Implikasi Penataan Ruang terhadap Alih F

IMPLIKASI PENGATURAN PENATAAN RUANG TERHADAP ALIH FUNGSI
LAHAN DI PROVINSI JAWA BARAT DALAM PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN1

SPATIAL PLANNING REGULATION IMPLICATION ON LAND USE IN WEST JAVA
PROVENCE BASED ON SUSTAINABLE DEVELOPMENT.

Nadia Astriani, Maret Priyanta, Amiruddin A. Dajaan Imami2

ABSTRAK

Pertumbuhan penduduk di Jawa Barat ternyata telah memicu perubahan tata guna lahan
dikarenakan adanya peningkatan kebutuhan akan pangan, sandang dan papan. Hampir semua
lahan yang cocok untuk pertanian di Jawa Barat sudah diolah secara intensif. Hutan yang
terbatas di dataran tinggi telah diperuntukkan bagi areal perlindungan daerah tangkapan air
meskipun juga telah banyak berubah menjadi wilayah pertanian dan permukiman. Di wilayah
pantai, sebagai akibat tekanan penduduk, hutan bakau yang demikian luas sudah terpakai habis
atau diubah untuk kepentingan-kepentingan lain, berubah menjadi persawahan, pertambakan
ikan dan udang. Masalah aktual yang terjadi di dataran tinggi di Jawa Barat sekarang adalah
perambahan hutan, termasuk ke dalam hutan lindung, perubahan besar atau konversi lahan sawah
beririgasi untuk permukiman dan industri, yang sebagian besar terkonsentrasi di dan sekitar

perkotaan telah menimbulkan berbagai masalah terhadap lingkungan perkotaan.
Kebijakan penataan ruang wilayah Jawa Barat tidak terlepas dari kebijakan visi dan misi
Jawa Barat dalam kerangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat Jawa Barat. Untuk itu
penataan ruang ke depan harus mampu secara optimal mensinergikan faktor ekonomi, faktor
ekologis, faktor alokasi ruang secara proporsional, faktor pendekatan keterpaduan, dan faktor
dinamika pendapatan penduduk. Asas penataan ruang adalah pemanfaatan ruang bagi semua
kepentingan secara terpadu berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang dan
berkelanjutan. Asas lainnya adalah keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum.

1
2

Sumber dana DIPA BLU UNPAD
Dosen pada Fakultas Hukum UNPAD

Proses pembangunan berkelanjutan bertumpu pada kondisi sumberdaya alam, kualitas
lingkungan dan faktor kependudukan.
Metode Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan bersifat deskriptif
analitis. Penelitian yuridis normatif merupakan penelitian untuk menemukan Hukum In
Concreto, merupakan usaha untuk menemukan apakah hukum yang sesuai untuk diterapkan in

cocreto dalam pelaksanaannya.
Hasil penelitian di beberapa kota di Jawa Barat menunjukkan bahwa walaupun aturan
dalam UUPR bisa mencegah terjadinya alih fungsi lahan di luar perencanaan, tetapi praktek di
lapangan sangat tergantung pada kondisi dan permasalahan daerah tersebut serta aturan-aturan
yang ada. Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah daerah perlu membuat peraturan daerah yang
berkaitan dengan alih fungsi lahan. Selain itu pelibatan masyarakat merupakan strategi yang
sangat penting dalam pengendalian alih fungsi lahan, karena perubahan fungsi lahan paling
banyak terjadi pada lahan yang dikuasai perorangan.

Kata Kunci : Alih Fungsi Lahan, Penataan Ruang, Pembangunan Berkelanjutan.

