Aspek Hukum Jaminan Dalam Perbankan Syariah

(1)

ASPEK HUKUM JAMINAN DALAM PERBANKAN SYARIAH

TESIS

Oleh

KOMIS SIMANJUNTAK 017005020/HK

 

 

 

 

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

 

ASPEK HUKUM JAMINAN DALAM PERBANKAN SYARIAH

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

KOMIS SIMANJUNTAK 017005020/HK

 

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

 

Judul Tesis : ASPEK HUKUM JAMINAN DALAM PERBANKAN

SYARIAH

Nama Mahasiswa : Komis Simanjuntak Nomor Pokok : 017005020

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. H. Abdullah Syah, M.A) Ketua

(Prof. Dr. H. Hasballah Thaib, M.A) (Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H) Anggota Anggota

Ketua Program Studi D e k a n

(Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H) (Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum)


(4)

Telah diuji pada Tanggal 26 Mei 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. H. Abdullah Syah, M.A

Anggota : 1. Prof. Dr. H. Hasballah Thaib, M.A 2. Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H

3. Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum 4. Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum


(5)

 

ABSTRAK

Sebagai wujud sikap kehati-hatian bank dalam melakukan penyaluran dananya melalui skim pembiayaan melalui bagi hasil ini, sebelum memberikan kredit atau pembiayaan, bank syari’ah harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari Nasabah Debitur. Kelima unsur tersebut yang sering disebut 5C perkreditan (character, capital, capacity, collateral dan condition of economy). Pada kenyataannya, jaminan sangat menentukan tingkat keamanan pembiayaan yang disalurkan oleh bank. Di samping itu, keberadaan agunan menjadi sangat penting, dan hal ini berhubungan dengan filosofi dasar dari dana bank sebagaimana disinggung di atas, yaitu bahwa dana bank adalah dana nasabah, dana masyarakat, yang oleh karenanya harus dilindungi dan digunakan secara sangat hati-hati.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

Konsep jaminan dalam hukum Islam (fiqh) dibagi menjadi dua; jaminan yang berupa orang (personal guaranty) dan jaminan yang berupa harta benda. Jaminan yang berupa orang sering dikenal dengan istilah dlaman atau kafalah, sedangkan jaminan yang berupa harta benda dikenal dengan istilah rahn. Kafalah diartikan menanggung atau penanggungan terhadap sesuatu, yaitu akad yang mengandung perjanjian dari seseorang di mana padanya ada hak yang wajib dipenuhi terhadap orang lain, dan berserikat bersama orang lain itu dalam hal tanggung jawab terhadap hak tersebut dalam menghadapi penagih (utang), sedangkan ar-Rahn, yaitu menyimpan suatu barang sebagai tanggungan hutang. Urgensi jaminan dalam produk pembiayaan syariah yakni jaminan tersebut untuk memberikan kepastian bahwa dana tersebut dapat dikembalikan, atau setidaknya bank tidak akan mengalami kerugian yang terlalu besar, jika misalnya ternyata hanya dapat mengeksekusi agunan atau jaminan yang telah diberikan, karena penerima fasilitas pembiayaan bertindak semaunya atau asal-asalan dalam menjalankan usaha bisnisnya. Penerapan jaminan pada perbankan syariah mutlak tidak dapat dihindari. Pernyataan fuqaha terhadap konteks mudarabah yang tidak membolehkan adanya jaminan nampaknya tidak direspon oleh perbankan Islam, karena bagi mereka permohonan jaminan oleh pihak perbankan pada penerima fasilitas pembiayaan adalah tidak sekedar dimaksudkan untuk memastikan kembalinya modal yang dipinjam, namun untuk meyakinkan bahwa penerima fasilitas pembiayaan benar-benar melaksanakan segala sesuatu yang telah disepakati dalam kontrak. Dengan demikian, hal ini tentunya belum berdasarkan apa yang dikenal dalam Hukum Islam, melainkan masih sama dengan yang diatur dalam Hukum Jaminan Hak Tanggungan dan Fidusia.

 


(6)

ABSTRACT

As a form of prudential behavior of banks in channeling of funds through financing schemes through this sharing, before granting credit or financing, shariah bank must conduct a thorough assessment of the character, ability, capital, collateral, and business prospects of the Debtors. The five elements are often called credit 5C (character, capital, capacity, collateral and condition of the economy). In fact, the guarantee is to determine the level of security provided by bank financing. In addition, the presence of collateral becomes very important, and this corresponds to the basic philosophy of bank funds, as mentioned above, namely that the bank funds are customer funds, public funds, which therefore must be protected and used very carefully.

The method used in this research is normative. Normative research method known as doctrinal studies (doctrinal research) is a study that analyzed the law both written in the book (law as it is written in the book), or the law that was decided by the judge through the court process (law it is decided by the judge through judicial process). Normative legal research in this study based on secondary data and emphasize steps speculative-theoretical and normative analysis-qualitative.

The concept of security in Islamic law (fiqh) is divided into two; guarantee that a person (personal Guaranty) and collateral in the form of property. Assurance that such people are often known by the term dlaman or kafalah, while the collateral in the form of property known as the rahn. Kafalah interpreted or bear responsibility for something, namely contract containing the agreement of a person where it is right that must be met for others, and association with others, in terms of responsibility for those rights in the face of collectors (debt), while ar- Rahn, ie save a good as mortgage debt. Urgency warranties in Islamic financing products that guarantee is to provide assurance that these funds can be returned, or at least the banks will not experience losses that are too large, if for example it turns out only to execute collateral or guarantees which have been given, because the recipients of financing facilities to act arbitrarily or origin at random in running their business. Application of absolute security in Islamic banking can not be avoided. Statement of context mudarabah jurists who do not allow the existence of collateral does not seem to respond by Islamic banks, because of their application for collateral by the banks on financing facilities recipient is not merely intended to ensure the return of borrowed capital, but to ensure that recipients of financing facilities is really implementing everything that had been agreed in the contract. Thus, it is certainly not based on what is known in Islamic law, but still the same as those stipulated in the Law of Guarantee Mortgage, and Fiduciary.

Key Words : The concept of security, Islamic law

 


(7)

 

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis Panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan kasih karunia-Nya sehingga Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai gelar Magister Hukum pada Program Studi Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Univesitas Sumatera Utara, Medan.

Adapun judul Tesis penelitian ini adalah: “ ASPEK HUKUM JAMINAN DALAM PERBANKAN SYARIAH”. Di dalam menyelesaikan Tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan baik berupa pengajaran, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat para pembimbing : Prof. Dr. H. Abdullah Syah, MA., Prof. Dr. H. Hasballah Thaib, MA., Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH., di tengah-tengah kesibukannya masih tetap meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, petunjuk, dan mendorong semangat penulis untuk menyelesaikan penulisan Tesis ini.

Perkenankanlah juga, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian studi ini, kepada:


(8)

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA(K) diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan.

2. Dekan Fakultas Hukum Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, sebagai Komisi Penguji yang telah meluangkan waktunya dan dengan penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan, saran kepada penulis.

5. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum., sebagai Komisi Penguji yang telah meluangkan waktunya dan dengan penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan, saran dan masukan yang sangat penting kepada penulis.

6. Kepada Kedua Orang Tua tercinta Almarhum Ayahanda Jasitambul Pohan, Almarhumah Ibunda Sitiasmi Siregar yang semasa hidupnya mendidik dengan penuh rasa kasih sayang.

7. Istri tercinta Hj. Yusnah Kosim, SH serta buah hatiku Puan Fadillah, Daffa Al Kautsar dan Annisa Ulina yang penuh rasa kasih sayang dan senantiasa memberi semangat dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini


(9)

8. Kepada Kakak Hj. Jubaidah, Abang, Saidi, Soheh, dan Adik Sarbawati, Penulis sayangi atas kesabaran dan pengertiannya serta memberikan Doa dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini.

9. Keluarga besar almarhum H. Muhammad Kosim dan Almarhumah Hj. Siti Poni yang senantiasa memberikan dorongan kepada penulis

10.Kepada Rekan-rekan di Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Beserta seluruh Staff Ilmu Hukum terima kasih atas segala bantuan selama penulis mengikuti perkuliahan, semoga Allah S.W.T membalas kebaikan yang berlipat ganda, dan rekan-rekan kerja saya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Akhirnya penulis berharap semoga Tesis ini dapat memberi manfaat dan pada kesempatan ini penulis menyampaikan permintaan maaf yang tulus jika seandainya dalam penulisan ini terdapat kekurangan dan kekeliruan, penulis juga menerima kritik dan saran yang bertujuan serta bersifat membangun untuk menyempurnakan penulisan Tesis ini.

