Hukum yang Menyapa Masyarakatnya hukum yang sebenarnya
Hukum yang Menyapa Masyarakat
Oleh : Syukron Salam, SH, SHI, MH* & Rian Adhivira**1
ABSTRAK
Hukum dalam pengertiannya yang sederhana sebagai teks peraturan perundang-undangan
sering disalah pahami oleh beberapa pemikir telah meninggalkan dinamika perkembangan
masyarakat, teks-teks hukum dianggap bebas dari emosi, tanpa perasaan dan datar seperti
rumusan matematika. Penglihatan teks-teks hukum seperti ini justru yang menyebabkan
hukum hanya sekedar teks peraturan perundang-undangan, tanpa melihat bagaiman teks itu
dibuat dan nilai-nilai apa yang sengaja ingin ditampilkan dan kandungan keadilan apa yang
melekat didalamnya, teks hukum memang terkesan tak berperasaan dan seperti rumus-rumus
matematika yang mengandaikan begitu saja kaidah-kaidahnya sendiri tanpa melihat
perkembangan untuk apa atau dalam peristiwa/kondisi apa (kalau dianggap sebagai
rumusan matematis, dalam pengamatan apa) munculnya teks hukum tersebut.
Pertama-tama yang harus dibedakan dalam memaknai hukum sebagai teks peraturan
perundang-undangan adalah kedudukan seseorang dalam melihat teks hukum tersebut, posisi
atau kedudukan seseorang sangat menentukan pemaknaan terhadap teks hukum tersebut,
dari sudut pandanga seorang legal profesional, hukum sepertinya terisolir dari dunia
intelektualnya (Roger Cotterel, 1982), ia dipandang sebagai dunia esoterik. Ditangan para
legal profesional hukum tersebut hukum tidak dapat menyapa masyarakat, hukum menjadi
dunia otonom yang tidak dapat dipahami oleh masyarakat yang secara sederhana berpikir
bahwa hukum harus memberikan perasaan nyaman dan membahagiakan bagi masyarakat.
Tak dapat dipungkiri bahwa hukum merupakan dunia otonom yang beroperasi secara
tertutup, namun hukum memiliki kesadaran diri untuk menyapa lingkungannya yaitu
masyarakat, oleh karena itu, paper work ini mencoba untuk mengkaji apa yang menyebabkan
hukum terpisah dari atau terisolir dari masyarakat dan bagaimana hukum dapat menyapa
masyarakat dengan mengakomodir kebutuhan atau bagaimana hukum memiliki kepedulian
terhadap masyarakat.
Dengan menggunakan kosenp Niklas Luhmann tentang hukum yang bekerja secara tertutup.
Masyarakat modern memperlihatkan bentuk kompleksitas yang tidak dapat dilepaskan dari
saling pengaruh-mempengaruhi satu sama lain. Oleh karena itu hukum harus mampu untuk
memilah-milah pengaruh-pengaruh yang masuk dalam hukum untuk menghadirkan wajah
hukum yang sesuai dengan kebutuhan dan kepedulian terhadap masyarakat.
Pendahuluan
Satjipto Rahardjo menjelang akhir karirnya sempat berujar “mengajar ketertiban menemukan
ketaktertiban”, pernyataan tersebut sangatlah menarik, Niklas Luhmann ketika ia membaca
pernyataan tersebut barangkali akan mengatakan bahwa pada kondisi demikianlah batasanbatasan hukum akan goyah, dan kanal Autopeuotik bekerja.
Hubungan antara hukum dan keadilan kini sedang berada dalam tantangan yang demikian
hebatnya, atas nama keadilan, hukum mendasarkan justifikasinya dalam berbagai bentuk, ia
dirasakan “berjarak” dari realitas sosial tempat ia hidup. Persoalan keadilan kemudian
menjadi penting untuk diposisikan, berada dimana ia sebenarnya pada hukum? Apakah
1
*Koordinator Komisi Yudisial Jawa Tengah, sekertaris Satjipto Rahardjo Institute ** Mahasiswa tingkat akhir
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro dan Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang
dengan sendirinya ia telah melekat pada seperangkat peraturan selaku produk hukum dengan
sendirinya ketika ia lahir? Apakah ia telah merangkum aturan seperti norma, moral, etika dan
berbagai wacana lainya atas nama keadilan yang berusaha ditandainya?
Hukum sebagai salah satu sistem sosial memiliki kesombonganya sendiri, ia berkerja dalam
logika berpikirnya sendiri, dengan istilah-istilah maupun jargon-jargon keilmuan hukum yang
terdengar “asing” bagi mereka yang tak memahaminya. Rasa keter-asing-an tersebut justru
menimbulkan suatu ironi; pada satu sisi hukum adalah suatu upaya untuk membentuk
masyarakat yang tertib demi kemaslahatan orang banyak, namun pada sisi lain jargon-jargon
asing pada hukum dan cara bekerjanya justru membuat ia terpisah, hukum terasing dan
mengasingkan diri dari masyarakat yang diaturnya, meski demikian ia sekaligus tak melulu
tertutup, karena pada hakikatnya hukum hanya dapat menjadi hukum melalui sebuah proses
tertentu yaitu melalui bagaimana ia mengakomodir nilai-nilai yang kemudian dilegitimasi dan
menjadikan dirinya memiliki daya paksa sehingga ia dapat disebut sebagai hukum.
Sifat terbuka sekaligus tertutup dari hukum inilah yang akan diangkat dalam paper ini, yang
akan menjabarkan bagaimana sifat dualitas tertutup sekaligus terbuka tersebut dalam
kerangka berpikir Niklas Luhmann sekaligus bagaimana proyek emansipasi dari Niklas
Luhmann dalam kaitanya hukum sebagai sebuah sub-sitem dari sistem sosial. 2 Hukum
sebagai sistem sosial merupakan reduksi dari kompleksitas dan ketakberaturan dari
lingkungan tempat ia bernaung, agar dapat membedakan dirinya dan mempertahankan
keberlangsungan hidupnya, hukum menciptakan logika berpikirnya yang khas, namun meski
demikian ia tak pernah cukup diri, hukum sebagai sistem sosial mengambil juga dari sistem
lain yang justru karena sifat kemandirian tersebutlah ia dapat berkomunikasi dengan
lingkungan. 3 Mengikuti alur berpikir Luhmann, maka dapat dikatakan pula bahwa tulisan
inipun merupakan reduksi, sehingga dengan keterbatasanya juga gagal dalam menangkan
keseluruhan teori sistem Luhmann.
Teori Sistem Niklas Luhmann
Niklas Luhmann yang lahir di Luneburg pada tahun 1927 adalah seorang profesor ilmu sosial
Jerman yang terkemuka sekaligus murid dari seorang sosiolog tersohor dengan teori fungsi
sistem sosial yaitu Talcot Parson. Dengan mengadopsi teori fisika dan biologi, Luhmann
berpendapat bahwa masyarakat layaknya sistem sel dapat mereproduksi dirinya sendiri dan
kemudian termahsyur dengan kata Autopeuosis yang secara etimologis terdiri dari kata Auto
diri dan Peuosis yang berarti penciptaan, tidak hanya pada level sistem, melainkan juga
manusia itu sendiri terdiri dari beragam Autopeuosis. Gagasan Luhmann tersebut sekaligus
merupakan kritik atas teori struktural-fungsional Talcot Parson yang sering dikritik karena
tidak mampu menjawab dinamika perubahan sosial dan membenarkan status quo4
Luhmann memulainya dengan mengajukan sebuah pertanyaan, bagaimana hukum dapat
dipandang sebagai sebuah sistem teori. Hukum memiliki perbedaaan dari bidang keilmuan
yang biasa disebut sebagai sains, apabila sains memisahkan antara fakta dan konsep berpikir,
maka hukum memisahkan antara fakta dan norma, hal inilah yang membuat ilmu hukum akan
selalu merujuk kembali pada istilah-istilah hukum itu sendiri. Apa yang kita sebut sebagai
Teori Hukum adalah sebuah upaya hukum untuk mendeskripsikan dirinya sendiri. Untuk
2
Niklas Luhmann. Social as a Social System. Oxford University Press. New York. 2004. Hlm 72
Ibid hlm 74 Luhmann mengatakan “Consequently, the legal system operates in the form of communication
under the protection of boundaries that are drawn by society”
4
Lihat F. Budi Hardiman. Teori Sistem Niklas Luhmann dalam Kebaruan Teori Sistem Niklas Luhmann. Jurnal
Filsafat Driyakara th XXIX no.3/2008 hlm3
3
dapat menjelaskan bagaimana bisa hukum memproduksi pengetahuan untuk dirinya sendiri
Luhmann tidak hendak mengokohkan upaya semacam sosiologi hukum –untuk menemukan
sisi empiris dari hukum- melainkan untuk melihat bagaimana hukum sebagai sebuah objek
dan reproduksi yang terjadi terus menerus. Secara tidak langsung dan dalam cara pandang
yang berbeda, Yvez Dezalay & Bryan B. Garth telah mengatakan hal serupa ketika mereke
berbicara tentang distribusi ‘pengetahuan hukum’5, misalnya darimana pengetahuan tersebut
diperoleh dan penggunaanya, namun berbeda dari Yvez & Garth yang melihatnya secara
empiris, Luhmann menukik lebih dalam dengan menanyakan bagaimana hukum sebagai
sebuah sistem sosial itu. Meski demikian, harus terlebih dahulu dicatat bahwa bagi Luhmann,
suatu sistem sosial hanya dapat mereduksi kompleksitas masyarakat, demikian pula pada
hukum sebagai sistem sosial, sebagai salah satu dari sistem sosial yang lain hukum juga
selalu gagal dalam merangkum realitas sosial yang demikian luas dan rumit. Upaya-upaya
untuk menyatukan hukum sebagai satu bidang ilmu yang utuh sebagaimana diupayakan oleh
hukum alam, positivisme hukum maupun sosiologi hukum melalui reproduksi ulang dirinya
yang justru basis-nya diambil dari pemisahan yang bukan hukum dan karena
ketidakmungkinan hukum untuk melakukan simplifikasi pada betapa majemuknya realitas
sosial. Kesulitan untuk menjelaskan dualisme antara hukum sebagai sistem tertutup maupun
terbuka menurut Luhmann dapat dijelaskan melalui Autopeiosis sebagai teori sistem. Hukum
sebagai sebuah sistem yang mandiri dan merujuk pada dirinya juga tak dapat dipandang
secara naif bahwa hukum tak akan terpengaruh pada hal-hal diluar dirinya seperti bencana
alam dan lain sebagainya layaknya slogan tegakkan hukum walau langit runtuh, namun tidak
semu hal yang diluar hukum dapat masuk menjadi hukum, dan pada titik itulah kita semua
dapat bertanya, bagaimana ilmu hukum menyeleksi apa yang dianggap sebagai hukum dan
apa yang bukan, melalui seleksi apa dan melalui kemewaktuan apa hal tersebut dapat
dilakukan? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut harus dicatat terlebih dahulu bahwa bagi
Luhmann, suatu sistem tak bisa menjadi sebuah sistem apabila ia tidak mengembangkan
lingkungan bagi dirinya, lingkungan tersebut –dalam konteks ini lingkungan hukumbersanding dengan lingkungan-lingkunganlain dan melakukan interaksi pada kanal-kanal
tertentu untuk membuka dirinya; untuk melakukan seleksi terhadap informasi tertentu dan
belajar darinya, namun alur pembukaan diri sebagai sebuah sistem tersebut bukan berarti
hukum belajar dari bagaimana ia terpengaruh oleh gerakan massa, manufer politik dan lain
sebagainya, namun bagaimana ia menyerap permasalahan-permasalahan tersebut yang
berkenaan dengan hukum sebagai sistem itu sendiri dengan logika hukum antara yang legal
dan yang ilegal dengan memasukkan antara fakta dan norma hukum itu sendiri secara sadar
yang menjadikan hukum sebagai sebuah sistem yang otonom dan selalu bersifat stabil
sekaligus kontingen, stabil sebagai sebuah sistem dan kontingen sebagai suatu yang
mendasarkan dirinya pada sesuatu diluar dirinya (misal grund norm Kelsen) dan hukum agar
tetap dapat disebut sebagai hukum harus menjaga ekspektasi normatifnya melalui penegakan
hukum meski dalam batas-batas tertentu hukum juga boleh disimpangi persis agar hukum
tetap dapat hidup.
