Relawan Dari Gerakan Sosial ke Proyek Po

Chapter 10

Relawan: Dari Gerakan Sosial ke
Proyek Politik
Ustad Mangku Alam12, Erisandi Arditama 1, Cahyo Seftyono1
1
Universitas Negeri Semarang, Indonesia
2
E-mail: mangkualam.unnes@gmail.com
Abstract
This article describes the 2014 presidential contest marked by the
presence of political volunteers as a form of increasing the citizen's
active participation in substantial democracy. This article argues
that the rise of the social movement has spawned a tradition of
voluntarism in politics. In addition, voluntarism also helps change
the political values of patrimonial and oligarchic nuances into
voluntarism and participation. Active and online political
volunteers can increase community participation. The article also
argues that the presence of political volunteers contributes
positively to the development of an extra model of parliamentary
democracy.


Keyword: Volunteerisme; Social Movements; Political Volunteer

Pendahuluan
Fenomena relawan atau volunteerisme dalam kontestasi elektoral di
Indonesia menjadi kajian politik yang menarik untuk dikaji secara lebih
mendalam. Kajian tentang volunteerisme juga penting untuk dilakukan.
Sebab, peran relawan yang begitu besar dalam membangun basis dukungan
untuk memenangkan kandidat yang diusung. Peran volunteerisme ini tidak
dapat diangggap remeh di tengah krisis kepercayaan kepada partai politik
yang kian kehilangan legitimasi politiknya. Volunteerisme akhirnya muncul
sebagai kekuatan baru yang mampu menjangkau sektor-sektor yang tidak
mampu dijangkau oleh partai politik seperti floating mass, pemilih pemula,
dan para pemilih penggerak ekonomi kreatif. Ia juga muncul sebagai gerakan

Religion, State and Society: Exploration of Southeast Asia

politik non elitis, non partisan, berdaya secara mandiri, dan bergerak secara
massif dan dinamis, dengan satu karakter utamanya: mampu berpartisipasi
secara politik tanpa partai politik. Pada titik ini, volunteerisme menemukan

momentumnya sebagai bentuk kekuatan baru upaya pemenangan kandidat di
tengah fenomena pemilih yang semakin cenderung memilih figur daripada
partai politik yang mendukungnya.
Pada pertengahan tahun 2016, publik kembali terhenyak dengan
adanya pernyataan Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok yang hendak
mencalonkan diri pada pemilihan gubernur DKI Jakarta dalam Pilkada 2017
mendatang melalui jalur independen. Menariknya, jalur independen adalah
jalur politik yang dikenal jarang dilakukan oleh calon kepala daerah petahana
yang hendak mencalonkan diri untuk masa jabatan kedua. Apalagi,
sebelumnya Ahok dikenal sebagai kader partai Gerindra. Namun, inilah
Ahok yang selalu memiliki sisi kontroversial. Ahok dengan dibantu relawan
politiknya yang bernama Teman Ahok mampu bergerak secara masif
mencari dukungan politik untuk memuluskan langkah Ahok maju melalui
jalur independen. Pada awal pergerakannya, Teman Ahok mampu
mengumpulkan ratusan ribu KTP untuk mendukung Ahok. Lalu, kekuatan
relawan politik ini semakin terbukti dengan terkumpulnya satu juta KTP
guna memenuhi persyaratan menempuh jalur independen. Terlepas dari cara
dan metode pengumpulannya, terkumpulnya satu juta KTP ini menjadi bukti
nyata peran penting kelompok volunteerisme dalam kontestasi politik
elektoral di masa kini.

Munculnya volunteerisme dalam kontestasi politik elektoral tidak
hanya menjadi sebuah kritik terhadap kinerja partai politik, melainkan juga
sebagai tanda betapa menguatnya demokrasi partisipatoris di negeri ini;
yakni demokrasi yang lebih memberikan kesempatan yang luas bagi
partisipasi publik dengan menitikberatkan pada kepedulian atas beragam
problematika sosial di dalam ranah publik. Partisipasi dalam konteks ini
tidak dapat dilihat sebagai mobilisasi politik secara paksa –apalagi berbayar,
sebab, relawan bergerak dan berdaya secara sukarela; baik melalui aksi
jalanan (offline) ataupun online. Peran penting volunteerisme pun tidak
hanya pada upaya memenangkan calon yang didukung, melainkan juga
tentang peran pentingnya dalam menjangkau para pemilih pemula, massa
mengambang (floating mass), dan ranah privat yang berisi aktor kreatif yang
selama ini tidak dijangkau oleh partai politik. Padahal, aktor kreatif selama
141