ABSTRACT

Population growth in West Java turned out to have triggered a change in land use due to
the increased need for food, clothing and shelter. Almost all the land suitable for agriculture in
West Java has been intensively cultivated. Limited forest in the highlands has been earmarked
for the protection of water catchment areas though also has a lot turned into agricultural areas
and settlements. In coastal areas, as a result of population pressure, such extensive mangrove
forests are used up or converted to other interests, turned into rice fields, fish and shrimp
aquaculture. Actual problems that occurred in the highlands of West Java is now the

encroachment of forests, including in protected forests, a major change or conversion of
irrigated rice land for settlement and industry, largely concentrated in and around urban areas
has given rise to various problems of the urban environment.
Spatial planning policy in West Java is inseparable from the policy vision and mission of
West Java in terms of improving the welfare of the people of West Java. For this arrangement to
the next room should be able to optimally synergize economic factors, ecological factors, the

factor space allocation proportionately, integration approach factor, and factor income
population dynamics. The principle of spatial planning is the utilization of space for all interests
in an integrated efficient and effective, harmonious, balanced and sustainable. Another principle
is openness, equality, justice and legal protection. The process of sustainable development rests
on the condition of natural resources, environmental quality and population factors.
Methods used in this study is normative juridicaland the approach is descriptive and
analytical. Juridical normative research is research to find Concreto In Law, an attempt to
discover whether the appropriate law to be applied in cocreto in its implementation.
The results of studies in several cities in West Java showed that although the rule in
UUPR can prevent the occurrence of land use planning outside, but the practice in the field is
highly dependent on the conditions and problems of the area and the existing rules.To overcome
these local governments need to make local regulations related to land use. In addition a
community engagement strategy is very important in the control of land use, because most landuse changes occur on lands controlled by individuals.


Keywords: Land Use, Spatial Planning, Sustainable Development.

PENDAHULUAN
Upaya pelestarian dan pemanfaatan sumber daya alam air, udara, tanah dan kebutuhan
dasar bagi kehidupan (sandang, pangan, papan dan obat-obatan) secara berkelanjutan mutlak
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan menjaga kelangsungan hidup manusia,
makhluk hidup serta kualitas lingkungannya.
Keberhasilan pelestarian dan pengelolaan sumberdaya alam akan menjadi kunci
terpenuhinya harkat hidup seluruh masyarakat. Pelestarian kualitas lingkungan alam akan sangat
ditentukan oleh terselenggaranya kualitas tata ruang antara lain termasuk pelestarian kualitas tata
air, tata udara serta keberlanjutan keanekaragaman hayati di suatu ruang wilayah bagi
ketersediaan kebutuhan dasar secara berlanjut serta kegiatan pembangunan di lingkungan sosial
dan lingkungan buatan.
Beberapa pertimbangan yang diperlukan dalam penataan ruang, antara lain3:

3

Sugandhy.A. Peran Penataan Ruang bagi Keterpaduan P embangunan Berkelanjutan di era Otonomi dan
Globalisasi. Hal.107.


1. Pelestarian kawasan fungsi lindung dalam rangka tata udara, tata air, dan konservasi
flora dan fauna.
2. Pelestarian hutan tropis atau keberadaan tegakan pohon dalam rangka kestabilan
iklim, tata udara dan tata air negara kepulauan.
3. Pelestarian hutan bakau, terumbu karang dalam rangka keseimbangan ekosistem
pesisir lautan dan daratan serta keberlanjutan keanekaragaman hayati pesisir dan
lautan.
4. Pelestarian swasembada pangan terutama bagi lahan-lahan pertanian beririgasi teknis.
5. Peningkatan nilai tambah bagi sumber kehidupan ekonomi dalam rangka
keberlanjutan pemenuhan kebutuhan dasar, peningkatan taraf hidup dan kesempatan
kerja di suatu wilayah.
6. Penataan ruang kawasan pertahanan keamanan sebagai bagian integral termasuk
kawasan-kawasan perbatasan.
7. Struktur pengembangan kawasan pedesaan dan perkotaan yang saling terkait dan
menguntungkan bagi keberlanjutan kehidupan.
8. Perwilayahan pembangunan yang mengatur hubungan internal dan eksternal antara
pusat pembangunan yang lebih tinggi dan rendah tingkatannya dan menjadi hubungan
fungsional secara hierarkis.
9. Sarana dan prasarana wilayah untuk mendukung fungsi-fungsi kawasan dan

terbangunnya kawasan secara terpadu.

