Kajian Sosiologi Hukum Terhadap Anak Yan
Kajian Sosiologi Hukum Terhadap Anak
Yang Melakukan Tindak Pidana Pemerkosaan
1. Kajian Normatif
Anak adalah karunia yang terbesar bagi keluarga, agama,
bangsa, dan negara. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
anak adalah penerus cita-cita bagi kemajuan suatu bangsa. Hak
asasi anak dilindungi di dalam Pasal 28 (B)(2) UUD 1945 yang
berbunyi setiap anaka berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh
dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi. Menurut UU Kesejahteraan, Perlindungan, dan
Pengadilan anak pengertian anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Anak merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang
dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia
seutuhnya. Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang
patut dijunjung tinggi dan setiap anak yang terlahir harus
mendapatkan hak haknya tanpa anak tersebut meminta. Hal ini
sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the
Rights of the Child ) yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia
melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian
juga dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak yang kesemuanya
mengemukakan prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu
non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan
hidup dan tumbuh kembang, dan menghargai partisipasi anak.
Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus
cita-cita perjuangan bangsa dan merupakan sumber daya
manusia bagi pembangunan nasional kedepan. Oleh karena itu
diperlukan pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan
hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial
a.
b.
c.
d.
serta
perlindungan
dari
segala
kemungkinan
yang
membahayakan atau merusak masa depan anak.
Pemerkosaan dalam kamus hukum adalah memperkosa,
perempuan yang bukan istrinya, bersetubuh dengan dia.
Pemerkosaan terhadap anak biasanya dilakukan dimana pelakur
memaksa untuk melakukan hubungan seksual dengan
mengancam dan memperlihatkan kekuatannya kepada anak.
Tetapi perlu ditekankan pemerkosaan terhadap anak bukan
hanya karena ada unsur pemaksaan tetapi dapat juga karena
adanya unsur suka sama suka.
Secara garis besar terdapat 5 (lima) tipe tindak pidana
pemerkosaan, (Bagong Suyanto, 2003:14) yaitu:
Sadictic rape (perkosaan sadis), yang memadukan seksualitas
dan agresi dalam bentuk kekerasan destruktif. Pelaku menikmati
kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksualnya
melainkan serangan yang mengerikan atas kelamin dan tubuh
korban.
Anger rape, yaitu perkosaan sebagai pelampiasan kemarahan
atau sebagai sarana menyatakan dan melepaskan perasaan
geram dan amarah yang tertekan. Tubuh korban seakan
dijadikan objek terhadap siapa pelaku memproyeksikan
pemecahan kesulitan, kelemahan, frustasi, dan kekecewaan
hidupnya.
Domination rape, yaitu perkosaan karena dorongan keinginan
pelaku menunjukan kekuasaan atau superioritasnya sebagai
lelaki terhadap perempuan dengan tujuan utama pemakhlukan
seksual.
Seductive rape, yaitu perkosaan karena dorongan situasi
merangsang yang diciptakan kedua belah pihak. Pada mulanya
korban memutuskan untuk membatasi keintiman personal, dan
sampai batas-batas tettentu bersikap permissive (membolehkan)
perilaku pelaku asalkan tidak sampai melakukan hubungan
seksual. Namun karena pelaku beranggapan bahwa perempuan
pada umumnya membutuhkan paksaan dan tanpa itu dia merasa
gagal, maka terjadilah perkosaan.
e.
Exploitation rape, yaitu perkosaan yang terjadi karena
diperolehnya keuntungan atau situasi di mana perempuan
bersangkutan dalam posisi tergantung padanya secara ekonomi
dan sosial.
Kejahatan yang dimaksudkan diatas adalah dirumuskan dalam
KUHP Pasal 287 yang selengkapnya sebagal berikut:
a.
Barang siapa bersetubuh dengan seorang perempuan di luar
perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduga
bahwa umumya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya
tidak jelas, bahwa Ia belum waktunya untuk kawin, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
b. Penuntutan hanya dilakukan atas pangaduan, kecuali jika
perempuan itu belum sampai dua belas tahun atau jika ada satu
hal berdasarkan Pasal 291 dan Pasal 294.
a.
