Asal Mula Bilangan Nol

Asal Mula Bilangan Nol, Bilangan
Prima dan Aljabar Matematika
DECEMBER 11, 2012 BY NAJIBCHAMAMI

Matematika merupakan disiplin ilmu yang mempunyai sifat yang khas jika
dibandingkan dengan disiplin ilmu yang lain. Matematika berkaitan
dengan konsep-konsep abstrak yang tersusun secara hierarkis dan
penalarannya deduktif. Banyak sekali keajaiban dan keunikan yang
terdapat dalam matematika, yang dapat memicu kreativitas dan
kecerdasan, contohnya saja dalam teta-teki matematika/permainan
matematika.
Matematika juga memiliki sejarah. Sejarah matematika merupakan
peyelidikan terhadap asal mula penemuan yang terdapat dalam bidang
matematika dan sedikit perluasannya, penyelidikan terhadap metode dan
notasi matematika pada masa lalu. Sebelum zaman modern seperti
sekarang, perkembangan matematika mengalami puncaknya hanya di
beberapa tempat saja. Tulisan matematika tertua yang ditemukan adalah
Plimpton 322 (matematika Babilonia sekitar 1900 SM), Lembaran
Matematika Rhind (Matematika Mesir sekitar 2000-1800 SM) dan
Lembaran Matematika Moskwa (matematika Mesir sekitar 1890 SM).
Semua tulisan tersebut berisi tentang teorema Pythagoras, yang menjadi

pengembangan matematika tertua yang paling tersebar luas setelah
aritmatika dasar dan geometri.
Selain sejarah matematika itu sendiri, terdapat juga sejarah bidangbidang yang ada dalam matematika termasuk sistem bilangannya.
Misalnya, seperti sejarah aljabar matematika, sejarah bilangan nol,
sejarah bilangan prima, dan sebagainya. Berikut akan dibahas mengenai
sejarah dan perkembangan bidang-bidang matematika tersebut.
Pertama, kita akan membahas tentang Sejarah Bilangan Nol dan
Penemunya
Dalam matematika modern seperti sekarang, nol sebagai bilangan sudah
menjadi hal yang biasa. Namun, nol tidak ditemukan dalam sistem
bilangan yang paling kuno. Pada masa Yunani dan Romawi Kuno nol
bukan merupakan konsep dalam sistem perhitungan. Bahkan sampai
abad pertengahan, nol belum masuk pada sistem perhitungan Eropa.
Angka nol ditemukan sekurang-kurangnya 3 kali secara terpisah. Saat itu,
kegunaannya adalah sebagai pengisi kedudukan dalam sistem
perhitungan.
Pada awalnya, bangsa Babilonia tidak memiliki simbol untuk nol karena
ruang kosong antara bilangan-bilangan dianggap cukup sebagai
pembatas. Tetapi, ruang kosong tersebut dapat dengan mudah terabaikan
atau disalahtafsirkan sehingga mereka membuat simbol untuk nol untuk


yang pertama kali. Bentuknya sedikit menyerupai dengan nol sekarang.
Namun, peradaban Babilonia mengalami kemunduran, begitu juga dengan
nol.
Bangsa Yunani Kuno memiliki sistem bilangan yang lebih rumit dibanding
bangsa Babilonia. Namun, mereka tidak mempunyai simbol untuk nol
dalam sistem bilangannya. Justru nol cenderung menimbulkan masalah
bagi bangsa Yunani.
Konsep bilangan nol dan sifat-sifatnya terus berkembang. Hingga pada
abad ke-7, Brahmagupta, seorang matematikawan India memperkenalkan
beberapa sifat bilangan nol, seperti suatu bilangan jika dijumlahkan
dengan nol akan menghasilkan bilangan itu sendiri, demikian pula jika
sebuah bilangan dikalikan dengan nol hasilnya adalah nol. Namun,
Brahmagupta mengalami kesulitan dan cenderung ke arah yang salah
ketika berhadapan dengan pembagian oleh nol. Dia menyatakan bahwa
‘sebuah bilangan jika dibagi oleh nol adalah tetap’.
Kesalahan ini kemudian diperbaiki oeh Bhaskara dalam bukunya
‘Leelavati’ yang menyatakan bahwa ‘pembagian sebuah bilangan oleh nol
adalah jumlah yang tak terhingga’.
Dalam suku Indian Kuno, nol disimbolkan dengan sebuah lingkaran

