Lady Gaga Vs Budaya Indonesia

Kharis Pinasthika (01102277)
“Lady Gaga” Vs “Budaya Indonesia”
Abstrak
Mencoba mempertemukan dua kebudayaan yang berbeda. Lady Gaga rupanya tidak
hanya bisa menjadi “penyesat”, namun dengan refleksi yang dinamis bisa
mempersilahkan aksinya menjadi “penolong” dalam kehidupan religius.
Kata kunci: Budaya Populer, Tradisi Religius, Teologi, Dialog, Kreatif
~Polemik Rencana Kedatangan Lady Gaga
Pada tanggal 3 juni 2012 Indonesia hendak mengundang artis asal Amerika Serikat, Lady
Gaga untuk mengadakan konser di Gelora Bung Karno. Rencana kedatangan Lady Gaga ini
ternyata menuai persoalan yang cukup ramai di media Indonesia. Seperti yang diberitakan di
media, polemik muncul karena ada kelompok-kelompok yang menolak kedatangan Lady
Gaga ke Indonesia. Salah satunya adalah MUI yang sudah secara resmi menolak
diselenggarakannya konser tersebut dan memberikan rekomendasi kepada Mabes Polri untuk
tidak memberikan ijin untuk penyelenggaraan konser tersebut.
Dari diskusi yang saya ikuti di Televisi ada tiga persoalan terkait mengenai polemik pro dan
kontra kedatangan Lady Gaga ini; pertama, persoalan hukum mengenai prosedural perijinan
penyelenggaraan konser ini, rupanya ada indikasi bahwa tiket sudah terjual sebelum ada ijin
dari Kepolisian; kedua, persoalan pasar, ada pihak-pihak yang menilai adanya isu penolakan
dan pembatalan konser ini sangat merugikan bangsa Indonesia. Isu ini akan mengurangi
kepercayaan pihak asing sehingga akan sangat tidak produktif bagi perkembangan ekonomi

terutama di bidang industri kreatif; ketiga, persoalan benturan kebudayaan yang menjadi
faktor utama persoalan ini. Benturan terjadi antara kebudayaan populer yang diwakili oleh
Lady Gaga dengan kebudayaan masyarakat Indonesia, yang disinyalir akan memberikan
pengaruh negatif terhadap nilai-nilai masyarakat di Indonesia.
Persoalan ketiga terlihat dari empat alasan MUI untuk menolak Lady Gaga yang disampaikan
oleh Ketua Pengkajian dan Penelitian MUI, Yunahar Ilyas, dalam jumpa pers di Kantor MUI,
Jakarta, Selasa (22/5)
"Pertama, konser tersebut bertentangan dengan konsep kehidupan berbangsa dan bernegara, norma
agama, Pancasila, UUD 1945," ....Selain itu, MUI menilai Lady Gaga sebagai ikon pornografi dan
liberalisme budaya. Wanita keturunan Italia itu juga merupakan sosok yang mengagungkan
kebebasan tanpa batas."Ketiga, rencana konser ini telah menyebabkan pro dan kontra yang
menguras energi bangsa dan berpotensi menimbulkan konflik yang mengganggu keamanan dan
ketertiban masyarakat," kata dia.Tak hanya itu, MUI juga menilai konser tersebut telah secara
nyata mengumbar hedonisme, mematikan semangat kesetiakawanan sosial dan rasa
solidaritas."Berdasarkan pertimbangan yang ada kami menolak adanya konser Lady Gaga," kata
dia.1

Figur Lady Gaga dipandang bertentangan dengan nilai-nilai moral di Indonesia sehingga
dapat memberikan pengaruh demoralisasi bagi bangsa Indonesia. Menurut Menteri Agama,
Suryadharma Ali Lady Gaga dipandang memberikan pengaruh negatif dan dapat merusak

akhlak bangsa karena kostumnya yang terbuka dan lirik lagunya yang terlihat seperti pemuja
1
http://www.merdeka.com/peristiwa/4-alasan-mui-tolak-konser-lady-gaga.html
(diakses pada 22/05/2012 Pk. 21:01 WIB)