Ustad Mangku Alam, dkk/ Relawan: Dari Gerakan Sosial…

ini dikenal sebagai aktor penggerak ekonomi kreatif seperti para pekerja
seni, pekerja sosial, budayawan, dan sebagainya, merupakan lumbung suara
yang cukup besar dan berpengaruh. Hanya saja, selama ini, mereka

cenderung apatis terhadap politik dan partai politik disebabkan adanya
ketidakpercayaan mereka terhadap sistem politik di negeri ini.
Oleh sebab itu, untuk mengkerangkai kajian ini, rumusan masalah
yang diajukan adalah: Bagaimana volunteerismee bertransformasi dari
gerakan sosial menjadi kekuatan baru dalam politik elektoral di Indonesia?
Tujuan dari kajian ini adalah untuk mengetahui bagaimana gerakan sosial
bertransformasi dari gerakan sosial menjadi gerakan politik serta
menjelaskan kekuatan volunteerisme ke dalam peta perpolitikan Indonesia
kontemporer.
Memahami Konsep Volunteer dan Volunteerisme
Secara historis, istilah relawan (volunteer ) dikembangkan sejak
tahun 1755 oleh M. Fr Voluntaire ketika memberi pelayanan kepada tentara
yang sedang berperang (Suryadi, 2014). Tugasnya adalah mengabdi secara
ikhlas dalam kegiatan altruistik untuk mendorong, memperbaiki, dan
meningkatkan kualitas kehidupan di bidang sosial, budaya dan ekonomi.
Volunteerisme adalah sebuah bentuk kegiatan kesukarelawanan, yang sedang
berlangsung, terencana, perilaku menolong yang meningkatkan
kesejahteraan orang lain, tidak menawarkan kompensasi keuangan, dan
biasanya terjadi dalam konteks keorganisasian (Clary et al., 1998). Istilah
relawan selama ini muncul dan populer hanya dalam aksi-aksi sosial—yang

dengan suka rela menyumbangkan dirinya untuk bekerja dengan tenaga dan
pikiran tanpa berharap keuntungan materi apapun. Dalam hal ini para
volunteer sering bersikap proaktif dalam membantu kelompok atau
organisasi guna melahirkan masyarakat yang sejahtera (Wilson, 2000: 216).
Pada akhirnya jiwa yang dimiliki para relawan dapat menjadi aspek kunci
dari masyarakat sipil dalam upaya pelembagaan demokrasi yang lebih
partisipatoris (Bekkers, 2005)
Menurut Savirani (2015) relawan politik dapat dikategorikan
menjadi tiga kelompok. Pertama , relawan yang berasal dari mantan aktivis
yang terlibat dalam kisaran tahun 1990-an atau lebih dikenal sebagai aktivis
gerakan pro-demokrasi untuk menggulingkan rezim Soeharto. Kedua , adalah
aktivis dari berbagai organisasi non-pemerintah mulai dari gerakan anti142

Religion, State and Society: Exploration of Southeast Asia

korupsi, petani dan kelompok masyarakat adat. Ketiga , adalah seniman dan
orang-orang di sektor kreatif. Kelompok pertama dan kedua memiliki agenda
politik, namun sayangnya tidak memiliki massa yang jelas. Berbeda dengan
kelompok ketiga yang tidak memiliki agenda politik tetapi memiliki banyak
jejaring massa dari semua lapisan masyarakat.

Relawan sebagai kekuatan politik baru memiliki peranan yang
sangat besar. Perkembangan gerakan relawan pun tidak hanya terletak pada
persoalan memenangkan pasangan calon yang didukung dalam pemilihan
umum. Kepiawaiannya dalam merangkul berbagai kalangan juga patut
diakui. Sifat gerakannya yang dinamis dan bersifat informal mampu
menjangkau sektor-sektor yang tidak dapat dijangkau oleh partai politik,
seperti floating mass, pemilih pemula maupun orang-orang di sektor kreatif
(seniman dan budayawan) yang dari dulu seakan tidak mau dekat-dekat
dengan politik, bahkan sering menggunakan seni dan budaya sebagai alat
kritik pedas pemerintahan.
Floating mass dalam konteks ini adalah sekelompok orang atau
massa yang tidak memiliki ideologi partai politik tertentu, sehingga pilihan
politiknya sangat kondisional dan dalam konsep ini rakyat secara luas di
pisahkan dari kehidupan politik (Kumoro, 2013). Floating mass sengaja
mengambangkan dirinya, karena tidak ingin mencolok dalam menunjukkan
ideologi politiknya. Karena sektor ini tidak memiliki ideologi, maka, di
sinilah peran volunteer dalam mengajak dan mempengaruhi floating mass
untuk menentukan pilihannya.
Pemilih pemula dan sektor kreatif juga menjadi sektor yang sulit
untuk dijangkau oleh partai politik. Bagi pemilih pemula yang belum

