URGENSI MANAJEMEN BERBASIS EKOSISTEM PAD
1
URGENSI MANAJEMEN BERBASIS EKOSISTEM
PADA BENCANA ALAM DI LAUT
”Pentingnya Manajemen yang Berorientasi Lingkungan Untuk Mengurangi Dampak
Bencana Alam di Laut ”
Oleh
Ade prasetia, S.Kel, M.si (Han)
Abstract
This paper describes about environmental management model which
is very useful in supporting aspects of mitigation in overcoming natural
disaster. It is especially for pre-disaster phase. It emphasizes on
environmental functions naturally to be ideal context to create an
environment stability that is linear with the role of environment itself in
decrease the susceptibility that contains in a area which has natural
disaster potential. This model well-known as management ecosystem
based which can role as arrangement of organizing linear environment
whose aim is to overcome disaster using natural function. It is to reduce
the impact of natural disaster. Thus, Navy must have used management
based on this environment. It is to success its role in Military Operation
Other Than War, the overcoming disaster crucially.
Keywords: Management based on ecosystem, Disaster in the sea, The
role of Navy in overcoming disaster.
1.
Latar Belakang
Bagi Indonesia yang merupakan negara maritim, bencana alam
bukan saja dapat terjadi di darat tetapi juga di kawasan laut. Malahan,
bencana alam terbesar yang dihadapi Indonesia dalam dua dekade
terakhir merupakan bencana alam laut berupa gelombang tsunami.
Tsunami Aceh 2004 misalnya, membawa gelombang ke kawasan pantai
2
hingga setinggi 10 meter. Diperkirakan 170 – 220 ribu korban jiwa yang
hilang karena bencana ini.1 Selain itu, Indonesia juga telah beberapa kali
mengalami bencana alam laut yang merugikan. Bulan Februari 2003,
badai tropis Fiona di selatan Jawa Tengah mengakibatkan hilangnya
sebuah pesawat latih. Badai tropis Inigo bulan April 2003 memicu banjir
bandang dan gelombang tinggi yang menghantam Pulau Flores.2 Tahun
2002, 2007, dan 2012, badai tropis mengakibatkan hujan terus menerus
dan menyebabkan banjir di kawasan Jakarta.3
Gambar 1. Peta Kejadian Bencana Banjir di Indonesia Tahun 1979-2009
Data
global
BNPB
berdasarkan
tipe
bencana
4
1815-2014
mengungkapkan bahwa hanya terjadi 10 kali gempa disertai tsunami
dalam waktu 2 abad tersebut, tetapi mampu menelan korban ratusan ribu
1
BBC. 2005. Indonesia quake toll jumps again. http://news.bbc.co.uk/2/hi/asiapacific/4204385.stm. Diakses tanggal 9 Agustus 2014 pukul 21.01 WIB.
2
Tunggal, N. 2013. Tak Selamanya Indonesia Aman dari Badai Tropis.
http://sains.kompas.com/read/2013/11/12/1000348/Tak.Selamanya.Indonesia.Aman.dari.
Badai.Tropis. Diakses tanggal 9 Agustus 2014 pukul 21.07 WIB.
3
Kompas,
2012.
Indonesia
Hanya
Kena
Ekor
Badai
Tropis.
http://nasional.kompas.com/read/2012/01/08/09374395/Indonesia.Hanya.Kena.Ekor.Bad
ai.Tropis. Diakses tanggal 9 Agustus 2014 pukul 21.11 WIB.
4
http://www.bpbd.nttprov.go.id/index.php/informasi-peta/58-peta-kejadian-bencanabanjir-di-indonesia-tahun-1979-2009.html. Diakses tanggal 9 Agustus 2014 pukul 19.06
WIB.
3
orang. Sementara itu, terdapat 12 kali tsunami tanpa gempa dengan
korban 3.519 orang.5
Gambar 2. Penyebaran Potensi Bencana Tsunami di Indonesia
6
Mengatasi masalah ini, Indonesia telah mengembangkan sistem
peringatan dini tsunami maupun mendirikan Tropical Cyclone Warning
Centre (TCWC) Jakarta. Sistem peringatan dini BMKG memberikan
peringatan harian mengenai gelombang tinggi, siklon tropis, dan banjir rob
di kawasan Indonesia. Walau begitu, langkah mitigasi juga perlu
dilakukan. Memang sulit memitigasi bencana alam di laut karena sifatnya
yang terhubung dengan sistem global dan kompleks. Walau begitu,
terdapat langkah-langkah yang dapat diambil untuk meminimalkan resiko
dampak bencana alam tersebut. Salah satu langkahnya adalah dengan
mengelola ekosistem secara lebih peka. Artikel ini bertujuan meninjau
berbagai model manajemen berbasis ekosistem pada bencana alam di
laut. Diharapkan tinjauan ini memberikan masukan bagi berbagai
stakeholder dalam upaya mengurangi resiko dampak bencana alam di
laut di Indonesia.
5
BNPB.2014.DatadanInformasiBencanaIndonesia.
http://dibi.bnpb.go.id/DesInventar/dashboard.jsp?countrycode=id.Diakses
tanggal
9
Agustus 2014 pukul 21.35 WIB.
6
https://inatews.bmkg.go.id/new/about_inatews.php?urt=3. Diakses tanggal 9 Agustus
2014 pukul 20.09 WIB.
4
2.
Bencana Alam Laut
Indonesia belum memiliki peraturan khusus mengenai klasifikasi
bencana alam di laut. Dalam kondisi seperti ini, kita dapat mencontoh
pemerintah Vietnam. Pemerintah Vietnam telah membuat keputusan
perdana
menteri
tahun
no
133
tahun
2009
yang
memberikan
pembentukan kebijakan komunikasi bencana alam di laut. Menurut
keputusan ini, bencana alam di laut terdiri dari enam jenis yaitu depresi
tropis dan badai, tsunami, angin kuat, angin petir, kabut laut, dan
gelombang tinggi.7 Masing-masing memiliki ukuran kuantitatif untuk dapat
dinyatakan sebagai bencana alam. Depresi tropis menjadi bencana alam
jika memiliki kecepatan angin tertinggi level 6 atau 7. Badai memiliki
kecepatan angin lebih tinggi lagi. Tsunami memiliki kecepatan hingga 800
km/jam. Angin kuat memiliki kecepatan level 6. Angin petir juga memiliki
kecepatan minimal level 6. Kabut memiliki ketampakan horizontal kurang
dari 1 km, dan gelombang dikatakan tinggi jika memiliki tinggi lebih dari 2
meter.
Gambar 3. Kecepatan dan Ketinggian Tsunami Tergantung Pada Kedalaman Laut
7
8
Vietnam Government. Decision No. 133/2009/QD-TTg promulgating the Regulation on
communication for warning and forecast of natural disasters at sea.
8
https://inatews.bmkg.go.id/new/about_inatews.php?urt=14. Diakses tanggal 9 Agustus
2014 pukul 21.06 WIB.
5
Sebagai bentuk bencana, bencana alam di laut berdampak pada
kehidupan manusia. Selain akibat langsung, bencana alam di laut juga
dapat berakibat pada pasar minyak internasional. Sebagai contoh, badai
Katrina tahun 2005 menyebabkan berkurangnya produksi minyak dan
mengakibatkan harga minyak dunia meningkat.9 Karenanya, SKK Migas
telah mengembangkan prosedur tetap untuk penanggulangan bencana
alam di laut yang diujikan dalam Latihan Komodo di Batam, akhir Maret
2014.10
Selama ini bencana alam di laut berhadapan dengan masalah
kurangnya informasi dua arah, kesadaran masyarakat lokal, dan
perlengkapan komunikasi bagi nelayan. Selain itu, rendahnya sistem
peringatan dini dan pelatihan menghadapi bencana alam laut juga
berkontribusi terhadap parahnya dampak dari bencana alam laut. Solusisolusi ini merupakan bentuk solusi fisik, informasional, dan mental. Solusi
fisik lainnya dapat berupa pembangunan dan pemeliharaan bangunan
talud (penahan abrasi).11 Manajemen berbasis ekosistem merupakan
salah satu bentuk solusi fisik yang dapat dikembangkan pula untuk
mitigasi bencana alam di laut.
3.
Manajemen Berbasis Ekosistem
Manajemen
Berbasis
Ekosistem
(MBE)
merupakan
sebuah
kerangka manajerial kawasan pesisir dan laut yang bersifat holistik. Sifat
holistik ini tercermin dari banyaknya kategori yang terlibat dalam MBE,
mulai dari kategori umum (keberlanjutan, kesehatan ekologis, dan inklusi
Basit, S., Tunsjo, O. 2012. Emerging Naval Powers in Asia: China’s and India’s Quest
for Sea Power, Oslo Files on Defence and Security, 32
10
JPNN. 30 Maret 2014. Latihan Komodo, 13 Kapal Perang Berkumpul di Batam.
http://www.jpnn.com/read/2014/03/30/225162/Latihan-Komodo,-13-Kapal-PerangBerkumpul-di-Batam- . Diakses tanggal 10 Agustus 2014 pukul 20.12 WIB.
11
Talud adalah lereng yang curam dan pendek yang terbentuk secara bertahap pada
batas lereng bawah suatu lahan karena proses deposisi pada hedge, dinding batu, atau
penahan yang sama lainnya. Pembangunan talud dapat terjadi secara alami dan dapat
pula dibangun dengan tujuan tertentu. Sala satu tujuan dari pembangunan talud adalah
untuk penahan abrasi pantai.
9
6
manusia dalam ekosistem), kategori spesifik ekologis (kompleksitas,
temporal, dan spasial), kategori dimensi manusia spesifik (barang dan
jasa ekonomi, ekonomi, dan stakeholder), dan kategori manajemen
spesifik (berbasis sains, perbatasan, adaptasi, manajemen bersama,
pendekatan hati-hati, lintas disiplin, pengawasan, dan teknologi).12 Setiap
ilmuan atau pembuat kebijakan dapat membangun definisi tersendiri yang
ditarik dari 17 kategori tersebut. Sebagai contoh, Smythe menggunakan
12 kriteria untuk studi MBE yang ia lakukan,13 sementara Lackey
menggunakan tujuh kriteria.14 Kesepakatan dari 200 ilmuan dan pakar
kebijakan pada tanggal 21 Maret 2005 mendefinisikan MBE sebagai
“sebuah pendekatan manajemen terintegrasi yang mempertimbangkan
keseluruhan
ekosistem,
termasuk
manusia,
dengan
tujuan
mempertahankan ekosistem dalam kondisi yang sehat, produktif, dan
terjaga sehingga dapat memberikan pelayanan pada keinginan dan
kebutuhan manusia.”15
Manajemen
berbasis
ekosistem
merupakan
konsep
yang
diterapkan lebih banyak pada masalah yang berhubungan dengan
kesamuderaan, karena sejauh ini dipandang kawasan ini merupakan
kawasan yang masih terabaikan dari sistem manajemen terintegrasi. 16
Walau begitu, hingga saat ini ia lebih diarahkan pada manajemen
penggunaan sumberdaya laut seperti perikanan.17
12
Arkema, K.K., Abramson, S.C., Dewsbury, B.M. 2006. Marine ecosystem-based
management: from characterization to implementation. Front Ecol Environ 2006; 4(10):
525–532, hal. 527.
13
Smythe, Tiffany Catherine, "An Analysis Of The Capacity Of Coastal Management
Practitioners To Develop Coastal Ecosystem‐Based Management Plans" (2011). Open
Access Dissertations. Paper 112., hal. 13.