Melalui uraian tersebut, tampak bahwa keadilan bagi Niklas Luhmann bukan berada pada
hukum melalui undang-undang, melalui paradoks kodifikasi dari self-reference dari hukum
itu sendiri antara yang legal dan yang illegal, dan legitimasi hukum sebagai sistem adalah
5
Lihat Yves Dezalay & Bryan B. Garth. Law, Class & Imperialism. American Bar Foundations. Los Angeles.
Berdasar hasil penelitian tersebut dikatakan bahwa bagaimana pengetahuan hukum menjadi suatu kapital yang
dibawa oleh tokoh-tokoh penting memberi kontribusi pada negara, seperti Adnan Buyung maupun Nehru,
Luhmann juga mengutarakan pertanyaan tentang bagaimana hukum sebagai salah satu sistem mereproduksi
bahasa hukum itu sendiri yang dapat terlihat contohnya pada pembicaraan yang hanya dimengerti oleh
komunitas hukum itu sendiri (pengacara, hakim, jaksa, sarjana hukum dsb) yang seolah terpisah dari
lingkunganya.
suatu reduksi kompleksitas dari realitas lingkungan yang lain yang diseleksi dari dalam demi
kelangsungan hidup dari hukum sebagai sistem karena bila ia gagal mereproduksi dirinya
pada saat itulah ia berakhir. Dengan demikian keadilan berada diluar undang-undang itu
sendiri, Pertanyaan yang dapat diajukan pertamakali dalam membaca teks Derrida ini adalah ;
bagaimana kita dapat membedakan antara penegakan hukum yang adil maupun yang tidak
adil?
Dimana Keadilan ? Irisan Hukum, Moral, dan Norma
Hukum seringkali didefinisikan sebagai seperangkat peraturan perundang-undangan yang
diciptakan oleh lembaga yang terstruktur secara politik untuk menjaga tatanan masyarakat
menuju pada ketertiban dan keteraturan hubungan antar manusia. Hukum mengandung nilainilai yang harus dipatuhi bersama karena akan mendatangkan saksi yang bersifat koersif bagi
mereka yang melanggar hukum tersebut. hukum dalam pengertian ini lebih menampakkan
dirinya sebagai produk dari kehendak penguasa untuk mengatur perilaku masyarakat, hingga
pada akhirnya hukum menjadi alat untuk mempertahankan status quo, dengan mengabaikan
dinamika perkembangan masyarakat.
Karakter hukum dicirikan dalam bentuk tertulis yang diundangkan pada lembaran negara
dengan ketentuan-ketentuan yang cukup panjang dan lama untuk kemungkinan perubahannya,
karakter ini pada akhirnya akan berjalan tertatih-tatih untuk menyesuaikan dirinya dengan
keinginan masyarakat, kompleksitas dan kemajemukan tatanan dalam masyarakat tidak dapat
terjangkau oleh hukum yang sah, karena ia merupakan produk dari suatu masyarakat tertentu
yang diberlakukan untuk mengatur masyarakat dikemudian hari. Perbedaan pada suatu zaman
tertentu akan merubah dan memperbaharui struktur nilai akibat pengaruh-pengaruh
kompleksitas dan kemajemukan persoalan yang harus dihadapai suatu masyarakat pada
waktu tertentu. Perubahan struktur nilai tersebut akan mempengaruhi penghakiman
masyarakat terhadap suatu perbuatan yang dahulu dianggap sebagai pelanggaran nilai
kemudian disuatu zaman perbuatan tersebut bukanlah pelanggaran nilai begitu sebaliknya.
Bekerjanya hukum sebagai suatu sistem yang otonom telah memisahkan dirinya dari
pengaruh diluar non-hukum, sebagaimana yang ditegaskan oleh Kelsen bahwa hukum harus
dipisahakan dari anasir-anasir non hukum yang dapat mengganggu kemurnian hukum dalam
menemukan kebenaran, anasir-anasir diluar non hukum berasal dari lingkungan yang
mengelilingi hukum, hukum menjadi sub-sistem dari sistem yang lebih besar, yaitu sistem
sosial.
Setiap sistem selalu mengandaikan antara ketertutupan dan keterbukaan, ketertutupan sistem
dimaksudkan untuk membedakan dirinya dengan lingkungan, namun ia tidak dapat dipahami
sebagai suatu hal yang terisolasi dengan lingkungannya.6 lingkungan merupakan dunia diluar
sistem itu sendiri, ciri utama dari lingkungan adalah kompleksitas atau chaos, 7 dan sistem
merupakan reduksi dari lingkungan yang chaos. Untuk memproduksi dan mempertahankan
keberlangsungan sistem, ia beroperasi dengan caranya sendiri (self-reference). Meskipun ia
otononom sebagai suatu sistem tapi tidak autarki (cukup diri). Dengan demikian ia memiliki
kanal-kanal untuk mencukupi dirinya dengan berkomunikasi terhadap lingkungan melalui
pemaknaan atas batas-batas dirinya sebagai suatu sistem.
6
Op Cit Niklas Luhmann, Law As Social System, hlm 80
Fitzgerald K. Sitorus. Masyarakat Sebagai Sistem-Sistem Autopoiesis; Tentang Teori Sistem Sosial Niklas
Luhmann dalam Op Cit. Jurnal Filsafat Driyakara hlm 23
7
Masyarakat dalam sudut pandang Luhmann bukanlah kesatuan moral atau kesatuan
konsensus rasional atau komunikatif, masyarakat terbentuk semata-mata berdasarkan proses
komunikasi yang terus menerus antara sistem-sistem, 8 dimana identitas sistem ini selalu
berubah karena pengaruh dari lingkungan akibat asupan-asupan makna yang terjadi terus
menerus, masyarakat dapat dianggap sebagai sistem sosial yang terdiri dari subsistemsubsistem yang menyokong keberadaan sistem sosial tersebut, ia dapat terdiri dari sub-sistem
agama, sub-sistem adat, sub-sistem hukum, sub-sistem ekonomi, sub-sistem sains, dan subsistem lain yang mempengaruhi dan menyokong sistem sosial. Sehingga dalam sistem sosial
terjadi ketidakstabilan atau chaos, karena gangguan dari sub-sistem yang menjadi
penyokongnya. Kondisi instabilitas sistem sosial ini pada akhirnya nanti juga dapat
mengganggu sub-sistem yang selanjutnya sub-sistem tersebut akan mereproduksi diri sesuai
dengan ciri khas yang merujuk pada dirinya sendiri. gangguan-gangguan ini sama sekali tidak
destruktif, justru bila tidak ada gangguan dari lingkungannya, suatu sistem akan kehilangan
kapasitasnya untuk beradaptasi dan akhirnya dapat dihancurkan oleh lingkungannya.9
Sebagai bagian atau sub-sistem dari sistem sosial, sistem hukum membedakan dirinya dengan
menciptakan garis batas (boundaries of law), yang timbul karena konsekuensi dari perbedaan
fungsi dan tugasnya sebagai sistem yang mengatur perilaku masyarakat dengan ciri khas
legalitasnya. Keseluruhan kompleksitas dinamika perkembangan masyarakat tidak dapat
secara sadar dapat ditangkap oleh sistem hukum, karena itu hukum harus beroperasi dalam
temporal sequence. Sistem harus dapat mengenali lingkungannya dengan menidentifikasi
keberoperasiannya secara berulang-ulang agar dapat memfasilitasi bentuk-bentuk selfreference melalui pengulangan-pengulangan tersebut.
Luhmann menyatakan bahwa fungsi hukum sebagi sub-sistem dari sistem sosial mencoba
untuk memproduksi skema biner (binary schema), yang menjaga harapan normatif yang
bagaimanapun juga tetap akan selalu berhadapan dengan ketidakmampuannya dalam
menanggulangi kompleksitas masyarakat. Namun hukum tidak secara penuh tanggap dengan
lingkungannya, ia hanya merespon bagian dari lingkungan yang dipilih sebagai norma, bukan
sebagai fakta. Setiap peristiwa yang terjadi didalam masyarakat (lingkungan) akan direspon
oleh hukum (sistem hukum) dengan memilah-milah peristiwa yang sesuai dengan harapan
normatif atau mana peristiwa yang dianggap sebagai peristiwa hukum, pemilahan ini
memunculkan paradoks atas peristiwa yang konpleks tesebut sehingga sistem hukum dapat
dikatakan sebagai simplifikasi dari peristiwa sosial yang terjadi dalam masyarakat.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat banyak sekali yang memperoleh respon
atau reaksi yang beragam dari masyarakat, tergantung bagaimana masyarakat memandang
peristiwa tersebut dari sudut pandang masing-masing, kompleksitas sudut pandang ini tidak
dikenal dalam sistem hukum karena ia hanya memilah-milah bagian yang legal dan illegal.
Oleh karenanya, hukum mendapat sorotan yang cukup tajam dari masyarakat yang berpikir
tidak dalam skema legal dan illegal, setiap individu sebagai bagian dari masyarakat melihat
setiap peristiwa dari berbagai sisi sistem, ia dapat melihat peristiwa tersebut dari sisi sistem
agama, sistem sains, sistem seni, sistem ekonomi, sistem budaya dan lain sebagainya,
sehingga melihat suatu peristiwa hanya pada satu sistem akan memunculkan kondisi
paradoks yang tajam.
Dengan menggunakan teori sistem, bekerjanya hukum dimana ia mereproduksi dirinya
sendiri adalah dengan melakukan komunikasi penuh makna (meaningful communications),
8
ibid hlm 29
Yudhi Dzulfadli baihaqi, Sistem Versus Differance: Luhmann dan Derrida tentang Paradoks Sistem-sistem
Sosial. Dalam ibid hlm 53
9
hukum harus memebdakan dirinya sendiri didalam masyarakat dengan mengidentifikasi
komunikasi mana yang merupakan komunikasi hukum (legal communications). Meskipun
secara bahasa hukum memiliki term-term yang menjadi ciri khas dari studi hukum, namun ia
bukan dalam pengertian bahasa yang terpisah dengan yang lain, artinya bahwa hukum tidak
dapat dikaji melalui penggunaan teori bahasa. komunikasi hukum memiliki hubungan timbal
balik (circle relationship) antara struktur dan bekerjanya hukum, structures can only be
established and varied by operations that, in turn, are spesified by structures. Didalam
komunikasi, ada berbagai macam informasi, pesan dan pemahaman dari suatu dinamika
hubungan antara beroperasinya hukum dengan struktur hukum. hukum tidak dapat
memaksakan dirinya dengan sekedar menjalankan prosedur yang memiliki kekuatan hukum,
ia harus juga menangkap pesan yang berasal dari struktur dirinya, kesadaran bahwa hukum
merupakan bagian dari sistem sosial.