memiliki gambaran tentang bagaimana konstelasi politik yang terjadi
tentunya akan sulit menentukan pilihannya. Oleh sebab itu, peran volunteer
dapat masuk ke dalam lingkungan terkecil di dalam masyarakat. Sedangkan
bagi sektor kreatif seperti seniman, budayawan, dan publik figur yang
cenderung menjauhi politik; ketika sektor kreatif ini melihat figur yang baik
dari kandidat dan bersedia menjadi volunteer , maka, popularitasnya akan
menjadi kekuatan baru guna menghimpun basis massa yang besar. Sektor
kreatif dengan inovasinya dalam menggiring massa seperti melakukan
konser musik menjadi inovasi baru dalam melakukan kampanye politik.
Suatu hal yang perlu diperhatikan adalah volunteer bergerak atas
dasar sukarela dan keinginan untuk berpartisipasi dalam ruang demokrasi.
143

Ustad Mangku Alam, dkk/ Relawan: Dari Gerakan Sosial…

Oleh sebab itu, perlu adanya figur yang baik dan rekam jejak yang baik pula
untuk menggerakkan relawan tersebut. Pada dasarnya, relawan melangkah
karena adanya kesadaran dan keinginan merubah hal-hal negatif yang ada
dalam sistem politik sekarang ini. Kesadaran masyarakat akan politik ini
yang menimbulkan bergesernya budaya politik yang ada di masyarakat. Jika

sebelumnya, para pemilih cenderung memilih berdasarkan partai politik yang
didukung ataupun yang disukainya, sekarang pola memilih bergeser dengan
kecenderungan memilih figur atau tokoh yang memiliki rekam jejak yang
baik. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat sudah semakin “melek”
terhadap politik.
Kecenderungan masyarakat yang memilih figur daripada partai
politik inilah yang menjadi fenomena baru dalam dunia politik di Indonesia.
Fenomena ini tidak hanya membuktikan bahwa berpolitik dapat dilakukan
tanpa partai politik tetapi juga membuktikan parpol tidak maksimal dalam
menjalankan salah satu fungsi utamanya: melakukan rekrutmen maupun
kaderisasi untuk membentuk figur yang baik, diterima oleh publik, dan siap
bertarung dalam kontestasi elektoral di setiap tingkat pemilihan. Hal ini
menyebabkan parpol cenderung mengambil figur di luar parpol (kalangan
profesional) yang sudah memiliki image yang baik di mata publik untuk
diusung menjadi kandidat elektoral dalam pemilu.
Transformasi Gerakan Relawan
Gerakan relawan politik di Indonesia muncul pada era pasca
reformasi, ketika pintu kebebasan berpolitik terbuka lebar. Hal ini membuat
rakyat disuguhi begitu banyak pilihan cara untuk menyalurkan hak
politiknya. Gerakan relawan politik ini mucul atas dasar keresahan bersama

dan rasa ketidakpercayaan rakyat terhadap ruang demokrasi yang didominasi
oleh partai politik dan politisi yang bermasalah. Gerakan relawan politik
banyak diisi oleh sektor kreatif dalam bidangnya yang menginginkan
perubahan di tingkat daerah maupun nasional.
Para relawan politik ini membentuk sebuah gerakan yang
mendukung salah seorang figur yang berintegritas dan memiliki track record
bagus. Relawan politik bergerak atas dasar inisiatif dan kepentingan bersama
tanpa ada komando dari manapun termasuk dari partai politik. Bahkan
relawan politik dapat menjangkau ruang-ruang kosong yang tidak dapat
dijangkau oleh partai politik. Fenomena ini merupakan pukulan telak bagi
144

Religion, State and Society: Exploration of Southeast Asia

partai politik yang memiliki fungsi kaderisasi dan rekruitmen politik akan
tetapi tidak dapat menjalankan fungsi itu secara baik.
Partai politik seakan-akan hanya menunggu munculnya calon dari
non-partai yang telah memilki elektabilitas tinggi dan kemudian partai
politik hanya terlibat dalam pengusungan calon dari non-partai tersebut.
Untuk mengatakan era partai politik telah berakhir pastilah gegabah.

