Gambaran Lama Rawat Inap

PROPOSAL PENELITIAN
GAMBARAN LAMA RAWAT INAP PASIEN RAWAT INAP
BERDASARKAN USIA, JENIS KELAMIN, KELAS PERAWATAN DAN
DIAGNOSA PENYAKIT DI RUMAH SAKIT SUAKA INSAN
BANJARMASIN

DISUSUN OLEH :
VERONICA ARI HANDRIANI
113063A08047

PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SUAKA INSAN
BANJARMASIN
2012

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan manusia. Tanpa kondisi tubuh
yang sehat, manusia tidak bisa melakukan aktivitas secara optimal bahkan banyak
orang yang mengeluarkan biaya yang mahal untuk memperoleh kesehatan. Saat

sakit, muncul perilaku sakit yaitu mencari pelayanan kesehatan untuk memperoleh
penyembuhan atau pemecahan masalah kesehatannya(Notoadmojo,2010). Orang
yang sakit tentu saja menginginkan agar kondisinya segera sembuh. Bagi pasien
yang di rawat inap di rumah sakit pasti tidak ingin terlalu lama berada di rumah
sakit selain ingin segera sembuh tetapi juga ingin mengurangi pengeluaran biaya
untuk rumah sakit. Hal ini didukung dengan penelitian Setiawan H(2005) bahwa
ada hubungan yang signifikan antara lama rawat dengan biaya rumah sakit.
Semakin lama pasein berada di rumah sakit, maka semakin besar pula biaya yang
harus dikeluarkan pasien untuk pengobatan biaya inap rumah sakit.
Rumah sakit adalah bentuk organisasi pelayanan kesehatan yang bersifat
komprehensif, mencakup aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, serta
sebagai pusat rujukan kesehatan masyarakat. Hakikat dasar dari Rumah Sakit
adalah pemenuhan kebutuhan dan tuntutan pasien yang mengharapkan
penyelesaian masalah kesehatannya pada rumah sakit. Pasien memandang bahwa
hanya rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan medis sebagai upaya
penyembuhan dan pemulihan atas rasa sakit yang dideritanya. Pasien
mengharapkan pelayanan yang siap, cepat, tanggap dan nyaman terhadap keluhan
penyakit pasien. Dalam memenuhi kebutuhan pasien tersebut, pelayanan prima
menjadi utama dalam pelayanan di rumah sakit( Setiawan, 2011).


Kualitas pemberian layanan harus diberikan sebaik-baiknya sebagai upaya
meningkatkan derajat kesehatan individu untk mendapatkan kesehatan yang
optimal. Namun bila pelayanan kesehatan yang diberikan kurang baik, akan
berdampak buruk pada proses pemulihan pasien, seperti petugas kesehatan yang
kurang ramah, ceroboh(Asmadi, 2007). Kelalaian petugas dalam pemberian
layanan kesehatan akan membuat infeksi baru bagi pasien yang dikenal dengan
infeksi nosokomial, didukung lagi saat itu pasien dalam keadaan sakit dan
mengalami penurunan kekebalan.
Infeksi nosokomial diyakini terjadi sekitar 2 juta klien setiap tahun.
Tatanan layanan kesehatan yang banyak terjadi infeksi nosocomial adalah unit
perawatan intensif bedah atau penyakit dalam. Laporan dari National Nosocomial
Infection Surveiilance System bahwa saluran kemih, saluran napas, aliran darah
dan luka merupakan area yang paling sering terkena. Mikroorganisme penyebab
infeksi nosoKomial ini dapat berasal dari klien itu sendiri atau dari lingkungan
rumah sakit dan tenaga kesehatan rumah sakit. Hal ini tentunya akan
meningkatkan biaya yang harus dibayar oleh klien, memperlama perawatan di
rumah sakit, meningkatkan lama klien absen, menyebabkan ketunadayaan dan
ketidaknyamanan dan bahkan menyebabkan kematian(Kozier dkk, 2010).
Lama rawat adalah lamanya seseorang dirawat di rumah sakit sejak awal
masuk sampai keluar dari rumah sakit. Lama rawat (LOS) merupakan salah satu

indikator efisiensi pengelolaan rumah sakit selain BOR, BTO, dan TOI. Menurut
Johnson, cepat atau lambatnya lama rawat seseorang di rumah sakit tergantung
pada kelas perawatan dan jenis penyakit (Djohan, 2011). Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Syamsiatun dkk (2003) tentang “Hubungan Status Gizi Awal
dengan Lama Rawat dan Status Pulang Pasien di Rumah Sakit Jamil, Sardjito dan

Sanglah menurut karakteristik responden bahwa ada hubungan yang signifikan
antara usia, kelas perawatan dan jenis penyakit. Usia berhubungan erat dengan
kesehatan, karena pada usia dewasa tercapainya daya tuhan tubuh yang paling
baik dan jenis kelamin menunjukkan adanya penyakit yang hanya diderita oleh
pria atau wanita saja.(Azwar, 1999). Menurut Johnson bahwa lama rawat penyakit
akut lebih cepat dibandingkan penyakit kronis(Djohan, 2011).
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada tanggal 9
Februari 2012 pada hasil observasi data sekunder selama 5 tahun terakhir yaitu
tahun 2007-2011 didapatkan rata-rata lama rawat inap pasien umum adalah
4,5,4,5,5. Hal ini menunjukkkan bahwa lama rawat inap setiap orang berbedabeda dan dengan melihat catatan buku pulang pasien lama rawat ada yng
singkat(< 3 hari), sedang (4-7 hari), dan lama (>7 hari). Tercatat pula karakteristik
seperti usia, jenis kelamin, kelas perawatan, lama rawat, diagnosa penyakit dan
keadaan pulang pasien yang sebagian besar yaitu 75% pulang dalam keadaan
sembuh, tidak sembuh, atas permintaan sendiri, meninggal, perintah dokter, dan

tanpa keterangan, namun bagian rekam medis tidak melihat lama rawat pasien
dari segi karakteristik tersebut.
Dari masalah yang ditemukan, peneliti tertarik untuk mempelajari data
sekunder tersebut, mencoba mendeskripsikan dan ingin melihat perbedaan lama
rawat berdasarkan karakteristik tersebut yakni usia, jenis kelamin, kelas perawatan
dan diagnosa penyakit dengan lama rawat inap berdasarkan buku catatan pulang
pasien Rumah Sakit Suaka Insan Banjarmasin karena hal ini merupakan sesuatu
yang menarik untuk dipelajari, diketahui dan dikembangkan dan juga merupakan
indikator kepuasan yang dicapai suatu rumah sakit guna semakin meningkatkan
dan memberikan pelayanan yang dapat memuaskan bagi pengguna jasa.
B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan
masalah yaitu :
1. Bagaimana gambaran lama rawat inap pasien di Rumah Sakit Suaka Insan
Banjarmasin?
Dilihat dari :
a.) Usia
b.) Jenis Kelamin
c.) Kelas Perawatan

d.) Diagnosa Penyakit
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran lama rawat inap pasien di Rumah Sakit Suaka Insan
Banjarmasin?
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui gambaran lama rawat inap pasien berdasarkan usia
b. Mengetahui gambaran lama rawat inap pasien berdasarkan jenis kelamin
c. Mengetahui gambaran lama rawat inap pasien berdasarkan kelas perawatan
d.Mengetahui gambaran lama rawat inap pasien berdasarkan diagnosa
penyakit
D. Manfaat Penelitian
1. Teoritis
Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan ilmu
pengetahuan bagi pembaca mengenai hal-hal yang berkaitan dengan lama
rawat inap pasien, yakni berdasarkan usia, jenis kelamin, kelas perawatan dan
diagnosa penyakit.dan menambah bahan bacaan di Perpustakaan Kampus
STIKES Suaka Insan Banjarmasin.

