Pelaksanaan Bagi Hasil Perbankan Syariah Dalam Perspektif Hukum Perbankan Indonesia (Studi Pada Bank Sumut Syariah Cabang Lubuk Pakam Deli Serdang)

(1)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Abdulrahman, A., Ensiklopedia Ekonomi keuangan Perdagangan, Jakarta: Pradya Paramita, 1993.

Antonio, M. Syafi’I., Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani, 2000.

Ascarya., Akad & Produk Bank Syariah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.

Azis, Amin., Mengembangkan Bank Islam di Indonesia, Buku Kesatu, Cetakan Pertama Penerbit Bangkit, 1992.

Antonio, Muhammad Syafi’i., Bank Syari’ah Wacana Ulama dan Cendekiawan, Bank Indonesia dan Tazkia Institute, Jakarta, 1999.

El-Ashker, Ahmad Abdel Fattah., The Islamic Business Enterprise, Kent: Croom Helm, 1987..

El-Diawany, Tarek., Bunga Bank & Masalahnya; The Problem With Intesrst; Tinjauan Syar’i dan Ekonomi, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003. Djumhara, Muhammad., Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung: Citra Aditya

Bakti, 1996.

Fuady, Munir., Hukum Perbankan Modren, Citra Aditya Bakti, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999.

Kasmir, Dasar-dasar Perbankan, Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2002. Mannan, M. Abdul., Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta: PT. Dana

Bhakti Wakaf, 1972.

Qudama, Ibnu., Al-Mughini, Riyad: Maktabat Al-Riyad Al-Haditha, 1981. Saeed, Abdullah., Bank Islam dan Bunga, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008. Solohin, Ahmad Ifham., Ini Lho Bank Syariah!, Cet 1, Jakarta: PT. Grafindo

Media Pratama, 2008.

Soekanto, Soerjono., Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, Jakarta: Indonesia Hillco, 1990.

______Soerjono., dan Sri Mumadji., Penelitian Hukum Normatif Suatu Tijnjauan Singkat, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001.

Sjahdeini, Sutan Remy., Perbankan Islam, Putaka Utama Grafiti, Jakarta, 1999. Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 1992.

Sunggono, Bambang., Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.


(2)

Sumitro, Warkum., Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1996.

Waluyo, Bambang., Penelitian Hukum dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 1996.

Webster, Noah., Webster ‘s New Universal Unabriged Dictionary, New York-USA: Simon & Schuster, 1979.

Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan imdonesia, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993.

Wirdyaningsih, dkk., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media bekerjasama Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

B. Perundang-Undangan

Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Surat Keputusan Dewan Komisaris PT. Bank Sumut No. 42/DK-BPDSU/SK/2001 tanggal 21 Nopember 2001 tentang Visi, Misi, Goal, Objective, Kebijakan, Strategi dan Corporate Culture PT. Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara.

Surat Keputusan Direksi PT. Bank Sumut Nomor 120/DIR/DUSY-PDJS/SK/2009 tentang Pembiayaan Modal Kerja.

Surat Keputusan Direksi PT. Bank Sumut Nomor 087/DIR/DPP-PP/SK/2005 tanggal 5 Juli 2005.

Surat Keputusan Dewan Komisaris PT. Bank Sumut Nomor 42/DK-BPDSU/SK/2001 tanggal 21 Nopember 2001.

C. Makalah, Wawancara, dan Internet

Nasution, Faisal Akbar., “Indentifikasi Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen dan Usul Komisi Konstitusi dan Implikasinya Terhadap Sistem Pemerintahan dan Sistem Ketatanegaraan”, Disampaikan dalam diskusi, “Menjaring Aspirasi Masyarakat Dalam Upaya Amandemen dan Menyusun Konstitusi”, yang diadakan pada hari Senin tanggal 13 Desember 2004 oleh FITRA SUMUT bekerjasana dengan PSPK Jakarta di Medan.

Mochtar, Dira K., “Kisah Mata Air di Tanah Air”, sumber Perbanas Islamic Economic Forum (PIEF), artikel, Investor, Edisi 156, diterbitkan tanggal 4-16 Oktober 2006.

Hasil wawancara dengan Kepala Kantor Cabang Pembantu Bank Sumut Syariah pada tanggal 20 Januari 2010. Bapak Fahmi Ichwan Siregar.


(3)

http://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:pxVFmdPlgCgJ:katalog.pdii.lipi.go. id/in, diakses terakhir tanggal 12 Maret 2010.

D. Surat Kabar

Hilman, Eko., Investamia, “Investor”, Edisi 156, tanggal 4-16 Oktober 2006. Tempo Edisi Nomor 38 Tahun XXII tanggal 21 November 1992.


(4)

BAB III

TINJAUAN UMUM TERHADAP HUKUM PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

A. Prinsip Perbankan Secara Syariah Tercantum Dalam Pancasila dan UUD 1945

Corak perbankan suatu negara sangat banyak dipengaruhi kondisi lingkungan, baik dari segi sosial budaya maupun segi alam dan sejarah perkembangannya. Demikian pula corak perbankan Indonesia mempunyai kekhasan yang membedakannya dengan perbankan di negara lain. Kekhasan ini banyak dipengaruhi oleh ideologi Pancasila, dan tujuan negara yang tercantum dalam UUD 1945 dan kemudian dijabarkan lagi dalam Garis-garis Besar Haluan Negara.

Kekhasan yang terlihat jelas dalam kehidupan perbankan Indonesia diantaranya:41

1. Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Fungsi utamanya adalah sebagai penghimpun dan pengatur dana masyarakat, dan bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak;

2. Perbankan Indonesia sebagai sarana untuk memelihara kesinambungan pelaksanaan pembangunan nasional, juga guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, pelaksanaan perbankan Indonesia harus banyak memperhatikan keserasian, keselarasan, dan kesinambungan unsur-unsur Trilogi Pembangunan;

3. Perbankan Indonesia dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya kepada masyarakat tetap harus senantiasa bergerak cepat guna menghadapi tantangan-tantangan yang semakin luas dalam perkembangan perekonomian nasional maupun internasional.

41

Muhammad Syafi’i Antonio., Bank Syari’ah Wacana Ulama dan Cendekiawan, Bank Indonesia dan Tazkia Institute, Jakarta, 1999, hal. 14.


(5)

Membicarakan masalah perbankan tidak mungkin terlepas dari pembicaraan tentang uang. Dalam Islam, uang dipandang semata-mata sebagai alat tukar, bukan suatu komoditi. Oleh karena itu, uang dalam konsepsi Islam tidak dapat mengahsilkan suatu apapun. Dengan demikian bunga atau riba pada uang yang dipinjam atau dipinjamkan adalah dilarang.42

Prinsip perbankan secara syariah Islam bersumber pada prinsip Islam tentang uang. Karena uang tidak dibenarkan menghasilkan pertambahan (riba), maka bank Islam (bank syariah) dalam kegiatannya tidak bertumpu pada bunga. Penghasilan bank didapat melalui investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan.

Kedudukan bank dalam hubungan dengan para nasabahnya adalah sebagai mitra kerja investor dengan pengusaha, sedangkan dalam bank konvensinal hubungan bank dengan nasabahnya sebagai kreditur (pihak yang berpiutang) dengan debitur (pihak yang berutang).43

Oleh sebab itu, secara terperinci, prinsip syariah mengandung hal-hal berikut ini:44

1. Dihadapi bersama antara bank dengan nasabah dengan prinsip keadilan dan kejujuran;

2. Tindak mengenai kemungkinan terjadinya selisih negatif (negative spread) karena sistem yang digunakan;

3. Tindak bebas nilai;

4. Uang sebagai alat tukar bukan komoditi; 5. Bunga dalam berbagai bentuk dilarang; dan

6. Menggunakan prinsip bagi hasil dan keuntungan atas transaksi riil.

42

M. Abdul Mannan., Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1972), hal. 162.

43

Ibid, hal. 164. 44


(6)

Berdasarkan prinsip di atas, maka terlihat prinsip perbankan yang dikelola syariah sangat berbeda dengan perbankan yang pengelolaannya secara konvensional.

B. Mudharabah dan Musharakah Dalam Wacana Fiqh Islam

1. Mudharabah Dalam Wacana Fiqh

Mudharabah merupakan kontrak yang melibatkan antara dua kelompok, yaitu pemilik modal (investor) mempercayakan modalnya kepada pengelola (mudharib) untuk digunakan dalam aktivitas perdagangan. Mudharib dalam hal ini memberikan kontribusi pekerjaan, waktu dan mengelolah usahanya sesuai dengan ketentuan yang dicapai delam kontrak, salah satunya adalah untuk mencapai keuntungan (profit) yang dibagi antara pihak investor dan mudharib berdasarkan proporsi yang telah disetujui bersama. Namun apabila terjadi kerugian yang menanggung adalah pihak investor saja.45

Al-Qur’an tidak secara langsung menunjuk istilah mudharabah, melainkan melalui akar kata d-r-b yang diungkapkan sebayak lima puluh delapan kali. Dari beberapa kata inilah yang kamudian mengilhami konsep mudharabah, meskipun tidak dapat disangkal bahwa mudharabah merupakan sebuah perjanan jauh yang bertujuan bisnis. Nabi Muhammad dan para sahabat juga pernah menjalankan usaha kerjasama berdasarkan bisnis ini.46

45

Murasa Sarkaniputra., “Ruang Lingkup Ekonomi Syari’ah Tinjauan Teori dan Praktik di Indonesia”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Reformulasi Sistem Ekonomi Syari’ah dan Legislasi Nasional, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, di emarang, 6-8 Juni 2006, hal. 2.

46


(7)

Menurut Ibn Taiminyah, landasan legal yang membicarakan tentang mudharabah berdasarkan bebeapa laporan dari sahabat Nabi Muhammad, akan tetapi hadits tersebut sanadnya tidak otentik sampai kepada Nabi. Sedangkan ibn Hazm mengatakan, “Bahwa tiap-tiap bagian piqh berdasarkan pada al-Qur’an dan sunnah kecuali mudharabah, dimana kita tidak menemukan dasar apapun tentangya.47

Sarakshi yang merupakan ulama mazhab Hanafi mengatakan, mudharabah diperbolehkan karena orang-orang membutuhkan kontrak ini. Adapun Ibn Rushd yang merupakan ulama mazhab memiliki, menghormatinya sebagai sebuah kesepakatan pribadi. Mudharabah tidak merujuk langsung pada al-Qur’an dan Sunnah, tetapi berdasarkan kebiasaan (tradisi) yang dipraktekkan oleh kaum mislimin, dan bentuk kerjasama perdagangan modal ini tampak langsung terus di sepanjang awal Islam sebagai instrumen utama yang mendukung para kafilah untuk mengembangkan jaringan perdagangannya secara luas.48

Mudharabah umumnya digunakan sebagai pendukung dalam memperluas jaringan perdagangan. Karena dengan menerangkan prinsip mudharabah, dapat dilakukan transaksi jual beli dalam ruang lingkup yang luas (perdagangan antar daerah) maupun antara pedagang di daerah tertentu. Para pengikut mazhab Maliki dan Syafi’i menegaskan bahwa mudharabah aslinya merupakan pendukung utama dalam memperluas jaringan perdagangan. Mereka menolak mudharabah yang

47

Ibid., hal. 92. 48


(8)

diambil alih pengelolaannya, misalnya, aktifitas perusahaan yang pengelolaannya diserahkan kapada bagian agen.49

Dengan susunan organisasi demikian, pihak agen mempunyai tugas menangani segala mecam yang berhubungan dengan kontrak ini. Agen bertanggung jawab mengelolah usaha ini, menyangkut semua kerugian dan keuntungan yang diperoleh untuk diberikan kepada investor dan mudharib yang juga berhak terhadap pembagian keuntungan yang adil sesuai sengan pekerjaannya. Meskipun demikian para pengikut mazhab Hanafi memandang mudharabah sebagai bentuk koordinasi sebagai perdagangan, mereka membolehkan untuk mencampur modal investasi, berdasarkan ini para investor dapat mempercayakan sejumlah uangnya kepada agen untuk di kelolah dalam sistem investasi mudharabah dengan melalui perhitungan dalam bentuk pinjaman (loan), simpanan (deposit), dan ibda. Tujuan dari kordinasi demikian dimungkinkan untuk memperluas variasi dalam menentukan keuntungan dan resiko kerugian.

