BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Kinerja 1.1 Pengertian Kinerja - Kinerja Perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Kabanjahe

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

1. Kinerja

1.1 Pengertian Kinerja

  Kinerja dalam konteks tugas sama dengan prestasi kerja. Banyak pakar yang telah memberikan pengertian kinerja secara umum, dan berikut adalah penjelasannya.

  Kinerja adalah prestasi atau kemampuan yang dicapai oleh seseorang dalam mengerjakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya dan sesuai dengan standar kerja yang ditetapkan untuk mencapai suatu tujuan di dalam organisasi (Mangkunegara, 2008).Kinerja merupakan catatan keluaran akhir pada suatu fungsi jabatan atau seluruh aktivitas kerja dalam suatu periode tertentu yang merupakan kombinasi antara kemampuan dan usaha untuk menghasilkan apa yang dikerjakan, kinerja dapat berupa penampilan kerja perorangan atau kelompok. Kinerja organisasi merupakan hasil interaksi yang kompleks dan agregasi kinerja sejumlah individu dalam organisasi (Nasution, 2005).

  Robbins berpendapat bahwa kinerja sebagai fungsi interaksi antara kemampuan atau ability (A), motivasi atau motivation (M) dan kesempatan atau

  

opportunity (O); artinya kinerja merupakan fungsi dari kemampuan, motivasi dan

  kesempatan (Moeheriono, 2009). Campbell (1990, dalam Jex 2002) mendefinisikan kinerja sebagai perilaku yang diharapkan oleh organisasi dalam mencapai sasaran.

  Dari berbagai pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan gambaran sebuah proses dari pelaksanaan fungsi dan peran seseorang dalam organisasi pada kurun waktu tertentu yang nantinya akan diwujudkan dalam pencapaian pelaksanaan suatu program kegiatan atau kebijakan dalam mewujudkan sasaran dan tujuan organisasi. Menurut Kaluzny (1982) kinerja perawat sendiri memiliki lima komponen yang terdiri dari produktifitas, efisiensi, inovasi, kepuasan kerja dan kelangsungan hidup. Produktivitas adalah segala hal yang terkait dengan kuantiti dan kuantitas pelayanan yang disediakan. Efisiensi adalah rasio antara alokasi sumber daya dalam penyelesaian tugas yang diberikan dengan total tugas yang diberikan. Inovasi adalah kemampuan untuk beradaptasi dalam melakukan perubahan yang dapat mempengaruhi baik secara internal maupun eksternal. Kepuasan kerja adalah tingkat kemampuan seseorang dalam bertindak adalah kemampuan untuk berfungsi dan menegaskan persepsi jangka panjang.

1.2 Teori Kinerja

  Teori kinerja yang akan dipaparkan pada kesempatan ini adalah teori kinerja Campbell. Campbell (1990, dalam Jex 2002) membagi model kinerja ke dalam delapan dimensi. Delapan dimensi tersebut yaitu:

  1. Job specific task proficiency adalah dimensi yang menggambarkan perilaku yang berhubungan dengan tugas utama seseorang dalam organisasi sesuai dengan perannya. Seorang perawat memiliki beberapa peran dan salah satu peran terpenting dari seorang perawat adalah care provider yang memiliki tugas utama memberikan perawatan pada pasien dan keluarganya dalam bentuk asuhan keperawatan. Asuhan keperawatan inilah yang menjadi tugas utama dari seorang perawat yang dikerjakan sesuai perannya yakni care provider.

  2. Non-job spesific task proficiency adalah dimensi yang menggambarkan perilaku yang harus dimiliki secara umum yang sifatnya tidak spesifik. Perawat selain memiliki tugas utama yang telah dirumuskan, perawat juga memiliki tugas yang tidak tertulis atau semua perawat harus memiliki hal tersebut, misalnya semua perawat harus tersenyum ketika menyapa orang lain, ramah dan bertutur kata yang sopan ketika berbicara. Sikap dan perilaku tersebut tidak dituliskan secara spesifik namun perawat harus menampilkannya sebagai bentuk kinerja.

