Pengembangan Internal Locus of Control dalam Pelayanan Konseling dan Implikasinya terhadap Perbedaan Budaya Klien

  Jurnal Konseling dan Pendidikan Jurnal Konseling dan Pendidikan Jurnal Konseling dan Pendidikan

  2337-6740 - 2337-6740 - 2337-6740 - 2337-6880 2337-6880 2337-6880

  ISSN Cetak:

  ISSN Cetak:

  ISSN Cetak:

  ISSN Online: http://jurnal.konselingindonesia.com http://jurnal.konselingindonesia.com http://jurnal.konselingindonesia.com Volume 1 Nomor 2, Juni 2013, Hlm 136-142 Volume 1 Nomor 2, Juni 2013, Hlm 136-142 Volume 1 Nomor 2, Juni 2013, Hlm 136-142 dan dan dan

  ISSN Online:

  ISSN Online:

  Info Artikel: Diterima 08/06/2013 Direvisi 26/06/2013 Dipublikasikan 30/06/2013

Ikatan Konselor Indonesia (IKI) Pengembangan I gan Internal Locus of Control d ol dalam Pelayanan Kons onseling dan Implikasinya terhad rhadap Perbedaan Buda daya Klien

  1 Marjohan

  1 Fakultas Ilmu Pendidikan, Un Universitas Negeri Padang Abstract

The goal of counseling, amon mong other thing, is to develop an internal locus of co control of a clients. Research,

especially in western cultures res, has shown that those with an internal locus of con control were correlated to their

characters, they are: hard w work, problem solving skilss, optimistic, engaging in in social activities and high in

achievement motivation. Howe wever, for clients who are not from western cultures a a tendency to foster an internal

locus of control in the counseli seling process should be considered properly. This pap aper describes how to enhance

client’s internal locus of contro trol for those who do not embrace western cultures Keyword: Locus of Control, b l, budaya, konseling Copyright © 2013 IICE - Multikarya Kons (Padang - Indonesia) dan IKI - Ikatan Konselor Indonesia - All Rights Reserved Copyright © 2013 IICE - Multikarya Kons (Padang - Indonesia) dan IKI - Ikatan Konselor Indonesia - All Rights Reserved Copyright © 2013 IICE - Multikarya Kons (Padang - Indonesia) dan IKI - Ikatan Konselor Indonesia - All Rights Reserved Indonesian Institute for Counseling and Education (IICE) Multikarya Kons Indonesian Institute for Counseling and Education (IICE) Multikarya Kons Indonesian Institute for Counseling and Education (IICE) Multikarya Kons PENDAHULUAN

  Pelayanan konseling telah lah lama dipandang oleh para ahli sebagai bagian yang ng tak terpisahkan dalam sistem pendidikan di sekolah dan d didisain untuk membantu peserta didik mengembang angkan wawasan, pengetahuan, keterampilan, nilai dan sika kap berkenaan dengan diri dan lingkungannya sehi ehingga potensi mereka dapat berkembang secara optimal (P l (Prayitno dan Erman Amti, 1994; Shertzer & Stone, ne, 1980). Pentingnya layanan konseling ini dalam sebuah sis sistem pendidikan juga diakui oleh para pendidik. Gibso son & Mitchel (1990) misalnya, menyatakan bawa kehadiran n layanan konseling pada program sekolah merupak akan kemajuan dan salah satu karakteristik dari sistem pend ndidikan di berbagai negara saat ini. Di Indonesia, p , pentingnya layanan konseling tersebut juga dapat dilihat da dari berbagai aturan dan perundang-undangan pendid didikan di Indonesia. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nal (Permendiknas) No. 22 tahun 2006 tentang Sta Standar Isi menyatakan bahwa pelayanan konseling di sekola olah/madrasah merupakan usaha membantu peserta d a didik dalam pengembangan kehidupan pribadi, kehidupan an sosial, kegiatan belajar, serta perencanaan dan pen pengembangan karir. Pelayanan konseling memfasilitasi peng engembangan peserta didik, secara individual, kelomp mpok dan atau klasikal, sesuai dengan kebutuhan, potensi, ba bakat, minat, perkembangan, kondisi, serta peluang-pelu eluang yang dimiliki. Pelayanan ini juga membantu mengatasi si kelemahan dan hambatan serta masalah yang dihada adapi peserta didik. Selanjutnya dalam Permendiknas itu juga ga dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan pelayanan nan konseling adalah pelayanan