Medan, Mei 2011

Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Komis Simanjuntak

Tempat/Tanggal Lahir : Sibangkua, 19 Mei 1966 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pekerjaan : Dosen

Alamat : Jl. Imam Bonjol No.274 Kisaran

Pendidikan : SD Negeri 142 486 Sibangkua Tamat Tahun 1980 SMP Negeri 3 Padang Sidimpuan tamat Tahun 1983

SMA Negeri 1 Padang Sidimpuan Tamat Tahun 1986

Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 1993

Strata Dua (S2) Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2011

             


(11)

 

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ……… i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ……… .. vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Keaslian Penelitian... 10

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 11

1. Kerangka teori... 11

2. Konsepsi... 19

G. Metode Penelitian ... 22

BAB II KONSEP JAMINAN MENURUT HUKUM ISLAM... 27

A. Kafalah ... 27


(12)

BAB III URGENSI JAMINAN DALAM PEMBIAYAAN SYARIAH. ... 64

A. Akad Pembiayaan Syariah ... 64

B. Urgensi Jaminan dalam Akad Pembiayaan Syariah... 82

BAB IV APLIKASI KONSEP JAMINAN DALAM HUKUM ISLAM DALAM PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA... 99

A.Konsep Jaminan dalam Undang-Undang Perbankan Syariah ... 99

B.Aplikasi/ Penerapan Jaminan dalam Perbankan Syariah... 108

C.Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah ... 111

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 118

A. Kesimpulan ... 118

B. Saran... 119


(13)

 

ABSTRAK

Sebagai wujud sikap kehati-hatian bank dalam melakukan penyaluran dananya melalui skim pembiayaan melalui bagi hasil ini, sebelum memberikan kredit atau pembiayaan, bank syari’ah harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari Nasabah Debitur. Kelima unsur tersebut yang sering disebut 5C perkreditan (character, capital, capacity, collateral dan condition of economy). Pada kenyataannya, jaminan sangat menentukan tingkat keamanan pembiayaan yang disalurkan oleh bank. Di samping itu, keberadaan agunan menjadi sangat penting, dan hal ini berhubungan dengan filosofi dasar dari dana bank sebagaimana disinggung di atas, yaitu bahwa dana bank adalah dana nasabah, dana masyarakat, yang oleh karenanya harus dilindungi dan digunakan secara sangat hati-hati.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

Konsep jaminan dalam hukum Islam (fiqh) dibagi menjadi dua; jaminan yang berupa orang (personal guaranty) dan jaminan yang berupa harta benda. Jaminan yang berupa orang sering dikenal dengan istilah dlaman atau kafalah, sedangkan jaminan yang berupa harta benda dikenal dengan istilah rahn. Kafalah diartikan menanggung atau penanggungan terhadap sesuatu, yaitu akad yang mengandung perjanjian dari seseorang di mana padanya ada hak yang wajib dipenuhi terhadap orang lain, dan berserikat bersama orang lain itu dalam hal tanggung jawab terhadap hak tersebut dalam menghadapi penagih (utang), sedangkan ar-Rahn, yaitu menyimpan suatu barang sebagai tanggungan hutang. Urgensi jaminan dalam produk pembiayaan syariah yakni jaminan tersebut untuk memberikan kepastian bahwa dana tersebut dapat dikembalikan, atau setidaknya bank tidak akan mengalami kerugian yang terlalu besar, jika misalnya ternyata hanya dapat mengeksekusi agunan atau jaminan yang telah diberikan, karena penerima fasilitas pembiayaan bertindak semaunya atau asal-asalan dalam menjalankan usaha bisnisnya. Penerapan jaminan pada perbankan syariah mutlak tidak dapat dihindari. Pernyataan fuqaha terhadap konteks mudarabah yang tidak membolehkan adanya jaminan nampaknya tidak direspon oleh perbankan Islam, karena bagi mereka permohonan jaminan oleh pihak perbankan pada penerima fasilitas pembiayaan adalah tidak sekedar dimaksudkan untuk memastikan kembalinya modal yang dipinjam, namun untuk meyakinkan bahwa penerima fasilitas pembiayaan benar-benar melaksanakan segala sesuatu yang telah disepakati dalam kontrak. Dengan demikian, hal ini tentunya belum berdasarkan apa yang dikenal dalam Hukum Islam, melainkan masih sama dengan yang diatur dalam Hukum Jaminan Hak Tanggungan dan Fidusia.

 


(14)

ABSTRACT

As a form of prudential behavior of banks in channeling of funds through financing schemes through this sharing, before granting credit or financing, shariah bank must conduct a thorough assessment of the character, ability, capital, collateral, and business prospects of the Debtors. The five elements are often called credit 5C (character, capital, capacity, collateral and condition of the economy). In fact, the guarantee is to determine the level of security provided by bank financing. In addition, the presence of collateral becomes very important, and this corresponds to the basic philosophy of bank funds, as mentioned above, namely that the bank funds are customer funds, public funds, which therefore must be protected and used very carefully.

The method used in this research is normative. Normative research method known as doctrinal studies (doctrinal research) is a study that analyzed the law both written in the book (law as it is written in the book), or the law that was decided by the judge through the court process (law it is decided by the judge through judicial process). Normative legal research in this study based on secondary data and emphasize steps speculative-theoretical and normative analysis-qualitative.

The concept of security in Islamic law (fiqh) is divided into two; guarantee that a person (personal Guaranty) and collateral in the form of property. Assurance that such people are often known by the term dlaman or kafalah, while the collateral in the form of property known as the rahn. Kafalah interpreted or bear responsibility for something, namely contract containing the agreement of a person where it is right that must be met for others, and association with others, in terms of responsibility for those rights in the face of collectors (debt), while ar- Rahn, ie save a good as mortgage debt. Urgency warranties in Islamic financing products that guarantee is to provide assurance that these funds can be returned, or at least the banks will not experience losses that are too large, if for example it turns out only to execute collateral or guarantees which have been given, because the recipients of financing facilities to act arbitrarily or origin at random in running their business. Application of absolute security in Islamic banking can not be avoided. Statement of context mudarabah jurists who do not allow the existence of collateral does not seem to respond by Islamic banks, because of their application for collateral by the banks on financing facilities recipient is not merely intended to ensure the return of borrowed capital, but to ensure that recipients of financing facilities is really implementing everything that had been agreed in the contract. Thus, it is certainly not based on what is known in Islamic law, but still the same as those stipulated in the Law of Guarantee Mortgage, and Fiduciary.

Key Words : The concept of security, Islamic law

 


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kehadiran Ekonomi Syariah telah memunculkan harapan baru bagi banyak orang, khususnya bagi umat Islam akan sebuah sistem ekonomi alternatif dari sistem ekonomi kapitalisme dan sosialisme sebagai arus utama perdebatan sebuah sistem ekonomi dunia, terutama sejak usainya Perang Dunia II yang memunculkan banyak negara-negara Islam bekas jajahan imperialis. Dalam hal ini, keberadaan Ekonomi Syariah sebagai sebuah model ekonomi alternatif memungkinkan bagi banyak pihak, muslim maupun non-muslim untuk melakukan banyak penggalian kembali berbagai ajaran Islam, khususnya yang menyangkut hubungan pemenuhan kebutuhan antarmanusia melalui aktivitas perekonomian maupun aktivitas lainnya.

Ekonomi Syariah dapat didefinisikan sebagai sebuah studi tentang pengelolaan harta benda menurut perpektif Islam.1 Ekonomi Syariah merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam.2 Bekerja merupakan suatu kewajiban karena Allah SWT memerintahkannya, sebagaimana firman-Nya dalam surat At Taubah ayat       

1

An-Nabhaniy,T. An-Nizham Al-lqtishadi Fil Islam, (Beirut: Darul Ummah, 1990). 2

Ahmad, Khursid, Studies in Islamic Economics, (United Kingdom: The Islamic Foundation, 1981) hal. 3


(16)

105: “Dan katakanlah, bekerjalah kamu, karena Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaan itu”.3

       

Secara garis besar Ekonomi Syariah memiliki beberapa prinsip dasar: 4

a. Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah SWT kepada manusia.

b. Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu. c. Kekuatan penggerak utama Ekonomi Syariah adalah kerja sama.

d. Ekonomi Syariah menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang saja.

e. Ekonomi Syariah menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan banyak orang.

f. Seorang mulsim harus takut kepada Allah swt dan hari penentuan di akhirat nanti.

g. Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab) h. Islam melarang riba dalam segala bentuk.