14
Lackey, Robert T. 1998. Seven pillars of ecosystem management. Landscape and
Urban Planning. 40(1/3):21-30.
15
McLeod KL, Lubchenco J, Palumbi SR, Rosenberg AA. 2005. Scientific Consensus
Statement on Marine EBM. Communication Partnership for Science and the Sea.
16
Guerry, A.D. 2005. Icarus and Daedalus: conceptual and tactical lessons for marine
ecosystem-based management. Front Ecol Environ 2005; 3(4): 202–211, hal. 209.
17
Link, J. S. 2005. Translating ecosystem indicators into decision criteria. ICES Journal
of Marine Science, 62: 569-576., hal. 569.
7
Konsep MBE memiliki hubungan erat dengan Penilaian Ekosistem
Terintegrasi dan Perencanaan Ruang Pesisir dan Laut. Penilaian
ekosistem terintegrasi dan perencanaan ruang merupakan dua alat, dari
sekian banyak alat lainnya, yang dapat digunakan untuk mendorong MBE
dapat berjalan.18 Terdapat banyak alat yang dapat digunakan, tergantung
pada definisi MBE yang diadopsi oleh peneliti atau pelaku kebijakan.
Sebagai paradigma baru, MBE menantang paradigma lama yang
berfokus hanya pada manusia dalam manajemen laut. Model-model MBE
bersifat lebih luas dan disesuaikan dengan definisi maupun konteks dari
penyelenggaraan MBE tersebut. Langkah awal dari model dapat berupa
upaya mengetahui secara ilmiah ketergantungan fokus studi pada
ekosistem dan bagaimana manfaat atau keburukan dari fokus studi
tersebut pada kehidupan manusia.19 Selain itu, skalanya juga tergantung
pada seperangkat masalah yang ingin diatasi apakah harus berskala luas
atau sempit. Model ini bersifat hirarkis dalam artian model-model lokal
kemudian dapat bekerjasama untuk membentuk model yang lebih luas
dan global.20
4.
Pendekatan Manajemen Berbasis Ekosistem pada Bencana
Alam di Laut
Pendekatan terhadap manajemen bencana alam di laut berbasis
ekosistem telah beberapa kali dikembangkan. Beberapa sorotan yang
diberikan
mencakuplah
sejumlah
pertimbangan.
Sebagai
contoh,
kepentingan ekonomi seperti penangkapan atau peternakan makanan laut
(ikan, udang, dan sebagainya) atau penambangan energi, harus
diseimbangkan dengan upaya menjadikan lahan basah pesisir sebagai
18
NOAA. (2011). Clarifying the relationships among ecosystem based management;
integrated ecosystem assessments; and, coastal and marine special planning. Pg. 1- 14,
hal. 2.
19
Holmlund, C.M., Hammer, M. 1999. Ecosystem services generated by fish populations.
Ecological Economics 29 (1999) 253–268, hal. 264.
20
White, C.J. 2007. Federal Fisheries Management: An Adaptive Ecosystem-based
Perspective. Master Thesis. Duke University, hal. 29.
8
penyangga bagi bencana alam. Ketidakseimbangan ini telah berkontribusi
pada buruknya dampak bencana alam laut. Akibat dari hilangnya lahan
basah
pesisir
karena
pembangunan,
transportasi
(pengerukan,
penyaluran, dan pengaliran endapan), dan jalur pipa, berdampak pada
parahnya dampak gelombang tinggi di Teluk Meksiko dan tsunami di Aceh
tahun 2004.21 Karena alasan ini, maka langkah yang diambil sebagai
bentuk MBE adalah dengan membentuk perisai biologis di pesisir, seperti
spesies Casuarina,22 Spartina,23 atau bakau,24 dan membangun pohon
keputusan untuk menentukan apakah upaya ini memenuhi persyaratanpersyaratan MBE. Upaya ini kemudian di angkat ke level global seperti
model manajemen berbasis ekosistem untuk mitigasi perubahan iklim.25
Berdasarkan tinjauan di atas, untuk mengetahui cara praktis
menjalankan manajemen berbasis ekosistem, maka dibutuhkan kriteria
manajemen berbasis ekosistem yang disepakati, kemudian membangun
pohon keputusan untuk setiap langkah yang akan diambil dalam
mengembangkan solusi berkelanjutan. Dalam penelitian ini, mengikuti
model Feagin, akan diambil enam kriteria MBE. Kriteria ini menurut
penulis haruslah mempertimbangkan kesehatan dari ekologi itu sendiri,
memperhitungkan
21
kesejahteraan
dan
pendidikan
manusia,
Halpern, B.S., McLeod, K.L., Rosenberg, A.A., Crowder, L.B. 2008. Managing for
cumulative impacts in ecosystem-based management through ocean zoning. Ocean &
Coastal Management 51 (2008) 203e211, hal. 206.
22
Feagin RA, Mukherjee N, Shanker K, Baird AH, Cinner J, Kerr AM, Koedam N, Sridhar
A, Arthur R, Jayatissa LP, Lo Seen D, Menon M, Rodriguez S, Shamsuddoha M,
Dahdouh-Guebas F
(2010) Shelter from the storm? Use and misuse of coastal vegetation bioshields for
managing natural disasters. Conserv Lett 3:1–11.
23
Gedan, K.B., Kirwan, M.L., Wolanski, E., Barbier, E.B., Silliman, B.R. 2010. The
present and future role of coastal wetland vegetation in protecting shorelines: answering
recent challenges to the paradigm, Climatic Change DOI 10.1007/s10584-010-0003-7,
hal. 8.
24
Aswani, S., Christie, P., Muthiga, N.A., Mahon, R., Primavera, J.H., Cramer, L.A.,
Barbier, E.B., Granek, E.F., Kennedy, C.J., Wolanski, E., Hacker, S. 2012. The way
forward with ecosystem-based management in tropical contexts: Reconciling with existing
management systems. Marine Policy 36 (2012) 1–10.
25
Tompkins, E.L., Adger, W.N. 2003. Building resilience to climate change through
adaptive management of natural resources. Tyndall Centre for Climate Change
Research.
9
memperhitungkan
kompleksitas ekosistem,
memperhitungkan faktor
ekonomi, melibatkan pengawasan berbasis teknologi, dan bersifat adaptif.
Penjelasan dari Arkema et al adalah sebagai berikut:
1.
Kompleksitas: memperhitungkan kalau hubungan antara
komponen ekosistem, seperti struktur rantai makanan, hubungan
predator-mangsa, asosiasi habitat, dan interaksi biotik dan abiotik,
harus disertakan dalam keputusan manajemen.
2.
Kesehatan ekologis: mengandung tujuan non spesifik untuk
kesehatan atau integritas ekosistem.
3.
Inklusi manusia dalam ekosistem: mengenali kalau manusia
merupakan elemen dalam ekosistem dan pendidikan serta
kesejahteraannya merupakan bagian penting dari keputusan
manajemen.
4.
Ekonomi: melibatkan faktor-faktor ekonomi dalam visi untuk
ekosistem.
5.
Teknologi: menggunakan teknologi ilmiah dan industrial
sebagai alat yang dibutuhkan untuk memonitor ekosistem dan
mengevaluasi tindakan manajemen.
6.
Adaptasi: terus meningkatkan tindakan manajemen lewat
evaluasi sistematis.
Berdasarkan model kriteria di atas, maka tahapan-tahapan
manajemen berbasis ekosistem adalah:
1.
Memperhitungkan dampak solusi terhadap hubungan antar
komponen dalam ekosistem.
2.
Memperhitungkan bagaimana solusi dapat berintegrasi
dengan ekosistem yang ada.
3.
Mempersiapkan pelatihan bagi masyarakat yang terkena
dampak solusi.
10
4.
Memastikan bahwa masyarakat yang terkena dampak solusi
dapat hidup lebih sejahtera dengan solusi yang diberikan.
5.
Memastikan solusi memberikan manfaat ekonomi bagi
masyarakat
yang
terkena
dampak,
atau
setidaknya
tidak
menghalangi mereka dalam kehidupan sehari-hari yang vital bagi
ekonomi mereka.
6.
Mempersiapkan teknologi untuk pengawasan dan evaluasi.
7.
Memastikan komitmen manajemen untuk beradaptasi ketika
hasil evaluasi menuntut hal tersebut dilakukan.
5.
Contoh Model Manajemen Berbasis Ekosistem: Kasus Depresi
Tropis dan Badai
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, agar manajemen berbasis
ekosistem berjalan, harus ada sebuah solusi atau beberapa solusi yang
ditawarkan, kemudian dievaluasi menggunakan kriteria-kriteria yang ada,
sehingga akhirnya diperoleh keputusan untuk mengimplementasikan
solusi. Berikut ini adalah tinjauan literatur mengenai beberapa solusi untuk
bencana di laut yang dapat digunakan untuk masukan dalam manajemen
berbasis ekosistem.
Depresi tropis dan badai merupakan sistem umpan balik dengan
pemanasan global.26 Ini artinya, semakin tinggi suhu akibat pemanasan
global, maka akan semakin banyak terdapat badai tropis. Sementara itu,
semakin banyak badai tropis, maka pemanasan udara juga akan semakin
tinggi. Hal ini dibuktikan dengan perhitungan bahwa seiring waktu, jumlah
badai tropis semakin meningkat, seiring dengan peningkatan suhu, baik di
Atlantik,27 maupun di Pasifik.28 Peningkatan suhu sebesar 0,4 derajat
26
Romps, D.M. and Zhiming Kuang. Overshooting convection in tropical
cyclones. Geophysical Research Letters, 2009; 36 (9): L09804.
27
Grinsted, A., John C. Moore, and Svetlana Jevrejeva. Homogeneous record of Atlantic
hurricane surge threat since 1923. Proceedings of the National Academy of Sciences,
2012.
11
Celsius akan berdampak pada peningkatan jumlah badai dua kali lipat. 29
Hal ini sangat mengkhawatirkan karena pada gilirannya, frekuensi badai
besar akan semakin tinggi dan Indonesia yang jarang mendapatkan badai
akan semakin sering mendapatkan badai tropis.
Ancaman depresi tropis dan badai bagi kehidupan ada dua yaitu
badai itu sendiri dan gelombang pasang yang ia hasilkan. Untuk badai itu
sendiri, masalahnya terletak pada permukaan. Pada permukaan basah,
badai akan terus berkecamuk sehingga solusi basah untuk pesisir pantai
tidak akan dapat menahan badai. Solusi yang lebih tepat adalah
mengeringkan pesisir sehingga badai akan terhenti ketika mencapai
pesisir dari arah laut.30
Sementara
gelombang
itu,
pasang
solusi
dapat
yang
ditawarkan
menggunakan
mengenai
solusi
kering
masalah
seperti
menggunakan gundukan, peremajaan pantai, benteng, pintu air, atau
teknik stabilisasi gundukan,31 atau solusi basah seperti vegetasi dengan
rumah-rumah terapung.32 Solusi basah hanya dapat berhasil jika badai
tidak sampai datang ke pesisir, sementara jika badai datang bersama
gelombang pasang ke pesisir, maka solusi kering akan lebih baik.
28
Park, D-S.R., Chang-Hoi Ho, Joo-Hong Kim. Growing threat of intense tropical
cyclones to East Asia over the period 1977–2010. Environmental Research Letters, 2014;
9 (1): 014008.
29
Grinsted, A., John C. Moore, and Svetlana Jevrejeva. Projected Atlantic hurricane
surge threat from rising temperatures. PNAS, March 18, 2013.