Jurnal Konseling dan Pendidikan Jurnal Konseling dan Pendidikan Jurnal Konseling dan Pendidikan

  http://jurnal.konselingindonesia.com http://jurnal.konselingindonesia.com http://jurnal.konselingindonesia.com Vol. 1 No. 2, Juni 2013. hlm.136 – 142 Vol. 1 No. 2, Juni 2013. hlm.136 – 142 Vol. 1 No. 2, Juni 2013. hlm.136 – 142

  bantuan untuk peserta didik, b , baik secara perorangan maupun kelompok, agar mam ampu mandiri dan berkembang secara optimal, dalam bidang ang pengembangan kehidupan pribadi, kehidupan sos osial, kemampuan belajar, dan perencanaan karir, melalui be berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung, ber berdasarkan norma-norma yang berlaku.

  Salah satu upaya da dalam membantu kemandirian dan perkembangan o optimal peserta didik dalam kehidupan mereka adalah pen engembangan locus of control mereka. Locus of con control merupakan konsep yang dikemukakan oleh Julian F. R . Rotter (1966) yang menjelaskan sejauh mana indivi ividu meyakini bahwa perilaku mereka menentukan apa yang ang akan terjadi pada diri mereka. Dia menegaskan an bahwa kualitas atau derajat seseorang mengontrol berbagi gi kejadian dalam hidupnya akan mempengaruhi keputu tusan yang akan diambilnya dan interaksinya dengan orang lai lain. Lefcourt (1982) menyatakan bahwa individu per erlu efektif dan menyadari diri mereka serta akan menjadi pe penentu terhadap nasib mereka. Pelayanan konselin ling, khususnya di dunia barat, selama ini lebih banyak men engarahkan perhatiannya untuk membantu para klien en untuk menjadi pribadi yang mandiri, tidak menyerah pada da nasib dan idividu yang mampu mengatasi masalah lahnya dengan tidak tergantung kepada orang lain. Ada semac acam tradisi pada teori-teori konseling di dunia bara arat yang menghargai nilai-nilai otonomi, individualisme, komp mpetisi dan sejenisnya dalam kehidupan.

  Bagaimanapun juga a perlu dipahami bahwa bagi individu yang hidup p di negara-negara yang tidak dibesarkan dalam budaya bar barat di atas, agaknya penghargaan yang tinggi terh erhadap budaya individualisme, kompetisi dan otonomi belum m menjadi pandangan hidup mereka yang dominan da dan bahkan tidak cocok dengan pandangan seperti itu. Speight ght, et al., (1991: 29) menyatakan “all humans differ in in terms of cultural background, values or life style”. Ide ini jug juga diakui oleh Pedersen (1991) yang menyatakan sebe ebelum seseorang lahir ke dunia, pola-pola pikir dan cara-cara b a bagaimana seseorang mestinya bertingkah laku telah ah disiapkan oleh orang tua dan masyarakat sekeliling mereka.

  a. Pola pikir dan cara-cara bertingkah laku itu akan m menjadi pedoman bagi individu untuk hidup sejahtera di lingku gkungannya. Konsekuensinya, konselor perlu menyadari ari perbedaan nilai yang dibawa klien dan memahami dengan b n baik bagaimana budaya mereka tersebut mempengaruh ruhi tingkah laku dan keputusan yang mereka ambil sehari-hari. ari. Dalam kaitan ini Pedersen (1988) menyatakan: Und Understanding group differences,

  

as well as individual differenc ences, is important to the accurate interpretation of beh behaviors. Counseling strategies

that disregard the influence of of a client’s cultural context are unlikely to interpret a et a client’s behavior accurately

(p. vii).

