Kebijakan Hukum Pidana Dalam Perampasan Aset Terhadap Tindak Pidana Korupsi
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PERAMPASAN
ASET TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI
TESIS
OLEH
HARTANTA TARIGAN
097005020/HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PERAMPASAN
ASET TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum
Dalam Program Studi Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh
HARTANTA TARIGAN
097005020/HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(3)
Judul
Tesis
: KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM
PERAMPASAN ASET TERHADAP
TINDAK PIDANA KORUPSI
Nama Mahasiswa : Hartanta Tarigan Nomor Pokok : 097005020
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui : Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum) Ketua
(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) (Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum)
Anggota Anggota
Ketua Program Studi Dekan
(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)
(4)
Telah diuji pada Tanggal 27 Juni 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
KETUA : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum ANGGOTA : 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS
2. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum 3. Dr. Madiasa Ablisar, SH, M.Hum 4. Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum
(5)
ABSTRAK
Perkembangan masalah korupsi di Indonesia saat ini sudah demikian parahnya. Korupsi menjadi masalah yang sangat luar biasa karena sudah menjangkit dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003 memandang perbuatan korupsi merupakan ancaman terhadap stabilitas dan keamanan, melemahkan lembaga dan nilai demokratis, etika, keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum. Perbuatan korupsi juga berkaitan dengan bentuk kejahatan lain sehingga sifatnya transnasional, perkara korupsi melibatkan aset-aset sedemikian besar yang menghabiskan sebagian besar sumber daya Negara. Upaya membuat pelaku kejahatan (offender) tidak dapat “menikmati” hasil perbuatannya dilakukan dengan merampas barang-barang tertentu yang diperoleh atau dihasilkan dalam suatu tindak pidana sebagai pidana tambahan selain pidana pokok seperti penjara dan denda (Pasal 10 jo Pasal 39 KUHP jo Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Tindak pidana korupsi, dapat juga dilakukan terhadap perampasan harta benda yang tidak dapat dibuktikan (oleh terdakwa) sebagai bukan dari hasil tindak pidana korupsi (Pasal 38 B Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001) dan masih ditambah lagi dengan pembayaran uang pengganti yang nilainya setara dengan kerugian keuangan negara akibat perbuatannya (Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001).
Permasalahan di dalam penelitian ini adalah : Pertama, Bagaimana kebijakan hukum pidana dalam perampasan aset hasil tindak pidana korupsi. Kedua,
Bagaimana kendala yuridis terhadap perampasan aset dalam tindak pidana korupsi. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif. Yuridis normatif yaitu difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.
Kebijakan hukum pidana dalam perampasan aset hasil tindak pidana korupsi menunjukkan bahwa tujuan utama dari penyusunan undang-undang perampasan hasil tindak pidana yaitu untuk menekan tingkat kejahatan dan meletakkan keadilan di dalam masyarakat di Indonesia melalui penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana. Perampasan hasil dan instrumen tindak pidana diharapkan akan mengurangi atau bahkan menghilangkan salah satu motif dasar perilaku atau calon pelaku tindak pidana yaitu medapatkan keuntungan ekonomis. Selain pengenaan sanksi pidana, harta kekayaan yang dihasilkan dari tindak pidana dan juga sarana yang digunakan untuk memfasilitasi tindak pidana akan dirampas oleh negara. Substansi sistem hukum pengembalian aset melalui jalur hukum pidana umumnya terdiri dari ketentuan-ketentuan mengenai proses pengembalian aset melalui empat tahap yang terdiri dari : pertama, pelacakan aset
(6)
untuk melacak aset-aset; kedua, tindakan-tindakan penghentian perpindahan aset-aset melalui mekanisme pembekuan atau penyitaan; ketiga, penyitaan. Hanya setelah melalui dan memenuhi tahapan-tahapan tersebut baru dapat dilaksanakan tahap keempat, yaitu penyerahan aset dari negara penerima kepada negara korban tempat aset diperoleh secara tidak sah. Kendala yuridis terhadap perampasan aset dalam tindak pidana korupsi yaitu dalam hal konstruksi sistem hukum pidana yang dikembangkan saat ini masih difokuskan pada upaya untuk mengungkap tindak pidana yang terjadi, menemukan pelakunya serta menghukum pelaku tindak pidana dengan sanksi pidana, terutama pidana badan baik pidana penjara maupun pidana kurungan. Masalah penyitaan dan perampasan hasil tindak pidana dan instrumen tindak pidana belum menjadi bagian penting di dalam sistem hukum pidana. Perlu adanya kebijakan legislatif yang berhubungan dengan kejahatan terhadap aset hasil tindak pidana. Peninjauan masalah ini sangat penting karena kebijakan legislatif pada dasarnya merupakan tahap awal yang paling strategis dari keseluruhan perencanaan proses fungsionalisasi hukum pidana atau proses penegakan hukum pidana. Perlu adanya suatu undang-undang yang mengatur secara tegas mengenai perampasan aset tindak pidana, dengan tujuan untuk mengatasi kendala-kendala yang timbul dalam upaya penarikan atau pengembalian aset melalui mekanisme pidana (in personam), sehingga walaupun tersangka/terdakwanya meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen, atau tidak diketahui keberadaannya, penyitaan dan perampasan aset hasil tindak pidana tetap dapat dilakukan secara fair karena melalui pemeriksaan sidang pengadilan.
(7)
ABSTRACT
The development of corruption problem in Indonesia nowadays has been in a very serious condition. Corruption has been a serious problem because it has spread all over social strata. The Convention on Anti Corruption organized by the United Nation in 2003 looked at corruption as a threat to stability and security, weakening the in institution and value of democracy, ethics, justice and endangering the sustainable development and supremacy of law. The act of corruption is also related to the other form of crime that is become transnational in nature. The case of corruption involves that big asset which has wasted most of the national resources. The attempt to make the offender unable to “enjoy” the result of what he/she has done is done by seizing his/her specific property obtained through a criminal act, besides putting him/her into prison of forcing him/her to pay fine (Article 10 in connection with Article 39 of the Indonesian Criminal Codes in connection with Article 18 Paragraph 1 of Law No.31/1999 as amended with Law No.20/1001 on Elimination of Corruption). The criminal act of corruption can also be done by seizing the property whose ownership cannot be proven (by the defendant) as the one obtained through corruption (Article 38 B of Law No.31/1999 in connection with Law No.20/2001) and requiring the defendant to pay a compensation as much as the amount of the state’s financial loss resulted from his/her deed (Article 18 Paragraph 1 Letter b of Law No.31/1999 in connection with Law No.20/2001).
The research questions to be answered in this study were, first, how the policy of criminal law is applied in seizing the assets obtained through corruption, and second, what juridical constraints exist in seizing the assets obtained through corruption.
This study employed the normative juridical research method. Normative juridical method was focused on studying the application of the norms found in the positive law related to the criminal act of corruption.
The policy of criminal law in seizing the asset obtained from corruption shows that the main purpose of the making of law on seizing the assets obtained through criminal act is to minimize the level of crime and to lay a justice in the society of Indonesia through seizing the assets and instruments of criminal act which is expected to be able to minimize or even eliminate one of basic motives of the offender or the offender to-be, namely to get economic benefit. In addition to provision of criminal sanction, the property obtained through criminal act and the facilities used to facilitate the criminal act will by the state. The substance of legal system in terms of returning the assets through the channel of criminal law generally consists of the stipulation on the process of returning the assets through four stage commencing: first, tracing on asset to find the other assets; second, the actions taken to stop the transfer of asset through the mechanism of freezing or seizing; third, seizing the asset. Only after going through these three stages, the fourth stage, the
(8)
8
transfer of asset from the receiving state to the victim state where the assets were illegally obtained, can be conducted. Juridical constraint exists in the process of seizing the assets in the criminal act of corruption related to the construction of the system of criminal law currently developed is still focused on the attempts to reveal the existing criminal act, to find the offender, to punish the offender with criminal sanction, especially in the forms of imprisonment. The issues related to seizing the instruments to do the criminal act and the assets obtained through criminal act have not yet become an important part in the system of criminal law. Therefore, it is essential that the legislative members make a policy related to the assets obtained from criminal act. The judicial review for this issue is very important because legislative policy is basically the most strategic initial step of all planning process of the functionalization of criminal act or the process of criminal law reinforcement. It is necessary to have a law that clearly regulates the process of seizing the assets obtained through criminal law with the purpose of overcoming the constraints existing in the attempts to return the assets through in personam mechanism that even though the accused/defendant is dead, is permanently sick, escapes or no body knows where he/she is, the seizing of assets obtained from criminal act can be done fairly because it is conducted through the trial in court.
(9)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat dan kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan judul tentang “Kebijakan Hukum Pidana Dalam Perampasan Aset Terhadap Tindak Pidana Korupsi”. Tesis ini disusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister Ilmu Hukum pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih sangat jauh dari sempurna, hal ini kiranya dapat dimaklumi karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang Penulis miliki.