30
Chang, H-I., Niyogi, D., Kumar, A., Kishtawal, C.M., Dudhia, J., Chen, F., Mohanty,
U.C., Shepherd, M. Possible relation between land surface feedback and the post-landfall
structure of monsoon depressions. Geophysical Research Letters, 2009; 36 (15):
L15826.
31
Sorensen, R.M., Weisman, R.N., Lennon, G.P. 1984. Control of erosion, inundation
and salinity intrusion caused by sea-level rise. In: BARTH, M.C. and TITUS, J.G. (eds.),
Greenhouse Effect and Sea Level Rise. Van Nostrand Reinhold, New York, NY, pp. 179214, hal. 185.
32
Edidin, P. 2005. Floating houses built to survive Netherlands floods / Anticipating more
climate
change,
architects
see
another
way
to
go.
http://www.sfgate.com/homeandgarden/article/Floating-houses-built-to-surviveNetherlands-2596567.php. Diakses tanggal 10 Agustus 2014 pukul 20.26 WIB.
12
Berdasarkan pertimbangan ini, maka solusi yang dipilih adalah solusi
kering.
Setelah solusi kering dipilih, maka harus dilakukan kajian kelayakan
mengenai mana model solusi kering yang perlu diambil. Ada lima model
yang harus dievaluasi. Peneliti kemudian mengevaluasi kelima model
menggunakan pertimbangan kriteria MBE. Sebagai contoh, untuk solusi
pintu air, pertanyaannya kemudian adalah:
1.
Apakah solusi pintu air akan berdampak positif pada struktur
rantai makanan, hubungan predator-mangsa, asosiasi habitat, dan
interaksi biotik dan abiotik di lokasi penempatan pintu air? Dimana
penempatan yang paling memberi dampak positif pada aspek
hubungan dalam ekosistem ini? Jika tidak ada lokasi yang dapat
memberikan dampak positif, bagaimana meningkatkan aspek
hubungan dalam ekosistem tersebut agar solusi pintu air tetap
dapat dipilih?
2.
Jika pintu air telah dibuat, bagaimana ekosistem di
sekitarnya
dapat
beradaptasi?
Faktor
apa
yang
dapat
mempercepat integrasi ekosistem yang ada? Langkah apa yang
dapat diambil untuk mendorong integrasi ekosistem tersebut
terjadi?
3.
Kecakapan apa saja yang dibutuhkan bagi masyarakat
dalam mengelola dan menjaga keberlangsungan pintu air ini?
Berapa besar biaya pelatihan? Apakah masyarakat bersedia
dilatih?
4.
Apa kompensasinya bagi masyarakat selain terhindarnya
mereka dari badai dan gelombang pasang? Apakah dengan
kompensasi ini masyarakat dapat hidup sejahtera? Jika tidak,
bagaimana mensejahterakan masyarakat sekitar tersebut?
5.
Apa saja aspek ekonomi yang dapat disumbangkan oleh
pintu air tersebut bagi masyarakat? Jika tidak ada, apakah solusi
13
pintu air tidak menghalangi mereka dalam kehidupan sehari-hari
yang vital bagi ekonomi mereka? Jika menghalangi, langkah apa
yang harus diambil agar mereka tidak terhalang?
6.
Teknologi apa yang dibutuhkan untuk pengawasan dan
pengelolaan pintu air? Berapa biayanya? Bagaimana evaluasi
dilakukan?
7.
Apakah jika suatu saat evaluasi menemukan kebutuhan
adanya perubahan, manajemen siap untuk melakukan perubahan?
Bagaimana dengan kesiapan masyarakat?
Bentuk pertanyaan di atas dapat dijadikan sebagai sebuah asumsi
dalam melaskksan akn analisa dalam mencari informasi perkembangan
dampak yang muncul dari pelaksanaan MBE pada pintu air yang akan
dilaksanakan. Analisa dari pertanyaan yang tersedia akan membantu para
pembuat kebijakan untuk mengelimir dampak yang terjadi pada daerah
sekitar yang menjadi kawasan terikut pada proyek pintu air tersebut.
Dengan adanya pertanyaan-pertanyaan yang dimaksud, maka evaluasi
dapat dilaksanakan dengan cepat sehingga kendala yang dipikirkan dapat
berkembang menjadi definisi negatif dapat diupayakan untuk dikurangi.
Keterkaitan
informasi
yang
muncul
dari
interaksi
antara
pembangunan pintu air terhadap keseimbangan ekosistem yang terdapat
di lingkungan tersebut merupakan hal yang harus diperhatikan secara
seksama agar dapat dijadikan sebagai patokan atau standar ideal pada
MBE yang dikembangkan di tempat tersebut. Tentu saja segala
pertimbangan yang mengikuti asumsi itu harus benar-benar diperhatikan
sebaik mungkin sehingga dapat menjadi variabel yang tertata secara
akurat dan dapat mendongkrak fungsi lingkungan dalam mengeliminir
pengaruh negatif atau dampak bencana yang akan datang.
MBE merupakan salah satu model teraman untuk mengkoneksikan
fungsi lingkungan yang secara alami dapat mengatasi dampak bencana
alam yang menjadi potensi negatif di suatu tempat. Hal ini menjadi alasan
14
yang dominan sehingga MBE seyogyanya dipilih dalam menstabilkan
keseimbangan alam untuk fungsi disaster relief secara alami.
6.
Peran TNI AL Dalam Penerapan MBE
Kekuatan alami dari ekosistem merupakan bagian yang sangat
prinsip dalam menunjang pelaksanaan penanggulangan bencana alam di
suatu
daerah
yang
memiliki
potensi
bencana.
Untuk
itu
maka
keseimbangan ekosistem dari perspektif fungsinya harus dijaga agar
dapat
bekerja
pembangunan
secara
di
suatu
ideal.
Beranjak
wilayah
harus
dari
hal
tersebut,
maka
mempertimbangkan
fungsi
ekosistem secara signifikan sehingga keberlanjutan fungsinya tidak akan
terputus walaupun pelaksanaan pembangunan di wilayah tersebut telah
dilaksanakan. Konteks ini seyogyanya memang harus dipikirkan dalam
memutuskan pembangunan di darerah yang memiliki potensi bencana
alam. Walaupun tidak menutup kemungkinan bahwa di daerah lain yang
sifatnya dinilai kondusif dari potensi bencana alam, harus pula mendapat
perlakuan yang sama sehingga tidak memicu munculnya bencana yang
bersifat man made. Untuk menghindari terjadinya hal tersebut, diperlukan
langkah-langkah krusial dalam konteks preventif. Semisalnya dengan
jalan melakukan sosialisasi akan pentingnya keseimbangan ekosistem
untuk menghindari terjadinya bencana alam. Secara lengkap, pemenuhan
tuntunan dalam menjaga keberlangsungan fungsi ekosistem dapat
dilakukan dengan mengaplikasikan Manajemen berbasis ekosistem.
Manajemen berbasis ekosistem merupakan hal yang urgen bagi
Indonesia karena Indonesia merupakan salah satu negara yang pertama
kali mendapatkan dampak negatif perubahan iklim akibat situasinya di
khatulistiwa dan berbasis kepulauan. Dampak negatif perubahan iklim ini
salah
satunya
adalah
meningkatnya
frekuensi
bencana
alam
hidrometeorologi. Di Jakarta saja, kerugian akibat banjir pada tahun 2002,
2007, dan 2012 telah sebesar Rp 50 triliun disertai kematian belasan
15
orang.33 Belum lagi kerugian yang disebabkan oleh bencana alam lain
yang terdapat di Indonesia. Yang mana seperti kita ketahui bahwa negara
kita banyak mengandung potensi bencana alam yang tersebar di seluruh
wilayah negara.
Disaster relief yang dilaksanakan TNI Angkatan Laut selama ini
hanya terfokus pada Fase Tanggap Darurat. Pelibatan TNI Angkatan Laut
pada Fase Pra Bencana dan Fase Pasca Bencana berada pada kondisi
stagnan
karena
berbagai
masalah
yang
menjadi
penyebabnya.
Permasalahan signifikan dikarenakan belum adanya gelar kekuatan TNI
Angkatan Laut yang bersifat kontruktif dalam konteks disaster relief, bukan
hanya bersifat responsif dan hanya dilaksanakan ketika bencana alam
terjadi.34 Telah banyak kejadian bencana yang melibatkan TNI Angkatan
Laut dalam berbagai peran, baik dalam aspek mobilisasi sumber daya,
embarkasi sumber daya, relokasi korban, SAR dan pengamanan
wilayah.35 Namun demikian, dari seluruh peran TNI AL tersebut,
semuanya hanya berorientasi pada wilayah kerja yang mencakup pada
fase Tanggap Darurat, dimana aspek peran tersebut hanya menjawab
permasalahan setelah terjadi bencana. Sesungguhnya, fase terpenting
untuk mengurangi jumlah korban yang jatuh akibat dampak bencana alam
adalah dengan jalan mengoptimalkan upaya yang dilakukan pada fase
Pra Bencana. Salah satu langkah ideal untuk mewujudkan upaya tersebut
adalah dengan jalan melaksanakan Manajemen berbasis ekosistem. MBE
sendiri telah dikembangkan di Indonesia setidaknya sejak muncul upaya
33
TNC. 2014. TNC Gelar Thought Leadership Forum ke-6: Mengelola Resiko Bencana
dan Pembangunan Ketahanan
Iklim. http://www.nature.or.id/siaran-pers/tnc-gelarthought-leadership-forum-ke-6-mengelola-resiko-bencana-dan-pembangunan-ketahananiklim/. Diakses tanggal 10 Agustus 2014 pukul 20.32 WIB.
34
Prasetia, Ade. 2014. Kertas Karya Perorangan. Konsepsi Strategis Gelar Kekuatan TNI
Angkatan Laut Dalam Penanggulangan Bencana Alam Guna Meningkatkan Efektifitas
Emergency Response Dalam Rangka Mewujudkan National Disaster Preparedness.
Seskoal. Hal. 2.
35
Prasetia, Ade. 2014. Dharma Wiratama NO. DW/162/2014. Menuju Optimalisasi KRI
Dalam Penanggulangan Bencana di Indonesia; Sebuah Sinergitas Alutsista TNI AL
Dalam Operasi Militer Selain Perang. Seskoal. Hal. 112.
16
untuk membangun sistem hukum pengelolaan wilayah pesisir Indonesia
pada tahun 2005.36
Namun demikian, dari tahun 2005 hingga sekarang dapat dikatakan
bahwa pelaksanaan MBE tidak berjalan secara ideal. Dari perspektif
penjagaan terhadap ekosistem laut, dapat dikatakan peran TNI AL hanya
berpijak
pada
membahayakan
pensiagaan
ekosistem,
KRI
untuk
penangkapan
mencegah
perusak
hal-hal
yang
ekosistem,
dan
pencegahan pencemaran laut. Sudah saatnya bagi TNI AL untuk bersikap
aktif bukan hanya dalam mencegah kerusakan ekosistem laut, tetapi
memulihkan kembali fungsi ekosistem dengan MBE. Sehingga MBE
berperan dalam mengoptimalkan fungsi lingkungan dalam menciptakan
kekuatan alaminya untuk mengeliminir dampak bencana alam yang
terdapat di daerah yang berpotensi bencana alam.