  3. Written and oral communication task proficiency adalah dimensi di mana tulisan maupun verbal sebagai prasarana yang mendukung kinerja individu dalam organisasi. Seorang perawat harus mampu melakukan komunikasi yang efektif khususnya secara verbal kepada pasien dan keluarganya agar dapat terbina hubungan saling percaya dan kerja sama yang baik dalam melaksanakan asuhan keperawatan.Perawat juga harus mampu berkomunikasi secara tulisan pada saat mendokumentasikan asuhan keperawatan agar terjalin kesinambungan pengertian antara perawat dalam pemberian pelayanan asuhan keperawatan.

  4. Demonstrating effort adalah dimensi yang menggambarkan tentang motivasi pekerja dan komitmen mereka terhadap pekerjaan mereka. Dimensi ini adalah dimensi yang mencoba melihat seberapa kuat keinginan seseorang dalam bekerja dan apa yang mendorongnya untuk bekerja serta komitmen yang mereka buat sehubungan dengan kinerja mereka dengan organisasi. Dimensi ini merepresentasikan motivasi seorang perawat dalam melakukan tugas utamanya terkait dengan pemberian asuhan keperawatan kepada pasien dan keluarganya.

  5. Maintaining personal discipline adalah dimensi yang menggambarkan perlakuan yang diberikan pada pekerja yang berulang kali melakukan perilaku negatif yang mengarah pada tindakan yang tidak produktif. Dimensi ini membahas tentang tindakan-tindakan atau kebijaksanaan yang ditetapkan organisasi sehubungan dengan pelanggaran-pelanggaran yang dibuat pekerja yang berimbas pada penurunan kinerja karyawan, misalnya denda atau sanksi yang dikenakan pada perawat cenderung memilih berbicara hal-hal yang tidak membangun pada saat jam kerja dari pada terlambat.

  6. Facilitating peer and team performance adalah dimensi yang menggambarkan keefektifan pekerja dalam menyelesaikan pekerjaannya pada suatu kelompok teman sebaya. Hal ini terlihat dalam kerja sama antara perawat yang didalamnya tidak ada senioritas atau junioritas. Kelompok ini akan lebih efektif untuk saling mengajari dan melengkapi dalam menyelesaikan tugas sebab tidak ada pihak senior yang cenderung memerintah junior maupun pihak junior yang cenderung diperintah oleh senior.

  7. Supervision/leadership adalah dimensi yang menggambarkan salah satu aspek kinerja yang dengan nyata diterapkan pada organisasi yang berhubungan dengan perilaku kepemimpinan yang ada dalam organisasi. Pemimpin biasanya membantu pekerja untuk mencapai tujuan yang ditetapkan, membantu pekerja melaksanakan metode kerja yang efektif dan berusaha untuk menampilkan kinerja yang baik. Kinerja perawat dalam suatu rumah sakit dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan di rumah sakit tersebut. kepemimpinan yang otoriter dan mendesak akan sangat membuat pekerja kelelahan dan mengalami penurunan kinerja.

  8. Management and administration adalah dimensi yang menggambarkan struktur dan kepengurusan organisasi itu sendiri dalam hubungannya dengan kinerja pekerja yang ada. Dengan adanya manajemen yang baik dalam rumah sakit akan membuat seluruh karyawan di rumah sakit tersebut teratur dan mengetahui tujuan mereka bekerja, serta adanya evaluasi yang dilakukan sebagai kebijakan manajemen akan membuat seluruh karyawan melakukan yang terbaik bagi rumah sakit.

  Skema 2.1: Delapan Dimensi Kinerja Campbell (1990)

  Menurut Campbell (1990, dalam Jex 2002) ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kinerja individu, yakni pengetahuan, keahlian dan motivasi.

  Pengetahuan adalah faktor yang berperan besar terhadap kinerja seseorang, faktor ini meliputi kemampuan, kepribadian, pendidikan, pelatihan dan hubungan keterkaitan antara bakat dan pelatihan. Pengetahuan adalah dasar individu dalam mengambil keputusan dalam situasi yang dihadapinya. Keahlian adalah kemampuan individu untuk melakukan suatu prosedur kerja dengan tepat. Ketika pengetahuan dan keahlian

  Job specific task proficiency Written and oral communication Demonstratig effort Non - job specific task proficiency

JOB PERFORMANCE

  Facilitating peer and team performance Supervision/ leadership Maintaining personal discipline

  Management and administration disatukan maka pekerja tidak hanya tahu apa yang harus dilakukan tetapi pekerja juga tahu bagaimana melakukannya dengan benar. Motivasi adalah dorongan yang timbul pada individu secara sadar untuk berusaha melakukan tindakan tertentu untuk mencapai tujuan tertentu.