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya dengan ketulusan hati kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc(CTM). Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara;
2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara;
4. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum, selaku Ketua Komisi Pembimbing tesis yang telah memberikan pengajaran, bimbingan, arahan sampai akhirnya Penulis dapat menyelesaikan perkuliahan pada Program Studi
(10)
Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;
5. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing I tesis yang telah memberikan pengajaran, bimbingan, arahan, saran yang konstruktif demi tercapainya hasil yang terbaik dalam penulisan tesis ini;
6. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum selaku Anggota Komisi Pembimbing II tesis yang telah memberikan pengajaran, bimbingan, arahan, saran demi tercapainya hasil yang terbaik dalam penulisan tesis ini;
7. Bapak Dr. Madiasa Ablisar, SH, M.Hum dan Bapak Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum selaku Dosen Penguji yang telah memberikan arahan dan masukan dalam penyempurnaan tesis ini;
8. Para Guru Besar dan Para Staf Pengajar Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan kepada penulis selama mengikuti proses perkuliahan;
9. Seluruh staff sekretariat Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, atas bantuan dan informasinya yang diberikan kepada Penulis dalam proses penyelesaian perkuliahan sampai kepada penyelesaian tesis ini.
10. Penghargaan dan terima kasih yang tulus dan setinggi-tingginya kepada Ayahanda Sabar Tarigan Sibero, SH dan Ibunda tercinta Rosmawaty Br Sembiring karena berkat doa, pengorbanan dan kasih sayangnya yang tulus
(11)
11
diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tidak lupa juga terima kasih kepada Kakakku dr. Sri Setiana Tarigan, adikku tersayang Irveb Imanuel Tarigan, SH dan Mita Florina Tarigan, yang selama ini telah mendukung dan menyayangi Penulis.
11. Teman-teman kuliah di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Pak Cibro, Nancy, Lidya, Claudya, Kak Hotlarisda dan juga rekan-rekan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, terima kasih atas dukungan dan bantuan tulus yang tak terlupakan.
Akhirnya terlepas dari segala kekurangan yang ada penulis mengharapkan kiranya tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Terima Kasih.
Medan, Juni 2011
(12)
RIWAYAT HIDUP
Nama : Hartanta Tarigan
Tempat/Tanggal Lahir : Kudus, 09 September 1985 Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Jalan Bunga Melur V No. 2 Pasar III Tanjung Sari Medan
Pendidikan : SD Swasta Katolik Assisi Tamat Tahun 1998 SMP Swasta Katolik Assisi Tamat Tahun 2001 SMA Swasta Cahaya Tamat Tahun 2004
Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2008
Strata Dua (S2) Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2011
(13)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR ... v
RIWAYAT HIDUP ... viii
DAFTAR ISI ... ix
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 11
C. Tujuan Penelitian ... 11
D. Manfaat Penelitian ... 11
E. Keaslian Penelitian ... 12
F. Kerangka Teori dan Konsepsional ... 13
1. Kerangka Teori ... 13
2. Kerangka Konsepsional ... 20
G. Metode Penelitian ... 25
1. Jenis Penelitian ... 25
2. Sumber Data ... 26
3. Teknik Pengumpulan Data ... 27
4. Analisis Data ... 28
BAB II : KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PERAMPASAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI... 29
A. Perkembangan Hukum Di Dunia Internasional Mengenai Penyitaan Dan Perampasan Hasil Tindak Pidana ... 29
(14)
B. Pendekatan Penal Policy Dalam Perampasan Aset
Hasil Tindak Pidana Korupsi ... 44
C. Pengembalian Aset Melalui Jalur Pidana ... 72
1. Tahap Pertama, Pelacakan Aset ... 74
2. Tahap Kedua, Pembekuan Atau Perampasan Aset ... 91
3. Tahap Ketiga, Penyitaan Aset-Aset ... 101
4. Tahap Keempat, Pengembalian Dan Penyerahan Aset-Aset Kepada Negara Korban ... 108
BAB III : KENDALA YURIDIS DALAM PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA ... 116
A. Keadaan Peraturan Perundang-Undangan Tindak Pidana Korupsi ... 126
B. Dilema Beban Pembuktian Terbalik ... 138
BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN ... 168
A. Kesimpulan ... 168
B. Saran ... 170
(15)
ABSTRAK
Perkembangan masalah korupsi di Indonesia saat ini sudah demikian parahnya. Korupsi menjadi masalah yang sangat luar biasa karena sudah menjangkit dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003 memandang perbuatan korupsi merupakan ancaman terhadap stabilitas dan keamanan, melemahkan lembaga dan nilai demokratis, etika, keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum. Perbuatan korupsi juga berkaitan dengan bentuk kejahatan lain sehingga sifatnya transnasional, perkara korupsi melibatkan aset-aset sedemikian besar yang menghabiskan sebagian besar sumber daya Negara. Upaya membuat pelaku kejahatan (offender) tidak dapat “menikmati” hasil perbuatannya dilakukan dengan merampas barang-barang tertentu yang diperoleh atau dihasilkan dalam suatu tindak pidana sebagai pidana tambahan selain pidana pokok seperti penjara dan denda (Pasal 10 jo Pasal 39 KUHP jo Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Tindak pidana korupsi, dapat juga dilakukan terhadap perampasan harta benda yang tidak dapat dibuktikan (oleh terdakwa) sebagai bukan dari hasil tindak pidana korupsi (Pasal 38 B Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001) dan masih ditambah lagi dengan pembayaran uang pengganti yang nilainya setara dengan kerugian keuangan negara akibat perbuatannya (Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001).
Permasalahan di dalam penelitian ini adalah : Pertama, Bagaimana kebijakan hukum pidana dalam perampasan aset hasil tindak pidana korupsi. Kedua,
Bagaimana kendala yuridis terhadap perampasan aset dalam tindak pidana korupsi. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif. Yuridis normatif yaitu difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.
Kebijakan hukum pidana dalam perampasan aset hasil tindak pidana korupsi menunjukkan bahwa tujuan utama dari penyusunan undang-undang perampasan hasil tindak pidana yaitu untuk menekan tingkat kejahatan dan meletakkan keadilan di dalam masyarakat di Indonesia melalui penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana. Perampasan hasil dan instrumen tindak pidana diharapkan akan mengurangi atau bahkan menghilangkan salah satu motif dasar perilaku atau calon pelaku tindak pidana yaitu medapatkan keuntungan ekonomis. Selain pengenaan sanksi pidana, harta kekayaan yang dihasilkan dari tindak pidana dan juga sarana yang digunakan untuk memfasilitasi tindak pidana akan dirampas oleh negara. Substansi sistem hukum pengembalian aset melalui jalur hukum pidana umumnya terdiri dari ketentuan-ketentuan mengenai proses pengembalian aset melalui empat tahap yang terdiri dari : pertama, pelacakan aset
(16)
untuk melacak aset-aset; kedua, tindakan-tindakan penghentian perpindahan aset-aset melalui mekanisme pembekuan atau penyitaan; ketiga, penyitaan. Hanya setelah melalui dan memenuhi tahapan-tahapan tersebut baru dapat dilaksanakan tahap keempat, yaitu penyerahan aset dari negara penerima kepada negara korban tempat aset diperoleh secara tidak sah. Kendala yuridis terhadap perampasan aset dalam tindak pidana korupsi yaitu dalam hal konstruksi sistem hukum pidana yang dikembangkan saat ini masih difokuskan pada upaya untuk mengungkap tindak pidana yang terjadi, menemukan pelakunya serta menghukum pelaku tindak pidana dengan sanksi pidana, terutama pidana badan baik pidana penjara maupun pidana kurungan. Masalah penyitaan dan perampasan hasil tindak pidana dan instrumen tindak pidana belum menjadi bagian penting di dalam sistem hukum pidana. Perlu adanya kebijakan legislatif yang berhubungan dengan kejahatan terhadap aset hasil tindak pidana. Peninjauan masalah ini sangat penting karena kebijakan legislatif pada dasarnya merupakan tahap awal yang paling strategis dari keseluruhan perencanaan proses fungsionalisasi hukum pidana atau proses penegakan hukum pidana. Perlu adanya suatu undang-undang yang mengatur secara tegas mengenai perampasan aset tindak pidana, dengan tujuan untuk mengatasi kendala-kendala yang timbul dalam upaya penarikan atau pengembalian aset melalui mekanisme pidana (in personam), sehingga walaupun tersangka/terdakwanya meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen, atau tidak diketahui keberadaannya, penyitaan dan perampasan aset hasil tindak pidana tetap dapat dilakukan secara fair karena melalui pemeriksaan sidang pengadilan.
(17)
ABSTRACT
The development of corruption problem in Indonesia nowadays has been in a very serious condition. Corruption has been a serious problem because it has spread all over social strata. The Convention on Anti Corruption organized by the United Nation in 2003 looked at corruption as a threat to stability and security, weakening the in institution and value of democracy, ethics, justice and endangering the sustainable development and supremacy of law. The act of corruption is also related to the other form of crime that is become transnational in nature. The case of corruption involves that big asset which has wasted most of the national resources. The attempt to make the offender unable to “enjoy” the result of what he/she has done is done by seizing his/her specific property obtained through a criminal act, besides putting him/her into prison of forcing him/her to pay fine (Article 10 in connection with Article 39 of the Indonesian Criminal Codes in connection with Article 18 Paragraph 1 of Law No.31/1999 as amended with Law No.20/1001 on Elimination of Corruption). The criminal act of corruption can also be done by seizing the property whose ownership cannot be proven (by the defendant) as the one obtained through corruption (Article 38 B of Law No.31/1999 in connection with Law No.20/2001) and requiring the defendant to pay a compensation as much as the amount of the state’s financial loss resulted from his/her deed (Article 18 Paragraph 1 Letter b of Law No.31/1999 in connection with Law No.20/2001).