Pemulihan
ekosistem
laut
dapat
dilakukan
dengan
jalan
melaksanakan studi kelayakan terhadap salah satu jenis spesies yang
sesuai dengan habitat yang terdapat di suatu daerah, sehingga akan
menciptakan keberlangsungan kehidupan dari jenis tersebut secara
signifikan. Contohnya adalah penanaman kembali spesies mangrove
sesuai dengan tipe habitat yang ada, yaitu jenis gelombang, pasang surut
dan ketersediaan air tawar yang terdapat di daerah tersebut. Langkah
tersebut dapat dilakukan oleh TNI AL dengan jalan dimulai dari Basis
Pertahanannya, baik kantor, pangkalan, ataupun daerah latihan. Dengan
konteks MBE yang tepat, tidak menutup kemungkinan bahwa perlakuan
penanaman mangrove yang terkonsep akan menciptakan barrier yang
sesuai dengan filosofi pertahanan pangkalan sehingga dapat berguna
untuk menghalau kedatangan musuh secara krusial.
Kebijakan pembangunan kepentingan militer seyogyanya sudah
harus diperhatikan secara krusial sehingga dari perspektif pertahanan,
standarisasinya
36
dapat
terpenuhi
dengan
benar.
Disamping
itu,
Kementerian Bappenas, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum
dan HAM, dan CRMP/Mitra Pesisir. 2005. Menuju Harmonisasi Sistem Hukum sebagai
Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia. Bappenas, hal.126
17
keseimbangan ekosistem yang terdapat di daerah tersebut tidak
terabaikan. Keterabaian keseimbangan ekosistem tentu saja akan
mengakibatkan terakumulasinya potensi bencana yang terdapat secara
alami dengan campur tangan pembangunan dari fasilitas militer yang ada.
Untuk itu maka MBE menjadi model yang terbaik untuk mengeliminir
dampak tersebut.
7.
Penutup
Artikel ini telah menyorot pada ancaman bencana yang datang dari
laut di Indonesia dan model manajemen untuk mitigasinya. Indonesia
telah berinvestasi cukup besar dalam manajemen bencana baik di laut
maupun di darat lewat pembentukan BNPB, BPBD, maupun berbagai
upaya yang melibatkan banyak pihak. Sistem yang paling mudah
dikembangkan adalah sistem peringatan dini dan hal ini juga sudah
dilakukan. Masalahnya kemudian adalah bagaimana dengan mitigasi.
Mitigasi lebih sulit dilakukan karena bersifat jangka panjang. Walau begitu,
ia memang telah dilakukan di berbagai tempat di Indonesia. Sungguhpun
demikian, upaya-upaya ini masih bersifat lokal. Malahan, belum ada
peraturan khusus yang mengatur mengenai mitigasi terhadap bencana
yang datang dari laut.
Dalam
artikel
ini,
penulis
telah
mengemukakan
mengenai
manajemen berbasis ekosistem (MBE) sebagai model manajemen
mitigasi bencana yang datang dari laut. Model ini diadopsi dari bidang
kesamuderaan dan tetap relevan untuk bidang manajemen bencana laut.
Model ini unggul karena bersifat lokal namun dapat diperluas tanpa batas
hingga level nasional. Penulis kemudian mengajukan sebuah kerangka
dengan enam kriteria: kompleksitas, kesehatan ekologis, inklusi manusia
dalam ekosistem, ekonomi, teknologi, dan adaptasi. Kerangka manajerial
ini kemudian dicontohkan pada kasus mitigasi depresi tropis dan badai.
Pengembangan lebih lanjut dapat dilakukan dengan pengembangan lebih
18
mendalam mengenai model apa yang sesuai dengan konteks suatu
wilayah dan bencana yang dihadapinya. Beranjak dari fakta yang tersedia,
maka TNI AL seyogyanya telah pula bertindak secara akurat untuk
melaksanakan MBE dengan jalan memutuskan mata rantai aktor-aktor
yang berkompeten dalam perusak ekosistem serta menjadikan MBE
sebagai ujung tombak dalam membangun fasilitas militernya sehingga
dapat bernilai potensial.
8.
Referensi
Arkema, K.K., Abramson, S.C., Dewsbury, B.M. 2006. Marine ecosystembased management: from characterization to implementation. Front
Ecol Environ 2006; 4(10): 525–532.
Aswani, S., Christie, P., Muthiga, N.A., Mahon, R., Primavera, J.H.,
Cramer, L.A., Barbier, E.B., Granek, E.F., Kennedy, C.J., Wolanski,
E., Hacker, S. 2012. The way forward with ecosystem-based
management in tropical contexts: Reconciling with existing
management systems. Marine Policy 36 (2012) 1–10.
Basit, S., Tunsjo, O. 2012. Emerging Naval Powers in Asia: China’s and
India’s Quest for Sea Power, Oslo Files on Defence and Security.
BBC.
2005.
Indonesia
quake
toll
jumps
again.
http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/4204385.stm.
BMKG. Kecepatan dan Ketinggian Tsunami Tergantung Pada Kedalaman
Laut. https://inatews.bmkg.go.id/new/about_inatews.php?urt=14.
BMKG.Penyebaran
Potensi
Tsunami
di
Indonesia.
https://inatews.bmkg.go.id/new/about_inatews.php?urt=3.
BNPB.
2014.
Data
dan
Informasi
Bencana
Indonesia.
http://dibi.bnpb.go.id/DesInventar/dashboard.jsp?countrycode=id.
BPBD.http://www.bpbd.nttprov.go.id/index.php/informasi-peta/58-petakejadian-bencana-banjir-di-indonesia-tahun-1979-2009.
Feagin RA, Mukherjee N, Shanker K, Baird AH, Cinner J, Kerr AM,
Koedam N, Sridhar A, Arthur R, Jayatissa LP, Lo Seen D, Menon
M, Rodriguez S, Shamsuddoha M, Dahdouh-Guebas F (2010)
Shelter from the storm? Use and misuse of coastal vegetation
bioshields for managing natural disasters. Conserv Lett 3:1–11.
Chang, H-I., Niyogi, D., Kumar, A., Kishtawal, C.M., Dudhia, J., Chen, F.,
Mohanty, U.C., Shepherd, M. Possible relation between land
surface feedback and the post-landfall structure of monsoon
depressions. Geophysical Research Letters, 2009; 36 (15): L15826.
Edidin, P. 2005. Floating houses built to survive Netherlands floods /
Anticipating more climate change, architects see another way to go.
http://www.sfgate.com/homeandgarden/article/Floating-housesbuilt-to-survive-Netherlands-2596567.php.
19
Gedan, K.B., Kirwan, M.L., Wolanski, E., Barbier, E.B., Silliman, B.R.
2010. The present and future role of coastal wetland vegetation in
protecting shorelines: answering recent challenges to the paradigm,
Climatic Change DOI 10.1007/s10584-010-0003-7.
Grinsted, A., John C. Moore, and Svetlana Jevrejeva. Homogeneous
record of Atlantic hurricane surge threat since 1923. Proceedings of
the National Academy of Sciences, 2012.
Grinsted, A., John C. Moore, and Svetlana Jevrejeva. Projected Atlantic
hurricane surge threat from rising temperatures. PNAS, March 18,
2013.
Guerry, A.D. 2005. Icarus and Daedalus: conceptual and tactical lessons
for marine ecosystem-based management. Front Ecol Environ
2005; 3(4): 202–211.
Halpern, B.S., McLeod, K.L., Rosenberg, A.A., Crowder, L.B. 2008.
Managing for cumulative impacts in ecosystem-based management
through ocean zoning. Ocean & Coastal Management 51 (2008)
203e211.
Holmlund, C.M., Hammer, M. 1999. Ecosystem services generated by fish
populations. Ecological Economics 29 (1999) 253–268.
JPNN. 30 Maret 2014. Latihan Komodo, 13 Kapal Perang Berkumpul di
Batam.
http://www.jpnn.com/read/2014/03/30/225162/LatihanKomodo,-13-Kapal-Perang-Berkumpul-di-Batam-.
Kementerian Bappenas, Departemen Kelautan dan Perikanan,
Departemen Hukum dan HAM, dan CRMP/Mitra Pesisir. 2005.
Menuju Harmonisasi Sistem Hukum sebagai Pilar Pengelolaan
Wilayah Pesisir Indonesia. Bappenas.
Kompas, 2012. Indonesia Hanya Kena Ekor Badai Tropis.
http://nasional.kompas.com/read/2012/01/08/09374395/Indonesia.H
anya.Kena.Ekor.Badai.Tropis.
Lackey,
Robert
T.
1998.
Seven
pillars
of
ecosystem
management. Landscape and Urban Planning. 40(1/3):21-30.
Link, J. S. 2005. Translating ecosystem indicators into decision criteria.
ICES Journal of Marine Science, 62: 569-576.
McLeod KL, Lubchenco J, Palumbi SR, Rosenberg AA. 2005. Scientific
Consensus Statement on Marine EBM. Communication Partnership
for Science and the Sea.
NOAA. (2011). Clarifying the relationships among ecosystem based
management; integrated ecosystem assessments; and, coastal and
marine special planning.
Park, D-S.R., Chang-Hoi Ho, Joo-Hong Kim. Growing threat of intense
tropical cyclones to East Asia over the period 1977–
2010. Environmental Research Letters, 2014; 9 (1): 014008.
Prasetia, Ade. 2014. Kertas Karya Perorangan. Konsepsi Strategis Gelar
Kekuatan TNI Angkatan Laut Dalam Penanggulangan Bencana
Alam Guna Meningkatkan Efektifitas Emergency Response Dalam
Rangka Mewujudkan National Disaster Preparedness. Seskoal.
20
Prasetia, Ade. 2014. Dharma Wiratama NO. DW/162/2014. Menuju
Optimalisasi KRI Dalam Penanggulangan Bencana di Indonesia;
Sebuah Sinergitas Alutsista TNI AL Dalam Operasi Militer Selain
Perang. Seskoal.
Romps, D.M. and Zhiming Kuang. Overshooting convection in tropical
cyclones. Geophysical Research Letters, 2009; 36 (9): L09804.
Smythe, Tiffany Catherine, "An Analysis Of The Capacity Of Coastal
Management Practitioners To Develop Coastal Ecosystem‐Based
Management Plans" (2011). Open Access Dissertations. Paper
112.
Sorensen, R.M., Weisman, R.N., Lennon, G.P. 1984. Control of erosion,
inundation and salinity intrusion caused by sea-level rise. In:
BARTH, M.C. and TITUS, J.G. (eds.), Greenhouse Effect and Sea
Level Rise. Van Nostrand Reinhold, New York, NY.
TNC. 2014. TNC Gelar Thought Leadership Forum ke-6: Mengelola
Resiko Bencana dan Pembangunan Ketahanan
Iklim.
http://www.nature.or.id/siaran-pers/tnc-gelar-thought-leadershipforum-ke-6-mengelola-resiko-bencana-dan-pembangunanketahanan-iklim/.
Tompkins, E.L., Adger, W.N. 2003. Building resilience to climate change
through adaptive management of natural resources. Tyndall Centre
for Climate Change Research.
Tunggal, N. 2013. Tak Selamanya Indonesia Aman dari Badai Tropis.
http://sains.kompas.com/read/2013/11/12/1000348/Tak.Selamanya.
Indonesia.Aman.dari.Badai.Tropis.
Vietnam Government. Decision No. 133/2009/QD-TTg promulgating the
Regulation on communication for warning and forecast of natural
disasters at sea.
White, C.J. 2007. Federal Fisheries Management: An Adaptive
Ecosystem-based Perspective. Master Thesis. Duke University.
