BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Penambahan Katalis BF3-Dietil Eterat Tahap Polimerisasi Pada Proses Pembuatan Poliester dari Asam Lemak Sawit Distilat (ALSD)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 POLIESTER

  Poliester adalah suatu kategori polimer yang mengandung gugus fungsional ester dalam rantai utamanya [22]. Poliester umumnya dipersiapkan dengan proses polikondensasi yang melibatkan reaksi monomer diol dan diasam atau diester memproduksi air atau alkohol sebagai produk samping [23]. Polimer yang termasuk ke dalam poliester diantaranya polietilen tereftalat dan polisikloheksan 1,4-dimetilen tereftalat [24].

  Poliester mulai ditemukan di laboratorium W.H. Carothers. Ia menemukan alkohol dan asam karboksilat dapat dikombinasikan membentuk serat [25]. Namun, Carothers tidak menemukan poliester tetapi yang ditemukannya adalah

  o

  nilon. Polimer alifatis Carothers bertitik leleh rendah (<100

  C) dan mudah larut dalam pelarut organik. Sekelompok ilmuwan Inggris -J.R. Whinfield, J.T. Dickson, W.K. Birtwhistle, dan C.G Ritchie- meneruskan pekerjaan Carothers pada tahun 1939. Pada tahun 1941 mereka membuat poliester pertama yang disebut dengan Terylene [26].

  Saat ini poliester didefinisikan sebagai polimer rantai panjang secara kimia tersusun atas sedikitnya 85 % berat ester dari dihidrat alkohol dan asam tereftalat [27]. Polimer ini disebut polietilen tereftalat (PET). PET termasuk golongan polimer plastik yang dapat dijadikan serat [24]. PET diproduksi dengan mereaksikan etilen glikol dengan asam tereftalat ataupun metil esternya [28]. PET secara ideal tersusun atas molekul yang diakhiri dengan gugus H pada sisi kiri dan OH pada sisi kanan ketika diproduksi dari etilen glikol dan asam tereftalat [26].

  O O OCH CH O C

  2

2 C

Gambar 2.1 Polietilena tereftalat (PET) [26]

  Poliester memiliki kemampuan terhadap cuaca sangat baik, tahan terhadap kelembaban dan sinar ultra violet bila dibiarkan di udara terbuka. Serat poliester mempunyai kekuatan yang tinggi dan e-modulus serta penyerapan air yang rendah dan pengerutan yang minimal bila dibandingkan dengan serat industri yang lain. Kain poliester tenunan digunakan untuk pakaian dan perlengkapan rumah seperti penutup tempat tidur dan tirai. Poliester industri digunakan dalam penguatan ban, tali, kain sabuk mesin pengantar (konveyor), sabuk pengaman, dan kain berlapis. Poliester juga digunakan untuk membuat botol, film, tarpaulin, kano, tampilan kristal cair, hologram, penyaring, saput dielektrik untuk kondensator [29].

2.2 ASAM LEMAK SAWIT DESTILAT (ALSD)

  Pada umumnya minyak kelapa sawit yang dihasilkan perkebunan kelapa sawit masih berupa minyak kasar, sehingga untuk menghasilkan minyak goreng diperlukan proses pemurnian. Pemurnian minyak kelapa sawit bertujuan untuk memperbaiki kualitas minyak dengan cara menghilangkan kotoran yang tidak diinginkan, seperti rasa dan bau yang tidak enak ataupun warna yang tidak menarik. Melalui tahapan pemurnian akan dihasilkan minyak goreng dengan karakteristik yang sesuai dengan keinginan konsumen dan memiliki masa simpan yang lebih lama. Tahapan pemurnian yang dilakukan pada minyak kelapa sawit yaitu degumming, bleaching dan deodorisasi.