2. Praktis

a. Bagi Rumah Sakit
Meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan untuk pengguna
sebaik-baiknya dengan meningkatkan harapan dan kepercayaan pasien dengan
memberikan pelayanan kesehatan yang memuaskan, membantu pasien
mengatasi masalah penyakitnya dan berupaya untuk mempercepat proses
pemulihan agar mendapatkan kembali kesehatan yang optimal.
b. Bagi Perawat
Membantu mengatasi masalah kesehatan pasien dengan mempelajari
karakteristik individu yang berbeda-beda yang bisa mempengaruhi kesehatan
individu dan mempengaruhi individu tersebut mendapatkan kesehatannya
kembali. Hal ini membantu perawat dalam bekerja dan mempertimbangkan
setiap pemberian prosedur atu tindakan keperawatan bagi pasien, memberikan
pelayanan keperawatan yang optimal yang mempercepat pemulihan,
mengurangi durasi lama rawat dan biaya rumah sakit.
c. Bagi Peneliti Selanjutnya
Dapat melanjutkan penelitian ini dan membahas hal-hal yang berkaitan
dengan lama rawat inap di rumah sakit.
E. Keaslian Penelitian
Sejauh penelusuran peneliti yang telah dilakukan, belum ada penelitian
dengan judul “Gambaran lama rawat inap pasien berdasarkan usia, jenis kelamin,

kelas perawatan dan diagnose penyakit”. Namun ada penelitian yang hampir mirip
yaitu :
1. Wright et al (2003). Factors Influencing the Length of Stay of Patients
with Heart Failure in Auckland Hospital, New zealand. Pada penelitian ini
bertujuan mengetahui faktor yang berhubungan dari segi sosial-demografik
dan karakteristik klinik, pengobatan serta pemeriksaan pada pasien dengan

gagal jantung. Teknik pengambilan sampel adalah dengan random
sampling. Hasil penelitian ini adalah bahwa pasien HF dengan kongesti
peripheral lama rawat < 6 hari dan pasien dengan oedem lama rawat > 10
hari tergantung keparahan penyakit.
Perbedaan dengan penelitian peneliti adalah tujuannya untuk mengetahui
gambaran lama rawat berdasarkan usia, jenis kelamin, kelas perawatan, dan
diagnosa penyakit. Dilakukan pada waktu dan tempat berbeda yaitu di
Rumah Sakit Suaka Insan tahun 2012, tidak menguji pengaruh dan pada
sampel yang berbeda.
Persamaannya adalah ingin mengetahui lama rawat inap pasien.
2. Pujiyanto, Tri Ismu (1996). Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan
Lama Hari Rawat di Bagian Penyakit Dalam Rumah Sakit Kotamadya Dati
II Semarang Tahun 1995. Pada penelitian ini bertujuan mengetahui

gambaran mengenai jumlah pemeriksaan, hari pulang, diagnosis penyakit,
jenis penyakit, umur, jenis kelamin, pembayar biaya hari rawat serta
hubungan beberapa faktor tersebut dengan lama hari rawat. Jenis penelitian
ini adalah deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional dan tekhnik
retrospektif. Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan random
sampling. Hasil penelitian ini adalah adanya hubungan yang bermakna
antara umur dengan lama hari rawat (nilai r=0,34689), ada hubungan antara
jenis penyakit dengan lama hari rawat (nilai X 2=98,252), ada hubungan
antara diagnosis penyakit dengan lama hari rawt (nilai X2=174,631), ada
hubungan antara banyak pemeriksaan penunjang dengan lama hari rawat
(nilai r = 0,50866), ada hubungan antara sumber biaya perawatan dengan
lama hari rawat (nilai X2=15,101), ada hubungan antara hari pulang dengan

lama hari rawt (nilai X2= 21,938). Sedangkan faktor jenis kelamin dan hari
masuk tidak terdapat bukti berhubungan dengan lama hari rawat.
Persamaan pada penelitian ini adalah mengetahui gambaran lama rawat
inap berdasarkan usia, jenis kelamin dan diagnosa penyakit. Dilakukan
pada waktu dan tempat berbeda yaitu di Rumah Sakit Suaka Insan tahun
2012. Dengan metode deskriptif analitik dengan pendekatan cross
sectional.

Perbedaan pada penelitian ini, juga ingin mengetahui lama rawat
berdasarkan kelas perawatan. Pengambilan sampel dengan tekhnik
purposive sampling.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Pustaka
1. Konsep Sehat-Sakit
Sehat menurut WHO adalah suatu keadaan yang lengkap meliputi
kesejahteraan fisik, mental dan sosial dan bukan hanya bebas dari penyakit dan
kecacatan. Dengan ini diharapkan adanya keseimbangan yang serasi dalam
interaksi antara manusia dan makhluk hidup dengan lingkungannya. Menurut UU
Kesehatan No.36 tahun 2009 kesehatan adalah keadaan sehat baik secara fisik,
mental dan spiritual yang memungkinkan seseorang dapat hidup produktif baik
secara sosial dan ekonomis(Mukono, 2005). Menurut Parson sehat adalah
kemampuan optimal individu untuk menjalankan peran dan tugasnya secara
efektif. Menurut UU Kesehatan RI No.23 Tahun 1992 sehat adalah keadaan

sejahtera tubuh, jiwa, sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup
produktif secara sosial dan ekonomis(Asmadi,2007).

Sakit menurut WHO adalah sebagai akibat dari kesalahan adaptasi
terhadap lingkungan (maladaptation) dan reaksi antara manusia dan sumber
penyakit yang memperlihatkan keadaan dengan adanya keluhan dan gejala sakit
secara subyektif dan obyektif, sehingga penderita tersebut memerlukan
pengobatan untuk mengembalikan keadaan sehat(Mukono, 2005). Sakit menurut
Parson adalah ketidakseimbangnya fungsi normal tubuh manusi, termask system
biologis dan kondisi penyesuaian. Menurut Bauman kriteria sakit meliputi gejala,
persepsi tentang keadaan sakit dan kemampuan aktivitas yang mengalami
penurunan. Menurut batasan medis dua bkti sakit adalah tanda dan gejala.
Menurut Perkins, sakit adalah suatu keadaan yang tidak menyenangkan, yang
mengganggu aktivitas sehari-hari baik jasmani maupun sosial.
2. Perilaku Sehat dan Sakit
Perilaku sehat adalah perilaku-perilaku atau kegiatan yang berkaitan
mengupayakan untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatan, antara lain
makan dengan menu seimbang untuk memenuhi kebutuhan nutrisi, kegiatan fisik
secara teratur dan cukup, tidak merokok dan minum minuman keras serta
menggunakan narkoba, istirahat yang cukup yang bukan hanya berguna untuk
memelihara kesehatan fisik namun juga mental, pengendalian atau menajemen
stress agar tidak menggangu kesehatan baik fisik maupun mental, perilaku atau
gaya hidup positif yang lain untuk kesehatan dengan maksud agar terhindar dari

berbagai penyakit dan masalah kesehatan(Notoadmojo, 2010)
Perilaku sakit adalah berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang
yang sakit atau terkena masalah kesehatan atau keluarganya, untuk mencari
penyembuhan atau teratasi masalah kesehatan yang lain. Saat seseorang sakit,

muncul perilaku seperti mengabaikan keadaan sakit tersebut, mengambil tindakan
dengan melakukan pengobatan sendiri dan mencari penyembuhan atau
pengobatan keluar yakni ke fasilitas pelayanan kesehatan baik yang tradisional
maupun modern( Notoadmojo, 2010).
3. Perjalanan Penyakit
Jika ditinjau proses terjadi pada orang sehat,menderita penyakit dan
terhentinya penyakit tersebut (natural history of disease) terutama untuk penyakit
infeksi, dibedakan atas 5 tahap :