URGENSI MANAJEMEN BERBASIS EKOSISTEM
PADA BENCANA ALAM DI LAUT
”Pentingnya Manajemen yang Berorientasi Lingkungan Untuk Mengurangi Dampak
Bencana Alam di Laut ”
Oleh
Ade prasetia, S.Kel, M.si (Han)
Abstract
This paper describes about environmental management model which
is very useful in supporting aspects of mitigation in overcoming natural
disaster. It is especially for pre-disaster phase. It emphasizes on
environmental functions naturally to be ideal context to create an
environment stability that is linear with the role of environment itself in
decrease the susceptibility that contains in a area which has natural
disaster potential. This model well-known as management ecosystem
based which can role as arrangement of organizing linear environment
whose aim is to overcome disaster using natural function. It is to reduce
the impact of natural disaster. Thus, Navy must have used management
based on this environment. It is to success its role in Military Operation
Other Than War, the overcoming disaster crucially.
Keywords: Management based on ecosystem, Disaster in the sea, The
role of Navy in overcoming disaster.
1.
Latar Belakang
Bagi Indonesia yang merupakan negara maritim, bencana alam
bukan saja dapat terjadi di darat tetapi juga di kawasan laut. Malahan,
bencana alam terbesar yang dihadapi Indonesia dalam dua dekade
terakhir merupakan bencana alam laut berupa gelombang tsunami.
Tsunami Aceh 2004 misalnya, membawa gelombang ke kawasan pantai
2
hingga setinggi 10 meter. Diperkirakan 170 – 220 ribu korban jiwa yang
hilang karena bencana ini.1 Selain itu, Indonesia juga telah beberapa kali
mengalami bencana alam laut yang merugikan. Bulan Februari 2003,
badai tropis Fiona di selatan Jawa Tengah mengakibatkan hilangnya
sebuah pesawat latih. Badai tropis Inigo bulan April 2003 memicu banjir
bandang dan gelombang tinggi yang menghantam Pulau Flores.2 Tahun
2002, 2007, dan 2012, badai tropis mengakibatkan hujan terus menerus
dan menyebabkan banjir di kawasan Jakarta.3
Gambar 1. Peta Kejadian Bencana Banjir di Indonesia Tahun 1979-2009
Data
global
BNPB
berdasarkan
tipe
bencana
4
1815-2014
mengungkapkan bahwa hanya terjadi 10 kali gempa disertai tsunami
dalam waktu 2 abad tersebut, tetapi mampu menelan korban ratusan ribu
1
BBC. 2005. Indonesia quake toll jumps again. http://news.bbc.co.uk/2/hi/asiapacific/4204385.stm. Diakses tanggal 9 Agustus 2014 pukul 21.01 WIB.
2
Tunggal, N. 2013. Tak Selamanya Indonesia Aman dari Badai Tropis.
http://sains.kompas.com/read/2013/11/12/1000348/Tak.Selamanya.Indonesia.Aman.dari.
Badai.Tropis. Diakses tanggal 9 Agustus 2014 pukul 21.07 WIB.
3
Kompas,
2012.
Indonesia
Hanya
Kena
Ekor
Badai
Tropis.
http://nasional.kompas.com/read/2012/01/08/09374395/Indonesia.Hanya.Kena.Ekor.Bad
ai.Tropis. Diakses tanggal 9 Agustus 2014 pukul 21.11 WIB.
4
http://www.bpbd.nttprov.go.id/index.php/informasi-peta/58-peta-kejadian-bencanabanjir-di-indonesia-tahun-1979-2009.html. Diakses tanggal 9 Agustus 2014 pukul 19.06
WIB.
3
orang. Sementara itu, terdapat 12 kali tsunami tanpa gempa dengan
korban 3.519 orang.5
Gambar 2. Penyebaran Potensi Bencana Tsunami di Indonesia
6
Mengatasi masalah ini, Indonesia telah mengembangkan sistem
peringatan dini tsunami maupun mendirikan Tropical Cyclone Warning
Centre (TCWC) Jakarta. Sistem peringatan dini BMKG memberikan
peringatan harian mengenai gelombang tinggi, siklon tropis, dan banjir rob
di kawasan Indonesia. Walau begitu, langkah mitigasi juga perlu
dilakukan. Memang sulit memitigasi bencana alam di laut karena sifatnya
yang terhubung dengan sistem global dan kompleks. Walau begitu,
terdapat langkah-langkah yang dapat diambil untuk meminimalkan resiko
dampak bencana alam tersebut. Salah satu langkahnya adalah dengan
mengelola ekosistem secara lebih peka. Artikel ini bertujuan meninjau
berbagai model manajemen berbasis ekosistem pada bencana alam di
laut. Diharapkan tinjauan ini memberikan masukan bagi berbagai
stakeholder dalam upaya mengurangi resiko dampak bencana alam di
laut di Indonesia.
5
BNPB.2014.DatadanInformasiBencanaIndonesia.
http://dibi.bnpb.go.id/DesInventar/dashboard.jsp?countrycode=id.Diakses
tanggal
9
Agustus 2014 pukul 21.35 WIB.
6
https://inatews.bmkg.go.id/new/about_inatews.php?urt=3. Diakses tanggal 9 Agustus
2014 pukul 20.09 WIB.
4
2.
Bencana Alam Laut
Indonesia belum memiliki peraturan khusus mengenai klasifikasi
bencana alam di laut. Dalam kondisi seperti ini, kita dapat mencontoh
pemerintah Vietnam. Pemerintah Vietnam telah membuat keputusan
perdana
menteri
tahun
no
133
tahun
2009
yang
memberikan
pembentukan kebijakan komunikasi bencana alam di laut. Menurut
keputusan ini, bencana alam di laut terdiri dari enam jenis yaitu depresi
tropis dan badai, tsunami, angin kuat, angin petir, kabut laut, dan
gelombang tinggi.7 Masing-masing memiliki ukuran kuantitatif untuk dapat
dinyatakan sebagai bencana alam. Depresi tropis menjadi bencana alam
jika memiliki kecepatan angin tertinggi level 6 atau 7. Badai memiliki
kecepatan angin lebih tinggi lagi. Tsunami memiliki kecepatan hingga 800
km/jam. Angin kuat memiliki kecepatan level 6. Angin petir juga memiliki
kecepatan minimal level 6. Kabut memiliki ketampakan horizontal kurang
dari 1 km, dan gelombang dikatakan tinggi jika memiliki tinggi lebih dari 2
meter.
Gambar 3. Kecepatan dan Ketinggian Tsunami Tergantung Pada Kedalaman Laut
7
8
Vietnam Government. Decision No. 133/2009/QD-TTg promulgating the Regulation on
communication for warning and forecast of natural disasters at sea.
8
https://inatews.bmkg.go.id/new/about_inatews.php?urt=14. Diakses tanggal 9 Agustus
2014 pukul 21.06 WIB.
5
Sebagai bentuk bencana, bencana alam di laut berdampak pada
kehidupan manusia. Selain akibat langsung, bencana alam di laut juga
dapat berakibat pada pasar minyak internasional. Sebagai contoh, badai
Katrina tahun 2005 menyebabkan berkurangnya produksi minyak dan
mengakibatkan harga minyak dunia meningkat.9 Karenanya, SKK Migas
telah mengembangkan prosedur tetap untuk penanggulangan bencana
alam di laut yang diujikan dalam Latihan Komodo di Batam, akhir Maret
2014.10
Selama ini bencana alam di laut berhadapan dengan masalah
kurangnya informasi dua arah, kesadaran masyarakat lokal, dan
perlengkapan komunikasi bagi nelayan. Selain itu, rendahnya sistem
peringatan dini dan pelatihan menghadapi bencana alam laut juga
berkontribusi terhadap parahnya dampak dari bencana alam laut. Solusisolusi ini merupakan bentuk solusi fisik, informasional, dan mental. Solusi
fisik lainnya dapat berupa pembangunan dan pemeliharaan bangunan
talud (penahan abrasi).11 Manajemen berbasis ekosistem merupakan
salah satu bentuk solusi fisik yang dapat dikembangkan pula untuk
mitigasi bencana alam di laut.
3.
Manajemen Berbasis Ekosistem
Manajemen
Berbasis
Ekosistem
(MBE)
merupakan
sebuah
kerangka manajerial kawasan pesisir dan laut yang bersifat holistik. Sifat
holistik ini tercermin dari banyaknya kategori yang terlibat dalam MBE,
mulai dari kategori umum (keberlanjutan, kesehatan ekologis, dan inklusi
Basit, S., Tunsjo, O. 2012. Emerging Naval Powers in Asia: China’s and India’s Quest
for Sea Power, Oslo Files on Defence and Security, 32
10
JPNN. 30 Maret 2014. Latihan Komodo, 13 Kapal Perang Berkumpul di Batam.
http://www.jpnn.com/read/2014/03/30/225162/Latihan-Komodo,-13-Kapal-PerangBerkumpul-di-Batam- . Diakses tanggal 10 Agustus 2014 pukul 20.12 WIB.
11
Talud adalah lereng yang curam dan pendek yang terbentuk secara bertahap pada
batas lereng bawah suatu lahan karena proses deposisi pada hedge, dinding batu, atau
penahan yang sama lainnya. Pembangunan talud dapat terjadi secara alami dan dapat
pula dibangun dengan tujuan tertentu. Sala satu tujuan dari pembangunan talud adalah
untuk penahan abrasi pantai.
9
6
manusia dalam ekosistem), kategori spesifik ekologis (kompleksitas,
temporal, dan spasial), kategori dimensi manusia spesifik (barang dan
jasa ekonomi, ekonomi, dan stakeholder), dan kategori manajemen
spesifik (berbasis sains, perbatasan, adaptasi, manajemen bersama,
pendekatan hati-hati, lintas disiplin, pengawasan, dan teknologi).12 Setiap
ilmuan atau pembuat kebijakan dapat membangun definisi tersendiri yang
ditarik dari 17 kategori tersebut. Sebagai contoh, Smythe menggunakan
12 kriteria untuk studi MBE yang ia lakukan,13 sementara Lackey
menggunakan tujuh kriteria.14 Kesepakatan dari 200 ilmuan dan pakar
kebijakan pada tanggal 21 Maret 2005 mendefinisikan MBE sebagai
“sebuah pendekatan manajemen terintegrasi yang mempertimbangkan
keseluruhan
ekosistem,
termasuk
manusia,
dengan
tujuan
mempertahankan ekosistem dalam kondisi yang sehat, produktif, dan
terjaga sehingga dapat memberikan pelayanan pada keinginan dan
kebutuhan manusia.”15
Manajemen
berbasis
ekosistem
merupakan
konsep
yang
diterapkan lebih banyak pada masalah yang berhubungan dengan
kesamuderaan, karena sejauh ini dipandang kawasan ini merupakan
kawasan yang masih terabaikan dari sistem manajemen terintegrasi. 16
Walau begitu, hingga saat ini ia lebih diarahkan pada manajemen
penggunaan sumberdaya laut seperti perikanan.17
12
Arkema, K.K., Abramson, S.C., Dewsbury, B.M. 2006. Marine ecosystem-based
management: from characterization to implementation. Front Ecol Environ 2006; 4(10):
525–532, hal. 527.
13
Smythe, Tiffany Catherine, "An Analysis Of The Capacity Of Coastal Management
Practitioners To Develop Coastal Ecosystem‐Based Management Plans" (2011). Open
Access Dissertations. Paper 112., hal. 13.