Pada awal abad ke-20, bank Islam hanya merupakan obsesi dan diskusi teoritis para akademisi baik dari bidang hukum (fiqh) maupun bidang ekonomi. Kesadaran bahwa bank Islam adalah solusi masalah ekonomi untuk mencapai kesejahteraan sosial telah muncul, namun upaya nyata yang memungkinkan

  3

Al Qur’an dan Terjemahnya hadiah dari Khadim al Haramain asy Syarifain, Fahd ibn ‘Abd al ‘Aziz Al Sa’ud, (Saudi Arabia: Madinah, 1990).

4

Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Syariah: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: EKONSIA, 2002), hal. 105.


(17)

implementasi praktis gagasan tersebut nyaris tenggelam dalam lautan sistem ekonomi dunia yang tidak bisa melepaskan diri dari bunga. Walaupun demikian, gagasan tersebut terus berkembang meski secara perlahan. Beberapa uji coba terus dilakukan mulai dari bentuk proyek yang sederhana hingga kerjasama yang berskala besar. Dari upaya ini para pemrakarsa bank Islam dapat memikirkan untuk membuat infrastrukstur sistem perbankan yang bebas bunga.5

Bank Islam atau yang lazim disebut dengan bank syariah, keberadaannya relatif baru di Indonesia. Menurut catatan, bank syariah yang pertama kali memperoleh ijin usaha sebelum diundangkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan adalah BPRS Berkah Amal Sejahtera, dan BPRS Dana Mardhatillah pada tanggal 19 Agustus 1991, BPRS Amanah Rabbaniah pada tanggal 24 Oktober 1991, ketiganya beroperasi di Bandung dan BPRS Hareukat pada tanggal 10 Nopember 1991, beroperasi di Aceh.6

Pada tanggal 17 Juni 2008, perbankan syariah memasuki babak baru dalam industri perbankan di Indonesia. Pada tanggal tersebut DPR secara resmi mengesahkan RUU Perbankan Syariah menjadi Undang-Undang. Pengesahan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah merupakan salah satu jawaban atas makin pesatnya pertumbuhan industri perbankan syariah di tanah air. Kehadiran Bank Muamalat sebagai bank syariah pertama pada tahun 1992 berkat

       5

Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Bank Syariah: Konsep,

Produk dan Implementasi Operasional, (Jakarta: Djambatan, 2001), hal 21.

6

Karnaen A. Perwataatmadja, Upaya Memurnikan Pelayanan Bank Syariah, Khusus


(18)

dukungan UU No. 7/1992 tentang Perbankan yang pertama kali memperkenalkan prinsip bagi hasil. Meski demikian dalam kurun waktu 6 tahun perkembangan bank syariah tidak sepesat bank-bank yang beroperasi secara konvensional. Dengan diberlakukannya UU No. 10 tahun 1998, perbankan syariah pun berkembang lebih baik karena jika pada UU sebelumnya istilah bank syariah masih disebutkan secara implisit dengan istilah bagi hasil maka pada UU No. 10 tahun 1998 istilah perbankan syariah telah disebutkan secara jelas.

Berdasarkan Undang-Undang Perbankan yang baru ini, sistem perbankan di Indonesia terdiri atas Bank Umum Konvensional dan Bank Umum Syariah ( Dual

Banking System ). Salah satu prinsip yang dipegang dalam pengaturan tentang Bank

Syariah dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 ini adalah bahwa prinsip syariah merupakan suatu prinsip dalam menjalankan kegiatan usaha bank. Dengan adanya prinsip ini maka perbankan syariah diberikan peluang yang lebih luas untuk menjalankan kegiatan usaha, termasuk pemberian kesempatan kepada bank umum konvensional untuk membuka kantor cabang yang khusus melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.

Dasar pemikiran pengembangan bank syariah adalah untuk memberikan pelayanan jasa perbankan kepada sebagian masyarakat Indonesia yang tidak dapat dilayani oleh perbankan yang sudah ada, karena bank-bank tersebut menggunakan sistem bunga. Adalah kenyataan bahwa sebagian masyarakat muslim berkeyakinan bahwa kegiatan perbankan yang menggunakan sistem bunga tidak sejalan dengan prinsip syariah, sehingga kebutuhan mereka akan jasa-jasa perbankan tidak dapat


(19)

dilayani oleh bank-bank konvensional. Dengan dikembangkannya perbankan yang dioperasikan berdasarkan prinsip syariah diharapkan mobilisasi dana dan potensi ekonomi masyarakat muslim dapat dioptimalkan, yang pada gilirannya akan semakin meningkatkan peran sektor perbankan secara keseluruhan.7

Perbankan syariah merupakan suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan hukum Islam. Dimana usaha ini didasari oleh larangan Islam untuk memungut maupun meminjam dengan perhitungan bunga (riba) dan larangan berinvestasi dalam usaha-usaha yang berkaitan dengan media dan barang yang tidak Islami (haram).8

Sebagai lembaga intermediary keuangan, bank syari’ah memiliki kegiatan utama berupa penghimpunan dana dari masyarakat melalui simpanan dalam bentuk giro, tabungan, dan deposito yang menggunakan prinsip wadi’ah yand dlamanah (titipan), dan mudharabah (investasi bagi hasil). Kemudian menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyarakat umum dalam berbagai bentuk skim , seperti skim jual beli/al-ba’i (murabahah, salam, dan istishna), sewa (ijarah), dan bagi hasil (musyarakah dan mudharabah), serta produk pelengkap, yakni fee based service, seperti hiwalah (alih utang piutang), rahn (gadai), qard (utang piutang), wakalah (perwakilan, agency), kafalah (garansi bank).9 Dalam hal ini masyarakat menyerahkan dananya pada bank syari’ah pada dasarnya tanpa jaminan yang       

7

Syahril Sabirin, Sambutan Gubernur Bank Indonesia dalam Muhammad Syafii Antonio,

Bank Syariah: Wacana Ulama dan Cendekiawan (Jakarta: 1999) hal x.

8

Pradjoto and Associates, Pembiayaan dalam Perbankan Syariah, Makalah, Desember 2007. 9

Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,2003), edisi IV, hal.59-61, Tim Bank Syari’ah Mandiri, Apa dan Bagaimana Bank Syari’ah, (Jakarta: BSM Cab. Meruya, 2005), hal. 14-15.


(20)

bersifat kebendaan dan semata-mata hanya dilandasai oleh kepercayaan bahwa pada waktunya dana tersebut akan kembali ditambah dengan sejumlah keuntungan (return). Oleh karena itu, untuk menjaga kepercayaan masyarakat tersebut, bank harus melaksanakan prinsip kehati-hatian (prudential principle).

Berdasarkan prinsip tersebut, bank syari’ah menerapkan sistem analisis yang ketat dalam penyaluran dananya melalui pembiayaan, di antaranya dengan mempersyaratkan adanya jaminan atau agunan10 bagi pihak nasabah yang hendak mengajukan pembiayaan.

Definisi jaminan/ agunan menurut Pasal 1 angka (26) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah adalah jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik Agunan kepada Bank Syariah dan/ atau UUS, guna menjamin pelunasan kewajiban Nasabah Penerima Fasilitas.

Berbeda dengan perbankan konvensional yang dalam penyaluran dananya menggunakan skim kredit, di perbankan syari’ah penyaluran dana menggunakan skim pembiayaan. Pembiayaan adakalanya dengan mengambil keuntungan berdasarkan margin keuntungan (profit margin), seperti dalam akad jual beli murabahah, salam, istishna dan ijarah, juga dikenal pembiayaan yang menggunakan prinsip bagi hasil, yaitu melalui akad musyarakah dan mudharabah. Kedua akad       

10

Jaminan menurut UU. No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan adalah keyakinan atas kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan. Jaminan di sini meliputi watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari Nasabah Debitur. Sedangkan dalam makalah ini jaminan identik dengan agunan yaitu Jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ahal. ( Pasal 1 angka 23 UU No. 10 Tahun 1998).