setan dan anti-agama2. Pelarangan kedatangan Lady Gaga dianggap sebagai perlindungan
bangsa terhadap akhlak dan moral bangsa dari aksi seni Lady Gaga yang merusak moral. Atas
dasar itu pula mabes Polri tidak memberikan izin untuk menyelenggarakan konser tersebut.
Penolakan yang terjadi selalu didasari dari pola pikir bahwa Lady Gaga sebagai ikon dari
budaya populer membawa berbagai pengaruh negatif sehingga perlu dicegah dan ditolak.
Namun ada juga pendapat lain yang lebih bernada toleran, penolakan terhadap Lady Gaga ini
dinilai oleh pihak NU sebagai sesuatu yang berlebihan. Konser tidak akan menjadi masalah
jika dibiarkan dan tidak akan berpengaruh apa-apa. Walaupun tidak memungkiri Lady Gaga
memang mengundang kontroversi karena tidak cocok dengan tradisi masyarakat 3. Dalam hal
ini kebudayaan populer yang diakui berbeda tidak dilihat sebagai ancaman untuk budaya di
Indonesia, adanya perbedaan dan pertentangan itu diterima dan dalam menghadapinya tidak
perlu mengambil sikap defensif. Pihak NU melihat kedatangan budaya yang berbeda itu
bukanlah sebuah gangguan dan tidak perlu dihambat untuk hidup di sekitar budaya lokal
yang akhirnya hanya menciptakan ketidakharmonisan.
~Lady Gaga sebagai Ikon Budaya Populer

Bisa disimpulkan, penolakan kedatangan Lady Gaga di Indonesia dikarenakan ketakutan
masuknya ideologi liberalisme yang dimaknai kebebasan tanpa batas yang bertentangan
dengan budaya di Indonesia yang beragama, seperti kita ketahui seluruh masyarakat
Indonesia wajib beragama, sesuai dengan sila pertama. Ketakutan tersebut muncul karena
Lady Gaga sendiri dijadikan Ikon liberalisme yang sangat dikaitkan dengan “kemaksiatan”
dan anti-agama. Terlebih jika dilihat dari cara Lady Gaga yang dengan bebas melakukan aksi
panggung dengan kostum yang sangat terbuka, dan ekspresinya dalam berkesenian yang
sering dikenal dengan sikap yang tidak mengenal kesakralan. Ia pernah tampil layaknya
pemuja setan, menggunakan simbol-simbol agama secara kontroverial. Bisa dilihat dalam
video klip lagunya yang berjudul “Judas” yang dipandang melecehkan Yesus. Ungkapanungkapan seks, kekerasan dan hedonisme juga dengan bebas dan vulgar terungkap dalam
lirik dan videoklipnya.
Lady Gaga sebagai Ikon mengekspresikan gaya hidup dan kebudayaan yang bertentangan
dengan nilai-nilai religius. Sedangkan sebagai Public Figure Lady Gaga secara tidak
langsung menyebarkan kebudayaan yang ia wakilkan dan ketika dua budaya ini bertemu
maka muncul pertentangan di tengah masyarakat. Kebudayaan populer yang dipertunjukan
Lady Gaga dan dinikmati oleh masyarakat akan mengalami perjumpaan dengan nilai-nilai
moral dan agama yang sudah dimiliki oleh masyarakat. Persoalannya muncul ketika nilainilai moral dan agama(termasuk kristen) yang memiliki doktrin, serta ketentuan-ketentuan
yang dianggap mutlak, bernilai luhur dan sakral bertemu dengan budaya populer yang bebas,
sekuler, ekspresi yang dekat dengan selera pribadi, nafsu dan hanya mencari keuntungan
pribadi. “Fenomena Lady Gaga” ini sebenarnya bukan hanya persoalan tentang pertunjukan