  Pemisahan gum (degumming) merupakan proses pemisahan getah atau lendir yang terdiri atas fosfatida, protein, residu, karbohidrat, air, dan resin tanpa mengurangi jumlah asam lemak bebas dalam minyak. Getah-getah (gum) dalam minyak nabati perlu dihilangkan untuk menghindari perubahan warna dan rasa selama langkah rafinasi berikutnya. Pemucatan (bleaching) adalah tahap pemurnian untuk menghilangkan unsur-unsur pembawa warna yang tidak dikehendaki seperti karoten dan klorofil. Proses berikutnya adalah deodorisasi yang merupakan proses penghilangan bau dengan menggunakan suatu alat yang disebut deodorizer [30]. Secara keseluruhan proses refining akan menghasilkan 73% RBD olein (Refined Bleached Deodorized Olein), 21% stearin, 2,5%-5% ALSD dan 0,5% buangan. ALSD tersedia dalam bentuk padatan berwarna putih dan kuning pada temperatur kamar dan akan mencair bila dipanaskan. Hingga saat ini, pemanfaatan asam lemak sawit distilat masih terbatas pada pembuatan sabun kualitas rendah [1].

  (CH

  (CH

  Asam lemak sawit distilat (ALSD)/ Palm Fatty Acid Distillate (PFAD) memiliki kandungan asam lemak yang tidak jauh berbeda dengan komposisi asam lemak yang terdapat dalam minyak sawit. Adapun komposisi asam lemak dalam ALSD yaitu dapat dilihat pada tabel 2.1 dan parameter ALSD pada tabel 2.2.

  2

  )

  4

  (CH=CHCH

  

2

  )

  2

  2

  36,6 223 201 Linoleat C18:2 CH

  )

  6 CO

  2 H

  9,6 224 200 Linolenat C18:3 CH

  3 CH 2 (CH=CHCH 2 )

3 (C

  H

  2 )

  6 CO

  2 H

  3

  7 CO

  0,5 224 202

  2 H 1,2 192 161

Tabel 2.1 Komposisi asam lemak sawit distilat

  Asam Lemak (*) Rumus Molekul (*) Komposisi (%b) (**) Titik Didih (***) Asam lemak Metil ester

  Laurat C12:0 CH

  3 (CH 2 )

  2 CO

  2 H 0,2 172 133

  Miristat C14:0 CH

  3 (CH 2 )

  4 CO

  Palmitat C16:0 CH

  7 CH=CH(CH

2 )

  3 (CH 2 )

  14 CO

  2 H 47,1 212 184

  Stearat C18:0 CH

  3 (CH 2 )

  14 CO

  2 H 4,5 227 205

  Oleat C18:1 CH

  3 (CH 2 )

2 H

  • [31] **[32] dan ***[33]

  Polimer secara kuantitatif merupakan produk industri kimia paling penting yang digunakan dalam berbagai penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Hampir kebanyakan polimer saat ini diproduksi dari sumber fosil yang tidak dapat diperbaharui. Karena kegunaan polimer yang meluas dan pola konsumsi yang dominan sehingga diperlukan bahan alternatif pengganti sumber fosil sebagai bahan baku polimer.

  Saat ini, minyak nabati diterapkan sebagai bahan baku alternatif polimer berbasis minyak. Polimer-polimer ini mempunyai banyak kelebihan dibandingkan dengan polimer yang dibuat berbasis monomer minyak bumi yaitu sifatnya yang

  Parameter ALSD dari Minyak Sawit

  Asam lemak bebas (% sebagai C16:0) 83,3 Kelembaban (%b) 0,08 Bilangan Iodin 55,3 Bahan tak tersabunkan (%b) 2,5 Bilangan Penyabunan 198

Tabel 2.2 Parameter asam lemak sawit distilat [34]

2.3 POLIMER MINYAK NABATI

  biodegradable dan lebih murah. Siklus polimer berbasis minyak nabati ditunjukkan pada gambar 2.2 [35].