The research questions to be answered in this study were, first, how the policy of criminal law is applied in seizing the assets obtained through corruption, and second, what juridical constraints exist in seizing the assets obtained through corruption.
This study employed the normative juridical research method. Normative juridical method was focused on studying the application of the norms found in the positive law related to the criminal act of corruption.
The policy of criminal law in seizing the asset obtained from corruption shows that the main purpose of the making of law on seizing the assets obtained through criminal act is to minimize the level of crime and to lay a justice in the society of Indonesia through seizing the assets and instruments of criminal act which is expected to be able to minimize or even eliminate one of basic motives of the offender or the offender to-be, namely to get economic benefit. In addition to provision of criminal sanction, the property obtained through criminal act and the facilities used to facilitate the criminal act will by the state. The substance of legal system in terms of returning the assets through the channel of criminal law generally consists of the stipulation on the process of returning the assets through four stage commencing: first, tracing on asset to find the other assets; second, the actions taken to stop the transfer of asset through the mechanism of freezing or seizing; third, seizing the asset. Only after going through these three stages, the fourth stage, the
(18)
8
transfer of asset from the receiving state to the victim state where the assets were illegally obtained, can be conducted. Juridical constraint exists in the process of seizing the assets in the criminal act of corruption related to the construction of the system of criminal law currently developed is still focused on the attempts to reveal the existing criminal act, to find the offender, to punish the offender with criminal sanction, especially in the forms of imprisonment. The issues related to seizing the instruments to do the criminal act and the assets obtained through criminal act have not yet become an important part in the system of criminal law. Therefore, it is essential that the legislative members make a policy related to the assets obtained from criminal act. The judicial review for this issue is very important because legislative policy is basically the most strategic initial step of all planning process of the functionalization of criminal act or the process of criminal law reinforcement. It is necessary to have a law that clearly regulates the process of seizing the assets obtained through criminal law with the purpose of overcoming the constraints existing in the attempts to return the assets through in personam mechanism that even though the accused/defendant is dead, is permanently sick, escapes or no body knows where he/she is, the seizing of assets obtained from criminal act can be done fairly because it is conducted through the trial in court.
(19)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kajian tentang kejahatan telah menjadi pembicaraan sepanjang sejarah kehidupan. Kejahatan dikatakan sebagai masalah tua, setua dengan peradaban manusia. Kajian kejahatan ini harus didekati multidisiplin, mengingat kejahatan mempunyai dimensi sosial dan dimensi kemanusiaan, serta berkembang cepat seiring perkembangan masyarakat.1 Kehidupan ekonomi antara satu negara dengan negara lain semakin saling tergantung, sehingga ketentuan hukum di bidang perdagangan internasional dan bisnis transnasional semakin diperlukan. Dahulu ada semacam adagium yang menyatakan makin miskin suatu bangsa semakin tinggi tingkat kejahatan yang terjadi. Sekarang adagium ini hanya berlaku bagi kejahatan konvensional seperti perampokan, pencurian, penipuan, penggelapan dan lain-lain.2
Kejahatan sekarang menunjukkan bahwa kemajuan ekonomi juga menimbulkan kejahatan bentuk baru yang tidak kurang bahaya dan besarnya korban yang diakibatkannya. Indonesia dewasa ini sudah dilanda kriminalitas kontemporer yang cukup mengancam lingkungan hidup, sumber energi, dan pola-pola kejahatan di bidang ekonomi seperti kejahatan bank, kejahatan komputer, penipuan terhadap konsumen berupa barang-barang produksi kualitas rendah yang dikemas indah dan
1
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hal. 1-2.
2
Muladi dan Dwija Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 1.
(20)
dijajakan lewat advertensi secara besar-besaraan, dan berbagai pola kejahatan korporasi yang berorientasi lewat penetrasi dan penyamaran.3 Kejahatan sebagai kegiatan yang merugikan masyarakat dan mempunyai dampak bagi sejumlah individu dan menyebabkan ketidaktentuan di masyarakat. Untuk itu perlu sanksi baik yang berupa sanksi phisik, sanksi moral, sanksi politik maupun sanksi agama.4
Perkembangan kejahatan yang dilakukan oleh korporasi dewasa ini baik dalam batas suatu negara maupun yang dilakukan melintasi batas wilayah negara lain semakin meningkat. Kejahatan tersebut antara lain berupa tindak pidana korupsi, penyuapan (bribery), perbankan, dan tindak pidana pencucian uang yang
keseluruhannya dapat dikategorikan sebagai kejahatan kerah putih (white collar
crime).5
Masalah korupsi bukan lagi sebagai masalah baru dalam persoalan hukum dan ekonomi bagi suatu negara karena masalah korupsi telah ada sejak ribuan tahun yang lalu, baik di negara maju maupun di negara berkembang termasuk juga Indonesia.
3
Ibid.
4
Alvi Syahrin, Hukum Yang Mewujudkan Kebahagiaan,
http://alviprofdr.blogspot.com/2010/11/hukum-yang-mewujudkan-kebahagian.html, diakses terakhir tanggal 24 Januari 2011.
5
Lihat Sutherland dalam Bismar Nasution, Rejim Anti Money Laundering di Indonesia, (Bandung: BookTerrace & Library, 2005), hal 26, bahwa secara konseptual white collar crime adalah suatu “crime commited by a person of respectability and hig social status in the course of his occupation”. Lihat juga Edi Setiadi dan Rena Yulia, Hukum Pidana Ekonomi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hal. 57, Sutherland memberikan pengertian white collar crime adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang yang mempunyai status sosial ekonomi yang tinggi dan terhormat dan melakukan kejahatan tersebut dalam kaitannya dengan pekerjaannya (crime commited by a person of respectability and hig social status in the course of his occupation). Ada beberapa alasan mengapa kejahatan yang termasuk white collar crime harus mendapat perhatian serius :
1. Ada paradigma baru bahwa kausa kejahatan itu tidak hanya disebabkan oleh kemiskinan, tetapi bisa juga dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai status sosial ekonomi yang tinggi.
2. Perluasan subjek hukum pidana.
(21)
Perkembangan masalah korupsi di Indonesia saat ini sudah demikian parahnya dan menjadi masalah yang sangat luar biasa karena sudah menjangkit dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat. Pada masa lalu korupsi sering diidentikkan dengan pejabat atau pegawai negeri yang telah menyalahgunakan keuangan negara6, dalam perkembangannya saat ini masalah korupsi juga telah melibatkan anggota legislatif dan yudikatif, para banker dan konglomerat, serta juga korporasi. Hal ini berdampak membawa kerugian yang sangat besar bagi keuangan negara7. Saat ini orang sepertinya tidak lagi merasa malu menyandang predikat tersangka kasus korupsi sehingga perbuatan korupsi seolah-olah sudah menjadi sesuatu yang biasa/lumrah untuk dilakukan.8
Keberanian dan kelebihan dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi dijadikan modal guna memuluskan perbuatan dan keingingan dalam mengambil uang
6
Lihat Soerjono Soekanto dalam Marwan Effendy, Penanggulangan Korupsi Secara Integral Dan Sistemik, Disampaikan Pada Kuliah Umum di Universitas Sumatera Utara, Medan, 20 Januari 2011, hal. 10, bahwa gejala korupsi itu muncul ditandai dengan adanya penggunaan kekuasaan dan wewenang publik, untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu, yang sifatnya melanggar hukum dan norma-norma lainnya, sehingga dari perbuatannya tersebut dapat menimbulkan kerugian negara atau perekonomian negara serta orang perorangan atau masyarakat. Lihat juga, Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Komisi Pemberantasan Korupsi, Kajian Yuridis Normatif UU Nomor 31 Tahun 1999 junto UU Nomor 20 Tahun 2001 Versi UU Nomor 30 Tahun 2002, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 1, Lord Acton pernah membuat sebuah ungkapan yang menghubungkan antara : “korupsi” dengan “kekuasaan”, yakni “power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”, bahwa ‘kekuasaan cenderung untuk korupsi dan kekuasaan yang absolut cenderung korupsi absolut”.
7
Lihat, Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan bahwa Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
8
Edi Yunara, Korporasi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Berikut Studi Kasus, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 1.
(22)
negara. Korupsi semakin lama semakin meluas, lebih sistematis dan lebih canggih.9 Korupsi dinegeri ini bagaikan lingkaran setan yang sulit diberantas. Para koruptor yang satu dengan koruptor yang lainnya saling membantu, bekerja sama dan saling melindungi. Korupsi seperti ibarat fenomena “bola salju”, jika kejahatan korupsi yang dilakukan oleh satu atau sekelompok orang terbongkar, maka kelompok lainnya akan terbongkar pula.
Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme telah berlangsung sejak tahun 1960, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Prp 1960, kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan terakhir disempurnakan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, namun sampai kini belum berhasil dengan baik,10 Kebijakan hukum pidana (penal policy) yang diambil dalam pembentukan dan
melahirkan peraturan perundang-undangan tindak pidana korupsi sebagaimana
9
Lihat Bambang Waluyo, Pidana Dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal.1-2, bahwa semakin tinggi kemampuan manusia juga dapat menimbulkan dampak negatif, antara lain berupa semakin canggihnya kejahatan yang dilakukan. Kejahatan di era globalisasi abad ke-21 ini, bukan saja berdimensi nasional tetapi sudah transnasional. Hal ini ditandai bukan saja kerugian yang besar dan meluas, namun juga modus operandi dan peralatan kejahatan semakin canggih. Kejahatan bukan saja dilakukan oleh perorangan tetapi sudah bersifat kelompok dan terorganisasi. Minimal ada delapan ciri-ciri kejahatan canggih (Andi Hamzah, 1991 : 47) yaitu sebagai berikut:
1. Dapat dilakukan secara transnasional, artinya melampaui batas-batas suatu negara.
2. Alat yang dipakai ialah alat canggih seperti peralatan elektronik, komputer, telepon, dan lain-lain. 3. Cara, metode, dan akal yang dipakai sanggat canggih.
4. Kerugian yang ditimbulkan dapat mencapai jumlah yang sangat besar. 5. Seringkali belum tersedia norma hukum positifnya.
6. Memerlukan keahlian khusus bagi penegak hukum menanganinya . 7. Diperlukan biaya besar dalam usaha memberantas dan menutupnya.
8. Disamping penyidikan dan penuntutan diperlukan pula intelijen hukum (law intelligence) untuk melacaknya.
10
Lenden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi, Pemberantasan dan Pencegahan, Edisi Revisi 2004 (Jakarta: Djambatan, 2004), hal. 11.
(23)
tersebut diatas, dirasakan dan diyakini oleh sebahagian besar kalangan masyarakat masih belum mampu menyentuh hakikat dari pembentukan hukum itu sendiri.
Jika Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dijalankan dan diterapkan dengan konsekuen, maka walaupun jelas tidak akan memberantas korupsi secara tuntas, namun paling kurang akan mengakibatkan kembalinya uang negara sebagian, melalui pidana denda, perampasan barang dan uang hasil korupsi, uang pengganti dan pengembalian utang kepada negara, yang pada gilirannya akan dipakai sebagai dana pembangunan untuk kesejahteraan rakyat. Pemerintah dan masyarakat harus menaruh perhatian yang lebih serius dalam masalah pemberantasan korupsi, dengan menyusun suatu sistem, metode, dan pola pemberantasan korupsi yang konsepsional, yaitu tidak hanya bertumpu pada satu segi yaitu usaha represif, tetapi terutama dalam usaha preventif.11
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003 yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 telah memasukkan tindak pidana korupsi ke dalam materi konvensi. Namun demikian konvensi PBB ini tidak mencantumkan pengertian istilah korupsi (corruption) ke
11
Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991), hal. xiii. Lihat Juga Marwan Effendy, Penanggulangan Korupsi Secara Integral Dan Sistemik, Op.cit., hal. 15, beberapa langkah strategis penanggulangan tindak pidana korupsi secara integral dan sistemik yaitu : kebijakan represif melalui perencanaan dan pembentukan hukum; harmonisasi dan penyusunan peraturan perundang-undangan di bidang pemberantasan korupsi dan sektor lainnya; peningkatan kinerja institusi penegak hukum; peningkatan kualitas profesi hukum. Kebijakan preventif melalui peningkatan peran komisi pengawas eksternal dan internal; peningkatan pendidikan dan kesadaran hukum; peningkatan kesejahteraan dan kesempatan kerja; meningkatkan kerjasama internasional dalam rangka pemberantasan korupsi; meningkatkan koordinasi dalam rangka pelaporan pelaksanaan upaya pemberantasan korupsi.
(24)
dalam materi muatannya melainkan memasukkan beberapa tindak pidana yang dapat digolongkan sebagai tindak pidana korupsi.12
Tindak pidana dimaksud yaitu, tindak pidana suap pejabat publik nasional, suap pejabat asing dan pejabat organisasi internasional; penggelapan harta kekayaan oleh pejabat publik; memperdagangkan pengaruh; penyalahgunaan fungsi; memperkaya diri sendiri secara tidak sah; suap disektor swasta; penggelapan di sektor swasta; pencucian uang; penadahan berkaitan dengan lain yang dicatumkan dalam konvensi ini; menghalang-halangi proses peradilan; termasuk tindak pidana penyertaan dan tidak pidana percobaan sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri.13
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003 memandang perbuatan korupsi merupakan ancaman terhadap stabilitas dan keamanan, melemahkan lembaga dan nilai demokratis, etika, keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum. Perbuatan korupsi juga berkaitan dengan bentuk kejahatan lain sehingga sifatnya transnasional, perkara korupsi melibatkan aset-aset sedemikian besar yang menghabiskan sebagian besar sumber daya Negara. Konkretnya, perbuatan korupsi memerlukan kerja sama internasional dan pendekatan komprehensif serta multidisipliner untuk mencegah dan memerangi korupsi secara efektif.14
12
Romli Atmasasmita, Globalisasi & Kejahatan Bisnis, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 41.
13
Ibid.
14
Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT. Alumni, 2007), hal. 128.
(25)
Ratifikasi Konvensi ini merupakan komitmen nasional untuk meningkatkan citra bangsa Indonesia dalam percaturan politik internasional. Arti penting lainnya dari ratifikasi Konvensi tersebut adalah15 :
a. untuk meningkatkan kerja sama internasional khususnya dalam melacak, membekukan, menyita, dan mengembalikan aset-aset hasil tindak pidana korupsi yang ditempatkan di luar negeri;
b. meningkatkan kerja sama internasional dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik;
c. meningkatkan kerja sama internasional dalam pelaksanaan perjanjian ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, penyerahan narapidana, pengalihan proses pidana, dan kerja sama penegakan hukum;
d. mendorong terjalinnya kerja sama teknik dan pertukaran informasi dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di bawah payung kerja sama pembangunan ekonomi dan bantuan teknis pada lingkup bilateral, regional, dan multilateral; dan
e. harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan Konvensi ini.
Konstruksi sistem hukum pidana yang dikembangkan akhir-akhir ini di Indonesia masih bertujuan untuk mengungkap tindak pidana yang terjadi, menemukan pelakunya serta menghukum pelaku tindak pidana dengan sanksi pidana terutama pidana badan, baik pidana penjara, maupun pidana kurungan. Pengembangan hukum dalam lingkup internasional seperti instrumen tindak pidana belum menjadi bagian penting di dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Berdasarkan pengalaman Indonesia dan negara-negara lain menunjukkan bahwa mengungkap tindak pidana, menemukan pelakunya, dan menempatkan pelaku tindak pidana di dalam penjara ternyata belum cukup efektif untuk menekan tingkat kejahatan jika tidak disertai dengan upaya untuk menyita dan merampas hasil dan
15
Penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003).
(26)
instrumen tindak pidana. Membiarkan pelaku tindak pidana tetap menguasai hasil dan instrumen tindak pidana memberikan peluang kepada pelaku tindak pidana atau orang lain yang memiliki keterkaitan dengan pelaku tindak pidana untuk menikmati hasil tindak pidana dan menggunakan kembali instrumen tindak pidana atau bahkan mengembangkan tindak pidana yang pernah dilakukan.16
Munculnya aset-aset hasil tindak pidana yang begitu besar ditemukan dalam berbagai bentuk misalnya dalam bentuk aset berwujud maupun aset tidak berwujud. Aset tindak pidana berjumlah besar secara nominal perlu ditangani secara khusus apabila sudah menyangkut aset yang telah terintegrasi dalam sebuah capital perusahaan berskala nasional maupun internasional.17
Upaya hukum pidana Indonesia, untuk “menghalangi” atau “menuntup kemungkinan” para pelaku kejahatan (termasuk koruptor) menikmati hasil kejahatannya, telah dilakukan dengan berbagai cara. Secara pragmatis, hal itu dapat dilakukan dalam proses acara, misalnya dapat dilakukan dari sejak awal berupa penyitaan (Pasal 39 KUHAP) atau pemblokiran (Pasal 71 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang), ataupun pembekuan rekening (Pasal 42 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan). Selain itu, upaya membuat pelaku kejahatan (offender) tidak dapat
“menikmati” hasil perbuatannya juga merampas barang-barang tertentu yang
16
Romli Atmasasmita, Op.cit., hal. 111.
17
(27)
diperoleh atau dihasilkan dalam suatu tindak pidana sebagai pidana tambahan selain pidana pokok seperti penjara dan denda (Pasal 10 jo Pasal 39 KUHP jo Pasal 18 ayat (1) Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Tindak pidana korupsi, dapat juga dilakukan terhadap perampasan harta benda yang tidak dapat dibuktikan (oleh terdakwa) sebagai bukan dari hasil tindak pidana korupsi (Pasal 38 B Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) dan masih ditambah lagi dengan pembayaran uang pengganti yang nilainya setara dengan kerugian keuangan negara akibat perbuatannnya (Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001).18
Bantuan teknologi informasi terhadap hasil kejahatan korupsi telah mendapat sentuhan “modernisasi”, yaitu ditempatkan didalam yurisdiksi hukum dari negara lain. Akibatnya kejahatan juga mengalami modernisasi.19 Penyebab korupsi ialah modernisasi, Huntington menulis sebagai berikut : 20
Korupsi terdapat dalam masyarakat, tetapi korupsi lebih umum dalam masyarakat yang satu daripada yang lain, dan dalam masyarakat yang sedang tumbuh korupsi lebih umum dalam suatu periode yang satu dari yang lain. Bukti-bukti dari sana sini menunjukkan bahwa luas perkembangan korupsi berkaitan dengan modernisasi sosial dan ekonomi yang cepat. Penyebab modernisasi mengembangbiakkan korupsi dapat disingkat dari jawaban Huntington berikut ini :
18
Chairul Huda, Problematika Seputar Pengembalian Aset (Asset Recovery) Hasil Tindak Pidana Korupsi, http://huda-drchairulhudashmh.blogspot.com/2009/02/problematika-seputar-pengembalian-aset.html , diakses terakhir tanggal 10 Desember 2010.