Lady Gaga yang akan digelar besok4, namun persoalan yang muncul melalui arus globalisasi
dalam berbagai segi kehidupan terutama yang berhubungan dengan tekhnologi informasi dan
industri. Terlihat perdebatannya adalah apakah budaya populer yang di’ikon’kan Lady Gaga
bisa bertemu dengan Budaya Indonesia yang diwarnai tradisi religius? ataukah keduanya
selamanya bertentangan dan pencampuran antara keduanya merupakan sebuah
2http://entertainment.kompas.com/read/2012/05/17/14522576/Menteri.Agama.Lady.Gaga.Seperti.Pemuja.Se
tan (diakses pada Kamis, 17 Mei 2012 | 14:52 WIB)
3http://www.eramuslim.com/berita/nasional/ketua-lembaga-seni-dan-budaya-nu-sebut-penolak-konser-ladygaga-sok-moralis.htm(diakses pada Minggu, 20/05/2012 10:26 WIB)
4 Paper ini ditulis pada bulan Mei 2012, sedangkan konser Lady Gaga direncanakan pada bulan Juni 2012

penyelewengan dan kemerosotan moral dan bisa kita sebut sebagai “dosa sinkretisme”? Jika
begitu persoalan antara kebudayaan ini lebih difokuskan pada bagaimana teologi dan tradisi
religius(terutama Kristen) merespon dan menanggapi kebudayaan populer. Apakah perlu
bersikap defensif seperti MUI, ataukah boleh saja kita terbuka dan mebiarkannya walaupun
bertentangan dengan tradisi religus seperti NU?
~Kebudayaan dan Teologi Kristen
Banyak perspektif dalam hubungan Budaya dan Teologi, secara sederhana saya hanya
membaginya menjadi dua, bahwa kebudayaan dapat direspon secara positif dan negatif oleh
tradisi kekristenan. Bedasarkan I Yoh 2:15-17 menekankan bahwa dunia berada di bawah
kekuasaan yang jahat dan dengan pengorbanan dan kuasa Yesus adalah kehidupan yang baru

dan yang bertentangan dengan dunia. Tradisi agama (kekristenan) adalah kehidupan baru dan
terpisah dari komunitas dunia5. Keterpisahan budaya kekristenan dengan dunia berarti juga
memandang budaya diluar ketetapan kristen sebagai sumber dosa dengan begitu perlu
ditinggalkan. Menjadi kristen atau beragama berarti juga meninggalkan budaya yang tidak
bersifat kristen. Nilai-nilai agama dipandang sebagai sesuatu yang sakral dan yang perlu
dijaga dan dipertahankan sedangkan kebudayaan yang dekat dengan sekularisme, seksualitas,
komersialisme adalah sumber kemaksiatan dan dosa. Pandangan terhadap dunia seperti ini
akan menempatkan posisi orang beragama selalu sedang berada dalam bahaya dan godaangodaan yang bisa mengancam kesetiaannya kepada Tuhan6.
Sedangkan berdasarkan Mat 5:17-19 atau Rm 13: 1,6 ditunjukan bahwa Yesus tidak
mengajarkan pemisahan diri dengan dunia. Orang-orang kristen masih tinggal di dalam dunia
karena itu masih membutuhkan dan hidup di dalam perkembangan kebudayaan. Kesadaran
bahwa Allah adalah yang menciptakan masyarakat, kecerdasan, dan kebebasan berarti
manusia juga memiliki tanggungjawab untuk memenuhi sifat-sifat alaminya karena memang
begitulah manusia diciptakan bukan semata-mata karena terdesak keinginan 7. Kebudayaan
yang terus berkembang juga adalah hasil karya Allah yang terus menerus, karena itu
kebudayaan yang berubah tidak bisa hanya dipandang sebagai kuasa jahat yang mengancam
kebudayaan yang lama apalagi tradisi kekristenan. Kristus tidak menentang budaya, tetapi
menggunakannya sebagai alat untuk menganugerahkan pada manusia apa yang mereka tidak
bisa capai dengan usahanya sendiri8. Kebudayaan dipandang memiliki unsur-unsur yang
positif dan dapat menuntun kepada Kristus, dan dikaitkan dengan teologi dari sakramental