Komunikasi hukum berkaitan dengan harapan tentang apa yang seharusnya terjadi, meskipun
apa yang seharusnya terjadi ini tidak dapat selalu terjadi. Komunikasi hukum ini juga
beririsan dengan komunikasi moral dan agama yang juga berurusan dengan harapan tentang
apa yang seharusnya terjadi. Untuk membedakan antara komunikasi ini, hukum menciptakan
coding event didalam lingkungannya menggunakan binary code yang unik sendiri yaitu legal
dan illegal.
Alasan hukum beroperasi secara tertutup dapat dideskripsikan sebagai normative closure
yang dapat dilihat dengan cara bagaimana hukum merespon lingkungannya. Bekerjanya
hukum terstruktur elalui pebedaan antara norma dan fakta. Hukum memperbandingkan antara
fakta dan normanya. Hukum bekerja secara tertutup ini dapat dilakukan karena tidak ada
norma yang dapat dengan sendirinya menjadi norma hukum, ia hanya dapat mengenali norma
dari sistem lain sebagai suatu fakta dan meresponnya, namun hanya karena dimana norma
yang dimilikinya memiliki kemampuan untuk mengenali norma tersebut sebagai fakta.
Hukum hanya dapat belajar dengan membangun norma hukum baru karena respon terhadap
lingkunganya yang juga mengandung norma dalam sistem lain. Namun tidak serta merta
suatu norma moral dengan sendirinya dapat menjadi norma hukum. Apakah suatu norma
dapat dikatakan sebagai norma hukum atau tidak hanya dapat dipastikan melaluiobservation
of the recursice network yang memproduksi norma hukum, yaitu dengan melakukan
pengamatan atas contect of production yang menjadikannya sebagai sistem yang berbeda.
Ketertutupan normatif hukum dapat meraih suatu bentuk kesadaran karena hal ini
menyederhanakan kompleksitas yang terjadi dalam lingkungan.
Telah dijabarkan bahwa hukum bekerja dalam Code-nya tersendiri yaitu melalui logika binair
legal/illegal, namun pemisahan tersebut bukanlah pemisahan yang kokoh begitu saja,
Luhmann mengatakan bahwa oposisi tersebut juga sekaligus merupakan paradoks 10 dan
melalui kondisi tersebut, sistem hukum kemudian melakukan deparadoksasi dengan
memprogram code melalui penegasan kembali mana yang legal dan mana yang illegal.
Permasalahan keadilan bagi Luhmann bukanlah persoalan bagaimana hukum beroperasi
dengan cara berpikir distingsi antara legal/illegal melainkan pada level program, ia bekerja
ketika sistem hukum sebagai penjaga harapan normatif berhadapan dengan kekecewaan, ide
10
Luhmann menjabarkan paradoks tersebut dalam lima point; pertama hukum membedakan dirinya dari
lingkungan dan sistem yang lain, dan untuk itu ia memiliki cara berpikirnya sendiri kedua cara tersebut
diperkuat dengan tautologi bahwa yang legal adalah legal, ketiga tautologi tersebut menegasi dirinya bahwa
yang legal adalah sekaligus ilegal keempat, pada sistem sosial tersebut tumbuh dalam kontradiksi bahwa yang
legal bukanlah illegal kelima kontradiksi tersebut berakhir dengan penegasan ulang tentang mana yang legal dan
illegal lihat dalam Op Cit Niklas Luhmann hlm 175-176
perihal keadilan adalah juga tentang kontingensi.11 Untuk dapat menangkap keadilan, hukum
sebagai sistem kemudian berusaha untuk mendifinisikan keadilan, kata Luhmann “The
system itself has to define justice in such a way that makes it clear that justice must prevail
and that the system identifies with it as an idea, prionciple, or value. The Formula for
contingency is stated within the system non-contentiously” 12 . Ketika hukum gagal dalam
memenuhi harapan normatif dari lingkungan yang telah direduksi dengan logika berpikirnya,
kekecewaan tersebut memancing hukum untuk mencari keadilan dalam bentuk norma yang
relevan untuk dirumuskan, sifat kontingen keadilan tersebut adalah sebuah prasyarat untuk
pencarian akan nilai yang kemudian hanya bisa valid dalam bentuk program yang selanjutnya
akan membentuk code.
Sebagai pembanding atas deparadoksasi Luhman, Derrida justru berpendapat bahwa paradoks
tersebut sudah selalu lebih dahulu dan kita tak akan dapat keluar dari paradoks-paradoks
tersebut.
Berbeda dengan Luhmann yang mengatakan Autopoetik memicu de-paradoksisasi,
Dekonstruksi Derrida justru selalu mencari paradoks untuk kemudian dibongkar.
Pembongkaran tersebut juga dilakukan melalui keadilan yang bagi Derrida adalah suatu yang
tak mungkin, sebelumnya harus dicatat bahwa keadaan tidak dapat diobjektifkan maupun
dikatakan, tanpa mengkhianati keadilan itu sendiri.13 dengan merujuk pada Pascal, Derrida
mengatakan keadilan, penegakan hukum (law enforcement) tidak bisa dilepaskan dari
kekuataan paksaan, keadilaan yang tidak memiliki daya paksa adalah sebuah keadilan yang
mandul (law without force is powerless), dan keadilan yang mandul bukanlah sebuah
keadilan. Baik hukum maupun paksaan adalah sebuah kesatuan, hukum tanpa paksaan adalah
hukum yang powerless, namun disisi lain, paksaan tanpa hukum adalah sebuah sebuah
kekerasan yang tidak berdasar. Singkatnya, sebuah keadilan memerlukan “sesuatu”
dibelakangnya, dan sesuatu itu adalah konsekuensi berupa penegakan hukum itu (law
enforcement).
“Force without justice is tyrannical. Justice without force is gainsaid, because there
are always offenders; force without justice is condemned. It is necessart then to
combine justice and force; and for this end make what is just strong, or what is strong
just”14
Derrida melihat ada suatu hal yang mistis disini, yaitu suatu hal yang menghancurkan dirinya
sendiri, melalui selubung misteri pembentukanya, dimana hukum dalam legitimasinya
terletak pada kekuatan baik dari para legislator, kedaulatan negara, dan adat, dimana
ketiganya berdiri intrepretasi atas hukum dan keadilan itu sendiri yang disebutnya sebagai
Mystical Foundation of the Authority : orang menaati hukum bukan karena dia adalah sesuatu
yang adil, melainkan karena dia semata-mata adalah hukum, karena kekuatan dari “otoritas”,
harus dicatat bahwa kata “gewalt” dalam bahasa Jerman, memiliki dua arti sekaligus baik
kekerasan maupun otoritas (akan dibahas nanti dalam pandangan Walter Benjamin melalui
karyanya Zur Kritik der Gewalt). Pandangan Pascal dan Montaigne ini berarti memisahkan
antara “hukum” dan “keadilan” sebagai dua hal yang terpisah, yang meski terpisah, keduanya
tidak dapat dilepaskan satu sama lain. Hal ini sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari kritik
11
Ibid hlm 214
Loc cit
13
..that one cannot speak directly about justice, thematize, or objectivize justice, say “this is just” and even less
“I am just”, without immadiately betraying justice, if not law” Jacques Derrida. Force of Law, The Mystical
Foundation of the Authority dalam Jacques Derrida. Act of Religion. Routledge. New York & London. P.237
14
Ibid hlm 239
12
Pascal atas hukum alam yang mulai babak belur di era Renesaince, namun menurut Derrida,
struktur mistis ini tidak boleh dilepaskan ketika melakukan suatu dekonstruksi atas hukum15.
Sikap mistis atas suatu otoritas yang ada, baik legislatif, adat, maupun kedaulatan merupakan
suatu bentuk kekerasan yang dilupakan, yang bungkam, dimana hukum berdiri diatasnya,
adalah sebuah kekerasan tanpa dasar, baik legal maupun illegal, kenapa? Karena dalam
berdirinya suatu otoritas, kekerasan adalah suatu konsekuensi yang pasti terjadi. Melalui
uraian tersebut, dapat dikatakan Pascal disini meletakkan force sebagai predikat dari justice.
Jadi, meski hukum dan keadilan adalah dua hal yang berbeda ; -hukum tidak dapat dikatakan
sebagai keadilan- keduanya tidak dapat pula dipisahkan.
Hubungan antara otoritas dan berdirinya hukum membuat posisi pijakan hukum tidak kokoh
dengan sendirinya, dalam momen kekosongan atas dasar ini, goyahnya pondasi, Derrida
mengatakan bahwa dengan demikian hukum menjadi mungkin untuk didekonstruksi, bahkan
Derrida mengatakan bahwa keadilan adalah dekonstruksi itu sendiri :
“it is this deconstructible structure of law or, if you prefer, of justice as law, that also
ensures the possibility of deconstruction. Justice in itself, if such a thing exist, outside
or beyond law....Deconstruction is justice. It perhaps because law...is constructible, in
a sense that goes beyond the opposition between convention and nature, it is perhaps
insofar as it goes beyond this opposition that is constructible, and so deconstructible
and, better yet that it makes deconstruction possible, or at least the exercise of a
adeconstruction that, fundamentally, always proceeds to questions of law and to the
subject of law”16
Sebelum beranjak lebih jauh, mari kita urai dulu dua hal yang harus diperhatikan ; pertama
keadilan adalah sebuah hal yang tak dapat kita rasakan sebagai pengalaman kedua meski
demikian, tidak ada keadilan tanpa pengalaman seberapapun mustahilnya, keinginan, hasrat,
akan keadilan adalah sebuah pengalaman yang tidak mungkin, sebuah aporia. Maka ketika
seseorang menginginkan keadilan, ketika seseorang mengatakan yang ini adil sementara yang
lain tidak, tidak lain adalah sebuah momen tentang yang tidak mungkin. Dalam momen
aporia tersebut, makna keadilan akan selalu tertunda dalam dekonstruksi, dalam momen yang
disebut Derrida sebagai Differance. Hubungan antara hukum dan keadilan dapat dikatakan
sebagai berikut : Klaim-klaim hukum yang hendak menjamah keadilan untuk memperoleh
legitimasi, dan dilain pihak keadilan yang menubuh dalam hukum agar memperoleh
kekuatanya, disini Derrida mengutarakan beberapa aporia akan kemungkinan keadilan.
Aporia pertama disebut Derida sebagai Epoche of the Rule. Aporia pertama ini, Derrida
mengatakan, untuk menjadi adil, tidak bisa berpegang pada peraturan yang telah tersedia,
untuk menemukan momen keadilan, seseorang harus mempertimbangkan re-intrepretasi, nilai,
dan lain sebagainya17, dalam momen pangambilan keputusan tersebut, hakim misalnya harus
memecahkan momen penundaan terus menerus akan keadilan dan hukum. Dalam
memecahkan momen penundaan yang terus menerus tersebut, maka seorang hakim harus
memutuskan perkaranya dengan keputusan yang “berbeda”, yang “segar” dan unik di setiap
kasus.18 Disinilah momen aporia terjadi, Derrida mengatakan bahwa keadilan harus melalui
momen yang tidak terpisahkan dalam penundaan, namun ketika seseorang memutuskan rantai
“This Pascalian pensee concerns perhaps a more intrinsic structure. A critique of juridcal ideology should
never neglect this structure” lihat dalam ibid hlm 241
16
Ibid hlm.243
17
“ To be just, the decision of a judge for example, must not only follow a rule of law or general law but must
also assume it, approve it, confirm its value by a reinstituting act of intrepretation, as if , at limit the law did not
exist previously- as the judge himself invented it in each case” ibid hlm 251
18
“Each decision is different and requires an absolutely unique intrepretations” Loc cit.