19
Ibid.
20
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi, Melalui Hukum Pidana Nasional dan
(28)
a. Modernisasi membawa perubahan-perubahan pada nilai dasar atas masyarakat. b. Modernisasi juga ikut mengembangkan korupsi karena modernisasi membuka
sumber-sumber kekayaan dan kekuasaan baru. Hubungan sumber-sumber ini dengan kehidupan politik tidak diatur oleh norma-norma tradisional yang terpenting dalam masyarakat, sedangkan norma-norma baru dalam hal ini belum dapat diterima oleh golongan-golongan berpengaruh dalam masyarakat.
c. Modernisasi merangsang korupsi karena perubahan-perubahan yang diakibatkannya dalam bidang kegiatan sistem politik. Modernisasi terutama di negara-negara yang memulai modernisasi lebih kemudian, memperbesar kekuasaan pemerintah dan melipatgandakan kegiatan-kegiatan yang diatur oleh peraturan-peraturan pemerintah.
Modernisasi menggambarkan adanya seluruh jenis perubahan sosial, termasuk juga perubahan dalam arti “kemajuan” dalam bidang kejahatan. Aset hasil korupsi dapat saja disembunyikan di luar negeri sehingga sulit dilacak, dibekukan, disita, apalagi ditarik kembali ke dalam negeri. Modernisasi atau globalisasi ternyata menjadi faktor kriminogen yaitu pendorong terjadi transnational crime. Para ahli
sepakat bahwa korupsi bukan lagi semata-mata masalah lokal (domestik) suatu negara, melainkan telah menjadi masalah global, masalah bagi keseluruhan masyarakat dunia tanpa terkecuali. Upaya pemberantasan korupsi juga harus diarahkan untuk memerangi kecenderungan korupsi sebagai aktivitas bisnis baru
(crime as a business), karena kejahatan ternyata cukup menguntungkan (crime does
pay).21
21
Chairul Huda, Problematika Seputar Pengembalian Aset (Asset Recovery) Hasil Tindak Pidana Korupsi, Op.cit.
(29)
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang sebagaimana dirumuskan di atas maka permasalahan yang dibahas meliputi :
1. Bagaimana kebijakan hukum pidana dalam perampasan aset hasil tindak pidana korupsi.
2. Bagaimana kendala yuridis terhadap perampasan aset dalam tindak pidana korupsi.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah dikemukakan di atas maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah :
1. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana dalam perampasan aset hasil tindak pidana korupsi.
2. Untuk mengetahui kendala yuridis terhadap perampasan aset tindak pidana korupsi.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat mempunyai kegunaan baik secara teoritis maupun praktis yaitu :
(30)
1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan untuk penelitian lebih lanjut terhadap perampasan aset hasil kejahatan tindak pidana korupsi. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum khususnya bidang hukum pidana mengenai kebijakan hukum pidana dalam perampasan aset hasil tindak pidana korupsi.
2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi penegak hukum dalam melaksanakan perampasan aset hasil kejahatan tindak pidana korupsi, sehingga kerugian keuangan negara dapat diatasi.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti, diketahui bahwa penelitian tentang “Kebijakan Hukum Pidana Dalam Perampasan Aset Terhadap Tindak Pidana Korupsi” belum pernah dilakukan di dalam permasalahan dan pendekatan yang digunakan. Walaupun ada beberapa hasil penelitian di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara yang membahas tentang tindak pidana korupsi, namun permasalahan dan pendekatan yang digunakan adalah berbeda. Jadi penelitan ini merupakan asli dan belum pernah ditulis oleh peneliti lain sebelumnya. Sehingga dapat dikatakan penelitian ini asli dan keaslian secara akademis keilmuan dapat dipertanggungjawabkan.
(31)
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Kerangka teori22 merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, si penulis mengenai sesuatu ataupun permasalahan (problem), yang bagi
si pembaca menjadi bahan perbandingan pasangan teoritis, yang mungkin disetujui maupun tidak disetujuinya dan ini merupakan masukan eksternal bagi pembaca.23
Menurut Kaelan M.S. Landasan teori pada suatu penelitian adalah merupakan dasar-dasar operasional penelitian. Landasan teori dalam suatu penelitian adalah bersifat strategis artinya memberikan realisasi pelaksanaan penelitian.24 Penelitian ini akan dibahas dengan kerangka pemikiran mengenai tindak pidana yang memberikan fokus perhatian pada perbuatan dan sifat melawan hukum dari perbuatan tindak pidana korupsi.
Pemikiran yang dikemukakan oleh Hans Kelsen meliputi tiga masalah utama, yaitu tentang teori hukum, negara dan hukum internasional. Ketiga masalah tersebut sesungguhnya tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya karena saling terkait dan dikembangkan secara konsisten berdasarkan logika hukum secara formal. Logika formal ini telah lama dikembangkan dan menjadi karakteristik utama filsafat
22
Lihat Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia, 1990), hal. 41, setiap penelitian haruslah disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis. Hal ini disebabkan karena adanya hubungan timbal balik antara teori dengan kegiatan-kegiatan pengumpulan data, konstruksi data, pengolahan data, dan analisis data.
23
Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 80.
24
Kaelan M.S, Metode Penelitian Kualitatif bidang Filsafat (Paradigma bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni), (Yogyakarta: Paradigma, 2005), hal. 239.
(32)
Kantian yang kemudian berkembang menjadi aliran strukturalisme. Teori umum tentang hukum yang dikembangkan oleh Kelsen meliputi dua aspek penting, yaitu aspek statis (nomostatics) yang melihat perbuatan yang diatur oleh hukum dan aspek
dinamis (nomodinamic) yang melihat hukum yang mengatur perbuatan tertentu.
Friedmann mengungkapkan dasar-dasar esensial dari pemikiran Kelsen sebagai berikut:
1. Tujuan teori hukum, setiap tiap ilmu pengetahuan, adalah untuk mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan.
2. Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengenai hukum yang seharusnya.
3. Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam.
4. Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada hubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum.
5. Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata, mengubah isi dengan cara yang khusus. Hubungan antara teori hukum dan sistem yang khas dari hukum positif ialah hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang nyata.25
Pendekatan yang dilakukan oleh Kelsen disebut The Pure Theory of Law;
mendapatkan tempat tersendiri karena berbeda dengan dua kutub pendekatan yang berbeda antara mahzab hukum alam dengan positivisme empiris. Beberapa ahli
menyebut pemikiran Kelsen sebagai “jalan tengah” dari dua aliran hukum yang telah ada sebelumnya. Empirisme hukum melihat hukum dapat direduksi sebagai fakta sosial. Sedangkan Kelsen berpendapat bahwa interpretasi hukum berhubungan dengan norma yang non empiris. Norma tersebut memiliki struktur yang membatasi
25
Jimly Asshiddiqie, M. Ali Safa'at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum,
jimly.com/pemikiran/getbuku/12, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum.pdf, diakses terakhir tanggal 31 Mei 2011, hal. 12.
(33)
interpretasi hukum. Di sisi lain, berbeda dengan mahzab hukum alam, Kelsen berpendapat bahwa hukum tidak dibatasi oleh pertimbangan moral.26
Teori Hukum Murni memusatkan kajiannya hanya pada hukum formal berdasarkan keabsahannya, yang membentuk suatu sistem hierarki norma hukum dengan puncak Grundnorm. Kajiannya hanya menyangkut hukum formal berdasarkan
keabsahan, yaitu hanya melihat hukum dari aspek yuridis formal semata, mengabaikan hukum materiil yang di dalamnya terdapat cita hukum dalam konsep keadilan dan pertimbangan moral.27
Karena hanya menekankan pada aspek yuridis formal, teori hukum murni sangat potensial menimbulkan permasalahan kekuasaan berlebihan bagi organ pembuat dan/atau pelaksana hukum, dan salah satu alternatif penyelesaian masalah tersebut adalah diperlukan pedoman dan/atau pembatasan lebih rinci dalam penerapan norma hukum umum atau pembuatan norma hukum kasuistis. Karena hukum dipisahkan dari moral, maka hukum sangat potensial mengesampingkan atau melanggar kemanusiaan, dan agar hukum tidak melanggar kemanusiaan, hukum harus mengambil pertimbangan dari aspek moral. Walaupun mengandung kelemahan
stufentheory dalam teori hukum murni juga membawa manfaat bagi bidang sistem
tata hukum. Teori hukum murni juga merupakan suatu teori negara hukum dalam
26
Ibid.
27
Alvi Syahrin, Teori Hukum Murni Dari Hans Kelsen, alviprofdr.blogspot.com, https://docs.google.com/viewer?a=v&pid=explorer&chrome=true&srcid=0B7bot8pheINSMzE4Mzdh MzItODhlYy00ZDdiLTkxOTMtYWFhYjEyNzVjYzBh&hl=en , diakses terakhir tanggal 3 April 2011.