1)Tahap pre-patogenesa
Dalam tahap ini sebenarnya telah terjadi interaksi antara pejamu
dengan bibit penyakit tetapi belum masuk ke dalam tubuh.
2)Tahap Inkubasi
Jika bibit penyakit telah masuk ke dalam tubuh pejamu, tetapi gejala
penyakit belum nampak. Jika daya tahan tubuh tidak kuat, tentu
penyakit akan berjalan terus yang mengakibatkan terjadinya gangguan
pada bentuk dan fungsi tubuh.
3)Tahap Penyakit dini
Tahap ini mulai dari munculnya gejala penyakit meskipunpejamu jatuh
sakit sifatnya masih ringan. Umumnya masih dapat beraktivitas dan
tidak perlu perawatan karena dapat dilakukan dengan berobat jalan.
4)Tahap penyakit Lanjut
Apabila penyakit semakin bertambah hebat. Pada tahap ini penderita
tidak dapat lagi beraktivitas secara optimal, yang umumnya
memerlukan pengobatan dan perawatan.

5)Tahap akhir penyakit.
Berakhirnya dari perjalann penyakit. Ada lima keadaan :
1. Sembuh sempurna
2. Sembuh denan cacat
3. Karier
4. Kronis
5. Meninggal dunia
(Azwar Azrul,1999)
4. Konsep Rumah Sakit
WHO (1957), yang dikutip Ilyas (2001), memberikan batasan tentang
rumah sakit yaitu suatu bagian menyeluruh (integral) dari organisasi sosial dan
medis ; berfungsi memberikan pelayanan kesehatan yang lengkap kepada
masyarakat, baik kuratif maupun rehabilitatif, di mana pelayanan keluarnya
menjangkau keluarga dan lingkungan dan rumah sakit juga merupakan pusat
untuk latihan tenaga kesehatan serta untuk latihan bio sosial(Rizani, 2006).
Menurut UU No.44 Tahun 2009 dinyatakan bahwa rumah sakit adalah
institusi yang menyelenggarakan layanan kesehatan perorangan secara paripurna
dalam bentuk layanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat(Setiawan, 2011).
5. Konsep Rawat Inap
Menurut Muninjaya (1999), menyatakan pelayanan kesehatan di rumah
sakit meliputi pelayanan medik, pelayanan penunjang medik, rehabilitasi medik
dan pelayanan keperawatan. Pelayanan tersebut dilakukan melalui pelayanan
rawat jalan, gawat darurat dan rawat inap. Rawat inap merupakan komponen dari
pelayanan rumah sakit. Kapasitas itu diukur dengan jumlah tempat tidur sebagai
ukuran bagi tingkat hunian, pelayanan dan keuangan, meskipun hanya 10 % dari
seluruh yang membutuhkan pelayanan memerlukan rawat inap. Menurut (Snock ,

1992) dalam thesis Rizani, 2006, suatu institusi dikategorikan sebagai rumah sakit
apabila paling sedikit memiliki 6 tempat tidur untuk merawat orang sakit dengan
lama perawatan di rumah sakit di atas 24 jam setiap kali admisi. Ruang untuk
pasien yang memerlukan asuhan dan pelayanan keperawatan dan pengobatan
secara berkesinambungan lebih dari 24 jam. Untuk tiap-tiap rumah sakit akan
mempunyai ruang perawatan dengan nama sendiri-sendiri sesuai dengan tingkat
pelayanan dan fasilitas yang diberikan oleh pihak rumah sakit kepada pasiennya.
Berarti pelayanan di ruang rawat inap rumah sakit merupakan pelayanan
kesehatan yang melibatkan pelayanan perawatan 24 jam.
Pelayanan rawat inap adalah suatu kelompok pelayanan kesehatan yang
terdapat di rumah sakit yang merupakan gabungan dari beberapa fungsi
pelayanan. Kategori pasien yang masuk rawat inap adalah pasien yang perlu
perawatan intensif atau observasi ketat karena penyakitnya. Terdapat tiga kategori
pasien rawat inap di rumah sakit, yaitu (1) pasien yang sedang sakit akut, (2)
pasien yang dalam proses pemyembuhan, dan (3) pasien dengan penyakit
kronis(Hartono, 2010). Menurut Revans (1986), bahwa pasien yang masuk pada
pelayanan rawat inap mengalami tingkat proses transformasi, yaitu :
a. Tahap Admission, yaitu pasien dengan penuh kesabaran dan keyakinan dirawat
tinggal dirumah sakit.
b. Tahap diagnosis, yaitu pasien diperiksa dan ditegakkan diagnosisnya.
c. Tahap treatment, yaitu berdasarkan diagnosis pasien dimasukkan dalam
program perawatan dan terapi
d. Tahap Inspection, yaitu secara terus menerus diobservasi dan dibandingkan
pengaruh serta respon pasien atas pengobatan.

e. Tahap Control, yaitu setelah dianalisa kondisinya, pasien dipulangkan.
Pengobatan diubah atau diteruskan, namun dapat juga kembali ke proses untuk
didiagnosa ulang.
Jadi rawat inap adalah pelayanan pasien yang perlu menginap dengan cara
menempati tempat tidur untuk keperluan observasi, diagnosa dan terapi bagi
individu dengan keadaan medis, bedah, kebidanan, penyakit kronis atau
rehabilitasi medik atau pelayanan medik lainnya dan memerlukan pengawasan
dokter dan perawat serta petugas medik lainnya setiap hari(Anjaryani, 2009).
Persyaratan Teknis Sarana Bangunan Instalasi Rawat Inap:
1. Lokasi
(a) Bangunan rawat inap harus terletak pada lokasi yang tenang, aman dan
nyaman, tetapi tetap memiliki kemudahan aksesibiltas atau pencapaian dari
sarana penunjang rawat inap.
(b) Bangunan rawat inap sebaiknya terletak jauh dari tempat tempat
pembuangan kotoran, dan bising dari mesin/generator.
2. Denah
a. Persyaratan Umum
(1) Pengelompokan ruang berdasarkan kelompok aktivitas yang sejenis
hingga tiap kegiatan tidak bercampur dan tidak membingungkan pemakai
bangunan.
(2) Perletakan ruangannya terutama secara keseluruhan perlu adanya
hubungan antar ruang dengan skala prioritas yang diharuskan dekat dan
sangat berhubungan/membutuhkan.
(3) Akses pencapaian ke setiap blok/ruangan harus dapat dicapai dengan
mudah.
(4) Kecepatan bergerak merupakan salah satu kunci keberhasilan
perancangan, sehingga blok unit sebaiknya sirkulasinya dibuat secara
linier/lurus (memanjang)
(5) Jumlah kebutuhan ruang harus disesuaikan dengan kebutuhan jumlah
pasien yang akan ditampung.
(6) Sinar matahari pagi sedapat mungkin masuk ke dalam ruangan.

