Strategi Pengendalian Patogen Dan Trend
STRATEGI PENGENDALIAN PATOGEN DAN
TREND PRAKTIK PENGENDALIANNYA
DALAM MENINGKATKAN DAYA SAING PRODUK PERTANIAN1
Tarkus Suganda
Lab. Fitopatologi Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan
Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran
1. Pendahuluan 1
2. Strategi Pengendalian Patogen Penyebab Penyakit Tanaman ................................................... 2
2.1 Trend Baru Teknik Pengendalian Patogen ............................................................................... 3
2.2 Pengendalian Terpadu ..................................................................................................................... 3
2.2.1 Penerapan Kebijakan dan Perundang‐undangan ........................................................................... 4
2.2.2 Penggunaan Varietas Resisten ................................................................................................................ 4
2.2.3 Teknik Bercocok Tanam ............................................................................................................................ 7
2.2.4 Pengendalian Biologis ................................................................................................................................. 8
2.2.5 Pengendalian Dengan Senyawa Kimia (Pestisida) ......................................................................... 9
3. Simpulan ..................................................................................................................................................... 10
Daftar Pustaka ............................................................................................................................................... 10
1. Pendahuluan
Dunia pertanian, dewasa ini menghadapi dua masalah besar. Di satu sisi
pertanian harus mencapai produksi yang optimum untuk memenuhi kebutuhan
pangan sebagai antisipasi jumlah penduduk bumi yang diprediksi akan mencapai
9 milyar orang pada tahun 2050. Untuk skala nasional, produksi pertanian
haruslah menjadikan bangsa Indonesia memiliki kedaulatan pangan. Sementara
di sisi lain, pertanian, sebagai komoditas perdagangan, harus memiliki daya
saing agar mampu berkompetisi dengan produk pertanian dari negara‐negara
lain dalam bersaing di pasar bebas.
Dilihat dari aspek perlindungan tanaman, keduanya memiliki sedikit
perbedaan. Jika tujuan utamanya adalah untuk tercapainya produksi yang
optimum, maka strategi perlindungan tanaman apa pun dapat dilakukan.
Sementara itu, jika tujuan utamanya adalah meningkatkan daya saing, maka
strategi perlindungan tanaman yang diterapkan haruslah dilakukan secara hati‐
hati.
Baik produksi pertanian untuk kecukupan pangan, maupun untuk
peningkatan daya saing, keduanya menghadapi kendala yang sama, yaitu
gangguan dari organisme pengganggu tanaman (OPT). Menurut Oerke (2006),
rata‐rata kehilangan produksi pertanian, setiap tahunnya berkisar antara 50‐
1
Makalah utama Seminar Nasional “Strategi Perlindungan Tanaman Untuk Meningkatkan Daya Saing
Produk Pertanian”, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Kamis, 27 November 2014.
Jatinangor, Sumedang.
1
80%, dengan perincian, kehilangan hasil akibat gulma 34%, akibat hama 18%
dan akibat patogen 16%. Data ini belum memperhitungkan kehilangan hasil
pascapanen, yang diperkirakan rata‐rata 10% (Pinstrup‐Andersen, 2001).
Walaupun persentase kehilangan hasil pertanian oleh patogen termasuk
yang paling kecil, namun Era Globalisasi yang ditandai dengan tingginya
mobilisasi manusia, terjadinya perubahan iklim, kurang bijaksananya cara
budidaya, dan tuntutan konsumen yang berlebihan, diprediksi akan
menyebabkan peranan patogen penyebab penyakit tanaman sebagai pembatas
optimalnya produksi pertanian, akan semakin meningkat (Knobler et al., 2006).
Dalam beberapa kasus, patogen penyakit tanaman sangat sulit dikendalikan,
serta bukan hanya merugikan secara ekonomi (kehilangan penghasilan
produsen, meningkatkan harga di konsumen, membatasi jenis tanaman, dan
hilangnya plasma nutfah), tetapi juga merugikan secara estetika (bentuk dan
tampilan tanaman menjadi tidak estetis) serta merugikan secara sosial dan
politik (Maloy, 1993). Oleh karena sangat pentingnya peranan patogen penyakit
tanaman sebagai faktor pembatas produksi pertanian, maka tindakan
pengendalian patogen menjadi salah satu prioritas dalam budidaya pertanian.
Sementara itu, hal lain yang harus juga menjadi perhatian adalah bahwa
pertanian Indonesia, selain bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
Indonesia, juga merupakan salah satu komponen ekonomi yang dapat menjadi
komoditas perdagangan untuk menambah penghasilan negara. Untuk dapat
bersaing dengan produk pertanian negara‐negara lain, maka produk pertanian
Indonesia harus memiliki kualitas yang unggul. Melimpahnya produksi dan
sesuainya dengan kebutuhan pasar, tidak serta merta menjamin produk
pertanian Indonesia memiliki daya saing terhadap produk kompetitor. Berbagai
kasus membuktikan bahwa jika proses produksinya tidak memenuhi standar
internasional, produk pertanian Indonesia di tolak oleh negara‐negara
pengimpor. Kopi Lampung pernah ditolak masuk pasar Jepang hanya karena
kandungan pestisida yang melebihi standar yang ditetapkan. Dengan demikian,
untuk memiliki daya saing yang tinggi, produk pertanian Indonesia harus
memiliki kualitas yang tinggi dan telah memenuhi kaidah good agricultural
practice (GAP), termasuk salah satunya adalah bagaimana cara perlindungan
tanamannya.
2. Strategi Pengendalian Patogen Penyebab Penyakit
Tanaman
Secara epidemiologi, mengendalikan penyakit tanaman, dapat didasarkan
kepada bagaimana penyakit tanaman menyebar dari satu tanaman ke tanaman
lainnya (menyebabkan terjadinya epidemi). Dalam praktiknya, terdapatnya satu
atau beberapa tanaman terserang patogen di lahan pertanaman, belum dianggap
merugikan jika patogennya tidak menyebar ke seluruh pertanaman.
Ada dua jenis epidemi atau penyebaran patogen penyakit tanaman, yaitu
monosiklik dan polisiklik. Pada tipe penyebaran monosiklik, patogen hanya
sekali menginfeksi tanaman inangnya selama pertumbuhan tanaman tersebut,
contohnya pada penyakit‐penyakit tular‐tanah. Patogen yang sudah menginfeksi
tanaman inangnya, tidak akan menginfeksi lainnya. Sementara itu, pada tipe
2
penyebaran polisiklik, patogen menghasilkan struktur infektif (contohnya spora
atau konidia), yang dapat menginfeksi tanaman lain.
Tipe patogen yang penyebarannya monosiklik dapat digambarkan dengan
rumus :
Xt = X0.r.t
Sedangkan tipe patogen yang penyebarannya polisiklik dapat digambarkan
dengan persamaan :
Xt = X0.er.t
Keterangan :
Xt = keparahan penyakit pada waktu t
X0 = inokulum awal
r = laju perbanyakan patogen
t = waktu perkembangan penyakit
e = bilangan 2,71828183
Berdasarkan kedua persamaan diatas, pada prinsipnya, pengendalian
patogen dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu (1) menurunkan jumlah
propagul patogen sebagai inokulum awal; dan (2) menekan laju perbanyakan
patogen (Maloy, 1993). Upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan
inokulum awal dapat dilakukan dengan cara : (1) mereduksi patogen yang sudah
ada; (2) mengeradikasi atau memusnahkan total inokulum yang sudah ada; dan
(3) mencegah masuknya patogen atau melokalisasinya di suatu tempat.
Sementara itu, upaya untuk menekan laju perbanyakan patogen dapat
dilakukan terhadap tanaman inangnya, dengan cara : (1) menggunakan tanaman
resisten dengan resistensi genetiknya; (2) menginduksi resistensi tanaman
melalui berbagai perlakuan; dan (3) melakukan tindakan proteksi terhadap
tanaman.