  Gibson (1988) mengelompokkan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja menjadi tiga kelompok variabel, yaitu: variabel individu, variabel organisasi, dan variabel psikologi.Variabel ini kemudian memiliki sub-varibel masing-masing. Variabel individu memiliki sub-variabel kemampuan dan keterampilan dan demografi. Variabel psikologis memiliki sub-variabel persepsi, sikap dan motivasi.

  Sedangkan variabel organisasi memiliki sub-variabel sumber daya, kepemimpinan, Kemampuan dan keterampilan adalah salah satu variabel penting yang mempengaruhi kinerja seseorang, walaupun pada kenyataannya seseorang memiliki motivasi yang tinggi dalam bekerja tapi tidak memiliki kemampuan dan keterampilan yang mendukung maka kinerja yang akan ditampilkan akan buruk. Kemampuan dan keterampilan memainkan peran penting dalam pencapaian kinerja seseorang (Gibson, 1988). Menurut Robbins (1991) kemampuan adalah kapasitas seseorang dalam melakukan berbagai macam tugas atau apa yang dapat dikerjakan oleh seseorang.

  Kemampuan ini pada dasarnya dibentuk dari kemampuan secara mental dan kemampuan secara fisik. Sedangkan keterampilan menurut Gibson (1988) adalah segala hal yang berhubungan dengan kompetensi seseorang untuk mengerjakan suatu perosedur.

  Menurut Robbins (1991) demografi meliputi usia, jenis kelamin, status perkawinan, jumlah keluarga yang ditanggung dan lama seseorang menjabat. Usia menjadi suatu hal yang mempengaruhi kinerja. Pertambahan usia menyebabkan seseorang mengalami kemunduran dalam menampilkan kinerja terbaiknya, hal ini disebabkan oleh asumsi bahwa semakin tua seseorang maka semakin menurun kemampuan dan keterampilan orang tersebut, terutama sekali dalam kecepatan kerja, kecerdasan mental, kekuatan dan kepemimpinan yang akan terus menurun seiring berjalannya waktu. Kejenuhan kerja serta kurangnya stimulus intelektual berperan besar terhadap penuruan kinerja seseorang.

  Jenis kelamin menurut Robbins (1991) mempengaruhi kinerja karena ada masalah, kemampuan menganalisa, kemampuan berkompetisi, motivasi, kepemimpinan, kemampuan bersosialisasi, atau kemampuan dalam belajar. Status perkawian dalam Robbins (1991) menjelaskan bahwa pekerja yang telah menikah memiliki kinerja yang lebih baik dari pekerja yang tidak menikah. Pekerja yang menikah memiliki jumlah absensi yang rendah dan memiliki tingkat kepuasan yang lebih tinggi dengan pekerjaan mereka dibanding dengan pekerja yang tidak menikah. Hal ini diasumsikan sebagai dampak meningkatnya tanggung jawab seseorang yang telah menikah yang membuat pekerjaan mereka menjadi sesuatu yang bernilai dan penting. Sedangkan jumlah keluarga yang ditanggung sering sekali mempengaruhi kinerja pekerja wanita khususnya dalam hal absen dari pekerjaan dengan alasan anak- anak mereka. Lama seseorang menjabat suatu posisi dalam organisasi bukan merupakan suatu tolak ukur yang pasti untuk menilai produktivitasnya. Pekerja yang memiliki masa jabatan yang lama (senioritas) belum tentu memiliki produktivitas yang lebih baik dibanding dengan pekerja yang memiliki masa jabatan yang lebih singkat begitu juga sebaliknya.

  Perilaku di tempat kerja tidak hanya dihasilkan oleh kebutuhan atau dikendalikan oleh penampilanindividu, perilaku juga dipengaruhi oleh persepsi individu. Pekerja memiliki persepsi tentang diri mereka sendiri, tentang orang-orang di sekitar mereka, aturan main, dan sumber-sumber pengaturan dan kekuasaan.