(34)
suatu versi tersendiri, yang berupaya mencegah kekuasaan totaliter pada satu sisi dan mencegah anarkisme murni pada sisi lain.28
Dasar hukum pemidanaan, terdiri atas beberapa teori antara lain teori pembalasan29, teori tujuan dan teori gabungan (pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat). Teori pembalasan berpendirian bahwa pidana perlu dikenakan sebagai pembalasan atas apa yang telah dibuatnya yang bersifat mengganggu ketertiban masyarakat. Jika pembalasan itu ditujukan pada kesalahan yang tercela dari sipelaku, teori pembalasan ini disebut teori pembalasan yang subyektif dan jika ditujukan pada perbuatan si pelaku disebut pembalasan yang bersifat obyektif. Teori tujuan menganggap bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk mempertahankan ketertiban di dalam masyarakat. Inilah yang merupakan tujuan utamanya di samping tujuan-tujuan lainnya. Pada teori tujuan ini terdapat beberapa
28
Ibid.
29
Lihat Mahmud Mulyadi, Op.cit., hal. 20, Teori Retributif melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang imoral dan asusila di dalam masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus dibalas dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga pemidanaan hanya mepunyai satu tujuan, yaitu pembalasan. Menurut Remmelink, teori retributif atau teori absolut dapat dikatakan sama tuanya dengan awal pemikiran tentang pidana. Syarat pembenaran penjatuhan pidana tercakup dalam kejahatan itu sendiri. Pemikiran ini beranjak dari pandangan yang absolut terhadap pidana. Dalam konteks ajaran ini, pidana merupakan res absuluta ab affectu futuro (suatu keniscayaan yang terlepas dari dampaknya di masa depan). Dilakukan kejahatan, maka membawa konsekuensi dijatuhkannya pemidanaan. Sedangkan teori relatif memandang bahwa pemidanaan mempunyai tujuan lain. Sedangkan teori relatif memandang bahwa pemidanaan mempunyai tujuan lain yang lebih berarti dari tujuan pembalasan, yaitu perlindungan masyarakat dan pencegahan kejahatan, baik prevensi umum maupun prevensi khusus. Tujuan pemidanaan untuk prevensi umum diaharapkan memberikan peringatan kepada masyarakat supaya tidak melakukan kejahatan. Prevensi umum ini menurut van Veen mempunyai tiga fungsi, yaitu menegakkan wibawah pemerintah, menegakkan norma dan membentuk norma. Prevensi khusus dimaksudkan bahwa dengan pidana yang dijatuhkan, memberikan deterrence effect kepada si pelaku sehingga tidak mengulangi perbuatannya kembali.
(35)
pendapat tentang cara untuk mencapai tujuan tersebut di atas. Bambang Purnomo memperinci sebagai berikut :
1. Prevensi umum
Tujuan pokok pidana adalah pencegahan agar orang-orang tidak melakukan perbuatan pidana.
2. Prevensi khusus
Tujuannya melakukan pencegahan agar mereka yang telah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi perbuatannya.
3. Verbetering van de dader
Bertujuan untuk meperbaiki penjahat dengan reklasering. 4. Onschadelijk maken van de misdadiger
Pidana yang dijatuhkan bersifat menyingkirkan, baik untuk seumur hidup atau dikenakan pidana mati oleh karena tidak mungkin diperbaiki lagi.
5. Herstel van geleden maatschappelijk nadeel.
Tujuannya untuk memperbaiki kerugian masyarakat yang terjadi pada masa lalu. Teori ini mendasarkan pada pemikiran bahwa kejahatan itu menimbulkan kerugian yang bersifat ideal pada masyarakat.30
Teori gabungan menggabungkan pendapat teori pembalasan dan teori tujuan pidana dikenakan bukan saja untuk membalas perbuatannya yang merugikan masyarakat, tetapi juga mempertahankan ketertiban masyarakat itu sendiri. Dalam teori ini terdapat 3 (tiga) aliran, yaitu yang menitikberatkan pada pembalasan itu sendiri, yang menitikberatkan pada mempertahankan ketertiban masyarakat dan yang menitikberatkan sama antara pembalasan dan tujuan mempertahankan ketertiban masyarakat.31
Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) sebagai bagian dari
kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy) harus mampu menempatkan
30
Lili Rasjidi & Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 86-87.
31
(36)
setiap komponen sistem hukum dalam arah yang kondusif dan aplikatif untuk menanggulangi kejahatan, termasuk peningkatan budaya hukum masyarakat sehingga mau partisipasi yang aktif dalam penanggulangan kejahatan. Ketertiban masyarakat ini sangat penting karena menurut G. Pieter Hoefnagels bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) merupakan usaha yang rasional dari
masyarakat sebagai reaksi mereka terhadap kejahatan. Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan harus dilakukan melalui perencanaan yang rasional dan menyeluruh sebagai respon terhadap kejahatan (a rational total of the
responses to crime). Kebijakan ini termasuk bagaimana mendesain tingkah laku
manusia yang dapat dianggap sebagai kejahatan (criminal policy of designating
human behavior as crime).32
Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh G. Pieter Hoefnagels, maka kebijakan penanggulangan kejahatan dibedakan atas dua cara. Pertama, kebijakan penal (penal policy) yang biasa disebut dengan “criminal law application.” Kedua,
kebijakan non penal (non-penal policy) yang terdiri dari “prevention without
punishment” dan “influencing views of society on crime and punishment (mass
media). Terdapat dua sisi yang menjadi keterbatasan hukum pidana ini. Pertama, dari
sisi hakikat terjadinya suatu kejahatan. Kejahatan sebagai suatu masalah yang berdimensi sosial dan kemanusiaan disebabkan oleh berbagai faktor yang kompleks dan berada di luar jangkauan hukum pidana. Kedua, keterbatasan hukum pidana dapat
32
(37)
dilihat dari hakikat berfungsinya hukum pidana itu sendiri. Penggunaan hukum pidana pada hakikatnya hanya obat sesaat sebagai penanggulangan gejala semata (Kurieren am symtom) dan bukan alat penyelesaian yang tuntas dengan
menghilangkan sumber penyebab penyakitnya. Dalam konteks ini, hukum pidana berfungsi setelah kejahatan terjadi. Artinya hukum pidana tidak memberikan efek pencegahan sebelum kejahatan itu terjadi, sehingga hukum pidana tidak mampu menjangkau akar kejahatan itu sendiri yang berdiam di tengah kehidupan masyarakat. Sanksi pidana selama ini bukanlah obat (remidium) untuk memberantas sumber
penyakit (kejahatan, tetapi hanya sekedar untuk mengatasi gejala atau akibat dari penyakit tersebut.33
Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana “penal” merupakan “penal policy” atau “penal law enforcement policy” yang
fungsionalisasi/operasionalisasinya melalui beberapa tahap: 1 tahap formulasi (kebijakan legislatif);
2 tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial); 3 tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).
Dengan adanya tahap “formulasi”, maka upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak/penerap hukum, tetapi juga tugas aparat pembuat hukum (aparat legislatif); bahkan kebijakan legislatif merupakan tahap paling strategis dari “penal policy”. Karena itu, kesalahan/kelemahan kebijakan
33
(38)
legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi.34
2. Kerangka Konsepsional
Konsep atau pengertian, merupakan unsur pokok dari suatu penelitian. Jika masalah dan kerangka teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui fakta mengenai gejala yang menjadi pokok perhatian, dan suatu konsep sebenarnya adalah defenisi secara singkat dari sekelompok fakta atau gejala.35
Konsepsi adalah merupakan defenisi operasional dari berbagai istilah yang dipergunakan dalam tulisan. Adapun defenisi operasional dari berbagai istilah dibawah ini adalah sebagai berikut :
1. Kebijakan adalah sesuatu yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan satu pekerjaan, kepemimpinan dalam pemerintahan atau organisasi; Arah tindakan yang memiliki maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu perubahan.36 Sudarto mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu :
a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;
34
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hal. 78-79.
35
Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT. Gramedia, 1981), hal. 24.
36
M. Marwan & Jimmy P., Kamus Hukum, Dictionary Of Law Complete Edition, (Surabaya: Reality Publisher, 2009), hal. 334.
(39)
b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi;
c. Dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen), ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.37
2. Hukum pidana menurut Moeljatno adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar aturan untuk:
a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut;
b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.38
Hukum Pidana39 merupakan hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang beserta sanksi pidana yang dapat dijatuhkannya kepada pelaku.40 Hukum Pidana adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang merupakan tindak pidana atau bukan yang dapat dijatuhkan terhadap orang atau badan hukum yang melakukannya. Jadi hukum pidana tidak membuat norma hukum sendiri, tetapi sudah ada pada norma lain. Adanya sanksi pidana untuk menjamin agar norma itu
37
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hal. 3.
38
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi Revisi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hal. 1.
39
Lihat Alvi Syahrin, Ketentuan Pidana Dalam UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Jakarta: PT Sofmedia, 2011), hal. 82, bahwa ciri utama Hukum Pidana terletak pada penjatuhan penderitaan kepada orang yang melakukan kesalahan berupa sanksi pidana. Pemidanaan dalam fungsi klasiknya merupakan upaya pengenaan penderitaan sebagai pembalasan atas kesalahan dan ketercelaan perbuatan pelaku. Namun demikian, saat ini fungsi pembalasan tersebut terletak pada perannya sebagai upaya mencegah pelaku untuk tidak melakukannya lagi pelanggaran hukum serta dalam rangka melindungi atas obyek hukum.