Jawa Barat sebagai Provinsi yang letaknya strategis berdekatan dengan ibu kota negara
selain memiliki potensi sumberdaya alam dan perekonomian yang cukup besar akan tetapi juga
mengalami permasalahan lingkungan yang cukup berat. Walaupun Jawa Barat memiliki lahan
yang subur, namun alamnya sangat sensitif. Berdasar kemiringan lereng topografi, sifat tanah
yang menutupi bentang alam, dan curah hujannya, Jawa Barat ini memerlukan kawasan lindung
seluas 45% dari luas total wilayahnya. Bila kawasan lindung 45% dapat terpenuhi, maka
diharapkan kawasan budidaya seluas 55% akan lebih produktif dan kompetitif. Pertumbuhan
penduduk di Jawa Barat ternyata telah memicu perubahan tata guna lahan dikarenakan adanya
peningkatan kebutuhan akan pangan, sandang dan papan.

Alokasi ruang dalam kegiatan penataan ruang tidak hanya menata berbagai kegiatan
pembangunan secara spasial yang dikaitkan dengan kesesuaian lahan saja, tapi juga
memperhitungkan dan mempertimbangkan dampak yang terjadi akibat pembangunan terhadap
lingkungan agar dampak negatif dapat dihindari dalam rangka tercapainya tujuan pembangunan
yang berkelanjutan. Internalisasi aspek lingkungan ke dalam penataan ruang diharapkan dapat
menjadi acuan terwujudnya esensi dasar pembangunan berkelanjutan.
Peran pengendalian pemanfaatan ruang sesungguhnya menjadi amat penting dan menjadi
ujung tombak dalam upaya penataan ruang ke depan. Tugas penataan ruang bersifat strategis dan

kegiatannya melibatkan berbagai stakeholder sehingga penanganannya di daerah perlu dilakukan
secara koordinatif dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan pemerintah dan masyarakat.
Berdasarkan gambaran tersebut permasalahan dalam penelitian ini dapat diidentifikasikan
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah Implikasi Pengaturan Penataan Ruang terhadap alih fungsi lahan di
provinsi Jawa Barat?
2. Bagaimanakah alih fungsi lahan dikaitkan dengan pembangunan berkelanjutan di
provinsi Jawa Barat?

PENATAAN RUANG DAN ALIH FUNGSI LAHAN

Dalam upaya mencapai tujuan nasional, dilakukanlah kegiatan pembangunan nasional
sebagai rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek
kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.4 Kegiatan tersebut memungkinkan terjadinya
pemanfaatan lingkungan secara berlebihan sehingga mengakibatkan pencemaran dan perusakan
lingkungan secara global. Untuk mengurangi dampak negative yang mungkin terjadi maka
diperlukan perencanaan pembangunan yang baik.
Substansi perencanaan bermula dari dualisme antara pengetahuan (sains) dengan
tindakan (desain). Batty cenderung menyimpulkan bahwa sains dan desain sebagai ProblemSolving process yang kemudian diterapkan di dalam perencanaan sebagai proses teknik. Produk


perencanaan formal berdasarkan UU no. 24 tahun 1992 dalam bentuk RUTRW yang dirinci lebih
detail lagi dalam bentuk RDTR dan RRTR.

4

Lihat Ketentuan Umum, Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional Tahun 2005-2025.

Penataan Ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Penataan ruang wilayah/kawasan pada era otonomi daerah
memiliki konsep dan karakteristik sebagai berikut :
1. Lebih menitikberatkan kepada pendekatan bottom-up
2. Melibatkan semua pelaku pembangunan (stakeholder )
3. Transparan dalam perencanaan, implementasi dan pengendalian
4. Memberi perhatian besar pada tuntutan jangka pendek
5. Realistis terhadap tuntutan dunia usaha dan masyarakat
6. Berwawasan luas, dengan perhatian terhadap kawasan yang lebih detail
7. Rencana dapat dijadikan pedoman investasi
8. Menjaga dan meningkatkan mutu lingkungan sambil mendorong dan memfasilitasi
pembangunan