  Dengan demikian up upaya-upaya atau strategi yang diterapkan dalam la layanan konseling yang tidak didasarkan kepada pemahaman an terhadap budaya klien akan membuahkan interpreta etasi yang salah tentang perilaku mereka dan tentu saja akan me mengakibatkan pelayanan tersebut tidak efektif

  Kaitan antara budaya ya dengan konseling telah diakui oleh sejumlah ahli. li. Wacana tentang budaya serta pentingnya dalam pelayanan ko konseling telah banyak mendapat perhatian dalam berb rbagai literatur (lihat Hill, 1994; Lee, 1984; Pedersen, 1988; R Ridley, et al., 1994; dan Sue & Sue, 1990). Berbagai gai isu berkenan dengan konsep budaya, seperti masalah etnis, is, ras, pandangan hidup, dan sebagainya telah banyak d diteliti oleh para penulis dalam bidang konseling. Semua wac wacana itu berkisar dalam suatu tema yang sering dik dikenal dengan konseling multi budaya (multicultural counselin eling).

Jurnal Konseling dan Pendidikan Jurnal Konseling dan Pendidikan Jurnal Konseling dan Pendidikan

  http://jurnal.konselingindonesia.com http://jurnal.konselingindonesia.com http://jurnal.konselingindonesia.com Vol. 1 No. 2, Juni 2013. hlm.136 – 142 Vol. 1 No. 2, Juni 2013. hlm.136 – 142 Vol. 1 No. 2, Juni 2013. hlm.136 – 142

  Ada sejumlah alasan an mengapa konsep-konsep tentang budaya perlu diper pertimbangkan dalam pelayanan konseling. Pertama, konseling ling tidak terjadi dalam keadaan kosong yang terpisah ah dari pengaruh sosial budaya masyarakat sekitarnya (Sue & & Sue, 1990). Pedersen (1985) menegaskan bahwa "c "culture is a frame of reference from which we encounter the the world, ourselves, and life” (p.6). Karenanya, profes fesi konseling dipengaruhi oleh kerangka sosial budaya setem empat. Kedua, seluruh manusia berbeda dalam hal lata atar belakang budaya, nilai-nilai yang dianut, atau gaya hidupn upnya. Oleh karena itu seluruh layanan konseling per erlu bersifat lintas budaya atau multi budaya (Ibrahim, 1991; 1; Pedersen, 1990; Speight, et al., 1991). Pemikiran i n ini didasarkan atas keyakinan bahwa setiap hubungan dalam am konseling melibatkan dua atau lebih peserta yang be berbeda latar belakang budaya, nilai, dan gaya hidupnya (Sue ue & Sue, 1990). Dengan demikian, pemahaman buday aya sebagaimana halnya dengan pemahaman perbedaan indivi ividu merupakan hal yang penting dalam hubungan an konseling (Pedersen, 1988). Ketiga, secara luas disadari ri bahwa individu berbeda dalam hal sikap budaya ya, nilai, dan keyakinan yang membentuk keunikan mereka d a dalam memandang kehidupan (Schwebel, 1980; Sue & e & Sue, 1990; Sundberg, 1981). Pandangan hidup yang dianut nut manusia secara langsung mempengaruhi sistem ke kepercayaan, asumsi, cara-cara penyelesaian masalah, pengam ambilan keputusan, dan pemecahan konflik-konflik m mereka (Ibrahim, 1991). Oleh karenanya, adalah penting sek sekali bagi konselor untuk memahami pandangan hidu idup kliennya. Keempat, karena keefektifan konseling tergantun tung kepada pemahaman klien sebagai individu yang un unik, konselor perlu mengaitkan pengalaman-pengalaman indiv dividu yang unik itu sebagai akibat dari proses budaya ya (Ridley, at al., 1994). Oleh karena itulah mengapa perlu se sekali konselor, dalam rangka memahami secara penu nuh tingkah laku manusia, perlu memahaminya dari sudut kont onteks sosial budaya (Segall, et al., 1990). Atas alasan- an-alasan ini, dapat disimpulkan bahwa pemahaman budaya ma manusia akan memperjelas pemahaman konselor terha rhadap perilakunya dan perilaku orang lain dan akan menggiring ring mereka untuk bertindak secara efektif dalam hubung ngan konseling.