  Persepsi ini kemudian mempengaruhi perilaku individu dalam bekerja. Harris dan Hartman (2002) mendefenisikan persepsi adalah pengalaman sensori di mana kemudian menginterpretasikannya untuk membangun sebuah sikap dan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku individu.

  Sikap adalah suatu predisposisi umum untuk berespon atau bertindak secara positif atau negatif terhadap suatu objek atau orang yang disertai emosi positif atau negatif. Dengan kata lain sikap adalah sebuah proses penilaian tentang hal positif atau negatif (Maramis, 2006). Sikap sangat mempengaruhi perilaku individu dalam menyelesaikan pekerjaannya (Robbins, 1991).

  Motivasi adalah sebuah dorongan atau keinginan untuk mencapai tingkatan usaha yag lebih tinggi ke arah tujuan organisasi atau suatu keinginan untuk berusaha memberi pemenuhan kebutuhan individu. Motivasi individu dalam bekerja sangat berhubungan erat dengan usaha individu, tujuan organisasi dan kebutuhan (Robbins,

  1991). Menurut Harris dan Hartman (2002) mengetahui tujuan akhir suatu organisasi akan menimbulkan motivasi positif untuk bekerja.

  Kanter (1982, dalam Gibson 1988) berpendapat bahwa kekuasaan akan tercermin lewat adanya akses organisasi kepada sumber daya, informasi dan dukungan serta kemampuan untuk bekerja sama dalam mengerjakan pekerjaan penting. Kekuasaan terlihat ketika individu memiliki akses langsung untuk memperoleh sumber daya dengan mudah, seperti uang, pekerja, teknologi, bahan baku dan konsumen. Beberapa organisasi besar dapat dengan mudah memiliki sumber daya yang berlimpah yang menyebabkan pekerjanya dengan segera memiliki alat dan perlengkapan yang modern dan berkualitas tinggi untuk membantu akan berjuang lebih keras untuk mencapai pencapaian terbaik mereka (Robbins, 1991)

  Kepemimpinan adalah suatu usaha untuk mempengaruhi aktivitas bawahan dengan cara berkomunikasi agar bawahan mau bekerja sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Hasil dari sebuah kepemimpinan adalah ketika seseorang mempengaruhi bawahannya untuk menerima dan melakukan keinginan atasan tanpa adanya desakan secara nyata (Gibson, 1988)

  Imbalan adalah suatu usaha yang dilakukan oleh organisasi untuk menarik perhatian orang yang memiliki kecakapan untuk mau bergabung dengan sebuah organisasi, untuk mempertahankan kinerja mereka dan untuk memotivasi mereka agar bekerja lebih baik lagi. Para pekerja menukar waktu mereka, kemampuan, keterampilan dan usaha untuk dihargai dengan imbalan. Hubungan antara pemberian imbalan dengan para pekerja dikenal sebagai kontrak psikologis (Gibson, 1988).

  Milles (1980, dalam Robbins 1991) mendefenisikan struktur organisasi dibentuk untuk tujuan kelompok yang didefinisikan secara luas sebagai kontrol utama atau sebagai pembeda bagian dalam organisasi.

  Desain pekerjaan adalah usaha untuk mengidentifikasi atau mengelompokkan kebutuhan pekerja dan organisasi yang penting dengan tujuan untuk menghilangkan penghambat di tempat kerja.

1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Perawat

  Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja perawat dalam memberikan menurut Al-Ahmadi (2009) meliputi kepuasan kerja dan komitmen organisasi.

  Kepuasan kerja dalam pemberian pelayanan keperawatan dapat dilihat dari kepusaan perawat akan pekerjaannya sendiri, kepuasan akan pengawasan yang diterima, hubungan yang terbina selama bekerja seperti penerimaan yang baik dari pasien dan keluarganya kepada perawat, adanya kerja sama yang kooperatif antara sesama perawat dan penghargaan terkait pekerjaan yang telah mereka lakukan serta keputusan yang mereka putuskan. Kinerja perawat juga dipengaruhi oleh kepuasan akan imbalan jasa yang diterima serta adanya kesempatan promosi yang membuat para perawat terpacu untuk meningkatkan kinerjanya. Selain itu kondisi pada tempat kerja juga mempengaruhi kinerja perawat, kebutuhan merasa dibutuhkan di mata orang lain membuat perawat terpacu untuk meningkatkan kinerjanya.