(7) Alur petugas dan pengunjung dipisah.
(8) Besaran ruang dan kapasitas ruang harus dapat memenuhi persyaratan
minimal.
b. Persyaratan khusus.
(1) Tipe ruang rawat inap, terdiri dari :
a) Ruang rawat inap 1 tempat tidur setiap kamar (VIP).
b) Ruang rawat inap 2 tempat tidur setiap kamar (Kelas 1)
c) Ruang rawat inap 4 tempat tidur setiap kamar (Kelas 2)
d) Ruang rawat inap 6 tempat tidur atau lebih setiap kamar (kelas 3).
(2) Khusus untuk pasien-pasien tertentu harus dipisahkan (Ruang Isolasi),
seperti :
a) Pasien yang menderita penyakit menular.
b) Pasien dengan pengobatan yang menimbulkan bau (seperti penyakit
tumor, ganggrein, diabetes, dan sebagainya).
c) Pasien yang gaduh gelisah (mengeluarkan suara dalam ruangan).
Keseluruhan ruang-ruang ini harus terlihat jelas dalam
kebutuhan

jumlah

dan

jenis

pasien

yang

akan

dirawat

(Http://www.download.pdf.pedoman tekhnis rawat inap, diakses 20
Januari 2012).

6. Konsep Lama Rawat
Lama dirawat adalah lamanya 1 orang pasien dirawat setelah pasien
tersebut keluar hidup (pulang atas izin dokter, pulang paksa, melarikan diri dan
dirujuk) atau meninggal (Http//www.google.co.id/rumus-rumus indikator rumah
sakit-Moch.Firmansyah diakses 15 Januari 2012)

Lama dirawat ( LOS atau Length of Stay) adalah lama hari yang mana
pasien dirawat. Jumlah hari perawatan adalah hasil keseluruhan jumlah dari lama
perawatan semua penderita misalnya dihitung selama setahun. ALOS atau
Average Length of Stay menunjukkan rata-rata lama perawatan seorang penderita
dirawat di rumah sakit, jumlah hari perawatan adalah hasil keseluruhan jumlah
dari

lama

perawatan

semua

penderita

misalnya

dihitung

selama

setahun(Supriyanto&Djohan, 2011).
AVLOS (Average Length of Stay = Rata-rata lamanya pasien dirawat)
AVLOS menurut Huffman (1994) adalah “The average hospitalization stay of
inpatient discharged during the period under consideratio. L atau rata-rata
perawatan yang baik berkisar antara 5-7 hari perawatan. Ini juga tergantung ruang
rawat inapnya dan jenis penyakit(Supriyanto&Djohan, 2011). AVLOS menurut
Depkes RI (2005) adalah rata-rata lama rawat seorang pasien. Indikator ini
disamping memberikan gambaran tingkat efisiensi, juga dapat memberikan
gambaran mutu pelayanan, apabila diterapkan pada diagnosis tertentu dapat
dijadikan hal yang perlu pengamatan yang lebih lanjut. Secara umum nilai
AVLOS yang ideal antara 6-9 hari (Depkes, 2005). Rumus : AVLOS = Jumlah
lama dirawat / Jumlah pasien keluar (hidup (sembuh atau tidak) + mati).
(Http://www.google.com/indikator-indikator pelayanan rawat inap rumah sakit,
diakses 16 Januari 2012).
Menurut Pujiyanto jumlah pemeriksaan penunjang, hari masuk, hari
pulang, diagnosis penyakit, jenis penyakit,umur, jenis kelamin, pembayar biaya
Rumah Sakit dengan lama hari rawat adalah faktor-faktor yang mungkin
berhubungan dengan lama rawat inap(http//www.fkm.indip.ac.id/beberapa faktor
yang berhubungan dengan lama rawat, diakses 24 Januari 2012).

Menurut Graves, banyak faktor yang mempengaruhi berapa lama seorang
pasien menghabiskan di rumah sakit. Beberapa tidak dapat diubah, seperti usia
atau diagnosis utama, tetapi yang lain, seperti resiko tertular infeksi selama
perawatan dapat dikurangi. Perkiraan yang akurat tentang dampak faktor-faktor
pada memperpanjang atau memperpendek lama tinggal adalah penting. Informasi
ini dapat digunakan untuk memandu keputusan tentang bagaimana pelayanan
rumah sakit harus diorganisir(Http//www.ispor.org/ Http//www.ispor.org/Value in
Health Volume 12 Issue 2-March/April 2009/Understanding Factors That affect
Length Stay in Hospital Brisbane, Australia).
Menurut Mr. R Hole lama rawat inap tergantung pada keistimewaan ahli
bedah sebaik saat dilakukannya operasi, umur, dan jenis kelamin dari pasien(Rose
et al, 1978).
Sosio-demografik (non klinikal) dan karakteristik klinikal, faktor-faktor
yang berhubungan dengan pelaksanaan pengobatan, kemajuan rumah sakit yang
berhubungan dengan lama rawat pada pasien dengan gagal jantung disuatu
institusi di New Zealand. Non klinikal mencakup usia, jenis kelamin, pembayaran
(asuransi atau tidak), pemulangan (rumah, panti rehabilitiasi, dan tempat lain
sedangkan informasi klinik (bagian tubuh yang terluka, skor trauma) (Brasel et al,
2007).
7. Karakteristik responden
Karakteristik adalah ciri khusus yang mempunyai sifat khas sesuai dengan
perwatakan tertentu.

Ciri khusus ini dapat berupa fisik seperti pekerjaan,

pemilikan dan pendapatan, maupun non fisik seperti pengalaman dan kebutuhan
yang dapat beraneka ragam(Anjaryani, 2009).
Abramson menyatakan bahwa jenis kelamin, umur, paritas, etnis, agama,
status perkawinan, status sosial meliputi pendidikan, pekerjaan, pendapatan,
kepadatan rumah, tempat tinggal yang meliputi desa-kota dan morbiditas

merupakan variabel-variabel universal yang harus diperhitungkan untuk
diikutsertakan dalam suatu penelitian meskipun tidak secara otomatis digunakan
sebagai variabel penelitian. Jumlah variabel sebanyak yang diperlukan dan
sesedikit mungkin(Anjaryani, 2009).
Gordon dan Lichert menyatakan jika kepekaan individu terhadap suatu
penyakit dilihat dari faktor keturunan, mekanisme pertahanan tubuh, umur, jenis
kelamin, ras, status perkawinan, pekerjaan, kebiasaan hidup(Azwar, 1999).
1) Umur
Menurut Rifa’i (1993) umur adalah usia yang dihitung mulai
dilahirkan sampai saat ulang tahun terakhir, sedangkan menurut Lukman,
1996 umur adalah usia atau lamanya waktu hidup sejak dilahiran atau
diadakan. Menurut Patel 1998, faktor umur yang dapat menyebabkan gagal
jantung yaitu : umur resiko rendah < 20 tahun, umur resiko sedang 20 – 40
tahun, umur resiko tinggi 41 – 55 tahun dan umur resiko sangat tinggi diatas
55 tahun. Menurut Rifai usia adalah usia yang dihitung mulai dilahirkan
sampai saat ulang tahun terakhir.
Umur ada kaitannya dengan daya tahan tubuh. Pada umumnya daya
tahan tubuh orang dewasa jauh lebih kuat daripada daya tahan tubuh bayi atau
anan-anak(Azwar, 1999).
Menurut Konz (1996) umur seseorang berbanding langsung dengan
kapasitas fisik sampai batas tertentu dan mencapai puncaknya pada umur 25
tahun. Pada umur 50-60 tahun kekuatan otot menurun sebesar 25%,
kemampuan sensoris-motoris menurun sebanyak 60% (Tarwaka dkk, 2004).
Menurut Astrand&Rodahl,1997,Gradjean,1993,Genaidy,1996 dan
Konz,1996 bertambahnya umur akan diikuti penurunan fungsi tubuh seperti
penurunan ketajaman penglihatan, pendengaran, kemampuan mengingat
(Tarwaka dkk, 2004). Anak kecil dan orang lanjut usia lebih susah