2. Musharakah Dalam Wacana Fiqh

Musharakah atau kerjasama adalah bentuk kedua dari prinsi penerapan prinsip bagi hasil (PLS) yang dipraktekkan dalam sistem perbankan Islam. Musharakah berasal dari akar kata sh-r-k yang digunakan dalam Al-Qur’an sebanyak 170 (seratus tujuh puluh) kali, meski tidak satu pun dari bentuk tersebut yang secara jelas menunjukkaan pengertian kerjasama dalam dunia bisnis. Meski demikian terdapat beberapa versi dalam Al-Qur’an dan juga beberapa keterangan

49


(9)

dari Nabi Muhammad serta para sahabat dan ulama yang menyatakan keabsahan musharakah untuk dilaksanakan dalam dunia bisnis.

Jadi, dalam fiqh, konsep musharakah digunakan dalam pengertian yang lebih luas daripada yang digunakan dalam konsep perbankan Islam.

C. Mudharabah Dalam Sistem Perbankan Islam

Konsep mudharabah umumnya telah dioperasionalkan dalam sistem perbankan Islam di Timur Tengah dewasa ini. Kontrak semacam ini dalam bank Islam kebanyakan digunakan bertujuan untuk perdagangan jangka pendek dan jenis usaha tertentu. Kontrak tersebut memberikan wewenang terhadap segala macam yang menyangkut pembelian dan penjualan barang yang indikasinya untuk merealisasikan tujuan utama dari perdagangan yang berdasarkan pada kontrak. Dalam hal ini, posisi mudharib bertindak sebagai nasabah bank Islam untuk meminta pembiayaan usaha berdasarkan kontrak mudharabah. Mudharib menerima dukungan dana dari bank yang dengan dana tersebut, mudharib dapat mulai menjalankan usaha dengan membelanjakan dalam bentuk barang untuk dijual kepada pembeli, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan.50

Sebelum pembiayaan tersebut disetujui, mudharib memberikan penjelasan terlebih dahulu kepada bank mengenai seluk-beluk usaha yang berkaitan dengan barang, sumber pembelanjaan, maupun seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh barang tersebut. Mudharib mengajukan sejumlah persyaratan finansial yang memuat beberapa hal menyangkut ketentuan harga penjualan, arus

50

Ahmad Abdel Fattah El-Ashker., The Islamic Business Enterprise (Kent: Croom Helm, 1987), hal. 76.


(10)

pembayaran, dan tingkat keuntungan yang akan diperoleh. Persyaratan tersebut akan dipelajari oleh pihak bank sebelum memutuskan menyetujui pembiayaan usaha tersebut. Bank umumnya akan menyetujui membiayai usaha tersebut jika tingkat keuntungan yang diharapkan cukup menjanjikan.51

1. Modal Mudharabah

Bank Islam dalam melakukan kontrak mudharabah menetukan sejumlah modal yang dipinjamkan ke dalam usaha yang akan dijalankan. Umumnya dana yang diberikan dalam pembiayaan kontrak mudharabah tidak diberikan kontan, hal ini memungkinkan pihak bank senantiasa mengawasi dan mengelolah usaha tersebut. Karena dalam kontrak ini pembelanjaan barang dagangan telah ditemukan dan pihak bank secara langsung akan dapat menyusun pembiayaan kepada penjual (mudharib).

Dana yang dipinjamkan oleh pihak bank yang dijadikan sebagai modal usaha tidak boleh diselewengkan mudharib dan tidak boleh digunakan untuk tujuan lain. Meskipun bank Islam mengluarkan pernyataan bahwa dana yang dipinjamkan melalui kontrak mudharabah tidak boleh digunakan untuk tujuan lain dari yang telah ditentukan dalam kontrak, namun tampaknya dalam praktek tidaklah banyak berarti.

2. Manajemen Mudharabah

Tugas mudharib dalam menjalankan pembiayaan kontrak mudharabah meliputi mengelolah dan mengatur pembelanjaan, penyimpanan, pemasaran, maupun penjualan barang dagangan. Mudharib menjamin dalam mengelolah

51


(11)

barang tersebut sesuai denagan ketentuan yang telah disepakati dalam pembiayaan mudharabah. Mudharib bertangggung jawab untuk menanggung segala kerugian yang disebabakan oleh kesalahannya sendiri yang menyimpang dari prosedur ketentuan kontrak. Pihak bank tidak menanggu kerugian yang disebabkan oleh kesalahan dari pihak mudharib tersebut. Mudharib harus menjaga barang tersebut dengen segala resikonya dan juga harus menyimpannya secara tepat. Singkatnaya, mudharib harus tunduk terhadap segala persyaratan yang telah ditentukan dalam kontrak yang berkaitan dengan pengelolaan usaha. Pelaksanaan tersebut umumnya diawasi oleh pihak bank.

3. Masa Berlakunya Kontrak Mudharabah

Kontrak mudharabah umumnya digunakan untuk tujuan perdagangan jangka pendek yang dapat dengan mudah menentukan masa berlakunya dan ketentuan tersebut umumnya berlaku pada bank-bank Islam. Dengan mengetahui batas berakhirnya kontrak, tingkat keuntungan yang akan diperoleh dari pindajamn bank akan dapat dihitung dan diketahui hasilnya, di samping itu juga penting bagi pihak bank untuk mengakhiri pembiayaan mudharabah dan modal bank akan dikembalikan sesuai dengan batas waktu yang ditentukan dalam kontrak.

Apabila terjadi perpanjangan masa berlakunya kontrak yang berjalan di luar kesepakatan di awal kontrak, maka segala resiko yang terjadi dalam kontrak menjadi tanggung jawab pihak bank, oleh karenanya pihak bank tidak diperbolehkan merubah tingkat rasio keuntungan yang disepakati sesuai dengan kontrak. Sebab tingkat rasio keuntungan berlaku tetap (constan) di seluruh masa


(12)

kontrak mudharabah, sedangkan perpanjangan terhadap masa berlakunya berarti akan mengikis pengembalia modal yang dipinjamkan.52

4. Jaminan Mudharabah

Bank Islam mengambil inisiatif meminta jaminan untuk keyakinan bahwa modal yang dipinjamkan kepada nasabah (mudharib) diharapkan kembali kepada semula sesuai dengan ketentuan awal ketika berlangsungnya kontrak. Meskipun dalam hukum Islam dijelaskan bahwa investor tidak diperkenankan meminta jaminan (garansi) dari mudharib.53 Namun dalam bank Islam tetap meminta berbagai macama bentuk jaminan.

Dalam perspektif perbankan Islam ini, jaminan (garansi) tersebut ditekankan kepada nasabah, adalah untuk menghindari hal mana jika terbuki suatu waktu mudharib atau nasabah tidak mempergunakan atau memanfaatkan dana atau tidak menjaga barang dagangan sebagaimana mestinya berdasarkan ketentuan persyaratan dari nvestor, dimana mudharib mengalami kerugian, maka jaminan yang diberikan tadi dijadikan sebagai ganti atas kerugian yang dialaminya. Dalam kasus tersebut mudharib bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi oleh karenanya, jaminan jaminan yang disyaratkan dalam kontrak menjadi kompensasi pihak dari bank. Jika jaminan tersebut tidak cukup, maka mudharib harus memberikan tambahan jaminan dalam jangka waktu yang ditentukan.

52

Abdullah Saeed., Op. cit, hal. 102. 53


(13)

5. Prinsip Bagi Hasil (Profit and Loss Sharing) Mudharabah

Bank Islam dalam melaksanakan kontrak mudharabah membuat kesepakatan dengan nasabah (mudharib) mengenai tingkat perbandingan keuntungan (profit ratio) yang ditentukan dalam kontrak. Perbaningan keuntungan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya, kesepakatan dari nasabah, prediksi keuntungan yang akan diperoleh, respon pasar, kemampuan memasarkan barang, dan juga masa berlakunya kontrak.

Jika kontrak mudharabah ternyata tidak menghasilkan keuntungan, maka mudharib selaku pengelola usaha tersebut tidak mendapatkan gaji dari pekerjaannya. Apabila terjadi kerugian, bank menanggung kerugian tersebut sepanjang tidak terbukti bahwa mudharib tidak menyelewengkan dana mudharabah berdasarkan atas persyaratan kontrak yang telah disepakati dengan investor. Namun jika terbukti akibat kecerobohan dari pihak mudharib, maka mudharib yang berhak menanggung kerugian itu.

Jelas kelihatan bahwa bahwa bank dapat turut menanggung setiap terjadinya kerugian, meskipun demikian tidak harus diterima begitu saja. Melalui segala macam pertimbangan, bank Islam hampir menghilangkan karakter ketidaktentuan hasil usaha yang melalui kontrak mudharabah. Pertimbangan resiko dalam bidang usaha ini sebagaimana yang diambil oleh bank Islam dapat diperkirakan dan diperhitungkan sebelumnya. Berdasarkan alasan, terkesan bhwa kontrak mudharabah yang dipraktekkan dalam bank Islam memiliki sedikit perbedaan dengan operasional bisnis beresiko rendah atau bisnis yang tidak berisiko.


(14)

Membicarakan kontrak mudharabah sebagaimana yang dipraktekkan oleh bank Islam mengindikasikan bahwa kontrak tersebut digunakan untuk tujuan jenis perdagangan jangka waktu pendek (short term commercial) di mana hasil yang akan diperoleh dapat diprediksi kepastiannya. Di sini sebenarnya tidak terdapat keseimbangan perpindahan modal kepada mudharib untuk menjalankan bisnis secara bebas. Pihak bank memintak keterangan seara detail mengenai seluk-beluk yang berkaitan dengan penjualan barang. Setiap terjadi kekeliruan dari persyaratan kontrak akan membuat mudharib bertanggung jawab untuk menanggu kerugian yang dialaminya. Pihak bank menentukan masa berlakunya kontrak, juga memintak jaminan untuk memastikan pengembalian modal sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, walaupun pihak bank tidak mengungkapkannya secara ekspisit.

Jadi, dalam melaksanakan sistem bagi hasil, pihak bank bertanggung jawab menanggung seluruh kerugian, tetapi tidak demikian dalam prakteknya, karena seringkali pihak bank tidak mudah percaya atas kerugian yang dialami pihak mudharib. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kontrak mudharabah yang dipraktekkan oleh bank Islam secara siknifikan berbeda dari kontrak mudharabah sebagaimana uumnya yang digambarkan dalam hukum Islam, atau yang digambarkan oleh para teoritikus perbankan Islam yang didambakan sebagai bentuk pembiayaan modal usaha atau sebagai pengembagan pembiayaan industri.


