Pemanasan Global terhadap lingkungan hidup (1)

Pemanasan Global
Pemanasan global adalah kejadian terperangkapnya radiasi gelombang panjang matahari
(infra merah atau gelombang panas) yang dipancarkan oleh bumi, sehingga tidak dapat lepas ke
angkasa dan akibatnya suhu di atmospher bumi memanas (Gambar 1).

Dengan berubahnya suhu bumi yang dapat dirasakan oleh seluruh makhluk di bumi ini,
maka kejadian tersebut dinamakan sebagai “pemanasan global”. Penjebak gelombang panas
tersebut adalah lapisan gas yang berperan seperti dinding kaca atau ‘selimut tebal’, antara lain
adalah uap air, gas asam arang atau karbon dioksida (CO2), gas methana (CH4), gas dinitrogen
oksida (N2O), perfluorokarbon (PFC), hidrofluorokarbon (HFC) dan sulfurheksfluorida (SF6).
Uap air (H2O) sebenarnya juga merupakan GRK yang penting dan pengaruhnya dapat segera
dirasakan. Misalnya pada saat menjelang hujan berawan tebal dan kelembaban tinggi, udara
terasa panas karena radiasi gelombang-panjang tertahan uap air atau mendung yang
menggantung di atmosfer. Namun H2O tidak diperhitungkan sebagai GRK yang efektif dan
tidak dipergunakan dalam prediksi perubahan iklim karena keberadaan atau masa hidup (life
time) H2O sangat singkat (9.2 hari). Tiga jenis gas yang paling sering disebut sebagai GRK
utama adalah CO2, CH4 dan N2O, karena akhir-akhir ini konsentrasinya di atmospher terus
meningkat hingga dua kali lipat (IPCC, 2007). Ketiga jenis GRK tersebut mempunyai masa
hidup cukup panjang Tabel 1. Dari ketiga GRK tersebut gas CO2 merupakan gas yang paling
pesat laju peningkatnya dan masa hidupnya paling panjang, walaupun kemampuan radiasinya
lebih rendah dari pada ke dua gas lainnya.


Kejadian pemanasan bumi tersebut sama dengan kondisi di dalam rumah kaca yang
memungkinkan sinar matahari untuk masuk tetapi energi panas yang keluar sangat sedikit,
sehingga suhu di dalam rumah kaca sangat tinggi. Dengan demikian pemanasan global yang
terjadi disebut juga Efek Rumah Kaca dan gas yang menimbulkannya disebut Gas Rumah Kaca
(GRK) dan untuk memudahkan perhitungan dalam penurunan emisi, semua gas dinyatakan
dalam ekivalen terhadap CO2.
Dampak dari pemanasan global terhadap lingkungan dan kehidupan, dapat dibedakan menurut
tingkat kenaikan suhu dan rentang waktu. Bila suhu bumi meningkat hingga 3 oC, diramalkan
sebagian belahan bumi akan tenggelam, karena meningkatnya muka air laut akibat melelehnya es
di daerah kutub, misalnya Bangladesh akan tenggelam. Bencana tsunami akan terjadi lagi di
beberapa tempat, kekeringan dan berkurangnya beberapa mata air, kelaparan dimana-mana.
Akibatnya banyak penduduk dari daerah-daerah yang terkena bencana akan mengungsi ke
tempat lain. Peningkatan jumlah pengungsi di suatu tempat akan berdampak terhadap stabilitas
sosial dan ekonomi, kejadian tersebut sudah sering kita dengar terjadi di Indonesia paska
bencana.
Perubahan yang lain adalah meningkatnya intensitas kejadian cuaca yang ekstrim, serta
perubahan jumlah dan pola presipitasi. Perubahanperubahan tersebut akan berpengaruh terhadap
hasil pertanian, berkurangnya salju di puncak gunung, hilangnya gletser dan punahnya berbagai
jenis flora dan fauna. Akibat perubahan global tersebut akan mempengaruhi kebijakan

pemerintah dalam perencanaan dan pengembangan wilayah, pengembangan pendidikan dan
sebagainya. Guna menghindari terjadinya bencana besar yang memakan banyak korban, para
ilmuan telah bekerja keras membuat beberapa prakiraan mengenai dampak pemanasan global.
Masyarakat seluruh dunia akan terkena dampak perubahan iklim. Tetapi negara dan masyarakat
miskinlah yang paling rawan terkena dampaknya. Negara kepulauan kecil dan negara
berkembang yang merupakan penyumbang terkecil pada emisi GRK, justru akan mengalami
dampak paling besar dan paling tidak siap menghadapi perubahan iklim. Sebagai contoh, negaranegara pulau kecil di Pasifik hanya menyumbangkan 0.06% dari total emisi seluruh dunia, tetapi
akan menjadi korban paling pertama akibat naiknya permukaan air laut. Demikian pula,
masyarakat miskin di pesisir yang akan menjadi korban terlebih dahulu.