9. Mempunyai visi pembangunan dan manajemen pembangunan (applicable)
Dalam kerangka Hukum Lingkungan Nasional permasalahan penataan ruang dilaksanakan
berdasarkan asas-asas/ prinsip-prinsip yang sejalan dengan asas yang disepakati dalam berbagai
konferensi internasional di bidang lingkungan hidup antara lain : 5
a. Asas tanggung jawab negara menyatakan bahwa negara menjamin hak warga negara atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat dan negara mencegah dilakukannya kegiatan
pemanfaatan sumber daya alam yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup;
b. Asas kelestarian dan keberlanjutan adalah bahwa setiap orang memikul kewajiban dan
tanggung jawab terhadap generasi mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu
generasi dengan melakukan upaya pelestarian daya dukung ekosistem dan memperbaiki
kualitas lingkungan hidup;
c. Asas kehati-hatian adalah bahwa ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau
kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan
merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari
ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
5

Lihat Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.


d. Asas partisipatif adalah bahwa setiap anggota masyarakat didorong untuk berperan aktif
dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, baik secara langsung maupun tidak langsung. Asas ini mengedepankan
peran serta masyarakat dalam pertimbangan terhadap Lingkungan hidup;
e. Asas tata kelola pemerintahan yang baik adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup dijiwai oleh prinsip partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan
keadilan; dan
f. Asas otonomi daerah adalah bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam
bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN

Maksud pembangunan berkelanjutan adalah untuk memastikan bahwa dengan upaya
pembangunan, kesejahteraan generasi mendatang paling tidak akan mempunya potensi dan
peluang ekonomi dan stok capital baik sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber
daya buatan sama dengan peluang yang diperoleh generasi sekarang.
Tantangan utama dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di Indonesia adalah
belum sepenuhnya tercipta tata pemerintahan bersih, transparan, dapat dipertanggungjawabkan

(accountable), representative dan demokratis.
Ciri/kriteria perencanaan pembangunan berkelanjutan berlandaskan kepada6:
1. Perencanaan yang berorientasi pada kepentingan jangka panjang.
2. Etika perencanaan pembangunan yang memikirkan pemenuhan kebutuhan generasi
mendatang.
3. Pembatasan pendayagunaan sumberdaya yang tidak efisien, dan perubahan pola
konsumsi.
4. Pemanfaatan alternatif sumberdaya energi yang dapat diperbaharui.
5. Pendistribusian kesempatan ekonomi secara merata.

6

195.

Ida Nurlinda, Prinsip-Prinsip Pembaruan Agraria “Perspektif Hukum”, Rajawali Press 2009,, hlm.193-

Perencanaan pembangunan berkelanjutan memerlukan pendekatan yang bersifat simultan
antara tiga dimensi pokok dari pembangunan berkelanjutan, yaitu:
1. Keberlanjutan lingkungan dapat terjadi jika dalam segala aktivitasnya, manusia menjaga
agar pemanfaatan sumberdaya alam masih di bawah daya dukung lingkungannya serta
limbah yang dihasilkan dari pemanfaatan sumberdaya alam tersebut juga masih di bawah
ambang batas.
2. Keberlanjutan pertumbuhan ekonomi dilakukan dengan mempertahankan kapital
(sumberdaya alam) atau menjaga agar kapital tidak mengalami kemerosotan ketika
kapital tersebut dimanfaatkan.
3. Keberlanjutan sistem social yang menekankan pada segi kualitas daripada aspek
pertumbuhan yang bersifat kuantitas. Keberlanjutan sistem sosial dapat dicapai apabila
partisipasi masyarakat cukup tinggi serta dijalankan secara sistematis.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini mendekati berbagai permasalahan yang berkenaan dengan Kebijaksanaan
Pemerintah di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan secara Yuridis Normatif.
Penelitian ini bersifat Deskriptif Analitis. Penelitian ini merupakan Library Research atau
penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan bertujuan untuk mengkaji, meneliti dan
menelusuri data sekunder yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan
hukum tersier.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Disahkannya Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebabkan
perlu diperbaharui Rencana Tata Ruang Nasional maupun Rencana Tata Ruang Wilayah, karena
terdapat beberapa perbedaan tahapan perencanaan yang harus dilakukan. Klasifikasi penataan
ruang berdasarkan pasal 4 UUPR diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan,
wilayah administratif, kegiatan kawasan dan nilai strategis kawasan. Hal ini menunjukkan bahwa
fungsi kawasan menjadi poin utama dalam merencanakan peruntukan lahan.
Selanjutnya dalam ayat (2) Pasal 5 UUPR, Penataan ruang berdasarkan fungsi utama
kawasan terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budi daya. Dalam pemanfaatan ruang pada
ruang yang berfungsi lindung menurut Pasal 33(4) Undang-Undang Penataan Ruang diberikan