2.1 Trend Baru Teknik Pengendalian Patogen
Dari sekian banyak taktik pengendalian yang dapat dipilih dalam
mengendalikan penyakit tanaman, selain pertimbangan harus efektif, trend baru
yang menjadi dasar pertimbangan pemilihannya di Abad XXI ini, antara lain
adalah : 1. harus ramah lingkungan; dan 2. memenuhi praktik baik bercocok
tanam (good agricultural practice – GAP). Jika petani dapat membuktikan bahwa
mereka telah menerapkan GAP yang memperhatikan aspek kelestarian
lingkungan, maka produk pertaniannya, bukan saja dapat diloloskan masuk ke
pasar negara‐negara maju, tetapi juga memiliki posisi jual yang lebih baik.
2.2 Pengendalian Terpadu
Dari berbagai riset dan kenyataan praktis, dalam mengendalikan patogen
penyebab penyakit tanaman, tidak ada satu cara atau taktik pengendalian yang
memberikan hasil memuaskan (Maloy, 2004). Diperlukan kombinasi lebih dari
satu taktik pengendalian untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Oleh
3
karena itu, untuk mengendalikan patogen penyebab penyakit tanaman,
diperlukan strategi pengendalian terpadu (El Khoury & Makkouk, 2010).
Selain alasan tidak adanya satupun taktik pengendalian yang jika
diaplikasikan secara mandiri dan dapat mencapai level yang memuaskan,
penerapan pengendalian terpadu juga dipilih karena dapat menekan dampak
dari perlakuan yang dipilih sehingga sesuai dengan konsep kelestarian
lingkungan dan pertanian berkelanjutan. Selain itu, hasrat manusia, terutama
mereka yang memiliki tingkat pendidikan dan pemahaman yang baik, cenderung
mengharapkan mengonsumsi makanan yang sehat dan rendah kandungan kimia
sintetiknya. Oleh karena itu, pemilihan taktik pengendalian patogen yang
mendekati alami, merupakan faktor yang harus menjadi pertimbangan.
Beberapa taktik pengendalian yang tersedia untuk penyakit tanaman
adalah : (1) penerapan kebijakan dan perundang‐undangan; (2) penggunaan
tanaman resisten; (3) teknik bercocok tanam; (4) pengendalian biologis; dan
(5) penggunaan senyawa kimia (El Khaoury & Makkouk, 2010).
2.2.1 Penerapan Kebijakan dan Perundang‐undangan
Penerapan kebijakan dan perundang‐undangan sebenarnya merupakan
langkah yang efektif dan dapat berdampak secara luas dalam menangkal
masuknya patogen dari luar wilayah dan menghambat penyebaran patogen di
wilayah yang sudah terdeteksi adanya patogen. Tugas ini diemban oleh Badan
Karantina Pertanian Kementrian Pertanian. Perihal ini, akan dibahas dalam oleh
Dr. Antarjo Dikin, pada sesi berikutnya. Tugas Badan Karantina ini sangat berat
jika tidak ada dukungan dan pastisipasi seluruh lapisan masyarakat. Dengan
meningkatnya lalulintas barang dan manusia di era globalisasi, akan semakin
mempersulit tugas Badan Karantina Pertanian dalam melaksanakan penerapan
kebijakan pemerintah dan perundang‐undangan.
Kasus masuknya nematoda sista kentang ‐ Globodera rostochiensis dan
yang terbaru adalah bakteri Clavibacter michiganensis subsp. sepedonicum juga
patogen pada tanaman kentang (Suganda & Natasasmita, 2014), merupakan
salah satu bukti sulitnya tugas Badan Karantina Pertanian. Sebelumnya, kedua
patogen ini tidak terdapat di Indonesia karena merupakan organisme
pengganggu tanaman karantina (OPTK) A‐1.
2.2.2 Penggunaan Varietas Resisten
Resistensi tanaman merupakan cara pengendalian patogen yang paling
ideal, karena menghemat waktu, biaya, dan upaya, serta aman bagi lingkungan
(Maloy, 1993). Resistensi tanaman menekan laju perbanyakan patogen dan pada
gilirannya menekan inokulum awal untuk musim berikutnya. Dengan menanam
tanaman resisten, petani tidak perlu melakukan tindakan khusus selain
menanamnya.
Resistensi tanaman sudah terbukti efektif dalam mengendalikan patogen.
Selama puluhan tahun, resistensi tanaman sudah menjadi bagian dari strategi
pengendalian terhadap patogen (Pink, 2002). Di negara‐negara maju, untuk
mengendalikan penyakit karat (Puccinia graminis) pada tanaman gandum,
resistensi tanaman merupakan komponen pengendalian yang tidak dapat
dipisahkan dalam budidaya gandum. Begitu juga dengan tanaman padi. Varietas
padi yang resisten terhadap penyakit blast, bakteri kresek, atau bercak coklat
4
juga merupakan bagian dari pengendalian penyakit padi (El Khoury & Makkouk,
2010).
Namun demikian, fakta membuktikan bahwa resistensi tanaman saja
tidak cukup untuk dapat melindungi tanaman dari penyakit. Kasus patahnya gen
gen resistensi tunggal pada gandum oleh munculnya ras‐ras baru pada jamur P.
graminis (dikenal dengan istilah boom and bust cycle) menunjukkan kebenaran
bahwa satu cara pengendalian tidak akan cukup memberikan hasil yang
memuaskan (Keane & Brown, 1997). Penurunan hasil gandum tetap terjadi,
karena resistensi memang bukan imunisasi.
Tanaman transgenik, yang diprediksi akan dapat menjadi jawaban bagi
permasalahan produksi dan perlindungan tanaman, sampai saat ini baru
tersedia untuk karakter resistensi terhadap herbisida dan serangga. Untuk
ketahanan terhadap patogen, baru tersedia untuk karakter ketahanan terhadap
virus, yaitu pada pepaya dengan gen coat protein. Namun penggunaan secara
komersial untuk diterapkan oleh petani nampaknya tidak terlalu menjajikan.
Selain prosedurnya rumit, harganya mahal, juga sering menjadi monopoli
perusahaan pengembangnya sendiri (Bakshi & Dewan. 2013, The Economist,
2014).
Resistensi Terinduksi
Cara pengendalian yang sedang aktif dikembangkan di berbagai belahan
dunia saat ini adalah mencoba menginduksi resistensi tanaman dengan
menggunakan berbagai bahan penginduksi. Fakta bahwa tanaman mampu
melawan infeksi patogen jika sistem pertahanan dirinya diaktifkan, telah
menghasilkan berbagai temuan bahwa senyawa kimia maupun mikroba dapat
berperan sebagai penginduksi (Abdel‐Kader et al., 2013, Anand et al., 2014).
Tabel 1. Tanaman yang memperlihatkan SAR dengan penginduksi mikrob
(disarikan dari Anand et al., 2014).
Tanaman
Organisme Penginduksi
Patogen Sasaran
Alfalfa
Colletotrichum lindemuthianum Colletotrichum
Kedelai
Colletotrichum
Colletotrichum
Kentang
Phythophthora infestans
Phythophthora infestans
Tomat
Phythophthora infestans
Phythophthora infestans
Mentimun
Colletotrichum lagenarium
Colletotrichum lagenarium
Padi
Pseudomonas syringae
Magnaporthe grisea
Tabel 2. Resistensi terinduksi oleh mikrob PGPR (disarikan dari Anand et al.,
2014).
Tanaman
PGPR
Patogen Sasaran
Terlindungi
Ochrobactrum lupi
Paprika
Xanthomonas axonopodis
P. fluorescens
Tomat dan paprika F. o. f.sp. lycopersici,
Colletotrichum capsici
5
Serratia plymuthics strain Mentimun
Pythium ultimum
R1GC4
Burkholderia phtofirmans anggur
Botrytis cinerea
PsJN
P. fluorescen EP1
Tebu
C. falcatum
Bacillus pumilus SE34
tomat
F. oxysporum
Tabel 3. Resistensi terinduksi oleh mikrob non‐pathogenic atau strain avirulen
(disarikan dari Anand et al., 2014).
Penyakit
Organisme Penginduksi
Patogen Sasaran
Tanaman
Net blotch barley Bipolaris maydis jagung atau Drechslera teres f. maculata
Septoria nodorum gandum
Blast padi
Pyricularia
oryzae
dan Pyricularia oryzae
Bipolaris sorokiniana
Powdery mildew Alternaria cucumarina atau Sphaerotheca fuliginea
mentimun
Cladosporium fulvum
Antraknos kacang Colletotrichum
C. lindemuthianum, C.
lindemuthianum
lagenarium
Layu
fusarium Fusarium oxysporum strain Layu fusarium
tomat
Fo47
Tabel 4. Produk komersil penginduksi resistensi tanaman (disarikan dari Anand
et al., 2014).