(21)

pembiayaan ini dilihat dari ciri khasnya sangat berbeda sekali dengan akad yang lain. Di antara perbedaan menonjol adalah bahwa bank syari’ah dalam penyaluran dananya kepada nasabah penerima pembiayaan tidak dapat dipastikan memperoleh keuntungan tertentu (modal pembiayaan ditambah return) sebagaimana dalam skim pembiayaan yang mengambil keuntungan berdasarkan margin keuntungan. Akan tetapi, justru pihak bank sangat memungkinkan mengalami kerugian bila usaha nasabahnya mengalami kegagalan atau kebangkurutan, inilah konsekwensi dari skim pembiayaan dengan prinsip bagi hasil (profit and loss sharing). Namun, sebaliknya bila usaha nasabah berhasil maka akan memperoleh bagi hasil yang mungkin lebih besar bila dibandingkan penyaluran dana melalui skim pembiayaan berdasarkan margin keuntungan, ini karena di antara kedua pihak (bank dan nasabah) telah ada kesepakatan bagi hasilnya, yang biasanya berkisar 30%:70%, 40%:60%, atau 50%:50%.11

Atas dasar tingkat spekulasi yang tinggi dalam skim pembiayaan, maka umumnya bank syari’ah sangat berhati-hati dalam melakukan penyaluran dana melalui skim ini. Sebagai wujud sikap kehati-hatian bank dalam melakukan penyaluran dananya melalui skim pembiayaan melalui bagi hasil ini, sebelum memberikan kredit atau pembiayaan, bank syari’ah harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari

       11


(22)

Nasabah Debitur. Kelima unsur tersebut yang sering disebut 5C perkreditan (Character, Capital, Capacity, Collateral dan Condition of Economy).12

Memang secara teoritis bahwa yang terpenting pertama-pertama adalah karakter dari nasabah calon penerima pembiayaan (nasabah debitur), karena jika karakternya baik, sekalipun kondisi yang lainnya buruk, nasabah debitur akan tetap berusaha serius dan dengan jujur melaporkan hasil usahanya dengan mengembalikan dana pembiayaan yang disertai bagi hasilnya. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya jaminan sangat menentukan tingkat keamanan pembiayaan yang disalurkan oleh bank. Di samping itu, keberadaan agunan menjadi sangat penting, dan hal ini berhubungan dengan filosofi dasar dari dana bank sebagaimana disinggung di atas, yaitu bahwa dana bank adalah dana nasabah, dana masyarakat, yang oleh karenanya harus dilindungi dan digunakan secara sangat hati-hati.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penelitian ini akan membahas mengenai pentingnya jaminan ini dalam praktek pembiayaan perbankan syariah. Oleh karenanya, penelitian ini diberi judul “Aspek Hukum Jaminan dalam Perbankan Syariah”.

B. Permasalahan

1. Bagaimanakah konsep jaminan menurut Hukum Islam?       

12 Ibid


(23)

2. Bagaimanakah urgensi jaminan dalam akad pembiayaan syariah?

3. Bagaimana aplikasi konsep jaminan dalam Hukum Islam dalam perbankan syariah di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui konsep jaminan menurut Hukum Islam.

2. Untuk mengetahui urgensi jaminan dalam akad pembiayaan syariah

3. Untuk mengetahui aplikasi konsep jaminan dalam Hukum Islam dalam perbankan syariah di Indonesia

D. Manfaat Penelitian

Setiap penelitian pasti mendatangkan manfaat sebagai tindak lanjut dari apa yang telah dirumuskan dalam tujuan penelitian. Penulis mengharapkan dengan adanya penelitian ini membawa manfaat positif bagi penulis atau pembaca secara langsung maupun secara tidak langsung. Penelitian ini juga sangat berpengaruh bagi perkembangan individu atau objek dari penelitian ini. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:


(24)

Penelitian ini merupakan hasil dari studi ilmiah yang dapat memberikan masukan pemikiran dan ilmu pengetahuan baru terhadap ilmu hukum pada umumnya dan Ilmu Hukum Lembaga Keuangan Syariah pada khususnya. 2. Manfaat praktis

Sebagai suatu informasi dan referensi bagi individu atau instansi yang menjadi atau yang terkait dari objek yang diteliti.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai “Aspek Hukum Jaminan Dalam Perbankan Syariah” belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Jadi penelitian ini dapat disebut “asli” sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, dan objektif serta terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang sama, maka peneliti melakukan pengumpulan data tentang “Aspek Hukum Jaminan Dalam Perbankan Syariah”, dan juga pemeriksaan terhadap hasil-hasil penelitian yang ada mengenai hal-hal di atas, ternyata penelitian ini belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama oleh peneliti lainnya baik di lingkungan Universitas sumatera Utara maupun Perguruan Tinggi lainnya.


(25)

Dari hasil observasi yang telah dilakukan, ada beberapa tesis yang memiliki topik yang sama, namun dalam hal permasalahan dan pembahasannya jelas berbeda dengan isi tesis ini, yakni:

1. Ahmad Fauzi/ 027011002, Jaminan dalam Akad Pembiayaan pada Bank

Syariah yang Bernuansa Konflik (Studi Kasus Bank Muamalat Indonesia, tbk Cab. Medan)

2. Intan Harahap/ 077011031, Kedudukan Fidusia sebagai Jaminan Akad

Pembiayaan Murabahah pada Bank Syariah (Studi Kasus: Bank Muamalat Cab. Medan)

3. Rina Dahlia/ 037011072, Kedudukan Lembaga Gadai Syariah (Ar-Rahn)

dalam Sistem Perekonomian Islam (Studi di Bank Muamalat Indonesia Cab. Medan dan BNI Unit Syariah Cab. Medan

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.13 Teori adalah merupakan suatu prinsip satu ajaran pokok yang dianut untuk mengambil suatu tindakan atau memecahkan suatu masalah. Kamus umum Bahasa Indonesia menyebutkan, bahwa salah satu arti teori ialah:

       13


(26)

”.... pendapat, cara-cara dan aturan-aturan untuk melakukan sesuatu.”14

Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.15 Dalam sebuah penelitian ilmiah, teori digunakan sebagai landasan berfikir dan mengukur sesuatu berdasarkan variabel-variabel yang tersedia.

Teori dipergunakan sebagai landasan atau alasan mengenai suatu variabel bebas tertentu dimasukan dalam penelitian, karena berdasarkan teori tersebut variabel yang bersangkutan memang bisa mempengaruhi variabel tak bebas atau merupakan salah satu penyebab.16

”Menurut W.L.Neuman, yang berpendapatnya dikutip oleh Otje Salman dan Anton F. Susanto, menyebutkan, bahwa:

”Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan mengorganisasikan pengetahuan tentang dunia. Ini adalah cara yang ringkas untuk berpikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja.”17

”Teori merupakan generalisasi yang dicapai setelah mengadakan pengujian dan hasilnya menyangkut ruang lingkup dan fakta yang luas.”18 Sedangkan

       14

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesisa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), hal. 155.

15

Snelbecker dalam Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya , 1993), hal. 35

16

J. Supranto, Metode Penelitian Hukum Dan Statistik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal. 192-193

17

HR. Otje Salman S dan Antón F Susanto, Teori Hukum, (Bandung: Refina Aditama, 2005), hal. 22

18


(27)

“kerangka teori pada penelitian Hukum Sosiologis atau Empiris yaitu kerangka teoritis yang berdasarkan pada kerangka acuan hukum, tanpa acuan hukumnya maka penelitian tersebut hanya berguna bagi sosiologis dan kurang relevan bagi ilmu hukum

is ini, kerang

tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputu

implementasi jaminan dalam perbankan syariah dapat dipandang sebagai proses        

.19

Kerangka teori itu akan digunakan sebagai landasan berpikir untuk menganalisa permasalahan yang dibahas dalam tesis ini. Terutama tentang aspek hukum jaminan dalam perbankan syariah. Dalam pembahasan pada tes

ka teori yang digunakan adalah berdasarkan teori implementasi hukum

Kata implementasi berasal dari bahasa Inggris to implement yang berarti to

provide the means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan

sesuatu); to give practical effect to (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu).20 Van Meter dan Van Horn merumuskan proses implementas sebagai : those actions by

public or private individuals or group that are directed at the achievement of\ obyectives set forth in prior policy decitions (tindakan-tindakan yang dilakukan baik

oleh individu-individu/ pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan ada

san kebijaksanaan).21

Dengan demikian berdasarkan pengertian kata implemantasi tersebut, maka

  19

Ibid, hal. 27 20

Merriam-Webster Online. <http://www.merriam webster. com/ dictionary/implement>. Diakses tanggal 27 Februari 2011

21

Dalam Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijaksanaan dari Formulas ke mplementasi


(28)

melaksanakan pembiayaan berdasarkan Hukum Islam (prinsip-prinsip syariah) yang dilakukan oleh pegadaian syariah kepada nasabahnya dengan menggunakan akad.