dengan titik di dalamnya. Nol berasal dari bahasa Sansekerta ‘soonya’
yang berarti tidak ada atau kosong.
Al-Khwarizmi, seorang matematikawan muslim dari Arab kemudian
meneliti sistem perhitungan Hindu (India). Dia menulis dalam bukunya
Hisab Al-Jabr wa Al-Muqabala Khowarizmi, ‘soonya’ sebagai ‘al-sifr’ atau
‘sifr’ dan membuat angka-angka India populer. Al-Khwarizmi adalah yang
pertama kali memperkenalkan penggunaan bilangan nol sebagai nilai
tempat dalam basis sepuluh. Sistem ini disebut sistem bilangan desimal.
Selain itu, Al-Khwarizmi juga merupakan penulis kitab aljabar yang
pertama. Karyanya adalah Kitab Al-Jabr Wal Muqabalah, dimana istilah
aljabar pertama kali muncul dalam konteks disiplin ilmu.
Gudang Ilmu Pengetahuan yang kita ketahui berasal dari kawasan Eropa.
Namun, sejatinya Gudang Ilmu Pengetahuan berasal dari kawasan Timur
Tengah, yaitu Mesopotamia yang menjadi peradaban tertua di dunia.
Masyarakat dunia sangat mengenal Leonardo Fibonacci sebagai ahli
matematika aljabar. Namun, dibalik kedigdayaan Leonardo Fibonacci
sebagai ahli matematika aljabar ternyata hasil pemikirannya sangat
dipengaruhi oleh matematikawan Muslim, Muhammad bin Musa AlKhwarizmi. Dia adalah seorang tokoh yang dilahirkan di Khiva (Iraq) pada
tahun 780 M. Dia kemudian menetap di Qutrubulli, Baghdad. Selain ahli


dalam matematika, Al-Khwarizmi juga seorang ahli geograf, sejarah dan
juga seorang seniman. Karyanya dalam bidang matematika dimaktub
dalam Kitabul Jama wat Tafriq dan Hisab Al-Jabar wal Muqabla. AlKhwarizmi inilah yang menemukan angka nol yang digunakan sampai saat
ini.
Al-Khwarimi juga seorang ahli ilmu murni. Karyanya, Kitab Surat Al-Ard
menggambarkan secara detail bagian-bagian bumi. CA Nallino, seorang
penterjemah karya Al-Khwarizmi dalam bahasa Latin menegaskan bahwa
tak ada seorang Eropa pun yang dapat menghasilkan karya seperti AlKhwarizmi.
Al-Khwarizmi meninggal pada tahun 262 H/846 M di Baghdad. Setelah
meninggal, keberadaan karyanya beralih pada komunitas Islam, yaitu
bagaimana cara menjabarkan bilangan dalam sebuah metode
perhitungan, termasuk dalam bilangan pecahan. Di dunia Barat, Ilmu
Matematika lebih banyak dipengaruhi oleh Karya Al-Khwarizmi dibanding
karya para penulis Eropa pada abad pertengahan.
Selanjutnya, kita akan membahas mengenai Sejarah dan
Perkembangan Bilangan Prima.
Dalam sejarah awal perkembangannya, pengertian bilangan prima adalah
bagian dari himpunan bilangan bulat positif lebih dari 1 dan hanya
mempunyai dua faktor, yaitu 1 dan bilangan itu sendiri. Jika defnisinya
diperluas menjadi himpunan bilangan bulat, maka dikenal bilangan prima

negatif dan bilangan prima positif. Bilangan-bilangan selain bilangan
prima disebut bilangan komposit. Cara yang paling sederhana untuk
menentukan bilangan prima dalam suatu rentang tertentu adalah dengan
menggunakan Sieve of Erastosthenes (Saringan Erastothenes). Bilangan
prima dapat disebut sebagai batu pembangun bilangan bulat positif
seperti yang sudah dibuktukan dalam Teorema Fundamental Aritmetik.
Dalam beberapa usaha penemuan yang bertujuan mengkaji hubungan
antar bilangan prima, dikenal pula bilangan prima kembar (twin primes)
yang merupakan pasangan bilangan prima yang memenuhi kaidah p dan
p+2 dengan p adalah bilangan prima. Sebagai contoh, 3 dan 5, 11 dan 13,
29 dan 31.
Sejarah bilangan prima dimulai pada zaman Mesir Kuno dengan
ditemukannya sebuah catatan yang menyatakan penggunaan bilangan
prima pada zaman tersebut. Namun, bilangan prima dan komposit pada
saat itu berbeda dengan bilangan prima dan komposit yang kita kenal
sekarang. Bukti lain permulaan sejarah bilangan prima adalah sebuah
catatan penelitian bilangan prima oleh bangsa Yunani Kuno.