Indonesia, sebagai salah satu negara tropis akan paling menderita terkena dampak pemanasan
global. Dampak pemanasan global di lapangan ditandai dengan munculnya bencana alam
terutama berkaitan dengan adanya penurunan sumber daya alam (SDA) baik ditingkat plot,
lansekap/nasional dan global, yang penanganannya memerlukan pemahaman yang mendalam.
Penurunan SDA yang umum dihadapi di tingkat nasional umumnya berhubungan dengan (1) Air
baik kuantitas maupun kualitasnya, (2) Biodiversitas fauna dan flora, (3) Keindahan lansekap,
dan (4) Kualitas udara.
Dampak-dampak tersebut di atas memang sering dikatakan sebagai ”diperkirakan”, tetapi
perubahan pola cuaca, intensitas hujan dan musim kering, serta peningkatan bencana sudah
mulai kita rasakan sekarang, tidak perlu menunggu 2030 atau 2050. Kalau peningkatan suhu

rata-rata bumi tidak dibatasi pada 2oC maka dampaknya akan sulit dikelola manusia maupun
alam!
Mengatasi Pemanasan Global
Guna menangani masalah pemanasan global (terutama yang terkait efek gas rumah kaca-GRK),
yang memang telah terjadi dan berlangsung berkepanjangan di masa yang akan datang, maka
langkah penanggulangan yang perlu dilakukan adalah:
1. Inventori
Pada tahap ini dilakukan upaya untuk mengetahui besar dan sumber emisi GRK pada
periode tertentu.
2. Mitigasi
Mitigasi adalah usaha menekan penyebab perubahan iklim, seperti gas rumah kaca dan
lainnya agar resiko terjadinya perubahan iklim dapat diminimalisir atau dicegah. Pada tahap
mitigasi dilakukan upaya untuk menurunkan emisi GRK dari segi sumber emisi (source) maupun
penyediaan wadah (sink) sehingga dapat meredam pemanasan dan perubahan iklim global.
Upaya mitigasi dalam bidang energi di Indonesia, misalnya dapat dilakukan dengan cara
melakukan efisiensi dan konservasi energi, mengoptimalkan penggunaan energi terbarukan,
seperti biofuels, energi matahari, energi angin dan energi panas bumi, efisiensi penggunaan
energi minyak bumi melalui pengurangan subsidi dan mengoptimalkan energi pengganti minyak
bumi, dan penggunaan energi Nuklir.
Contoh upaya mitigasi yang lain dalam upaya mengurangi dampak perubahan iklim

terhadap sumber daya air antara lain; Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) dengan penaburan
material semai (seeding agent) berupa powder atau flare, usaha rehabilitasi waduk dan embung,
alokasi air melalui operasi waduk pola kering, pembangunan jaringan irigasi, penghijauan lahan
kritis dan sosialisasi gerakan hemat air, peningkatan kehandalan sumber air baku, peningkatan
pembangunan Instalasi Pengolahan Air (IPA), pengembangan teknologi pengolahan air tepat
guna, pembangunan dan rehabilitasi waduk dan embung serta pembangunan jaringan irigasi.
Mitigasi dilakukan untuk memperoleh level emisi tertentu dengan mengganti teknologi
yang sudah ada dengan teknologi yang baru. Teknologi untuk mitigasi GRK ada 2 kategori: (i)
Untuk sisi penawaran dapat dilakukan dengan menggunakan sistem konversi yang lebih efisien,
mengubah bahan bakar dari energi yang mempunyai emisi tinggi menjadi energi yang
mempunyai emisi rendah, dan meningkatkan penggunaan energi terbarukan; (ii) Untuk sisi

permintaan dapat melalui demand side management dan penggunaan peralatan yang lebih
efisien.
Energi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga air dan panas bumi mempunyai
kelebihan sebagai pilihan untuk mitigasi gas rumah kaca. Energi terbarukan dapat
membangkitkan tenaga listrik tanpa melalui pembakaran tidak seperti pada penggunakan energi
fosil. Pembangkit listrik tenaga air dapat dikatakan bebas dari emisi gas rumah kaca, sedangkan
pembangkit listrik tenaga panas bumi hanya menghasilkan seperenam dari emisi gas rumah kaca
yang dihasilkan dari penggunaan gas alam untuk pembangkit listrik.