Implementasi hukum sebagaimana pengertian diatas lebih cenderung memandang hukum sebagai jaringan nilai-nilai sebagaimana dikemukakan oleh kalangan ahli filsafat hukum. Hukum dipandang sebagai konsepsi abstrak di dalam diri manusia mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk, oleh karena itu dengan sendirinya berkaitan erat dengan persoalan kesadaran hukum. Hal ini disebabkan karena kesadaran hukum itu merupakan suatu penilaian terhadap hukum yang ada serta hukum yang dikehendaki.22

Hukum hidup, tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat sebagai sarana menciptakan kesejahteraan, ketentraman dan ketertiban bagi kedamaian dalam hidup sesama warga masyarakat. Hukum akan tumbuh dan berkembang bila masyarakat menyadari makna kehidupan hukum dalam kehidupannya. Sedangkan tujuan hukum sendiri ialah untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat.23 Hukum juga dituntut untuk memenuhi nilai-nilai dasar hukum yang meliputi keadilan, kerugian/ kemanfaatan dan kepastian hukum. Hukum jaminan tentu saja di tuntut pula untuk memenuhi nilai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, walaupun kadang-kadang bila salah satu nilai tersebut tercapai nilai yang lain menjadi terabaikan.

       22

Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, CV (Jakarta: Rajawali, 1980), hal.207.

23

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, (Jakarta: Rajawali, 1986), hal. 13.


(29)

Kehadiran hukum itu sendiri mempunyai dua fungsi yang saling berdampingan satu sama lain, yaitu: sebagai sarana pengendalian sosial dan sebagai sarana untuk melakukan social engineering.24 Hukum sebagai sarana pengendalian sosial adalah fungsi hukum untuk menjaga agar setiap orang menjalankan perannya sesuai dengan yang telah ditentukan atau diharapkan. Perubahan sosial yang terjadi akan berpengaruh pula terhadap bekerjanya mekanisme pengendalian sosial ini.

Hukum sebagai alat melakukan rekayasa masyarakat adalah hukum dalam fungsinya untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang telah ada dalam masyarakat, untuk mengarahkan kepada tujuan-tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan yang dipandang tidak sesuai lagi serta melakukan pola-pola kelakuan baru.25

Tentang Hukum ekonomi, Satjipto Rahardjo merunut dari esensi ekonomi yang bertujuan untuk menyediakan kebutuhan yang diperlukan bagi kelangsungan hidup masyarakat dan angota-anggotanya berdasarkan asas rasionalitas. Akan tetapi dalam melakukan kegiatan ekonomi tersebut manusia melakukan interaksi dengan yang lainnya supaya mencapai hasil yang maksimal. Dengan demikian muncullah suatu kebutuhan akan aturan, tanpa aturan sulit orang bisa bicara mengenai penyelenggaraan kegiatan ekonomi dalam masyarakat.26 Kalau Hukum ekonomi (konvensional) tumbuh di atas asas rasionalitas seperti paham kapitalisme,       

24

Satjipto Raharjo, Pemanfaatan Ilmu Sosial bagi Pemanfaatan Ilmu Hukum, (Bandung, Alumni, 1977), hal. 143

25

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 169. 26

Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan Antar Disiplin dalam


(30)

sosialisme, pasar bebas dan lain-lain, maka ekonomi Syariah (Hukum Ekonomi Islam) tumbuh di atas asas-asas yang terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.

Sesungguhnya di antara karakteristik Islam yang paling menonjol adalah ia hadir di dunia ini demi kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Maka, hukum-hukum syariat datang dengan misi ingin menegakkan kemaslahatan tersebut dan senantiasa menjaga eksistensi dari keterpurukan, dan salah satu manifestasinya adalah tertuang dalam bentuk pengelolaan harta yang menjadi penopang kehidupan, baik dalam tataran personal maupun komunal. Sehingga tidak aneh kalau kemudian nash-nash syariat sangat menaruh perhatian terhadap hukum-hukum yang bertalian dengan masalah materi dan kekayaan, baik secara global maupun terperinci. Demikian halnya para ahli fikih, khususnya fikih harta, juga telah menjelaskan syarat-syarat, kaidah-kaidah dan tujuan-tujuan di balik usaha mencari materi dan kekayaan, dan bagaimana pula memperoleh dan menggunakannya, dengan penjelasan yang detail dan dapat menghapus ruang keragu-raguan tentang perhatian Islam terhadap masalah harta kekayaan dan juga tentang seruannya kepada umatnya untuk mencari dan mengumpulkannya sesuai dengan tujuan-tujuan dan batasan-batasan syariat.27

Perbankan syariah sebagai lembaga keuangan akan terlibat dengan berbagai jenis kontrak perdagangan syariah dan dalam setiap kontrak perdagangan syariah mempunyai prinsip yang jelas dalam menyalurkan dananya dalam bentuk pembiayaan syariah. Penyaluran dana yang dilakukan oleh Bank Syariah haruslah       

27


(31)

memiliki suatu yang menguatkan kedudukan Bank Syariah dalam memperoleh kembali atas dana yang telah disalurkan, yaitu dengan adanya suatu lembaga jaminan.

Perbankan syariah dalam menerapkan kehati-hatian dan pembiayaan yang sehat diwujudkan dengan adanya jaminan atau agunan dari nasabah penerima pembiayaan. Jaminan atau agunan ini berfungsi untuk mendukung keyakinan bank atas kemampuan dan kesanggupan nasabah penerima pembiayaan untuk melunasi pembiayaan yang diterimanya sesuai dengan perjanjian.

Dalam Hukum Islam, istilah jaminan biasanya dikenal dengan istilah kafalah, sedangkan objek/barang yang dijaminkan dengan rahn, akan tetapi mengenai pengikatan objek/barang yang dijaminkan tidak diatur dan dinyatakan secara rinci tetapi yang digunakan dalam muamalat sesuai dengan kebiasaan dalam masyarakat. Objek/ barang yang dijaminkan dalam rahn berada ditangan bank. Rahn merupakan bentuk jaminan bukan pengikatan jaminan barang, oleh karena itu terhadap rahn digunakan gadai sebagai pengikat jaminan barang.

Adanya jaminan dalam pembiayaan syariah didasarkan atas pemahaman dalam surat Al-Baqarah ayat 283 yang menyebutkan bahwa dalam bermuamalah barang yang dijadikan jaminan/pertanggungan dipegang/ dikuasai oleh pemberi utang, sehingga hal ini yang dijadikan dalam rahn, akan tetapi hal tersebut dilakukan apabila satu sama lain tidak percaya mempercayai.28

       28

Departeman Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahannya dengan


(32)

Apabila dilihat penjelasan yang diuraikan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 283, maka ayat tersebut dapat dijadikan dasar hukum menurut Al-Quran dalam penggunaan jaminan fidusia dalam pembiayaan syariah, sehingga tidak hanya rahn (gadai) yang dijadikan dasar hukum pada ayat tersebut, tapi ayat itu merupakan ayat yang menjadi dasar hukum bagi adanya jaminan dalam pembiayaan syariah.

Penggunaan ketentuan tersebut karena dalam hukum Islam yang mengatur mengenai syariah yang mana termasuk didalamnya adalah kegiatan muamalah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia. Dalam bidang muamalah diserahkan pada manusia dengan proses ijtihad, seperti sabda nabi Muhammad SAW: “Antum

a’lamu bi umuuri dunyakum”, yang artinya kalian lebih mengetahui urusan dunia

kalian dan dalam hukum muamalat menyatakan bahwa “segala sesuatunya boleh dilakukan, kecuali ada larangan dari Al-Quran atau Sunnah”,29 jadi dalam bidang muamalah terdapat lapangan yang luas sehingga boleh saja menambah, menciptakan, mengembangkan dan lainlainnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang bermuamalah, selama “kreativitas” tersebut tidak bertentangan dengan hal yang dilarang dalam Al-Quran dan Sunnah.

Berdasarkan hal tersebut maka terhadap transaksi perbankan syariah yang tidak diatur oleh ketentuan syariah, maka perbankan syariah tunduk pada ketentuan-ketentuan yang terkait dengan kegiatan perbankan pada umumnya, demikian halnya dengan transaksi-transaksi yang tidak dilarang oleh syariah dan perbankan syariah

       29

Adiwarman Karim, Bank Islam: Aanalisis Fiqih dan Keuangan, Ed.2. Cet.1. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 9.


(33)

dapat mengadop sistem perbankan konvensional, akan tetapi apabila transaksi tersebut merupakan transaksi yang dilarang dan bertentangan dengan syariah Islam maka perbankan syariah dapat menentukan jalannya sendiri sesuai dengan ketentuan-ketentuan Hukum Syariah.