15
penundaan tersebut maka itu adalah momen keadilan yang mengalami kalkulasi (calculated
justice). Aporia Kedua The haunting of the undecidable. Momen pengambilan keputusan dan
keadilan tidak tercermin dalam sebuah keputusan yang final, misalnya putusan pengadilan
yang kongkret, namun momen keadilan harus melewati momen yang tidak dapat dilewati,
yang-tak-terputuskan : yaitu the undecidabilty, momen yang tidak dapat diputuskan. Putusan
pengadilan yang melewati momen yang tak terputuskan tersebut mungkin memang memiliki
sifat yang legal, namun hal yang melewati tersebut berarti telah merubah keadilan menjadi
keadilan yang telah dihitung-hitung, (calculable justice). Momen undecidable ini selalu
menghantui setiap keputusan yang menanti untuk diputuskan 19 yang sebenarnya untuk
mencapai keadilan, tidak ada satupun putusan yang dapat melalui momen yang tak
terputuskan karena begitu dia diputuskan, disitu sudah bukan keadilan lagi, melainkan
calculable justice. Keadilan adalah sebuah kegilaan, yang tak terbatas, yang selalu akan
datang, dengan tetap merujuk pada Pascal, Derrida mengatakan bahwa keadilan tidak dapat
ditimbang dengan berbagai aspek, ekonomi, aturan tertulis, akal sehat, maupun lain
sebagainya.20 Dengan jatuh pada hitung-hitungan, maka keadilan bukan lagi sebuah keadilan.
Aporia ketiga : The Urgency that obstructs the Horizon of Knowledge. Keadilan adalah
momen ketergesaan, yang bagaimanapun mustahilnya, keadilan dibutuhkan seketika saai itu
juga. Bahkan ditengah ketergesaan tersebut, seseorang memiliki waktu, dan segenap
pengetahuan yang dibutuhkan untuk menimbang-nimbang, keadilan tetaplah merupakan
momen yang dibutuhkan dengan segera. Derrida mengatakan “a just decision is always
required immadiately, right away, as quickly as possible”21, namun sebagaimana telah kita
ulik pada aporia sebelumnya diatas, maka ini adalah sebuah paradoks disatu sisi keadilan
akan mengalami proses penundaan, namun disisi lain keadilan adalah suatu hal yang
diperlukan pada saat itu juga, pada saat seseorang menyebutkan namanya dalam setiap
pengharapan akan sang “ratu adil” yang terdapat dalam agama-agama, padahal keadilan
adalah selalu sesuatu-yang-akan-datang (Avenir, Justice remains “to come”) sehingga
momen keadilan yang diharapkan hadir oleh para metafisikawan abad pencerahan yang
mengedepankan momen kehadiran harus kecewa karena keadilan adalah sesuatu yang tidak
pernah hadir pada dirinya. Calculable - incalculabe Justice sendiri juga memuat paradoks
lain, karena incalculable sendiri menuntut adanya calculation. Saya kutip disini :
“An absolute assurance against this risk can only saturate or suture the opening of
the call to justice, a call that is always wounded, But incalculabe justice commands
calculation”22
“Not only must one calculate, negotiate the relation between the calculable and the
incalculable, and negotiate without a rule that would not have to be reinvented there
where we are “thrown” then where we found ourselves; but one must do so and take
it as far as possible, beyond the place we find ourselves and beyond the already
identifiable zones of morality, politics, or law, beyond the distinction between
national and international, public and private, and so on” 23
Rentetan Aporia dan Paradoks diatas, yang menunjukkan hubungan antara keadilan, hukum,
dan kekerasan. Peraturan dan keadilan, hantu akan momen yang tak terputuskan, serta
keadilan yang menuntut kesegaraan seketika, dalam teks pertama ini Derrida mengatakan
“the undecidable remains caught, lodged, as a ghost at least but an essential ghost in every decision, in every
event of decision” ibid hlm253
20
Ibid hlm 254
21
Ibid hlm. 255
22
Ibid hlm 257
23
Loc cit
19
bahwa Keadilan sebagai yang-tak-mungkin. Disini Derrida kemudian melanjutkan dengan
pembacaan mendalam atas teks dari Walter Benjamin yang berjudul Zur Kritik der Gewalt
(dalam bahasa Inggris: Critique of Violence. Zur Kritik der Gewalt lahir dalam latar belakang
Borjuasi Liberal masyarakat Eropa yang tengah berkembang pada kala itu, teks tersebut juga
lahir tatkala perdebatan antara hukuman mati menyeruak dalam diskursus hukum. Dalam teks
ini, menurut Derrida, Benjamin mengadakan sebuah upaya untuk terus mengatakan bahwa
keadilan tidaklah terdapat dalam hukum maupun putusanya. Hal ini didasari oleh dua jenis
kekerasan yang selalu berkaitan satu sama lain : Founding Violence dan Pereserve Violence24.
Kemudian Benjamin membedakan antara Founding Violence yang disebut Derrida sebagai
“mythic” dan destruksi yang menghapus keberadaan hukum yang disebut “divine”, yang
ketiga perbedaan antara keadilan sebagai prinsip untuk menuju tujuan yang dikehendaki,
serta kekuasaan sebagai prinsip mistis untuk hukum mendasarkan dirinya.
Penulis bersepakat dengan Gunther Tubner 25 dan Yudhi Dzulfadli Baihaqi 26 yang
mengatakan bahwa sistem Autopoetik “terancam” oleh Differance Derrida, sistem hukum
sebagai yang tertutup sekaligus terbuka dipicu oleh de-paradoksasi dari sistem itu sendiri
dimana tegangan-tegangan tersebut mengancam hukum sebagai sebuah sistem dan untuk
dapat mempertahankan dirinya, ia harus menyesuaikan diri pada tegangan-tegangan tersebut.
Satu garis merah disini adalah bagaimana baik Derrida maupun Luhmann memandang
keadilan, Derrida di satu sisi mengatajan bahwa Keadilan adalah suatu yang selalu akan
datang, ia adalah kegilaan yang sekaligus tak mungkin, Luhmann disisi lain mengatakan agar
dapat eksis hukum harus terus tertutup sekaligus terbuka untuk mempertahankan
kelangsunganya sendiri, disini persoalan keadilan adalah persoalan yang kondisional, ia
adalah permasalahan mempertahankan dirinya. Baik Derrida maupun Luhmann mengatakan
bahwa keadilan adalah suatu yang diluar sana, ia adalah suatu yang diluar hukum dan segala
upaya yang dilakukan oleh hukum melalui logika kode dari hukum antara legal/illegal
maupun paradoks pada dirinya adalah suatu reduksi pada keadilan itu sendiri. Bila demikian
apakah tugas hukum selanjutnya?
Tugas Hukum; Memungut Yang Tercecer
Sebagai sebuah sub-sistem dari, hukum mereduksi dari kompleksitas sosial yang
dilingkupinya, untuk dapat membedakan dirinya dari lingkunganya. Reduksi tersebut akan
selalu menyisakan ekses, selalu ada yang tercecer, yang tertinggal dari reduksi tesebut dengan
kata lain; hukum adalah simplifikasi realitas sosial. Ekses tersebut membuat ada yang luput,
sebagai sebuah sistem untuk mempertahankan harapan normatifnya, reduksi kompleksitas
sistem sosial dalam suatu dimensi temporalnya akan berhadapan dengan kekecewaan,
kekecewaan tersebut akan memacu keadilan bekerja untuk mencari nilai yang sesuai, nilainilai tersebut berasal dari luar hukum dengan sadar diri untuk mencukupi dirinya,
mempertanyakan batasan-batasan hukum dan melakukan program ulang atas mana yang legal
dan illegal.
Ketidakmungkinan hukum melihat peristiwa secara utuh, telah membawa hukum pada suatu
kondisi yang parsial dengan mengabaikan fakta-fakta diluar code cara dia beroperasi. Hukum
akan dihadapkan pada serangkaian peristiwa-peristiwa yang mempertanyakan batasn hukum
tersebut, taruhlah pemidanaan atas nenek minah yang dibumbui pula dengan air mata hakim
yang menjatuhkan putusan bersalah pada nenek yang mencuri semangka tersebut. Logika
24
Ibid hlm.260
Gunther Tubner. Economics of Gift – Positivity if Justice : The Mutual Paranoia of Jaacques Derrida and
Niklas Luhmann. Theory Culture Society. 2000
26
Yudhi Dzulfadli Baihaqi. Dalam Op Cit Jurnal Filsafat Driyakara hlm 51-61
25
hukum telah mereduksi kompleksitas serangkaian fakta yang berkelindan dalam peristiwa
tersebut dengan cara berpikir antara legal/illegal, namun persis pada saat itu pulalah hukum
ditantang untuk menegaskan kembali batasan dirinya, yang memicu pertanyaan apakah
hukum itu, yang mendorong hukum agar bisa bertahan dan mengambil informasi-informasi
yang diperlukan. Tugas besar hukum kemudian adalah bagaimana memungut ceceranceceran yang tertinggal atas reduksi dirinya sebagai sebuah sistem tersebut. Melalui teori
sistem Luhmann memperlihatkan bahwa pada hakikatnya tidak ada batasan yang tegas
hukum sebagai sebuah sistem dengan sistem-sistem yang lain. Satjipto pada suatu
kesempatan mengatakan bahwa peraturan sebagai sesuatu yang legal dan kenyataan sebagai
sesyuatu yang sociological, empirical bukan dua hal yang terpisah dan bisa dipisahkan secara
mutlak. 27 Ketidakmampuan hukum untuk menyerap segala kompleksitas itu membuatnya
selalu dalam ancaman eksistensi dirinya, dan untuk itulah ia harus membuka diri,
membuatnya deparadoksisasi pada dirinya.
Penutup
Hukum merupakan sub-sistem dari sistem sosial, ia ada bukan untuk dirinya sendiri,
melainkan untuk menyokong kompleksitas masyarakat sekaligus sebagai basis eksistensi
dirinya. Kesadaran akan tugas hukum sebagai sub-sistem kemasyarakatan akan selalu
membawa hukum pada reproduksi makna yang akan terus-menerus terjadi untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan. Arah pencarian hukum tidak sekedar menemukan
kebenaran namun juga untuk menemukan keadilan agar ia selalu dapat beradaptasi dengan
kompleksitas lingkungan atau masyarakat.
Keadilan dengan demikian dalam perspektif Luhmann bukanlah suatu yang inheren melekat
pada hukum, ia baru muncul ketika eksistensi hukum sebagai sistem yang otonom dan
terpisah berada dalam ancaman, namun berbeda dengan keadilan Derrida yang mengatakan
bahwa keadilan selalu berada diseberang sana, dan melulu merupakan kegilaan yang tak
mungkin, Luhmann justru melihat hal tersebut sebagai fakta bahwa hukum memang tak akan
selalu cukup diri dan melalui pertanyaan fundamental tentang keadilanlah hukum akan
membuka diri. Meskipum begitu, cukup menarikpula untuk diapresiasi sebagaimana Tubner
dan Dzulfa, bahwa petualangan dekonstruksi untuk terus mencari paradoks akan selalu
mengancam kemapanan otonomi hukum untuk kemudian membuka dirinya.