Seharusnya, ini saatnya partai politik membenahi serta melakukan
instrospeksi diri. Partai politik akan jadi kendaraan politik untuk jangka
panjang, sepanjang yang dapat kita bayangkan. Namun, justru karena
memegang privilese sebagai kendaraan utama, partai politik seperti hidup di
dunianya sendiri dalam urusan representasi demokrasi, lalu membentuk
oligarki elektoral yang tertutup dan hanya dikelola oleh kalangan tertentu
saja.
Era pemilihan presiden secara langsung tahun 2009 mulai membuka
mata kita tentang keterlibatan relawan politik, dengan munculnya relawan
yang bergerak untuk mendukung salah satu kandidat, pada waktu itu SBYBoediono. Kemudian mulai muncul lagi pada pilgub DKI Jakarta pada tahun
2012 yang dimana relawan politik berbondong-bondong mendukung JokowiAhok. Puncak popularitas relawan politik terjadi pada pilpres 2014 lalu,
dimana kemenangan pasangan Jokowi-JK tidak di pungkiri adalah juga
keberhasilan ‘relawan Jokowi’.
Kemunculan relawan di tahun 2012 yang sempat populer adalah
JASMEV. Organisasi ini merupakan salah satu organisasi relawan yang
memiliki andil besar dalam membranding pasangan Jokowi-Ahok. Relawan
politik ini memiliki pengaruh yang cukup kuat, di media sosial (online).
Relawan yang memiliki kepanjangan nama Jokowi Ahok Social Media
Volunteer ini berdiri pada tahun 2012. Saat itu, JASMEV merupakan
jaringan antar kelompok sukarelawan tanpa bayaran yang pada saat

Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012 menjadi pendukung Joko Widodo dan
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Jaringan yang didirikan pada tanggal 12
Agustus 2012 ini bersifat longgar, hanya sekedar wadah untuk interaksi dan
bertukar informasi yang bersifat positif antar kelompok sukarelawan.
Selain itu, publik juga harus memahami bahwa relawan JASMEV
bukanlah sebuah kelompok anonim. Pasalnya, setiap anggotanya wajib
mendaftarkan diri dengan nama asli. Bahkan, pada 25 Agustus 2012,
anggotanya dikumpulkan, bertatap muka secara langsung, saling
145

Ustad Mangku Alam, dkk/ Relawan: Dari Gerakan Sosial…

memperkenalkan diri, dan berfoto bersama di restoran Bumbu Desa Jakarta.
Mereka mendapat kesempatan bertemu langsung dengan sosok Joko Widodo
(Jokowi) dan menyampaikan aspirasinya. Tercatat, dalam sepekan
peluncurannya, anggota JASMEV telah melewati 1.000 orang dan mencapai
lebih 10.000 orang dalam kurun waktu 1 bulan (Arianto, 2014: 10).
Belajar dari relawan Jokowi-Ahok pada pemilihan gubernur pada
tahun 2012, kemunculan relawan politik juga semakin bertambah di tahun
2014 saat pemilihan presiden. Pada pemilu 2014, ada fenomena salah satu
pasang calon yakni Jokowi-JK tampil sebagai figur yang memberi harapan
dengan menggerakkan peran relawan. Pasangan ini mengesampingkan peran
partai sebagai mesin politik untuk meraup suara pada Pilpres 2014. Hal ini
ditunjukkan dengan strategi yang mengedapankan fungsi relawan, ternyata
mampu mendobrak kejenuhan dan sikap apatis massa terhadap politik.
Fenomena ini dibuktikan dengan ramainya event-event kampanye Jokowi-JK
yang diselenggarakan oleh komunitas relawan. Termasuk event yang
diselenggarkan secara independen oleh artis ibu kota dengan tajuk Revolusi
Harmoni.
Kemunculan political volunteer (Sukarelawan Politik) yang
mendukung calon pasangan tersebut. Jokowi-JK yang kala itu diusung oleh
beberapa partai dan organisasi relawan dapat menggegerkan dunia politik
nasional. Relawan yang mendukung Jokowi-JK berjumlah sangat banyak.
Berikut 18 organisasi relawan yang cukup besar yaitu JASMEV, Seknas
Jokowi, Pro Jokowi (PROJO), Garda Pemuda Nasdem, Garda Bangsa,
Barisan Relawan Jokowi Presiden (Bara JP), Pusat Informasi Relawan
Jokowi-JK, Duta Jokowi, Aliansi Masyarakat Sipil untuk Indonesia Hebat
(Almisbat), Posko Perjuangan Rakyat (Pospera), Enterpreneur and
Professional for Jokowi (EP for Jokowi), Kebangkitan Indonesia Baru (KIB),
Aliansi Rakyat Merdeka (ARM), Forum Alumni Perguruan Tinggi, Relawan
Penggerak Jakarta Baru (RPJB), Jenggala Center, Kawan Jokowi, dan
Revolusi Harmoni (Purboningsih, 2015:112).
Fenomena menarik ada di salah satu organisasi relawan Jokowi-JK
ketika pemilu 2014, yaitu, Barisan Relawan Jokowi Presiden (Bara JP).
Barisan Relawan Jokowi Presiden merupakan sekelompok orang-orang yang
menginginkan perubahan dengan mencari pemimpin baru yang bisa
memperbaiki Indonesia. Jokowi dianggap sebagai sosok yang tepat sebagai
pemimpin itu. Barisan Relawan Jokowi Presiden dapat menghimpun relawan
146