Dalam sejarah Yunani Kuno, Pythagoras (570 SM-500 SM) terkenal melalui
‘Theorem of Pythagoras’ dan memunculkan Pythagorean Triples yang

sebenarnya sudah ada sejak 1000 tahun sebelum masa Pythagoras.
Sebelumnya, bangsa Babilonia telah mengenal Pythagorean Triples
tersebut dengan nama Babylonian triples. Babylonian Triples terdapat
dalam Plimpton 322 yang diperkirakan berasal dari tahun 1900 SM.
Terdapat perbedaan antara Pythagorean Triples dengan Babylonian
Triples. Pada Babylonian Triples disyaratkan bahwa u dan v sebagai
generator 2uv, u2-v2 dan u2+v2 yang merupakan ukuran sisi-sisi segitiga
siku-siku, harus relatif prima dan tidak mempunyai faktor prima selain 2, 3
atau 5. Sebagai contoh, 56, 90 dan 106 adalah Babylonian Triples karena
u=9 dan v=5. Contoh lain, 28, 45 dan 53 adalah Pythagorean Triples,
tetapi bukan Babylonian Triples karena u=7 dan u memiliki faktor prima 7.
Bilangan prima dalam Rumusan Bilangan Sempurna terdapat pada karya
Euclid dalam buku IX Elements (300 SM) yang berisi beberapa teorema
penting mengenai bilangan prima, termasuk ketakberhinggaan bilangan
prima dan teorema fundamental aritmatik. Euclid juga memperlihatkan
cara menyusun sebuah bilangan sempurna (perfect number) dari sebuah
bilangan prima Mersenne yang ditemukan kemudian. Bilangan prima
Mersenne adalah sebuah bilangan prima dengan rumus Mn=2n-1. Dalam
karya Euclid tersebut, terdapat proporsi bahwa ‘jika 2n-1 adalah bilangan
prima maka (2n-1)+(2n-1) adalah bilangan sempurna. Pada masa itu,

bangsa Yunani telah menemukan 4 bilangan sempurna, yaitu 6, 28, 496
dan 8128. Berkaitan dengan bilangan sempurna, sekitar 2000 tahun
kemudian seorang matematikawan, Euler pada tahun 1947 telah mampu
menunjukkan bahwa semua bilangan sempurna adalah genap. Hal ini
disebut Konjektur Goldbach. Dalam Konjektur Goldbach, berbunyi ‘setiap
bilangan bulat genap lebih besar dari atau sama dengan 4 dapat ditulis
sebagai jumlah dari dua bilangan prima’. Konjektur Goldbach adalah salah
satu persoalan yang belum terpecahkan dalam teori angka dan bahkan
dalam matematika secara keseluruhan. Konjektur Goldbach pertama kali
disebut oleh Christian Goldbach dalam suratnya kepada Euler pada tahun
1942. Dalam suratnya, Goldbach mengemukakan bahwa bilangan genap
lebih dari atau sama dengan 4 dapat ditulis sebagai hasil penjumlahan
dua bilangan prima, tetapi dia tidak berhasil membuktikan kebenarannya.
Pada teorema ke-20 dari buku IX The Elements Euclide menyatakan
bahwa ‘tidak ada bilangan prima yang terakhir’. Pernyataan ini
menunjukkan ketakberhinggaan bilangan prima yang dibuktikan Euclid
dengan menggunakan cara pembuktian kontradiksi, yang merupakan
pertama kali dalam sejarah matematika. Selain itu, Euclid juga
memberikan bukti Teorema Fundamental Aritmetika, yaitu ‘setiap
bilangan bulat dapat ditulis sebagai hasil kali bilanngan-bilangan prima

dalam sebuah bentuk dasar yang unik’.
Bukti selanjutnya adalah Sieve of Eratosthenes (Saringan Eratosthenes),
yaitu cara untuk menentukan bilangan prima dalam suatu rentang
tertentu. Saringan ini ditemukan oleh Eratosthenes, seorang ilmuan
Yunani Kuno. Eratosthenes lahir di Cyrene (Libya), tetapi bekerja dan