Penginduksi
Bahan Aktif
Produsen
Actigard®,
Acibenzolar‐S‐methyl
Singenta Crop Protection,
Blokade®, Bion®
USA
Allete® WG
Fosetyl‐Al
Bayer Crop Science,
Germany
Elexa
Chitosan dll
Safe Science, USA
Forr‐R, Fos® 400
Asam posporus
UIM Agrochemicals,
Australia
Goemar 411
laminarin
Laboratories Goemar,
France
Key Plex
Asam alpha‐keto
Morese Enterprises, USA
Messenger®
harpin
Eden Bioscience, USA
Nautri Phite® P
Asam posporus
Biagro Western Sales Inc.
USA
Milsan®
Ekstrak Reynoutria
KHH Bioscience Inc, USA
sachalinensis
Oxycom
Hidrogen peroksida
Redox Chemical Inc. USA
eKsPunge®
Potasium dihidrogen fosfat
Lido Chemical Inc. USA
6
PhytoGuard®
Prophyt®
RezistTM
Potassium fosfat
Potassium fosfat
Tembaga, mangan dan zeng
SynemixTM
Ekstrak rumput laut
Vacciplant (Physpl) β‐1,3 glucan
Intrachem Bio. France
Helena Chemical Co, USA
Laboratories Goemar,
France
Laboratories Goemar,
France
Laboratories Goemar,
France
2.2.3 Teknik Bercocok Tanam
Cara bercocok tanam merupakan praktik pengendalian penyakit tanaman
yang ditujukan untuk meningkatkan kesehatan tanaman dalam upaya
menciptakan iklim yang tidak kondusif bagi perkembangan penyakit (menekan
laju perkembangan penyakit – r, di dalam rumus epidemik), dan menekan level
inokulum awal (atau X0 di dalam rumus epidemik.
Pentingnya peranan inokulum awal terhadap kemunculan penyakit dan
berat‐ringannya tingkat keparahan penyakit sudah banyak dibuktikan dalam
berbagai penelitian. Naz et al. (2008) melaporkan bahwa semakin tinggi level
inokulum Rhizoctonia solani, semakin berat tingkat serangan penyakit black scurf
pada tanaman kentang. Hasil ini konsisten pada 11 kultivar kentang terlepas
dari adanya perbedaan tingkat resistensinya. Sementara itu, Munde et al. (2013)
juga melaporkan bahwa semakin tinggi level inokulum Sclerotium rolfsii,
semakin tinggi tingkat keparahan dan semakin cepat penyakit busuk akar
muncul pada tanaman sorgum.
Keinath (1995) melaporkan bahwa kemunculan dan keparahan penyakit
rebah kecambah pada kubis oleh Rhizoctonia solani sangat ditentukan oleh
jumlah inokulum awal (sklerotia) di dalam tanah. Semakin tinggi jumlah
inokulum, semakin parah penyakitnya.
Hal serupa dilaporkan oleh oleh Hao et al. (2009). Penyakit layu
fusarium pada tanaman kapas oleh jamur Fusarium oxysporum f.sp. vasinfectum
merupakan penyakit yang tingkat keparahannya (disease severity) sangat
tergantung kepada level inokulum di dalam tanah, walaupun resistensi kultivar
juga ikut berperan dalam menentukan berat‐ringannya tingkat keparahan. Pada
Gambar 1 dibawah ini terlihat bahwa semakin tinggi inokulum awal, semakin
tinggi keparahan penyakit.
7
Gambar 1. Tingkat keparahan penyakit layu pada tanaman kapas oleh F.o. f.sp.
vasinfectum (Hao et al., 2009).
Oleh karena itu, penurunan inokulum awal (X0) merupakan suatu praktik
yang sangat baik untuk mengurangi resiko penyakit tanaman. Pembenaman
serasah tanaman terinfeksi dapat memperlambat munculnya penyakit dan
menurunkan tingkat keparahan penyakit tanaman. Suganda dkk. (1988)
melaporkan bahwa semakin banyak serasah tanaman tomat terinfeksi sebagai
inokulum, semakin cepat dan semakin parah penyakit yang terjadi. Namun jika
serasah tanaman tomat terinfeksi tersebut dibenamkan, semakin dalam
pembenaman, semakin rendah tingkat keparahan penyakit bercak melingkar
(ring spot) pada tanaman tomat oleh jamur Alternaria solani.
Beberapa teknik bercocok tanam yang dapat dikategorikan sebagai cara
pengendalian patogen, a.l. adalah pengolahan tanah, solarisasi dan pemulsaan
dengan plastik, pergiliran tanaman, dan bertanam campuran (Agus, 2008,
Autrique & Pots, 2008, Berry, 2009, dan Mmalezieux, et al., 2007). Mmalezieux,
et al., (2007) melaporkan bahwa dari hasil survey yang mereka lakukan, praktik
bertanam campuran memberikan berbagai keuntungan seperti produktivitas
yang lebih tinggi, penekanan terhadap OPT, memperbaiki ekologi dan
memguntungkan secara ekonomi.
2.2.4 Pengendalian Biologis
Pengendalian biologis merupakan salah satu cara pengendalian yang
ramah lingkungan, yaitu dengan memanfaatkan musuh alami dari patogen. Riset
tentang eksplorasi musuh alami sudah sangat banyak dilakukan, termasuk di
Indonesia. Musuh alami patogen yang paling potensil a.l. adalah jamur
8
Trichoderma spp. dan berbagai genus bakteri. Pestisida untuk mengendalikan
patogen dengan bahan aktif mikrob sebenarnya sudah banyak yang dipasarkan
secara komersil, baik di luar negeri maupun di Indonesia. Di luar negeri produk
pengendali biologis dikenal dengan nama dagang Soilgard, Kodiak, HiStick,
Serenade, dan lain‐lain.
2.2.5 Pengendalian Dengan Senyawa Kimia (Pestisida)
Pengendalian penyakit tanaman dengan senyawa kimia tidak akan dapat
dipisahkan dari produksi pertanian. Terlepas dari fakta bahwa senyawa kimia
adalah racun yang dapat terkonsumsi, menyebabkan pencemaran lingkungan,
menyebabkan resistensi dan resurjensi patogen (Fishel, 2014), dan sebagainya,
sampai saat ini, senyawa kimia masih merupakan salah satu cara pengendalian
yang sangat diandalkan, terutama ketika patogen sudah mencapai ambang yang
dapat merugikan secara ekonomi. Menurut Wyenandt & Maxwell (2011),
fungisida merupakan salah satu komponen dari pengendalian terpadu, tanpa
fungisida produksi sayuran komersil tidak memungkinkan secara ekonomis.
Tanpa fungisida, penanaman tanaman inang di daerah endemik, tidak mungkin
dapat dilakukan dikarenakan oleh Phytophthora infestans (Cooke, 1992). Disitir
dari Gianessi & Reigner (2005) satu buah mentimun terinfeksi Phytophthora
dapat menghasilkan 840 juta spora, sementara 500 juta spora dapat dihasilkan
oleh hanya satu tanaman seledri yang terinfeksi.
Upaya untuk menggunakan fungisida secara lebih rasional dan tepat
sudah banyak dilakukan. Trend penggunaannya semakin lama semakin
menurun (Gianessi & Reigner, 2005; Wyenandt & Maxwell, 2011). Berbagai
upaya untuk menekan kemunculan resistensi patogen terhadap suatu bahan
aktif fungisida sudah banyak dilakukan, antara lain dengan monitoring secara
berkelanjutan, membuat fungisida campuran lebih dari satu bahan aktif,
menggunakannya secara berselang‐seling bahan aktif, bahkan dengan fungisida
berbahan aktif nabati (Brent & Hollomon, 2007). Keefektifan suatu bahan aktif
fungisida memang harus dipertahakan selama mungkin mengingat untuk
menemukan dan menggembangkan satu jenis bahan aktif diperlukan waktu 10
tahun dengan total biaya sampai dapat dipasarkan mencapai US$200 juta
(CropLife International, 2007).