Religion, State and Society: Exploration of Southeast Asia

dari 34 provinsi dan 31 negara di dunia. Jumlah itu berdasarkan tanda tangan
dan salinan KTP yang dikumpulkan.
Masa Depan Relawan sebagai Kekuatan Politik Baru
Masyarakat yang kian cerdas dan kritis terhadap perpolitikan
Indonesia melahirkan sebuah fenomena baru, yakni fenomena relawan
politik. Fenomena ini merupakan suatu gerakan yang lahir karena mulai
berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap kualitas partai politik
(Suyatno, 2016: 217). Kaderisasi partai yang kurang berjalan dengan baik,
hingga tokoh partai politik itu sendiri yang banyak tersangkut kasus hukum.
Hal itu tentu menjadi catatan buruk bagi perjalanan partai politik di
Indonesia.
Keberpihakan masyarakat terhadap suatu partai dapat berubah.
Perubahan itu dapat terjadi karena tokoh parpol tidak mampu menyalurkan
aspirasi mereka. Begitupun sebaliknya, masyarakat dapat berpaling kepada
figur lain yang dianggap mampu menyalurkan aspirasinya walaupun figur
tersebut bukan kader dari partai politik. Hal inilah yang melatarbelakangi
munculnya gerakan relawan politik dalam kontestasi politik elektoral di
Indonesia.
Relawan politik dalam rangka memenangkan calon pada politik
elektoral dapat dikatakan sebagai kekuatan besar yang mampu menyaingi
kekuatan partai politik. Hal ini didasari dengan kemunculan relawan politik
yang mampu memenangkan pasangan Jokowi-JK dalam Pilpres 2014.
Kekuatan relawan politik juga dapat dilihat dari keberhasilan Teman Ahok
dalam mengumpulkan satu juta KTP warga DKI Jakarta untuk mendukung
Basuki Thahaja Purnama dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017.
Terlepas pada akhirnya Ahok diusung oleh partai, tetapi Teman Ahok
sebagai warga biasa mampu membangun jaringan massa sedemikian luas
tanpa adanya susunan organisasi yang terstruktur seperti partai.
Melihat kemampuan gerakan relawan dalam memobilisasi massa
tanpa ada pengurus pusat, daerah, cabang, bahkan ranting seperti partai
politik, menunjukkan bahwa gerakan relawan pada saatnya nanti akan
menjadi kekuatan politik baru yang tidak dapat dianggap remeh. Awal
kehadirannya yang telah mampu memenangkan seorang tokoh dalam politik
elektoral, dapat menjadi ancaman besar bagi partai politik yang semakin
khawatir kehilangan kepercayaan dan daya tariknya di masyarakat.
147