14
Lackey, Robert T. 1998. Seven pillars of ecosystem management. Landscape and
Urban Planning. 40(1/3):21-30.
15
McLeod KL, Lubchenco J, Palumbi SR, Rosenberg AA. 2005. Scientific Consensus
Statement on Marine EBM. Communication Partnership for Science and the Sea.
16
Guerry, A.D. 2005. Icarus and Daedalus: conceptual and tactical lessons for marine
ecosystem-based management. Front Ecol Environ 2005; 3(4): 202–211, hal. 209.
17
Link, J. S. 2005. Translating ecosystem indicators into decision criteria. ICES Journal
of Marine Science, 62: 569-576., hal. 569.
7
Konsep MBE memiliki hubungan erat dengan Penilaian Ekosistem
Terintegrasi dan Perencanaan Ruang Pesisir dan Laut. Penilaian
ekosistem terintegrasi dan perencanaan ruang merupakan dua alat, dari
sekian banyak alat lainnya, yang dapat digunakan untuk mendorong MBE
dapat berjalan.18 Terdapat banyak alat yang dapat digunakan, tergantung
pada definisi MBE yang diadopsi oleh peneliti atau pelaku kebijakan.
Sebagai paradigma baru, MBE menantang paradigma lama yang
berfokus hanya pada manusia dalam manajemen laut. Model-model MBE
bersifat lebih luas dan disesuaikan dengan definisi maupun konteks dari
penyelenggaraan MBE tersebut. Langkah awal dari model dapat berupa
upaya mengetahui secara ilmiah ketergantungan fokus studi pada
ekosistem dan bagaimana manfaat atau keburukan dari fokus studi
tersebut pada kehidupan manusia.19 Selain itu, skalanya juga tergantung
pada seperangkat masalah yang ingin diatasi apakah harus berskala luas
atau sempit. Model ini bersifat hirarkis dalam artian model-model lokal
kemudian dapat bekerjasama untuk membentuk model yang lebih luas
dan global.20
4.
Pendekatan Manajemen Berbasis Ekosistem pada Bencana
Alam di Laut
Pendekatan terhadap manajemen bencana alam di laut berbasis
ekosistem telah beberapa kali dikembangkan. Beberapa sorotan yang
diberikan
mencakuplah
sejumlah
pertimbangan.
Sebagai
contoh,
kepentingan ekonomi seperti penangkapan atau peternakan makanan laut
(ikan, udang, dan sebagainya) atau penambangan energi, harus
diseimbangkan dengan upaya menjadikan lahan basah pesisir sebagai
18
NOAA. (2011). Clarifying the relationships among ecosystem based management;
integrated ecosystem assessments; and, coastal and marine special planning. Pg. 1- 14,
hal. 2.
19
Holmlund, C.M., Hammer, M. 1999. Ecosystem services generated by fish populations.
Ecological Economics 29 (1999) 253–268, hal. 264.
20
White, C.J. 2007. Federal Fisheries Management: An Adaptive Ecosystem-based
Perspective. Master Thesis. Duke University, hal. 29.
8
penyangga bagi bencana alam. Ketidakseimbangan ini telah berkontribusi
pada buruknya dampak bencana alam laut. Akibat dari hilangnya lahan
basah
pesisir
karena
pembangunan,
transportasi
(pengerukan,
penyaluran, dan pengaliran endapan), dan jalur pipa, berdampak pada
parahnya dampak gelombang tinggi di Teluk Meksiko dan tsunami di Aceh
tahun 2004.21 Karena alasan ini, maka langkah yang diambil sebagai
bentuk MBE adalah dengan membentuk perisai biologis di pesisir, seperti
spesies Casuarina,22 Spartina,23 atau bakau,24 dan membangun pohon
keputusan untuk menentukan apakah upaya ini memenuhi persyaratanpersyaratan MBE. Upaya ini kemudian di angkat ke level global seperti
model manajemen berbasis ekosistem untuk mitigasi perubahan iklim.25
Berdasarkan tinjauan di atas, untuk mengetahui cara praktis
menjalankan manajemen berbasis ekosistem, maka dibutuhkan kriteria
manajemen berbasis ekosistem yang disepakati, kemudian membangun
pohon keputusan untuk setiap langkah yang akan diambil dalam
mengembangkan solusi berkelanjutan. Dalam penelitian ini, mengikuti
model Feagin, akan diambil enam kriteria MBE. Kriteria ini menurut
penulis haruslah mempertimbangkan kesehatan dari ekologi itu sendiri,
memperhitungkan
21
kesejahteraan
dan
pendidikan
manusia,
Halpern, B.S., McLeod, K.L., Rosenberg, A.A., Crowder, L.B. 2008. Managing for
cumulative impacts in ecosystem-based management through ocean zoning. Ocean &
Coastal Management 51 (2008) 203e211, hal. 206.
22
Feagin RA, Mukherjee N, Shanker K, Baird AH, Cinner J, Kerr AM, Koedam N, Sridhar
A, Arthur R, Jayatissa LP, Lo Seen D, Menon M, Rodriguez S, Shamsuddoha M,
Dahdouh-Guebas F
(2010) Shelter from the storm? Use and misuse of coastal vegetation bioshields for
managing natural disasters. Conserv Lett 3:1–11.
23
Gedan, K.B., Kirwan, M.L., Wolanski, E., Barbier, E.B., Silliman, B.R. 2010. The
present and future role of coastal wetland vegetation in protecting shorelines: answering
recent challenges to the paradigm, Climatic Change DOI 10.1007/s10584-010-0003-7,
hal. 8.
24
Aswani, S., Christie, P., Muthiga, N.A., Mahon, R., Primavera, J.H., Cramer, L.A.,
Barbier, E.B., Granek, E.F., Kennedy, C.J., Wolanski, E., Hacker, S. 2012. The way
forward with ecosystem-based management in tropical contexts: Reconciling with existing
management systems. Marine Policy 36 (2012) 1–10.
25
Tompkins, E.L., Adger, W.N. 2003. Building resilience to climate change through
adaptive management of natural resources. Tyndall Centre for Climate Change
Research.
9
memperhitungkan
kompleksitas ekosistem,
memperhitungkan faktor
ekonomi, melibatkan pengawasan berbasis teknologi, dan bersifat adaptif.
Penjelasan dari Arkema et al adalah sebagai berikut:
1.
Kompleksitas: memperhitungkan kalau hubungan antara
komponen ekosistem, seperti struktur rantai makanan, hubungan
predator-mangsa, asosiasi habitat, dan interaksi biotik dan abiotik,
harus disertakan dalam keputusan manajemen.
2.
Kesehatan ekologis: mengandung tujuan non spesifik untuk
kesehatan atau integritas ekosistem.
3.
Inklusi manusia dalam ekosistem: mengenali kalau manusia
merupakan elemen dalam ekosistem dan pendidikan serta
kesejahteraannya merupakan bagian penting dari keputusan
manajemen.
4.
Ekonomi: melibatkan faktor-faktor ekonomi dalam visi untuk
ekosistem.
5.
Teknologi: menggunakan teknologi ilmiah dan industrial
sebagai alat yang dibutuhkan untuk memonitor ekosistem dan
mengevaluasi tindakan manajemen.
6.
Adaptasi: terus meningkatkan tindakan manajemen lewat
evaluasi sistematis.
Berdasarkan model kriteria di atas, maka tahapan-tahapan
manajemen berbasis ekosistem adalah:
1.
Memperhitungkan dampak solusi terhadap hubungan antar
komponen dalam ekosistem.
2.
Memperhitungkan bagaimana solusi dapat berintegrasi
dengan ekosistem yang ada.
3.
Mempersiapkan pelatihan bagi masyarakat yang terkena
dampak solusi.
10
4.
Memastikan bahwa masyarakat yang terkena dampak solusi
dapat hidup lebih sejahtera dengan solusi yang diberikan.
5.
Memastikan solusi memberikan manfaat ekonomi bagi
masyarakat
yang
terkena
dampak,
atau
setidaknya
tidak
menghalangi mereka dalam kehidupan sehari-hari yang vital bagi
ekonomi mereka.
6.
Mempersiapkan teknologi untuk pengawasan dan evaluasi.
7.
Memastikan komitmen manajemen untuk beradaptasi ketika
hasil evaluasi menuntut hal tersebut dilakukan.
5.
Contoh Model Manajemen Berbasis Ekosistem: Kasus Depresi
Tropis dan Badai
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, agar manajemen berbasis
ekosistem berjalan, harus ada sebuah solusi atau beberapa solusi yang
ditawarkan, kemudian dievaluasi menggunakan kriteria-kriteria yang ada,
sehingga akhirnya diperoleh keputusan untuk mengimplementasikan
solusi. Berikut ini adalah tinjauan literatur mengenai beberapa solusi untuk
bencana di laut yang dapat digunakan untuk masukan dalam manajemen
berbasis ekosistem.
Depresi tropis dan badai merupakan sistem umpan balik dengan
pemanasan global.26 Ini artinya, semakin tinggi suhu akibat pemanasan
global, maka akan semakin banyak terdapat badai tropis. Sementara itu,
semakin banyak badai tropis, maka pemanasan udara juga akan semakin
tinggi. Hal ini dibuktikan dengan perhitungan bahwa seiring waktu, jumlah
badai tropis semakin meningkat, seiring dengan peningkatan suhu, baik di
Atlantik,27 maupun di Pasifik.28 Peningkatan suhu sebesar 0,4 derajat
26
Romps, D.M. and Zhiming Kuang. Overshooting convection in tropical
cyclones. Geophysical Research Letters, 2009; 36 (9): L09804.
27
Grinsted, A., John C. Moore, and Svetlana Jevrejeva. Homogeneous record of Atlantic
hurricane surge threat since 1923. Proceedings of the National Academy of Sciences,
2012.
11
Celsius akan berdampak pada peningkatan jumlah badai dua kali lipat. 29
Hal ini sangat mengkhawatirkan karena pada gilirannya, frekuensi badai
besar akan semakin tinggi dan Indonesia yang jarang mendapatkan badai
akan semakin sering mendapatkan badai tropis.
Ancaman depresi tropis dan badai bagi kehidupan ada dua yaitu
badai itu sendiri dan gelombang pasang yang ia hasilkan. Untuk badai itu
sendiri, masalahnya terletak pada permukaan. Pada permukaan basah,
badai akan terus berkecamuk sehingga solusi basah untuk pesisir pantai
tidak akan dapat menahan badai. Solusi yang lebih tepat adalah
mengeringkan pesisir sehingga badai akan terhenti ketika mencapai
pesisir dari arah laut.30
Sementara
gelombang
itu,
pasang
solusi
dapat
yang
ditawarkan
menggunakan
mengenai
solusi
kering
masalah
seperti
menggunakan gundukan, peremajaan pantai, benteng, pintu air, atau
teknik stabilisasi gundukan,31 atau solusi basah seperti vegetasi dengan
rumah-rumah terapung.32 Solusi basah hanya dapat berhasil jika badai
tidak sampai datang ke pesisir, sementara jika badai datang bersama
gelombang pasang ke pesisir, maka solusi kering akan lebih baik.
28
Park, D-S.R., Chang-Hoi Ho, Joo-Hong Kim. Growing threat of intense tropical
cyclones to East Asia over the period 1977–2010. Environmental Research Letters, 2014;
9 (1): 014008.
29
Grinsted, A., John C. Moore, and Svetlana Jevrejeva. Projected Atlantic hurricane
surge threat from rising temperatures. PNAS, March 18, 2013.