Pestisida Nabati Sebagai Alternatif
Salah satu alternatif terhadap pestisida sintetik yang semakin mendapat
perhatian sebagai cara pengendalian patogen yang ramah lingkungan adalah
fungisida nabati (Anand et al., 2014, Baraka et al., 2011, Bowers & Locke, 2000).
Berbagai riset telah dilakukan di seluruh dunia untuk mengekplorasi bahan alam
lokal sebagai fungisida dan bakterisida. Banyak yang sudah dikategorikan efektif
dan potensial bahkan sudah banyak pula yang dijual secara komersil. Beberapa
di antaranya dijual dan dipasarkan secara internasional dengan merek dagang
Regalia PTO, Milsana, Bion 50 WG, Zero Tolerance, Citron 75 SL, Eco‐PM, Tricha,
Biocure, dan lain‐lain (Anand et al., 2014). Sementara itu, produk lokal
dipasarkan dengan nama dagang Top Fungi, Fungidor, Mikocide, dan lain‐lain.
9
3. Simpulan
1. Penyakit tanaman memiliki peran yang sangat penting sebagai salah satu
faktor pembatas tercapainya produksi pertanian yang optimum, dan
diprediksi peranannya akan semakin penting di Era Globalisasi.
2. Untuk mengendalikannya diperlukan strategi pengendalian terpadu yang
selain harus efektif juga harus memenuhi kaidah good agricultural
practice agar meningkatkan kualitas dan daya saing.
3. Terdapat berbagai cara pengendalian yang dapat dipilih dengan sekuens
dimulai dari penerapan perundang‐undangan, penggunaan varietas
resisten, teknik bercocok tanam, pengendalian biologis, pengendalian
dengan senyawa botani, dan penggunaan fungisida sintetik jika
diperlukan.
4. Pemilihan cara pengendalian ditujukan untuk menekan jumlah inokulum
awal dan menekan laju perbanyakan patogen.
Daftar Pustaka
Abdel‐Kader, M.M, N.S. El‐Mougy, and S.M. Lashin. 2013. Biological and chemical
resistance inducers approaches for controlling foliar diseases of some
vegetables under protected cultivation system. Plant Pathology &
Microbiology :4‐9. http://dx.doi.org/10.4172/2157‐7471.1000200 (20
Nov. 2014).
Agu, C.M. 2008. Effects Of Intercropping On Root‐Gall Nematode Disease On
Soybean (Glycine max (L) Merril). New York Science Journal 1 (1).
January 1, 2008. ISSN 1554‐0200.
Anand, Y.R., S.J. Singh, D.K. Kumar, K.R. Panyam, P. Sumitra, K.H. Malemnganba
Meitei, S. Gurumurthy, and B. Asthir. Recent Advances In Induced
Resistance for Plant Disease Management: An Overview. 2014. In :
Innovations in Plant Sciences and Biotechnology (S.H. Wani, C.P. Malik, A.
Hora, and R. Kaur, eds). Agrobios, India.
Autrique, A. and M.J. Potts. 2008. The influence of mixed cropping on the
control of potato bacterial wilt (Pseudomonas solanacearum). Annals of
Appl. Biol. 111(1):125‐133.
Bakshi, S. and D. Dewan. 2013. Status of transgenic cereal crops: a review.
Cloning & Transgenesis 3(1):1‐13. http://dx.doi.org/10.4172/2168‐
9849.1000119 (diakses 11 Nov 2014).
Baraka, M.A., F.M. Radwan, W.I. Shaban, and K.H. Arafat. 2011. Efficiency of some
plant extracts, natural oils, biofungicides and fungicides against root rot
disease of date palm. J. Biol. Chem. Environ. Sci. 6(2):405‐429.
Berry S,D., P. Dana, V.W. Spaull, and P. Cadet. 2009. Effect of intercropping on
nematodes in two small‐scale sugarcane farming systems in South Africa.
Nematropica 39:11‐33.
10
Bowers, J. H., and Locke, J. C. 2000. Effect of botanical extracts on the population
density of Fusarium oxysporum in soil and control of Fusarium wilt in the
greenhouse. Plant Dis. 84:300‐ 305.
Brent, K.J. and D.W. Hollomon. 2007. Fungicide resistance in Crop Pathogens:
How Can It Be Managed? CropLife International. FRAC.
Da Rocha, A.B. and R. Hammerschmidt. 2005. History and perspectives on the
use of disease resistance inducers in horticultural crops. Horttechnology
July‐September 15(3):518‐529.
El Khoury, W. and K. Makkouk. (2010). Integrated plant disease management in
developing countries. Journal of Plant Pathology 92(S4.35.S4.42).
Fishel, F.M. 2014. Pesticide‐organism interaction. IFAS Extension,University of
Florida. http://edis.ifas.ufl.edu/pdffiles/PI/PI08000.pdf (21 Nov. 2014).
Gianessi, L.F. and N. Reigner. 2005. The Value of Fungicides in U.S. Crop
Production. CropLife Foundation, Crop Protection Research Institute.
Washington D.C.
Gisi, U., I. Chet, M.L. Gullino (eds). Recent Developments in Managemen of Plant
Diseases. Springer.
Keane, P.J. and J. Brown. 1997. Disease management: resistant cultivars. Pp.
405‐425 in Plant Pathogens and Plant Diseases (J.F. Brown and H.J. Ogle,
eds). http://www.appsnet.org/Publications/Brown_Ogle/ (21 Nov.
2014).
Keinath, A.P. 1995. Relationships between inoculum density of Rhizoctonia
solani, wiresteam incidence and severity, and growth of cabbage.
Phytopathology 85:1487‐1492.
Knobler, S., A. Mahmoud, S., Lemon, and L. Pray (eds). 2006. The Impact of
Globalization on Infectious Disease Emergence and Control. The National
Academic Press. Wahsngton D.C.
Maloy, O.C. 1993. Plant Disease Control: Principles and Practice. John Wiley &
Sons, Inc. 346 p.
Mmalezieux, E., Y. Crozat, C. Dupraz, M. Laurans, D. Makowski, H. Ozier‐
Lafontaine, B. Rapidel, S. de Tourdonnet, and M. Valantin‐Morison. 2007.
Mixing plant species in cropping systems: concepts, tools and models. A
review.
EDP
Sciences.
https://hal.archives‐
ouvertes.fr/file/index/docid/886426/filename/hal‐00886426.pdf.
Diakses 5 Nov. 2014.
Oerke, E.C. 2006. Crop losses to pests. Journal of Agricultural Science 144:31‐
43.
Pink, D.A.C. (2002) Strategies using genes for non‐durable resistance. Euphytica
1, 227–236.
Pinstrup‐Andersen, P. 2001. The Future World Food Situation and the Role of
Plant Diseases. The Plant Health Instructor. DOI: 10.1094/PHI‐I‐2001‐
0425‐01.
Suganda, T., L. Djaja, T. Sunarto, A. Purnama, dan D.T. Iswara. 1998. Pengaruh
berat dan posisi residu tanaman tomat terinfeksi Alternaria solani
terhadap kemunculan penyakit bercak coklat pada tanaman tomat. J.
Agrikultura 9:6‐11.
Suganda, T. dan S. Natasasmita. 2014. Penyebaran Penyakit Busuk Cincin
Bakteri (Clavibacteri michiganensis subsp. sepedonicus) Pada Tanaman
11
Kentang Di Jawa Barat. Laporan Penelitian LPPM Universitas Padjadjaran
(Tidak dipublikasikan).
The Economist. Nov 8th, 2014. Genetically modified crops, Field Research.
http://www.economist.com/news/science‐and‐technology/21630961‐
biggest‐study‐so‐far‐finds‐gm‐crops‐have‐large‐widespread‐benefits‐field
Washington, W.S., N. Shanmuganathan, and C. Forbes. 1992. Fungicide control of
strawberry fruit rots, and the field occurrence of resistance of Botrytis
cinerea to iprodione, benomyl and dichlofluanid. Crop Protection
11:355‐360. DOI: 10.1016/0261‐2194(92)90063‐B.
Wyenandt, A. and N.L. Maxwell. 2011. Evaluating fungicide recommendations
for vegetable crops in the United States: should more be done to limit the
risks of fungicide resistant development. Journal of Extension
49(3):Feature 3FEA8.