(15)

D. Musharakah Dalam SistemPerbankan Islam

International Islamic Bank for Invertsment and Development (IIBID) menjelaskan bahwa musharakah merupakan salah satu cara pembiayaan yang terbaik yang memiliki bank-bank Islam. Prinsip ini dijalankan berdasarkan partisipasi antara pihak bank dengan pencari biaya (partner potensial) untuk diberikan dalam bentuk proyek usaha, dan partisipasi ini dijalankan berdasarkan sistem bagi hasil, baik dalam keuntungan (profit) maupun dalam kerugian (loss). Syarat-syarat yang berkenaan dengan kontrak musharakah didasarkan kesepakatan yang dibicarakan natara kedua belah pihak (bank dan partner). Umumnya, pihak bank menyerahkan modal usaha dan menyerahkan manajemen usaha tersebut kepada partner. Musharakah yang dipahami dalam bank Islam merupakan sebuah mekanisme kerja (akumulasi antara pekerja dan modal) yang memberikan manfaat kepada masyarakat luas dalam produksi barang maupun pelanyanan terhadap kebutuhan masyarakat. Kontrak musharakah dapat digunakan berbagai macam lapangan uasaha yang indikasinya bermuara untuk menghasilkan keuntungan (profit).54

Walaupun demikian beberapa konseptor perbankan Islam tanpaknya mengunakan pengertian musharakah sebagai partisipasi dalam investasi terhadap suatu usaha tertentu, yang dalam bank-bank Islam digunakan dalam pengertian yang lebih luas. Berdasarkan ini, musharakah dapat digunkan untuk tujuan investasi dalam jangka waktu pendek atau juga untuk partisipasi dalam waktu panjang. Adapun bentuk pembiayaan musharakah yang digunakan bank Islam

54


(16)

meliputi; musharakah untuk perdagangan (commercial musharakah), keikutsertaan untuk sementara (decreasing partisipation), keikutsertaan untuk selamanya (permanent partisipation).

1. Modal Musharakah

Bank Islam umumnya memberikan bagian modal dari usaha musharakah dan nasabah (partner) memberikan lain-lainnya. Ketentuan perbandingan bagi (profit and loss sharing) dari hasil usaha tidak ditetapkan secara khusus. Tingkat perbandingan bagian bank dengan nasabah ditentukan menurut kesepakatan dan melalui pertimbangan besarnya pembiayaan modal yang diberikan oleh partner dalam usaha musharakah. Padahal pihak bank lebih mempu untuk membiayai usaha dengan persentasi modal yang lebih tinggi, tidak sama halnya dengan partner yang lebih sedikit dalam membiayai modal usaha. Meskipun bengitu, penentuan persentase berdasarkan pada keadaan (besarnya modal yang disertakan) yang sebenarnya.

Kontrak musharakah berdasarkan pada syarat dan ketentuan yang jelas. Diantaranya adalah menyangkut bagian modal bank beserta hasil usaha yang diharapkan dalam kontrak diberikan oleh partner kepada bank sesuai dengan masa yang ditentukan. Atau sejumlah persyaratan tersebut dalam mengelolah usaha musharakah.

Pihak partner menyediakan barang-barang musharakah di bawah pengawasan bersama (bank dan partner) dan tidak ada barang yang boleh dijual sampai harga jual dicantumkan dalam ketentuan musharakah. Pihak partner mengelolah kontrak musharakah dan menjual barang-barang berdasarkan


(17)

pertimbangan yang terbaik. Barang-barang yang dijual berdasarkan persetujuan harga dari bank dan partner yang ditentukan bagian kontrak. Partner tidakdapat menjual barang-barang padda tingkat harga yang lebih rendah dari pada persetujuan yang telah ditetapkan dalam kontrak, kecuali kalau disertai persetujuan dari bank. Jika partner menjual barang usaha musharakah lebih rendah tanpa disertai perseujuan dari bank, maka dia harus mengganti kepada bank dengan selisihnya. Partner harus menjaga dan menyiapkan catatan-catatan akuntan dari usaha musharakah dengan disertai bukti yang relevan dan sah yang dapat diterima

2. Jaminan Musharakah

Meskipun seluruh mazhab hukum tidak membolehkan meminta jaminan dari pihak patner sebagai kepercayaan, bank-bank Islam tetap mengharuskan partner mereka untuk memberikan jaminan melindungi kepentingan bank dalam kontrak musharakah.

Pihak pertama (bank) mempunyai hak untuk meminta kepada pihak kedua apabila jaminan yang diberikan kepada pihak pertma atidak cukup. Ini dapat dilakukan seminggu setelah peringatan kepada pihak kedua tanpa keberatan atau penundaan.

Berbagai bentuk jaminan yang diminta oleh bank-bank Islam dari partner mereka, jenis-jenisnya sebagai berikut:55

1. Berupa cek yang diserahkan partenr kepada bank. Jumlah cek nilainya sama dengan investasi bank dalam kontrak musharakah. Bank tidak menggunakan cek tersebut kecuali kalau partner melakukan pelanggaran dari persyaratan dalam kontrak;

55


(18)

2. Rekening dan tanda pembayaran dari penjualan barang-barang musharakah kepada pihak ketiga yang dilakukan berdasarkan pembayaran yang ditangguhkan, catatan tersebut harus disetorkan kepada bank;

3. Bank memiliki hak untuk meminta catatan saldo keuangan, dokumen atau surat-surat perdagangan milik partenr untuk disimpan oleh bank, jika partenr tidak dapat membayar bagian bank dari hasil usaha musharakah, bank dapat mengambilnya dari surat perdagangan yang disimpan di bank; 4. Bank menganggap dirinya sebagai pemilik barang-barang musaharakah

mulai dari pembelian hingga penjualan barang-barang tersebut; dan

5. Dalam kasus apabila barang-barang musharakah dijual kepada pihak ketiga dengan berdasarkan pada pembayaran yang ditangguhkan, pihak bank mempunyai hak untuk memintan partenr sebagai jaminan dan memberikan jaminan secara mutlak (kafala mutlaka) kepada partenr atas hutang yang diberikan kepada pihak ketiga.

Kalau diteliti lebih lanjut, saat ini tampaknya bank-bank Islam menghindar dari berbagai problem yang akan menyebabkan kerugian. Hal ini cukup mengherankan, jika dalam merealisasikan kerjasama, sebagaimana dijelaskan dalam fiqh, bank mempunyai kebenaran moral untuk melepas semua tanggung jawab tersebut kepada partner.

3. Masa Berlakunya Kontrak Musharakah

Kontrak musharakah dalam perdagangan kebanyakan dilakukan untuk jangka waktu pendek dan untuk tujuan khusus. Jika masa berlakunya kontrak ternyata kurang, maka dapat diperpanjang masa kontrak tersebut melalui persetujuan dari kedua belah pihak. Kontrak musharakah dapat diakhiri melalui persetujuan kedua belah pihak dengan catatan, bahwa pihak partner membayar kepada pihak bank semua tanggung jawab yang timbul dari pemberhentian kontrak.

Bank dapat memintak mengakhiri kontrak musharakah jika bank memandang apabila kontrak tersebut tetap dilangsungkan akan sia-sia tanpa hasil atau pihak partner ketahuan melanggar ketentuan yang tertera dalam kontrak.


(19)

Bank dapat melakukan ini dengan jalan tanpa melalui peringatan terlebih dahulu atau bersumber dari seperangkat aturan hukum yang mengatur pemberhentian kontrak tersebut.56

Jadi, bank Islam perlu merealisasikan pentingnya pertimbangan menghargai waktu dan mendesak dalam melaksanakan musharakah, dimana partner diwajibkan untuk membayar bagian keuntungan bank beserta modal usaha berdasarkan pada data yang ditentukan dalam kontrak. Apabila terjadi keterlambatan pembayaran, maka bagian keuntungan partner yang diperbolehkan sebagai ongkos pengelolaan usaha kemungkinan dapat dipotong atau dikurangi. Namun jika partner membayar jumlah tanggungannya sebelum masanya, maka bagian keuntungan yang memiliki partner sebagai ongkos dari pengelolaan usaha musharakah kemungkinan dapat ditambah.

4. Prinsip Bagi Hasil (Profit and Loss Sharing) Musharakah

Bank-bank umumnya tidak sama dalam menjalankan bagi hasil (profit and loss sharing) dari proyek usaha mereka yang berdasarkan pada pembiayaan kontrak musharakah. Prinsip bagi hasil secara luas dilaksanakan tergantung pada peranan partner dalam mengelolah proyek usaha musharakah, konstribusi modal diberikan dari kedua belah pihak yaitu partner dan bank. Apabila dari pembiayaan musharakah untuk tujuan perdagangan misalnya menawarkan pembagian keuntungan musharakah sebagai berikut: (a) menentukan tingkat persentase partner berdasarkan usaha-usahanya dalam pembelian, penjualan, penyimpanan, dan seluruh tangguhan yang berkaitan dengan musharakah, (b) menentukan

56


(20)

tingkat persentase bagi bank berdasarkan pengawasan dan manajemenya terdapat proyek musharakah, (c) menurut tingkat persentase keuntungan yang akan diterima kedua belah pihak berdasarkan ratio perbandingan konstribusi modal yang disertakan dalam kontrak musharakah.57

Jordan Islamic Bank (JIB) dalam membagi tingkat persentse keuntungan tidak mempertimbangkan bagian persentase dari segi manajemen. Hanya menuntukan dari keuntungan bersih yang akan dibagikan antara bank dan partner berdasarkan persetujuan bersama yang dilakukan dalam kontrak musharakah. Bank Mesir menentukan bagian tingkat persentase keuntungan berdasarkan pertimbangan sebagai berikut: (a) tingkat persentase yang diterima bank berdasarkan pada pelanyanan perbankannya, (b) tingkat persentase ynag diterima partner ditentukan berdasarkan berdasarkan barang-barang dan manajemennya. Persentase saldo usaha akan dialokasikan kepada bank dan partner.

Pelanggaran pihak partner terhadap ketentuan kontrak, maka kerugian tersebut dapat dibagi antara kedua belah pihak menurut tingkat persentse modal yang disertakan pada kontrak. Sebaliknya apabila kerugian tersebut akibat dari kelalaian, kesalahan manajemen, atau pelanggaran pihak partner terhadap ketentuan kontrak, maka partner harus bertanggung jawab atas semua kerugian tersebut.

Pembicaraan di atas menunjukkan bahwa musharakah yang digunakan dalam bank Islam bentuknya bervariasi, bank Islam tampaknya cenderung dominan menggunakan bentuk musharakah dalam perdagangan untuk jangka

57


(21)

waktu pendek, meskipu bentuk lainnya tetap dipergunakan. Dalam pembiayaan musharakah, kontribusi modalnya berasal dari bank dan partner. Pihak bank mengawasi bagaimana usaha musharakah dijalankan, hingga bank memastikan menerima pengembalian investasi awal yang diberikan beserta keuntungan yang diperoleh. Bank juga memintak berbagai macam garansi yang dijadikan untuk melindungi kepentinganya dalam usaha tersebut, dan dengan garansi ini kelihatanya bank berusaha melempar segala resiko usaha musharakah kepada partner. Bank juga menentukan batas waktu bagi berlakunya kontrak musharakh.

Di sini tidak ada keseragaman di antara bank-bank Islam dan menjalankan metode bagi hasil (profit and loss sharing). Walaupun metode bermacam-macam, namun esensinya sama.

E. Prinsip-Prinsip Bank Islam Dalam Perspektif Syariah

Visi perbankan Islam umumnya adalah menjadi wadah terpercaya bagi masyarakat yang ingin melakukan investasi dengan sistem bagi hasil secara adil sesuai dengan prinsip syariah.

Dengan visi misi tersebut, maka setiap lembaga keuangan yang berdasarkan syariah akan menerapkan prinsip-prinsip syariah berikut ini:58

1. Menjauhkan diri kemungkinan adanya unsur riba. Dapat dilakukan seperti: a. Penggunaan sistem yang menetapkan di muka suatu hasil usaha, seperti

penetapan bunga simpanan atau bunga pinjaman yang dilakukan pada bank konvensional. Dasarnya karena dalam hukum Islam, ”Hanya Allah SWT sajalah yang mengetahui apa yang akan terjadi esok”;

b. Menghindari penggunaan sistem persentase biaya terhadap utang atau imbalan terhadap simpanan yang mengandung unsur melipatgandakan

58

Wirdyaningsih, dkk., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media bekerjasama Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 15.