  Komitmen organisasi menurut Al-Ahmadi (2009) memiliki peranan penting dalam mempengaruhi kinerja perawat. Komitnen organisasi ini meliputi hubungan perawat dengan atasan dan teman sekerja, kebijakan-kebijakan organisasi, imbalan yang diterima, penghargaan dan pengakuan, keamanan bekerja dan kesempatan untuk berkembang. Awases (2006) melakukan penelitian tentang factors affecting

  

performance of professional nurses in Namibia menemukan bahwa kinerja perawat

  juga dipengaruhi oleh pengetahuan dan keterampilan perawat, bentuk manajemen rumah sakit, tujuan organisasi, penilaian kinerja dan metode penilaian kinerja yang diterapkan oleh rumah sakit serta kebijakan rumah sakit dalam membagi shift dan jadwal kerja perawat.

2.1 Pengertian Penilaian Kinerja Keperawatan

  Penilaian kinerja adalah suatu proses yang berkelanjutan untuk menilai kualitas kerja personel dan usaha untuk memperbaiki cara kerja personel dalam suatu organisasi Hall (1986, dalam Nurhaeni 2001). Penilaian kinerja adalah proses menilai bagaimana tingkat kinerja seorang pegawai dan membandingkannya dengan harapan organisasi mereka (Marquis & Huston, 2010). Gibson (1988) mendefinisikan penilaian kinerja adalah sebuah penilaian formal yang sistematik tentang kinerja seorang pekerja dan pembangunan potensial di masa yang akan datang.

  Penilaian kinerja keperawatan sendiri adalah salah satu upaya menejemen rumah sakit yang bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja perawat dalam memberikan pelayanan kesehatan. Menurut Swanburg (1987, dalam Nursalam

  2007), penilaian kinerja merupakan suatu komponen dari sistem manajemen yang digunakan organisasi untuk memotivasi pekerja dan digunakan secara efektif dalam mengarahkan perilaku pegawai dalam rangka menghasilkan jasa keperawatan yang berkualitas tinggi.

2.2 Aspek Penilaian Kinerja Perawat

  Penilaian kinerja perawat diukur melalui standar praktik keperawatan yang ada. Penilaian kinerja perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan dikatakan baik apabila memenuhi minimal 75 % standar praktik keperawatan. Standar praktik keperawatan itu sendiri seperti telah dijabarkan oleh PPNI (2000, dalam Nursalam 2007), mengacu pada lima tahapan proses keperawatan, yang meliputi pengkajian, proses sistematis dari pengumpulan, verifikasi dan komunikasi data tentang klien (Potter & Perry, 1992), dengan tujuan untuk mengumpulkan data-data pasien dan menjadikannya sebagai data dasar proses keperawatan selanjutnya.

  Diagnosa keperawatan adalah suatu proses pengidentifikasian kebutuhan perawatan kesehatan berdasarkan prioritas pemenuhan yang akan dirumuskan dalam suatu diagnosis keperawatan. Perencanaan keperawatan adalah proses pengidentifikasian tujuan, pernyataan yang menyatakan tindakan yang akan diambil untuk mencapai tujuan sehubungan dengan pemenuhan prioritas kebutuhan pasien dan keluarganya serta deskripsi dari kriteria evaluasi yang jelas terhadap tindakan yang diambil (Basford & Slevin, 2002).

  Implementasi keperawatan adalah tindakan keperawatan yang diperlukan untuk menyelesaikan rencana asuhan keperawatan sehubungan dengan pencapaian tujuan. Evaluasi keperawatan adalah proses di mana perawat menentukan sejauh mana tindakan perawatan telah mencapai tujuan (Potter & Perry, 1992).

  Menurut Gillies (1994), hal-hal yang perlu dinilai dalam suatu penilaian kinerja keperawatan meliputi pengetahuan, keterampilan dan sikap perawat dalam melaksanakan asuhan keparawatan pada pasien. Pengetahuan adalah segala hal yang berkaitan erat dengan tingkat kognitif seseorang, perawat yang memiliki pengetahuan yang baik diharapkan untuk bersikap sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Keterampilan adalah kemampuan seseorang dalam melaksanakan tugas yang perilaku yang berhubungan langsung dengan persepsi, kepribadian dan motivasi.