‐tsg‐
12
TREND PRAKTIK PENGENDALIANNYA
DALAM MENINGKATKAN DAYA SAING PRODUK PERTANIAN1
Tarkus Suganda
Lab. Fitopatologi Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan
Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran
1. Pendahuluan 1
2. Strategi Pengendalian Patogen Penyebab Penyakit Tanaman ................................................... 2
2.1 Trend Baru Teknik Pengendalian Patogen ............................................................................... 3
2.2 Pengendalian Terpadu ..................................................................................................................... 3
2.2.1 Penerapan Kebijakan dan Perundang‐undangan ........................................................................... 4
2.2.2 Penggunaan Varietas Resisten ................................................................................................................ 4
2.2.3 Teknik Bercocok Tanam ............................................................................................................................ 7
2.2.4 Pengendalian Biologis ................................................................................................................................. 8
2.2.5 Pengendalian Dengan Senyawa Kimia (Pestisida) ......................................................................... 9
3. Simpulan ..................................................................................................................................................... 10
Daftar Pustaka ............................................................................................................................................... 10
1. Pendahuluan
Dunia pertanian, dewasa ini menghadapi dua masalah besar. Di satu sisi
pertanian harus mencapai produksi yang optimum untuk memenuhi kebutuhan
pangan sebagai antisipasi jumlah penduduk bumi yang diprediksi akan mencapai
9 milyar orang pada tahun 2050. Untuk skala nasional, produksi pertanian
haruslah menjadikan bangsa Indonesia memiliki kedaulatan pangan. Sementara
di sisi lain, pertanian, sebagai komoditas perdagangan, harus memiliki daya
saing agar mampu berkompetisi dengan produk pertanian dari negara‐negara
lain dalam bersaing di pasar bebas.
Dilihat dari aspek perlindungan tanaman, keduanya memiliki sedikit
perbedaan. Jika tujuan utamanya adalah untuk tercapainya produksi yang
optimum, maka strategi perlindungan tanaman apa pun dapat dilakukan.
Sementara itu, jika tujuan utamanya adalah meningkatkan daya saing, maka
strategi perlindungan tanaman yang diterapkan haruslah dilakukan secara hati‐
hati.
Baik produksi pertanian untuk kecukupan pangan, maupun untuk
peningkatan daya saing, keduanya menghadapi kendala yang sama, yaitu
gangguan dari organisme pengganggu tanaman (OPT). Menurut Oerke (2006),
rata‐rata kehilangan produksi pertanian, setiap tahunnya berkisar antara 50‐
1
Makalah utama Seminar Nasional “Strategi Perlindungan Tanaman Untuk Meningkatkan Daya Saing
Produk Pertanian”, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Kamis, 27 November 2014.
Jatinangor, Sumedang.
1
80%, dengan perincian, kehilangan hasil akibat gulma 34%, akibat hama 18%
dan akibat patogen 16%. Data ini belum memperhitungkan kehilangan hasil
pascapanen, yang diperkirakan rata‐rata 10% (Pinstrup‐Andersen, 2001).
Walaupun persentase kehilangan hasil pertanian oleh patogen termasuk
yang paling kecil, namun Era Globalisasi yang ditandai dengan tingginya
mobilisasi manusia, terjadinya perubahan iklim, kurang bijaksananya cara
budidaya, dan tuntutan konsumen yang berlebihan, diprediksi akan
menyebabkan peranan patogen penyebab penyakit tanaman sebagai pembatas
optimalnya produksi pertanian, akan semakin meningkat (Knobler et al., 2006).
Dalam beberapa kasus, patogen penyakit tanaman sangat sulit dikendalikan,
serta bukan hanya merugikan secara ekonomi (kehilangan penghasilan
produsen, meningkatkan harga di konsumen, membatasi jenis tanaman, dan
hilangnya plasma nutfah), tetapi juga merugikan secara estetika (bentuk dan
tampilan tanaman menjadi tidak estetis) serta merugikan secara sosial dan
politik (Maloy, 1993). Oleh karena sangat pentingnya peranan patogen penyakit
tanaman sebagai faktor pembatas produksi pertanian, maka tindakan
pengendalian patogen menjadi salah satu prioritas dalam budidaya pertanian.
Sementara itu, hal lain yang harus juga menjadi perhatian adalah bahwa
pertanian Indonesia, selain bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
Indonesia, juga merupakan salah satu komponen ekonomi yang dapat menjadi
komoditas perdagangan untuk menambah penghasilan negara. Untuk dapat
bersaing dengan produk pertanian negara‐negara lain, maka produk pertanian
Indonesia harus memiliki kualitas yang unggul. Melimpahnya produksi dan
sesuainya dengan kebutuhan pasar, tidak serta merta menjamin produk
pertanian Indonesia memiliki daya saing terhadap produk kompetitor. Berbagai
kasus membuktikan bahwa jika proses produksinya tidak memenuhi standar
internasional, produk pertanian Indonesia di tolak oleh negara‐negara
pengimpor. Kopi Lampung pernah ditolak masuk pasar Jepang hanya karena
kandungan pestisida yang melebihi standar yang ditetapkan. Dengan demikian,
untuk memiliki daya saing yang tinggi, produk pertanian Indonesia harus
memiliki kualitas yang tinggi dan telah memenuhi kaidah good agricultural
practice (GAP), termasuk salah satunya adalah bagaimana cara perlindungan
tanamannya.
2. Strategi Pengendalian Patogen Penyebab Penyakit
Tanaman
Secara epidemiologi, mengendalikan penyakit tanaman, dapat didasarkan
kepada bagaimana penyakit tanaman menyebar dari satu tanaman ke tanaman
lainnya (menyebabkan terjadinya epidemi). Dalam praktiknya, terdapatnya satu
atau beberapa tanaman terserang patogen di lahan pertanaman, belum dianggap
merugikan jika patogennya tidak menyebar ke seluruh pertanaman.
Ada dua jenis epidemi atau penyebaran patogen penyakit tanaman, yaitu
monosiklik dan polisiklik. Pada tipe penyebaran monosiklik, patogen hanya
sekali menginfeksi tanaman inangnya selama pertumbuhan tanaman tersebut,
contohnya pada penyakit‐penyakit tular‐tanah. Patogen yang sudah menginfeksi
tanaman inangnya, tidak akan menginfeksi lainnya. Sementara itu, pada tipe
2
penyebaran polisiklik, patogen menghasilkan struktur infektif (contohnya spora
atau konidia), yang dapat menginfeksi tanaman lain.
Tipe patogen yang penyebarannya monosiklik dapat digambarkan dengan
rumus :
Xt = X0.r.t
Sedangkan tipe patogen yang penyebarannya polisiklik dapat digambarkan
dengan persamaan :
Xt = X0.er.t
Keterangan :
Xt = keparahan penyakit pada waktu t
X0 = inokulum awal
r = laju perbanyakan patogen
t = waktu perkembangan penyakit
e = bilangan 2,71828183
Berdasarkan kedua persamaan diatas, pada prinsipnya, pengendalian
patogen dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu (1) menurunkan jumlah
propagul patogen sebagai inokulum awal; dan (2) menekan laju perbanyakan
patogen (Maloy, 1993). Upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan
inokulum awal dapat dilakukan dengan cara : (1) mereduksi patogen yang sudah
ada; (2) mengeradikasi atau memusnahkan total inokulum yang sudah ada; dan
(3) mencegah masuknya patogen atau melokalisasinya di suatu tempat.
Sementara itu, upaya untuk menekan laju perbanyakan patogen dapat
dilakukan terhadap tanaman inangnya, dengan cara : (1) menggunakan tanaman
resisten dengan resistensi genetiknya; (2) menginduksi resistensi tanaman
melalui berbagai perlakuan; dan (3) melakukan tindakan proteksi terhadap
tanaman.
2.1 Trend Baru Teknik Pengendalian Patogen
Dari sekian banyak taktik pengendalian yang dapat dipilih dalam
mengendalikan penyakit tanaman, selain pertimbangan harus efektif, trend baru
yang menjadi dasar pertimbangan pemilihannya di Abad XXI ini, antara lain
adalah : 1. harus ramah lingkungan; dan 2. memenuhi praktik baik bercocok
tanam (good agricultural practice – GAP). Jika petani dapat membuktikan bahwa
mereka telah menerapkan GAP yang memperhatikan aspek kelestarian
lingkungan, maka produk pertaniannya, bukan saja dapat diloloskan masuk ke
pasar negara‐negara maju, tetapi juga memiliki posisi jual yang lebih baik.