(22)

secara otomatis utang atau simpanan tersebut hanya karena berjalannya waktu, karena Allah SWT melarang memakan riba berlipat ganda;

c. Menghindari penggunaan sistem perdagangan atau penyewaan barang ribawi dengan imbalan barang ribawi lainnya Ibarang yang sama dan sejenis, seperti uang rupiah dengan uang rupiah yang masih berlaku) dengan memperoleh kelebihan baik kuantitas maupun kualitas. Karena dasar hukumnya dalam syariah Islam adalah, ”Memperdagangkan atau menyewakan barang ribawidengan imbalan barang yang sama dan sejenis dalam jumlah atau kualitas yang lebih adalah hukumnya riba”; dan

d. Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan di muka tambahan atas utang yang bukan atas prakarsa yang mempunyai utang secara sukarela, seperti penetapan bunga pada bank konvensional. Karena hal ini telah ditetapkan dalam Al-Hadits Shahih yang intinya adalah, ”Membayar utang dengan lebih baik (yaitu diberi tambahan) seperti yang dicontohkan dalam Al-Hadits, harus atas dasar sukarela dan prakarsanya harus datang dari yang punya utang pada saat jatuh tempo yang telah ditentukan sebelumnya.

2. Menerapkan prinsip bagi hasil dan jual beli. Mengacu kepada petunjuk dalam Al-Qur’an, QS. Al-Baqarah (2): 275 dan Surat An-Nisa’ (4): 29 yang intinya bahwa, “Allah SWT telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba serta suruhan untuk menempuh jalan perniagaan dengan suka sama suka, maka setiap transaksi kelembagaan ekonomi Islam harus selalu dilandasi atas dasar sistem bagi hasil dan perdagangan atau yang transaksinya didasari oleh adanya pertukaran antara uang dengan barang atau jasa. Akibatnya, pada kegiatan muamalah berlaku prinsip, “Adanya barang atau jasa dulu baru ada uang”, sehingg ada mendorong prduksi barang atau jasa, mendorong kelancaran arus barang atau jasa, dapat menghindari adanya penyalahgunaan kredit, spekulasi, dan inflasi.

Dalam operasinya, pada sisi pengerahan dana masyarakat, lembaga ekonomi Islam menyediakan sarana investasi bagi penyimpan dana dengan sistem bagi hasil, dan pada sisi penyaluran dana masyarakat disediakan fasilitas pembiayaan investasi dengan sistem bagi hasil serta pembiayaan perdagangan.

Investasi bagi penyimpan dana berarti nasabah yang menyimpan dananya pada bank (tabungan mudharabah atau simpanan mudharabah) dianggap sebagai penyediaan dana (rabbul mal) akan memperoleh hak bagi hasil dari usaha bank sebagai pengelola dana (mudharib) yang bersifat hasilnya tidak tetap dan tidak pasti sesuai dengan besar kecilnya hasil usaha bank. Bagi hasil yang diterima


(23)

penyimpan dana biasanya dihitung sesuai dengan lamanya dana tersebut mengendap dan dikelola oleh bank, bisa satu tahun, satu bulan, satu minggu, bahkan bisa satu hari.

Jadi dalam hal ini, persentase yang digunakan untuk menentukan nisbah atau porsi bagi hasil tidak termasuk pengertian dalam angka 1.b di atas, karena persentase ini dikenakan terhadap sesuatu yang tidak pasti besarnya, yaitu hasil usaha yang dari waktu ke waktu selalu berubah.

Pembiayaan investasi ialah pembiayaan baik sepenuhnya (Al-Mudharabah) atau sebagaian (Al-Musharakah) terhadap suatu usaha yang tidak berbentuk saham. Dana yang ditempatkan, yang sepenuhnya maupun yang sebahagian itu tetap menjadi milik bank sehingga pada waktu berakhirnya kontrak, bank berhak memperoleh bagi hasil dari usaha itu sesuai dengan kesepakatan.

Jadi dalam hal ini, karena pembiayaan investasi yang dilakukan bank tidak berupa saham dan dalam jangka waktu terbatas, maka kegiatan ini tidak termasuk kategori penyertaan modal pada suatu perusahaan lain yang dilarang undang-undang di Indonesia dilakukan oleh bank.

Dari semua bentuk pembiayaan itu, yang paling disukai sebenarnya adalah pembiayaan mudharabah. Konon dari tarikh (sejarah) Nabi Muhammad SAW. Dicontohkan adanya sistem Al-Mudharabah sebagaimana sistem penitipan modal yang dikelola Nabi Muhammad sewaktu beliau dipercaya bahwa sebahagian barang dagangan Siti Khadijah dari Mekkah ke Negeri Syam. Barang dagangan itu boleh dikatakan sebagai modal usaha, karena oleh Nabi Muhammad dijual dan


(24)

hasilnya dibelikan barang dagangan lainnya untuk dijual lagi di pasar Busyra di Negeri Syam. Nabi Muhammad melakukan perjalanan untuk mencari sebahagian karunia Allaw SWT setelah beberapa lama, Nabi Muhammad kembali ke Mekkah membawa hasil usahanya dan melaporkan kepada Siti Khadijah harta yang telah dikembangkan itu tentunya dihitung dan dibandingkan dengan harta semula. Harta semula dikembalikan kepada yang empunya, sedangkan selisihnya natara yang empunya harta (rabbul mal) dengan yang mengelola (mudharib) sesuai dengan kesepakatan semula.59

Riwayat kehidupan Nabi Muhammad, sebelum beliau berangkat ke Negeri Syam, Siti Khadijah menjanjikan bagian keuntungan kepadanya 2 (dua) kali lebih banyak dari yang biasa diberikan kepada orang Qurays lainnya.

59


(25)

BAB IV

PELAKSANAAN BAGI HASIL PERBANKAN SYARIAH BERDASARKAN HUKUM PERBANKAN PADA BANK

SUMUT SYARIAH CABANG LUBUK PAKAM

A. Perkembangan Bank Sumut Syariah Hingga Terbentuknya Bank Syariah Cabang Lubuk Pakam

1. Asal Mula Pembentukan Bank Syariah di Indonesia

Berkembangnya bank-bank syariah di negara-negara Islam telah membawa pengaruh kepada dunia perbankan Indonesia. Pada awal tahun 1980-an, diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar ekonomi Islam mulai dilakukan. Para tokoh yang terlibat dalam kajian tersebut adalah Dawam Rahardjo, Saefuddin, Amien Azis dan lain-lain. Beberapa uji coba pada skala yang relatif terbatas telah diwujudkan, seperti Baitut Tamwil-Salman, Bandung yang tumbuh secara mengesankan. Di Jakarta juga dibentuk lembaga serupa dalam bentuk koperasi yakni Koperasi Ridho Gusti.60

Selanjutnya Majelis Ulama Indonesia (MUI), pada tanggal 18-20 Agustus 1990 menyelenggrakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Bogor. Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel Sahid Jakarta pada 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan amanat Munas IV MUI dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam di Indonesia.

Kelompok kerja yang disebut Tim Perbankan MUI berfungsi melakukan pendekatan dan konsolidasi dengan semua pihak terkait. Mereka juga

60


(26)

menyelenggarakan pelatihan calon staf melalui Management Development Program (MDP) di LPPI yang dibuka pada tanggal 29 Maret 1991 oleh Menteri Muda Keuangan Nasruddin Sumintapura, dan meyakinkan beberapa pengusaha muslim untuk menjadi pemegang saham pendiri.61

Dengan demikian, memperhatikan kemajuan sistem bagi hasil berdasarkan syariah ini, maka Bank Sumut Syariah ikut berperan dalam meningkatkan perekonomian masyarakat melalui pembentukan cabang-cabang syariah di Propinsi Sumatera Utara khususnya di Lubuk Pakam.

2. Bank Muamalat Indonesia Sebagai Pelopor Bank Sumut Syariah Cabang Lubuk Pakam

Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI, berdirilah Bank Muamalat Indonesia pada tanggal 1 November 1991. Untuk membantu kelancaran tim MUI ini, terutama untuk masalah-masalah legal, maka dibentuklah Tim Hukum ICMI yang diketuai oleh Drs. Karnean Purwaatmadja, MPA.

Pada awal pendirian Bank Muamalat Indonesia, konsep bank syariah masih belum mendapat perhatian yang layak dalam tatanan industri perbankan nasional. Landasan hukum operasi bank yang menggunakan prinsip syariah ini hanya dikategorikan sebagai bank dengan sistem bagi hasil. Tak ada rincian landasan hukum syariah serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan. Hal ini tercermin dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 92 yang hanya membahas sistem bagi hasil secara sepintas lalu dan merupakan sisipan belaka.

Berkat kuatnya sokongan umat untuk mendirikan bank ini, baik dari pemerintah, ulama, maupun masyarakat umum, serta katangkasan Tim Perbankan

61


(27)

MUI dalam bekerja, hanya dalam waktu satu tahun setelah tercetusnya ide, maka tanggal 1 November 1991 dilaksanakanlah penandatanganan Akte Pendirian Bank Muamalat Indonesia (BMI) di Sahid Jaya Hotel dengan Akte Notaris Yudo Paripurno, SH. Izin Menteri Kehakiman Nomor C 2.2413. HT. 01.01. Pada saat itu terkumpul dana sebanyak Rp. 84 Milyar dan dua hari berselang, tanggal 3 November 1991 Tim MUI mengadakan silaturrahmi dengan Presiden Soeharto dan masyarakat Jawa Barat di Istana Bogor sehingga total modal telah menjadi Rp. 116 Milyar.62

Setelah mendapatkan izin, Surat Menteri Keuangan RI Nomor 1223/MK.013/1991 tanggal 5 November 1991, Izin Usaha Keputusan Menkeu RI Nomor 430/KMK:013/1992 tanggal 24 April 1992, pada tanggal 1 Mei 1992 BMI memulai operasinya dengan memberikan layanan perbankan Islam kepada para nasabah.

Adapun tjuan umum berdirinya BMI, sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam dan sesuai dengan situasi dan kondisi di Indonesia, adalah:

1. Meningkatkan kualitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat terbanyak bangsa Indonesia, sehingga semakin berkurang kesenjangan sosial ekonomi, dan dengan demikian akan melestarikan pembangunan nasional, antara lain melalui:

a. Meningkatkan kualitas dan kuantitas kegiatan usaha b. Meningkatkan kesempatan kerja

c. Meningkatkan penghasilan masyarakat banyak

62


(28)

2. Strategi pengembangan:

a. Bekerja sama dengan Bank-Bank Pengkreditan Rakyat (BPR) yang telah ada dengan cara:

a) Mengintrodusir dan membina pengembangan produk-produk dan sistem perbankan berdasarkan syariah Islam;

b) Mengintrodusir sistem pegembangan usaha berdasarkan

kebersamaan dalam permodalan dan resiko; dan

c) Merintis dan mengembangkan kerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat dalam mendukung peningkatan kemampuan manajerial dan teknologi, peningkatan nilai dan pengembangan usaha pengusaha kecil dan menengah.

b. Mendorong pengembangan Bank-Bank Pengkreditan Rakyat (BPR) baru di daerah-daerah potensional, pengembangan usaha kecil dan menengah dengan cara:

a) Penyediaan modal perangsang prakarsa; b) Penyediaan staf BPR dan pelatihan;

c) Penyediaan manual kerja dan pembinaan teknis; d) Pembinaan lanjutan; dan

e) Merintis dan mengembangkan kerjasama dengan LSM dalam

mendukung peningkatan kemampuan manajerial dan teknologi, peningkatan nilai tambah dan pengembangan usaha pengusaha kecil dan menengah.


