat memenuhi kebutuhan pasien dan masyarakat yang dinamis, maka setiap komponen yang ada di rumah sakit harus terintegrasi dalam satu sistem

Pelayanan kesehatan di rumah sakit terdiri dari :

1. Pelayanan medis, merupakan pelayanan yang diberikan oleh tenaga medis yang profesional dalam bidangnya baik dokter umum maupun dokter spesialis.

2. Pelayanan keperawatan, merupakan pelayanan yang bukan tindakan medis terhadap pasien, tetapi merupakan tindakan keperawatan yang dilakukan oleh perawat sesuai aturan keperawatan.


(53)

3. Pelayanan penunjang medik ialah pelayanan penunjang yang diberikan terhadap pasien, seperti : pelayanan gizi, laboratorium, farmasi, rehabilitasi medik, dan lain-lain.

4. Pelayanan administrasi dan keuangan, pelayanan administrasi antara lain salah satunya adalah bidang ketatausahaan seperti pendaftaran, rekam medis, dan kerumahtanggaan, sedangkan bidang keuangan seperti proses pembayaran biaya rawat jalan dan rawat inap pasien.

Menurut dengan Undang-Undang No. 44 tahun 2009, pembedaan tingkatan menurut kemampuan unsur pelayanan kesehatan yang dapat disediakan, ketenagaan, fisik dan peralatan, maka rumah sakit umum pemerintah pusat dan daerah diklasifikasikan menjadi :

1. Rumah Sakit Umum Klas A adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medis spesialistik luas dan subspesialistik luas.

2. Rumah Sakit Umum Klas B adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medis sekurang-kurangnya 11 spesialistik luas dan subspesialistik terbatas.

3. Rumah Sakit Umum Klas C adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medis spesialistik dasar.

4. Rumah Sakit Umum Klas D adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medis dasar.


(54)

2.5 Perawat

Tenaga keperawatan salah satu sumber daya manusia di rumah sakit yang menentukan penilaian terhadap kualitas pelayanan kesehatan. Hal ini wajar mengingat perawat adalah bagian dari tenaga paramedik yang memberikan perawatan kepada pasien secara langsung, sehingga pelayanan keperawatan yang prima secara psikologis merupakan sesuatu yang harus dimiliki dan dikuasai oleh perawat.

Perawat merupakan sub komponen dari sumber daya manusia khusus tenaga kesehatan yang ikut menentukan mutu pelayanan kesehatan pada unit pelayanan kesehatan. Keperawatan merupakan salah satu bentuk pelayanan yang menjadi bagian dari sistem pelayanan kesehatan. Dalam menjalankan pelayanan, perawat selalu mengadakan interaksi dengan pasien, keluarga, tim kesehatan dan lingkungannya dimana pelayanan tersebut dilaksanakan.

Undang-Undang No.36 tahun 2009, menyatakan bahwa profesi keperawatan merupakan profesi tersendiri yang setara dan sebagai mitra dari disiplin profesi kesehatan lainnya. Masyarakat dewasa ini sudah mulai memerhatikan pemberi jasa pelayanan kesehatan termasuk tenaga perawat yang merupakan penghubung utama antara masyarakat dengan pihak pelayanan secara menyeluruh. Bahkan menurut Nash et.al yang dikutip oleh Swisnawati (1997), melaporkan penelitian yang dilakukan oleh ANA (American Nurse’s Association) bahwa 60 % sampai 80 % pelayanan preventif yang semula dilakukan oleh dokter, sebenarnya dapat diberikan oleh perawat dengan kemampuan profesional dan menghasilkan kualitas pelayanan yang sama.


(55)

Melihat beban dan tanggung jawab yang harus dipikul oleh perawat maka sering menimbulkan permasalahan, karena perawat merupakan orang yang paling banyak berhubungan dengan pasien dibandingkan dengan petugas lain di rumah sakit, maka pelayanan perawat sangat diperlukan dalam memenuhi kepuasan pasien yang sedang dirawat di rumah sakit.