Katholik
yang
menekankan potensi
budaya manusia
untuk menjadi
perantara
kebenaran dan kasih karunia, namun tetap yang akhirnya kebenaran dan rahmat adalah
hadiah dari Tuhan bukan dari pencapaian manusia9.
~Beberapa Pendekatan Dialogis Teologi-Budaya
Oleh karena kebudayaan ternyata bersifat ambivalen, maka teologipun harus bisa merespon
dengan memperhitungkan kebudayaan secara utuh baik dari sisi positif maupun negatifnya.
Dari gagasan teologi yang ditawarkan oleh Lynch, definisi teologi menekankan sisi normatif,
sifat kontekstual dan melibatkan proses refleksi dinamis. Bagaimana teologi dapat
berhubungan dengan budaya populer dapat kita lihat dengan disiplin teologi yang bersifat
kontekstual dan melihat kebudayaan itu sebagai konteks.
5Niebuhr, H.R. Christ and Culture. New York: Harper and Row. (1956) p. 48-49
6Niebuhr, H.R. Christ and Culture. p. 53
7Niebuhr, H.R. Christ and Culture. p. 122
8Niebuhr, H.R. Christ and Culture.p. 127
9Lynch, Gordon, Understanding Theology and Popular Culture. Malden: Blackwell (2005) p. 100


The relationship between theology and popular culture can be clarified further if we think of
popular culture as a particular context within which theological reflectiontakes place. This kind of
theological activity can therefore be understood as the process of seeking normative answers to
questions of truth/meaning, goodness/practice, evil, suffering, redemption and beauty in relation to
contemporary popular culture.10

Teologi sebagai proses refleksi yang dinamis, bisa melakukan interaksi dan berdialog dengan
konteks budaya populer yang ada sekarang. Ada empat macam pendekatan dialogis yang bisa
dipakai dalam menanggapi perbedaan kebudayaan kristen ketika berhadapan dengan konteks
populer lady gaga:
1. Pendekatan Aplikasionis
Dalam pendekatan ini Budaya Populer dinilai dan dikritik oleh kepercayaan dan nilai
teologis yang ada. Budaya Populer dievaluasi negatif atau positif dengan pandangan
agama tertentu. Pendekatan ini adalah pendekatan yang paling kurang dialogis budaya
populer dinilai secara sepihak karena hasil akhir kebenaran dan kebaikan hanya berasal
dari sumber kepercayaan dan nilai teologis 11. Pendekatan seperti ini terlihat pada
keresahan sekelompok masyarakat yang sama sekali tidak memperhitungkan perspektif
budaya. Dengan pendekatan ini Lady Gaga hanya menjadi semacam terdakwa dan
dihujani dengan berbagai tuduhan tanpa diberi kesempatan untuk menyuarakan

pembelaan. Keresahan masyarakat hanya hanya memberikan perlindungan pada diri
sendiri yang dianggap korban tanpa ada perlindungan terhadap Lady Gaga sebagai
terdakwa.
2. Pendekatan Korelasional
Pendekatan yang diusulkan oleh Tilich ini melihat tugas teologi adalah memberikan
tanggapan dari tradisi religius untuk masalah tertentu dan kesulitan kehidupan
kontemporer. Fokusnya melihat persoalan-persoalan yang muncul dari budaya dan
menjawabnya melalui tradisi religius. Berbeda dari pendekatan Aplikasionis yang hanya
mengevaluasi budaya, Tilich menempatkan budaya sebagai sebuah pertanyaan yang harus
dijawab oleh teologi. Keberadaan budaya menjadi penting dalam menentukan bagaimana
menafsirkan tradisi religius untuk menjawab persoalan 12. Pada pendekatan ini Lady Gaga
tidak sekedar dievaluasi tetapi menjadi persoalan dan mengarahkan penafsiran kepada
bagaimana teologi harus menjawabnya. Positifnya pendekatan ini lebih mengupayakan
solusi dan tidak sekedar merespon sesuai atau tidak, walaupun hanya memfungsikan
peran religius.
3. Pendekatan Korelasional yang Direvisi
Terkait dengan karya teolog David Tracy dan Don Browning, pendekatan ini lebih dari
sekedar melihat proses menghubungkan persoalan yang dimunculkan dalam budaya
untuk dijawab oleh teologi. Menghubungkan dialog yang lebih kompleks dengan
menghubungkan baik persoalan dan jawaban dari keduanya baik budaya maupun teologi.