  Isolasi

  Minyak Biomass Nabati

  Modifikasi, Asimilasi,

  Sintesis Degradasi

  Sampah Polimer

  Penggunaan

Gambar 2.2 Siklus polimer berbasis minyak nabati [35]

2.4 REAKSI ESTERIFIKASI

  Esterifikasi dapat didefinisikan sebagai reaksi antara asam karboksilat dan alkohol. Esterifikasi dapat dilakukan dengan menggunakan katalis enzim (lipase) dan asam anorganik (asam sulfat dan asam klorida) dengan berbagai variasi alkohol misalnya metanol, etanol dan lain-lain [36]. Esterifikasi merupakan reaksi reversibel. Oleh karena itu, air harus dihilangkan untuk mengarahkan reaksi ke kanan dan memperoleh hasil ester yang tinggi [37].

  O O

  • O
  • O R'OH

  H

  • H R R R C C R C C

  O OH OH

2 R' OR'

  H

Gambar 2.3 Reaksi esterifikasi dengan katalis asam [38]

  Tahap esterifikasi dilakukan untuk menurunkan kadar asam lemak bebas dalam minyak. Reaksi esterifikasi yang berkatalis asam berjalan lebih lambat namun metode ini lebih sesuai untuk minyak atau lemak yang memiliki kandungan asam lemak bebas relatif tinggi [39]. Dengan esterifikasi, kandungan asam lemak bebas dapat diminimalisir hingga 2% dan diperoleh tambahan ester [40].

2.5 METIL ESTER

  Metil ester telah menggantikan banyak asam lemak sebagai bahan awal untuk kebanyakan proses oleokimia. Metil ester digunakan sebagai senyawa

  intermediate untuk sejumlah industri oleokimia seperti fatty alcohols, potensial adalah sebagai pengganti minyak diesel tanpa emisi belerang dioksida.

  Metil ester dapat ditemukan pada beberapa industri tekstil, kosmetik, parmasi, plastik dan pelumas [37]. Penggunaan metil ester untuk berbagai aplikasi dapat dilihat pada gambar 2.4.

  Alkanolamida Isopropilik Ester

  RC(O)N(CH CH OH)

  2

  2

  2 HN(CH

  2 CH

  2 OH)

  2 HOCH(CH 3 )

  2 RCOOCH

  3 Metil Ester Asam

  Lemak Sukrosa

  H

  2 /CuCr

  2 O

  4 Biodiesel

  RCH

2 OH

  Sukrosa Poliester

  Fatty Alcohol

Gambar 2.4 Penggunaan metil ester [41]

  Alkanolamida, produk yang menggunakan metil ester sebagai bahan baku, mempunyai aplikasi langsung sebagai surfaktan nonionik, emulsifier, agen plastisasi, dll. Fatty alcohol diaplikasikan untuk bahan aditif farmasi dan kosmetik (C16-C18) serta pelumas dan plastisizer (C6-C12), tergantung pada panjang rantai karbonnya. Isopropil ester juga diaplikasikan sebagai plastisizer dan emolien. Namun, tidak dapat diproduksi dengan cara yang meyakinkan dengan esterifikasi asam lemak, sebagai azeotrop membentuk air dan isopropanol. Metil ester lebih jauh digunakan dalam pembuatan karbohidrat asam lemak (sukrosa asam lemak), yang dapat diaplikasikan sebagai surfaktan non-ionik atau minyak makan nonkalori [41].

  Reaksi polimerisasi merupakan reaksi penggabungan dari asam lemak tidak jenuh membentuk senyawa kompleks yang disebut dimer dan trimer. Terjadi pada

  o

  minyak/lemak jika diperlakukan pada suhu tinggi (250

  C) [42]. Polimerisasi asam lemak (atau esternya, terutama metil ester) secara kationik untuk memperoleh asam dimer dan trimer dengan menggunakan katalis kationik. Hasil produk polimerisasi dapat digunakan sebagai dasar untuk polimer epoksi, hidroksil, karbonil, karboksil, amino, aldehid, dan senyawa lain. Senyawa ini dapat membentuk blok yang baik untuk polimer baru (poliuretan, poliester, poliamida, dll.) dan untuk penerapan lain [43].

  Jenis katalis untuk polimerisasi kationik adalah asam lewis dan katalis Friedel-Craft seperti AlCl , AlBr , BF , SnCl , H SO , dan asam kuat lainnya.