Studi tentang mitigasi gas rumah kaca di Indonesia sudah banyak dilakukan. Secara garis
besar mitigasi yang dapat dilakukan untuk sektor pengguna energi ditunjukkan pada Tabel 2.

2. Adaptasi
Daya adaptasi terhadap perubahan iklim adalah kemampuan suatu sistem untuk
menyesuaikan diri dari perubahan iklim (termasuk di dalamnya variabilitas iklim dan variabilitas
ekstrem) dengan cara mengurangi kerusakan yang ditimbulkan, mengambil manfaat atau
mengatasi perubahan dengan segala akibatnya. Menurut Murdiyarso (2001), adaptasi terhadap
perubahan iklim adalah salah satu cara penyesuaian yang dilakukan secara spontan maupun
terencana untuk memberikan reaksi terhadap perubahan iklim. Dengan demikian adaptasi
terhadap perubahan iklim merupakan strategi yang diperlukan pada semua skala untuk
meringankan usaha mitigasi dampak. Adaptasi terhadap perubahan iklim sangat potensial untuk
mengurangi dampak perubahan iklim dan meningkatkan dampak manfaat, sehingga tidak ada
korban.
Pada tahap adaptasi ini dilakukan penyesuaian sistem produksi maupun perubahan
perilaku kedalam program-program baik jangka pendek, menegah dan panjang dalam rangka
mengimplementasikan mitigasi GRK. Pengalaman menunjukan bahwa banyak strategi adaptasi
dapat memberikan manfaat baik dalam penyelesaian jangka pendek dan maupun jangka panjang,
namun masih ada keterbatasan dalam implementasi dan keefektifannya. Hal ini disebabkan daya
adaptasi yang berbeda-beda berdasarkan daerah, negara, maupun kelompok sosial-ekonomi.


Negara dengan sumberdaya ekonomi terbatas, tingkat teknologi rendah, informasi dan keahlian
rendah, infrastruktur buruk, institusi lemah, ketidakadilan kekuasaan, kapasitas sumber daya
terbatas; adalah memiliki kemampuan adaptasi yang lemah dan rentan terhadap perubahan iklim.
Berlaku hal yang sebaliknya bagi Negara dengan sumberdaya ekonomi tinggi, tingkat teknologi
tinggi, informasi dan keahlian tinggi, infrastruktur baik, institusi kuat, berkeadilan dalam
kekuasaan, kapasitas sumber daya melimpah.

Lapisan Ozon
Pengertian lapisan Ozon.
Apakah itu Ozon? Ozon adalah gas yang secara alami terdapat di atmosfir, unsur kimia
yang terkandung dalam partikel ozon adalah tiga buah oksigen (O3). Sedangkan keberadaan
ozon sendiri di alam terdapat di dua wilayah atmosfer. Ozon di troposfer (sekitar 10 s/d 16 km dr
permukaan bumi ) sayangnya kandungan pada lapisan ini hanya 10%. Sedangkan selebihnya
berada di lapisan stratosfir (50km dr puncak troposfer) disini kandungan ozon mencapai 90%.
Maka seringkali disebut lapisan ozon, karena memiliki kandungan 03 (ozon) yang paling banyak.
Pertanyaannya kemudian bagaimana jika lapisan ozon menipis?, “ Menipisnya lapisan
ozon menyebabkan meningkatnya radiasi ultraviolet matahari terutama UV-B yang mampu
mencapai permukaan bumi”. Dari data dan pengamatan kondisi ozon di atmosfir kondisi dari
bulan Oktober 1980 sampai dengan Oktober 1991 kondisi lubang pada lapisan ozon makin

memprihatinkan dan makin membesar, hampir sebesar benua Australia. Kondisi terbaru
memang sudah lebih baik menurut data per – 9 September 2011 minimum 164 DU terletak di
lokasi 76 derajat selatan dan 108 derajat sebelah barat dengan luas sekitar 18.12 million km2
dan kehilangan partikel ozon sebesar 8.14 megatron. Dari foto satelit lubang ozon di kutub utara
masih terlihat terjadi penipisan. penipisan itu berada di sekitar Rusia dan Skandinivia, selain
yang juga terlihat di Australia.