2. Konsepsi

Perlu di jelaskan bahwa konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, karena konsep adalah sebagai penghubung yang menerangkan sesuatu yang sebelumnya hanya baru ada dalam pikiran. “Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realistis.”30

Konsepsi bisa juga diartikan sebagai ”salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas.”31

Menurut Tan Kamelo konsepsi adalah untuk menghindari terjadinya salah pengertian dan pemahaman yang berbeda tentang tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, maka kemudian dikemukakan konsepsi dalam bentuk defenisi operasional sebagai berikut, jaminan yang bersifat kebendaan ialah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda, yang mempunyai ciri-ciri: hubungan lansung atas benda tertentu dari debitur, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya (droit de suite) dan dapat diperalihkan.32

Oleh karenanya, untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu:

       30

Munir Fuadi, Hukum Perkereditan Kontemporer, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 24-26.

31

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei, (Jakarta: LP3ES, 1989), hal.34

32

Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, (Bandung: Alumni, 2006), hal. 30-31


(34)

1. Jaminan adalah penyerahan kekayaan atau pernyataan kesanggupan seseorang untuk menanggung pembayaran kembali suatu hutang.33

2. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk Simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat.34

3. Perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.35

4. Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.36

5. Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.37

6. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.38

7. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip       

33

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Seminar Hukum Jaminan, (Yogyakarta, 1978), hal. 3 34

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah 35

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah 36

Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah 37

Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah 38


(35)

Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah.39

8. Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).40

9. Akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau UUS dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah.41

10. Agunan adalah jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda

tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik Agunan kepada Bank Syariah

       39

Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah 40

Pasal 1 ayat 13 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan 41


(36)

dan/atau UUS, guna menjamin pelunasan kewajiban Nasabah Penerima Fasilitas.42

G. Metode Penelitian

Metode ilmiah dari suatu ilmu pengetahuan adalah segala cara dalam rangka ilmu tersebut, untuk sampai kepada kesatuan pengetahuan. tanpa metode ilmiah, suatu ilmu pengetahuan itu sebenarnya bukan suatu ilmu tetapi suatu himpunan pengetahuan saja tentang berbagai gejala yang satu dengan gejala lainnya.43

Sedangkan penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.44 selain itu, penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala bersangkutan.45

Metodologi memiliki peranan dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu di antaranya:46

       42

Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah 43

Koenjtaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta: Aksara Baru, 1991), hal. 37. 44

Peter Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 35. 45

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997), hal. 38.

46


(37)

a. menambah kemampuan para ilmuwan untuk mengadakan atau melaksanakan penelitian secara lebih baik atau lebih lengkap

b. memberikan kemungkinan yang lebih besar, untuk meneliti hal-hal yang belum diketahui

c. memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan penelitian interdisipliner.

Untuk dapat merampungkan penyajian tesis ini agar dapat memenuhi kriteria sebagai tulisan ilmiah diperlukan data yang relevan dengan tesis ini. Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan itu, maka penulis menerapkan metode pengumpulan data sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatifyang disebut juga sebagai penelitian doctrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the

book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process)47. Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.48

       47

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 118.

48

J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada), 2003, hal. 3.


(38)

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.49 Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri. Dengan demikian penelitian ini meliputi penelitian terhadap sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen terkait dan beberapa buku mengenai jaminan dan perbankan khususnya jaminan dalam perbankan syariah

2. Sumber Data

Materi dalam tesis ini diambil dari Al’Quran, Al’hadist dan data sekunder, yaitu:

a. Bahan Hukum Primer

Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang.50 Dalam tulisan ini di antaranya Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait.

b. Bahan Hukum Sekunder

       49

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: UMM Press, 2007), hal. 57.

50

Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty, 1988), hal. 19.


(39)

Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan dengan aspek hukum jaminan dalam perbankan syariah, seperti: seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.

c. Bahan Hukum Tertier

Yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus, ensiklopedia dan lain-lain.

3. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka untuk memperoleh data sekunder berupa buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan.

4. Teknik Analisa Data

Data yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik tesis ini,


(40)

sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.


(41)

BAB II

KONSEP JAMINAN MENURUT HUKUM ISLAM

Secara umum, jaminan dalam hukum Islam (fiqh) dibagi menjadi dua; jaminan yang berupa orang (personal guaranty) dan jaminan yang berupa harta benda. Jaminan yang berupa orang sering dikenal dengan istilah dlaman atau kafalah, sedangkan jaminan yang berupa harta benda dikenal dengan istilah rahn.

A. Kafalah

1. Pengertian Kafalah a. Menurut bahasa

Secara etimologis, kafalah berarti al-dhamanah, hamalah, dan za’amah, ketiga istilah tersebut mempunyai makna yang sama, yakni menjamin atau menanggung.51 Sedangkan menurut terminologi Kafalah didefinisikan sebagai:

“Jaminan yang diberikan oleh kafiil (penanggung) kepada pihak ketiga atas kewajiban/ prestasi yang harus ditunaikan pihak kedua (tertanggung)”.52 Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat al-Imran (3): 37 yaitu “Allah menjadikan Zakaria sebagai penjaminnya (Maryam)”. Di samping itu, kafalah berarti hamalah (beban) dan Za’amah (tanggungan). Disebut dhamman apabila penjaminan itu       

51

Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, cet. 6, 2002), hal. 4141

52

Kafalah diisyaratkan oleh Allah SWT. pada Al-Qur’an Surat Yusuf ayat 72; yang artinya : “Penyeru itu berseru, Kami kehilangan piala raja dan barang siapa yang dapat mengembalikannya

akan memperoleh makanan (seberat) beban unta dan aku menjamin terhadapnya” dan juga hadis Nabi

saw; “Pinjaman hendaklah dikembalikan dan yang menjamin hendaklah membayar” (HAL.R. Abu Dawud).


(42)

dikaitkan dengan harta, hamalah apabila dikaitkan dengan diyat (denda dalam hukum qishash), za 'amah jika berkaitan dengan harta (barang modal), dan kafalah apabila penjaminan itu dikaitkan dengan jiwa.

a. Menurut syara’

Secara terminologi, sebagaimana yang dinyatakan para ulama fikih, kafalah dapat didefinisikan sebagai berikut:53

1) Mazhab Hanafi, kafalah adalah, "menggabungkan dua tanggungan dalam permintaan dan hutang.”

2) Mazhab Maliki, Kafalah adalah “Orang yang mempunyai hak mengerjakan tanggungan pemberi beban serta bebannya sendiri yang disatukan, baik menanggung pekerjaan yang sesuai (sama) maupun pekerjaan yang berbeda”.

3) Mazhab syafi’i, Kafalah adalah “akad yang menetapkan iltizam hak yang tetap pada tanggungan (beban) yang lain atau menghadirkan zat benda yang dibebankan atau menghadirkan badan oleh orang yang berhak menghadirkannya”.

4) Mazhab Hanbali, kafalah adalah “Iltizam sesuatu yang diwajibkan kepada orang lain serta kekekalan benda tersebut yang dibebankan atau iltizam orang yang mempunyai hak menghadirkan 2 harta (pemiliknya) kepada orang yang mempunyai hak”.

       53

M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah: Teori dan Praktek, (Jakarta: Tazkia Cendekia, 2001), hal.123


(43)

Definisi lain adalah, "jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (mukful

‘anhu ashil)”.54 Di dalam Kamus Istilah Fikih, kafalah diartikan menanggung atau penanggungan terhadap sesuatu, yaitu akad yang mengandung perjanjian dari seseorang di mana padanya ada hak yang wajib dipenuhi terhadap orang lain, dan berserikat bersama orang lain itu dalam hal tanggung jawab terhadap hak tersebut dalam menghadapi penagih (utang).55

Pada asalnya, kafalah adalah padanan dari dhamman, yang berarti penjaminan sebagaimana tersebut di atas. Namun dalam perkembangannya, situasi telah rnengubah pengertian ini. Kafalah identik dengan kafalah al-wajhi (personal

guarantee, jaminan diri), sedangkan dhamman identik dengan jaminan yang

berbentuk harta secara mutlak.56

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kafalah adalah jaminan dari penjamin (pihak ketiga), baik berupa jaminan diri maupun harta kepada pihak kedua sehubungan dengan adanya hak dan kewajiban pihak kedua tersebut kepada pihak lain (pihak pertama). Konsep ini agak berbeda dengan konsep rahn yang juga bermakna barang jaminan, namun barang jaminannya dari orang yang berhutang. Ulama madzhab fikih membolehkan kedua jenis kafalah tersebut, baik diri maupun barang.