1)
2)
3)
Apabila rumusan Pasal 287 ayat 1 dirinci, terdapat unsur-unsur
sebagai berikut:
Unsur-unsur objektif:
Perbuatannya: bersetubuh
Artinya pemerkosaan terhadap anak terjadi karena ada
persetubuhan yang terjadi baik diluar kehendak korban maupun
didalam kehendak korban sendiri (suka sama senang). Atas dasar
suka sama senang korban anak tersebut tidak dipidana kecuali
anak tersebut mengetahui bahwa pelaku sudah brsuami,
sehingga anak tersebut dapat dipidana dengan 284 KUHP (Adami
Chazawi:2005,71)
Objek: dengan perempuan di luar kawin.
Artinya perempuan diluar kawin
Yang umurnya belum 15 tahun; atau jika umurnya tidak jelas
dan belum waktunya untuk kawin.
b.
a)
1)
2)
Adapun indikator anak yang belum waktunya disetubuhi ini
ada pada bentuk fisik dan psikis. Bentuk fisik terlihat pada wajah
dan tubuhnya yang masih anak-anak, seperti tubuh anak-anak
pada umumnya, belum tumbuh buah dada atau belum tumbuh
rambut kemaluannya, atau mungkin belum datang haid. Adapun
bentuk psikis dapat dilihat pada kelakuannya, misalnya masih
senang bermain seperti pada umumnya anak belum berumur
lima belas tahun.
Unsur Subjektif:
Diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya
belum 15 tahun. Dalam kejahatan ini dirumuskan unsur
kesalahannya, yang berupa: Kesengajaan, yakni diketahuinya
umurnya belum lima belas tahun dan kealpaan, yakni sepatutnya
harus diduganya umurnya belum lima belas tahun atau jika
umurnya tidak jelas, belum waktunya untuk kawin.
Adapun ancaman pidana kejahatan pemerkosaan terhadap anak
dibawah umur menurut Undang-Undang Perlindungan Anak
Nomor 23 Tahun 2002 diatur dalam Pasal 81 ayat (2) sebagai
berikut:
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (Jima belas) tahun dan paling singkat 3
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga
ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,- (enam
puluh juta rupiah)
Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku
pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu
muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
2. Kajian Filosofis
Dalam tataran teori hukum, sebagai tataran abstraksi yang
lebih tinggi dibanding ilmu hukum, ia mewujudkan peralihan ke
filsafat hukum. Teori hukum merefleksi objek dan metode dari
berbagai bentuk ilmu hukum. Karena itu ia dapat juga dipandang
sebagai suatu jenis filsafat ilmu dari ilmu hukum.
Filsafat hukum bertugas merefleksi semua masalah
fundamental yang berkaitan dengan hukum, dan tidak
hanya merefleksi hakikat dan metode dari ilmu hukum
atau ajaran metode. dapat dijelaskan pada berikut ini.
Dalam kasus-kasus tindak pidana anak yang dalam
bahasa sosiologi- psikologinya disebut sebagai kenakalan
anak dapat dipahami bahwa apabila dilihat dari tataran
refleksi teoritikan atas gejala hukum seperti yang
diungkapkan oleh Meuwissen, Dalam Konsideran UU No. 3
tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dirumuskan bahwa:
a. anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah
satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan
penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki
peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus,
memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka
menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental,
dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang;
b. untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan
perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan, baik
yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat
hukum yang lebih mantap dan memadai, oleh karena itu
ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan bagi
anak perlu dilakukan secara khusus;
Apa yang dirumuskan tersebut kemudian diperjelas
dalam Penjelasan UU yang salah satu alenianya
menguraikan bahwa “Mengingat ciri dan sifat anak yang
khas tersebut, maka dalam menjatuhkan pidana atau
tindakan terhadap Anak Nakal diusahakan agar anak
dimaksud jangan dipisahkan dari orang tuanya. Apabila
karena hubungan antara orang tua dan anak kurang baik,
atau karena sifat perbuatannya sangat merugikan
masyarakat, sehingga perlu memisahkan anak dari orang
tuanya, hendaklah tetap dipertimbangkan bahwa
pemisahan tersebut semata-mata demi pertumbuhan dan
perkembangan anak secara sehat dan wajar”.