2.2 Pengendalian Terpadu
Dari berbagai riset dan kenyataan praktis, dalam mengendalikan patogen
penyebab penyakit tanaman, tidak ada satu cara atau taktik pengendalian yang
memberikan hasil memuaskan (Maloy, 2004). Diperlukan kombinasi lebih dari
satu taktik pengendalian untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Oleh
3
karena itu, untuk mengendalikan patogen penyebab penyakit tanaman,
diperlukan strategi pengendalian terpadu (El Khoury & Makkouk, 2010).
Selain alasan tidak adanya satupun taktik pengendalian yang jika
diaplikasikan secara mandiri dan dapat mencapai level yang memuaskan,
penerapan pengendalian terpadu juga dipilih karena dapat menekan dampak
dari perlakuan yang dipilih sehingga sesuai dengan konsep kelestarian
lingkungan dan pertanian berkelanjutan. Selain itu, hasrat manusia, terutama
mereka yang memiliki tingkat pendidikan dan pemahaman yang baik, cenderung
mengharapkan mengonsumsi makanan yang sehat dan rendah kandungan kimia
sintetiknya. Oleh karena itu, pemilihan taktik pengendalian patogen yang
mendekati alami, merupakan faktor yang harus menjadi pertimbangan.
Beberapa taktik pengendalian yang tersedia untuk penyakit tanaman
adalah : (1) penerapan kebijakan dan perundang‐undangan; (2) penggunaan
tanaman resisten; (3) teknik bercocok tanam; (4) pengendalian biologis; dan
(5) penggunaan senyawa kimia (El Khaoury & Makkouk, 2010).
2.2.1 Penerapan Kebijakan dan Perundang‐undangan
Penerapan kebijakan dan perundang‐undangan sebenarnya merupakan
langkah yang efektif dan dapat berdampak secara luas dalam menangkal
masuknya patogen dari luar wilayah dan menghambat penyebaran patogen di
wilayah yang sudah terdeteksi adanya patogen. Tugas ini diemban oleh Badan
Karantina Pertanian Kementrian Pertanian. Perihal ini, akan dibahas dalam oleh
Dr. Antarjo Dikin, pada sesi berikutnya. Tugas Badan Karantina ini sangat berat
jika tidak ada dukungan dan pastisipasi seluruh lapisan masyarakat. Dengan
meningkatnya lalulintas barang dan manusia di era globalisasi, akan semakin
mempersulit tugas Badan Karantina Pertanian dalam melaksanakan penerapan
kebijakan pemerintah dan perundang‐undangan.
Kasus masuknya nematoda sista kentang ‐ Globodera rostochiensis dan
yang terbaru adalah bakteri Clavibacter michiganensis subsp. sepedonicum juga
patogen pada tanaman kentang (Suganda & Natasasmita, 2014), merupakan
salah satu bukti sulitnya tugas Badan Karantina Pertanian. Sebelumnya, kedua
patogen ini tidak terdapat di Indonesia karena merupakan organisme
pengganggu tanaman karantina (OPTK) A‐1.
2.2.2 Penggunaan Varietas Resisten
Resistensi tanaman merupakan cara pengendalian patogen yang paling
ideal, karena menghemat waktu, biaya, dan upaya, serta aman bagi lingkungan
(Maloy, 1993). Resistensi tanaman menekan laju perbanyakan patogen dan pada
gilirannya menekan inokulum awal untuk musim berikutnya. Dengan menanam
tanaman resisten, petani tidak perlu melakukan tindakan khusus selain
menanamnya.
Resistensi tanaman sudah terbukti efektif dalam mengendalikan patogen.
Selama puluhan tahun, resistensi tanaman sudah menjadi bagian dari strategi
pengendalian terhadap patogen (Pink, 2002). Di negara‐negara maju, untuk
mengendalikan penyakit karat (Puccinia graminis) pada tanaman gandum,
resistensi tanaman merupakan komponen pengendalian yang tidak dapat
dipisahkan dalam budidaya gandum. Begitu juga dengan tanaman padi. Varietas
padi yang resisten terhadap penyakit blast, bakteri kresek, atau bercak coklat
4
juga merupakan bagian dari pengendalian penyakit padi (El Khoury & Makkouk,
2010).
Namun demikian, fakta membuktikan bahwa resistensi tanaman saja
tidak cukup untuk dapat melindungi tanaman dari penyakit. Kasus patahnya gen
gen resistensi tunggal pada gandum oleh munculnya ras‐ras baru pada jamur P.
graminis (dikenal dengan istilah boom and bust cycle) menunjukkan kebenaran
bahwa satu cara pengendalian tidak akan cukup memberikan hasil yang
memuaskan (Keane & Brown, 1997). Penurunan hasil gandum tetap terjadi,
karena resistensi memang bukan imunisasi.
Tanaman transgenik, yang diprediksi akan dapat menjadi jawaban bagi
permasalahan produksi dan perlindungan tanaman, sampai saat ini baru
tersedia untuk karakter resistensi terhadap herbisida dan serangga. Untuk
ketahanan terhadap patogen, baru tersedia untuk karakter ketahanan terhadap
virus, yaitu pada pepaya dengan gen coat protein. Namun penggunaan secara
komersial untuk diterapkan oleh petani nampaknya tidak terlalu menjajikan.
Selain prosedurnya rumit, harganya mahal, juga sering menjadi monopoli
perusahaan pengembangnya sendiri (Bakshi & Dewan. 2013, The Economist,
2014).
Resistensi Terinduksi
Cara pengendalian yang sedang aktif dikembangkan di berbagai belahan
dunia saat ini adalah mencoba menginduksi resistensi tanaman dengan
menggunakan berbagai bahan penginduksi. Fakta bahwa tanaman mampu
melawan infeksi patogen jika sistem pertahanan dirinya diaktifkan, telah
menghasilkan berbagai temuan bahwa senyawa kimia maupun mikroba dapat
berperan sebagai penginduksi (Abdel‐Kader et al., 2013, Anand et al., 2014).
Tabel 1. Tanaman yang memperlihatkan SAR dengan penginduksi mikrob
(disarikan dari Anand et al., 2014).
Tanaman
Organisme Penginduksi
Patogen Sasaran
Alfalfa
Colletotrichum lindemuthianum Colletotrichum
Kedelai
Colletotrichum
Colletotrichum
Kentang
Phythophthora infestans
Phythophthora infestans
Tomat
Phythophthora infestans
Phythophthora infestans
Mentimun
Colletotrichum lagenarium
Colletotrichum lagenarium
Padi
Pseudomonas syringae
Magnaporthe grisea
Tabel 2. Resistensi terinduksi oleh mikrob PGPR (disarikan dari Anand et al.,
2014).
Tanaman
PGPR
Patogen Sasaran
Terlindungi
Ochrobactrum lupi
Paprika
Xanthomonas axonopodis
P. fluorescens
Tomat dan paprika F. o. f.sp. lycopersici,
Colletotrichum capsici
5
Serratia plymuthics strain Mentimun
Pythium ultimum
R1GC4
Burkholderia phtofirmans anggur
Botrytis cinerea
PsJN
P. fluorescen EP1
Tebu
C. falcatum
Bacillus pumilus SE34
tomat
F. oxysporum
Tabel 3. Resistensi terinduksi oleh mikrob non‐pathogenic atau strain avirulen
(disarikan dari Anand et al., 2014).
Penyakit
Organisme Penginduksi
Patogen Sasaran
Tanaman
Net blotch barley Bipolaris maydis jagung atau Drechslera teres f. maculata
Septoria nodorum gandum
Blast padi
Pyricularia
oryzae
dan Pyricularia oryzae
Bipolaris sorokiniana
Powdery mildew Alternaria cucumarina atau Sphaerotheca fuliginea
mentimun
Cladosporium fulvum
Antraknos kacang Colletotrichum
C. lindemuthianum, C.
lindemuthianum
lagenarium
Layu
fusarium Fusarium oxysporum strain Layu fusarium
tomat
Fo47
Tabel 4. Produk komersil penginduksi resistensi tanaman (disarikan dari Anand
et al., 2014).