  Sikap didefinisikan sebagai tingkatan kesiapan mental, kemampuan belajar melalui pengalaman, kemampuan mempengaruhi respon seseorang terhadap orang lain, objek atau situasi (Gibson, 1988).

  ANA memiliki standar penilaian kinerja selain mengacu pada asuhan keperawatan yang meliputi kualitas praktik perawat, pendidikan perawat, praktik profesional perawat, collegiality, kolaborasi, tindakan etik, penggunaan sumber daya dan penelitian (ANA, 2010)

2.3 Tujuan Penilaian Kinerja Perawat

  Penilaian kinerja memiliki beberapa tujuan, menurut Gibson (1988) penilaian kinerja dapat digunakan untuk tujuan memotivasi para pekerja dengan memberi pengertian tentang apa yang diharapkan mereka kerjakan dan membantu atasan untuk mengerti hubungan yang dihasilkan antara atasan dan bawahan. Penilaian kinerja juga berguna sebagai dasar untuk menetapkan perencanaa, pelatihan dan pembangunan. Kelemahan dan kekurangan seperti kompetensi teknis, keterampilan berkomunikasi dan pemecahan dari sebuah masalah dapat dianalisa dan diidentifikasi melalui penilaian kinerja.

  Kaluzny (1982) menyatakan bahwa tujuan dari sebuah penilaian kinerja perawat adalah untuk mendapat informasi yang bertujuan untuk memutuskan pengadaan pembangunan dan pelatihan perawat, untuk mendapatkan informasi yang cukup mengenai keputusan personel tentang promosi, pemindahan, terminasi dan perawat untuk meningkatkan kinerjanya, untuk mengidentifikasi kebutuhan perawat tentang pendidikan dan mengkaji kualitas asuhan keperawatan yang diberikan perawat kepada pasien.

  Gillies (1994) mengemukakan penilaian kinerja perawat dilakukan dengan tujuan membantu kepuasan pekerja untuk memperbaiki pelaksanaan kerja mereka, memberitahu pekerja yang tidak memuaskan bahwa pelaksanaan kerja mereka kurang serta menganjurkan metode perbaikannya, mengidentifikasi pegawai yang layak menerima promosi atau kenaikan gaji, mengenal pegawai yang memenuhi syarat penugasan khusus, memperbaiki komunikasi antara dirinya sendiri dan bawahan, serta menentukan dasar untuk pelatihan karyawan yang memerlukan bimbingan khusus.

  Hasil yang diharapkan setelah diadakannya penilaian kinerja ini adalah adanya umpan balik dari pekerja berupa peningkatan kinerja, berkurangnya pemindahan pekerja, adanya peningkatan motivasi untuk menampilkan kinerja yang lebih baik, terciptanya keadilan yang dirasakan di antara sesama pekerja dan adanya landasan pemberian penghargaan kepada pekerja (Dobbins, Cardy & Platzvieono (1990) dalam Ishaq, Iqbal & Zahear (2009). Beer (1981, dalam Ishaq, Iqbal dan Zahear 2009) menyatakan bahwa hasil dari sebuah penilaian kinerja yang baik adalah adanya proses pembelajaran yang dilakukan oleh pekerja tentang diri mereka sendiri, pengetahuan mereka dan tentang apa yang sedang mereka kerjakan serta belajar tentang nilai-nilai manajemen.

  Pada dasarnya penilaian yang dilakukan oleh suatu organisasi sangat dipengaruhi oleh ukuran organisasi, skala organisasi dan tingkat kompleksitas suatu organisasi (Moeheriono, 2009). Menurut Marquis dan Huston (2010) metode yang digunakan dalam penilaian kinerja perawat adalah:

  1. Skala peringkat Skala peringkat adalah metode mengurutkan peringkat seseorang berdasarkan standar yang telah disusun, yang mungkin terjadi atas deskripsi pekerjaan, perilaku yang diinginkan, atau sifat personal. Skala peringkatmerupakan metode yang paling banyak digunakan untuk menilai kinerja.

  2. Skala dimensi pekerjaan

  Teknik ini mengharuskan skala peringkat disusun untuk setiap klasifikasi pekerjaan. Faktor peringkat diambil dari konteks deskriptif pekerjaan tertulis.