(29)

c. Bekerja sama dengan Badan Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqoh (Bazis) mengintensifkan pengelolaan dana zakat, infaq, dan shadaqoh untuk proyek-proyek pengembangan usaha kecil dan menengah.

d. Merangsang tumbuh dan berkembang lebih baik lembaga-lembaga penyediaan bantuan teknik manajemen untuk pengusaha kecil dan menengah.

e. Merangsang tumbuh dan berkembang lebih baik lembaga-lembaga penyediaan teknologi peningkatan produktifitas.

f. Merangsang tumbuh dan berkembang lebih baik lembaga-lembaga penyediaan bantuan pembinaan keterampilan akuntansi.

g. Mengembangkan peranan kelembagaan dan melancarkan jaringan penyediaan bahan baku.

h. Mengembangkan peranan kelembagaan penyediaan teknologi pasca panen. i. Mengembangkan peranan kelembagaan penyediaan hasil produksi.

Dalam menjalankan usaha komersialnya BMI mempunyai 3 prinsip operasional yang terdiri dari: sistem bagi hasil, sistem jual beli (margin keuntungan), dan sistem jasa (fee).

Sistem bagi hasil adalah suatu sistem yang meliputi tata cara pembagian hasil usaha antar penyedia dana dengan pengelola dana. Pembagian hasil usaha ini dapat terjadi antara bank dengan penyimpan dana, maupun antara bank dengan nasabah penerima dana. Bentuk usaha yang berdasarkan prinsip ini adalah mudharabah dan musyarakah.


(30)

Sistem jual beli dengan margin keuntungan merupakan suatu sistem yang menerapkan tatacara jual beli, dimana bank mengangkat nasabah sebagai agen bank, dan nasabah sebagai agen bank melakukan pembelian barang atas nama bank, kemudian bank akan bertindak sebagai penjual akan menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli ditambah keuntungan bagi bank (margin/mark-up).

Sistem fee atau jasa meliputi seluruh layanan non-pembiayaan yang berdasarkan prinsip ini, antara lain Bank Garansi, Kliring, Inkaso, Jasa Transfer. Adapun produk-produk yang disediakan BMI untuk pengerahan dana dari masyarakat berupa:

a. Giro Wadi’ah yaitu dana nasabah yang dititipkan di bank. Setiap saat nasabah berhak mengambilnya dan berhak mendapatkan bonus dari keuntungan pemanfaatan dana giro oleh bank. Besarnya bonus tidak ditetapkan di muka tetapi benar-benar merupakan kebijaksanaan bank. Sungguhpun demikian nominalnya diupayakan sedemikian rupa untuk selalu kompetitif.

b. Tabungan Mudharabah, dana yang disimpan nasabah akan dikelola bank untuk memperoleh keuntungan. Keuntungan akan diberikan kepada nasabah berdasarkan kesepakatan bersama. Dalam produk ini dapat dilakukan mutasi, sehingga perhitungan saldo rata-rata.

c. Deposito Investasi Mudharabah, dana yang disimpan nasabah hanya bisa ditarik berdasarkan jangka waktu yang telah ditentukan, dengan bagi hasil keuntungan berdasarkan kesepakatan bersama.


(31)

d. Tabungan Haji Mudharabah, adalah simpanan pihak ketiga yang penarikannya dilakukan pada saat nasabah akan menunaikan ibadah haji, atau pada kondisi-kondisi tertentu sesuai dengan perjanjian nasabah. Merupakan simpanan dengan memperoleh imbalan bagi hasil (mudharabah).

e. Tabungan Qurban, adalah simpanan pihak ketiga yang dihimpunkan untuk Ibadah Qurban dengan penarikan dilakukan pada saat nasabah akan melaksanakan Ibadah Qurban, atau atas kesepakatan antara pihak bank dan nasabah. Juga merupakan simpanan yang akan memperoleh imbalan bagi hasil (mudharabah).

Sedangkan produk untuk penyaluran dana kepada masyarakat berupa: a) Pembiayaan Mudharabah, bank dapat menyediakan pembiayaan modal

investasi atau modal kerja sepenuhnya, sedangkan nasabah menyediakan usaha dan managemennya. Hasil keuntungan akan dibagikan sesuai dengan kesepakatan bersama, dalam bentuk nisbah tertentu dari keuntungan pembiayaan.

b) Pembiayaan Mudharabah, adalah pembiayan untuk pembelian barang lokal ataupun internasional. Pembiayaan ini mirip dengan kredit modal kerja dari bank konvensional, karena itu jangka waktu pembiayaan bisa lebih dari satu tahun. Bank mendapat keuntungan dari harga barang yang dinaikkan (harga jual baru yang terdiri dari harga beli ditambah margin keuntungan).


(32)

c) Pembiayaan Bai Bithaman Ajil, adalah pembiayaan untuk pembelian barang dengan cicilan. Pembiayaan ini dicicil mirip dengan kredit investasi dari bank konvensional, karena itu jangka waktu pembiayaan bisa lebih dari satu tahun. Bank mendapat keuntungan dari harga barang yang dinaikkan (harga jual baru yang terdiri dari harga jual ditambah margin keuntungan).

d) Pembiayaan Al-Qardhul Hasan, merupakan pinjaman lunak bagi pengusaha kecil yang benar-benar kekurangan modal. Nasabah tidak perlu membagi keuntungan kepada bank, tapi hanya membayar biaya administrasi saja yang merupakan biaya-biaya real yang tidak dapat dihindari untuk terjadinya suatu kontrak, misalnya biaya penelitian proyek, notaris, upah karyawan dan sebagainya.

e) Pembiayaan Musyarakah, merupakan pembiayaan sebagian dari modal uasaha keseluruhan, yang mana pihak bank dapat dilibatkan dalam proses manejemen. Pembagian keuntungan berdasarkan perjanjian sesuai proposalnya.

f) Produk pemberian jasa lainnya, seperti: Jasa Penerbitan L/C-Inkasso dan Jasa Transfer-Bank Garansi


(33)

Kemungkinan-kemungkinan in flow dana Bank Muamalat Indonesia dapat kita lihat dalam bentuk skema di bawah ini:

1. 1.1.Saham

2.

2.1. Perorangan 2.2. Lembaga Usaha 2.3. Lembaga Pendidikan 2.4. Lembaga Dakwah 2.5. BPR/Bank/LKBB 3.

3.1. Tabungan haji 3.2. Tabungan Qurban 3.3. Tabungan Tapelpram

(Tab Pemuda, Pelajar, Pramuka) 4.

4.1.Deposito Perorangan

4.2. Deposito Lembaga Usaha 4.3. Deposito Lembaga Pendidikan 4.4. Deposito Lembaga Dakwah 4.5. Deposito BPR/Bank/LKBB

5.

5.1. Individu 5.2. Badan Usaha

Musyarakah

Giro Wadiah

Tabungan Mudharabah

Deposito Mudharabah

B

M

I

Bai Al Dayn

5.3. BPR/Bank/LKBB


(34)

Berikut ini skema kemungkinan-kemungkinan out of flow Dana Bank Muamalat Indonesia.

A C

B BMI

Proyep-proyek Individual/badan Usaha/Koperasi

PEMAKAI a. Pengrajin b. Petani c. Nelayan d. Pekebun e. Pedagang f. Koperasi BPR

Sumber: PT. Bank Sumut Syariah Cabang Lubuk Pakam Deli Serdang A. 1. Mudharabah (Deposito Mudharabah)

2. Makalah (Handing Agent)

3. Musyawarakah (Project Co-Financiang) B. 1. Murabahah (Modal Kerja)

2. Bai Bitsaman Ajil (Modal Investasi) 3. Mudharabah (Trust Financiang)

4. Musyarakah (Project Financiang Participation) 5. Bai Al Dayn (Dept Financing)

6. Qardhul Hasan (Benevolent Loan) C. 1. Murabahah

2. Bai Bitsaman Ajil

3. Musyarakah

4. Mudharabah

5. Qardhul Hasan

Dalam struktur organisasi BMI, pemegang saham bertindak sebagai pemilik modal dan terdiri atas Umat Islam yang telah berpartisipasi membeli saham BMI, dari nominal ribuan sampai dengan milyaran.

Untuk tenaga pelaksana, sejak Maret 1991 BMI telah mempersiapkan calon karyawan melalui Management Development Program, suatu training program yang diawali dengan pendidikan bank konvensional di LPPI, magang di


(35)

bank-bank umum swasta, Di samping itu menjelang opersional, BMI telah merekrut beberapa tenaga profesional siap pakai.

Pada tanggal 17 April 2000, BMI kembali melebarkan usahanya dengan membuka Bank Muamalat Cabang Medan yang berlokasi di Jalan Gadjah Mada Medan. Direktur BMI, Suhaji Lestiadi, dalam sambutannya menyatakan bahwa BMI saat ini memiliki kelebihan likuiditas sebesar 200 milyar rupiah, oleh karena itu 50 milyar rupiah akan dipakai untuk mengembangkan ekonomi ummat di Medan. Dana tersebut akan disalrkan untuk Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang merupakan sektor usaha yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat.

Lebih lanjut Suhaji mengemukakan bahwa hingga per-Maret 2000, BMI mempunyai total aset 894 milyar rupiah, terdiri atas aset 694 milyar rupiah dan off balance sheet 200 milyar rupiah. Dana pihak ketiga untuk periode yang sama sebesar 541 miyar rupiah yang berasal dari 256 ribu nasabah di seluruh Indonesia, sedangkan dana yang disalurkan mencapai 456 milyar rupiah. BMI memiliki 12 kantor cabang, termasuk di Medan, dan 28 kantor layanan di bawah kantor cabang, 11 mesin ATM, dan 576 mesin ATM bersama. Adapun keuntungan yang telah diperoleh BMI adalah sebesar 19 milyar rupiah. Dia menambahkan bahwa BMI saat ini berada dalam kondisi paling aman karena memiliki capytal adequacy ratio (CAR) 14%, padahal Bank Indonesia hanya mematok CAR 8% kepada bank konvensional mulai tahun 2000 ini.63

Iklim segar yang ditunjukkan oleh bank muamalat Indonesia memberikan kentribusi bagi perbankan syariah di Indonesia ditandai dengan diberlakukannya

63


(36)

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dimana beberapa pasal-pasal di dalamnya telah diatur mengenai sistem bagi hasil yang berdasarkan syariah islam. Dalam undang-undang tersebut sudah jelas landasan hukm serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah. Undang-uandang tersebut meberikan arahan bagi bank Sumut Syariah Cabang Lubuk Pakam.

Peluang tersebut ternyata disambut antusias oleh masyarakat Lubuk Pakam. Sejumlah bank mulai mencari pelatihan dalam bidang perbankan syariah bagi para stafnya. Sebagian bank tersebut ingin menjajaki untuk membuka divisi atau cabang syariah dalam institusinya. Sebagian lainnya bahkan berencana mengkonvensi diri sepenuhnya menjadi bank syariah.64

Hal demikian merujuk kepada peraturan melalui antisipasi oleh Bank Indonesia dengan mengadakan pelatihan Perbankan Syariah bagi para pejabat Bank Indonesia dari segenap bagian, terutama aparat yang berkaitan langsung seperti DPPB (Direktorat Pengaturan & Pengembangan Bank) kredit, pengawasan, akuntansi riset dan moneter.

Bank syariah Lubuk Pakam tergolong baru tersebut akan menjadikan posisi Bank Muamalat Indonesia sangat sentral dalam kencah perbankan syariah di Indonesia. Selain menjadi prototype atau model bank dengan sistem syariah,

64


(37)

BMI juga memiliki kewajiban moral untuk membantu bank-banak syariah yang baru berdiri, setidaknya untuk berbagi pengalaman dengan mereka.65.

Bank Muamalat Indonesia pun telah mengambil posisi demikian. Sejumlah staf ahli BMI ikut terlibat langsung dalam berbagai pelatihan perbankan syariah. Langkah demikian memang mengandung resiko bagi BMI, terutama menyangkut transaksi antar bank. Kendala sebagai single fighter ini insya Allah akan dapat teratasi dengan semakin ramainya pemain di industri bank syariah. Minimal, ada mitra untuk meminjam di kala kekurangan dana dan di kala kelebihan komoditas.