Budaya populer juga diperlakukan serius sebagai sumber untuk memikirkan nilai dan
makna sebagimana juga teologi. Teologi dilihat sebagai jalan dua arah dimana agama dan
kebudayaan dapat saling belajar13. Dengan pendekatan ini juga menempatkan proporsi
yang seimbang kebudayaan populer yang diwakilkan oleh Lady Gaga. Kebudayaan tidak
10Lynch, Gordon, Understanding Theology and Popular Culture. p. 97
11Lynch, Gordon, Understanding Theology and Popular Culture. p. 101-102
12Lynch, Gordon, Understanding Theology and Popular Culture. p. 102
13Lynch, Gordon, Understanding Theology and Popular Culture. p. 103-104

sekedar memberikan persoalan namun juga dapat memberikan solusi, demikian juga
teologi tidak lagi dipandang dapat memberikan jawaban namun juga mengandung
persoalan. Dengan posisi yang sama ini teologi dan tradisi kekristenan perlu mempelajari
apakah kelebihan dan kekurangan budayanya sendiri dan budaya populer dengan begitu
keduanya bisa ditempatkan saling melengkapi, mengkritisi, dan mengkoreksi.
4. Pendekatan Praxis
Pendekatan ini sama seperti pendekatan Korelasional yang Direvisi, pendekatan ini juga
mengevaluasi aspek teologi dan juga budaya populer namun dinilai berbasiskan
kapasistas budaya dan teologi mempromosikan praktek kehidupan yang membebaskan
dan mengupayakan kebaikan. Budaya populer dan teologi dievaluasi berdasarkan
“orthopraxy”. Teologi dan budaya diperlakukan dengan sejajar, namun masih terbuka

terhadap kritik tentang jenis praktik kehidupan yang mungkin muncul dari budaya dan
tradisi religius14. Lebih maju lagi dari pendekatan sebelumnya penempatan teologi dan
budaya populer sebagai dialektika yang saling mengkoreksi didasari dengan kritik
terhadap bagaimana keduanya dapat mengupayakan kehidupan yang bebas dan adil.
~Respon Etis-Teologis terhadap Lady Gaga
Dalam merespon Lady Gaga dan kebudayaan populer yang ada yang harus kita lakukan
adalah menerima kenyatan. Realita bahwa kebudayaan dunia sudah mangalami perubahan
terutama karena adanya pengaruh globalisasi harus kita terima. Tradisi dan teologi
kekristenan yang memungkiri kenyataan itu tidak akan bisa berkembang. Kenyataanya
budaya populer sudah menjadi bagian dari realitas masyarakat di Indonesia, memerangi
kebudayaan populer dan arus globalisasi hanya akan menghabiskan tenaga secara percuma,
selain itu juga merugikan dari aspek lain seperti ekonomi. Yang harus dihadapi sekarang
adalah bagaimana bersikap kreatif dalam merespon dan berusaha berdialog dengan budaya
yang terus bergerak.
Dengan mengupayakan berdialog dengan budaya populer, kita mengusahakan respon yang
tidak memungkiri eksistensi kita di dunia dan juga panggilan kita untuk hidup suci. Respon
yang menerima kenyataan dunia tidak cukup hanya sekedar menerima namun tidak
melakukan interaksi. Berdiri terpisah dengan dalih agar tidak terjadi konflik juga merupakan
sikap yang kurang etis,realitaadanya pertentangan antara tradisi kekristenan kita dengan
budaya populer juga harus ditanggapi. Respon yang kita berikan juga tidak bisa sesederhana

mengizinkan Lady Gaga datang atau tidak datang, itu jelas tidak menyelesaikan masalah.
Menolak fenomena seperti ini hanya menunjukan sikap phobia terhadap kebudayaan populer
dan pada akhirnya melecehkan budaya sendiri, seolah-olah budaya rakyat itu kaku tidak bisa
berkembang dengan memberikan respon terhadap pengaruh budaya populer untuk
pertumbuhan budaya masyarakat Indonesia.
Dengan upaya dialog sikap kritis terhadap budaya populer harus juga diseimbangkan dengan
sikap kritis terhadap tradisi kristen dan masyarakat. Dalam dialog tidak bisa hanya memihak
satu konteks budaya dan mengabaikan yang lain. Sikap kritis MUI pada budaya populer
sudah baik, sikap curiga untuk menghindari dan mencegah sikap amoral dan pengaruh negatif
dari kebudayaan populer memang kita perlukan, tradisi religius dan budaya populer memang
memiliki perbedaan, karena itu perlu melibatkan proses berpikir secara kritis apakah aspek
budaya populer memiliki kebenaran Allah atau tidak, tetapi tanpa harus menarik diri dari
berbagai bentuk budaya populer15. Budaya populer memang harus kita kritisi karena dalam
14Lynch, Gordon, Understanding Theology and Popular Culture. p. 104-105
15Lynch, Gordon, Understanding Theology and Popular Culture. p. 34