meninggal di Alexandria. Dia tidak pernah menikah dan dikenal sombong.
Dia belajar di Alexandria dan untuk beberapa tahun di Athena. Pada 236
SM, ia ditunjuk oleh Ptolemy III Euergetes I sebagai pustakawan
Perpustakaan Alexandria, menggantikan Zenodotos. Sekitar tahun 255
SM, ia menciptakan bola armilar yang digunakan secara luas hingga
diciptakannya oreri pada abad 18. Pada 195 SM, ia mengalami kebutaan
dan selama setahun membiarkan dirinya kelaparan hingga meninggal. Ia
dicatat oleh Cleomedes dalam On the Circular Motions of the Celestial
Bodies sebagai orang yang telah menghitung keliling Bumi pada tahun
240 SM, menggunakan metode trigonometri dan pengetahuan mengenai
sudut kemiringan Matahari saat tengah hari di Alexandria dan Syene
(Aswan, Mesir).
Saringan Eratosthenes merupakan cara paling sederhana dan paling cepat
untuk menemukan bilangan prima sebelum ditemukan Saringan Atkin

pada tahun 2004. Saringan Atkin merupakan cara yang lebih cepat,
namun lebih rumit dibandingkan dengan Saringan Eratosthenes. Misalkan
kita akan menentukan semua bilangan prima antara 1 sampai n
menggunakan Saringan Eratosthenes, langkah-langkahnya adalah
1.

Tulis semua bilangan antara 1 sampai n, sebut daftar A.

2.

Buat daftar yang masih kosong, misal daftar B.

3.

Coret bilangan 1 dari daftar A.

4.
Tulis 2 pada daftar B, lalu coret 2 dan semua kelipatannya dari
daftar A.
5.


Bilangan pertama yang belum dicoret dari daftar A (misalnya 3)
adalah bilangan prima. Tulis di daftar B, lalu coret bilangan ini dan
semua kelipatannya.

6.

Ulangi langkah 4 sampai semua bilangan di daftar A tercoret.

7.
Semua bilangan di daftar B adalah bilangan prima. kembali setelah
berabad-abad berhenti.
Pada tahun 1640, Pieere de Fermat berhasil membuat Teorema Kecil
fermat (Fermat’s Little Theorem) yang kemudian dibuktikan oleh Leibniz.
Pada abad XVII, penelitian terhadap bilangan prima dilanjutkan Euler.
Lama setelah itu, Euler menemukan kekurangan pada teorema ini.
Seorang matematikawan Perancis, Marin Mersenne (1588-1648)
kemudian membuat suatu bentuk baru dari bilangan prima yang diberi

nama bilangan prima Mersenne (Mersenne Prime). Cara penentuannya

pun belum sempurna karena diantaranya terdapat beberapa prima semu.
Sampai abad XIX, masih banyak matematikawan yang beranggapan
bahwa 1 adalah bilangan prima, dari defnisi bilangan prima adalah
bilangan yang habis dibagi 1 dan bilangan itu sendiri tanpa membatasi
jumlah pembagi. Pada abad XIX, Legendre dan Gauss membuat sebuah
konjektural untuk menghitung banyaknya bilangan prima yang kurang
dari atau sama dengan suatu bilangan dan dibuktikan pada tahun 1896
dan berganti nama menjadi Teorema Bilangan Prima (Prime Number
Theorem). Sebelumnya pada tahun 1859, Riemann juga mencoba
membuktikan konjektural tersebut menggunakan fungsi zeta.
Pencarian bilangan prima terus berlanjut. Banyak matematikawan yang
meneliti tentang tes bilangan prima. Sebagai contoh, Pepin’s test untuk
bilangan Fermat (1877), Lucas-Lehmer test untuk bilangan Mersenne
(1856), dan Lucas-Lehmer test yang digeneralisasikan.
Pada abad XX, penggunaan bilangan prima di luar bidang matematika
mulai dikembangkan. Pada era 1970-an, ketika konsep kriptograf
ditemukan, bilangan prima menjadi salah satu dasar pembuatan kunci
algoritma enkripsi seperti RSA.
Banyaknya bilangan prima tak terhingga, berapa pun banyaknya kita
menghitung, pasti akan menemukan bilangan prima. Hal ini menjadi tekateki, jika mengingat bilangan prima tidak dapat dibagi oleh bilangan
lainnya. Salah satu hal yang menakjubkan adalah dalam era komputer,
kita memberikan kodetifkasi untuk semua hal yang penting dan rahasia
dalam angka jutaan bilangan-bilangan yang tidak habis dibagi oleh angka
lainnya. Ini diperlukan karena dengan penggunaan angka lain, kodetifkasi
tadi dapat dengan mudah ditembus.
Fenomena inilah yang ditemukan oleh ilmuan dari Duesseldorf (Dr.
Plichta), sehubungan dengan penciptaan alam, yaitu distribusi misterius
bilangan prima. Para ilmuan sudah lama percaya bahwa bilangan prima
adalah bahasa universal yang dapat dimengerti oleh semua makhluk
sebagai komunikasi dasar. Bahasa ini penuh misteri karena berhubungan
dengan perencanaan universal kosmos.
Dan yang terakhir, kita akan membahas tentang Sejarah dan
Perkembangan Aljabar Matematika.
Aljabar adalah cabang matematika yang mempelajari struktur, hubungan
dan kuantitas. Untuk mempelajari aljabar, digunakan simbol untuk
merepresentasikan bilangan secara umum sebagai sarana
penyederhanaan dan alat bantu memecahkan masalah.