B. Dasar Hukum Pelaksanaan Bagi Hasil Pada Bank Sumut Syariah Cabang Lubuk Pakam

1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan

Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan telah memberi indikasi penegasan eksistensi prinsip usaha bank berlandaskan syariah dalam Pasal 1 angka 3, yang isinya bahwa, “Bank Umum adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensioanl dan atau berdasrakan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.”

Dari ketentuan di atas, secara eksplisit di Indonesia terdapat 2 (dua) prinsip dalam perbankan yaitu prinsip perbankan syariah dan prinsip perbankan konvensional. Namum pada hakikatnya kedua jenis prinsip perbankan ini

65


(38)

mempunyai fungsi yang sama yaitu sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat dalam bentuk pembiayaan.

Perbedaan paling mendasar antara bank syariah dan bank konvensional adalah bahwa bank syariah melakukan kegiatan usahanya tidak berdasarkan bunga (interest free), tetapi berdasarkan prinsip syariah yaitu prinsip pembagian keuntungan dan kerugian (profit and loss sharing pronciple).

Dalam bank syariah, praktik-praktik yang dikhawatirkan mengandung unsur-unsur riba sejauh mungkin ditinggalkan dan diganti dengan kegiatan-kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan, karena riba merupakan suatu dosa besar dalam Islam. Kekhawatiran akan riba inilah yang merupakan faktor utama berdirinya bank Islam (bank syariah).

Hingga awal abad XX, bank syariah hanya merupakan diskusi teoritis. Belum ada langkah nyata yang memungkinkan perwujudan ide tersebut. Padahal telah muncul kesadaran bahwa bank syariah merupakan solusi masalah ekonomi untuk menghasilakan kesejateraaan sosial yang merata di negara-negara Islam atau negara-negara berpenduduk Islam.66

Upaya untuk memperkenalkan bank syariah pada saat itu baru berupa diskusi terbatas atas inisiatif individu. Namun upaya tersebut seolah tenggelam di tengah kuatnya arus sistem operasional bank-bank non Islam (bank konvensional. Seolah-olah tidak ada celah yang untuk mendirikan bank berdasarkan prinsip syariah. Walaupn belum mempuanyai bentuk konkrit, gagasan tersebut terutama berkembang, meskipun dengan perlahan. Beberapa uji coba mulai dilakukan,

66


(39)

mulai dari bentuk yang sederhana hingga terbentuknya infra struktur perbankan yang bebas bunga.

Rintisan bank syariah mulai mewujud di Mesir pada tahun 1960-an yang beroperasi sebagai rural-social bank (semacam lembaga keuangan unit desa di Indonesia) di samping delta Sungai Nil. Lembaga dengan nama Mit Ghamar Bank binaan Ahmad Najjar tersebut hanya beroperasi di pedesaan Mesir dan berskala kecil. Namun intitusi tersebut mampu menjadi pemicu yang sangat berarti bagi perkembangan sistem finansial dan ekonomi Islam.

Pada sidang Menteri Luar Negeri Negara-Negara Organisasi Konferensi Islam (OKI)di Karachi Pakistan, Desember 1970, Mesir mengajukan sebuah proposal untuk mendirikan bank syariah. Proposal yang disebut studi tentang pendirian Bank Islam International untuk Perdagangan dan Pembangunan (International Islamic Bank For Trade and Development) dan proposal pendirian Federasi Bank Islam (Federation of Islamic Banks) dikaji para ahli dari 18 negara Islam.

Proposal tersebut pada intinya mengusulkan agar sistem keuangan berdasakan bunga diganti dengan suatu kerjasama dengan skema bagi hasil keuntungan maupun kerugian. Proposal tersebut diterima dan sidang menyetujui rencana mendirikan Bank Islam Internasional dan Federasi Bank Islam. Proposal tersebut antara lain mengusulkan untuk: 67

1. Mengatur transaksi komersial antar negara Islam. 2. Mengatur institusi pembangunan dan investasi.

67


(40)

3. Merumuskan masalah transfer, kliring, serta settlement antar bank sentral di negara Islam sebagai langkah awal untuk terbentuknya sistem perekonomian Islam yang terpadu.

4. Membantu mendirikan institusi sejenis bank sentral syariah di negara Islam.

5. Mendukung upaya-upaya bank sentra di negara Islam dalam hal pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang sejalan dengan kerangka kerja Islam.

6. Mengatur administrasi dan mendayagunakan dana zakat. 7. Mengatur kelebihan likuiditas bank-bank sentral Islam.

Selain hal tersebut di atas, diuraikan pula pembentukan badan-badan khusus yng disebut Badan Investasi dan Pembangunan Negara-negara Islam (Investment and Development Body of Islamic Countries). Badan tersebut berfungsi sebagai berikut:68

1. Mengatur investasi modal Islam.

2. Menyeimbangkan investasi dengan pembangunan di negara Islam.

3. Memiliki lahan/sektor yang cocok untuk investasi dan mengatur penelitiannya.

4. Memberi saran dan bantuan teknis bagi proyek-proyek yang dirancang untuk, investasi regional di negara-negara Islam.

Pada Sidang Menteri Luar Negeri OKI di Bengazhi, Libya, Maret 1973, usulan tersebut kembali diagendakan. Sidang kemudian juga memutuskan agar OKI mempunyai bidang yang khusus menangani masalah ekonomi dan keuangan. Bulan Juli 1973, komite ahli yang mewakili negara-negara Islam penghasil minyak bertemu di Jeddah untuk membicarakan pendirian bank Islam. Rancangan pendirian bank tersebut berupa anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, dibahas pada pertemuan kedua, pada bulan Mei 1974.

Sidang Menteri Keuangan OKI di Jeddah tahun 1975, menyetujui pendirian Bank Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank (IDB)

68


(41)

dengan modal awal 2 milyar dinar Islam atau ekuivalen dengan 2 milyar SDR (Special Drawing Right). Semua negara anggota OKI menjadi anggota IDB.

Pada tahun-tahun awal beroperasinya, IDB mengalami banyak hambatan karena masalah politik. Meskipun demikian, jumlah anggotanya makin meningkat dari 22 menjadi 43 nehagar. IDB juga terbukti mampu memainkan peran yang sangat penting dalam memenuhi kebutuhan negara-negara Islam untuk pembangunan. Bank ini memberikan pinjamanm bebas bunga untuk proyek infrastruktur dan pembiayaan kepada negara anggota berdasarkan partisipasi modal negara tersebut.

IDB juga membantu mendirikan bank-bank Islam di bebagai negara. Untuk pengembangan sistem ekonomi syariah, institusi ini membangun sebuah institusi riset dan peralihan untuk pengembangan penelitian dan pelatihan ekonomi Islam, baik perbankan maupun keuangan secara umum lembaga ini disebut IRTI (International Reseaerch and Training Institute).

Berdirinya IDB telah memotivasi banyak negara Islam untuk mendirikan lembaga keuangan syariah. Untuk itu komite ahli IDB pun bekerja keras menyiapkan paduan tentang pendirian, peraturan, dan pengawasan bank syariah. Kerja keras mereka membuahkan hasil. Pada akhir periode 1970-an dan awal dekade 1980-an, bank-bank syariah bermunculan di Mesir, Sudan, Negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh, serta Turki.

Secara garis besar lembaga-lembaga tersebut dapat dimasukkan ke dalam dua kategori. Pertama, bank Islam komersial (Islamic coomercial bank), dan Kedua, lembaga investasi dalam bentuk International holding companies.


(42)

2. Dasar Hukum Dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits

Pelaksanaan operasional bank syariah didasarkan atas prinsip-prinsip berikut:69

1) Larangan riba. Riba dalam Islam hukumnya haram. Hal ini diatur dalam Al Qur’an dan Al-Hadits sebagai dasar hukum , yaitu:

a. Q.S. AlBaqarah (2) : 275-179 b. Q.S. Ali Imran (3) : 130 c. Q.S. Ar-Rum (30) : 39 d. Hadits Rasulullah SAW.

Riwayat Al-Hakim: “Dan sabda Nabi SAW : dosa riba adalah lebih besar di sisi Allah Ta’ala daripada tiga puluh tiga kali perzinaan yang dilakukan seorang lelaki dalam Islam”

2) Mengutamakan dan mempromosikan perdagangan dan jual beli. Dasar hukumnya adalah:

a. Q.S. An-Nisa (4) : 29;

b. Q.S. Faathir (35) : 29-30, Ash-Shaff (61) : 10-11, dan At-Taubah (9) : 111; dan

c. Hadits Rasulullah SAW.

Hadits Riwayat Al-Bazaar, bahwa Nabi SAW pernah ditanya: “Mata pencaharian apa yang paling baik? Nabi menjawab: “Seorang pekerja dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mulus dan bersih”.

69

Amin Azis., Mengembangkan Bank Islam di Indonesia, Buku Kesatu, Cetakan Pertama Penerbit Bangkit, 1992.


(43)

3) Keadilan. Dasar hukumnya antara lain Q.S.Al-Israa (17): 16-35, An-Nisaa (4): 160-161, Q.S. Al-An’am (6) : 162

4) Kebersamaan dan Tolong Menolong. Dasar hukumnya antar lain Q.S. Al-Asr (103) : 1-3, Al-A’raf (7) : 10, (4) : 32, Al-Baqarah (2) : 212. Hadits Nabi SAW sebagai berikut:

“Hadits Riwayat Thabrani yang artinya: “Bila kalian telah selesai shalat shubuh janganlah kalian tidur, lalu mencari rizki kalian”.

Adapun bentuk-bentuk nyata prinsip-prinsip perbankan syariah tersebut di atas diwujudkan dalam benutuk-bentuk usaha berikut ini:70

a. Al-Wadi’ah. Yaitu perjanjian antara pemilik barang (termasuk uang) dengan penyimpanan (termasuk bank) dimana pihak penyimpanan bersedia untuk menyimpan dan menjaga keselamatan barang dan atau uang yang dititipkan kepadanya. Jadi al-wadi’ah ini merupakan titipan murni yang dipercayakan oleh pemiliknya. Semua manfaat dan keuntungan yang diperoleh dalam penggunaan barang tesebut menjadi hak penyimpan. Dasar hukum Al Wadi’ah ialah: Q.S. Al-Baqarah : 238 dan Q.S. An-Nisa : 58.

b. Al-Mudharabah. Yaitu perjanjian antar pemilik modal (uang atau barang) dengan pengusaha (enterpreneur). Dalam perjanjian ini pemilik modal membiayai sepenuhnya suatu proyek usaha dan pengusaha, setuju untuk mengelola proyek tersebut dengan pembagian hasil sesuai dengan perjanjian. Pemilik modal tidak diperkenankan ikut dalam pengelolaan

70


(44)

usaha, tetapi diperbolehkan membuat usulan dan melakukan pengawasan. Apabila usaha yang dibiayai mengalami kerugian, maka kerugian tersebut sepenuhnya ditanggung oleh pemilik modal, kecuali apabila kerugian tersebut terjadi karena penyelewengan atau penyalahgunaan oleh pengusaha. Dasar hukum Al-Mudharabah ialah: Q.S. Al-Muzammil : 20, Q.S. Al Jumm’ah : 10 dan Q.S. Al-Baqarah : 198.

c. Al-Musyarakah. Yaitu perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih pemilik modal (uang atau barang) untuk membiayai suatu usaha. Keuntungan dari usaha tersebut dibagi sesuai dengan persetujuan antara pihak-pihak tersebut, yang tidak harus sama dengan pangsa pasar modal masing-masing pihak. Dalam hal terjadi kerugian, maka pembagian kerugian dilakukan sesuai pangsa modal masing-masing. Dasar hukum Al-Musyarakah adalah: Q.S. An-Nisa: 12 dan Q.S Shad : 24, dan Hadits Qudsi yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: “Allah SWT telah berkata, “ Aku menyertai dua pihak yang sedang berkongsi selama salah satu dari keduanya tidak mengkhianati yang lain, seandainya berkhianat maka Aku keluar dari peyertaan tersebut” (HR. Abu Daud).