Penginduksi
Bahan Aktif
Produsen
Actigard®,
Acibenzolar‐S‐methyl
Singenta Crop Protection,
Blokade®, Bion®
USA
Allete® WG
Fosetyl‐Al
Bayer Crop Science,
Germany
Elexa
Chitosan dll
Safe Science, USA
Forr‐R, Fos® 400
Asam posporus
UIM Agrochemicals,
Australia
Goemar 411
laminarin
Laboratories Goemar,
France
Key Plex
Asam alpha‐keto
Morese Enterprises, USA
Messenger®
harpin
Eden Bioscience, USA
Nautri Phite® P
Asam posporus
Biagro Western Sales Inc.
USA
Milsan®
Ekstrak Reynoutria
KHH Bioscience Inc, USA
sachalinensis
Oxycom
Hidrogen peroksida
Redox Chemical Inc. USA
eKsPunge®
Potasium dihidrogen fosfat
Lido Chemical Inc. USA
6
PhytoGuard®
Prophyt®
RezistTM
Potassium fosfat
Potassium fosfat
Tembaga, mangan dan zeng
SynemixTM
Ekstrak rumput laut
Vacciplant (Physpl) β‐1,3 glucan
Intrachem Bio. France
Helena Chemical Co, USA
Laboratories Goemar,
France
Laboratories Goemar,
France
Laboratories Goemar,
France
2.2.3 Teknik Bercocok Tanam
Cara bercocok tanam merupakan praktik pengendalian penyakit tanaman
yang ditujukan untuk meningkatkan kesehatan tanaman dalam upaya
menciptakan iklim yang tidak kondusif bagi perkembangan penyakit (menekan
laju perkembangan penyakit – r, di dalam rumus epidemik), dan menekan level
inokulum awal (atau X0 di dalam rumus epidemik.
Pentingnya peranan inokulum awal terhadap kemunculan penyakit dan
berat‐ringannya tingkat keparahan penyakit sudah banyak dibuktikan dalam
berbagai penelitian. Naz et al. (2008) melaporkan bahwa semakin tinggi level
inokulum Rhizoctonia solani, semakin berat tingkat serangan penyakit black scurf
pada tanaman kentang. Hasil ini konsisten pada 11 kultivar kentang terlepas
dari adanya perbedaan tingkat resistensinya. Sementara itu, Munde et al. (2013)
juga melaporkan bahwa semakin tinggi level inokulum Sclerotium rolfsii,
semakin tinggi tingkat keparahan dan semakin cepat penyakit busuk akar
muncul pada tanaman sorgum.
Keinath (1995) melaporkan bahwa kemunculan dan keparahan penyakit
rebah kecambah pada kubis oleh Rhizoctonia solani sangat ditentukan oleh
jumlah inokulum awal (sklerotia) di dalam tanah. Semakin tinggi jumlah
inokulum, semakin parah penyakitnya.
Hal serupa dilaporkan oleh oleh Hao et al. (2009). Penyakit layu
fusarium pada tanaman kapas oleh jamur Fusarium oxysporum f.sp. vasinfectum
merupakan penyakit yang tingkat keparahannya (disease severity) sangat
tergantung kepada level inokulum di dalam tanah, walaupun resistensi kultivar
juga ikut berperan dalam menentukan berat‐ringannya tingkat keparahan. Pada
Gambar 1 dibawah ini terlihat bahwa semakin tinggi inokulum awal, semakin
tinggi keparahan penyakit.
7
Gambar 1. Tingkat keparahan penyakit layu pada tanaman kapas oleh F.o. f.sp.
vasinfectum (Hao et al., 2009).
Oleh karena itu, penurunan inokulum awal (X0) merupakan suatu praktik
yang sangat baik untuk mengurangi resiko penyakit tanaman. Pembenaman
serasah tanaman terinfeksi dapat memperlambat munculnya penyakit dan
menurunkan tingkat keparahan penyakit tanaman. Suganda dkk. (1988)
melaporkan bahwa semakin banyak serasah tanaman tomat terinfeksi sebagai
inokulum, semakin cepat dan semakin parah penyakit yang terjadi. Namun jika
serasah tanaman tomat terinfeksi tersebut dibenamkan, semakin dalam
pembenaman, semakin rendah tingkat keparahan penyakit bercak melingkar
(ring spot) pada tanaman tomat oleh jamur Alternaria solani.
Beberapa teknik bercocok tanam yang dapat dikategorikan sebagai cara
pengendalian patogen, a.l. adalah pengolahan tanah, solarisasi dan pemulsaan
dengan plastik, pergiliran tanaman, dan bertanam campuran (Agus, 2008,
Autrique & Pots, 2008, Berry, 2009, dan Mmalezieux, et al., 2007). Mmalezieux,
et al., (2007) melaporkan bahwa dari hasil survey yang mereka lakukan, praktik
bertanam campuran memberikan berbagai keuntungan seperti produktivitas
yang lebih tinggi, penekanan terhadap OPT, memperbaiki ekologi dan
memguntungkan secara ekonomi.
2.2.4 Pengendalian Biologis
Pengendalian biologis merupakan salah satu cara pengendalian yang
ramah lingkungan, yaitu dengan memanfaatkan musuh alami dari patogen. Riset
tentang eksplorasi musuh alami sudah sangat banyak dilakukan, termasuk di
Indonesia. Musuh alami patogen yang paling potensil a.l. adalah jamur
8
Trichoderma spp. dan berbagai genus bakteri. Pestisida untuk mengendalikan
patogen dengan bahan aktif mikrob sebenarnya sudah banyak yang dipasarkan
secara komersil, baik di luar negeri maupun di Indonesia. Di luar negeri produk
pengendali biologis dikenal dengan nama dagang Soilgard, Kodiak, HiStick,
Serenade, dan lain‐lain.
2.2.5 Pengendalian Dengan Senyawa Kimia (Pestisida)
Pengendalian penyakit tanaman dengan senyawa kimia tidak akan dapat
dipisahkan dari produksi pertanian. Terlepas dari fakta bahwa senyawa kimia
adalah racun yang dapat terkonsumsi, menyebabkan pencemaran lingkungan,
menyebabkan resistensi dan resurjensi patogen (Fishel, 2014), dan sebagainya,
sampai saat ini, senyawa kimia masih merupakan salah satu cara pengendalian
yang sangat diandalkan, terutama ketika patogen sudah mencapai ambang yang
dapat merugikan secara ekonomi. Menurut Wyenandt & Maxwell (2011),
fungisida merupakan salah satu komponen dari pengendalian terpadu, tanpa
fungisida produksi sayuran komersil tidak memungkinkan secara ekonomis.
Tanpa fungisida, penanaman tanaman inang di daerah endemik, tidak mungkin
dapat dilakukan dikarenakan oleh Phytophthora infestans (Cooke, 1992). Disitir
dari Gianessi & Reigner (2005) satu buah mentimun terinfeksi Phytophthora
dapat menghasilkan 840 juta spora, sementara 500 juta spora dapat dihasilkan
oleh hanya satu tanaman seledri yang terinfeksi.
Upaya untuk menggunakan fungisida secara lebih rasional dan tepat
sudah banyak dilakukan. Trend penggunaannya semakin lama semakin
menurun (Gianessi & Reigner, 2005; Wyenandt & Maxwell, 2011). Berbagai
upaya untuk menekan kemunculan resistensi patogen terhadap suatu bahan
aktif fungisida sudah banyak dilakukan, antara lain dengan monitoring secara
berkelanjutan, membuat fungisida campuran lebih dari satu bahan aktif,
menggunakannya secara berselang‐seling bahan aktif, bahkan dengan fungisida
berbahan aktif nabati (Brent & Hollomon, 2007). Keefektifan suatu bahan aktif
fungisida memang harus dipertahakan selama mungkin mengingat untuk
menemukan dan menggembangkan satu jenis bahan aktif diperlukan waktu 10
tahun dengan total biaya sampai dapat dipasarkan mencapai US$200 juta
(CropLife International, 2007).