Yang dapat ditarik dari uraian di atas, bahwa dalam
menghadapi perilaku kenakalan yang dilakukan oleh
anak, secara fiilsafati dipahami bahwa penjatuhan sanksi
berupa pemisahan dari orangtua (pidana perampasan
kemerdekaan/penjara) terhadap anak tersebut adalah
sebagai upaya terakhir, dengan tetap memperhatikan apa
yang dibutuhkan oleh anak. Oleh karena itu, “asas
semata-mata demi kepentingan anak” adalah asas yang
paling urgen dalam menyelesaikan kasus-kasus kenakalan
anak. Hal ini dilatarbelakangi dan dipengaruhi oleh
pemikiran filsafat pemidanaan yang disebut filsafat
determinisme. Filsafat determinisme adalah filsafat yang
menyatakan bahwa terhadap anak yang melakukan
kenakalan
(kejahatan)
harus
dipahami
bahhwa
penjatuhan sanksi terhadap mereka dilandaskan pada
pemikiran bahwa perilaku tersebut sangat tergantung
pada kondisi “ciri dan sifat khusus” yang disandang
mereka. Artinya, pemaknaan sanksi hukuman tidak sama
dengan sanksi yang diberikan terhadap orang dewasa
yang melakukan kejahatan, karena anak melakukan
kenakalan
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan
sepenuhnya – karena atas landasan kesalahan tidak
ditemukan secara utuh - tidak seperti halnya orang
dewasa.
Filsafat hukum merupakan refleksi filosofis mengenai
landasan hukum. Dengan kata lain, filsafat hukum
sebagai jiwa yang kemudian terefleksi ke dalam teoriteori hukum, dogmatika hukum dan kemudian sampai
pada praktik hukum. Menyangkut ilmu hukum pidana
anak, ternyata jiwa yang ada dalam filsafat pemidanaan
yaitu filsafat determinisme – sebagai ujud dari filsafat
hukum – telah secara benar direfleksikan ke dalam
pengembangan teori-teori pertanggung-jawaban pidana
anak yang melakukan kenakalan. Bahwa terhadap anak
yang
melakukan
kenakalan
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan secara penuh seperti halnya
orang dewasa yang melakukan kejahatan. Pemahaman
demikian kemudian secara eksplisit dirumuskan dalam UU
No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang
mengatur bahwa terhadap anak tersebut dapat
dijatuhkan sanksi berupa sanksi Pidana atau sanksi
Tindakan. Asas yang paling mendasar bahwa pemberian
sanksi terhadap anak, harus memperhatikan keberadaan
anak sebagai manusia yang mempunyai “ciri dan sifat
khusus”. Walaupun telah diatur demikian, namun dalam
praktiknya dijumpai terhadap anak yang melakukan
kenakalan, pemberian sanksi oleh penegak hukum
lebih dilandasi oleh alam fikiran normative-legalistik,
karena kenyataannya sanksi yang paling banyak
dijatuhkan adalah sanksi Pidana berupa pidana Penjara,
yang sebenarnya bentuk sanksi yang paling dihindari
terhadap anak. Artinya, filsafat determinisme yang
menjiwai teori dan dogmatika hukum dalam kasus anak,
tidak diimplementasikan/dioperasionalkan secara baik
oleh aparat pemutus perkara (hakim).
3. Kajian Empiris/Sosiologi
Anak merupakan kelompok yang sangat rentan dan unik, baik
fisik maupun mental, maka dibutuhkan mekanisme yang
independen untuk melindungi dan mendukung hak-hak mereka.
Oleh karena kerentanan atau kelemahan jiwa anak, maka harus
mendapat pembinaan, perlindungan dan pengawasan secara
intensif dan berkesinambungan untuk menjunjung kualitas jiwa
anak itu sendiri dalam melakukan pembinaan, pengembangan
dan perlindungan anak perlu peran serta masyarakat, Lembaga
keagamaan, Lembaga swadaya masyarakat, Organisasi sosial,
Dunia usaha, Media Masa dan Lembaga Pendidikan.
Faktor-faktor anak melakukan tindak pidana pemerkosaan
adalah tidak terlepas dari faktor internal yaitu dari dalam diri
pelaku dan peranan korban itui sendiri, seperti faktor kejiwaan
atau emosional karena pelaku telah dipengaruhi oleh perasaan
nafsunya sedangkan akal dan pikirannya tidak berfungsi untuk
mengendalikan perasaan nafsunya sehingga dalam keadaan
demikian ia melakukan tindak pidana perkosaan tersebut.
Sedangkan faktor eksternal yaitu faktor dari luar diri pelaku yaitu
faktor lingkungan, faktor kurangnya perhatian dan kontrol dari
keluarga dan hubungan soisal atau kepada masyarakat yang
buruk.