d. Al-Murabahah dan Al- Bai’u Bithaman Ajil. Al-Murabahah adalah persetujuan jual beli suatu barang dengan harga sebesar harga pokok ditambah dengan keuntungan yang disepakati bersama dengan pembayaran ditangguhkan 1bulan sampai 1 tahun. Persetujuan tersebut juga meliputi cara pembayaran sekaligus. Sedangkan Al-Bai’u Bithaman


(45)

Ajil adalah persetujuan jual beli dengan harga sebesar harga pokok ditambah dengan keuntungan yang disepakati bersama. Persetujuan ini termasuk pula jangka waktu pembayaran dan jumlah angsuran. Dasar hukum dari kedua jenis persetujuan ini di dalam Al Qur’an adalah : Q.S. An-Nisa : 29 dan Q.S. Al Baqarah : 275 dan Hadits Nabi SAW yang berbunyi:

(1) Dari sabda ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tiga perkara di dalamnya terdapat keberkatan, yaitu (1) menjual dengan pembayaran secara kredit, (2) muqaradhah (nama lain dari mudharabah), (3) mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah dan bukan untuk dijual. (HR. Ibnu Majah, Subli Assalam)

(2) Dari Abu Said Al-Hudri bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan secara suka sama suka”. (HR. Al Baihaqi, Ibnu Majah dan Sahih menurut Ibnu Hibban).

e. Al-Ijarah dan Al-Ta’jiri. Al-Ijarah adalah perjanjian antara pemilik barang dengan penyewa yang membolehkan penyewa memanfaatkan barang tersebut dengan membayar sewa sesuai dengan persetujuan kedua belah pihak. Setelah masa sewa berakhir, maka barang akan dikembalikan kepada pemilik. Sedangkan Al-Ta’jiri adalah perjanjian antara barang dengan penyewa yang membolehkan penyewa untuk memanfaatkan barang tersebut dengan membayar sewa sesuai dengan persetujuan kedua belah pihak. Setelah berakhir masa sewa, maka pemilik barang menjual barang tersebut kepada penyewa dengan harga yang disetujui kedua belah


(46)

pihak. Dasar hukum Al-Ijarah dan Al-Ta’jiri adalah Q. S. Al-Qashas : 26 dan Q. S. At-Thalaq : 6.

f. Al-Qardhul Hasa. Yaitu suatu pinjaman yang diberikan atas kewajiban sosial semata, dimana peminjam tidak berkewajiban untuk mengembalikan apapun kecuali modal pinjaman dan biaya administrasi. Dasar hukumnya adalah : Q. S. Al Baqarah : 245 dan Q. S. Al-Muazammil : 20. Dasar hukum berupa Hadits adalah Ibnu Mas’ud ra yang diriwayatkan oleh Riwayat Muslim, bahwa Rasulullah SAW telah berasbda,

“Barangsiapa yang telah melepaskan saudaranya yang miskin dari satu kesusahan-kesusahan dunia maka Allah akan lepaskan satu kesusahan padanya di hari akhir. Barangsiapa telah membantu saudaranya yang kesulitan di dunia, maka Allah akan membantunya di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Allah selalu membantu seorang hamba, selama hamba tersebut membantu saudaranya”.

Selain fasilitas-fasilitas di atas, bank syariah juga memberikan fasilitas berupa produk-produk di bawah ini:

1. Al-Kafalah. Yaitu pemberian garansi kepada nasabah untuk menjamin pelaksanaan proyek dan pemenuhan kewajiban tertentu oleh pihak yang dijamin dengan cara bank meminta pihak yang dijamin dengan cara meminta pihak yang dijamin untuk menyetorkan sejumlah dana sebagai setoran jaminan dengan prinsip Al-Wadi’ah. Hasilnya, bank akan memperoleh fee.

2. Al-Hiwalah. Yaitu jasa bank untuk melakukan kegiatan transfer (kiriman uang) atau pengalihan tagihan. Dari kegiatan ini bank akan memperoleh fee sebagai imbalan.


(47)

3. Al-Wakalah. Yaitu jasa penitipan uang atau surat berharga, untuk itu bank mendapat kuasa dari yang menitipkan untuk mengelola uang atau surat berharga tersebut. Dalam hal ini bank akan memperoleh fee sebagai jasanya.

4. Al-Sharf. Yaitu kegiatan jual beli suatu mata uang dengan mata uang lainnya. Jika yang diperjualbelikan adalah mata uang yang sama maka nilai mata uang tersebut haruslah sama dan penyerahannya juga dilakukan pada waktu yang sama.

1. Pengawasan Pada Bank Syariah

Sebagai lembaga yang mengelola dana masyarakat, bank syariah mesti diawasi dengan ketat seperti pengawasan yang dijalankan terhadap bank-bank lainnya. Namun khusus untuk bank syariah diadakan suatu sistem pengawasan yang lebih cermat, yaitu sistem pengawasan rangkap (two tier), yaitu:71

a. Pengawasan Umum

Pengawasan umum adalah suatu pengawasan yang sama dengan yang berlaku pada bank umum konvensional. Untuk pengawasan yang sama dengan yang berlaku pada bank umum konvensional. Untuk pengawasan ini Bank Indonesia bertindak sebagai pengawas utama, di samping pengawasan-pengawasan lain seperti pengawasan-pengawasan internal oleh dewan komisaris bank, dan lain-lain.

b. Pengawasan Syariah

71


(48)

Berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/1999 Pasal 19 Ayat (2), dalam menjalankan operasionalnya, bank syariah wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang berkedudukan di kantor pusat bank tersebut. Dewan yang tidak terdapat pada bank konvensional ini berfungsi mengawasi kegiatan usaha bank agar sesuai dan tidak menyimpang dari tuntutan Syariah Islam (Pasal 20 Ayat (1)). Dalam menjalankan fungsinya maka DPS wajib mengikuti fatwa Dewan syariah Nasional (Pasal 20 Ayat (2)).72

Dewan Syariah Nasional adalah suatu badan yang dibentuk oleh MUI pada tahun 1997 dan merupakan hasil rekomendasi Lokakarya Reksadana Syariah. Fungsi dewan ini adalah mengawasi, meneliti dan memberi fatwa bagi produk-produk yang dikembangkan oleh lembaga keuangan dan syariah agar sesuai dengan syariah Islam.73

Dewan Pengawasan Syariah adalah suatu dewan yang dibentuk untuk mengawasi jalannya bank Islam agar di dalam operasionalnya tidak menyimpang dari prinsip-prinsip muamalah Islam. Dewan Pengawas Syariah bertugas mendiskusikan masalah-masalah dan transaksi-transaksi bisnis yang ada pada bank syariah untuk menentukan apakah masalah tersebut sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah Islam.74

Agar dewan dapat melaksanakan tugas dengan baik dan tetap berpijak pada fungsi amanah tersebut, maka keanggotaanya disyaratkan terdiri dari

72

Sutan Remy Sjahdeini., Perbankan Islam, Putaka Utama Grafiti, Jakarta, 1999, hal. 151.

73

Muhammad Syafi’I Antonio., Op. cit, hal. 285. 74


(49)

orang yang ahli syariah dan sedikit banyak menguasai hukum dagang positif serta berpengalaman dalam penyelenggaraan kontrak-kontrak bisnis.

Wewenang Dewan Pengawas Syariah adalah:75

a. Memberikan pedoman secara garis besar tentang aspek syariah daro operasional bank Islam, baik penyerahan dana, penyaluran dana maupun kegiatan-kegiatan bank lainnya.

b. Mengadakan perbaikan terhadap suatu produk bank Islam yang telah atau sedang berjalan namun dinilai pelaksanaan bertentangan dengan ketentuan syariah.

Keberhasilan pelaksanaan tugas dan wewenang dewan ini sangat tergantung pada independensinya di dalam membuat suatu putusan atau penilaian yang dibutuhkan. Oleh karena itu, untuk menjamin independensi dewan ini maka untuk keanggotaannya disyaratkan sebagai berikut:76

a. Bukan staf bank, sehingga tidak tunduk di bawah kekuasaan administratif b. Dipilih oleh Rapat Umum Pemegang Saham, demikian pula penentuan

tentang honorariumnya

c. Dewan pengawas mempunyai sistem kerja dan tugas-tugas khusus seperti halnya badan pengawas lainnya.

Untuk menyatukan pendapat antara Dewan Pengawas Syariah yang mungkin berbeda satu dengan lainnya, untuk tingkat internasional telah dibentuk International Association of Islamic Bank’s yang berkedudukan di Kairo. Sedangkan di tingkat nasional dibentuklah suatu Konsorsium Dewan Pengawas Syariah Nasional di bawah naungan Majelis Ulama Indonesia (MUI) bekerja sama dengan Bank Indonesia.

2. Leason Syariah

75

Ibid., hal. 3. 76


(50)

Oleh karena Dewan Pengawas Syariah secara administratif tidak berada di bawah kekuasaan bank, maka dibentuk suatu penghubung atau perantara Dewan Pengawas Syriah dengan Dewan Direksi Bank. Perantara ini disebut Leason Syariah yang tugas-tugasnya meliputi:77

a. Menyusun dan melaksanakan program jangka panjang dan jangka pendek sekretariat Dewan Pengawas Syariah.

b. Memberikan informasi tentang mekanisme operasional bank Islam dan prinsip syariah kepada pihak luar dengan persetujuan Dewan Direksi dan atau Dewan Pengawas Syariah.

c. Mengenai jalannya aktifitas bank Islam dan mengajukan ke Dewan Pengawas Syariah apabila Bank Islam terbukti melakukan suatu pelanggaran.

d. Menyusun dan melaksanakan paket atau modul-modul tertentu untuk meningkatkan intelektualitas dan komitmen keislaman segenap jajaran dan segmen bank Islam.

e. Memberi kejelasan syariah kepada segenap jajaran internal bank.

Untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat yang memerlukan tambahan modal kerja untuk membiayai suatu usaha produktif, halal dan menguntungkan perlu disediakan produk yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut dan sesuai dengan prinsip syariah. Pemberian pembiayaan untuk tujuan modal kerja dapat diberikan dengan prinsip mudharabah dan musyawarah. Maka beberapa ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan sehubungan dengan penerapan prinsip syariah tersebut adalah:78

1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan (lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1992 nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3471 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, tambahan Lembaran Negara Nomor 3790);

77

Ibid, hal. 4. 78

Dasar hukum penerapan sistem pembagian hasil berdasarkan prinsip syariah pada PT. Bank Sumut Syariah Cabang Lubuk Pakam berdasarkan Surat Keputusan Direksi PT. Bank Sumut Nomor 120/DIR/DUSY-PDJS/SK/2009 tentang Pembiayaan Modal Kerja.