menghadapi perubahan suhu yang besar dibandingkan dengan anak muda dan
orang setengah umur.Seseorang akan mencapai fungsi fisiologis optimum
pada usia 25-30 tahun,Lebih dari umur 30 tahun akan mengalami penurunan
fungsi fisiologis tubuh(Wolf dkk,1984).
Umur tua (40-65 th) jantung cukup berat dan kurang menguntungkan
jika dibandingkan dengan usia muda karena V02 max (maksimum oksigen
uptake) menurun 20-30% pada umur 30 tahun dan pada umur 65 tahun
kapasitas ”cardio sirculator reserve” mulai menurun, toleransi terhadap suhu
tinggi kurang, terlambatnya keluar keringat dan rendahnya “sweat rate”,
berakibat penyimpanan panas yng cukup lama di dalam tubuh dan perlu waktu
untuk “recovery”(Mukono,2006).
Pembagian usia menurut WHO berdasarkan tingkat kedewasaan adalah
0-14 tahun (bayi dan anak-anak), 15-49 tahun (orang muda dan anak-anak), 50
tahun ke atas (orang tua). Demografi menurut tingkat produktivitas 0-14 tahun
(tidak produktif), 15-64 tahun (produktif), 65 tahun ke atas ( tidak produktif).
Menurut Depkes RI 0-12 bulan (bayi), 1-3 tahun (batita), 4-5 tahun (balita), 615 tahun (anak sekolah), 16-24 tahun (remaja), 25-39 tahun (dewasa muda),
40-49 tahun (dewasa pertengahan), 50-59 tahun (dewasa lanjut), 60 tahun ke
atas (lanjut usia).
Masalah-masalah kesehatan menurut golongan umur (Potter&Perry, 2009)
antara lain :
a. Masa Toddler (Usia 1-3 tahun)
Pada usia ini, anak resiko besar untu mengalami cidera karena
kemampuan lokomotor dan rasa ingin tahu yang besar. Keracunan akibat
barang-barang yang ditaruh sembarangan dan anak ingin memakannya.
Resiko tenggelam, kecelakaan kendaraan bermotor. Pada usia ini juga
beresiko untuk obesitas dan penyakit kronik.

b. Masa Pra-Sekolah (Usia 3-5 tahun)
Anak-anak mengalami kesulitan tidur, mimpi buruk dan melakukan
ritual yang panjang sebelum tidur, kerena pada usia ini waktu tidur sekitar
12 jam pada malam hari dan jarang untuk tidur siang.
c. Usia masa sekolah (Usia 6-12 tahun)
Pada usia anak sekolah, kecelakaan dan cedera merupakan masalah
kesehatan yang utama. Mereka memiliki pajanan yang lenih besar
terhadap lingkungan dengan pengawasan yang lebih sedikit, namun
kemampuan kognitif dan motorik akan membantu menghindarkan mereka
dari cidera yang tidak disengaja. Infeksi merupakan penyakit terbanyak
pada anak; infeksi saluran nafas memiliki prevalensi tertinggi. Penyakit flu
merupakan penyakit utama pada masa anak-anak. Da kaitan unsur
ekonomi dengan kesehatan, seperti halnya kemiskinan. Retardasi mental,
gangguan belajar, gangguan sensorik, dan malnutrisi adalah kasus yang
sering terjadi selain itu mortalitas bayi, masalah esehatan gigi, nutrisi
buruk, dan ketiadaan imunisasi.
d. Masa Remaja ( Usia 13-20 tahun)
Kecelakaan menjadi penyebab utama kematian pada remaja yang
mengakibatkan 74% kematian yang tidak disengaja pada anak usia 10-19
tahun. Kecelakaan tersebut dikaitkan dengan keracunan alkohol dan
penyalahgunaan obat-obatan. Kecelakaan bersepeda lebih besar 4 sampai 7
kali lipat pada pria dibandingkan wanita.
Pembunuhan merupakan penyebab kematian kedua pada kelompok
usia 15-24 tahun. Anak berusia 12 tahun atau lebih sangat mungkin
mengalami

pembunuhan

oleh

teman

atau

anggota

geng

yang

menggunakan senjata api. Bunh diri merupakan penyebab ketiga pada
remaja berusia 13 sampai 19 tahun. Pada penelitian terbaru National

Center for Health Statistics, sekitar seperlima siswa sekolah menengah
atas pernah mempertimbangkan untuk bunuh diri dalam 12 bulan
terakhir(Santrock, 2007).
Penyalahgunaan obat-obatan merupakan masalah semua pihak
yang berkaitan dengan remaja. Remaja yakin bahwa substansi tersebut
dapat membuat mereka tampak lebih matang dan lebih baik. Statistik
terkini memperlihatkan bahwa pada akhir sekolah SMA, 85% remaja telah
mengkonsumsi alcohol, 65% telah mencoba merokok dan 49% telah
pernah mencoba marijuana (Hockenberry dan Wilson,2007). Konsumsi
tembakau masih menjadi masalah pada remaja di mana 3 sampai 10
remaja merupakan perokok aktif pada akhir SMA.
Gangguan makan semakin meningkat pada usia remaja terutama
wanita. Pengetahuan tentang pertumbuhan merupakan cara untuk melawan
usaha penurunan berat badan yang radikal. Berat badan yang ekstrim
merupakan akibat dari masukan kalori yang berlebihan maupun kurang
merupakan hal yang sering ditemui pada masa remaja. Anoreksia nervosa
dan bulimia merupakan dua gangguan makan yang timbul pada remaja.
Anoreksia nervosa merupakan sindrom klinis dengan unsur fisik dan
psikososial di mana seseorang berusaha menjadi kurus dengan cara
membuat diri menjadi lapar. Kebanyakan klien aadalah remaja dan wanita
muda yang berasal dari keluarga kelas menengah dan atas. Bulimia
nervosa ditandai dengan kegiatan makan berlebihan dan tingkah laku
untuk mencegah pertambahan berat badan. Tingkah laku tersebut
mencakup muntah yang disengaja, penyalahgunaan pencahar dan obat
lainnya serta olahraga yang berlebihan.