Ustad Mangku Alam, dkk/ Relawan: Dari Gerakan Sosial…

Kekuatan besar sebuah gerakan relawan politik juga tidak lepas dari
peran media yang membantu dalam setiap prosesnya. Dalam konteks ini,
para relawan memanfaatkan media untuk saling berkomunikasi dan
menginformasikan segala yang terkait dengan calon yang didukung.
Konsolidasi massa pendukung juga dilakukan secara gencar oleh anggota
relawan melalui media. Melalui pemberitaan yang secara terus menerus
diberitakan oleh media inilah, masyarakat yang sebelumnya tidak peduli
terhadap politik maupun yang memiliki kekecewaan terhadap partai politik
akan mengetahui perihal gerakan relawan tersebut. Berbekal informasi
tersebut, banyak masyarakat yang justru bergabung dalam sebuah gerakan
relawan politik untuk mendukung salah satu calon didalam politik elektoral.
Keberadaan relawan politik akan berlangsung secara terus-menerus
apabila partai politik tidak segera membenahi diri. Relawan yang pada
awalnya muncul untuk menjawab permasalahan-permasalahan sosial, kini
telah bertransformasi untuk menjawab dan bahkan berpartisipasi dalam
memecahkan problematika politik yang ada, seperti kegagalan partai dalam
melahirkan kader yang berkualitas, berintegritas, memiliki latar belakang
yang baik, dan diterima oleh publik (Zulifan, 2016: 179). Keberhasilan
relawan politik dalam memenangkan calon yang didukung, pada
perkembangannya, akan menjadi rujukan alternartif bagi seseorang yang
hendak berpolitik tanpa menggunakan jalur partai. Bahkan, seorang kandidat
tentu akan membentuk relawan-relawan politik untuk maju dalam politk
elektoral di Indonesia.
Simpulan
Volunteerisme merupakan tren baru dalam dunia politik pasca
reformasi di Indonesia. Munculnya volunteerisme dalam suatu pemilihan
tidak hanya menjadi sebuah kritik terhadap kinerja partai politik, melainkan
juga sebagai tanda kian menguatnya demokrasi partisipatoris. Gagasan
utama demokrasi partisipatoris terletak pada perluasan ruang partisipasi
publik berbasis kepedulian sosial atas isu dan problematika publik.
Partisipasi dalam konteks ini bukan berupa mobilisasi politik oleh elit
politik. Justru sebaliknya, partisipasi publik digerakkan dan diberdayakan
oleh para relawan yang bergerak secara sukarela, masif, dan teratur dalam
mencari dukungan untuk sang kandidat yang sedang bertarung di dalam
pemiliah umum.
148

Religion, State and Society: Exploration of Southeast Asia

Fenomena volunteerism memiliki peran penting dalam membangun
basis dukungan untuk memenangkan kandidat yang didukung. Peran
volunteerisme pada titik ini tidak dapat diangggap remeh di tengah krisis
kepercayaan masyarakat terhadap partai politik. Kemunculan volunteerisme
justru hadir secara politik. Ia menjelma menjadi kekuatan politik baru di
tingkat grassroot (akar rumput) yang mampu menjangkau sektor-sektor yang
terkadang tidak mampu dijangkau oleh partai politik sebagai institusi formal
untuk memperoleh suara dalam pemilu. Lebih jauh dari itu, volunteerisme
menjadi kekuatan baru dalam upaya memenangkan kandidat sehingga,
seringkali memunculkan sebuah fenomena yang begitu menarik untuk
didiskusikan lebih lanjut, yakni, fenomena berpolitik tanpa partai politik.
Saran
Dalam tulisan ini, penulis mencoba memberikan pendapat, bahwa,
mekanisme rekruitmen pada partai politik perlu dievaluasi. Berkaca dari
berbagai fenomena seperti, pertama, kecenderungan pemilih yang lebih
memilih figur dibandingkan dengan memilih partai politik. Kedua,
munculnya figur yang bukan kader dari partai politik tersebut dan ikut
bertarung dalam pemilihan umum. Kedua fenomena tersebut menegaskan,
betapa fungsi rekruitmen politik dan kaderisasi di internal partai politik
mendesak untuk dievaluasi. Partai politik harus segera berbenah sehingga
mampu mencetak kadernya sendiri yang dapat bersaing dan diperhitungkan
dalam bursa pencalonan, pemilihan, sampai dapat terpilih di dalam
pemilihan umum. Rekruitmen politik menjamin kontinuitas dan kelestarian
nilai-nilai di dalam partai politik, sekaligus merupakan salah satu cara untuk
menjaring, melatih, dan mengontrol jiwa kepemimpinan. Oleh sebab itu,
ketika rekruitmen politik berjalan dengan baik, partai politik tentu akan
memiliki stok pemimpin tanpa harus mengambil figur dari luar partai.
Selain itu fenomena volunteerisme yang terjadi seakan menjadi
cambuk bagi partai politik ketika publik lebih memilih bergerak
menyuarakan suaranya melalui gerakan relawan politik tanpa melalui partai
politik. Untuk itu, partai politik perlu membenahi fungsi komunikasi
politiknya untuk menampung dan menyampaikan aspirasi rakyat. Dengan
begitu akan terjadi arus informasi dan dialog dua arah; dari atas ke bawah
dan dari bawah ke atas tidak hanya arus informasi dari atas ke bawah saja
maupun sebaliknya. Sehingga, partai politik dapat bertransformasi dari partai
149