(51)

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tanggal 16 Juli 2008 Tentang Perbankan Syariah;

3. Akta notaris Alina Hanum SH Nomor 38 Tanggal 16 April 1999 tentang pendirian PT Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara dengan di singkat PT. Bank SUMUT yang telah mendapat pengesahan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor C-8224 HT.01.01.TH 99 tanggal 05 Mei 1999 dan diumumkan dalam tambahan Berita Negara Republik Indonesia Nomor 54 tanggal 06 Juli 1999 dan telah mengalami beberapa kali perubahan, terakhir diubah dengan Akta Nomor 39 tanggal 10 Juni 2008 yang dibuat dihadapan H.Marwansyah Nasution, SH Notaris di Medan yang telah mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU-87927.AH.01.02 tahun 2008 tanggal 20 November 2008 dan diumumkan dalam tambahan Berita Negara Republik Indonesia Nomor 10 tanggal 03 Februari 2009;

4. Surat keputusan Dewan Komisaris PT. Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara Nomor 65/DK-BPDSU/SK/2004 tanggal 3 November 2004 tentang tata tertib dan tata cara menjalankan Pekerjaan Direksi PT. Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara;

5. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/3/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tantang kegiatan usaha Bank Umum Konvensional menjadi Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah oleh Bank Umum Konvensional sebagaimana telah diubah peraturan Bank Indonesia Nomor : 9/7/PBI/2007 tanggal 04 Mei 2007;

6. Peraturan Bank Indonesia Nomor : 9/19/PBI/2007 tanggal 17 Desember 2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana serta pelayanan jasa Bank Syariah sebagaimana diubah peraturan Bank Indonesia Nomor 10/16/PBI/2008 tanggal 25 September 2008;

7. Surat edaran Bank Indonesia Nomor 10/14/DPBS tanggal 17 Maret 2008 perihal pelaksanaan dan penyaluran dana serta pelayanan Jasa Bank Syariah;

8. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tanggal 14 November 2005 tentang Akad penghimpunan dan penyaluran dana bagi Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah;

9. Surat Keputusan Direksi PT. Bank SUMUT Nomor 057/DIR/DUSY-PDJS/SK/2009 tanggal 12 Mei 2009 tentang Penyempurnaan Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana pada PT. Bank SUMUT Unit Usaha Syariah;

10. Fatwa dewan Syariah Nasional Nomor 07/DSN-MUI/IV/2000 tanggal 29 Dzulhijjah 1420 H/04 April 2000 tentang Pembiayaan Mudharabbah (qiradh);

Surat keputusan tersebut mulai berlaku sejak tanggal 24 Agustus 2009 dan bilamana dikemudian hari terdapat kekeliruan atau ketidasesuaian di dalamnya


(52)

maka akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya. Hal ini dilakukan untuk menyelaraskan perkembangan keadaan dengan kondisi hukum atau peraturan perundang-undangan terkait agar dapat tercapai kepastian hukum sehubungan dengan penerapan prinsip-prinsip syariah pada sistem perbankan saat ini.

C. Pelaksanaan Bagi Hasil Pada Bank Sumut Syariah Cabang Lubuk Pakam

1. Beberapa Istilah Syariah yang Diterapkan

Dalam pengertian bagi hasil pada bank syariah cabang lubuk pakam, menggunakan beberapa istilah pembiayaan yaitu pembiayaan yang dikenal dengan Mudharabah dan Musyarakah yaitu:

a. Mudharabah.

Penanaman dana dari pemilik dana (dinamakan shahibul maal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk melaksanakan kegiatan usaha tertentu dengan pembagian keuntungan atau bagi hasil dengan menggunakan metode bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing) antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.

Adalah perjanjian nasabah dengan pengusaha (bank). Dimana setiap keuntungan yang diraih akan dibagi menurut rasio tertentu yang disepakati. Resiko kerugian ditanggung penuh pihak bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan, kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan.


(53)

Penanaman dana dari pemilik dana/modal untuk mencampurkan dana/modal kerja pada suatu usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung semua pemilik dana/modal berdasarkan bagian dana/modal masing-masing.

Musyarakah disebut juga dengan joint venture konsep model partnership. Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam rasio yang disepakati sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio ekuitas yang dimiliki masing-masing pihak.

Bagi hasil yang dikenal dalam pembiayaan bank syariah cabang lubuk pakam yaitu pembagian keuntungan atas usaha yang dilakukan nasabah dengan pihak bank berdasarkan syariah (hukum) Islam. Dalam sistem syariah Islam ini, mengenal nisbah yaitu perandingan bagi hasil antara bank dan nasabah dalam persentase yang harus ditetapkan dalam akad (perjanjian) atau akad pembiayaan. Akad pembiayaan dimaksud adalah perjanjian tertulis yang memuat ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan) antara bank dan nasabah yang berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak sesuai dengan psinsip syariah, setelah syarat-syarat yang ditetapkan dalam Surat Persetujuan Prinsip Pemberian Pembiayaan (SP4) dan seluruh aspek yuridis yang berkaitan dengan pembiayaan telah dipenuhi pemohon.

2. Penetapan Ekspektasi atau Proyeksi Bagi Hasil

Tingkat minimal ekspektasi/proyeksi bagi hasil berpedoman kepada ketentuan yang berlaku dalam Surat Edaran Direksi tersendiri. Kantor cabang


(1)

SKRIPSI

OLEH:

MHD. ROMMY ISMAIL

NIM : 060200276

Disetujui oleh:

KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

Prof. Dr. H. Tan Kamello, SH., MS NIP: 196204211988031004

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Puspa Melati Hasibuan, SH, M.Hum Dra Zakiah, M.Pd NIP: 196801281994032001 NIP: 195803081989032001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ABSTRAK

Dalam menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang mengalami perubahan yang cepat dan tantangan yang dinamis, serta terintegrasi dengan perekonomian global yang terus berkembang, diperlukan perbankan nasional yang tangguh. Bank Sumut Syariah Cabang Lubuk Pakam dalam operasionalnya hadir dengan penerapan sistem bagi hasil berdasarkan prinsip syariah. Hal ini menjadi suatu pertimbangan Bank Indonesia sehingga pertimbangan itu membawa penyempurnaan terhadap Peraturan Bank Indonesia yang kemudian lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Penyempurnaan pengaturan tersebut dilakukan untuk lebih mendukung perkembangan bank yang sehat dan tangguh.

Dalam penelitian ini, penulis merumuskan masalah yang diteliti yaitu,

Pertama, apa dasar hukum penerapan sistem bagi hasil perbankan syariah pada Bank Sumut Syariah Cabang Lubuk Pakam Deli Serdang?, dan bagaimana pelaksanaan bagi hasil perbankan syariah dalam perbankan Indonesia pada Bank Sumut Syariah Cabang Lubuk Pakam Deli Serdang?

Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan memecahkan suatu masalah berdasarkan dalam penelitian ini berdasarkan metode tertentu, penulis berusaha semaksimal mungkin untuk mencari dan mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan dalam praktik. Penelitian ini bersifat Deskriptif Analitis yaitu menggambarkan dan memaparkan secara sistematis tentang apa yang menjadi objek penelitian di lapangan dan kemudian dilakukan analisis.

Kesimpulan dalam penelitian ini, Pertama, dasar hukum sistem bagi hasil pada Bank Sumut Syariah Cabang Lubuk Pakam tidak dibenarkan menghasilkan pertambahan laba berdasarkan riba, tidak bertumpu pada bunga, kedudukan bank dengan para nasabahnya adalah sebagai mitra kerja, resiko dihadapi bersama dengan prinsip keadilan dan kejujuran. Kedua, pelaksanaan bagi hasil pada Bank Sumut Syariah Cabang Lubuk Pakam Deli Serdang dengan menggunakan perbandingan pembagian hasil yang diperoleh antara bank dan nasabah dalam persentase yang harus ditetapkan dalam akad (perjanjian) atau akad pembiayaan.

Saran dalam penelitian ini adalah, Pertama, diharapkan pada bank syariah melakukan public education (pendidikan terhadap masyarakat) mengenai syariah.

Kedua, diharapkan pada Bank Sumut Syariah Cabang Lubuk Pakam hendaknya menerapkan mekanisme office channeling. Dimana mekanisme ini merupakan penggunaan bank konvensional sebagai jaringan bank syariah.


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis ucapkan kepada Allah SWT, pada saat ini masih diberikannya kesempatan yang tidak terhingga untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul ”Pelaksanaan Bagi Hasil Perbankan Syariah Dalam Perspektif Hukum Perbankan Indonesia (Studi Pada Bank Sumut Syariah Cabang Lubuk Pakam Deli Serdang)”, sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S1) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis memahami berbagai kelemahan dan kekurangan di dalam skripsi ini, untuk itu harapan saran dan kritikan yang membangun hendaknya disampaikan secara sehat dan membangun untuk menambah ilmu pengetahuan serta wawasan penulis.

Kepada pihak telah banyak memberikan bantuannya kepada penulis, untuk itu saya mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Runtung, S.H., M.Hum., Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Prof. Dr. H. Tan Kamello, S.H., M.S., selaku Ketua Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang banyak menuntun penulis dari awal sampai akhir pembuatan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat selesai tepat waktu.

7. Ibu Dra.Zakiah, M.Pd., selaku Dosen Pembimbing II yang banyak menuntun penulis dari awal sampai akhir pembuatan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat selesai tepat waktu.


(4)

8. Bapak M. Hayat, S.H., selaku Dosen Penasehat Akademik selama perkuliahan di Universitas Sumatera Utara.

9. Bapak dan Ibu Dosen Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan Ilmu Pengetahuan kepada penulis.

10.Pimpinan dan seluruh Pegawai PT. Bank Sumut Syariah Cabang Lubuk Pakam Deli Serdang yang telah memberikan data-data tentang skripsi ini kepada penulis.

11.Seluruh Staff/Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

12.Teman-teman seperjuangan khususnya Stambuk 2006 dan juga semua pihak yang turut membantu selama penelitian skripsi ini.

Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda atas semua kebaikan yang telah diberikan kepada penulis.

Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan baik dari struktur bahasa maupun teknik penyajiannya, ini semua karena keterbatasan ilmu dan kemampuan yang ada pada penulis. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang sehat dan bersifat membangun demi kesempurnaan isi skripsi ini, namun demikian penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri maupun bagi pihak-pihak lain yang berkepentingan.

Demikianlah sebagai kata pengantar, mudah-mudahan bermanfaat menambah wawasan Ilmu Pengetahuan bagi semua pihak. Mohon maaf segala kekurangan, penulis ucapkan terima kasih.

Medan, 25 Mei 2010


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI... iv

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Keaslian Penelitian... 10

E. Tinjauan Kepustakaan... 10

F. Metode Penelitian ... 12

G. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II : TINJAUAN UMUM TERHADAP HUKUM PERBANKAN DI INDONESIA ... 19

A. Pengertian dan Sistem Hukum Perbankan Indonesia... 19

B. Perkembangan Perbankan Indonesia ... 21

C. Sumber Hukum Perbankan Indonesia... 30

BAB III : TINJAUAN UMUM TERHADAP HUKUM PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA ... 33

A. Prinsip Perbankan Secara Syariah Tercantum Dalam Pancasila dan UUD 1945 ... 33

B. Mudharabah dan Musharakah Dalam Wacana Fiqh Islam... 35

1. Mudharabah Dalam Wacana Fiqh... 35

2. Musharakah Dalam Wacana Fiqh... 37

C. Mudharabah Dalam Sistem Perbankan Islam... 38

1. Modal Mudharabah... 39

2. Manajemen Mudharabah... 39

3. Masa Berlakunya Kontrak Mudharabah... 40

4. Jaminan Mudharabah... 41

5. Prinsip Bagi Hasil (Profit and Loss Sharing) Mudharabah. 42 D. Musharakah Dalam Sistem Perbankan Islam ... 44


(6)

2. Jaminan Musharakah... 46

3. Masa Berlakunya Kontrak Musharakah... 47

4. Prinsip Bagi Hasil (Profit and Loss Sharing) Musharakah.. 48

E. Prinsip-Prinsip Bank Islam Dalam Perspektif Syariah ... 50

BAB IV : PELAKSANAAN BAGI HASIL PERBANKAN SYARIAH BERDASARKAN HUKUM PERBANKAN PADA BANK SUMUT SYARIAH CABANG LUBUK PAKAM ... 54

A. Perkembangan Bank Sumut Syariah Hingga Terbentuknya Bank Syariah Cabang Lubuk Pakam... 54

B. Dasar Hukum Pelaksanaan Bagi Hasil Pada Bank Sumut Syariah Cabang Lubuk Pakam ... 66

1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan... 66

2. Dasar Hukum Dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits... 70

C. Pelaksanaan Bagi Hasil Pada Bank Sumut Syariah Cabang Lubuk Pakam ... 81

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 92

A. Kesimpulan... 92

B. Saran ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 94 LAMPIRAN