Pestisida Nabati Sebagai Alternatif
Salah satu alternatif terhadap pestisida sintetik yang semakin mendapat
perhatian sebagai cara pengendalian patogen yang ramah lingkungan adalah
fungisida nabati (Anand et al., 2014, Baraka et al., 2011, Bowers & Locke, 2000).
Berbagai riset telah dilakukan di seluruh dunia untuk mengekplorasi bahan alam
lokal sebagai fungisida dan bakterisida. Banyak yang sudah dikategorikan efektif
dan potensial bahkan sudah banyak pula yang dijual secara komersil. Beberapa
di antaranya dijual dan dipasarkan secara internasional dengan merek dagang
Regalia PTO, Milsana, Bion 50 WG, Zero Tolerance, Citron 75 SL, Eco‐PM, Tricha,
Biocure, dan lain‐lain (Anand et al., 2014). Sementara itu, produk lokal
dipasarkan dengan nama dagang Top Fungi, Fungidor, Mikocide, dan lain‐lain.
9
3. Simpulan
1. Penyakit tanaman memiliki peran yang sangat penting sebagai salah satu
faktor pembatas tercapainya produksi pertanian yang optimum, dan
diprediksi peranannya akan semakin penting di Era Globalisasi.
2. Untuk mengendalikannya diperlukan strategi pengendalian terpadu yang
selain harus efektif juga harus memenuhi kaidah good agricultural
practice agar meningkatkan kualitas dan daya saing.
3. Terdapat berbagai cara pengendalian yang dapat dipilih dengan sekuens
dimulai dari penerapan perundang‐undangan, penggunaan varietas
resisten, teknik bercocok tanam, pengendalian biologis, pengendalian
dengan senyawa botani, dan penggunaan fungisida sintetik jika
diperlukan.
4. Pemilihan cara pengendalian ditujukan untuk menekan jumlah inokulum
awal dan menekan laju perbanyakan patogen.
Daftar Pustaka
Abdel‐Kader, M.M, N.S. El‐Mougy, and S.M. Lashin. 2013. Biological and chemical
resistance inducers approaches for controlling foliar diseases of some
vegetables under protected cultivation system. Plant Pathology &
Microbiology :4‐9. http://dx.doi.org/10.4172/2157‐7471.1000200 (20
Nov. 2014).
Agu, C.M. 2008. Effects Of Intercropping On Root‐Gall Nematode Disease On
Soybean (Glycine max (L) Merril). New York Science Journal 1 (1).
January 1, 2008. ISSN 1554‐0200.
Anand, Y.R., S.J. Singh, D.K. Kumar, K.R. Panyam, P. Sumitra, K.H. Malemnganba
Meitei, S. Gurumurthy, and B. Asthir. Recent Advances In Induced
Resistance for Plant Disease Management: An Overview. 2014. In :
Innovations in Plant Sciences and Biotechnology (S.H. Wani, C.P. Malik, A.
Hora, and R. Kaur, eds). Agrobios, India.
Autrique, A. and M.J. Potts. 2008. The influence of mixed cropping on the
control of potato bacterial wilt (Pseudomonas solanacearum). Annals of
Appl. Biol. 111(1):125‐133.
Bakshi, S. and D. Dewan. 2013. Status of transgenic cereal crops: a review.
Cloning & Transgenesis 3(1):1‐13. http://dx.doi.org/10.4172/2168‐
9849.1000119 (diakses 11 Nov 2014).
Baraka, M.A., F.M. Radwan, W.I. Shaban, and K.H. Arafat. 2011. Efficiency of some
plant extracts, natural oils, biofungicides and fungicides against root rot
disease of date palm. J. Biol. Chem. Environ. Sci. 6(2):405‐429.
Berry S,D., P. Dana, V.W. Spaull, and P. Cadet. 2009. Effect of intercropping on
nematodes in two small‐scale sugarcane farming systems in South Africa.
Nematropica 39:11‐33.
10
Bowers, J. H., and Locke, J. C. 2000. Effect of botanical extracts on the population
density of Fusarium oxysporum in soil and control of Fusarium wilt in the
greenhouse. Plant Dis. 84:300‐ 305.
Brent, K.J. and D.W. Hollomon. 2007. Fungicide resistance in Crop Pathogens:
How Can It Be Managed? CropLife International. FRAC.
Da Rocha, A.B. and R. Hammerschmidt. 2005. History and perspectives on the
use of disease resistance inducers in horticultural crops. Horttechnology
July‐September 15(3):518‐529.
El Khoury, W. and K. Makkouk. (2010). Integrated plant disease management in
developing countries. Journal of Plant Pathology 92(S4.35.S4.42).
Fishel, F.M. 2014. Pesticide‐organism interaction. IFAS Extension,University of
Florida. http://edis.ifas.ufl.edu/pdffiles/PI/PI08000.pdf (21 Nov. 2014).
Gianessi, L.F. and N. Reigner. 2005. The Value of Fungicides in U.S. Crop
Production. CropLife Foundation, Crop Protection Research Institute.
Washington D.C.
Gisi, U., I. Chet, M.L. Gullino (eds). Recent Developments in Managemen of Plant
Diseases. Springer.
Keane, P.J. and J. Brown. 1997. Disease management: resistant cultivars. Pp.
405‐425 in Plant Pathogens and Plant Diseases (J.F. Brown and H.J. Ogle,
eds). http://www.appsnet.org/Publications/Brown_Ogle/ (21 Nov.
2014).
Keinath, A.P. 1995. Relationships between inoculum density of Rhizoctonia
solani, wiresteam incidence and severity, and growth of cabbage.
Phytopathology 85:1487‐1492.
Knobler, S., A. Mahmoud, S., Lemon, and L. Pray (eds). 2006. The Impact of
Globalization on Infectious Disease Emergence and Control. The National
Academic Press. Wahsngton D.C.
Maloy, O.C. 1993. Plant Disease Control: Principles and Practice. John Wiley &
Sons, Inc. 346 p.
Mmalezieux, E., Y. Crozat, C. Dupraz, M. Laurans, D. Makowski, H. Ozier‐
Lafontaine, B. Rapidel, S. de Tourdonnet, and M. Valantin‐Morison. 2007.
Mixing plant species in cropping systems: concepts, tools and models. A
review.
EDP
Sciences.
https://hal.archives‐
ouvertes.fr/file/index/docid/886426/filename/hal‐00886426.pdf.
Diakses 5 Nov. 2014.
Oerke, E.C. 2006. Crop losses to pests. Journal of Agricultural Science 144:31‐
43.
Pink, D.A.C. (2002) Strategies using genes for non‐durable resistance. Euphytica
1, 227–236.
Pinstrup‐Andersen, P. 2001. The Future World Food Situation and the Role of
Plant Diseases. The Plant Health Instructor. DOI: 10.1094/PHI‐I‐2001‐
0425‐01.
Suganda, T., L. Djaja, T. Sunarto, A. Purnama, dan D.T. Iswara. 1998. Pengaruh
berat dan posisi residu tanaman tomat terinfeksi Alternaria solani
terhadap kemunculan penyakit bercak coklat pada tanaman tomat. J.
Agrikultura 9:6‐11.
Suganda, T. dan S. Natasasmita. 2014. Penyebaran Penyakit Busuk Cincin
Bakteri (Clavibacteri michiganensis subsp. sepedonicus) Pada Tanaman
11
Kentang Di Jawa Barat. Laporan Penelitian LPPM Universitas Padjadjaran
(Tidak dipublikasikan).
The Economist. Nov 8th, 2014. Genetically modified crops, Field Research.
http://www.economist.com/news/science‐and‐technology/21630961‐
biggest‐study‐so‐far‐finds‐gm‐crops‐have‐large‐widespread‐benefits‐field
Washington, W.S., N. Shanmuganathan, and C. Forbes. 1992. Fungicide control of
strawberry fruit rots, and the field occurrence of resistance of Botrytis
cinerea to iprodione, benomyl and dichlofluanid. Crop Protection
11:355‐360. DOI: 10.1016/0261‐2194(92)90063‐B.
Wyenandt, A. and N.L. Maxwell. 2011. Evaluating fungicide recommendations
for vegetable crops in the United States: should more be done to limit the
risks of fungicide resistant development. Journal of Extension
49(3):Feature 3FEA8.
‐tsg‐
12