40
(40)
ditaati. Norma itu dapat berupa norma kesusilaan seperti perkosaan, perbuatan tidak menyenangkan, norma hukum (pencurian) dan sebagainya. Norma juga bisa disebut dengan istilah kaidah.41
3. Kekayaan berarti setiap jenis aset, apakah yang berwujud atau yang tidak berwujud, yang bergerak atau tidak bergerak, yang nyata berwujud atau yang tidak nyata berwujud dan dokumen-dokumen hukum atau instrumen-instrumen yang membuktikan hak atas atau kepentingan yang melekat pada aset-aset itu. Hasil Kejahatan adalah setiap kejahatan yang berasal dari, atau diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari pelaksanaan suatu kejahatan. Pembekuan atau perampasan berarti melarang untuk sementara waktu dilakukannya transfer, perubahan, pengalihan kekayaan atau untuk sementara waktu menanggung beban dan tanggungjawab untuk mengurus dan memelihara serta mengawasi kekayaan berdasarkan penetapan pengadilan atau penetapan dari otoritas lainnya yang berkompeten.42
4. Harta Kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung43. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud barang tidak bergerak yang digunakan untuk yang
41
Moh. Hatta, Kebijakan Politik Kriminal, Penegakan Hukum Dalam Rangka
Penanggulangan Kejahatan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 1.
42
United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC), 2003, (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi, 2003), Terjemahan Tidak Resmi oleh Forum Pemantau Pemberantasan Korupsi (FORUM 2004) Ibid., hal. 15-16.
43
Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
(41)
diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pun harga dari barang yang menggantikan barang tersebut.44
5. Pengertian istilah “perampasan aset tindak pidana” dalam bahasa hukum Inggris disebut “forfeiture” yang didahului oleh “penyitaan” atau “confiscation”. Kedua
sarana hukum ini merupakan sarana hukum awal memasuki proses pemulihan aset (asset recovery). Untuk pemulihan aset yang pada umumnya ditempatkan di
negara lain diperlukan langkah hukum yang disebut “pengembalian aset” (returning asset).45
6. Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan pengadilan.46
7. Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio (Foclema Andreae:1951) atau
corruptus (Webster Student Dictionary: 1960), selanjutnya corruptio berasal dari
kata asal (Bahasa Latin) corrumpere, Inggris: Corruption, corrupt; Prancis:
corruption; dan Belanda: corruptie (korruptie), Indonesia: Korupsi. Pengertian
Korupsi secara harfiah ialah Kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan
44
Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
45
Romli Atmasasmita, Op.cit., hal 106.
46
(42)
yang menghina atau memfitnah. Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya (Poerwadarminta, 1976). Encyclopedia Americana memberikan pengertian
korupsi sebagai sesuatu hal yang buruk dengan bermacam ragam artinya bervariasi menurut waktu, tempat dan bangsa.47 Korupsi menurut J.S. Nye adalah:
Perilaku yang menyimpang dari kewajiban-kewajiban normal suatu peranan jawatan pemerintah, karena kepentingan pribadi demi mengejar status dan gengsi, atau melanggar peraturan dengan jalan melakukan atau mencari pengaruh bagi
who unlawfully and wrongfully uses his station or character to procure some benefit
ers.49
engan alasan yang berbeda-beda tetapi empunyai tujuan yang sama yaitu suatu perbuatan tidak etis yang merusak
8.
negara yang ditandai dengan hilangnya aset-aset publik untuk kepentingan
kepentingan pribadi.48
Defenisi Korupsi yang terdapat dalam Black’s Law Dictionary yaitu :
Any act done with an intent to gave some advantage inconcistent with officials duty and the rights of other. The act of an official or fiduciary person
for him self or for another person, contrary to duty and the right of oth
Korupsi menurut Sheldon S. Steinberg dan David T. Austern adalah :
Merupakan bagian dari tingkah laku yang dilakukan oleh oknum aparatur pemerintahan maupun orang lain d
m
sendi-sendi pemerintahan yang baik.50
Tindak Pidana Korupsi adalah kejahatan terhadap kesejahteraan bangsa dan
47
Andi Hamzah, Op.cit., hal. 7-8.
48
Edi Setiadi dan Rena Yulia, Op.cit., hal. 72
49
Ibid. Lihat juga, Marwan Effendy, Op.cit., hal. 4, Korupsi di dalam Black’s Law Dictionary adalah : suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak-pihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.
50
(43)
kesejahteraan rakyat.51 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, memberikan rumusan pengertian Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.52
G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.53
51
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi, Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: Alumni, 2007), hal. 21.
52
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
53
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Banyumedia, 2010), hal. 295.
(44)
2. Sumber Data
Bahan yang dipakai untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer54, bahan hukum sekunder55, dan bahan hukum tertier. Ketiga bahan hukum ini merupakan data sekunder.
Bahan hukum primer berupa perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption 2003 (Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering).
Bahan hukum sekunder yang merupakan bahan yang akan memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer, yaitu terdiri dari buku-buku teks yang berkaitan dengan kebijakan hukum pidana, aset korupsi dan tindak pidana korupsi, laporan-laporan penelitian dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan isu hukum dalam penelitian ini.
54
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 142, bahan hukum primer yang berupa perundang-undangan, yang memiliki otoritas tertinggi adalah Undang-Undang Dasar karena semua peraturan dibawahnya baik isi maupun jiwanya tidak boleh bertentangan dengan UUD tersebut.
55
Ibid., Bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku teks karena buku teks berisi prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik para sarjana yang mempunyai kualifikasi tinggi.
(45)
Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan hukum yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah, serta bahan-bahan lain diluar bidang hukum yang dianggap relevan dan berguna untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data berupa penelitian kepustakaan (library
research). Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya
akan dipilah-pilah guna memperoleh kaedah-kaedah hukum yang kemudian dihubungkan dengan isu hukum dan kemudian disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan isu hukum. Selanjutnya data yang diperoleh tersebut akan dianalisis secara induktif kualitatif untuk sampai pada kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dapat dijawab.
(46)
28
4. Analisis Data
Analisis data dilakukan secara kualitatif56, yaitu melakukan analisis secara eksploratif terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah aset tindak pidana korupsi. Kemudian data yang diperoleh dibuat sistematikanya sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalah yang dibahas dalam penelitian ini. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis pula dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dianalisis secara deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya, juga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan.
56
M. Syamsudin, Operasionalisasi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007) hal. 133, pengolahan dan analisis data kualitatif lebih menekankan analisisnya pada proses penyimpanan deduktif dan induktif serta dinamika hubungan fenomena yang diamati, dengan menggunakan logika ilmiah, berusaha menjawab pertanyaan penelitian melalui cara-cara berpikir formal dan argumentatif.
(47)
BAB II
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PERAMPASAN ASET
HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Perkembangan Hukum Di Dunia Internasional Mengenai Penyitaan Dan Perampasan Hasil Tindak Pidana
Dewasa ini, pemberantasan korupsi difokuskan kepada tiga isu pokok, yaitu pencegahan, pemberantasan, dan pengembalian aset hasil korupsi (asset recovery).57
Ada dua hal yang fundamental berhubungan dengan pengembalian aset (asset
recovery) yaitu58 :
1. Menentukan harta kekayaan apa yang harus dipertanggungjawabkan untuk dilakukan penyitaan; dan
2. Menentukan dasar penyitaan suatu harta kekayaan.
Pada Pasal 3 United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 tentang
pembekuan, perampasan, penyitaan dan pengembalian atas aset yang terjadi akibat pelanggaran atas konvensi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah :
1. Pembuktian harta kekayaan merupakan hasil dari pelanggaran konvensi (pasal 31 ayat (1) huruf a).
2. Pembuktian penggunaannya dalam rangka pelanggaran konvensi (pasal 31 ayat (1) huruf b).
57
Saldi Isra, Asset Recovery Tindak Pidana Korupsi Melalui Kerjasama Internasional,
http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=80:asset-recovery-tindak-pidana-korupsi-melalui-kerjasama-internasional&catid=23:makalah&Itemid=11 , diakses terakhir tanggal 27 Februari 2011.
58
I Ktut Sudiharsa, Pengembalian Asset Kejahatan Korupsi, http://dongulamo.com/joomla-overview/category/7-artikel.html , diakses terakhir tanggal 5 Maret 2011.
(48)
3. Pembuktian adanya perubahan bentuk terhadap harta kekayaan (pasal 31 ayat (4). 4. Pembuktian percampuran harta kekayaan yang sah dan yang melanggar konvensi
(pasal 31 ayat (5).
5. Pembuktian bahwa harta kekayaan merupakan penerimaan atau keuntungan yang diperoleh dari :
a. Pelanggaran terhadap konvensi.
b. Perubahan bentuk harta kekayaan dari pelanggaran konvensi. c. Integrasi harta kekayaan sah dan pelanggaran konvensi.