2.5.1 Definisi Perawat

Perawat adalah orang yang mengasuh, merawat dan melindungi, yang merawat orang sakit, luka dan usia lanjut (Priharjo, 1995). Perawat adalah karyawan rumah sakit yang mempunyai dua tugas yaitu merawat pasien dan mengatur bangsal (Hadjam, 2001).

Gunarsa dan Gunarsa (1995), menyatakan bahwa perawat adalah seorang yang telah dipersiapkan melalui pendidikan untuk turut serta merawat dan menyembuhkan orang yang sakit. Usaha rehabilitasi dan pencegahan penyakit yang dilaksanakannya sendiri atau dibawah pengawasan dan supervisi dokter atau suster kepala.

Lokakarya Keperawatan Nasional (1983), mendefinisikan keperawatan sebagai suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio-spiritual yang komprehensif kepada individu, keluarga dan masyarakat baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh siklus kehidupan manusia. Pelayanan keperawatan di sini adalah cara perawat memberikan dukungan emosional kepada pasien dan memperlakukan pasien sebagai manusia. Pada


(56)

hakekatnya keperawatan merupakan suatu ilmu dan kiat, profesi yang berorientasi pada pelayanan, memiliki empat tingkatan klien (individu, keluarga, kelompok dan masyarakat) serta pelayanan yang mencakup seluruh rentang pelayanan kesehatan secara keseluruhan.

Berdasarkan definisi perawat dapat disimpulkan bahwa perawat adalah orang yang memberikan pelayanan dalam mengasuh, merawat dan menyembuhkan pasien.

2.5.2 Fungsi Perawat

Menurut Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI, 2002), fungsi perawat adalah :

a. Mengkaji kebutuhan pasien, keluarga, kelompok dan masyarakat serta sumber yang tersedia dan potensial untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

b. Merencanakan tindakan keperawatan kepada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat berdasarkan diagnosis keperawatan.

c. Melaksanakan rencana keperawatan meliputi upaya peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan, pemulihan dan pemeliharaan kesehatan termasuk pelayanan pasien dan keadaan terminal.

d. Mengevaluasi hasil asuhan keperawatan. e. Mendokumentasikan proses keperawatan.

f. Mengidentifikasi hal-hal yang perlu diteliti atau dipelajari serta merencanakan studi kasus guna meningkatkan pengetahuan dan pengembangan ketrampilan dan praktek keperawatan.


(57)

g. Berperan serta dalam melaksanakan penyuluhan kesehatan kepada pasien, keluarga, kelompok serta masyarakat.

h. Bekerja sama dengan disiplin ilmu terkait dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien, keluarga, kelompok dan masyarakat.

i. Mengelola perawatan pasien dan berperan sebagai ketua tim dalam melaksanakan kegiatan keperawatan.

Hadjam (2001), mengemukakan beberapa modal dasar perawat dalam melaksanakan pelayanan prima, antara lain :

a. Profesional dalam bidang tugasnya

Keprofesionalan perawat dalam memberikan pelayanan dilihat dari kemampuan perawat berinspirasi, menjalin kepercayaan dengan pasien, mempunyai pengetahuan yang memadai dan kapabilitas terhadap pekerjaan.

b. Mempunyai kemampuan dalam berkomunikasi

Keberhasilan perawat dalam membentuk hubungan dan situasi perawatan yang baik antara lain ditentukan oleh kemampuannya berhubungan dengan orang lain, berkomunikasi dan bekerja sama.

c. Memegang teguh etika profesi

Asuhan keperawatan yang profesional sangat tergantung pada bagaimana perawat dalam melaksanakan tugas-tugasnya selaku tenaga profesional berusaha memegang teguh etika profesi.