Eksperimen seksual menurut Centers for Disease Control and
Prevention(2004), 46.7% remaja kelas 9 dan 12 mengaku pernah
berhubungan seksual setidaknya sekali. Penyakit menular seksual
menyerang 3 juta remaja yang aktif secara seksual tipa tahunnya. Perlu
dilakukan skrining sekalipun tidak menunjukkan gejala.
e. Masa Dewasa Awal (Usia 20an- 30an tahun)
Faktor resiko kesehatan bagi individu dewasa awal berasal dari
komunitas, gaya hidup dan keluarga. Semua kebiasaan gaya hidup yang
memengarhi respons terhadap stres dapat meningkatkan resiko untuk
untuk mendapatkan penyakit. Merokok merupakan faktor resiko untuk
penyakit paru, jantung dan pembuluh darah pada perokok aktif dan pasif.
Mengisap asap perokok dapat meningkatkan resiko terkena kanker paruparu, emfisema dan bronchitis kronik. Nikotin dalam tembakau dapat
menjadi vasokontriksi bagi arteri koronaria, sehingga meningkatkan resiko
angina, infark miokardial dan penyakit arteri koroner.
Riwayat penyakit keluarga berisiko akan berkembang pada
individu awal dewasa, menengah atau lanjut. Sebagai contoh, lelaki muda
yang mempunyai ayah dan kakek penderita infark miokard pada usia lima
pluhan akan memiliki resiko infark miokard nantinya.
Personal higiene yang buruk akan menimbulkan masalah kesehatan
bagi individu dewasa awal. Menggunakan peralatan makan secara bersama
dengan individu yang memiliki penyakit menular dapt meningkatkan
resiko

tertularnya

meningkatkan

penyakit

resiko

tersebut.

penyakit

Higiene

periodontal

gigi

seperti

yang
gingivitis

buruk
dan

periodontitis.
Ketergantungan obat-obatan perangsang atau penenang juga dapat
menyebabkan kematian. Overdosis obat perangsang dapat menekan

system kardiovaskuler dan sistem saraf yang dapat mengakibatkan
kematian. Kafein adalah zat perangsang alami legal yang tersedia dalam
minuman karbonat,makanan yang mengandung cokelat, kopi, the, serta
obat-obatan seperti obat batuk, preparat alergi, analgesik dan penekan
nafsu makan. Kafein menstimulasi pelepasan katekolamin, meningkatkan
sekresi asam lambung, kecepatan jantung dan kecepatan metabolisme
basal. Hal ini akan memengaruhi tekanan darah, memingkatkan diuresis
dan merelaksasita dan otot polos.
f. Masa Dewasa Menengah (Usia 30an-60an)
Secara umum, dewasa menengah dimulai dari awal sampai
pertengahan usi 30-an dan sampai akhir usia 60-an. Pada masa ini mulai
terjadi penurunan fisiologis tubuh. Tampak rambut mulai memutih, kulit
keriput dan penebalan pinggang. Penurunan fungsi pendengaran dan
ketajaman penglihatan. Perubahan fisiologis yang paling signifikan adalah
menopause pada wanita dan klimakterium pada pria. Menopause adalah
ketidakmampuan sistem neurohormonal untuk mengatasi stimulasi
periodik sistem endokrin. Ovarium tidak lagi memproduksi estrogen dan
progesterone. Menopause terjadi pada usia 40-60 tahun. Klimakterium
terjadi pada pria usia 40-an atau 50-an. Klimakterium desebabkan oleh
penurunan kadar hormone androgen. Selama periode ini dan setelahnya,
pria mampu memproduksi sperma fertile dan menghasilkan anak. Namun,
ereksi penis berkurang, frekuensi ejakulasi berkurang dan masa refrakter
menjadi lebih lama. Terjadi pula perubahan fisik seperti pada bagian epala
dan leher, mata, telinga, hidung sinus dan tenggorokan, dada dan paru,
jantung dan sistem vaskular, payudara baik pada wanita maupun pria,

abdomen, bagian genital pria dan wanita, sistem musculoskeletal, dan
system saraf.
Pada usia dewasa menengah, obesitas merupakan masalah
kesehatan yang banyak terjadi. Pada tahun 2005, sebesar 23.9% individu
dewasa di Amerika menderita obesitas dan prevalensi obesitas meningkat
antara tahun 1995-2005(USDHHS,CDC,2006). Dampak obesitas bagi
kesehatan adalah penyakit seperti tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi,
diabetes tipe 2, penyakit jantung koroner, osteoarthritis, serta sesak napas
obstruktif saat tidur.
g. Lansia ( Usia ≥ 65 tahun)
Penetapan usia lansia adalah 65 tahun dimulai pada abad ke-19 di
negara Jerman.

Pada usia ini terjadi penurunan fungsi kognitif dan

motoric. Pada usia ini sering mengalami penyakit kronis, setidaknya
sebagian besar lansia memiliki satu penyakit kronis sedangkan yang
lainnya memiliki penyakit kronis multiple. Pada tahun 2002 sampai 2003
penyakit kronis terbanyak adalah hipertensi (51%), arthritis (48%), semua
jenis penyakit jantung (31%), kanker (21%) dan diabetes (16%)
(AOA,2005).
2) Jenis Kelamin
Menurut Lukman (1996), jenis kelamin adalah status biologi seseorang
yang membedakan antara pria dan wanita. Jenis kelamin merupakan konsep
yang membedakan antara laki-laki dan perempuan bukan saja berdasarkan
biologisnya melainkan dikaitkan dengan peran, fungsi, sifat, perilaku yang
direkayasa (Depag, 2003). Gagal jantung lebih sering diderita oleh pria di
banding wanita yang seusia sama(Http//www.google.com/hubungan usia dan
jenis kelamin dengan gagal jantung di Poliklinik dr.M Yunus, diakses 20
Febuari 2012). Wanita mempunyai resiko lebih tinggi terkena penyakit

diabetes mellitus dan rheumatoid artritis dibandingkan dengan pria, sebaliknya
pria

beresiko

lebih

tinggi

terkena

penyakit

jantung

dan

hipertensi(Budiarto&Anggraeni, 2002). Pria lebih sering meninggal pada usia
dibawahi 50 tahun, hal ini disebabkan pola hidup perilaku kebiasaan yang
lebih sering mengkonsumsi rokok, alkohol, kopi, serta bahan lain yang dapat
memperberat kerja jantung. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa berbagai
penyakit menyerang laki-laki dan perempuan pada usia yang berbeda,
misalnya penyakit kardiovaskular ditemukan pada usia yang lebih tua pada
perempuan dibandingkan pada laki-laki(Http//www.pdf download/6-11 gender
dalam kesehatan, diakses 18 Febuari 2012). Beberapa penyakit, misalnya
anemia, gangguan makan dan gangguan pada otot serta tulang lebih banyak
ditemukan pada perempuan daripada laki-laki. Berbagai penyakit atau
gangguan hanya menyerang perempuan, misalnya gangguan kesehatan yang
berkaitan dengan kehamilan dan kanker serviks; sementara itu hanya laki-laki
yang dapat terkena kanker prostat(Azwar, 1999). Kombinasi antara faktor
jenis kelamin dan peran gender dalam kehidupan sosial, ekonomi dan budaya
seseorang dapat meningkatkan resiko terhadap terjadinya beberapa penyakit,
sementara

sisi

lain

memberikan

perlindungan

terhadap

penyakit

lainnya(Annandale&Hunt, 2000). Perbedaan yang timbul dapat berupa
keadaan sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.

Perjalanan penyakit pada laki-laki dan perempuan
Sikap laki-laki dan perempuan dalam menghadapi suatu penyakit
Sikap masyarakat terhadap laki-laki dan perempuan yang sakit
Sikap laki-laki dan perempuan terhadap pengobatan dan akses pelayanan

kesehatan
5. Sikap petugas kesehatan dalam memperlakukan laki-laki dan perempuan.