Yang Melakukan Tindak Pidana Pemerkosaan
1. Kajian Normatif
Anak adalah karunia yang terbesar bagi keluarga, agama,
bangsa, dan negara. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
anak adalah penerus cita-cita bagi kemajuan suatu bangsa. Hak
asasi anak dilindungi di dalam Pasal 28 (B)(2) UUD 1945 yang
berbunyi setiap anaka berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh
dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi. Menurut UU Kesejahteraan, Perlindungan, dan
Pengadilan anak pengertian anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Anak merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang
dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia
seutuhnya. Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang
patut dijunjung tinggi dan setiap anak yang terlahir harus
mendapatkan hak haknya tanpa anak tersebut meminta. Hal ini
sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the
Rights of the Child ) yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia
melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian
juga dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak yang kesemuanya
mengemukakan prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu
non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan
hidup dan tumbuh kembang, dan menghargai partisipasi anak.
Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus
cita-cita perjuangan bangsa dan merupakan sumber daya
manusia bagi pembangunan nasional kedepan. Oleh karena itu
diperlukan pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan
hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial
a.
b.
c.
d.
serta
perlindungan
dari
segala
kemungkinan
yang
membahayakan atau merusak masa depan anak.
Pemerkosaan dalam kamus hukum adalah memperkosa,
perempuan yang bukan istrinya, bersetubuh dengan dia.
Pemerkosaan terhadap anak biasanya dilakukan dimana pelakur
memaksa untuk melakukan hubungan seksual dengan
mengancam dan memperlihatkan kekuatannya kepada anak.
Tetapi perlu ditekankan pemerkosaan terhadap anak bukan
hanya karena ada unsur pemaksaan tetapi dapat juga karena
adanya unsur suka sama suka.
Secara garis besar terdapat 5 (lima) tipe tindak pidana
pemerkosaan, (Bagong Suyanto, 2003:14) yaitu:
Sadictic rape (perkosaan sadis), yang memadukan seksualitas
dan agresi dalam bentuk kekerasan destruktif. Pelaku menikmati
kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksualnya
melainkan serangan yang mengerikan atas kelamin dan tubuh
korban.
Anger rape, yaitu perkosaan sebagai pelampiasan kemarahan
atau sebagai sarana menyatakan dan melepaskan perasaan
geram dan amarah yang tertekan. Tubuh korban seakan
dijadikan objek terhadap siapa pelaku memproyeksikan
pemecahan kesulitan, kelemahan, frustasi, dan kekecewaan
hidupnya.
Domination rape, yaitu perkosaan karena dorongan keinginan
pelaku menunjukan kekuasaan atau superioritasnya sebagai
lelaki terhadap perempuan dengan tujuan utama pemakhlukan
seksual.
Seductive rape, yaitu perkosaan karena dorongan situasi
merangsang yang diciptakan kedua belah pihak. Pada mulanya
korban memutuskan untuk membatasi keintiman personal, dan
sampai batas-batas tettentu bersikap permissive (membolehkan)
perilaku pelaku asalkan tidak sampai melakukan hubungan
seksual. Namun karena pelaku beranggapan bahwa perempuan
pada umumnya membutuhkan paksaan dan tanpa itu dia merasa
gagal, maka terjadilah perkosaan.
e.
Exploitation rape, yaitu perkosaan yang terjadi karena
diperolehnya keuntungan atau situasi di mana perempuan
bersangkutan dalam posisi tergantung padanya secara ekonomi
dan sosial.
Kejahatan yang dimaksudkan diatas adalah dirumuskan dalam
KUHP Pasal 287 yang selengkapnya sebagal berikut:
a.
Barang siapa bersetubuh dengan seorang perempuan di luar
perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduga
bahwa umumya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya
tidak jelas, bahwa Ia belum waktunya untuk kawin, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
b. Penuntutan hanya dilakukan atas pangaduan, kecuali jika
perempuan itu belum sampai dua belas tahun atau jika ada satu
hal berdasarkan Pasal 291 dan Pasal 294.
a.