(58)

Seorang perawat diharapkan mempunyai emosi yang stabil dalam menjalankan profesinya. Jika perawat dalam menjalankan tugasnya diiringi dengan ketenangan, tanpa adanya gejolak emosi, maka akan memberikan pengaruh yang besar pada diri pasien.

e. Percaya diri

Kepercayaan diri menjadi modal bagi seorang perawat karena perawat dituntut untuk bersikap tegas, tidak boleh ragu-ragu dalam melaksanakan dan memenuhi kebutuhan pasien.

f. Bersikap wajar

Sikap yang wajar akan memberikan makna yang besar bagi pasien bahwa perawat dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan ketentuan keperawatan dan profesionalismenya.

g. Berpenampilan memadai

Perawat dengan penampilan yang bersih, dengan penampilan yang segar dalam melakukan tugas-tugas perawatan diharapkan mampu mengubah suasana hati pasien.

Kinerja profesi keperawatan dinilai tidak hanya berdasarkan konsep keilmuan yang dimiliki tetapi juga berdasarkan pelayanan yang diberikan kepada pasien. Untuk memberikan pelayanan yang prima seorang perawat tidak hanya membutuhkan keahlian medis belaka tetapi ia harus memiliki empati dan tingkat emosionalitas yang baik. Penelitian yang dilakukan oleh Munawaroh (2001), menunjukkan bahwa kemampuan empati yang tinggi akan menimbulkan tingginya intensi prososial pada


(59)

diri perawat. Dengan kata lain jika perawat dapat merasakan apa yang dirasakan oleh pasien maka perawat akan cepat untuk melakukan perbuatan dan tindakan yang ditujukan pada pasien dan perbuatan atau tindakan tersebut memberi keuntungan atau manfaat positif bagi pasien.

Perawat sebagai seorang tenaga profesional dalam bidang pelayanan kesehatan yang dihadapinya adalah manusia, sehingga dalam hal ini empati mutlak harus dimiliki oleh seorang perawat. Dengan empati, seorang perawat akan mampu mengerti, memahami dan ikut merasakan yang dirasakan, yang dipikirkan dan yang diinginkan pasien.

Perawat harus peka dalam memahami alur pikiran dan perasaan pasien serta bersedia mendengarkan keluhan pasien tentang penyakitnya. Dengan demikian perawat dapat mengerti bahwa apa yang dikeluhkan merupakan kondisi yang sebenarnya, sehingga respon yang diberikan terasa tepat dan benar bagi pasien.

Peranan perawat sangat besar dalam mengurangi buruknya kondisi psikologis pasien yang muncul sebagai akibat penyakit yang dideritanya seperti cemas, takut, stress sampai depresi. Dalam hal ini perawat berperan dalam menciptakan suasana psikologis yang kondusif bagi usaha penyembuhan yang optimal yaitu dengan memberikan pelayanan prima (Taylor, 1995).

Berdasarkan pendapat Gunarsa dan Gunarsa (1995), Hadjam (2001), PPNI (2002) maka nilai-nilai yang dimiliki seorang perawat adalah profesional, komunikatif, kerjasama, memiliki etika profesi, stabil, percaya diri, empati dan berpenampilan memadai. Pada penelitian ini peneliti mengklasifikasikan budaya


(60)

organisasi dalam beberapa value atau nilai yaitu: proaktif, inovasi dan pengambilan risiko, orientasi pada hasil dan kerjasama tim.

2.6 HIV/AIDS

2.6.1 Pengertian HIV/AIDS

AIDS adalah singkatan dari acquired immunodeficiency syndrome, merupakan sekumpulan gejala-gejala yang menyertai infeksi HIV (Phair and Chadwick, 1997). Gejala-gejala tersebut tergantung dari infeksi oportunistik yang menyertainya. Infeksi oportunistik terjadi oleh karena menurunnya daya tahan tubuh (kekebalan) yang disebabkan rusaknya sistem imun tubuh akibat infeksi HIV tersebut (Yunihastuti, 2005).

HIV (Human Immunodeficiency Virus), termasuk familia retrovirus. Sel-sel darah putih yang diserang oleh HIV pada penderita yang terinfeksi HIV adalah sel-sel limfosit T (CD4) yang berfungsi dalam sistem imun (kekebalan) tubuh. HIV memperbanyak diri dalam sel limfosit yang diinfeksinya dan merusak sel-sel tersebut, sehingga mengakibatkan sistem imun terganggu dan daya tahan tubuh berangsur-angsur menurun (De Cock et al, 2000).