  3. Skala peringkat berdasarkan prilaku (Behaviorally Anchored Rating Scales,

  BARS)

  Skala peringkat berdasarkan perilaku mensyaratkan bentuk tingkat terpisah dibentuk untuk setiap klasifikasi kerja kemudian, seperti pada skala dimensi pekerjaan, pegawai pada posisi kerja spesifik menejemen menggambarkan area penting tanggung jawab. Skala pengukuran dengan metode ini dapat diterapkan khususnya pada penilaian keterampilan yang dapat diobservasi secara fisik, bukan pada keterampilan konseptual.

  Daftar titik Daftar titik adalah metode penilaian kinerja berupa beberapa pernyataan tentang perilaku yang nantinya akan dipilih oleh masing-masing individu yang akan mewakili perilaku kinerja yang diinginkan.

  5. Esai Metode esai sering disebut sebagai peninjauan ulang bentuk bebas. Penilai menjelaskan dalam bentuk narasi mengenai kekuatan pegawai dan area yang membutuhkan perkembangan dan pertumbuhan.

  6. Penilaian diri Penilaian diri merupakan metode di mana pegawai diminta untuk menyerahkan ringkasan tertulis atau portofolio mengenai pencapaian yang terkait dengan pekerjaan mereka dan produktivitas sebagai bagian proses penilaian diri. Ringkasan tertulis ini sering memberikan contoh tentang bagaimana pegawai mengimplementasikan pedoman klinis, kriteria hasil pasien yang tercapai dan contoh dokumentasi asuhan keperawatan.

  7. Management by objective

Management by objective adalah metode yang paling baik digunkan untuk melakukan

  penilaian terhadap kinerja pegawai karena menggabungkan pengkajian pegawai dan organisasi. Pada metode ini pegawai dan organisasi sama-sama merencanakan dan menyetujui pekerjaan, tujuan, serta tanggung jawab pekerjaan pagawai dan pada akhirnya atasan akan menilai kinerja dengan mengacu pada tujuan yang telah disepakati.

  Menurut Henderson (1984, dalam Gillies 1994) ada lima jenis alat penilaian kinerja yang secara umum sering digunakan yang meliputi laporan tanggapan bebas, pengurutan yang sederhana, checklist pelaksanaan kerja, penilaian grafik dan perbandingan pilihan yang dibuat-buat.

  Dalam laporan tanggapan bebas, evaluator diminta komentar dalam bentuk tulisan menganai kualitas pelaksanaan kerja perawat dalam jabatan khusus dalam jangka pendek waktu tertentu. Karena tidak ada petunjuk sehubungan dengan apa yang harus dievaluasi, penilaian cenderung menjadi tidak sah disebabkan ia mengabaikan satu atau lebih aspek penting dari deskripsi kerja pegawai. Laporan evaluasi tanggapan bebas bisa juga kurang objektif jika ia memfokuskan hanya pada daerah pelaksanaan kerja perawat yang mana mempunyai perasaan kuat pada supervisior.

  Beberapa alat evaluasi menghendaki agar evaluator menggolongkan pegawai dalam hubungan dengan rekan sekerjanyaberkenaan dengan beragamnya aspek pelaksanaan kerja. Staf perawat khusus bisa saja digolongkan sebagai orang yang telah menunjukkan pelaksanaan kerja tinggi di antara tujuh staf perawat di unitnya berkenaan dengan perawatan pasien, ketiga tertinggi di dalam kelompok yang sama berkenaan dengan mutu pengajaran pasiennya dan terendah dalam kelompok berkenaan dengan jumlah produktifitas penelitiannya.

  Checklist pelaksanaan kerja bisa terdiri atas daftar kriteria pelaksanaan kerja

  formulir di mana evaluator dapat menyatakan apakah perawat memperlihatkan tingkah laku yang diinginkan atau tidak karena kriteria adalah pernyataan dari tingkah laku yang diinginkan, melihat sekilas pada isian yang lengkap menampakkan kualitas keseluruhan dari pelaksanaan kerja total kerja perawat.

  Skala penggolongan grafik adalah serangkaian hal yang mewakili aktifitas berbeda yang termasuk dalam deskripsi kerja perawat. Supervisior menyatakan kualitas pelaksanaan kerja perawat dalam setiap aktivitas dengan cara mengecek hal yang cocok dalam skala numerik atau dengan memilih ungkapan yang sesuai dalam serangkaian susunan.