Terdapat perbedaan tingkat kesadaran berobat antara wanita dan pria.
Pada umumnya kaum wanita lebih memiliki kesadaran yang baik untuk
berobat daripada kaum pria. Terdapat perbedaan macam pekerjaan. Penyakit
akibat kerja misalnya lebih banyak ditemukan pada kaum pria, karena
memang kaum pria lebih banyak yang bekerja(Oktarina dkk, 2009).
Secara umum wanita hanya mempunyai kekuatan fisik 2/3 dari
kemampuan fisik atau kekuatan otot laki-laki. Menurut Konz(1996) untuk
kerja fisik wanita mempunyai VO2 max 15-30% lebih rendah dari laki-laki.
Kondisi tersebut menyebabkan persentase lemak tubuh wanita lebih tinggi dan
kadar Hb darah lebih rendah daripada laki-laki. Waters&Bhattacharya (1996)
menjelaskan bahwa wanita mempunyai maksimum tenaga aerobic sebesar 2,4
L/menit,

sedangkan

pada

laki-laki

sedikit

lebih

tinggi

yaitu

3

L/menit(Tarwaka, dkk, 2004).
Wanita dan pria memiliki respons yang berbeda terhadap obat terutama
berhubungan dengan perbedaan distribusi lemak tubuh, cairan tubuh dan
hormon. Karena kebanyakan obat yang diteliti dilakukan pada pria, penelitian
obat pada wanita perlu dilakukan untuk mengetahui efek perubahan hormonal
terhadap kerja obat pada wanita. Kebutuhan zat gizi berbeda bagi pria dan
wanita karena komposisi tubuh dan fungsi reproduksi. Massa otot yang lebih
besar pada pria menjelaskan besarnya kebutuhan kalori dan protein. Karena
menstruasi, wanita memerlukan lebih banyak zat besi pria sebelum
menopause. Wanita hamil dan menyusui memiliki peningkatan kebutuhan
kalori dan cairan(Kozier dkk, 2010).
3) Kelas Perawatan
Kelas perawatan adalah tingkatan fasilitas ruangan perawatan yang
dipilih pasien dengan disesuaikan dengan pendapatan yang dimiliki, semakin

baik

fasilitasnya

maka

nilai

nominal

yang

dikeluarkan

semakin

tinggi(Anjaryani, 2009). Kelas perawatan adalah tempat di mana pasien dan
keluarga , pengasuh, dan administrator datang bersama-sama untuk tujuan
umum memulihkan pasien untuk kesehatan yang baik.
Tipe ruang rawat inap, terdiri dari :
a) Ruang rawat inap 1 tempat tidur setiap kamar (VIP).
b) Ruang rawat inap 2 tempat tidur setiap kamar (Kelas 1)
c) Ruang rawat inap 4 tempat tidur setiap kamar (Kelas 2)
d) Ruang rawat inap 6 tempat tidur atau lebih setiap kamar (kelas 3).
Kelas

perawatan

mempunyai

pengaruh

terhadap

lama

rawat

inap(Supriyanto&Djohan, 2011). Subjek yang di rawat di kelas 2 dan 3
mempunyai risiko 3,4 kali lebih besar untuk di rawat lebih lama dibanding
subjek yang di rawat inap di kelas 1. Kelas perawatan biasanya mempunyai
perbedaan dalam hal pengaturan ruang, cara penyajian makanan, maupun
fasilitas lainnya. Pasien yang dirawat di kelas 1 tidak banyak berinteraksi
denggan pasien lain seperti halnya kelas 2 dan 3, sehingga secara psikologis
tidak terlalu terbebani, lebih merasa nyaman dan kemungkinan tertular
penyakit lain lebih kecil, sehingga lebih membantu dalam mempercepat
penyembuhan dan mempersingkat waktu rawat(Syamsiatun dkk, 2003).
Ada sebelas isu-isu yang muncul terkait dengan penggunaan single
room, yaitu :
a. Biaya kamar yang tinggi namun biaya operasi lebih rendah
b. Meningkatkan fleksibilitas dalam perawatan medis
c. Privasi pasien lebih terjaga dan penyimpanan barang-barang
pribadi lebih aman
d. Peningkatan kontrol individu
e. Infeksi silang lebih mudah dikontrol dan dapat dihindari serta
diturunkan

f.
g.
h.
i.

Meningkatkan lingkungan pengajaran
Efisiensi staf
Pertemuan pasien dan dokter lebih nyaman dan tenang
Perluasan daerah dan biaya kontruksi beralih menjadi wadah yang

lebih baik
j. Mengantisipasi perubahan perkembangan teknologi
k. Fleksibilitas dalam perencanaan rumah sakit
Secara keseluruhan, pasien yang tinggal di kamar sendiri tidak
bergabung dengan orang lain mengakui martabat manusia sebagai individu
dan jaminan bahwa pasien salah satu hak dasar manusia, hak untuk privasi dan
karena kepatuhan Hak Asasi Manusia Undang-Undang 1988 untuk
mempertahankan martabat, privasi dan kerahasiaan pasien. Bangunan
Kesehatan no. 4 merekomendasikan bahwa 50% dari akomodasi jumlah
ruangan rawat inap rumah sakit menjadi kamar pribadi untu menghindari
pemindahan pasien ke kamar lain. Memaksa pasien untuk pindah dari kamar
pribadi ke kamar gabungan sangat mengganggu pasien dan dapat
mempengaruhi pemulihan dan kesejahteraan psikologis. Burrough (1976) oleh
Martin (1991) mengukur bed occupancy rate penggunaan kamar tidur untuk
pribadi meningkat dari 75 - 90% dan bahwa rata-rata lama rawat inap pasien
menurun dari 10,2 menjadi 7,5 hari. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa
lama rawat rata-ratanya yang lebih pendek untuk pasien di kamar tunggal dari
penginapan di kamar gabungan(Phiri, 2003).
Menrut Bobrow&Thomas(2000) kamar pribadi “single room”, pasien
dapat beristirahat dengan tenang dan nyaman tidak terganggu oleh kegiatan
teman sekamar itu. Seorang pasien dapat menjadi rawat jalan sebelumnya
ketika toilet dan shower di kamar, dan ruang tersebut dapat digunakan untuk

berbagai jenis isolasi. Karena pasien yang tinggal di kamar dengan satu tempat
tidur jarang bergerak, dan kesalahan pengobatan dapat dikurangi. Dalam unit
dengan “multi room” rata-rata aktivitas sehari-hari sekitar

enam sampai

sembilan per hari, dengan biaya yang signifikan dalam dokumen tambahan,
rumah

tangga,

transportasi

pasien,

instruksi

pengobatan,

dll(Swanson&Wojnar, 2004).
Thomas dan Goldin (1975) berpendapat bahwa secara ekonomi kamar
dengan muti room” adalah yang paling efisien. Dalam jenis kamar, pasien
dapat ditempatkan sepanjang satu koridor, memfasilitasi pengawasan pasien
dan mengurangi jumlah perawat menghabiskan waktu untuk bolak-balik.
Thomas dan Goldin mengusulkan ruangan dengan enam tempat tidur dengan
tiga tempat tidur di setiap sisi ruangan sebagai konfigurasi yang paling
ekonomis. Biaya yang terkait dengan waktu tempuh perawat dikurangi dalam
multi room dibandingkan dengan single room. Lalu Lintas biaya / perawat
biaya perjalanan waktu lebih tinggi di kamar pribadi, dan ini meningkatkan
secara proporsional sebagai jumlah pasien dalam penurunan kamar (Delon &
Smalley, 1970). Keuntungan dari single room misalnya, membantu pemulihan
dalam perawatan pasien, pengurangan risiko infeksi silang, dan fleksibilitas
perawatan medis dan hal-hal lainya yang berkaitan dengan biaya rumah
sakit(Libster, 2008).
Lama perawatan pasien berhubungan dengan biaya rumah sakit. Harihari pertama saat rawat inap umumnya adalah yang paling mahal, terlepas dari
jenis penyakit (Berry, 1974) dan dengan mengurangi lama rawat ini, biaya
rumah sakit menjadi lebih efisien (Smet, 2002). Gallant & Lanning (2001)