2.6.2 Situasi Epidemi HIV/AIDS

a. Status Epidemi Global

AIDS yang pertama kali ditemukan pada tahun 1981 telah berkembang menjadi masalah kesehatan global. Sekitar 60 juta orang telah tertular HIV dan 25 juta telah meninggal akibat AIDS, sedangkan saat ini orang yang hidup dengan HIV


(61)

sekitar 35 juta. Setiap hari terdapat 7.400 orang baru terkena HIV atau 5 orang per menit. Pada tahun 2007 terjadi 2,7 juta infeksi baru HIV dan 2 juta kematian akibat AIDS (UNAIDS, 2008).

Ada 4,9 juta orang yang terinfeksi HIV di Asia, 440 ribu diantaranya adalah infeksi baru dan telah menyebabkan kematian 300 ribu orang di tahun 2007. Cara penularan di Asia sangat bervariasi, namun yang mendorong epidemi adalah tiga perilaku yang berisiko tinggi: Seks komersial yang tidak terlindungi, berbagi alat suntik di kalangan pengguna napza dan seks antar lelaki yang tidak terlindungi (UNAIDS, 2008).

b. Status Epidemi di Indonesia

Kasus HIV/AIDS di Indonesia pertama kali ditemukan pada turis asal Belanda di Rumah Sakit Sanglah Bali pada tahun 1987. Jumlah orang yang terjangkit HIV/AIDS yang sebenarnya di Indonesia sangat sulit diukur dan masih belum diketahui keadaan sesungguhnya secara tepat. Perkiraan jumlah infeksi HIV dan kecenderungannya dapat diamati melalui sistem surveilans HIV/AIDS yang diselenggarakan secara nasional. Jumlah infeksi HIV dan kasus HIV/AIDS yang dilaporkan oleh propinsi jauh lebih kecil dari keadaan sesungguhnya. Estimasi yang dibuat pada tahun 2010 diperkirakan akan terdapat sekitar 90.000 – 130.000 penderita HIV/AIDS atau sekitar 0,036 – 0,052% dari jumlah penduduk Indonesia (KPAN, 2010). Perkembangan epidemi yang meningkat di awal tahun 2000-an telah ditanggapi dengan keluarnya Peraturan Presiden nomor 75 tahun 2006 yang mengamanatkan perlunya intensi penanggulangan AIDS di Indonesia.


(1)

2. Kepada Bidang Keperawatan RSUP. Haji Adam Malik Medan disarankan :

a. Melatih semua perawat pada rawat inap pasien HIV/AIDS tentang pemakaian alat pelindung diri (APD) serta menjelaskan masing-masing kegunaan APD. b. Memberikan pelatihan tentang perawatan pasien-pasien infeksi khususnya

pasien yang terinfeksi HIV/AIDS.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Answari, 2000. Motivasi: Perangkat Analisis untuk Para Manajer, Bulettin Usahawan No. 12 tahun XXIX Desember 2000.

Arep, I dan Tanjung, H. 2003. Manajemen Motivasi. PT. Gramedia, Jakarta.

Armstrong, M. 1998. Manajemen Sumber Daya Manusia. PT. Elex Media Komputindo, Jakarta.

Assad, M, 2002. Psikologi Industri, Liberty, Yogyakarta.

Cahyani. 2004. Dasar- Dasar Organisasi dan Manajemen. PT. Grasindo, Jakarta Covey, S R., 2008. The 8th

De Cock KM, Lackntz E, Hu DJ, Lucas SJ. 2000. Human Immunodeficiency Virus

Infection and AIDS. In : Strickland GT, Hunters Tropical Medicine and

Emerging Infection Desease, 8th Ed. WB. Saunders Company, Philadelphia. Habit. Melampaui Efektivitas, Menggapai Keagungan. Cetakan Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Depkes, RI, 1994. Pengantar Keperawatan, Jakarta.