Aljabar sudah digunakan matematikawan sejak ribuan tahun yang lalu.
Asal mula aljabar dapat ditelusuri dari Babilonia Kuno yang
mengembangkan sistem matematika yang cukup rumit. Mereka sudah
dapat mengaplikasikan rumus dan menghitung solusi untuk nilai yang
tidak diketahui dengan menggunakan persamaan linier, persamaan
kuadrat dan persamaan linier tak tentu. Sebaliknya, bangsa Mesir dan
kebanyakan bangsa India, Yunani, serta Cina masih menggunakan
metode geometri untuk memecahkan persamaan, misalnya seperti yang
terdapat dalam “The Rhind Mathematical Papyrus”, “Sulba Sutras”,
“Euclid’s Elements” dan “The Nine Chapters on the Mathematical Art”.
Orang-orang Mesir menggunakan kata ‘heap’ untuk mewakili bilangan
yang tidak diketahui.
Sekitar tahun 300 SM, seorang sarjana Yunani Kuno, Euclid menulis buku
yang berjudul ‘Elements’. Dalam buku ini, terdapat rumus aljabar yang
dikembangkan dengan mempelajari bentuk-bentuk geometris. Orangorang Yunani Kuno biasanya menuliskan permasalahan secara lengkap
jika permasalahan tidak dapat dipecahkan dengan metode geometri. Cara
ini disebut ‘aljabar retoris’ yang membatasi kemampuan mereka untuk
memecahkan masalah yang mendetail.
Seiring perkembangan zaman, pada abad ke-3, Diophantus of Alexandria
(250 M) menulis buku berjudul Aritmatika, yang menggunakan simbolsimbol untuk bilangan yang tidak diketahui dan untuk operasi seperti
penjumlahan dan pengurangan. Sistemnya tidak sepenuhnya dalam
bentuk simbol, tetapi berada diantara sistem Euclid dan apa yang
digunakan sekarang. Hal ini dikenal dengan ‘aljabar sinkopasi’.
Ketika agama Islam mulai muncul pada abad ke-6, terjadi perang antar
agama untuk menundukkan daerah Yahudi, Khatolik dan Nasrani mulai
gencar dilakukan oleh umat muslim. Sehingga pada tahun 641 M, bangsa
Arab berhasil menguasai Alexandria dan menutup sekolah Yunani Kuno
terakhir. Namun, ide-ide bangsa Yunani tetap dipertahankan bahkan
dikembangkan, dan kemudian dibawa ke Eropa Barat setelah menduduki
Spanyol pada tahun 747 M.
Bangsa Arab pertama kali menemukan ide-ide ketika bertemu dengan
dokter-dokter Yunani yang bekerja di Arab. Dua orang sarjana yang
terkenal adalah Brahmagupta (598-660) dan Aryabhata (475-550).
Brahmagupta adalah seorang astronom yang banyak menemukan ciri-ciri
untuk luas dan volume benda padat. Sedangkan Aryabhata adalah
seorang ilmuan yang menciptakan tabel sinus (rasio-rasio istimewa) dan
mengembangkan sebuah bentuk aljabar sinkopasi seperti sistem yang
dibuat Diophantus.
Lambat laun, bangsa Arab mulai mengenal teori yang dimiliki negara
jajahan tersebut. Mereka mulai mengembangkannya dengan cara mereka