Banyaknya Bahan Perusak Ozon (BPO) Disekeliling Kita
Bahan Perusak Ozon masuk ke Indonesia melalui impor, karena bahan ini diperlukan
oleh industri baik untuk manufaktur AC/Refrigerasi dan Industri Busa, maupun untuk kegiatan
servis produk (barang) yang menggunakan BPO. Umumnya penggunaan Chlorofluorocarbon
(CFC) dan Hydro Chlorofluorocarbon (HCFC) sebagian untuk membantu daya semprot pada
peralatan kosmetik (cth. hairspray), semprot nyamuk, peralatan pemeliharaan otomotif,
pembersih rumah, cat semprot dan alat kesehatan.
Selain itu, CFC dan HCFC dipergunakan untuk membuat busa pelapis insulasi panas
yang digunakan untuk menahan panas agar tidak masuk kedalam lemari pendingin dan
mencegah dingin tidak keluar dari peralatan pendingin. Penggunaan CFC dan HCFC pada
pembuatan busa sol sepatu, tempat tidur, jok kursi dan stereoform pada wadah makanan. Selain
CFC dan HCFC, dikenal pula istilah halon, penggunaan halon untuk bahan pemadam kebakaran
dan masih banyak seperti dibawah ini;

1. Penggunaan BPO CFC dan HCFC sebagai bahan pendingin padaAC,
2. Penggunaan BPO CFC dan HCFC sebagai bahan pendingin untuk Refrigerasi.
3. Penggunaan CFC-11 sebagai bahan pengembang tembakau pada rokok rendah tar.
4. Penggunaan BPO : CFC, HCFC, CTC dan TCA untuk bahan pelarut digunakan sebagai
bahan untuk membantu membersihkan peralatan.
5. Penggunaan BPO Methil Bromida untuk fumigasi hama
Permasalahan selain merusak lapisan ozon, BPO yang terlepas ke atmosfir memberikan
kontribusi terhadap pemanasan global dengan adanya emisi CO2. Semakin banyaknya peralatan
yang menggunakan BPO semakin besar tantangan untuk mencegah terjadinya emisi yang
merusak lapisan ozon dan menyebabkan pemanasan global. Oleh sebab itu penangan barangbarang bekas yang memiliki BPO dalam sistemnya menjadi penting diperhatikan.

Upaya Pencegahan.
Di Indonesia halon yang bekas pakai dapat ditampung di Halon Bank yang terdapat di Garuda
Maintenance Facilities. Pada fasilitas ini Halon dapat dikumpulkan dan dimurnikan sehingga
dapat dipergunakan kembali untuk penggunaan kritis.

Upaya Perlindungan Ozon
Sebenarnya upaya sudah dilakukan oleh masyarakat Internasional misalnya dengan
adanya Konvensi Wina (Vienna Convention – 1985) yang membahas lebih rinci mengenai
perlindungan lapisan ozon. Pertemuan ini sudah sampai pada pertemuan yang ke 9 atau yang