  Menurut Carter (1991 91), Ibrahim (1991), Hui & Triandis (1986) dan Sue & & Sue (1990), ada dua variabel penting yang perlu diperhatik tikan konselor ketika ia melaksanakan interaksi dalam am hubungan konseling. Kedua variabel itu adalah nilai budaya aya atau pandangan hidup klien dan dimensi individualis alisme-kolektivisme klien.

  Pandangan hidup yan yang dianut klien adalah komponen penting dari kepe peribadian individu yang perlu diperhatikan oleh konselor d dalam hubungan konseling. Ibrahim (1991) menega gaskan bahwa konseling multi budaya akan dapat menjadi ke kehilangan makna kecuali bila konselor dapat menggu gunakan pandangan hidup klien sebagai variabel antara dalam am setiap kekhususan pertemuan konseling. Dia men enambahkan bahwa pandangan hidup yang dimiliki klien meru erupakan suatu mekanisme bagi konselor dan klien untuk tuk memahami bagaimana etnis, budaya, sejarah sosial dan p politik, dan gaya hidup mempengaruhi pilihan-pilih pilihan hidup dan kemampuan pengambilan keputusan. Lebi ebih lanjut Sue & Sue (1990) mengemukakan bahwa pa pandangan hidup yang dimiliki seseorang tidak hanya men enyumbang kepada sikap, nilai, pendapat, dan ko konsepnya, tetapi juga dapat mempengaruhi bagaimana me mereka berpikir, membuat keputusan dan menjelaskan kan kejdian-kejadian baik yang dialaminya atau yang dilihatny tnya.

  Dimensi individualism lisme dan kolektivisme juga merupakan aspek penting ting lain yang dapat digunakan konselor dalam memahami bu budaya klien (Hui & Triandis, 1986; Triandis, 1989) 9). Menurut Hui dan Triandis (1986), dimensi individualism lisme dan kolektivisme dapat dilihat sebagai variabel el budaya sebagaimana halnya dengan variabel keperibadian. an. Sebagai suatu variabel budaya, individualisme dan an kolektivisme berbeda dalam beberapa hal. Ada sejumlah lah karakteristik individu yang berada dalam dimen ensi kolektivisme, seperti (1) memberikan pertimbangan ba bahwa implikasi keputusan atau tindakan yang diam ambilnya pada orang lain, (2) berbagi dalam hal sumber-sum sumber materi (3) berbagi dalam hal sumber-sumber no non materi (4) rentan terhadap pengaruh-pengaruh sosial; (5) 5) berbagi akibat-akibat seperti penderitaan atau kebahag hagiaan, dan (6) perasaan terlibat dalam kehidupan orang (Hui & i & Triandis, 1986, p. 229-232).

Jurnal Konseling dan Pendidikan Jurnal Konseling dan Pendidikan Jurnal Konseling dan Pendidikan

  http://jurnal.konselingindonesia.com http://jurnal.konselingindonesia.com http://jurnal.konselingindonesia.com Vol. 1 No. 2, Juni 2013. hlm.136 – 142 Vol. 1 No. 2, Juni 2013. hlm.136 – 142 Vol. 1 No. 2, Juni 2013. hlm.136 – 142