prioritas pertama bagi Pemerintah dan pemerintah daerah untuk menerima pengalihan hak atas
tanah dari pemegang hak atas tanah jika yang bersangkutan akan melepaskan haknya.
Hasil penelitian di beberapa kota di Jawa Barat menunjukkan bahwa walaupun aturan
dalam UUPR bisa mencegah terjadinya alih fungsi lahan di luar perencanaan, tetapi praktek di
lapangan sangat tergantung pada kondisi dan permasalahan daerah tersebut serta aturan-aturan
yang ada.
Tanah (land) adalah sumber daya alam yang sangat penting bagi kehidupan manusia.
Indonesia adalah negara pertanian, sehingga tanah merupakan sumber daya utama bagi seluruh
penduduk. Prinsip pemilikan atau penguasaan tanah oleh rakyat di suatu negara, terdiri dari dua
prinsip yang berbeda :
1. Di suatu negara agraris, dimana sebagian besar rakyat adalah pertanian sehingga mereka
bergantung kepada tanah, untuk keadilan maka prinsipnya: tanah itu oleh negara
dibagikan kepada sebanyak mungkin penduduk (dengan hak milik, hak guna bangunan,
hak guna usaha), sehingga pemilikan/penguasaan tanah bagi tiap keluarga/pengusaha
adalah terbatas/kecil.
2. Di suatu negara industri, dimana nafkah sebagian besar penduduk adalah industri maka
hanya sedikit saja rakyat yang bertani atau yang bergantung kepada tanah, sehingga
untuk memudahkan pengelolaan, prinsipnya: tanah itu oleh negara dibagikan kepada
sebagian

kecil

dari

penduduk,

sehingga

pemilikan/penguasaan

tanah

per

keluarga/perusahaan dapat luas, ribuan atau puluhan ribu hektar bahkan ratusan ribu
hektar7.
Dalam Strategi Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan yang dirumuskan Agenda 21
Nasional, Pengelolaan sumberdaya tanah, yang terdiri dari 4 sub-agenda yaitu penatagunaan
sumberdaya tanah, pengelolaan hutan, pengembangan pertanian dan pedesaan serta pengelolaan
sumberdaya air. Pengaturan mengenai alih fungsi lahan masuk dalam sub agenda ini.
Berdasarkan hasil penelitian lapangan, alasan utama terjadinya alih fungsi lahan adalah
laju pertumbuhan ekonomi dan pertambahan jumlah penduduk. Peralihan fungsi lahan dapat
dilakukan oleh dua pihak yaitu pemerintah dan pemilik lahan. Alasan pemerintah melakukan alih
fungsi lahan adalah perubahan RTRW dan kebutuhan akan infrastruktur, sedangkan alasan alih
fungsi lahan yang dilakukan pemilik lahan adalah :
7

Johara T.Jayadinata, Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan Perkotaan dan Wilayah, hal.2