30
Chang, H-I., Niyogi, D., Kumar, A., Kishtawal, C.M., Dudhia, J., Chen, F., Mohanty,
U.C., Shepherd, M. Possible relation between land surface feedback and the post-landfall
structure of monsoon depressions. Geophysical Research Letters, 2009; 36 (15):
L15826.
31
Sorensen, R.M., Weisman, R.N., Lennon, G.P. 1984. Control of erosion, inundation
and salinity intrusion caused by sea-level rise. In: BARTH, M.C. and TITUS, J.G. (eds.),
Greenhouse Effect and Sea Level Rise. Van Nostrand Reinhold, New York, NY, pp. 179214, hal. 185.
32
Edidin, P. 2005. Floating houses built to survive Netherlands floods / Anticipating more
climate
change,
architects
see
another
way
to
go.
http://www.sfgate.com/homeandgarden/article/Floating-houses-built-to-surviveNetherlands-2596567.php. Diakses tanggal 10 Agustus 2014 pukul 20.26 WIB.
12
Berdasarkan pertimbangan ini, maka solusi yang dipilih adalah solusi
kering.
Setelah solusi kering dipilih, maka harus dilakukan kajian kelayakan
mengenai mana model solusi kering yang perlu diambil. Ada lima model
yang harus dievaluasi. Peneliti kemudian mengevaluasi kelima model
menggunakan pertimbangan kriteria MBE. Sebagai contoh, untuk solusi
pintu air, pertanyaannya kemudian adalah:
1.
Apakah solusi pintu air akan berdampak positif pada struktur
rantai makanan, hubungan predator-mangsa, asosiasi habitat, dan
interaksi biotik dan abiotik di lokasi penempatan pintu air? Dimana
penempatan yang paling memberi dampak positif pada aspek
hubungan dalam ekosistem ini? Jika tidak ada lokasi yang dapat
memberikan dampak positif, bagaimana meningkatkan aspek
hubungan dalam ekosistem tersebut agar solusi pintu air tetap
dapat dipilih?
2.
Jika pintu air telah dibuat, bagaimana ekosistem di
sekitarnya
dapat
beradaptasi?
Faktor
apa
yang
dapat
mempercepat integrasi ekosistem yang ada? Langkah apa yang
dapat diambil untuk mendorong integrasi ekosistem tersebut
terjadi?
3.
Kecakapan apa saja yang dibutuhkan bagi masyarakat
dalam mengelola dan menjaga keberlangsungan pintu air ini?
Berapa besar biaya pelatihan? Apakah masyarakat bersedia
dilatih?
4.
Apa kompensasinya bagi masyarakat selain terhindarnya
mereka dari badai dan gelombang pasang? Apakah dengan
kompensasi ini masyarakat dapat hidup sejahtera? Jika tidak,
bagaimana mensejahterakan masyarakat sekitar tersebut?
5.
Apa saja aspek ekonomi yang dapat disumbangkan oleh
pintu air tersebut bagi masyarakat? Jika tidak ada, apakah solusi
13
pintu air tidak menghalangi mereka dalam kehidupan sehari-hari
yang vital bagi ekonomi mereka? Jika menghalangi, langkah apa
yang harus diambil agar mereka tidak terhalang?
6.
Teknologi apa yang dibutuhkan untuk pengawasan dan
pengelolaan pintu air? Berapa biayanya? Bagaimana evaluasi
dilakukan?
7.
Apakah jika suatu saat evaluasi menemukan kebutuhan
adanya perubahan, manajemen siap untuk melakukan perubahan?
Bagaimana dengan kesiapan masyarakat?
Bentuk pertanyaan di atas dapat dijadikan sebagai sebuah asumsi
dalam melaskksan akn analisa dalam mencari informasi perkembangan
dampak yang muncul dari pelaksanaan MBE pada pintu air yang akan
dilaksanakan. Analisa dari pertanyaan yang tersedia akan membantu para
pembuat kebijakan untuk mengelimir dampak yang terjadi pada daerah
sekitar yang menjadi kawasan terikut pada proyek pintu air tersebut.
Dengan adanya pertanyaan-pertanyaan yang dimaksud, maka evaluasi
dapat dilaksanakan dengan cepat sehingga kendala yang dipikirkan dapat
berkembang menjadi definisi negatif dapat diupayakan untuk dikurangi.
Keterkaitan
informasi
yang
muncul
dari
interaksi
antara
pembangunan pintu air terhadap keseimbangan ekosistem yang terdapat
di lingkungan tersebut merupakan hal yang harus diperhatikan secara
seksama agar dapat dijadikan sebagai patokan atau standar ideal pada
MBE yang dikembangkan di tempat tersebut. Tentu saja segala
pertimbangan yang mengikuti asumsi itu harus benar-benar diperhatikan
sebaik mungkin sehingga dapat menjadi variabel yang tertata secara
akurat dan dapat mendongkrak fungsi lingkungan dalam mengeliminir
pengaruh negatif atau dampak bencana yang akan datang.
MBE merupakan salah satu model teraman untuk mengkoneksikan
fungsi lingkungan yang secara alami dapat mengatasi dampak bencana
alam yang menjadi potensi negatif di suatu tempat. Hal ini menjadi alasan
14
yang dominan sehingga MBE seyogyanya dipilih dalam menstabilkan
keseimbangan alam untuk fungsi disaster relief secara alami.
6.
Peran TNI AL Dalam Penerapan MBE
Kekuatan alami dari ekosistem merupakan bagian yang sangat
prinsip dalam menunjang pelaksanaan penanggulangan bencana alam di
suatu
daerah
yang
memiliki
potensi
bencana.
Untuk
itu
maka
keseimbangan ekosistem dari perspektif fungsinya harus dijaga agar
dapat
bekerja
pembangunan
secara
di
suatu
ideal.
Beranjak
wilayah
harus
dari
hal
tersebut,
maka
mempertimbangkan
fungsi
ekosistem secara signifikan sehingga keberlanjutan fungsinya tidak akan
terputus walaupun pelaksanaan pembangunan di wilayah tersebut telah
dilaksanakan. Konteks ini seyogyanya memang harus dipikirkan dalam
memutuskan pembangunan di darerah yang memiliki potensi bencana
alam. Walaupun tidak menutup kemungkinan bahwa di daerah lain yang
sifatnya dinilai kondusif dari potensi bencana alam, harus pula mendapat
perlakuan yang sama sehingga tidak memicu munculnya bencana yang
bersifat man made. Untuk menghindari terjadinya hal tersebut, diperlukan
langkah-langkah krusial dalam konteks preventif. Semisalnya dengan
jalan melakukan sosialisasi akan pentingnya keseimbangan ekosistem
untuk menghindari terjadinya bencana alam. Secara lengkap, pemenuhan
tuntunan dalam menjaga keberlangsungan fungsi ekosistem dapat
dilakukan dengan mengaplikasikan Manajemen berbasis ekosistem.
Manajemen berbasis ekosistem merupakan hal yang urgen bagi
Indonesia karena Indonesia merupakan salah satu negara yang pertama
kali mendapatkan dampak negatif perubahan iklim akibat situasinya di
khatulistiwa dan berbasis kepulauan. Dampak negatif perubahan iklim ini
salah
satunya
adalah
meningkatnya
frekuensi
bencana
alam
hidrometeorologi. Di Jakarta saja, kerugian akibat banjir pada tahun 2002,
2007, dan 2012 telah sebesar Rp 50 triliun disertai kematian belasan
15
orang.33 Belum lagi kerugian yang disebabkan oleh bencana alam lain
yang terdapat di Indonesia. Yang mana seperti kita ketahui bahwa negara
kita banyak mengandung potensi bencana alam yang tersebar di seluruh
wilayah negara.
Disaster relief yang dilaksanakan TNI Angkatan Laut selama ini
hanya terfokus pada Fase Tanggap Darurat. Pelibatan TNI Angkatan Laut
pada Fase Pra Bencana dan Fase Pasca Bencana berada pada kondisi
stagnan
karena
berbagai
masalah
yang
menjadi
penyebabnya.
Permasalahan signifikan dikarenakan belum adanya gelar kekuatan TNI
Angkatan Laut yang bersifat kontruktif dalam konteks disaster relief, bukan
hanya bersifat responsif dan hanya dilaksanakan ketika bencana alam
terjadi.34 Telah banyak kejadian bencana yang melibatkan TNI Angkatan
Laut dalam berbagai peran, baik dalam aspek mobilisasi sumber daya,
embarkasi sumber daya, relokasi korban, SAR dan pengamanan
wilayah.35 Namun demikian, dari seluruh peran TNI AL tersebut,
semuanya hanya berorientasi pada wilayah kerja yang mencakup pada
fase Tanggap Darurat, dimana aspek peran tersebut hanya menjawab
permasalahan setelah terjadi bencana. Sesungguhnya, fase terpenting
untuk mengurangi jumlah korban yang jatuh akibat dampak bencana alam
adalah dengan jalan mengoptimalkan upaya yang dilakukan pada fase
Pra Bencana. Salah satu langkah ideal untuk mewujudkan upaya tersebut
adalah dengan jalan melaksanakan Manajemen berbasis ekosistem. MBE
sendiri telah dikembangkan di Indonesia setidaknya sejak muncul upaya
33
TNC. 2014. TNC Gelar Thought Leadership Forum ke-6: Mengelola Resiko Bencana
dan Pembangunan Ketahanan
Iklim. http://www.nature.or.id/siaran-pers/tnc-gelarthought-leadership-forum-ke-6-mengelola-resiko-bencana-dan-pembangunan-ketahananiklim/. Diakses tanggal 10 Agustus 2014 pukul 20.32 WIB.
34
Prasetia, Ade. 2014. Kertas Karya Perorangan. Konsepsi Strategis Gelar Kekuatan TNI
Angkatan Laut Dalam Penanggulangan Bencana Alam Guna Meningkatkan Efektifitas
Emergency Response Dalam Rangka Mewujudkan National Disaster Preparedness.
Seskoal. Hal. 2.
35
Prasetia, Ade. 2014. Dharma Wiratama NO. DW/162/2014. Menuju Optimalisasi KRI
Dalam Penanggulangan Bencana di Indonesia; Sebuah Sinergitas Alutsista TNI AL
Dalam Operasi Militer Selain Perang. Seskoal. Hal. 112.
16
untuk membangun sistem hukum pengelolaan wilayah pesisir Indonesia
pada tahun 2005.36
Namun demikian, dari tahun 2005 hingga sekarang dapat dikatakan
bahwa pelaksanaan MBE tidak berjalan secara ideal. Dari perspektif
penjagaan terhadap ekosistem laut, dapat dikatakan peran TNI AL hanya
berpijak
pada
membahayakan
pensiagaan
ekosistem,
KRI
untuk
penangkapan
mencegah
perusak
hal-hal
yang
ekosistem,
dan
pencegahan pencemaran laut. Sudah saatnya bagi TNI AL untuk bersikap
aktif bukan hanya dalam mencegah kerusakan ekosistem laut, tetapi
memulihkan kembali fungsi ekosistem dengan MBE. Sehingga MBE
berperan dalam mengoptimalkan fungsi lingkungan dalam menciptakan
kekuatan alaminya untuk mengeliminir dampak bencana alam yang
terdapat di daerah yang berpotensi bencana alam.