  Dari sudut pandanga ngan Hui and Triandis, adalah bisa dimengerti unt untuk memprediksi bagaimana pandangan hidup mereka y yang kolektivis dibandingkan dengan yang indi dividualis. Orang-orang yang berpandangan kolektivisme c cenderung mengambil keputusan atas dasar pandang angan apakah tindakan mereka menguntungkan keluarga, atau tau anggota kelompoknya. Mereka juga cenderung men enjaga hubungan sosial mereka dengan cara meminjamkan, m meminjam, memberikan harta mereka pada yang lain, in, berbagi rasa, patuh terhadap norma kelompok, dan menunj njukkan kepedulian yang amat dalam terhadap penerim rimaan kelompok. Mereka juga merasa bahwa apa bila mereka eka gagal atau bertindak tidak tepat hal itu akan mendat datangkan malu kepada keluarga atau kelompok mereka. Para ko kolektivis juga percaya bahwa kehidupan orang lain dap dapat berpengaruh langsung atau tidak kepada kehidupannya (H (Hui & Triandis, 1986).

  Sebaliknya, Hui dan an Triandis mencatat bahwa karakteristik kolektivisme me di atas tidak didukung oleh mereka yang beraliran individu idualisme. Lebih lanjut dikemukakannya, karena indivi ividualisme merasa dan berpikir bahwa mereka mampu mengu gurus diri mereka, mereka memberi nilai tinggi pada k a kebebasan dan kecukupan diri sendiri, dan kurang peduli pada ada orang lain.

  ERNAL LOCUS OF CONTROL

PENGEMBANGAN INTER KLIEN DALAM AM LAYANAN KONSELING

LINTAS BUDAYA Locus of control merupakan konsep nilai yang pertama kali diperkenal me nalkan oleh Rotter (1966). Dia

  menjelaskan konsep tersebut but sebagai sejauhmana individu memahami diriny inya dalam kaitannya dengan kemampuannya dalam mengen endalikan atau mengontrol lingkungan. Lebih lanjut dik dikemukakannya bahwa individu menginterpretasikan peristiwa- wa-peristiwa atau hasil-hasil yang diperolehnya dalam d dua cara, yaitu melalui kontrol yang bersifat internal (internal nal locus of control) dan kontrol yang bersifat ekstern rnal (external locus of control). Apabila mereka meyakini bahwa ahwa suatu peristiwa atau hasil dari suatu tindakan meru erupakan akibat dari nasib baik, kebetulan, nasib atau kekuatan tan orang lain, mereka dikategorikan kepada external loc locus of control. Sebaliknya jika individu menginterpretasikan an bahwa peristiwa atau apa yang mereka dapatkan an sekarang adalah akibat dari kemampuan atau usaha mereka eka sendiri, mereka itu digolongkan sebagai individu ya yang memiliki internal locus of control.

  Para ahli tampaknya ya sangat mendorong upaya-upaya untuk mengemban bangkan pribadi individu untuk memiliki sifat-sifat yang meng ngarah kepada internal locus of control. Sejumlah peneliti nelitian menunjukkan hubungan antara derajat locus of control rol yang dimiliki remaja dengan berbagai aspek kehidu idupannya. Lefcourt dan Rotter (dalam Sue & Sue, 1982) m menyimpulkan temuan-temuan penelitian berkaitan d dengan locus of control yaitu internal locus of control berk erkorelasi dengan (1) kerja keras menguasai lingkung ungan, (2) keterampilam dalam menemukan strategi pemecaha ahan masalah, (3) lebih baik dalam memproses informa masi, (4) rendah kecenderungan untuk merasa cemas, (5) ting tinggi motivasi berprestasi, (6) lebih banyak terlibat da dalam kegiatan sosial, dan (7) memberikan penghargaan yang ang tinggi terhadap penguasaan keterampilan. Selanjutny tnya Dalley, et al, 1992; Powell, Denton, & Matson, 1995 m menemukan bahwa remaja yang cenderung memilik iliki internal locus of control, dibandingkan teman-temannya ya yang external locus of control, menunjukkan karakt akteristik lebih banyak terhindar dari depresi, tidak mau mengg ggunakan obat-obat terlarang, memperoleh prestasi bel belajar yang bagus untuk semua tingkat kelas di SMA, cenderu rung menjadi pemimpin dalam kelompoknya, dan tidak ak terasing dari teman-temannya di sekolah atau di masyarakat. at. Selanjutnya Belle dan Burr (1991) , Wintre dan Crowl owley (1993) melaporkan bahwa remaja yang mempunyai intern ernal locus of control cenderung mengemukakan masala alah-masalah pribadinya kepada orang lain dan datang meminta nta bantuan layanan konseling bila mereka membutuhka kannya di banding mereka yang memiliki external locus of cont ontrol.

