Saksi Ahli Harus Penuhi Empat Syarat

Saksi Ahli Harus Penuhi Empat Syarat
Kasus Bioremediasi Chevron
Kamis, 18/04/2013
Jakarta - Pakar hukum menilai saksi ahli dalam kasus tindak pidana korupsi pada proyek
bioremediasi di PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) harus memenuhi empat syarat, yaitu
kapasitas intelektual, obyektivitas, corak kesaksian, dan kekuatan kesaksian.
“Jika ahli berpendapat di luar itu, maka keterangannya harus diabaikan atau tidak
dipertimbangkan. Majelis Hakim harus mengabaikan keterangan saksi ahli yang tidak
obyektif,” ujar Guru Besar Hukum Pidana di Universitas Gadjah Mada (UGM) Edward Omar
Syarif Hiariej, yang menjadi saksi ahli dalam persidangan perkara dugaan tindak pidana
korupsi pada proyek bioremediasi di PT CPI untuk terdakwa Ricksy Prematuri dan Herlan
bin Ompo.
Corporate Communication Manager Chevron, Dony Indrawan saat dikonfirmasi Rabu (17/4),
membenarkan adanya keterangan saksi ahli Edward di persidangan kasus bioremediasi.
Menurutnya, Edward prihatin karena saksi ahli jaksa penuntut umum dalam sidang kasus
bioremediasi, dinilai kurang obyektif dan ada muatan konflik kepentingan.
Menurut Edward, obyektivitas yang dimaksud adalah ahli hanya boleh berpendapat mengenai
hal-hal umum dan tidak boleh terkait dengan perkara yang sedang disidangkan. “Ada asas
nemo judex idoneus improperia causa yang maksudnya, kalau ahli mempunyai kepentingan,
maka tidak boleh ikut serta dalam perkara,” kata Edward dalam persidangan di Jakarta pekan
lalu.

Ricksy didakwa korupsi terkait proyek bioremediasi PT CPI di sejumlah lokasi di Riau. Dia
adalah Direktur PT Green Planet Indonesia yang menjadi rekanan Chevron dalam proyek
bioremediasi itu. Kejaksaan Agung menilai proyek biormediasi itu hanya akal-akalan saja,
sehingga negara dirugikan hingga US$ 6 juta lebih.
Proyek bioremediasi ini berlangsung sejak 2003 sampai 2011 dan sudah dibayar negara
melalui BP Migas. Kejaksaan Agung menyangka proyek tersebut fiktif karena masih
ditemukan zat limbah di atas tanah yang dinormalisasi itu.
Semula, Kejagung menaksir kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp 200 miliar.
Namun, Direktur Penyidikan Kejagung Adi Toegarisman menyebut kerugian negara dalam
kasus ini sekitar Rp 100 miliar versi hasil audit BPKP. “Karena cost recovery-nya dibayarkan
pemerintah, maka itu uang negara. Itu kerugian negara,” tegas Adi beberapa waktu lalu.

Jaksa penuntun umum telah menghadirkan saksi ahli Edison Effendi, pakar bioremediasi
yang pernah kalah dalam tender proyek bioremediasi di PT CPI. Selain dijadikan saksi ahli,
Edison juga dimintai keterangan oleh Kejaksaan Agung pada tahap penyelidikan dan
penyidikan untuk menyusun perkara tersebut. Kesaksian Edison ditentang oleh kedua tim
penasihat hukum para terdakwa karena dinilai tidak obyektif.
Menurut Edward, penghitungan kerugian negara dapat dijadikan alat bukti apabila dilakukan
sesuai dengan undang-undang. Ia menyebutkan, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
menentukan bahwa yang berhak menghitung kerugian negara adalah Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK). Saat ditanya oleh tim penasihat hukum apakah BPKP berwenang untuk
menghitung kerugian negara, Edward menjawab, “Ketentuan tersebut bersifat limitatif.”
Dia juga mengatakan bahwa barang bukti dan alat bukti harus diperoleh secara sah, telah
dilakukan pemeriksaan, dan tidak bertentangan dengan undang-undang. “Pengumpulan
barang bukti dan alat bukti harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Kalau tidak,
maka tidak sah. Konsekuensinya adalah barang bukti atau alat bukti tersebut tidak bisa
dipertimbangkan oleh Majelis Hakim,” katanya.
Corporate Communication Manager Chevron, Dony Indrawan, menjelaskan bahwa sejak
semula CPI prihatin terhadap potensi konflik kepentingan yang dimiliki Edison Effendi
sebagai saksi ahli bioremediasi. “Dia pernah gagal dalam menjalankan program bioremediasi
di perusahaan kami,” tegasnya.
Selain itu, Edison pernah mewakili PT Putra Riau Kemari yang gagal dalam tender proyek
bioremediasi tidak lama sebelum Kejagung mengumumkan melakukan penyelidikan atas
proyek bioremediasi ini. Dalam tender ini, tutur Dony, terdapat 14 perusahaan berkompetisi
untuk memenangkan tender ini. “PT Putra Riau Kemari tidak dapat memenuhi persyaratan
tender tersebut,” katanya.
Menurut Dony jauh sebelumnya, Edison Effendi pernah juga mewakili PT Adimitra, untuk
berpartisipasi dalam proyek pilot bioremediasi di CPI pada 2004. Namun, proyek yang
dilakukan PT Adimitra ini tidak dilanjutkan karena biaya yang tinggi dan jangka waktu siklus
bioremediasi yang panjang.