praktiknya juga memiliki potensi untuk mempraktikan kebebasan tanpa batas dan akan
menjadi bentuk penindasan baru. Sehingga dengan perjumpaannya dengan kebebasan,
budaya populer perlu juga di arahkan kepada kondisi yang saling membebaskan, bukan saja
kebebasan pribadi. Ketaatan terhadap sumber-sumber nilai (kemanusiaan, keadilan,
kebebasan dan ketuhanan) masih dihargai sebagai potensi yang ada pada eksistensi manusia,
yang mana sangat penting mendapat kebebasan untuk dimaksimalkan.
Dalam upaya Dialog kita memberi kesempatan tradisi religius kita untuk belajar dan
berdialog dengan budaya populer jika tidak maka tradisi religius bisa terancam ketinggalan
jaman, dan hanya bisa bertahan jika berdiri secara terpisah. Kita perlu tebuka terhadap
fungsi-fungsi religius yang ada dalam budaya populer. Lady Gaga dengan aksi panggungnya
yang unik dapat memikat jutaan penggemarnya, rencana konsernya pun ditunggu-tunggu oleh
penggemarnya yang ada di seluruh dunia. Pertunjukan penyanyi ini terbukti tidak main-main,
dengan banyaknya penggemar dan penghargaan-penghargaan yang dia terima. Komunitas
penggemar yang muncul merupakan suatu bentuk sosial yang sangat ditawarkan oleh tradisi
religius dan teologi. Membangun persekutuan sebagai komunitas dalam gereja sewajarnya
memiliki hambatan-hambatan sosial, namun dalam budaya populer hambatan-hambatan itu
dengan mudah diatasi dan komunitas bisa dengan cepat terbentuk. Fungsi religius-sosial yang
ada dalam budaya populer seharusnya bisa melengkapi gereja. Budaya populer dapat
membentuk cara alternatif dalam menarik nilai-nilai dan keyakinan masyarakat tertentu dari
hubungan sosial dan mengalami pengalaman sebagai komunitas16. Satu orang Lady Gaga bisa
membentuk suatu komunitas penggemar secara singkat, semua orang berkumpul sama-sama
untuk mengagumi idolanya dan mereka semua, sebagai komunitas penggemar akan berada
dalam posisi yang setara, dan bisa juga menjadi satu peringatan penting soal kesetaraan yang
esensial.
Tom Beaudoin berpendapat bahwa budaya populer memiliki peran yang sehat sebagai alat
untuk membentuk dan mengekspresikan pencarian religius 17. Lady Gaga membawa bentuk
ekspresi yang segar, menghibur, tidak membosankan, kreatif, dan produktif. Unsur-unsur
musik yang segar, koreografi, dandanan yang kreatif dan ekpresif. Berbagai macam unsur
dari performa Lady Gaga yang menghibur dan menarik penggemarnya tentu bisa dipelajari
dan dijadikan juga sebagai sarana mengekspresikan iman. Tentu tidak sekedar meniru apa
yang Lady Gaga lakukan, Gereja harus tetap menjadi Gereja dan bukan menjadi Lady Gaga.
Perbedaan yang ada harus dilihat sebagai tantangan untuk mengembangkan ekspresi teologi
yang sesuai zaman. Unsur-unsur positif tadi kita pelajari dan kita dialogkan dengan iman
sehingga bisa membentuk ibadah, dan ekspresi iman teologis yang segar, kreatif, dan
produktif.
Budaya populer bisa berfungsi terhadap eksistensi manusia, budaya populer menyediakan
pula nilai-nilai bagi sebagian orang18. Melalui lirik lagu dan videoklipnya Lady Gaga
menyampaikan nilai kebebasan dan sekularisme. Nilai-nilai ini yang dipermasalahkan oleh
MUI karena menjadi berbenturan dengan doktrin-doktrin agama. Namun sesungguhnya
merepresi nilai-nilai tersebut tidak akan menghasilkan kehidupan yang lebih baik. Nilai-nilai
tersebut ketika masuk bisa menjadi kerangka dalam memahami bagaimana menjalani
kehidupan. Kebebasan bisa menjadi kritik segar pada praktek religius yang legalisme yang
melanggengkan mentalitas budak, tidak bertanggung jawab secara pribadi. Belajar dari dialog
antara perlunya kebebasan dan ketaatan dalam dogma dapat menghasilkan praktik religius
16Lynch, Gordon, Understanding Theology and Popular Culture. p. 31
17Lynch, Gordon, Understanding Theology and Popular Culture. p. 35
18Lynch, Gordon, Understanding Theology and Popular Culture. p. 31