menyatakan bahwa pasien yang tinggal di single room cenderung lebih cepat
sembuh dari 9,5 hari menjadi 5,4 hari(Schweitzer et al, 2004).
Menurut Jones (1995) perpindahan kamar pasien bisa terjadi kira-kira
empat kali selama masa perawatan dan hal ini 40% tugas perawat tidak
terfokuskan pada masalah-masalah pasien. Menurut Hill-Rom (2000) bahwa
sebagian besar pasien pindah dari kamar multi room ke single room karena
mereka merasa lebih cocok dan nyaman berada di ruangan single room
daripada multi room. Studi berkelanjutan baru-baru ini menunjukkan bahwa
menggunakan single room merupakan bagian dari proses desain penyembuhan
yang memiliki potensi mengurangi lama rawat pasien di rumah sakit dan
dengan demikian mengurangi asupan obat nyeri di kamar pribadi. Desain
ruang pribadi yang mendukung kehadiran anggota keluarga mengurangi
pasien mengalami kecelakaan seperti terjatuh (Ulrich, 2003) dan dapat
mengurangi kebutuhan jam perawat per pasien, karena anggota keluarga turut
berpartisipasi dalam proses perawatan. Biaya rumah sakit berkaitan langsung
dan tidak langsung dengan kamar inap. Hal ini ditunjukkan bahwa multi room
mungkin biaya efektif untuk biaya pengobatan dan perawatan namun single
room, mereka lebih cepat sembuh, biaya pengobatan dan perawatan dapat
dikurangi dan berkurangnya asupan obat. Selain itu, biaya dapat dikurangi di
single room karena insiden jatuh lebih rendah dan pengendalian infeksi yang
lebih baik(Phiri, 2003).
Seseorang yang biasanya tenang akan memiliki sedikit reaksi
emosional saat sakit sedangkan seseorang yang tidak dapat mengatasi
emosinya akan bereaksi secara berlebihan terhadap penyakitnya dan

menganggap jiwanya terancam atau menolak adanya gejala penyakit sehingga
tidak mengalami tindakan terapeutik(Potter&Perry, 2009) apalagi pasien yang
berada di “multi room” seringkali terganggu dengan keberadaan pasien
lainnya, kurang adanya privasi, sehingga pasien merasa terganggu dan tidak
nyaman. Hal ini menyebabkan stress bagi pasien. Stres ini menyebabkan
perubahan bagi sistem tubuh.
Psikoneuroimunologi merupakan respon psikologi tubuh yang akan
berhubungan langsung dengan stressor lingkungan. Respon stress ini akan
membuat

hipotalamus

melepaskan

corticothropin

(CRF)

yang

akan

menstimulasi kelenjar pituitary untk melepaskan hormon stres seperti
adenocorticothropic(ACTH). Hormon ini akan akan mengstimulasi pelepasan
kortisol dari korteks adrenal dan melepaskan aldosterone dari medula
adrenal(Guyton&Hall,

1997).

Kortisol,

glucocorticoid

mengstimulasi

pelepasan glukosa dari glikogen di hati. Aldosteron, mineralcorticoid
menyebabkan retensi sodium dan air(Syaiffudin, 2006). Kedua hormon ini
menyebabkan meningkatnya tekanan darah, cortisol menekan proses
fagositosis

yang

mana

akan

mempengaruhi

kesembuhan(Rubert,

Long&Hutchinsin, 2005). Respon terhadap stres juga memberikan pengaruh
yaitu menenkan fungsi imun sistem. Menurunnya imun tubuh menyebabkan
individu

rentan

terkena

penyakit

dan

mengganggu

proses

penyembuhan(Ulrich, 2003).
Single bed rooms bermanfaat untuk komunikasi yang lebih baik
dengan staf, meminimalis konflik dengan teman sekamar, memperkecil
terjadinya kesalahan medis, menurunkan angka kejadian infeksi dan
kenyamanan dengan keluarga. Kehadiran keluarga membantu mengurangi

stres pasien itu sendiri dan juga kepedulian keluarga membantu mempercepat
proses penyembuhan(Swanson&Wajnar, 2004). Kamar dengan single bed
room menghindari juga dari beberapa stres lingkungan fisik, seperti
kebisingan. Nightingale berpendapat bahwa kebisingan yang tidak perlu harus
ditiadakan dan dihindari(Tomey&Alligood, 2008).
Kebisingan ini mengganggu tidur pasien sehingga menurunkan
kualitas tidur, meningkatkan tekanan darah, peningkatan denyut nadi dan
menurunkan kepuasan pasien. Kebisingan ini berasal dari teman sekamar,
pengunjung dari pasien yang lain, kehadiran staf yang menyebabkan stres
karena pasien tidak dikontrol dan merasa menjadi korban(Schweitzer et al,
2004). Kebisingan dapat juga berpengaruh pada berat badan dan
keseimbangan hormonal (Waqar, 2007). Kebisingan akan berpengaruh pada
faktor psikologis dan fisiologis seseorang. Mereka akan merasa terganggu
dengan tidurnya dan nantinya akan berpengaruh pada denyut jantung dan
tekanan darah(Meei shu dkk, 2003). Di kamar single ini juga suhu kamar
mudah dikontrol. Suhu panas atau dingin akan berpengaruh bagi kesehatan
individu(Subaris&Haryno,
lelah(Wingjosoebroto,

2007),
2008),

suhu

menyebabkan

keringat

pusing,

berlebihan,

mudah

penurunan

kesadaran(Santoso, 2004),(Ridwan, 2010).
4) Jenis Penyakit
Penyakit adalah Menurut Van Dale’s Groot Woordenboek der
Nederlandse Tall, penyakit adalah suatu keadaan pada mana proses kehidupan
tidak lagi teratur atau terganggu perjalannya. Penyakit menurut Gold Medical
Dictionary adalah kegagalan dari mekanisme adaptasi suatu organisme untuk
bereaksi secara tepat terhadap rangsangan atau tekanan sehingga timbul

gangguan pada fungsi atau struktur dari bagian organ atau system tubuh.
Menurut Van Dale’s Groot Woordenboek der Nederlandse Tall, penyakit
adalah suatu keadaan pada mana proses kehidupan tidak lagi teratur atau
terganggu perjalannya(Azwar Azrul,1999). Jenis penyakit menurut Sarafino
terbagi atas dua hal yaitu penyakit infeksi dan penyakit non infeksi(dikenal
juga dengan penyakit kronis, penyakit tidak menular, penyakit degeneratif,
penyakit perilaku). Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh
mikro-organisme seperti bakteri atau virus di dalam tubuh. Sebagai contoh
malaria, dipteri, influensa, tipus, diare, dll(Gayo. 1998). Sedangkan penyakit
kronis adalah penyakit degeneratif yang berkembang selama kurun waktu
yang lama misalnya, penyakit jantung, kanker, stroke. Penyakit degenaratif
(jantung dan paru) mengakibatkan terbatasnya transportasi panas dari dalam
tubuh ke permukaan(Mukono, 2006).
1. Penyakit Infeksi
Infeksi merupakan invasi dan proliferasi mikroorganisme pada
jaringan tubuh. Mikroorganisme yang menginvasi dan berproliferasi pada
jaringan tubuh disebut agens infeksi. Virulensi adalah kemampuan
mikroorganisme menimbulkan penyakit. Tingkat keparahan penyakit yang
ditimbulkan mikroorganisme dan tingkat penularan penyakit yang
ditimbulkan juga beragam. Apabila agens infeksi dapat ditularkan kepada
individu lain melalui kontak langsung atau tidak langsung, melalui vektor
atau p