1. Melihat kondisi lahan yang tidak bisa diharapkan untuk berproduksi optimal
2. Harga tanah di sekitar lokasi meningkat pesat
3. Kebutuhan ekonomi yang tidak bisa dihindari
Alih fungsi lahan merubah fungsi lahan yang ada. Perubahan fungsi lahan merupakan
suatu keniscayaan, karena kebutuhan manusia akan lahan semakin lama semakin tinggi seiring
dengan tingginya pertumbuhan manusia di Indonesia. Pengendalian alih fungsi lahan diperlukan
agar generasi mendatang paling tidak mempunya potensi dan peluang ekonomi dan stok capital
baik sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan sama dengan peluang
yang diperoleh generasi sekarang sebagaimana maksud dari pembangunan berkelanjutan.
Strategi pengendalian ini harus memperhatikan alasan-alasan terjadinya alih fungsi lahan.
Strategi tersebut mencakup peraturan kebijakan dan pelibatan masyarakat. Dalam peraturan
kebijakan, strategi yang bisa dilakukan adalah :
1. Pengetatan Izin
2. Pewilayahan (zooning) kawasan
3. Penyempurnaan sistem dan aturan jual beli lahan
4. Penyempurnaan pola penguasaan lahan (land tenure system)
5. Pemberian Subsidi
6. Pengurangan Pajak
Sedangkan strategi pelibatan masyarakat dilakukan dengan melakukan penyamaan persepsi,
jalinan komitmen, keputusan kolektif, sinergi aktivitas penatagunaan tanah dengan pemerintah.

KESIMPULAN DAN SARAN
Klasifikasi penataan ruang berdasarkan pasal 4 UUPR dilakukan berdasarkan sistem,
fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan dan nilai strategis kawasan. Hal
ini menunjukkan bahwa fungsi kawasan menjadi poin utama dalam merencanakan peruntukan
lahan. Hasil penelitian di beberapa kota di Jawa Barat menunjukkan bahwa walaupun aturan
dalam UUPR bisa mencegah terjadinya alih fungsi lahan di luar perencanaan, tetapi praktek di
lapangan sangat tergantung pada kondisi dan permasalahan daerah tersebut serta aturan-aturan
yang ada. Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah daerah mengeluarkan peraturan daerah yang
berkaitan dengan alih fungsi lahan. Ada peraturan daerah yang secara spesifik mengatur
mengenai kawasan yang mengalami perubahan fungsi seperti di Kota Cirebon, peraturan daerah

lain memasukkan alih fungsi lahan dalam peraturan daerah mengenai RTRW seperti yang terjadi
di Kota Sukabumi. Daerah lain belum memiliki aturan khusus mengenai alih fungsi lahan seperti
yang terjadi di Kabupaten Bandung Barat.
Pengendalian alih fungsi lahan diperlukan agar generasi mendatang paling tidak
mempunya potensi dan peluang ekonomi dan stok capital baik sumber daya alam, sumber daya
manusia dan sumber daya buatan sama dengan peluang yang diperoleh generasi sekarang
sebagaimana maksud dari pembangunan berkelanjutan. Strategi pengendalian ini harus
memperhatikan alasan-alasan terjadinya alih fungsi lahan. Strategi tersebut mencakup peraturan
kebijakan dan pelibatan masyarakat.
Pemerintah daerah perlu membuat peraturan-peraturan mengenai alih fungsi lahan yang
dapat menjadi acuan bagi pelaksana di lapangan. Pemerintah juga harus konsisten dalam
melaksanakan RTRW yang telah direncanakan dan konsisten dalam menerapkan konsep
pembangunan berkelanjutan. Selain itu pelibatan masyarakat merupakan strategi yang sangat
penting dalam pengendalian alih fungsi lahan, karena perubahan fungsi lahan paling banyak
terjadi pada lahan yang dikuasai perorangan.

DAFTAR PUSTAKA
Ida Nurlinda, Prinsip-Prinsip Pembaruan Agraria “Perspektif Hukum”, Rajawali Press 2009.
Mitchell, Setiawan dan Dwita Hadi Rahmi., Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta, 2003.
Johara T.Jayadinata, Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan Perkotaan dan Wilayah,
penerbit ITB, 1986
Sumardja, Effendy A., Pembangunan Berkelanjutan : Tantangan dan Peluang. Jurnal
Lingkungan dan Pembangunan. 2004.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
Tahun 2005-2025.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.

Agenda 21 Indonesia : Strategi Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan. KLH. 1996.
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Cirebon 2009-2029
Rancangan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Sukabumi 2011-2031