       54

Ibid 55

M. Abdul Mudjieb, et. al., Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hal. 148 56

Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hal. 106


(44)

Di dalam perundang-undangan Mesir misalnya, kafalah diartikan sebagai menggabungkan tanggung jawab orang yang berhutang dan orang yang menjamin. Misalnya, ada seseorang akan mengajukan kredit kepada bank, kemudian ada orang kedua yang bertindak dan turut menjamin hutang seseorang tersebut. Ini berarti bahwa hutang tersebut menjadi tanggung jawab orang pertama dan juga orang kedua.57

Semakna dengan itu, KUH Perdata Pasal 1820 menyebutkan, bahwa penanggungan adalah “suatu persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.”58

2. Dasar Hukum

Dasar hukum untuk akad kafalah ini dapat dilihat di dalam Qur'an, al-Sunnah dan kesepakatan para ulama, sebagai berikut:

a. Al-Qur'an

Dalam al-Qur’an Surat Yusuf (12): 66, Nabi Ya'kub berkata:































"Aku sekali-kali tidak akan melepaskannya (pergi) bersama-sama kamu, sebelum kamu memberikun kepadaku janji yang teguh atas nama Allah, bahwa kamu pasti akan membawanya kembali kepadaku..."

       57

Ibid., hal. 107 58


(45)

Selanjutnya pada ayat 72 surat yang sama Allah SWT berfirman:



























"Mereka menjawab"Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh (bahan makanan seberat) beban unta, dan aku jamin itu"

b. Al-Sunnah

Jabir r.a. menceritakan: “Seorang laki-laki telah meninggal dunia dan kami telah memandikannya dengan bersih kemudian kami kafani, lalu kami bawa kepada Rasulullah SAW. Kami bertanya kepada beliau: "Apakah Rasulullah akan menshalatkannnya?". Rasulullah bertanya: “Apakah ia mempunyai hutang?". Kami menjawab: "Ya, dua dinar." Rasulullah kemudian pergi dari situ. Berkatalah Abu Qatadah: "Dua dinar itu tanggung jawabku." Karenanya, Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah telah menunaikan hak orang yang memberi hutang dan si mayit akan terlepas dari tanggung jawabnya." Rasulullah lalu menshalatkannya. Pada keesokan harinya beliau bertanya kepada Abu Qatadah tentang dua dinar itu dan dijelaskan, bahwa ia telah melunasinya. Rasulullah SAW. bersabda: "Sekarang kulitnya telah sejuk." (H.R. Bukhari).


(46)

Rasulullah SAW. bersabda: "Hutang itu harus ditunaikan, dan orang yang menanggung itu harus membayarnya." (H.R. Abu Daud dan Tirmidzi dan dishakhihkan oleh Ibnu Hibban).

c. Ijma' ulama

Para ulama madzhab membolehkan akad kafalah ini. Orang-orang Islam pada masa Nubuwwah mempraktekkan hal ini bahkan sampai saat ini, tanpa ada sanggahan dari seorang ulama-pun.59 Kebolehan akad kafalah dalam Islam juga didasarkan pada kebutuhkan manusia dan sekaligus untuk menegaskan madharat bagi orang-orang yang berhutang.60

3. Rukun dan Syarat Kafalah

Adapun rukun kafalah sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa lileratur fikih terdiri atas:

a. Pihak penjamin/penanggung (kafil), dengan syarat baligh (dewasa), berakal sehat, berhak penuh melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya, dan rela (ridha) dengan tanggungan kafalah tersebut.

b. Pihak yang berhutang (makful 'anhu 'ashil), dengan syarat sanggup menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin dan dikenal oleh penjamin.|

       59

Sayyid Sabiq, “Fikih al-Sunnah”, vol. 3, (Beirut Libanon: Dar al Fikr), hal. 284 60

Wahbah Zuhaili, “Fikih al Islam wa Adillatuh”, Vol.5, Beirut, (Lebanon: Dar al-Fikr), hal. 131


(47)

c. Pihak yang berpiutang (makful lahu), dengan syarat diketahui identitasnya, dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa, dan berakal sehat.

d. Obyek jaminan (makful bih), merupakan tanggungan pihak/orang yang berhutang (ashil), baik berupa uang, benda, maupun pekerjaan, bisa dilaksanakan oleh pejamin, harus merupakan piutang mengikat (luzim) yang tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan, harus jelas nilai, jumlah, dan spesifikasinya, tidak bertentangan dengan syari'ah (diharamkan).61

4. Macam-macam Orang Yang Dapat Ditanggung

Mengenai siapa orang-orang yang dapat ditanggung, para ulama fikih menyatakan, bahwa pada dasarnya setiap orang dapat menerima jaminan/tanggungan tersebut. Mereka hanya berbeda pendapat mengenai orang yang sudah wafat (mati) yang tidak meninggalkan harta warisan. Menurut pendapat Imam Malik dan Syafi'i, hal yang demikian boleh ditanggung. Alasannya adalah dengan berpedoman pada Hadis tersebut di atas tentang ketidaksediaan Nabi SAW. menshalatkan jenazah karena meninggalkan sejumlah hutang. Sedangkan Imam Hanafi menyatakan tidak boleh, dengan alasan bahwa tanggungan tersebut tidak berkaitan sama sekali dengan orang yang tidak ada. Berbeda halnya dengan orang yang pailit.

       61

Ibid, hal. 140-147. Lihat juga Dewan Syari'ah Nasional, Himpunan Fatwa DSN-MU1, BI dan DSN, Jakarta: 2001, hal. 72-73


(48)

Jumhur fuqaha' juga berpendapat tentang bolehnya memberikan tanggungan kepada orang yang dipenjara atau orang yang sedang dalam keadaan musafir. Tetapi Imam Abu Hanifah tidak membolehkannya.62

5. Masa Tanggungan

Masa tanggungan dengan harta, yakni masa penuntutan kepada penanggung adalah dimulai sejak tetapnya hak atas orang yang ditanggung, baik berdasarkan pengakuannya maupun saksi, demikian pendapat fuqaha'. Kemudian fuqaha' bersilang pendapat tentang masa wajibnya tanggungan dengan badan, apakah tanggungan tersebut menjadi wajib sebelum tetapnya hak atau tidak?. Segolongan fuqaha' berpendapat, bahwa tanggungan itu tidak menjadi wajib sebelum tetapnya hak. Pandangan ini dipegangi oleh golongan Imam Malik, Syuraih al-Qadhi dan al-Sya'bi. Segolongan lainnya berpendapat, bahwa untuk menetapkan hak tersebut harus ada konfirmasi dengan pihak penanggung (dengan badan) dan ia memang bersedia menjadi penanggung.

Selanjutnya, kapan pengambilan hak itu terjadi atau kapankah pengambilan hak itu menjadi wajib, dan sampai kapan waktunya?, Sebagian fuqaha' berpendapat bahwa apabila debitur dapat menyampaikan bukti-bukti yang kuat atau saksi misalnya, maka ia harus memberikan penanggung (dengan badan), sehingga terlihat haknya. Jika tidak demikian, maka tidak ada keharusan memberi penanggung. Apabila ia ingin juga mengambil penanggung dengan berupaya menghadirkan saksi,

       62

Ibnu Rusyd, “Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid”, vol. 3, (Beirut, Libanon: Dar al-Fikr, tth), hal. 224


(49)

maka ia diberikan tempo selama 5 (lima) hari kerja untuk maksud tersebut, yakni masa penanggung memberikan tanggungan. Ini pendapat Ibn al-Qashim dari kalangan madzhab Maliki.

Fuqaha' Irak berpandangan, bahwa tidak dapat diambil penanggung atas debitur sebelum tetapnya hak. Sependapat dengan Ibn al-Qashim, mereka memberikan waktu hanya 3 (tiga) hari. la menambahkan, bahwa tidak boleh diambil penanggung atas seseorang kecuali dengan adanya saksi. Dengan demikian akan tampak jelas pengakuannya itu benar atau tidak benar.

Apabila keadilan antara kedua belah pihak dalam masalah ini akan ditegakkan, maka keberadaan saksi mutlak diperlukan, baik kesaksian atas beban (hutang) debitur maupun kesaksian atas diambilnya tanggungan oleh pihak penanggung. Ini memudahkan pihak Kreditur dalam melakukan tindakan-tindakan ke depan, apabila diperlukan.63

6. Kewajiban Penanggung

Apabila orang yang ditanggung tersebut bepergian jauh atau "menghilang", bagaimanakah tanggung jawab orang yang menanggung? Dalam hal ini ada tiga pendapat, sebagai berikut:64

Penanggung wajib mendatangkan (menemukan) orang yang ditanggung, atau mengganti kerugian. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik beserta pengikutnya dan fuqaha' Madinah. Bahwa penanggung dipenjarakan, sehingga orang       

63

Ibid., hal. 223 64

http://www.faqihregas.co.cc/2010/05/makalah-tentang-kafalah.html. Diakses tanggal 21 Februari 2011.