Jurnal Konseling dan Pendidikan Jurnal Konseling dan Pendidikan Jurnal Konseling dan Pendidikan

  http://jurnal.konselingindonesia.com http://jurnal.konselingindonesia.com http://jurnal.konselingindonesia.com Vol. 1 No. 2, Juni 2013. hlm.136 – 142 Vol. 1 No. 2, Juni 2013. hlm.136 – 142 Vol. 1 No. 2, Juni 2013. hlm.136 – 142

  Pelayanan konseling ng yang berorientasi kepada pandangan hidup ind ndividualisme bertujuan untuk membantu para klien memiliki iliki sifat dan karakteristik yang menggambarkan konsep ep nilai internal locus of control dimaksud (Trusty dan Lamp mpe, 1997). Menurut Corsini dan Wedding, 1989) 9) kebanyakan teori konseling melukiskan dan mengekploras rasi persepsi yang dimiliki individu dan meningkatka tkan kontrol diri dalam rangka membantu mereka mengatasi asi masalahnya. Pendekatan konseling kognitif dan n behavioral, misalnya upaya meningkatkan kontrol diri m merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam pros roses layanan konseling kedua pendekatan tersebut. Strong, Yo

  g, Yoder dan Corcoran (1995) menegaskan bahwa upay aya konselor dalam mendorong klien untuk memperkuat keku kuatan dirinya adalah aspek fundamental dalam konseli seling, dan implikasinya adalah semua klien hendaknya diarah rahkan untuk berjuang memiliki internal locus of con ontrol. Malahan sejumlah ahli menyatakan bahwa meningkatk atkan internal locus of control klien adalah tujuan utam ma dari konseling (Frank, 1982: Strupp, 1970).

  Kecenderungan untuk tuk memberikan nilai yang tinggi pada internal lo locus of control sebagaimana dikemukakan di atas menurut S ut Sue & Sue (1982) adalah cerminan dari budaya Amer erika yang mengagungkan " the uniqueness, independence, dan an self-reliance pada setiap individu. Namun demikian an bagi klien yang berasal bukan berasal dari budaya barat agak gaknya kecenderungan untuk memberikan harga yang ng tinggi pada internal locus of control dalam konseling seperti erti yang lazim berlaku di dunia barat perlu diteliti lebih ih lanjut.

  Pada masyarakat yan ang berorientasi kolektivisme seperti Indonesia, Malay laysia dan negara-negara timur lainnya, penekanan pada intern ternal locus of control saja agaknya tidak sesuai denga gan budaya mereka dan bahkan tidak produktif. Williams (200 003) menyatakan strategi pelayanan konseling yang me menyokong upaya-upaya kearah internal locus of control belu elum tentu cocok untuk masyarakat yang memakai pa pandangan hidup kolektivisme. Sebagaimana dikemukakan te terdahulu masyarakat yang berbudaya kolektivisme l e lebih menekankan pentingnya keluarga atau kelompok dala alam mengambil keputusan, dan dalam bertingkah h laku. Seseorang yang lebih mementingkan kekuatan dirin irinya dalam bertindak dapat merupakan individu y yang tidak diinginkan dalam masyarakat kolektivisme. Den Dengan demikian pribadi yang sehat dalam budaya kole olektivisme adalah pribadi yang seimbang dalam memenuhi ke kebutuhan dirinya dengan kebutuhan keluarga atau ke kelompoknya. Dalam kaitan ini Marks (1998) menyatakan ba bahwa konselor mestinya menghindari menerapkan n secara menyeluruh ide yang mengatakan bahwa internal loc locus of control selalu lebih baik dari external locus of co f control.