yang tidak lagi berdasarkan pada aspirasi dan doktrin tetapi dari inspirasi iman dan refleksi
teologis yang kontekstual.
Selain itu, Lady gaga yang mempertunjukan kebebasan berekspresi juga memuat visi
masyarakat yang setara. Dengan kebebasan berekspresi tidak ada yang merasa paling penting
dan suci sehingga bisa mendosa-dosakan ekspresi orang lain. Perbedaan pemaknaan dan
ekspresi pengalaman diberi tempat, termasuk pemaknaan tentang mana yang sakral dan mana
yang tidak, serta pengalaman-pengalaman otentik yang vulgar seperti seksualitas,
kekerasan,gaya hidup materialisme. Dalam budaya populer semua entitas diberi ruang yang
setara dan hanya ditentukan oleh pasar/masyarakat. Tidak ada ruang untuk melegitimasi dan
memonopoli kebenaran, ini menunjukan kesadaran akan kepelbagaian sebagai konteks
masyarakat. Dalam kesadaran akan kesetaraan dan kepelbagaian, praktik kehidupan yang
dianggap negatif dan amoral tidak direndahkan dengan menempatkan nilai moral kekristenan
lebih tinggi. Semua macam pengalaman, ekspresi, dan praktik hidup tidak sekedar kita nilai
dari satu sisi tetapi juga kita dengarkan. Dengan mendengarkan suara lain lebih mengarahkan
kita kepada tindakan yang sesuai konteks dan mencegah kita untuk cepat menghakimi,
menghilangkan sikap mendosa-dosakan, mengutuki, mendiskriminasi yang menambah
penderitaan dan tidak menyelesaikan masalah.
Lady Gaga sebagai ikon kebudayaan populer rupanya tidak hanya bisa kita kritik namun juga
bisa mengkritik tradisi religius dan menjadi sarana untuk saling berkembang. Kerena respon
kita selayaknya memfasilitasi nilai budaya populer dan teologi untuk bisa berkembang
bersama. Sebagai manusia baru kita tidak boleh begitu saja mengikuti arus dunia namun juga
harus tetap hidup di dalam dunia dan menyesuaikan diri dengan berbagai perkembangannya.

-Kepustakaan
Lynch, Gordon, 2005, Understanding Theology and Popular Culture. Malden: Blackwell
Niebuhr, H. Richard, 1975 [1951], Christ and Culture. New York: Harper & Row
Pustaka tambahan

http://www.merdeka.com/peristiwa/4-alasan-mui-tolak-konser-lady-gaga.html
http://entertainment.kompas.com/read/2012/05/17/14522576/Menteri.Agama.Lady.Gaga.Seperti.Pemuja.Set
an
http://www.eramuslim.com/berita/nasional/ketua-lembaga-seni-dan-budaya-nu-sebut-penolak-konser-ladygaga-sok-moralis.htm

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111

Pengaruh Kerjasama Pertanahan dan keamanan Amerika Serikat-Indonesia Melalui Indonesia-U.S. Security Dialogue (IUSSD) Terhadap Peningkatan Kapabilitas Tentara Nasional Indonesia (TNI)

2 68 157

Sistem Informasi Pendaftaran Mahasiswa Baru Program Beasiswa Unggulan Berbasis Web Pada Universitas Komputer Indonesia

7 101 1