  3

  3

  3

  4

  2

  4 Semuanya aseptor elektron yang kuat. Kebanyakannya memungkinkan,

  pengecualian untuk asam kuat, memerlukan co-catalyst untuk memulai polimerisasi. Sebagai contoh adalah kompleks boron trifluoride-ether dengan

  ether berfungsi sebagai co-catalyst [44]. Kompleks boron trifluorida-dietil eter

  juga merupakan katalis yang efektif, lebih meyakinkan untuk ditangani dan menghasilkan warna polimer yang lebih cerah [11].

  Kebanyakan teori polimerisasi kationik melibatkan ion karbonium sebagai pembawa rantai yang akan mendonorkan protonnya membentuk ion karbonium. Ion ini kemudian bereaksi dengan monomer dengan pembentukan ulang ion karbonium pada akhir tiap tahap. Adisi monomer ke bentuk ion “kepala-ke-ekor” memungkinkan terjadi. Reaksi terminasi terjadi dengan penyusunan kembali

  bagian ion-ion menghasilkan polimer dan kompleks awal. Efisiensi katalis

  tergantung pada kekuatan asam kompleks. Maka, molekul yang lebih aktif disebut dengan katalis sedangkan yang kurang aktif disebut terminator [44].

  Mekanisme reaksi polimerisasi metil ester menjadi polimerik ester dengan katalis kompleks boron trifluorida adalah sebagai berikut:

  H

O

C H

  2

  4 C H

  2

  5 CH = CH-...C-O-CH + BF O(C H )

  2

  3

  3

  2

  5

  2 C O CH .... CH

  2 O BF

  3 CH

  

3

O

  • CH C .... CH

  3 O

  • C H

  2

  4 CH BF O

  3

  3 C H

  2

  5 O O O O

  CH -CH -...-C-O-CH +CH =CH-...-C-O-CH CH -O-C-...-CH-CH -CH -...C-O-CH

  3

  3

  2

  3

  3

  2

  3 CH

  3 Gambar 2.5 Mekanisme reaksi polimerisasi metil ester [42] [13]

  2.7 POLIESTERIFIKASI

  Metil ester yang terpolimerisasi dijadikan poliester dengan cara

  o

  mereaksikan dengan etilen glikol pada temperatur 175-200

  C. Pada kondisi reaksi ini digunakan katalis, seperti sodium metoksida atau garam seng. Selama berlangsungnya reaksi diusahakan terjadi penghilangan metanol atau air yang terbentuk agar tidak mengakibatkan kehilangan etilen glikol. Jika penghilangan ini dapat dilakukan dengan baik maka akan meningkatkan kecepatan reaksi.

  Syarat utama untuk terbentuknya polimer dengan berat molekul besar adalah terdapatnya dua gugus fungsi pada ujung-ujung kedua reaktan. Dalam reaksi ini, polimerik ester yang memiliki gugus fungsi ester pada kedua ujungnya akan direaksikan dengan etilen glikol yang juga memiliki dua gugus fungsi alkohol pada kedua ujungnya [13].

  Polimer kondensasi biasanya melibatkan metode kimia analis untuk gugus fungsional. Gugus karboksil dalam poliester dan poliamida biasanya dititrasi langsung dengan larutan basa menggunakan pelarut alkohol atau penol [44]. Indikator yang menunjukkan selesainya reaksi poliesterifikasi adalah bilangan

  asam. Bilangan asam adalah jumlah miligram KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam-asam lemak bebas dari satu gram minyak atau lemak [1].

  O O nCH

3 O C

  .... CH C CH

  .... CH CH CH

  • 3 C

  3

  2

  2 CH

  3 OH OH O O nCH

  3 O C [ .... CH CH .... C

  2 CH O nH (2n-1)CH OH

  • 2 O CH

  2

  3 ]

Gambar 2.6 Reaksi poliesterifikasi metil ester dan etilen glikol [13]

  2.8 PROSES PEMBUATAN POLIESTER

  Proses pembuatan poliester merupakan proses polimerisasi kondensasi atau polimerisasi step-growth dimana dalam prosesnya terjadi pembentukan produk samping air atau alkohol. Proses ini dapat dilakukan dengan cara mereaksikan secara langsung diasam atau anhidrida dengan diol. Akan tetapi, cara ini sering dihindari karena diperlukannya temperatur tinggi untuk menghilangkan molekul air. Selain itu, reaksi ini juga biasanya hanya menghasilkan poliester dengan berat molekul rendah.