27
Satjipto Rahardjo. Hukum dalam Jagad Ketertiban.UKI PRESS. Jakarta. 2006 Hlm 170
Oleh : Syukron Salam, SH, SHI, MH* & Rian Adhivira**1
ABSTRAK
Hukum dalam pengertiannya yang sederhana sebagai teks peraturan perundang-undangan
sering disalah pahami oleh beberapa pemikir telah meninggalkan dinamika perkembangan
masyarakat, teks-teks hukum dianggap bebas dari emosi, tanpa perasaan dan datar seperti
rumusan matematika. Penglihatan teks-teks hukum seperti ini justru yang menyebabkan
hukum hanya sekedar teks peraturan perundang-undangan, tanpa melihat bagaiman teks itu
dibuat dan nilai-nilai apa yang sengaja ingin ditampilkan dan kandungan keadilan apa yang
melekat didalamnya, teks hukum memang terkesan tak berperasaan dan seperti rumus-rumus
matematika yang mengandaikan begitu saja kaidah-kaidahnya sendiri tanpa melihat
perkembangan untuk apa atau dalam peristiwa/kondisi apa (kalau dianggap sebagai
rumusan matematis, dalam pengamatan apa) munculnya teks hukum tersebut.
Pertama-tama yang harus dibedakan dalam memaknai hukum sebagai teks peraturan
perundang-undangan adalah kedudukan seseorang dalam melihat teks hukum tersebut, posisi
atau kedudukan seseorang sangat menentukan pemaknaan terhadap teks hukum tersebut,
dari sudut pandanga seorang legal profesional, hukum sepertinya terisolir dari dunia
intelektualnya (Roger Cotterel, 1982), ia dipandang sebagai dunia esoterik. Ditangan para
legal profesional hukum tersebut hukum tidak dapat menyapa masyarakat, hukum menjadi
dunia otonom yang tidak dapat dipahami oleh masyarakat yang secara sederhana berpikir
bahwa hukum harus memberikan perasaan nyaman dan membahagiakan bagi masyarakat.
Tak dapat dipungkiri bahwa hukum merupakan dunia otonom yang beroperasi secara
tertutup, namun hukum memiliki kesadaran diri untuk menyapa lingkungannya yaitu
masyarakat, oleh karena itu, paper work ini mencoba untuk mengkaji apa yang menyebabkan
hukum terpisah dari atau terisolir dari masyarakat dan bagaimana hukum dapat menyapa
masyarakat dengan mengakomodir kebutuhan atau bagaimana hukum memiliki kepedulian
terhadap masyarakat.
Dengan menggunakan kosenp Niklas Luhmann tentang hukum yang bekerja secara tertutup.
Masyarakat modern memperlihatkan bentuk kompleksitas yang tidak dapat dilepaskan dari
saling pengaruh-mempengaruhi satu sama lain. Oleh karena itu hukum harus mampu untuk
memilah-milah pengaruh-pengaruh yang masuk dalam hukum untuk menghadirkan wajah
hukum yang sesuai dengan kebutuhan dan kepedulian terhadap masyarakat.
Pendahuluan
Satjipto Rahardjo menjelang akhir karirnya sempat berujar “mengajar ketertiban menemukan
ketaktertiban”, pernyataan tersebut sangatlah menarik, Niklas Luhmann ketika ia membaca
pernyataan tersebut barangkali akan mengatakan bahwa pada kondisi demikianlah batasanbatasan hukum akan goyah, dan kanal Autopeuotik bekerja.
Hubungan antara hukum dan keadilan kini sedang berada dalam tantangan yang demikian
hebatnya, atas nama keadilan, hukum mendasarkan justifikasinya dalam berbagai bentuk, ia
dirasakan “berjarak” dari realitas sosial tempat ia hidup. Persoalan keadilan kemudian
menjadi penting untuk diposisikan, berada dimana ia sebenarnya pada hukum? Apakah
1
*Koordinator Komisi Yudisial Jawa Tengah, sekertaris Satjipto Rahardjo Institute ** Mahasiswa tingkat akhir
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro dan Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang
dengan sendirinya ia telah melekat pada seperangkat peraturan selaku produk hukum dengan
sendirinya ketika ia lahir? Apakah ia telah merangkum aturan seperti norma, moral, etika dan
berbagai wacana lainya atas nama keadilan yang berusaha ditandainya?
Hukum sebagai salah satu sistem sosial memiliki kesombonganya sendiri, ia berkerja dalam
logika berpikirnya sendiri, dengan istilah-istilah maupun jargon-jargon keilmuan hukum yang
terdengar “asing” bagi mereka yang tak memahaminya. Rasa keter-asing-an tersebut justru
menimbulkan suatu ironi; pada satu sisi hukum adalah suatu upaya untuk membentuk
masyarakat yang tertib demi kemaslahatan orang banyak, namun pada sisi lain jargon-jargon
asing pada hukum dan cara bekerjanya justru membuat ia terpisah, hukum terasing dan
mengasingkan diri dari masyarakat yang diaturnya, meski demikian ia sekaligus tak melulu
tertutup, karena pada hakikatnya hukum hanya dapat menjadi hukum melalui sebuah proses
tertentu yaitu melalui bagaimana ia mengakomodir nilai-nilai yang kemudian dilegitimasi dan
menjadikan dirinya memiliki daya paksa sehingga ia dapat disebut sebagai hukum.
Sifat terbuka sekaligus tertutup dari hukum inilah yang akan diangkat dalam paper ini, yang
akan menjabarkan bagaimana sifat dualitas tertutup sekaligus terbuka tersebut dalam
kerangka berpikir Niklas Luhmann sekaligus bagaimana proyek emansipasi dari Niklas
Luhmann dalam kaitanya hukum sebagai sebuah sub-sitem dari sistem sosial. 2 Hukum
sebagai sistem sosial merupakan reduksi dari kompleksitas dan ketakberaturan dari
lingkungan tempat ia bernaung, agar dapat membedakan dirinya dan mempertahankan
keberlangsungan hidupnya, hukum menciptakan logika berpikirnya yang khas, namun meski
demikian ia tak pernah cukup diri, hukum sebagai sistem sosial mengambil juga dari sistem
lain yang justru karena sifat kemandirian tersebutlah ia dapat berkomunikasi dengan
lingkungan. 3 Mengikuti alur berpikir Luhmann, maka dapat dikatakan pula bahwa tulisan
inipun merupakan reduksi, sehingga dengan keterbatasanya juga gagal dalam menangkan
keseluruhan teori sistem Luhmann.
Teori Sistem Niklas Luhmann
Niklas Luhmann yang lahir di Luneburg pada tahun 1927 adalah seorang profesor ilmu sosial
Jerman yang terkemuka sekaligus murid dari seorang sosiolog tersohor dengan teori fungsi
sistem sosial yaitu Talcot Parson. Dengan mengadopsi teori fisika dan biologi, Luhmann
berpendapat bahwa masyarakat layaknya sistem sel dapat mereproduksi dirinya sendiri dan
kemudian termahsyur dengan kata Autopeuosis yang secara etimologis terdiri dari kata Auto
diri dan Peuosis yang berarti penciptaan, tidak hanya pada level sistem, melainkan juga
manusia itu sendiri terdiri dari beragam Autopeuosis. Gagasan Luhmann tersebut sekaligus
merupakan kritik atas teori struktural-fungsional Talcot Parson yang sering dikritik karena
tidak mampu menjawab dinamika perubahan sosial dan membenarkan status quo4
Luhmann memulainya dengan mengajukan sebuah pertanyaan, bagaimana hukum dapat
dipandang sebagai sebuah sistem teori. Hukum memiliki perbedaaan dari bidang keilmuan
yang biasa disebut sebagai sains, apabila sains memisahkan antara fakta dan konsep berpikir,
maka hukum memisahkan antara fakta dan norma, hal inilah yang membuat ilmu hukum akan
selalu merujuk kembali pada istilah-istilah hukum itu sendiri. Apa yang kita sebut sebagai
Teori Hukum adalah sebuah upaya hukum untuk mendeskripsikan dirinya sendiri. Untuk
2
Niklas Luhmann. Social as a Social System. Oxford University Press. New York. 2004. Hlm 72
Ibid hlm 74 Luhmann mengatakan “Consequently, the legal system operates in the form of communication
under the protection of boundaries that are drawn by society”
4
Lihat F. Budi Hardiman. Teori Sistem Niklas Luhmann dalam Kebaruan Teori Sistem Niklas Luhmann. Jurnal
Filsafat Driyakara th XXIX no.3/2008 hlm3
3
dapat menjelaskan bagaimana bisa hukum memproduksi pengetahuan untuk dirinya sendiri
Luhmann tidak hendak mengokohkan upaya semacam sosiologi hukum –untuk menemukan
sisi empiris dari hukum- melainkan untuk melihat bagaimana hukum sebagai sebuah objek
dan reproduksi yang terjadi terus menerus. Secara tidak langsung dan dalam cara pandang
yang berbeda, Yvez Dezalay & Bryan B. Garth telah mengatakan hal serupa ketika mereke
berbicara tentang distribusi ‘pengetahuan hukum’5, misalnya darimana pengetahuan tersebut
diperoleh dan penggunaanya, namun berbeda dari Yvez & Garth yang melihatnya secara
empiris, Luhmann menukik lebih dalam dengan menanyakan bagaimana hukum sebagai
sebuah sistem sosial itu. Meski demikian, harus terlebih dahulu dicatat bahwa bagi Luhmann,
suatu sistem sosial hanya dapat mereduksi kompleksitas masyarakat, demikian pula pada
hukum sebagai sistem sosial, sebagai salah satu dari sistem sosial yang lain hukum juga
selalu gagal dalam merangkum realitas sosial yang demikian luas dan rumit. Upaya-upaya
untuk menyatukan hukum sebagai satu bidang ilmu yang utuh sebagaimana diupayakan oleh
hukum alam, positivisme hukum maupun sosiologi hukum melalui reproduksi ulang dirinya
yang justru basis-nya diambil dari pemisahan yang bukan hukum dan karena
ketidakmungkinan hukum untuk melakukan simplifikasi pada betapa majemuknya realitas
sosial. Kesulitan untuk menjelaskan dualisme antara hukum sebagai sistem tertutup maupun
terbuka menurut Luhmann dapat dijelaskan melalui Autopeiosis sebagai teori sistem. Hukum
sebagai sebuah sistem yang mandiri dan merujuk pada dirinya juga tak dapat dipandang
secara naif bahwa hukum tak akan terpengaruh pada hal-hal diluar dirinya seperti bencana
alam dan lain sebagainya layaknya slogan tegakkan hukum walau langit runtuh, namun tidak
semu hal yang diluar hukum dapat masuk menjadi hukum, dan pada titik itulah kita semua
dapat bertanya, bagaimana ilmu hukum menyeleksi apa yang dianggap sebagai hukum dan
apa yang bukan, melalui seleksi apa dan melalui kemewaktuan apa hal tersebut dapat
dilakukan? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut harus dicatat terlebih dahulu bahwa bagi
Luhmann, suatu sistem tak bisa menjadi sebuah sistem apabila ia tidak mengembangkan
lingkungan bagi dirinya, lingkungan tersebut –dalam konteks ini lingkungan hukumbersanding dengan lingkungan-lingkunganlain dan melakukan interaksi pada kanal-kanal
tertentu untuk membuka dirinya; untuk melakukan seleksi terhadap informasi tertentu dan
belajar darinya, namun alur pembukaan diri sebagai sebuah sistem tersebut bukan berarti
hukum belajar dari bagaimana ia terpengaruh oleh gerakan massa, manufer politik dan lain
sebagainya, namun bagaimana ia menyerap permasalahan-permasalahan tersebut yang
berkenaan dengan hukum sebagai sistem itu sendiri dengan logika hukum antara yang legal
dan yang ilegal dengan memasukkan antara fakta dan norma hukum itu sendiri secara sadar
yang menjadikan hukum sebagai sebuah sistem yang otonom dan selalu bersifat stabil
sekaligus kontingen, stabil sebagai sebuah sistem dan kontingen sebagai suatu yang
mendasarkan dirinya pada sesuatu diluar dirinya (misal grund norm Kelsen) dan hukum agar
tetap dapat disebut sebagai hukum harus menjaga ekspektasi normatifnya melalui penegakan
hukum meski dalam batas-batas tertentu hukum juga boleh disimpangi persis agar hukum
tetap dapat hidup.