Dalam menentukan dasar hukum penyitaan, UNCAC menentukan agar negara-negara peserta harus membuat ketentuan untuk pelaksanaan penyitaan terhadap harta kekayaan dari pelanggaran konvensi. Indonesia sebagai negara yang telah menandatangani UNCAC berkewajiban untuk melaksanakan prinsip-prinsip dasar konvensi yaitu:
1. Adanya tanggung jawab pemerintah untuk mengembangkan kebijakan anti korupsi yang efektif;
2. Perlunya melibatkan masyarakat; 3. Pentingnya kerjasama internasional.59
Pemberantasan korupsi tidak hanya terletak pada upaya pencegahan maupun pemidanaan para koruptor saja, tetapi juga meliputi tindakan yang dapat mengembalikan kerugian keuangan negara akibat dari kejahatan extraordinary
tersebut. Kegagalan pengembalian aset hasil korupsi dapat mengurangi makna
59
(1)
Mulyadi, Lilik, Tindak Pidana Korupsi, (Tinjauan Khusus Terhadap Proses Penyidikan, Penuntutan, Pengadilan Serta Upaya Hukumnya Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999), Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000.
..., Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung: PT. Alumni, 2007.
..., Bunga Rampai Hukum Pidana, Perspektif, Teoretis Dan Praktik, Bandung: PT. Alumni, 2008.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi Revisi, Jakarta: Rineka Cipta, 2008.
Nasution, Bismar, Rejim Anti Money Laundering di Indonesia, Bandung: BookTerrace & Library, 2005.
Prodjohamidjojo, Martiman, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999), Bandung : Mandar Maju, 2001.
Prints, Darwan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Jakarta: Djambatan, 1989. ..., Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2002.
Rasjidi, Lili, & Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004.
SC., Ian McWalters, Memerangi Korupsi, Sebuah Peta Jalan Untuk Indonesia, Surabaya: JPBooks, 2006.
Setiadi, Edi, dan Rena Yulia, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.
Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Jakarta: Penerbit Ghalia, 1990.
Sudarto, Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat, Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Bandung: Sinar Baru, 1983.
..., Hukum Dan Hukum Pidana, Bandung: PT. Alumni, 2007.
Syamsudin, M., Operasionalisasi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
(2)
Syahrin, Alvi, Ketentuan Pidana Dalam UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan PengelolaanLingkungan Hidup, Jakarta: PT Sofmedia, 2011.
Waluyo, Bambang, Pidana Dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Wiyono, R., Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, Jakarta : Sinar Grafika, 2009.
Yunara, Edi, Korporasi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Berikut Studi Kasus, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005.
Yanuar, Purwaning M., Pengembalian Aset Hasil Korupsi, Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, Bandung: Alumni, 2007.
United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC), 2003, (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi, 2003), Terjemahan Tidak Resmi oleh Forum Pemantau Pemberantasan Korupsi (FORUM 2004), Jakarta: Perum Percetakan Negara RI, Cetakan Pertama, 2005.
Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun XVI No. 190 Juli 2001
..., Majalah Hukum Tahun Ke XXII No. 264 November 2007 ..., Majalah Hukum Tahun XXV No. 296 Juli 2010.
B. Makalah
Effendy, Marwan, Penanggulangan Korupsi Secara Integral Dan Sistemik, Disampaikan pada Kuliah Umum di Universitas Sumatera Utara, Medan, 20 Januari 2011.
Nasution, Bismar Stolen Asset Recovery Initiative dari Perspektif Civil Forfeiture, Disampaikan pada Focus Group Discusion (FGD) Perampasan aset Hasil Kejahatan Dalam Perspektif Rezim Anti Money Laundering, yang dilaksanakan oleh DPD ISHI Sumatera Utara, Wisma Benteng Medan, 18 Desember 2010.
(3)
C. Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih Dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering).
D. Internet
Ariawan, I Gusti Ketut, Stolen Asset Recovery Initiative, Suatu Harapan Dalam Pengembalian Aset Negara, ejournal.unud.ac.id/.../stolen%20aset%20recovery%20_gst%20kt%20ariawan _%20jan%202009%20wrd(1).pdf , diakes terakhir tanggal 3 Maret 2011. Arvian, Yandhrie, Bagja Hidayat, Timbal Balik Menjerat Koruptor,
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2006/05/01/EB/mbm.20060501.E B119121.id.html , diakses terakhir tanggal 19 Maret 2011.
Asyari, Adi, Peran Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Penyitaan Dan Perampasan Asset Korupsi, jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/410794105.pdf, diakses terakhir tanggal 4 Maret 2011.
Huda, Chairul, Problematika Seputar Pengembalian Aset (Asset Recovery) Hasil
(4)
http://huda-drchairulhudashmh.blogspot.com/2009/02/problematika-seputar pengembalian-aset.html , diakses terakhir tanggal 10 Desember 2010.
..., Dualisme Pemberantasan Korupsi Di Indonesia, http://huda- drchairulhudashmh.blogspot.com/2009/02/dualisme-pemberantasan-korupsi-di.html , diakses terakhir tanggal 5 Maret 2011.
Husein, Yunus, Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Di Indonesia (Asset Forfeiture Of Crime In Indonesia), jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/7410563576.pdf, diakses terakhir tanggal 16 Mei 2011.
Isra, Saldi, Asset Recovery Tindak Pidana Korupsi Melalui Kerjasama Internasional, http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id
=80:asset-recovery-tindak-pidana-korupsi-melalui-kerjasama-internasional&catid=23:makalah&Itemid=11, diakses terakhir tanggal 27 Februari 2011.
Mulyadi, Lilik, Pembuktian Terbalik Kasus Korupsi, www.pn-pandeglang.go.id/.../125_pembuktian_terbalik_kasus_korupsi.pdf, diakses terakhir tanggal 26 Maret 2011.
..., Pengembalian Aset (Asset Recovery) Pelaku Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Korupsi Indonesia Pasca Konvensi PBB Anti Korupsi 2003, http://pn-kepanjen.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=107:penge mbalian-aset-asset-recovery-pelaku-tindak-pidana-korupsi-menurut-undang-
undang-korupsi-indonesia-pasca-konvensi-pbb-anti-korupsi-2003&catid=23:artikel&Itemid=36 , diakses terakhir tanggal 26 Maret 2011. Mudzakir, Penelusuran, Penyitaan, Perampasan, Dan Pengelolaan Aset Tindak
Pidana, Makalah sebagai bahan Focus Group Discussion (FGD) tentang Penyitaan dan Perampasan Aset untuk Mendukung Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang diselenggarakan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Departemen bekerjasama dengan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta, 21 Juli 2009, http://www.legalitas.org/content/penelusuran-penyitaan-perampasan-dan-pengelolaan-aset-tindak-pidana , Diakses terakhir Tanggal 12 Desember 2010.
Rahmi, Novrieza, Kerja Sama, Kunci Penanganan Transnational Crimes,
(5)
Ramelan, Pembahasan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset,
http://www.djpp.depkumham.go.id/harmonisasi-peraturan-lainnya/43-sosialisasi/842-sosialisasi-ruu tentang-perampasan-aset-tindak-pidana.html , diakses terakhir tanggal 8 Maret 2011.
Sudiharsa, I Ktut, Pengembalian Asset Kejahatan Korupsi, http://dongulamo.com/joomla-overview/category/7-artikel.html , diakses terakhir tanggal 5 Maret 2011.
Syahrin, Alvi, Hukum Yang Mewujudkan Kebahagiaan,,
http://alviprofdr.blogspot.com/2010/11/hukum-yang-mewujudkan-kebahagian.html, diakses terakhir tanggal 24 Januari 2011.
..., Sifat Melawan Hukum (wederrechtelijk) http://alviprofdr.blogspot.com/2010/11/melawan-hukum.html , diakses terakhir tanggal 8 Maret 2011.
..., Teori Hukum Murni Dari Hans Kelsen, alviprofdr.blogspot.com, https://docs.google.com/viewer?a=v&pid=explorer&chrome=true&srcid=0B7 bot8pheINSMzE4MzdhMzItODhlYy00ZDdiLTkxOTMtYWFhYjEyNzVjYz Bh&hl=en, diakses terakhir tanggal 3 April 2011.
..., Penyidikan Dan Pembuktian Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), http://alviprofdr.blogspot.com/2010/11/penyidikan-dan-pembuktian-dalam-undang.html , diakses terakhir tanggal 3 April 2011. Yanuar, Purwaning M. Bukan RUU Perampasan Aset,
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=232893 , diakses terakhir tanggal 10 Desember 2010.
Teori Hans Kelsen Tentang Hukum.pdf, jimly.com/pemikiran/getbuku/12, diakses terakhir tanggal 31 Maret 2011.
Sosialisasi RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana,
http://www.djpp.depkumham.go.id/harmonisasi-peraturan-lainnya/43-sosialisasi/56-perampasan-aset.html , diakses terakhir tanggal 8 Maret 2011. Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor ... Tahun ... Tentang
Perampasan Aset Tindak Pidana.pdf,
http://www.djpp.depkumham.go.id/harmonisasi-peraturan-lainnya/43-sosialisasi/842-sosialisasi-ruu-tentang-perampasan-aset-tindak-pidana.html , diakses terakhir tanggal 8 Maret 2011.
(6)
179
Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor ... Tahun ... Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.pdf,
http://www.djpp.depkumham.go.id/pembahasan-ruu/80-ruu-yang-di-bahas/607-ruu-tentang-pemberantasan-tindak-pidana-korupsi.html , diakses terakhir tanggal 9 April 2011.
Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor ... Tahun ... Tentang Hukum Acara Pidana , http://www.djpp.depkumham.go.id/daftar-rancangan.html , http://www.djpp.depkumham.go.id/prolegnas-2010-2014.html , diakses terakhir tanggal 9 April 2011.