Pemulihan
ekosistem
laut
dapat
dilakukan
dengan
jalan
melaksanakan studi kelayakan terhadap salah satu jenis spesies yang
sesuai dengan habitat yang terdapat di suatu daerah, sehingga akan
menciptakan keberlangsungan kehidupan dari jenis tersebut secara
signifikan. Contohnya adalah penanaman kembali spesies mangrove
sesuai dengan tipe habitat yang ada, yaitu jenis gelombang, pasang surut
dan ketersediaan air tawar yang terdapat di daerah tersebut. Langkah
tersebut dapat dilakukan oleh TNI AL dengan jalan dimulai dari Basis
Pertahanannya, baik kantor, pangkalan, ataupun daerah latihan. Dengan
konteks MBE yang tepat, tidak menutup kemungkinan bahwa perlakuan
penanaman mangrove yang terkonsep akan menciptakan barrier yang
sesuai dengan filosofi pertahanan pangkalan sehingga dapat berguna
untuk menghalau kedatangan musuh secara krusial.
Kebijakan pembangunan kepentingan militer seyogyanya sudah
harus diperhatikan secara krusial sehingga dari perspektif pertahanan,
standarisasinya
36
dapat
terpenuhi
dengan
benar.
Disamping
itu,
Kementerian Bappenas, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum
dan HAM, dan CRMP/Mitra Pesisir. 2005. Menuju Harmonisasi Sistem Hukum sebagai
Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia. Bappenas, hal.126
17
keseimbangan ekosistem yang terdapat di daerah tersebut tidak
terabaikan. Keterabaian keseimbangan ekosistem tentu saja akan
mengakibatkan terakumulasinya potensi bencana yang terdapat secara
alami dengan campur tangan pembangunan dari fasilitas militer yang ada.
Untuk itu maka MBE menjadi model yang terbaik untuk mengeliminir
dampak tersebut.
7.
Penutup
Artikel ini telah menyorot pada ancaman bencana yang datang dari
laut di Indonesia dan model manajemen untuk mitigasinya. Indonesia
telah berinvestasi cukup besar dalam manajemen bencana baik di laut
maupun di darat lewat pembentukan BNPB, BPBD, maupun berbagai
upaya yang melibatkan banyak pihak. Sistem yang paling mudah
dikembangkan adalah sistem peringatan dini dan hal ini juga sudah
dilakukan. Masalahnya kemudian adalah bagaimana dengan mitigasi.
Mitigasi lebih sulit dilakukan karena bersifat jangka panjang. Walau begitu,
ia memang telah dilakukan di berbagai tempat di Indonesia. Sungguhpun
demikian, upaya-upaya ini masih bersifat lokal. Malahan, belum ada
peraturan khusus yang mengatur mengenai mitigasi terhadap bencana
yang datang dari laut.
Dalam
artikel
ini,
penulis
telah
mengemukakan
mengenai
manajemen berbasis ekosistem (MBE) sebagai model manajemen
mitigasi bencana yang datang dari laut. Model ini diadopsi dari bidang
kesamuderaan dan tetap relevan untuk bidang manajemen bencana laut.
Model ini unggul karena bersifat lokal namun dapat diperluas tanpa batas
hingga level nasional. Penulis kemudian mengajukan sebuah kerangka
dengan enam kriteria: kompleksitas, kesehatan ekologis, inklusi manusia
dalam ekosistem, ekonomi, teknologi, dan adaptasi. Kerangka manajerial
ini kemudian dicontohkan pada kasus mitigasi depresi tropis dan badai.
Pengembangan lebih lanjut dapat dilakukan dengan pengembangan lebih
18
mendalam mengenai model apa yang sesuai dengan konteks suatu
wilayah dan bencana yang dihadapinya. Beranjak dari fakta yang tersedia,
maka TNI AL seyogyanya telah pula bertindak secara akurat untuk
melaksanakan MBE dengan jalan memutuskan mata rantai aktor-aktor
yang berkompeten dalam perusak ekosistem serta menjadikan MBE
sebagai ujung tombak dalam membangun fasilitas militernya sehingga
dapat bernilai potensial.
8.
Referensi
Arkema, K.K., Abramson, S.C., Dewsbury, B.M. 2006. Marine ecosystembased management: from characterization to implementation. Front
Ecol Environ 2006; 4(10): 525–532.
Aswani, S., Christie, P., Muthiga, N.A., Mahon, R., Primavera, J.H.,
Cramer, L.A., Barbier, E.B., Granek, E.F., Kennedy, C.J., Wolanski,
E., Hacker, S. 2012. The way forward with ecosystem-based
management in tropical contexts: Reconciling with existing
management systems. Marine Policy 36 (2012) 1–10.
Basit, S., Tunsjo, O. 2012. Emerging Naval Powers in Asia: China’s and
India’s Quest for Sea Power, Oslo Files on Defence and Security.
BBC.
2005.
Indonesia
quake
toll
jumps
again.
http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/4204385.stm.
BMKG. Kecepatan dan Ketinggian Tsunami Tergantung Pada Kedalaman
Laut. https://inatews.bmkg.go.id/new/about_inatews.php?urt=14.
BMKG.Penyebaran
Potensi
Tsunami
di
Indonesia.
https://inatews.bmkg.go.id/new/about_inatews.php?urt=3.
BNPB.
2014.
Data
dan
Informasi
Bencana
Indonesia.
http://dibi.bnpb.go.id/DesInventar/dashboard.jsp?countrycode=id.
BPBD.http://www.bpbd.nttprov.go.id/index.php/informasi-peta/58-petakejadian-bencana-banjir-di-indonesia-tahun-1979-2009.
Feagin RA, Mukherjee N, Shanker K, Baird AH, Cinner J, Kerr AM,
Koedam N, Sridhar A, Arthur R, Jayatissa LP, Lo Seen D, Menon
M, Rodriguez S, Shamsuddoha M, Dahdouh-Guebas F (2010)
Shelter from the storm? Use and misuse of coastal vegetation
bioshields for managing natural disasters. Conserv Lett 3:1–11.
Chang, H-I., Niyogi, D., Kumar, A., Kishtawal, C.M., Dudhia, J., Chen, F.,
Mohanty, U.C., Shepherd, M. Possible relation between land
surface feedback and the post-landfall structure of monsoon
depressions. Geophysical Research Letters, 2009; 36 (15): L15826.
Edidin, P. 2005. Floating houses built to survive Netherlands floods /
Anticipating more climate change, architects see another way to go.
http://www.sfgate.com/homeandgarden/article/Floating-housesbuilt-to-survive-Netherlands-2596567.php.
19
Gedan, K.B., Kirwan, M.L., Wolanski, E., Barbier, E.B., Silliman, B.R.
2010. The present and future role of coastal wetland vegetation in
protecting shorelines: answering recent challenges to the paradigm,
Climatic Change DOI 10.1007/s10584-010-0003-7.
Grinsted, A., John C. Moore, and Svetlana Jevrejeva. Homogeneous
record of Atlantic hurricane surge threat since 1923. Proceedings of
the National Academy of Sciences, 2012.
Grinsted, A., John C. Moore, and Svetlana Jevrejeva. Projected Atlantic
hurricane surge threat from rising temperatures. PNAS, March 18,
2013.
Guerry, A.D. 2005. Icarus and Daedalus: conceptual and tactical lessons
for marine ecosystem-based management. Front Ecol Environ
2005; 3(4): 202–211.
Halpern, B.S., McLeod, K.L., Rosenberg, A.A., Crowder, L.B. 2008.
Managing for cumulative impacts in ecosystem-based management
through ocean zoning. Ocean & Coastal Management 51 (2008)
203e211.
Holmlund, C.M., Hammer, M. 1999. Ecosystem services generated by fish
populations. Ecological Economics 29 (1999) 253–268.
JPNN. 30 Maret 2014. Latihan Komodo, 13 Kapal Perang Berkumpul di
Batam.
http://www.jpnn.com/read/2014/03/30/225162/LatihanKomodo,-13-Kapal-Perang-Berkumpul-di-Batam-.
Kementerian Bappenas, Departemen Kelautan dan Perikanan,
Departemen Hukum dan HAM, dan CRMP/Mitra Pesisir. 2005.
Menuju Harmonisasi Sistem Hukum sebagai Pilar Pengelolaan
Wilayah Pesisir Indonesia. Bappenas.
Kompas, 2012. Indonesia Hanya Kena Ekor Badai Tropis.
http://nasional.kompas.com/read/2012/01/08/09374395/Indonesia.H
anya.Kena.Ekor.Badai.Tropis.
Lackey,
Robert
T.
1998.
Seven
pillars
of
ecosystem
management. Landscape and Urban Planning. 40(1/3):21-30.
Link, J. S. 2005. Translating ecosystem indicators into decision criteria.
ICES Journal of Marine Science, 62: 569-576.
McLeod KL, Lubchenco J, Palumbi SR, Rosenberg AA. 2005. Scientific
Consensus Statement on Marine EBM. Communication Partnership
for Science and the Sea.
NOAA. (2011). Clarifying the relationships among ecosystem based
management; integrated ecosystem assessments; and, coastal and
marine special planning.
Park, D-S.R., Chang-Hoi Ho, Joo-Hong Kim. Growing threat of intense
tropical cyclones to East Asia over the period 1977–
2010. Environmental Research Letters, 2014; 9 (1): 014008.
Prasetia, Ade. 2014. Kertas Karya Perorangan. Konsepsi Strategis Gelar
Kekuatan TNI Angkatan Laut Dalam Penanggulangan Bencana
Alam Guna Meningkatkan Efektifitas Emergency Response Dalam
Rangka Mewujudkan National Disaster Preparedness. Seskoal.
20
Prasetia, Ade. 2014. Dharma Wiratama NO. DW/162/2014. Menuju
Optimalisasi KRI Dalam Penanggulangan Bencana di Indonesia;
Sebuah Sinergitas Alutsista TNI AL Dalam Operasi Militer Selain
Perang. Seskoal.
Romps, D.M. and Zhiming Kuang. Overshooting convection in tropical
cyclones. Geophysical Research Letters, 2009; 36 (9): L09804.
Smythe, Tiffany Catherine, "An Analysis Of The Capacity Of Coastal
Management Practitioners To Develop Coastal Ecosystem‐Based
Management Plans" (2011). Open Access Dissertations. Paper
112.
Sorensen, R.M., Weisman, R.N., Lennon, G.P. 1984. Control of erosion,
inundation and salinity intrusion caused by sea-level rise. In:
BARTH, M.C. and TITUS, J.G. (eds.), Greenhouse Effect and Sea
Level Rise. Van Nostrand Reinhold, New York, NY.
TNC. 2014. TNC Gelar Thought Leadership Forum ke-6: Mengelola
Resiko Bencana dan Pembangunan Ketahanan
Iklim.
http://www.nature.or.id/siaran-pers/tnc-gelar-thought-leadershipforum-ke-6-mengelola-resiko-bencana-dan-pembangunanketahanan-iklim/.
Tompkins, E.L., Adger, W.N. 2003. Building resilience to climate change
through adaptive management of natural resources. Tyndall Centre
for Climate Change Research.
Tunggal, N. 2013. Tak Selamanya Indonesia Aman dari Badai Tropis.
http://sains.kompas.com/read/2013/11/12/1000348/Tak.Selamanya.
Indonesia.Aman.dari.Badai.Tropis.
Vietnam Government. Decision No. 133/2009/QD-TTg promulgating the
Regulation on communication for warning and forecast of natural
disasters at sea.
White, C.J. 2007. Federal Fisheries Management: An Adaptive
Ecosystem-based Perspective. Master Thesis. Duke University.