Melalui uraian tersebut, tampak bahwa keadilan bagi Niklas Luhmann bukan berada pada
hukum melalui undang-undang, melalui paradoks kodifikasi dari self-reference dari hukum
itu sendiri antara yang legal dan yang illegal, dan legitimasi hukum sebagai sistem adalah
5
Lihat Yves Dezalay & Bryan B. Garth. Law, Class & Imperialism. American Bar Foundations. Los Angeles.
Berdasar hasil penelitian tersebut dikatakan bahwa bagaimana pengetahuan hukum menjadi suatu kapital yang
dibawa oleh tokoh-tokoh penting memberi kontribusi pada negara, seperti Adnan Buyung maupun Nehru,
Luhmann juga mengutarakan pertanyaan tentang bagaimana hukum sebagai salah satu sistem mereproduksi
bahasa hukum itu sendiri yang dapat terlihat contohnya pada pembicaraan yang hanya dimengerti oleh
komunitas hukum itu sendiri (pengacara, hakim, jaksa, sarjana hukum dsb) yang seolah terpisah dari
lingkunganya.
suatu reduksi kompleksitas dari realitas lingkungan yang lain yang diseleksi dari dalam demi
kelangsungan hidup dari hukum sebagai sistem karena bila ia gagal mereproduksi dirinya
pada saat itulah ia berakhir. Dengan demikian keadilan berada diluar undang-undang itu
sendiri, Pertanyaan yang dapat diajukan pertamakali dalam membaca teks Derrida ini adalah ;
bagaimana kita dapat membedakan antara penegakan hukum yang adil maupun yang tidak
adil?
Dimana Keadilan ? Irisan Hukum, Moral, dan Norma
Hukum seringkali didefinisikan sebagai seperangkat peraturan perundang-undangan yang
diciptakan oleh lembaga yang terstruktur secara politik untuk menjaga tatanan masyarakat
menuju pada ketertiban dan keteraturan hubungan antar manusia. Hukum mengandung nilainilai yang harus dipatuhi bersama karena akan mendatangkan saksi yang bersifat koersif bagi
mereka yang melanggar hukum tersebut. hukum dalam pengertian ini lebih menampakkan
dirinya sebagai produk dari kehendak penguasa untuk mengatur perilaku masyarakat, hingga
pada akhirnya hukum menjadi alat untuk mempertahankan status quo, dengan mengabaikan
dinamika perkembangan masyarakat.
Karakter hukum dicirikan dalam bentuk tertulis yang diundangkan pada lembaran negara
dengan ketentuan-ketentuan yang cukup panjang dan lama untuk kemungkinan perubahannya,
karakter ini pada akhirnya akan berjalan tertatih-tatih untuk menyesuaikan dirinya dengan
keinginan masyarakat, kompleksitas dan kemajemukan tatanan dalam masyarakat tidak dapat
terjangkau oleh hukum yang sah, karena ia merupakan produk dari suatu masyarakat tertentu
yang diberlakukan untuk mengatur masyarakat dikemudian hari. Perbedaan pada suatu zaman
tertentu akan merubah dan memperbaharui struktur nilai akibat pengaruh-pengaruh
kompleksitas dan kemajemukan persoalan yang harus dihadapai suatu masyarakat pada
waktu tertentu. Perubahan struktur nilai tersebut akan mempengaruhi penghakiman
masyarakat terhadap suatu perbuatan yang dahulu dianggap sebagai pelanggaran nilai
kemudian disuatu zaman perbuatan tersebut bukanlah pelanggaran nilai begitu sebaliknya.
Bekerjanya hukum sebagai suatu sistem yang otonom telah memisahkan dirinya dari
pengaruh diluar non-hukum, sebagaimana yang ditegaskan oleh Kelsen bahwa hukum harus
dipisahakan dari anasir-anasir non hukum yang dapat mengganggu kemurnian hukum dalam
menemukan kebenaran, anasir-anasir diluar non hukum berasal dari lingkungan yang
mengelilingi hukum, hukum menjadi sub-sistem dari sistem yang lebih besar, yaitu sistem
sosial.
Setiap sistem selalu mengandaikan antara ketertutupan dan keterbukaan, ketertutupan sistem
dimaksudkan untuk membedakan dirinya dengan lingkungan, namun ia tidak dapat dipahami
sebagai suatu hal yang terisolasi dengan lingkungannya.6 lingkungan merupakan dunia diluar
sistem itu sendiri, ciri utama dari lingkungan adalah kompleksitas atau chaos, 7 dan sistem
merupakan reduksi dari lingkungan yang chaos. Untuk memproduksi dan mempertahankan
keberlangsungan sistem, ia beroperasi dengan caranya sendiri (self-reference). Meskipun ia
otononom sebagai suatu sistem tapi tidak autarki (cukup diri). Dengan demikian ia memiliki
kanal-kanal untuk mencukupi dirinya dengan berkomunikasi terhadap lingkungan melalui
pemaknaan atas batas-batas dirinya sebagai suatu sistem.
6
Op Cit Niklas Luhmann, Law As Social System, hlm 80
Fitzgerald K. Sitorus. Masyarakat Sebagai Sistem-Sistem Autopoiesis; Tentang Teori Sistem Sosial Niklas
Luhmann dalam Op Cit. Jurnal Filsafat Driyakara hlm 23
7
Masyarakat dalam sudut pandang Luhmann bukanlah kesatuan moral atau kesatuan
konsensus rasional atau komunikatif, masyarakat terbentuk semata-mata berdasarkan proses
komunikasi yang terus menerus antara sistem-sistem, 8 dimana identitas sistem ini selalu
berubah karena pengaruh dari lingkungan akibat asupan-asupan makna yang terjadi terus
menerus, masyarakat dapat dianggap sebagai sistem sosial yang terdiri dari subsistemsubsistem yang menyokong keberadaan sistem sosial tersebut, ia dapat terdiri dari sub-sistem
agama, sub-sistem adat, sub-sistem hukum, sub-sistem ekonomi, sub-sistem sains, dan subsistem lain yang mempengaruhi dan menyokong sistem sosial. Sehingga dalam sistem sosial
terjadi ketidakstabilan atau chaos, karena gangguan dari sub-sistem yang menjadi
penyokongnya. Kondisi instabilitas sistem sosial ini pada akhirnya nanti juga dapat
mengganggu sub-sistem yang selanjutnya sub-sistem tersebut akan mereproduksi diri sesuai
dengan ciri khas yang merujuk pada dirinya sendiri. gangguan-gangguan ini sama sekali tidak
destruktif, justru bila tidak ada gangguan dari lingkungannya, suatu sistem akan kehilangan
kapasitasnya untuk beradaptasi dan akhirnya dapat dihancurkan oleh lingkungannya.9
Sebagai bagian atau sub-sistem dari sistem sosial, sistem hukum membedakan dirinya dengan
menciptakan garis batas (boundaries of law), yang timbul karena konsekuensi dari perbedaan
fungsi dan tugasnya sebagai sistem yang mengatur perilaku masyarakat dengan ciri khas
legalitasnya. Keseluruhan kompleksitas dinamika perkembangan masyarakat tidak dapat
secara sadar dapat ditangkap oleh sistem hukum, karena itu hukum harus beroperasi dalam
temporal sequence. Sistem harus dapat mengenali lingkungannya dengan menidentifikasi
keberoperasiannya secara berulang-ulang agar dapat memfasilitasi bentuk-bentuk selfreference melalui pengulangan-pengulangan tersebut.
Luhmann menyatakan bahwa fungsi hukum sebagi sub-sistem dari sistem sosial mencoba
untuk memproduksi skema biner (binary schema), yang menjaga harapan normatif yang
bagaimanapun juga tetap akan selalu berhadapan dengan ketidakmampuannya dalam
menanggulangi kompleksitas masyarakat. Namun hukum tidak secara penuh tanggap dengan
lingkungannya, ia hanya merespon bagian dari lingkungan yang dipilih sebagai norma, bukan
sebagai fakta. Setiap peristiwa yang terjadi didalam masyarakat (lingkungan) akan direspon
oleh hukum (sistem hukum) dengan memilah-milah peristiwa yang sesuai dengan harapan
normatif atau mana peristiwa yang dianggap sebagai peristiwa hukum, pemilahan ini
memunculkan paradoks atas peristiwa yang konpleks tesebut sehingga sistem hukum dapat
dikatakan sebagai simplifikasi dari peristiwa sosial yang terjadi dalam masyarakat.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat banyak sekali yang memperoleh respon
atau reaksi yang beragam dari masyarakat, tergantung bagaimana masyarakat memandang
peristiwa tersebut dari sudut pandang masing-masing, kompleksitas sudut pandang ini tidak
dikenal dalam sistem hukum karena ia hanya memilah-milah bagian yang legal dan illegal.
Oleh karenanya, hukum mendapat sorotan yang cukup tajam dari masyarakat yang berpikir
tidak dalam skema legal dan illegal, setiap individu sebagai bagian dari masyarakat melihat
setiap peristiwa dari berbagai sisi sistem, ia dapat melihat peristiwa tersebut dari sisi sistem
agama, sistem sains, sistem seni, sistem ekonomi, sistem budaya dan lain sebagainya,
sehingga melihat suatu peristiwa hanya pada satu sistem akan memunculkan kondisi
paradoks yang tajam.
Dengan menggunakan teori sistem, bekerjanya hukum dimana ia mereproduksi dirinya
sendiri adalah dengan melakukan komunikasi penuh makna (meaningful communications),
8
ibid hlm 29
Yudhi Dzulfadli baihaqi, Sistem Versus Differance: Luhmann dan Derrida tentang Paradoks Sistem-sistem
Sosial. Dalam ibid hlm 53
9
hukum harus memebdakan dirinya sendiri didalam masyarakat dengan mengidentifikasi
komunikasi mana yang merupakan komunikasi hukum (legal communications). Meskipun
secara bahasa hukum memiliki term-term yang menjadi ciri khas dari studi hukum, namun ia
bukan dalam pengertian bahasa yang terpisah dengan yang lain, artinya bahwa hukum tidak
dapat dikaji melalui penggunaan teori bahasa. komunikasi hukum memiliki hubungan timbal
balik (circle relationship) antara struktur dan bekerjanya hukum, structures can only be
established and varied by operations that, in turn, are spesified by structures. Didalam
komunikasi, ada berbagai macam informasi, pesan dan pemahaman dari suatu dinamika
hubungan antara beroperasinya hukum dengan struktur hukum. hukum tidak dapat
memaksakan dirinya dengan sekedar menjalankan prosedur yang memiliki kekuatan hukum,
ia harus juga menangkap pesan yang berasal dari struktur dirinya, kesadaran bahwa hukum
merupakan bagian dari sistem sosial.