  Dalam kaitan ini cara ara yang lebih bijak berkaitan dengan pengembangan in internal locus of control dalam konseling pada klien-klien yan ang berorientasi kolektivisme ini adalah bahwa konselo elor perlu memperhatikan faktor etnis dan budaya klien, apak akah konsep tersebut dapat membantu mereka meng ngembangkan berbagai potensi mereka atau bukan. Ada aspe spek dalam konseling yang perlu diperkuat internal lo locus of controlnya namun ada pula hal-hal yang menyangku kut external locus of control yang perlu dipahami dan an dimaknai secara positif oleh klien. Dalam kaitan ini kondis disi dan peristiwa yang dialami klien yang berkaitan den engan upaya yang berhubungan dengan kemampuan atau usaha aha mereka sendiri, pengembangan internal locus of con ontrol klien oleh konselor dalam pelayanan konseling menjadi a i amat relevan. Tetapi apabila kondisi dan masalah yan ang dialami oleh klien berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yan yang tak dapat dikendalikan klien seperti masalah yang g tak diduga-duga atau kondisi insidental yang diyakini oleh k h klien sebagai suatu takdir yang berasal dari kemahak akuasaan Tuhan, pengembangan

  

internal locus of control pada d a diri klien tidak akan membuat mereka mengarah kepa pada kehidupan sehari-hari yang

  efektif dan produktif. Klien ya yang mengalami kasus-kasus seperti itu perlu didorong g untuk mencari hikmah dibalik peristiwa atau kondisi insident ental yang mereka alami itu sehingga dengan demikian ian mereka mampu memahami, menerima secara positif serta rta dapat mengambil berbagai langkah yang tepat untu tuk pengembangan diri mereka sewaktu menghadapi peristiwa wa dimaksud (Prayitno, 2004).

Jurnal Konseling dan Pendidikan

Jurnal Konseling dan Pendidikan

Jurnal Konseling dan Pendidikan

  sis. Child Study Journal, 21, tions for counselling. Journal symptomology, attributional with and without learning

  Psychology Review , 21, 444-458.

  .H. (1990). Introduction to counselling and guidance, ompany. icity in counseling process and measuring session ou rnal of Counseling Psychology , 41, 123. H.C. (1986). Individualism-collectivism: A study of c ltural Psychology, 17, 225-248. ribution of cultural worldview to generic counseling and lopment , 70, 13-19. g and culture: Some issues. The Personnel and Guidanc

  

cus of control: Current trends in theory and researc

, Publishers.

Handbook of cross-cultural counseling and therapy . W

Handbook for developing multicultural awareness. Virgin

  elopment. e multicultural perspective as a fourth force in couns 12 , 93-95. ulticulturalism as a generic approach to counseling -12. n Nsional No. 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi

  Mattson, A. (1995). Adolescent depresion: Effects of locus of control. American Journal of Orthopsychiatry, ). Dasar-dasar bimbingan dan konseling. Jakarta: P Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I. D.W., Kanitz, B.E., Angermeir, L., & Zenk, R. (1994 eling: A perceptual schema model. Journal of Counse ralized expectations for internal versus external c ograph, 80, 1-28. gue: 2000 AD. In J.M. Whiteley & B.F. Fretz (Eds.).

  ology . Monterey, California: Brooks/Cole.

  Berry, J.W., Portinga, Y.H. (1990). Human behavior i ss-cultural psychology . New York: Pergamon. 1980) Fundamental counseling (3rd.Ed.), Boston: Houg Cox, J.C., & Highlen, P. (1991). A redefinition of lling and development, 70, 29-36.