  Cara lain yang dapat digunakan yaitu dengan mereaksikan dimetil ester dengan diol. Cara ini memiliki keuntungan bila dibandingkan dengan mereaksikan asam dan diol secara langsung karena reaksi berlangsung lebih cepat dan dimetil ester sendiri lebih mudah dimurnikan dan memiliki sifat kelarutan yang lebih baik [45].

  2.9 POTENSI EKONOMI POLIESTER DARI ALSD Indonesia merupakan salah satu produsen minyak sawit terbesar di dunia.

  Dalam pengolahan minyak sawit ini diperoleh beberapa turunan diantaranya adalah ALSD. Dengan meningkatnya produksi minyak sawit di Indonesia dari tahun ke tahun memberikan gambaran bahwa perolehan ALSD turut meningkat. Hal ini dapat dilihat dari data produksi minyak sawit di Indonesia pada tabel 1.1. ALSD sebagai hasil samping ini memiliki potensi yang cukup besar untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan poliester.

  Poliester saat ini umumnya disintesis menggunakan senyawa hidrokarbon yang tidak dapat diperbaharui. Data statistik produksi poliester di dunia dapat dilihat pada tabel 1.2. ALSD diduga memiliki potensi menggantikan senyawa hidrokarbon sebagai bahan baku pembuatan poliester sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomis dari ALSD yang merupakan limbah.

  Karena memiliki potensi yang cukup baik, perlu dilakukan kajian potensi ekonomi poliester dari ALSD. Namun, dalam tulisan ini hanya akan dikaji potensi Sebelum melakukan kajian tersebut, perlu diketahui harga bahan baku yang digunakan dalam produksi dan harga jual poliester. Dalam hal ini, harga poliester mengacu pada harga polietilena tereftalat (PET). Berikut ini adalah harga bahan baku dan produk dalam produksi poliester dari ALSD. Harga ALSD = Rp 5.293,66/kg [46] Harga Poliester komersial = Rp 38.924,-/kg [47] Harga-harga di atas menunjukkan selisih harga yang cukup signifikan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dari 150 gram ALSD yang digunakan dapat dihasilkan poliester sebanyak 80,7833 gram. Dari segi nilai keuntungan kasar, selisih harga bahan baku ALSD dan produk poliester dapat dihitung yaitu : Harga ALSD = 0,15 kg x Rp 5.293,66/kg = Rp 794,05 Harga Poliester komersial = 0,0807833 kg x Rp 38.924,-/kg = Rp 3.144,41 Sehingga dapat diperoleh keuntungan kasar sebesar Rp 2.350,36/kg.

  Saat ini, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Indonesia sedang menargetkan industri oleokimia Indonesia menjadi produsen nomor satu di dunia pada 2020. Hal ini didukung dengan kinerja industri oleokimia nasional dari tahun ke tahun menunjukkan tren yang menggembirakan, sebagai keuntungan atas tarikan pasar dan dukungan kebijakan pemerintah. Industri oleokimia berperan dalam mengolah minyak sawit menjadi produk kimia bernilai tambah tinggi antara lain Fatty Acid, Fatty Alcohol, Glycerine, Methyl Ester, dan atau turunannya [48].

  Sebagai produsen terbesar minyak sawit mentah (CPO) di dunia, Indonesia berpeluang menjadi basis industri oleokimia dunia. Oleh karena itu, Indonesia perlu mengubah pola pikir untuk mengandalkan produksi minyak sawit menjadi aneka turunan minyak sawit bernilai tambah tinggi. Berdasarkan kajian ekonomi yang telah dipaparkan, produksi poliester dari ALSD memiliki potensi untuk dikembangkan dalam skala industri yang lebih besar.