1)
2)
3)
Apabila rumusan Pasal 287 ayat 1 dirinci, terdapat unsur-unsur
sebagai berikut:
Unsur-unsur objektif:
Perbuatannya: bersetubuh
Artinya pemerkosaan terhadap anak terjadi karena ada
persetubuhan yang terjadi baik diluar kehendak korban maupun
didalam kehendak korban sendiri (suka sama senang). Atas dasar
suka sama senang korban anak tersebut tidak dipidana kecuali
anak tersebut mengetahui bahwa pelaku sudah brsuami,
sehingga anak tersebut dapat dipidana dengan 284 KUHP (Adami
Chazawi:2005,71)
Objek: dengan perempuan di luar kawin.
Artinya perempuan diluar kawin
Yang umurnya belum 15 tahun; atau jika umurnya tidak jelas
dan belum waktunya untuk kawin.
b.
a)
1)
2)
Adapun indikator anak yang belum waktunya disetubuhi ini
ada pada bentuk fisik dan psikis. Bentuk fisik terlihat pada wajah
dan tubuhnya yang masih anak-anak, seperti tubuh anak-anak
pada umumnya, belum tumbuh buah dada atau belum tumbuh
rambut kemaluannya, atau mungkin belum datang haid. Adapun
bentuk psikis dapat dilihat pada kelakuannya, misalnya masih
senang bermain seperti pada umumnya anak belum berumur
lima belas tahun.
Unsur Subjektif:
Diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya
belum 15 tahun. Dalam kejahatan ini dirumuskan unsur
kesalahannya, yang berupa: Kesengajaan, yakni diketahuinya
umurnya belum lima belas tahun dan kealpaan, yakni sepatutnya
harus diduganya umurnya belum lima belas tahun atau jika
umurnya tidak jelas, belum waktunya untuk kawin.
Adapun ancaman pidana kejahatan pemerkosaan terhadap anak
dibawah umur menurut Undang-Undang Perlindungan Anak
Nomor 23 Tahun 2002 diatur dalam Pasal 81 ayat (2) sebagai
berikut:
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (Jima belas) tahun dan paling singkat 3
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga
ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,- (enam
puluh juta rupiah)
Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku
pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu
muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
2. Kajian Filosofis
Dalam tataran teori hukum, sebagai tataran abstraksi yang
lebih tinggi dibanding ilmu hukum, ia mewujudkan peralihan ke
filsafat hukum. Teori hukum merefleksi objek dan metode dari
berbagai bentuk ilmu hukum. Karena itu ia dapat juga dipandang
sebagai suatu jenis filsafat ilmu dari ilmu hukum.
Filsafat hukum bertugas merefleksi semua masalah
fundamental yang berkaitan dengan hukum, dan tidak
hanya merefleksi hakikat dan metode dari ilmu hukum
atau ajaran metode. dapat dijelaskan pada berikut ini.
Dalam kasus-kasus tindak pidana anak yang dalam
bahasa sosiologi- psikologinya disebut sebagai kenakalan
anak dapat dipahami bahwa apabila dilihat dari tataran
refleksi teoritikan atas gejala hukum seperti yang
diungkapkan oleh Meuwissen, Dalam Konsideran UU No. 3
tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dirumuskan bahwa:
a. anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah
satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan
penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki
peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus,
memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka
menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental,
dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang;
b. untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan
perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan, baik
yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat
hukum yang lebih mantap dan memadai, oleh karena itu
ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan bagi
anak perlu dilakukan secara khusus;
Apa yang dirumuskan tersebut kemudian diperjelas
dalam Penjelasan UU yang salah satu alenianya
menguraikan bahwa “Mengingat ciri dan sifat anak yang
khas tersebut, maka dalam menjatuhkan pidana atau
tindakan terhadap Anak Nakal diusahakan agar anak
dimaksud jangan dipisahkan dari orang tuanya. Apabila
karena hubungan antara orang tua dan anak kurang baik,
atau karena sifat perbuatannya sangat merugikan
masyarakat, sehingga perlu memisahkan anak dari orang
tuanya, hendaklah tetap dipertimbangkan bahwa
pemisahan tersebut semata-mata demi pertumbuhan dan
perkembangan anak secara sehat dan wajar”.