  ). Counseling the culturally different: Theory and practic Cross-cultural counseling and psychotherapy: A res n (Eds.). Cross-cultural counseling and psychotherapy

  http://jurnal.konselingindonesia.com Vol. 1 No. 2, Juni 2013. hlm.136 – 142

  outcome in counseling and f cross-cultural researchers. and development. Journal of ance Journal, 62, 592-597.

  ce , (3rd Ed.). New York: Mc

  velopment , 70, 164-173.

  arch . New Jersey: Lawrence

  Westport, C.T: Greenwood rginia: American Association nseling. Journal of Mental ng. Journal of Counselling of mutuality in the mother- try , 65, 263-273.

  : P3TK Direktorat Jenderal

  94). Cultural sensitivity in

  nseling Psychology , 41, 125- control of reinforcement.

  ). The present and the future

  ior in global perspective : An ughton Mifflin.

  of multicultural counselling. tice. New York: John Wiley research overview. In A.J.

  apy (pp.28-62). New York:

  DN; Alcorn, M.B; & Baker, C. (1992). Depressive sy al attitude and social competency in adolescents w

  http://jurnal.konselingindonesia.com Vol. 1 No. 2, Juni 2013. hlm.136 – 142

  KEPUSTAKAAN Belle, D.; & Burr, R. (1991). W 217-233. Carter, R.T. (1991). Cultural v

  Development, 70 , 6-12

  of Counseling & Deve

  Dalley, M.B; Bolocofsky, DN; style, dysfuncytional disabilities school. Ps Gibson, R.L., & Mitchell, M.H. Millan Publishing Com

  Hill, C. (1991). Race/ethnicit psychotherapy. Journ Hui, C.H., & Triandis, H.C.

  Journal of Cross-cultu

  Ibrahim, F.A. (1991). Contrib

  Counseling & Develop

  Lee, D.J. (1984). Counseling a Lefcourt, H.M. (1982). Locu

  Erlbaum Associates, P Pedersen, P.B. (1985). A Han Press.

  Pedersen, P.B. (1988). A Han for Counseling Develo Pedersen, P.B. (1990). The m

  Health Counseling, 12

  Pedersen, R.B. (1991) Multi

  Peraturan Menteri Pendidikan Powell, J.W; Denton, R.; & M adolescent dyad and lo Prayitno, & Amti, E. (1994).

  http://jurnal.konselingindonesia.com Vol. 1 No. 2, Juni 2013. hlm.136 – 142

  Pendidikan Tinggi , De

  Ridley, C.R., Mendoza, D.W multicultural counseli 136. Rotter, J. (1966). Generali

  Psychological Monogr

  Schwebel, M. (1980). Epilogu

  of counseling psycholo

  Segall, M.H., Dason, P.R., Be

  introspection to cross-

  Shertzer, B. & Stone, S.C. (198 Speight, S.L., Myers, L.J., C

  Journal of Counselling

  Sue, D.W., & Sue, D. (1990). C & Sons. Sundberg, N.D. (1981). Cro

  Mansella& Pedersen Pergamon.

  ). Why children do not confide: An exploratory analysis l values: A review of empirical research and implication

Jurnal Konseling dan Pendidikan Jurnal Konseling dan Pendidikan Jurnal Konseling dan Pendidikan

  http://jurnal.konselingindonesia.com http://jurnal.konselingindonesia.com http://jurnal.konselingindonesia.com Vol. 1 No. 2, Juni 2013. hlm.136 – 142 Vol. 1 No. 2, Juni 2013. hlm.136 – 142 Vol. 1 No. 2, Juni 2013. hlm.136 – 142

  Triandis, H.C. (1989). The se self and social behavior in differing cultural contexts. , 96,

  . Psychological Review 506-520.

  Trusty, J., & Lampe, R.E (1997 997). Relationship of high-school senior's perceptions of of parental Involvement and control to seniors' locu cus of control. Journal of Counselling and development ment, 75 , 375-384. Williams, B. (2003). The wo worldview dimensions of individualism and colle llectivism: Implications for counseling. Journal of l of Counselling and development, 81, 370-374. Wintre, M.G; & Crowley, J , J.M. (1993). The adolescent of consultant prefere erence. Journal of Youth and Adolescence, 22, 369-3 9-383.