Komunikasi hukum berkaitan dengan harapan tentang apa yang seharusnya terjadi, meskipun
apa yang seharusnya terjadi ini tidak dapat selalu terjadi. Komunikasi hukum ini juga
beririsan dengan komunikasi moral dan agama yang juga berurusan dengan harapan tentang
apa yang seharusnya terjadi. Untuk membedakan antara komunikasi ini, hukum menciptakan
coding event didalam lingkungannya menggunakan binary code yang unik sendiri yaitu legal
dan illegal.
Alasan hukum beroperasi secara tertutup dapat dideskripsikan sebagai normative closure
yang dapat dilihat dengan cara bagaimana hukum merespon lingkungannya. Bekerjanya
hukum terstruktur elalui pebedaan antara norma dan fakta. Hukum memperbandingkan antara
fakta dan normanya. Hukum bekerja secara tertutup ini dapat dilakukan karena tidak ada
norma yang dapat dengan sendirinya menjadi norma hukum, ia hanya dapat mengenali norma
dari sistem lain sebagai suatu fakta dan meresponnya, namun hanya karena dimana norma
yang dimilikinya memiliki kemampuan untuk mengenali norma tersebut sebagai fakta.
Hukum hanya dapat belajar dengan membangun norma hukum baru karena respon terhadap
lingkunganya yang juga mengandung norma dalam sistem lain. Namun tidak serta merta
suatu norma moral dengan sendirinya dapat menjadi norma hukum. Apakah suatu norma
dapat dikatakan sebagai norma hukum atau tidak hanya dapat dipastikan melaluiobservation
of the recursice network yang memproduksi norma hukum, yaitu dengan melakukan
pengamatan atas contect of production yang menjadikannya sebagai sistem yang berbeda.
Ketertutupan normatif hukum dapat meraih suatu bentuk kesadaran karena hal ini
menyederhanakan kompleksitas yang terjadi dalam lingkungan.
Telah dijabarkan bahwa hukum bekerja dalam Code-nya tersendiri yaitu melalui logika binair
legal/illegal, namun pemisahan tersebut bukanlah pemisahan yang kokoh begitu saja,
Luhmann mengatakan bahwa oposisi tersebut juga sekaligus merupakan paradoks 10 dan
melalui kondisi tersebut, sistem hukum kemudian melakukan deparadoksasi dengan
memprogram code melalui penegasan kembali mana yang legal dan mana yang illegal.
Permasalahan keadilan bagi Luhmann bukanlah persoalan bagaimana hukum beroperasi
dengan cara berpikir distingsi antara legal/illegal melainkan pada level program, ia bekerja
ketika sistem hukum sebagai penjaga harapan normatif berhadapan dengan kekecewaan, ide
10
Luhmann menjabarkan paradoks tersebut dalam lima point; pertama hukum membedakan dirinya dari
lingkungan dan sistem yang lain, dan untuk itu ia memiliki cara berpikirnya sendiri kedua cara tersebut
diperkuat dengan tautologi bahwa yang legal adalah legal, ketiga tautologi tersebut menegasi dirinya bahwa
yang legal adalah sekaligus ilegal keempat, pada sistem sosial tersebut tumbuh dalam kontradiksi bahwa yang
legal bukanlah illegal kelima kontradiksi tersebut berakhir dengan penegasan ulang tentang mana yang legal dan
illegal lihat dalam Op Cit Niklas Luhmann hlm 175-176
perihal keadilan adalah juga tentang kontingensi.11 Untuk dapat menangkap keadilan, hukum
sebagai sistem kemudian berusaha untuk mendifinisikan keadilan, kata Luhmann “The
system itself has to define justice in such a way that makes it clear that justice must prevail
and that the system identifies with it as an idea, prionciple, or value. The Formula for
contingency is stated within the system non-contentiously” 12 . Ketika hukum gagal dalam
memenuhi harapan normatif dari lingkungan yang telah direduksi dengan logika berpikirnya,
kekecewaan tersebut memancing hukum untuk mencari keadilan dalam bentuk norma yang
relevan untuk dirumuskan, sifat kontingen keadilan tersebut adalah sebuah prasyarat untuk
pencarian akan nilai yang kemudian hanya bisa valid dalam bentuk program yang selanjutnya
akan membentuk code.
Sebagai pembanding atas deparadoksasi Luhman, Derrida justru berpendapat bahwa paradoks
tersebut sudah selalu lebih dahulu dan kita tak akan dapat keluar dari paradoks-paradoks
tersebut.
Berbeda dengan Luhmann yang mengatakan Autopoetik memicu de-paradoksisasi,
Dekonstruksi Derrida justru selalu mencari paradoks untuk kemudian dibongkar.
Pembongkaran tersebut juga dilakukan melalui keadilan yang bagi Derrida adalah suatu yang
tak mungkin, sebelumnya harus dicatat bahwa keadaan tidak dapat diobjektifkan maupun
dikatakan, tanpa mengkhianati keadilan itu sendiri.13 dengan merujuk pada Pascal, Derrida
mengatakan keadilan, penegakan hukum (law enforcement) tidak bisa dilepaskan dari
kekuataan paksaan, keadilaan yang tidak memiliki daya paksa adalah sebuah keadilan yang
mandul (law without force is powerless), dan keadilan yang mandul bukanlah sebuah
keadilan. Baik hukum maupun paksaan adalah sebuah kesatuan, hukum tanpa paksaan adalah
hukum yang powerless, namun disisi lain, paksaan tanpa hukum adalah sebuah sebuah
kekerasan yang tidak berdasar. Singkatnya, sebuah keadilan memerlukan “sesuatu”
dibelakangnya, dan sesuatu itu adalah konsekuensi berupa penegakan hukum itu (law
enforcement).
“Force without justice is tyrannical. Justice without force is gainsaid, because there
are always offenders; force without justice is condemned. It is necessart then to
combine justice and force; and for this end make what is just strong, or what is strong
just”14
Derrida melihat ada suatu hal yang mistis disini, yaitu suatu hal yang menghancurkan dirinya
sendiri, melalui selubung misteri pembentukanya, dimana hukum dalam legitimasinya
terletak pada kekuatan baik dari para legislator, kedaulatan negara, dan adat, dimana
ketiganya berdiri intrepretasi atas hukum dan keadilan itu sendiri yang disebutnya sebagai
Mystical Foundation of the Authority : orang menaati hukum bukan karena dia adalah sesuatu
yang adil, melainkan karena dia semata-mata adalah hukum, karena kekuatan dari “otoritas”,
harus dicatat bahwa kata “gewalt” dalam bahasa Jerman, memiliki dua arti sekaligus baik
kekerasan maupun otoritas (akan dibahas nanti dalam pandangan Walter Benjamin melalui
karyanya Zur Kritik der Gewalt). Pandangan Pascal dan Montaigne ini berarti memisahkan
antara “hukum” dan “keadilan” sebagai dua hal yang terpisah, yang meski terpisah, keduanya
tidak dapat dilepaskan satu sama lain. Hal ini sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari kritik
11
Ibid hlm 214
Loc cit
13
..that one cannot speak directly about justice, thematize, or objectivize justice, say “this is just” and even less
“I am just”, without immadiately betraying justice, if not law” Jacques Derrida. Force of Law, The Mystical
Foundation of the Authority dalam Jacques Derrida. Act of Religion. Routledge. New York & London. P.237
14
Ibid hlm 239
12
Pascal atas hukum alam yang mulai babak belur di era Renesaince, namun menurut Derrida,
struktur mistis ini tidak boleh dilepaskan ketika melakukan suatu dekonstruksi atas hukum15.
Sikap mistis atas suatu otoritas yang ada, baik legislatif, adat, maupun kedaulatan merupakan
suatu bentuk kekerasan yang dilupakan, yang bungkam, dimana hukum berdiri diatasnya,
adalah sebuah kekerasan tanpa dasar, baik legal maupun illegal, kenapa? Karena dalam
berdirinya suatu otoritas, kekerasan adalah suatu konsekuensi yang pasti terjadi. Melalui
uraian tersebut, dapat dikatakan Pascal disini meletakkan force sebagai predikat dari justice.
Jadi, meski hukum dan keadilan adalah dua hal yang berbeda ; -hukum tidak dapat dikatakan
sebagai keadilan- keduanya tidak dapat pula dipisahkan.
Hubungan antara otoritas dan berdirinya hukum membuat posisi pijakan hukum tidak kokoh
dengan sendirinya, dalam momen kekosongan atas dasar ini, goyahnya pondasi, Derrida
mengatakan bahwa dengan demikian hukum menjadi mungkin untuk didekonstruksi, bahkan
Derrida mengatakan bahwa keadilan adalah dekonstruksi itu sendiri :
“it is this deconstructible structure of law or, if you prefer, of justice as law, that also
ensures the possibility of deconstruction. Justice in itself, if such a thing exist, outside
or beyond law....Deconstruction is justice. It perhaps because law...is constructible, in
a sense that goes beyond the opposition between convention and nature, it is perhaps
insofar as it goes beyond this opposition that is constructible, and so deconstructible
and, better yet that it makes deconstruction possible, or at least the exercise of a
adeconstruction that, fundamentally, always proceeds to questions of law and to the
subject of law”16
Sebelum beranjak lebih jauh, mari kita urai dulu dua hal yang harus diperhatikan ; pertama
keadilan adalah sebuah hal yang tak dapat kita rasakan sebagai pengalaman kedua meski
demikian, tidak ada keadilan tanpa pengalaman seberapapun mustahilnya, keinginan, hasrat,
akan keadilan adalah sebuah pengalaman yang tidak mungkin, sebuah aporia. Maka ketika
seseorang menginginkan keadilan, ketika seseorang mengatakan yang ini adil sementara yang
lain tidak, tidak lain adalah sebuah momen tentang yang tidak mungkin. Dalam momen
aporia tersebut, makna keadilan akan selalu tertunda dalam dekonstruksi, dalam momen yang
disebut Derrida sebagai Differance. Hubungan antara hukum dan keadilan dapat dikatakan
sebagai berikut : Klaim-klaim hukum yang hendak menjamah keadilan untuk memperoleh
legitimasi, dan dilain pihak keadilan yang menubuh dalam hukum agar memperoleh
kekuatanya, disini Derrida mengutarakan beberapa aporia akan kemungkinan keadilan.
Aporia pertama disebut Derida sebagai Epoche of the Rule. Aporia pertama ini, Derrida
mengatakan, untuk menjadi adil, tidak bisa berpegang pada peraturan yang telah tersedia,
untuk menemukan momen keadilan, seseorang harus mempertimbangkan re-intrepretasi, nilai,
dan lain sebagainya17, dalam momen pangambilan keputusan tersebut, hakim misalnya harus
memecahkan momen penundaan terus menerus akan keadilan dan hukum. Dalam
memecahkan momen penundaan yang terus menerus tersebut, maka seorang hakim harus
memutuskan perkaranya dengan keputusan yang “berbeda”, yang “segar” dan unik di setiap
kasus.18 Disinilah momen aporia terjadi, Derrida mengatakan bahwa keadilan harus melalui
momen yang tidak terpisahkan dalam penundaan, namun ketika seseorang memutuskan rantai
“This Pascalian pensee concerns perhaps a more intrinsic structure. A critique of juridcal ideology should
never neglect this structure” lihat dalam ibid hlm 241
16
Ibid hlm.243
17
“ To be just, the decision of a judge for example, must not only follow a rule of law or general law but must
also assume it, approve it, confirm its value by a reinstituting act of intrepretation, as if , at limit the law did not
exist previously- as the judge himself invented it in each case” ibid hlm 251
18
“Each decision is different and requires an absolutely unique intrepretations” Loc cit.