dikenal dengan COP-9. Sedangkan Protokol Montreal 1987 yang membahas langkah-langkah
untuk membatasi produksi dan konsumsi bahan-bahan kimia perusak lapisan ozon. Sudah sering
kali dilakukan, sampai tahun ini MOP sudah yang ke 23 kali pertemuannya dilakukan.
Pemerintah Indonesia sudah berupaya menjalankan tugas dan kewajibannya
melaksanakan penghapusan BPO secara bertahap melalui:
1. Pengurangan impor BPO secara bertahap
2. Alih teknologi untuk menghentikan penggunaan BPO.
3. Mengelola BPO yang beredar di Indonesia.
4. Mencegah terlepasnya emisi BPO terlepas ke atmosfir.
5. Meningkatkan kesadaran dan peran serta seluruh pemangku kepentingan.
Dari upaya itulah, Indonesia sukses menghentikan konsumsi BPO jenis : Chlorofluorocarbon
(CFC), Metil Bromida , Halon, Carbon Tetra Chloride (CTC) dan methylchloroform (TCA)
semenjak Desember 2007 melalui: (a) Penetapan regulasi dan kebijakan nasional; (b) Melakukan
pengawasan impor BPO; (c) Kerjasama antar instansi pemerintah, dunia usaha dan Perguruan
Tinggi; dan (d) Melakukan sosialisasi dan upaya peningkatan kapasitas semua pihak. Hasilnya
8,989 Metrik Ton CFC telah di phase-out pada akhir 2007, dua tahun lebih awal dari pada target
Protokol Montreal. Selain itu Indonesia telah sukses menghentikan impor BPO seperti Halon,
CTC, TCA, Metil Bromida untuk aplikasi fumigasi pergudangan dan semua jenis CFC semenjak
Desember 2007.
Beberapa kebijakan dikeluarkan antara lain; Hanya BPO jenis HCFC yang masih dapat

diimpor dan dalam waktu dekat akan segera diatur importasi dan penggunaannya.
Keberhasilan mem-phase-out sebanyak 8,989 Metrik Ton CFC pada tahun 2007, Indonesia
dinilai berhasil karena telah menghapuskan konsumsi CFC lebih cepat dua tahun dari pada target
Protokol Montreal.
Keberhasilan Indonesia diatas tidak sampai disitu saja, beberapa rencana Kedepan terus
digagas. Antara lain; Implementasi HPMP 2011 – 2018. Rencana Kedepan adalah melaksanakan
HCFC Phase-out Management Plan (HPMP) atau Penghapusan konsumsi HCFC.
Untuk mencapai target pemerintah Indonesia menghapus konsumsi HCFC secara
bertahap pada Freeze, pada baseline level pada tahun 2013 dengan kriteria baseline : Rata-rata
konsumsi 2009 dan 2010. Selanjutnya; 10 % pengurangan impor tahun 2015, 35% pengurangan
impor tahun 2020, 67.5 % pengurangan impor tahun 2025, 97.5 % pengurangan impor tahun
2030. Upaya penghapusan HCFC ini akan diimplementasikan secara bertahap mulai dari tahun
2013 sebagai masa pembekuan konsumsi, yaitu kembali kepada angka baseline rata-rata
konsumsi tahun 2009 dengan 2010; kemudian pengurangan konsumsi HCFC sebesar 10% dari
baseline pada tahun 2015, pengurangan konsumsi sebesar 35% konsumsi pada tahun 2020,
pengurangan sebesar 67.5% pada tahun 2025 dan pengurangan sebesar 97.5% pada tahun 2030.

Langkah-langkah yang akan dilakukan.
Langkah-langkah dalam menjalankan program HCFC Phase-out Management Plan
(HPMP) Periode Tahun 2011 -2013 dengan cara; Sosialisasi ke pemangku kepentingan pusat

dan daerah, Penurunan/pencegahan pertumbuhan konsumsi HCFC, Pembuatan peraturan kendali
import HCFC, Pembuatan peraturan penggunaan HCFC di sektor manufaktur, Pembuatan
peraturan import produk yang mengandung HCFC, Pengembangan sistem dan mekanisme
pemberian bantuan Incremental Capital Cost, Incremental perational Cost, dan Technical
Assistances; monitoring, audit dan evaluasi pemberian bantuan pada manufaktur.
Sedangkan untuk periode Tahun 2015 – 2018 dilakukan Implementasi investasi untuk
Incremental Capital Cost, Incremental Operation Cost, dan Technical Assistances.
Implementasi monitoring, audit dan evaluasi dan Penyusunan proposal HPMP tahap 2: 2018 –
2025 (2030)
Pemerintah Indonesia menjadi Tuan Rumah Pertemuan Negara Pihak – 9th Conference of
the Parties to Vienna Convention for the Protection of Ozone Layer dan 23rd Meeting of the
Parties to the Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer yang
diselenggarakan di Bali, tanggal 21-25 November 2011 dengan tempat : Bali Nusa Dua
Convention Center. Agenda yang dibahas antara lain, Preparatory segment : 21 – 23 November
2011 – 9th COP dan 23rd MOP. High-level segment : 24 -25 November 2011 – Adoption of
Decisions for 9th COP dan 23rd MOP dengan isu; “ Sustained mitigation of ODS emissions from
feedstock and process agent uses”, “Environmentally sound disposal of ODS”, “ Treatment of
ODS used to service ships” , “ Use of Methyl Bromide” , “Proposed amendments to the
Montreal Protocol” – terkait dengan HFC yang akan digunakan sebagai pengganti BPO namun
berpotensi tinggi untuk pemanasan global, “Phase out of HCFC-23 by-product emissions. “