sendiri. Kemudian munculah tokoh yang menemukan teori aljabar, AlKhwarizmi (780-850), seorang muslim keturunan Usbekistan yang lahir
pada tahun 780 M/194 H. Al-Khwarizki merupakan seorang tokoh islam
yang berpengetahuan luas. Pengetahuan dan kemahirannya tidak hanya
di bidang syariat, tetapi juga dalam bidang falsafah, logika, aritmetik,
geometri, musik, sastra, sejarah islam dan ilmu kimia. Sekitar tahun 830
M, ia menulis tiga buku tentang matematika. Bukunya yang paling
terkenal berjudul “Hisab al-Jabr wa’l Muqabalah” (perhitungan dengan
restorasi dan reduksi). Restorasi maksudnya menyederhanakan sebuah
rumus dengan menggunakan operasi yang sama di kedua sisinya.
Sedangkan reduksi berarti mengkombinasikan bagian-bagian yang
berbeda dari sebuah rumus dan kemudian menyederhanakannya. AlKhwarizmi juga menciptakan pemakaian Secans dan Tangens dalam
penyelidikan trigonometri dan astronomi. Dalam usia muda, ia telah
bekerja di bawah pamerintahan Kehalifah al-Ma’mun, daerah Bayt alHikmah di Baghdad. Al-Khwarizmi bekerja dalam sebuah observatory. AlKhwarizmi juga dipercaya memimpin perpustakaan khalifah.
Sebelum karya Al-Khwarizmi yang berjudul “Hisab al-Jabr wa’l Muqabalah”
muncul, kata aljabar tidak pernah digunakan. Istilah ‘Aljabar’ berasal dari
bahasa arab ‘al-jabr’ yang berasal dari kitab ‘Al-Kitab al-Jabr wa-lMuqabala’ (The Compendious Book on Calculation by Completion and
Balancing) yang ditulis oleh Al-Khwarizmi. kata ‘Al-Jabr sendiri sebenarnya
berarti penggabungan. Bahkan jika dilihat dari sejarahnya,
matematikawan Yunani pada zaman Hellenisme, Diophantus, secara
tradisional telah mengenal konsep aljabar, hanya saja mereka tidak
menggunakan istilah tersebut untuk teori yang mereka miliki.
Seperti halnya Al-Khwarizmi, Diophantus juga dikenal sebagai ‘Bapak
Aljabar’ walaupun sampai sekarang masih diperdebatkan siapa yang
berhak atas gelar tersebut. Pendukung Al-Khwarizmi menunjukkan fakta
bahwa hasil karyanya pada prinsip reduksi masih digunakan sampai
sekarang, dan ia juga memberikan penjelasan yang rinci mengenai
penyelesaian persamaan kuadratik. Sedangkan pendukung Diophantus
menunjukkan Aljabar yang ditemukan dalam Al-Jabr adalah masih sangat
dasar dibandingkan Aljabar yang ditemukan dalam ‘Arithmetica’, karya
Diophantus. Matematikawan Persia lain, Omar Khayyam membangun
Aljabar Geometri dan menemukan bentuk umum geometri dari
persamaan kubik. Matematikawan India Mahavira dan Bhaskara, serta
matematikawan Cima, Zhu Shiie juga berhasil memecahkan berbagai
macam persamaan kubik, kuartik, kuintik dan polinom tingkat tinggi
lainnya.
Peristiwa penting lain adalah perkembangan lebih lanjut dari aljabar yang
terjadi pada abad ke-16. Ide tentang determinan yang dikembangkan oleh
matematikawan Jepang, Kowa Seki di abad ke-17, diikuti oleh Gottfried
Leibniz sepuluh tahun kemudian, untuk memecahkan Sistem Persamaan

Linier secara simultan menggunakan matriks. Gabriel Cramer juga
menyumbangkan hasil karyanya tentang Matriks dan Determinan pada
abad ke-18. Aljabar Abstrak dikembangkan pada abad ke-19, mula-mula
berfokus pada teori Galois dan pada masalah keterkonstruksian.
Aljabar kemudian diklasifkasikan menjadi beberapa kategori, yaitu :
1.
Aljabar Elemanter, aljabar yang mempelajari sifat-sifat operasi pada
bilangan riil dengan simbol sebagi konstanta dan variabel, dan aturan
yang membangun ekspresi dan persamaan matematika yang melibatkan
simol-simbol.
2.
Aljabar Abstrak (Aljabar Modern), aljabar yang mempelajari struktur
Aljabar yang didefnisikan dan diajarkan secara aksiomatis.
3.
Aljabat Linie, aljabar yang mempelajari sifat-sifat khusus dari Ruang
Vektor.
4.
Aljabar Universal, aljabar yang mempelajari sifat-sifat bersama dari
semua struktur