________, 2001. Standar Pelayanan Rumah Sakit. Cetakan V, Jakarta.

________, 2006. Modul Pelatihan Konseling dan Tes Sukarela HIV. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Jakarta

Gaffar, La Ode., 1999. Pengantar Keperawatan Profesional.EGC, Jakarta.

Ghozali, I, 2005. Aplikasi Analisis Multivariat dengan Program SPPS. Edisi Ketiga, Penerbit Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang

Gibson, J, L.John M, Ivancevich dan James H. Donnelly, Jr., 1996. Organisasi : Perilaku, Struktur, Proses, Binarupa Aksara, Jilid I, Diterjemahkan oleh : Nunuk Adiarni, Edisi Kedelapan, Jakarta.

Griffin, RW, 2000. Management, “Managing Total Quality”, Houghton Miffin Company, USA

Gunarsa, SD., Gunarsa, Y. S. 1995. Psikologi Perawatan. BPK Gunung Mulia, Jakarta.


(3)

Hadjam, N. R. 2001. Efektivitas Pelayanan Prima sebagai Upaya Meningkatkan Pelayanan di Rumah Sakit. Jurnal Psikologi, Fakultas Psikologi UGM. Yogyakarta.

Hanafi, S.M., 2006. Budaya Kerja Perbankan, Jalan Lurus Menuju Integritas, Pustaka LP3ES Indonesia, 64-71, Jakarta.

Heidjrachman, 1996. Manajemen Personalia. Penerbit :BPFE UGM, Yogyakarta. Hidayat, 2004. Peran Perawat menurut Konsorsium Ilmu Kesehatan, Jakarta.

Hofstede, G. 1993. Cultural and Dimension in People Management: The Socialization Perspective. John Wiley & Sons, Inc. New York.

Ilyas, Y. 2001. Perencanaan SDM Rumah Sakit: Teori, Metoda, dan Formula. (cetakan pertama). Depok: Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat -Universitas Indonesia, Jakarta.

Kelompok Kerja Konsorsium Ilmu Kesehatan Keperawatan, 1992. Konsep Model Praktik Keperawatan, Jakarta

KPAN, 2009. Mid Term Review Stranas dan RAN 2007-2010, Jakarta

_________, 2010. Rencana Strategis Penanggulangan HIV dan AIDS 2006-2010, Medan.

Kusumapradja, R., 2006. Quality Assurance dalam Keperawatan Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jakarta

Kusnanto. 2004. Pengantar Profesi dan Praktik Keperawatan Profesional, EGC, Jakarta

Lako, A, 2004. Kepemimpinan dan Kinerja Organisasi : Isu, Teori, dan Solusi, Cetakan Pertama, Penerbit Amara Books, Yogyakarta.

Lokakarya Keperawatan Nasional, 1983. Sinopsis Dasar-Dasar Keperawatan. Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Depkes RI, Jakarta.

Mangkunegara. 2002. Evaluasi Kinerja Sumber Daya Manusia, Cetakan Pertama. PT. Refikaditama, Bandung.

Mathis, R. L and Jackson, J. H. 2002, Human Resource Management 9th ed., Sadeli, J and Hie, B. P (Alih Bahasa), Jakarta..


(4)

McClelland, D. 1961. The Achieving Society. USA: Van Nostrand Company.

Moorhead, G. dan Griffin, R.W., 2000. Organizational Behavior, Third Edition, Houghton Mifflin, Boston.

Mulyadi, 1997. Akuntansi Manajemen: Konsep, Manfaat dan Rekayasa. (Edisi kedua). Bagian Penerbitan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi, Yogyakarta.

Munawaroh, 2001. Pengaruh Empati dan Prososial Perawat terhadap Kualitas Pelayanan pada Pasien Rumah Sakit. Jurnal Psikologi. Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta.

Nafsiah M, 2009. Pokok-Pokok Arah Kebijakan Tahun 2010- 2014. Presentasi pada pertemuan Perencanaan Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS. BAPPENAS, Jakarta.

Ndraha, T. 2003. Budaya Organisasi, Rineka Cipta, Jakarta.