15
penundaan tersebut maka itu adalah momen keadilan yang mengalami kalkulasi (calculated
justice). Aporia Kedua The haunting of the undecidable. Momen pengambilan keputusan dan
keadilan tidak tercermin dalam sebuah keputusan yang final, misalnya putusan pengadilan
yang kongkret, namun momen keadilan harus melewati momen yang tidak dapat dilewati,
yang-tak-terputuskan : yaitu the undecidabilty, momen yang tidak dapat diputuskan. Putusan
pengadilan yang melewati momen yang tak terputuskan tersebut mungkin memang memiliki
sifat yang legal, namun hal yang melewati tersebut berarti telah merubah keadilan menjadi
keadilan yang telah dihitung-hitung, (calculable justice). Momen undecidable ini selalu
menghantui setiap keputusan yang menanti untuk diputuskan 19 yang sebenarnya untuk
mencapai keadilan, tidak ada satupun putusan yang dapat melalui momen yang tak
terputuskan karena begitu dia diputuskan, disitu sudah bukan keadilan lagi, melainkan
calculable justice. Keadilan adalah sebuah kegilaan, yang tak terbatas, yang selalu akan
datang, dengan tetap merujuk pada Pascal, Derrida mengatakan bahwa keadilan tidak dapat
ditimbang dengan berbagai aspek, ekonomi, aturan tertulis, akal sehat, maupun lain
sebagainya.20 Dengan jatuh pada hitung-hitungan, maka keadilan bukan lagi sebuah keadilan.
Aporia ketiga : The Urgency that obstructs the Horizon of Knowledge. Keadilan adalah
momen ketergesaan, yang bagaimanapun mustahilnya, keadilan dibutuhkan seketika saai itu
juga. Bahkan ditengah ketergesaan tersebut, seseorang memiliki waktu, dan segenap
pengetahuan yang dibutuhkan untuk menimbang-nimbang, keadilan tetaplah merupakan
momen yang dibutuhkan dengan segera. Derrida mengatakan “a just decision is always
required immadiately, right away, as quickly as possible”21, namun sebagaimana telah kita
ulik pada aporia sebelumnya diatas, maka ini adalah sebuah paradoks disatu sisi keadilan
akan mengalami proses penundaan, namun disisi lain keadilan adalah suatu hal yang
diperlukan pada saat itu juga, pada saat seseorang menyebutkan namanya dalam setiap
pengharapan akan sang “ratu adil” yang terdapat dalam agama-agama, padahal keadilan
adalah selalu sesuatu-yang-akan-datang (Avenir, Justice remains “to come”) sehingga
momen keadilan yang diharapkan hadir oleh para metafisikawan abad pencerahan yang
mengedepankan momen kehadiran harus kecewa karena keadilan adalah sesuatu yang tidak
pernah hadir pada dirinya. Calculable - incalculabe Justice sendiri juga memuat paradoks
lain, karena incalculable sendiri menuntut adanya calculation. Saya kutip disini :
“An absolute assurance against this risk can only saturate or suture the opening of
the call to justice, a call that is always wounded, But incalculabe justice commands
calculation”22
“Not only must one calculate, negotiate the relation between the calculable and the
incalculable, and negotiate without a rule that would not have to be reinvented there
where we are “thrown” then where we found ourselves; but one must do so and take
it as far as possible, beyond the place we find ourselves and beyond the already
identifiable zones of morality, politics, or law, beyond the distinction between
national and international, public and private, and so on” 23
Rentetan Aporia dan Paradoks diatas, yang menunjukkan hubungan antara keadilan, hukum,
dan kekerasan. Peraturan dan keadilan, hantu akan momen yang tak terputuskan, serta
keadilan yang menuntut kesegaraan seketika, dalam teks pertama ini Derrida mengatakan
“the undecidable remains caught, lodged, as a ghost at least but an essential ghost in every decision, in every
event of decision” ibid hlm253
20
Ibid hlm 254
21
Ibid hlm. 255
22
Ibid hlm 257
23
Loc cit
19
bahwa Keadilan sebagai yang-tak-mungkin. Disini Derrida kemudian melanjutkan dengan
pembacaan mendalam atas teks dari Walter Benjamin yang berjudul Zur Kritik der Gewalt
(dalam bahasa Inggris: Critique of Violence. Zur Kritik der Gewalt lahir dalam latar belakang
Borjuasi Liberal masyarakat Eropa yang tengah berkembang pada kala itu, teks tersebut juga
lahir tatkala perdebatan antara hukuman mati menyeruak dalam diskursus hukum. Dalam teks
ini, menurut Derrida, Benjamin mengadakan sebuah upaya untuk terus mengatakan bahwa
keadilan tidaklah terdapat dalam hukum maupun putusanya. Hal ini didasari oleh dua jenis
kekerasan yang selalu berkaitan satu sama lain : Founding Violence dan Pereserve Violence24.
Kemudian Benjamin membedakan antara Founding Violence yang disebut Derrida sebagai
“mythic” dan destruksi yang menghapus keberadaan hukum yang disebut “divine”, yang
ketiga perbedaan antara keadilan sebagai prinsip untuk menuju tujuan yang dikehendaki,
serta kekuasaan sebagai prinsip mistis untuk hukum mendasarkan dirinya.
Penulis bersepakat dengan Gunther Tubner 25 dan Yudhi Dzulfadli Baihaqi 26 yang
mengatakan bahwa sistem Autopoetik “terancam” oleh Differance Derrida, sistem hukum
sebagai yang tertutup sekaligus terbuka dipicu oleh de-paradoksasi dari sistem itu sendiri
dimana tegangan-tegangan tersebut mengancam hukum sebagai sebuah sistem dan untuk
dapat mempertahankan dirinya, ia harus menyesuaikan diri pada tegangan-tegangan tersebut.
Satu garis merah disini adalah bagaimana baik Derrida maupun Luhmann memandang
keadilan, Derrida di satu sisi mengatajan bahwa Keadilan adalah suatu yang selalu akan
datang, ia adalah kegilaan yang sekaligus tak mungkin, Luhmann disisi lain mengatakan agar
dapat eksis hukum harus terus tertutup sekaligus terbuka untuk mempertahankan
kelangsunganya sendiri, disini persoalan keadilan adalah persoalan yang kondisional, ia
adalah permasalahan mempertahankan dirinya. Baik Derrida maupun Luhmann mengatakan
bahwa keadilan adalah suatu yang diluar sana, ia adalah suatu yang diluar hukum dan segala
upaya yang dilakukan oleh hukum melalui logika kode dari hukum antara legal/illegal
maupun paradoks pada dirinya adalah suatu reduksi pada keadilan itu sendiri. Bila demikian
apakah tugas hukum selanjutnya?
Tugas Hukum; Memungut Yang Tercecer
Sebagai sebuah sub-sistem dari, hukum mereduksi dari kompleksitas sosial yang
dilingkupinya, untuk dapat membedakan dirinya dari lingkunganya. Reduksi tersebut akan
selalu menyisakan ekses, selalu ada yang tercecer, yang tertinggal dari reduksi tesebut dengan
kata lain; hukum adalah simplifikasi realitas sosial. Ekses tersebut membuat ada yang luput,
sebagai sebuah sistem untuk mempertahankan harapan normatifnya, reduksi kompleksitas
sistem sosial dalam suatu dimensi temporalnya akan berhadapan dengan kekecewaan,
kekecewaan tersebut akan memacu keadilan bekerja untuk mencari nilai yang sesuai, nilainilai tersebut berasal dari luar hukum dengan sadar diri untuk mencukupi dirinya,
mempertanyakan batasan-batasan hukum dan melakukan program ulang atas mana yang legal
dan illegal.
Ketidakmungkinan hukum melihat peristiwa secara utuh, telah membawa hukum pada suatu
kondisi yang parsial dengan mengabaikan fakta-fakta diluar code cara dia beroperasi. Hukum
akan dihadapkan pada serangkaian peristiwa-peristiwa yang mempertanyakan batasn hukum
tersebut, taruhlah pemidanaan atas nenek minah yang dibumbui pula dengan air mata hakim
yang menjatuhkan putusan bersalah pada nenek yang mencuri semangka tersebut. Logika
24
Ibid hlm.260
Gunther Tubner. Economics of Gift – Positivity if Justice : The Mutual Paranoia of Jaacques Derrida and
Niklas Luhmann. Theory Culture Society. 2000
26
Yudhi Dzulfadli Baihaqi. Dalam Op Cit Jurnal Filsafat Driyakara hlm 51-61
25
hukum telah mereduksi kompleksitas serangkaian fakta yang berkelindan dalam peristiwa
tersebut dengan cara berpikir antara legal/illegal, namun persis pada saat itu pulalah hukum
ditantang untuk menegaskan kembali batasan dirinya, yang memicu pertanyaan apakah
hukum itu, yang mendorong hukum agar bisa bertahan dan mengambil informasi-informasi
yang diperlukan. Tugas besar hukum kemudian adalah bagaimana memungut ceceranceceran yang tertinggal atas reduksi dirinya sebagai sebuah sistem tersebut. Melalui teori
sistem Luhmann memperlihatkan bahwa pada hakikatnya tidak ada batasan yang tegas
hukum sebagai sebuah sistem dengan sistem-sistem yang lain. Satjipto pada suatu
kesempatan mengatakan bahwa peraturan sebagai sesuatu yang legal dan kenyataan sebagai
sesyuatu yang sociological, empirical bukan dua hal yang terpisah dan bisa dipisahkan secara
mutlak. 27 Ketidakmampuan hukum untuk menyerap segala kompleksitas itu membuatnya
selalu dalam ancaman eksistensi dirinya, dan untuk itulah ia harus membuka diri,
membuatnya deparadoksisasi pada dirinya.
Penutup
Hukum merupakan sub-sistem dari sistem sosial, ia ada bukan untuk dirinya sendiri,
melainkan untuk menyokong kompleksitas masyarakat sekaligus sebagai basis eksistensi
dirinya. Kesadaran akan tugas hukum sebagai sub-sistem kemasyarakatan akan selalu
membawa hukum pada reproduksi makna yang akan terus-menerus terjadi untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan. Arah pencarian hukum tidak sekedar menemukan
kebenaran namun juga untuk menemukan keadilan agar ia selalu dapat beradaptasi dengan
kompleksitas lingkungan atau masyarakat.
Keadilan dengan demikian dalam perspektif Luhmann bukanlah suatu yang inheren melekat
pada hukum, ia baru muncul ketika eksistensi hukum sebagai sistem yang otonom dan
terpisah berada dalam ancaman, namun berbeda dengan keadilan Derrida yang mengatakan
bahwa keadilan selalu berada diseberang sana, dan melulu merupakan kegilaan yang tak
mungkin, Luhmann justru melihat hal tersebut sebagai fakta bahwa hukum memang tak akan
selalu cukup diri dan melalui pertanyaan fundamental tentang keadilanlah hukum akan
membuka diri. Meskipum begitu, cukup menarikpula untuk diapresiasi sebagaimana Tubner
dan Dzulfa, bahwa petualangan dekonstruksi untuk terus mencari paradoks akan selalu
mengancam kemapanan otonomi hukum untuk kemudian membuka dirinya.
27
Satjipto Rahardjo. Hukum dalam Jagad Ketertiban.UKI PRESS. Jakarta. 2006 Hlm 170