Yang dapat ditarik dari uraian di atas, bahwa dalam
menghadapi perilaku kenakalan yang dilakukan oleh
anak, secara fiilsafati dipahami bahwa penjatuhan sanksi
berupa pemisahan dari orangtua (pidana perampasan
kemerdekaan/penjara) terhadap anak tersebut adalah
sebagai upaya terakhir, dengan tetap memperhatikan apa
yang dibutuhkan oleh anak. Oleh karena itu, “asas
semata-mata demi kepentingan anak” adalah asas yang
paling urgen dalam menyelesaikan kasus-kasus kenakalan
anak. Hal ini dilatarbelakangi dan dipengaruhi oleh
pemikiran filsafat pemidanaan yang disebut filsafat
determinisme. Filsafat determinisme adalah filsafat yang
menyatakan bahwa terhadap anak yang melakukan
kenakalan
(kejahatan)
harus
dipahami
bahhwa
penjatuhan sanksi terhadap mereka dilandaskan pada
pemikiran bahwa perilaku tersebut sangat tergantung
pada kondisi “ciri dan sifat khusus” yang disandang
mereka. Artinya, pemaknaan sanksi hukuman tidak sama
dengan sanksi yang diberikan terhadap orang dewasa
yang melakukan kejahatan, karena anak melakukan
kenakalan
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan
sepenuhnya – karena atas landasan kesalahan tidak
ditemukan secara utuh - tidak seperti halnya orang
dewasa.
Filsafat hukum merupakan refleksi filosofis mengenai
landasan hukum. Dengan kata lain, filsafat hukum
sebagai jiwa yang kemudian terefleksi ke dalam teoriteori hukum, dogmatika hukum dan kemudian sampai
pada praktik hukum. Menyangkut ilmu hukum pidana
anak, ternyata jiwa yang ada dalam filsafat pemidanaan
yaitu filsafat determinisme – sebagai ujud dari filsafat
hukum – telah secara benar direfleksikan ke dalam
pengembangan teori-teori pertanggung-jawaban pidana
anak yang melakukan kenakalan. Bahwa terhadap anak
yang
melakukan
kenakalan
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan secara penuh seperti halnya
orang dewasa yang melakukan kejahatan. Pemahaman
demikian kemudian secara eksplisit dirumuskan dalam UU
No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang
mengatur bahwa terhadap anak tersebut dapat
dijatuhkan sanksi berupa sanksi Pidana atau sanksi
Tindakan. Asas yang paling mendasar bahwa pemberian
sanksi terhadap anak, harus memperhatikan keberadaan
anak sebagai manusia yang mempunyai “ciri dan sifat
khusus”. Walaupun telah diatur demikian, namun dalam
praktiknya dijumpai terhadap anak yang melakukan
kenakalan, pemberian sanksi oleh penegak hukum
lebih dilandasi oleh alam fikiran normative-legalistik,
karena kenyataannya sanksi yang paling banyak
dijatuhkan adalah sanksi Pidana berupa pidana Penjara,
yang sebenarnya bentuk sanksi yang paling dihindari
terhadap anak. Artinya, filsafat determinisme yang
menjiwai teori dan dogmatika hukum dalam kasus anak,
tidak diimplementasikan/dioperasionalkan secara baik
oleh aparat pemutus perkara (hakim).
3. Kajian Empiris/Sosiologi
Anak merupakan kelompok yang sangat rentan dan unik, baik
fisik maupun mental, maka dibutuhkan mekanisme yang
independen untuk melindungi dan mendukung hak-hak mereka.
Oleh karena kerentanan atau kelemahan jiwa anak, maka harus
mendapat pembinaan, perlindungan dan pengawasan secara
intensif dan berkesinambungan untuk menjunjung kualitas jiwa
anak itu sendiri dalam melakukan pembinaan, pengembangan
dan perlindungan anak perlu peran serta masyarakat, Lembaga
keagamaan, Lembaga swadaya masyarakat, Organisasi sosial,
Dunia usaha, Media Masa dan Lembaga Pendidikan.
Faktor-faktor anak melakukan tindak pidana pemerkosaan
adalah tidak terlepas dari faktor internal yaitu dari dalam diri
pelaku dan peranan korban itui sendiri, seperti faktor kejiwaan
atau emosional karena pelaku telah dipengaruhi oleh perasaan
nafsunya sedangkan akal dan pikirannya tidak berfungsi untuk
mengendalikan perasaan nafsunya sehingga dalam keadaan
demikian ia melakukan tindak pidana perkosaan tersebut.
Sedangkan faktor eksternal yaitu faktor dari luar diri pelaku yaitu
faktor lingkungan, faktor kurangnya perhatian dan kontrol dari
keluarga dan hubungan soisal atau kepada masyarakat yang
buruk.