Nurachmad E., 2001. Asuhan Keperawatan Bermutu di Rumah Sakit. Jakarta: http//www.pdpersi.co.id.

Nursalam, 2007. Manajemen Keperawatan Aplikasi dalam Praktik Keperawatan Profesional. Salemba Medika, Jakarta.

Phair JP and Chadwick EG. 1997. Human Immunodeficiency Virus Infections and AIDS. In: Sulmat ST. Infectious Diseases, 5th Ed, WB Saunders Company, Tokyo

PPNI, 2002. Pelayanan Kesehatan, Kompetensi Perawat Perlu Ditingkatkan, Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Jakarta

Poerwopoespito, F.X. Oerip S., Utomo, T.A. Tatang, 2000. Mengatasi Krisis Manusia di Perusahaan, PT. Grasindo, Jakarta.

Priharjo, R. 1995. Praktik Keperawatan Profesional. (Cetakan Pertama). EGC, Jakarta.

Ratmawati, D., Herachwati, N., 2006. Materi Pokok Perilaku Organisasi, Edisi 1, Cetakan Kedua, Universitas Terbuka, Jakarta.

Robbins, SP, 2006. Perilaku Organisasi, Edisi Kesepuluh, PT. Indeks Kelompok Gramedia, Jakarta.


(5)

_______, 2011. Bidang Keperawatan RSUP H.Adam Malik 2011.

Sinaga., M, 2008. Analisis Pengaruh Budaya Organisasi dan Reward terhadap Kinerja Karyawan pada PT. Soelong Laoet Medan, Tesis, Sekolah Pascasarjana USU, Medan.

Sinamo, JH., 2002. Delapan Etos Kerja Profesional : Navigator Anda Menuju Sukses, Cetakan Kelima, Penerbit Institut Darma Mahardika, Jakarta.

_______., 2002. Ethos 21 kerja profesional diera digital global; Darma M Jkt 2002. Singarimbun, M dan Effendi, S. 1995. Metode Penelitian Survei. LP3ES, Jakarta. Simamora, Henry, 2004. Manajemen Sumber daya Manusia, Edisi III, STIE YPKN,

Yogyakarta.

Sitorus, R,.2006. Konsep Proses Keperawatan Menggunakan Nanda, NIC dan NOC. Disampaikan pada seminar keperawatan di RSU Banyumas, Batu Raden 11 Desember 2006.

Soetjipto, BW. 2007. Budaya Organisasi dan Perubahan. Penerbit PT. Elex Media Komputindo, Jakarta.

Susanto, AB., 1997. Budaya Perusahaan : Seri Manajemen dan Persaingan Bisnis. Cetakan Pertama, Elex Media Komputindo, Jakarta.

Swisnawati, 1997. Kemampuan Profesional Perawat dalam Memberikan Pelayanan Preventif terhadap Pasien. Jurnal Manajemen Kesehatan, Jakarta.

Taylor, S. E. 1995. Health Psychology. Mc Graw Hill, Inc. Singapore.

Tika, 2006. Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja Perusahaan. Bumi Aksara, Jakarta.

Tjandra. 2005. Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah dalam Pelayanan Publik. PT. Grasindo, Jakarta.

Triffin dan Mac Cormick, 1979. Industrial Psychology, Sixth Edition, Prentice-Hall, New Delhi.

UNAIDS, 2008. Priority intervention. HIV dan AIDS prevention, treatment and care

in the health sector. WHO, Geneva


(6)

Undang-Undang No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan, Biro Hukum Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

_________, No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Biro Hukum Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Wicaksana, S.,A., 2007. Inovasi dan Budaya Pembelajaran, Humanika Consulting,http://humanikaconsulting.com/isi_artikel.php?id_artikel=15&kat e=Organizational

Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z, 2005. Infeksi Oportunistik pada AIDS, Balai Penerbit FK UI, Jakarta

Zebua, J, 2009. Pengaruh Budaya Organisasi dan Insentif terhadap Kinerja Staf Rekam Medik Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan Tahun 2008. Tesis. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.