Ustad Mangku Alam, dkk/ Relawan: Dari Gerakan Sosial…

politik yang terkesan elitis menjadi partai politik yang merakyat, responsif,
dan akuntabel.
Daftar Pustaka
Arianto, Bambang. (2014). Fenomena Relawan Politik dalam Kontestasi
Presidensial 2014. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Volume 18,
Nomor 2. Edisi November. PP. 146-162
Arianto, Bambang. (2014). Fenomena Menjadi Relawan Politik.
Banjarmasin Post. PP. 10.
Bekkers, René. (2005). Participation in Voluntary Associations: Relations
with Resources, Personality, and Political. Political Psychology. Vol.
26 No. 3 Edisi Juni.
Clary, E. G., Snyder, M., Ridge, R. D., Copeland, J., Stukas, A. A., Haugen,
J., & Meine, P. (1998). Understanding and Assessing the motivations
of volunteers: A functional approach. Journal of Personality and
Social Psychology, 74, 1516-1530.
Kumoro, Bawono. (2013). Menakar Kualitas Institusionalisasi Partai Politik
dalam Sistem Multipartai di Indonesia . Pusat Penelitian Politik:
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI).
Lasica, J. D. (2003). Blogs and Journalism Need Each other . Nieman
Reports, 57 (3), PP. 70-74.
Purboningsih, Sayekti Dwi. (2015). Gerakan Sosial Baru Perspektif Kritis:
Relawan Politik dalam Pilpres 2014 di Surabaya . Jurnal Review
Politik Volume 05 nomor 01. Edisi Juni. PP. 100-125
Rappaport, A. J. (2007). Brave New World: Legal Issues Raised by Citizen
Journalism. Communications Lawyer . The University of
Queensland’s Library. 25 (2).
Savirani, Amalinda. (2015). Jokowi’s supporters are to doubt the
‘Indonesian Obama’. The Conversation: Academic Rigour
Journalistic Flair. (http://theconversation.com/jokowissupporters-arestarting-to-doubt-theindonesian-obama-37843)
Suryadi, Suhardi. (2014). Relawan Politik. (http://www.prismaindonesia.
com/index.php/editorial/item/325-relawanpolitik.
Suyatno, S. (2016). Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Tantangan
Demokrasi Lokal di Indonesia. Politik Indonesia: Indonesian Political
Science Review, 1(2), 212-230.
150

Religion, State and Society: Exploration of Southeast Asia

Thomas, P.N. (2011). Negotiating communication rights: Case studies from
India . New Delhi: Sage Publication.
Widodo, Y. (2011). Citizen Journalism and Media Pluralism in Indonesia .
In Conners, T. J., Dhont, F., Tyson, A. D., (Ed.), Social Justice and
Rule of Law: Addressing the Growth of a Pluralist Indonesian
Democracy. PP. 1-19.
Wilson, J. (2000). Volunteering. Annual Review of Sociology 26. PP. 215240.
Widjaya, Emmeline. (2010). Motivation Behind Volunteersm. Claremont
McKena College Senior Thesis.
www.politik.lipi.go.id, diakses pada 28 November 2016.
www.sentrajakarta.com, diakses pada 12 November 2016.
www.socialbakers.com, diakses pada 16 Novemver 2016
www.worldinternetstatistic.com, diakses pada 12 November 2016.
Zulifan, M. (2016). Politik Islam di Indonesia: Ideologi, Transformasi dan
Prospek dalam Proses Politik Terkini. Politik Indonesia: Indonesian
Political Science Review, 1(2), 171-195.

151