Hidrokarbon – alternatif pengganti BPO
Harapan kedepan dari upaya tersebut adalah menjadikan Hidrokarbon salah satu
alternative pengganti BPO, yang tidak memiliki potensi merusak ozon dan rendah potensi
pemanasan globalnya. Pertamina pada saat ini sedang mengembangkan produk Hidrokarbon
sebagai pengganti CFC dan HCFC sebagai bahan pendingin di AC maupun refrigerasi.

Peran Masyarakat (konsumen)
Semua usaha pemerintah tidak akan berhasil tanpa dukungan masyarakat, oleh sebab itu
pemerintah menghimbau untuk tidak Membeli produk-produk yang mengandung BPO.
Melakukan pemeliharan AC rumah tangga, lemari pendingin pada bengkel service yang telah
tersertifikas. Mensosialisasikan dampak lingkungan akibat pelepasan BPO ke atmosfer secara
langsung. Melakukan pengawasan secara langsung terhadap distribusi dan penggunaan BPO di
masyarakat.

Dampak Pada Kesehatan
Beberapa dampak positif dari sinar ultraviolet antara lain: (1) sebagai penghangat; (2)
pembentukan vitamin D untuk tulang; (3) membasmi & membunuh bakteri; (3) energi bagi
tumbuhan; (4) menghilangkan depresi, oleh sebab itu disarankan untuk “sering” berjemur secara
sehat di pagi hari selama 30 menit. Untuk mendapatkan vitamin D dan agar tak gampang
terserang osteoporosis. Itupun disarankan hanya pada muka dan tanggan saja dan hanya
dilakukan di pagi hari.

Permasalahanya jika lapisan menyaring yaitu O3 (Ozon) tidak dalam kondisi baik hal itu
perlu diwaspadai, terutama Ultraviolet B yang nenembus lapisan kulit dan dapat penyebab
kanker dan kerusakan mata secara permanen. Beberapa dampak negatif dari sinar ultraviolet bagi
tubuh yaitu: (1) Katarak; (2) penurunan imunitas tubuh sehingga mudah terserang penyakit; (3)
dan kanker kulit. Misalnya saja di Punta Arenas, Chili terjadi peningkatan kasus kanker kulit
sebesar 66% selama 1994 – 2004, di Australia 1000 kasus per 100.000 orang/thn KSB dan KSS
(Georgouras dkk. Aust J Dermatol 1997;38(Suppl):S79-S82), Sinar ultraviolet juga dapat
menyebabkan, Kelainan retina ‘Age macular degeneration’ dan penuaan dini. Pakar kesehatan
mengungkapkan dampak penipisan ozon akibat peri laku manusia yang mengakibatkan berbagai
dampak kesehatan bagi manusia. WHO pada tahun 2007 sendiri mengumumkan 90% kanker
kulit karena sinar matahari.

Cara Pencegahan langsung dampak Sinar Ultraviolet
Beberapa tips mencegar paparan langsung dari dampak negatif sinar Ultraviolet:
1. Menghindari berjemur dibawah sinar matahari yang terik pada jam 10 – 16 sore.
2. Waspadai SUNBURN respon inflamasi kulit normal yang bersifat akut, lambat dan
sementara setelah terjadinya paparan oleh sinar UV. Ditandai dgn eritema pd kulit, jika
berat dapat terbentuk vesikel, bula, terjadi edema & nyeri.
3. Menggunakan baju yg mampu menangkal sinar UV (Bahan pakaian terdiri dari SPF 15 –
50 (Georgouras dkk. Aust J Dermatol1997;38(Suppl):S79-S82 yang aman bagi tubuh).
4. Penggunaan Tabir Surya Topikal terbukti mampu menjadi induksi solar keratosis & KSS.
Menggunakan kacamata, topi dan payung pada puncak sinar matahari yaitu pada pukul
10.00 s/d 16.00. (ry)