  Perbandingan pilihan yang dibuat-buat, evaluator memilih pernyataan- pernyataan deskriptif dari sekelompok pernyataan deskriptif berbobot yang terbaik menggambarkan perawat yang sedang dievaluasi dan yang terendah yang menggambarkan dirinya. Hal-hal yang disukai dan tidak dikelompokkan, sehingga evaluator dipaksa untuk memilih beberapa pernyataan hal yang tidak disukai maupun yang disukai guna menggambarkan pelaksanaan kerja perawat. Ciri-ciri terakhir ini meniadakan kecenderungan yang mengarah kepada kelonggaran yang diperlihatkan oleh beberapa evaluator. Pernyataan deskriptif yang menyusun isian tersebut diartikan menurut kemampuan mereka untuk meramal sukses dalam jabatan yang sedang dipertimbangkan. Karena supervisior yang menggunakan isian tidak mengetahui kemampuan prediktif masing-masing soal, ia tidak bisa membohongi skor akhir dengan sengaja menurut arah positif atau negatif.

  Agar objektif menilai bawahan, manajer perawat harus berjuang untuk mengatasi dua katagori prasangka, yang umumnya berkenaan dengan halo effect dan

  

horn effect. Halo effect atau pengaruh mahkota keagungan adalah tendensi untuk

  menilai pelaksanaan kerja bawahan terlalu tinggi karena beberapa alasan (Gillies, 1994). Pegawai yang berkepribadian menyenangkan atau memiliki keterampilan sosial yang tinggi cocok untuk menerima penilaian kinerja yang lebih tinggi daripada kualitas kerjanya yang akan membenarkan secara sederhana karena manajer secara tidak sadar menyamaratakan kesukaan pribadinya terhadap individu guna menerima kerjanya. Seorang bawahan yang berkinerja baik di masa lalu namun kerjanya yang sekarang tidak diamati secara dekat oleh manajer sehingga dianggap tidak ada peningkatan kinerja, mungkin diberikan penilaian terlalu tinggi oleh manajernya.

  Seorang pegawai yang kinerjanya pertengahan sepanjang tahun sebelumnya, tetapi telah menunjukan kinerja yang luar biasa atau telah menerima penghargaan yang mengesankan dalam beberapa dari hari evaluasi, pelaksanaan kerja tahunannya, cenderung diberi penilaian yang lebih tinggi daripada kinerja tahuan yang ia terima secara keseluruhan karena perhatian manajer difokuskan kepada keberhasilan pekerja yang baru saja diterima. Seorang bawahan yang berbagi keahlian klinis dengan manajer, minat penelitian atau kebiasaan tingkah laku yang sama biasanya menerima penilaian yang lebih tinggi daripada yang selayaknya ia terima karena manajer cenderung lebih suka pada minat dan kecenderungan yang sama dengan dirinya.

  Horn effect adalah kecenderungan untuk menilai pegawai lebih rendah deri

  kinerjanya di atas rata-rata sepanjang tahun sebelumnya namun dalam beberapa hari penilaian kinerja tahunannya telah melakukan kesalahan besar yang tercamkan dalam ingatan manajer. Seorang pegawai yang kinerjanya di atas rata-rata tetapi cenderung untuk membantah secara terbuka pada manajernya, memperoleh penilaian yang lebih rendah dari yang seharusnya ia peroleh karena kegagalan pegawai untuk mendukung pendapat dan saran manajer. Seorang pegawai yang kualitas kinerjanya tinggi namun gagal untuk menyesuaikan diri dengan selera ideal berpakaian dan tingkah laku manajernya maka bagi pegawai unit kerja itu cenderung menerima pengurutan yang lebih rendah dari yang seharusnya ia peroleh karena manajer tersebut secara tidak sadar menyamaratakan penolakannya terhadap cara berpakaian dan cara menolak pekerjaannya. Seorang pegawai yang kinerjanya di atas rata-rata tapi berhubungan dengan pegawai yang berkinerja buruk cenderung menerima pengurutan yang lebih rendah dari yang seharusnya karena manajer cenderung menilai bawahan berdasarkan perusahaan yang mereka pegang ketimbang kinerja secara individual.