(50)

yang ditanggung telah datang, atau kalau dia wafat, telah diketahui kewafatannya. Ini pandangan Imam Abu Hanifah dan fuqaha' Irak.65

Bahwa penanggung tidak terkena kewajiban apapun termasuk dipenjarakan, kecuali ia harus mencarinya/mendatangkannya, jika ia mengetahui tempatnya. Ini pendapat Abu ‘Ubaid al-Qasim. Pendapat Imam Malik yang mengatakan, bahwa penanggung harus menanggung kerugian atas orang yang ditanggung apabila ia pergi, didasarkan pada Hadis Ibnu 'Abbas r.a. sebagai berikut: "Sesungguhnya seorang laki-laki meminta kepada debiturnya agar memberikan hartanya kepadanya, lalu ia memberikan penanggung kepadanya, tetapi ia tidak mampu, sehingga orang tersebut mengadukannya kepada Nabi SAW. Maka Rasulullah SAW. pun menanggungnya, kemudian debitur memberikan harta kepadanya."66

Mereka mengatakan, bahwa Hadis ini menunjukkan adanya penggantian kerugian secara mutlak. Berbeda dengan fuqaha' Irak yang berpandangan bahwa, penanggung hanya berkewajiban menghadirkan apa yang ditanggungnya, yakni orang (yang ditanggungnya). Karenanya, penanggungan tersebut tidak harus menyertakan harta, kecuali apabila penanggungan tersebut memang disyaratkan demikian atas dirinya.67

Selanjutnya, Imam Malik berpendapat bahwa, apabila seseorang mensyaratkan tanggungan (badan) tanpa harta, sedangkan iapun menjelaskan syarat tersebut, maka harta tersebut tidak wajib atasnya. Karena apabila harta tersebut       

65 Ibid 66

Ibid 67


(51)

menjadi beban kewajibannya, berarti ia melakukan perbuatan yang melawan apa-apa yang disyaratkannya itu.68

Berbeda dengan tanggungan harta, fuqaha' telah sepakat bahwa, apabila orang yang ditanggung tersebut meninggal atau pergi, maka penanggung harus mengganti kerugian. Tentang pandangan yang membolehkan kreditur menuntut penanggung, baik yang ditanggung itu bepergian atau tidak, kaya atau miskin, maka mereka beralasan dengan Hadis Qubaishah Ibn al-Makhariqi r.a. sebagai berikut: "Aku membawa satu tanggungan, maka aku mendatangi Nabi SAW. kemudian aku bertanya kepada beliau tentang (tanggungan itu). Maka beliau bersabada: "Kami akan mengeluarkan tanggungan itu atas namamu dari onta sedekah. Hai Qubaishah! sesungguhnya perkara ini tidak halal, kecuali pada tiga hal". Kemudian beliau menyebutkan tentang seorang laki yang membawa suatu tanggungan dari laki-laki lain, sehingga ia melunasinya ".69

Hadis tersebut di atas memberikan petunjuk bahwa, Nabi SAW membolehkan penuntutan terhadap penanggung, tanpa mempertimbangkan kondisi orang yang ditanggung.70

7. Obyek Tanggungan

Mengenai obyek tanggungan, menurut sebagian besar ulama fikih, adalah harta. Hal ini didasarkan kepada Hadis Nabi SAW: “Penanggung itu menanggung

       68

Ibid 69

Ibid 70


(52)

kerugian.” Sehubungan dengan kewajiban yang harus dipenuhi oleh penanggung adalah berupa harta, maka hal ini dikategorikan menjadi tiga hal, sebagai berikut:

a. Tanggungan dengan hutang, yaitu kewajiban membayar hutang yang menjadi tanggungan orang lain. Dalam masalah tanggungan hutang, disyaratkan bahwa hendaknya, nilai barang tersebut tetap pada waktu terjadinya transaksi tanggungan/ jaminan dan bahwa barangnya diketahui, karena apabila tidak diketahui, maka dikhawatirkan akan terjadi gharar.

b. Tanggungan dengan materi, yaitu kewajiban menyerahkan materi tertentu yang berada di tangan orang lain. Jika berbentuk bukan jaminan seperti 'ariyah (pinjaman) atau wadi 'ah (titipan), maka kafalah tidak sah.

c. Kafalah dengan harta, yaitu jaminan yang diberikan oleh seorang penjual

kepada pembeli karena adanya risiko yang mungkin timbul dari barang yang dijual- belikan.71

8. Macam-macam Kafalah

M. Syafi'i Antonio memberikan penjelasan tentang pembagian kafalah sebagai berikut:72

a. Kafalah bi al-mal, adalah jaminan pembayaran barang atau pelunasan utang.

Bentuk kafalah ini merupakan sarana yang paling luas bagi bank untuk memberikan jaminan kepada para nasabahnya dengan imbalan/ fee tertentu.

       71

Sayid Sabiq, Op. cit, hal. 286-287 72

Muhammad Syafi’i Antonio, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syari'ah, (Yogyakarta: UII Press, 2001), hal. 38


(53)

b. Kafalah bi al-nafs, adalah jaminan diri dari si penjamin. Dalam hal ini, bank

dapat bertindak sebagai juridical personality yang dapat memberikan jaminan untuk tujuan tertentu.

c. Kafalah bi al-taslim, adalah jaminan yang diberikan untuk menjamin

pengembalian barang sewaan pada saat masa sewanya berakhir. Jenis pemberian jaminan ini dapat dilaksanakan oleh bank untuk keperluan nasabahnya dalam bentuk kerjasama dengan perusahaan, leasing company. Jaminan pembayaran bagi bank dapat berupa deposito/tabungan, dan pihak bank diperbolehkan memungut uang jasa/ fee kepada nasabah tersebut.

d. Kafalah al-munjazah, adalah jaminan yang tidak dibatasi oleh waktu tertentu

dan untuk tujuan/ kepentingan tertentu. Dalam dunia perbankan, kafalah model ini dikenal dengan bentuk performance bond (jaminan prestasi).

e. Kafalah al-mu’allaqah, Bentuk kafalah ini merupakan penyederhanaan dari

kafalah al-munjazah, di mana jaminan dibatasi oleh kurun waktu tertentu dan

tujuan tertentu pula. 9. Upah Atas Jasa Kafalah

Adiwarman A. Karim memberikan keterangan tentang upah atas jasa kafalah ini yang ia kemukakan dengan mengawali sebuah pertanyaan: "Bolehkah si pejamin mengambil upah atas jasanya itu?" Kemudian ia menjelaskan bahwa, ulama kontemporer, seperti Mustafa Abdullah al-Hamsyari yang mengutip pendapat Imam Syafi'i, berpadangan bahwa pemberian uang (fee) kepada orang yang ditugaskan untuk mengadukan suatu masalah kepada raja tidak dapat dianggap sebagai uang


(54)

sogok (riswah), tetapi dianggap sebagai upah (ju'alah), dan hukumnya sebagai ganjaran lelah atau biaya perjalanannya. Ulama lain, Abdu al-Sai' al-Misri mengatakan, bahwa seorang penanggung/ penjamin haruslah mendapatkan upah sesuai dengan pekerjaannya sebagai penjamin. Pendapat ini membuka peluang dimasukkannya pertimbangan besarnya risiko yang dipikul oleh si penjamin dalam memperhitungkan upahnya.73

10. Akibat-akibat Hukum Kafalah

Apabila orang yang ditanggung tidak ada (pergi atau menghilang), maka kafil berkewajiban menjamin sepenuhnya. Dan ia tidak dapat keluar dari kafalah, kecuali dengan jalan memenuhi hutang yang menjadi beban 'ashil (orang yang ditanggung). Atau dengan jalan, bahwa orang memberikan pinjaman (hutang) -dalam hal ini bank- menyatakan bebas untuk kafil, atau ia mengundurkan diri dari kafalah. la berhak mengundurkan diri, karena memang itu haknya.

Adapun yang menjadi hak orang/bank (sebagai makful lahu) menfasakh akad

kafalah dari pihaknya. Karena hak menfasakh ini adalah hak makful lahu.74 Dalam hal orang yang ditanggung melarikan diri, sedangkan ia tidak mengetahui tempatnya, maka si penanggung tidak wajib mendatangkannya, tetapi apabila ia mengetahui tempatnya, maka ia wajib mendatangkannya, dan si penanggung diberikan waktu yang cukup untuk keperluan tersebut.75

       73

Adiwarman A. Karim, Op. cit, hal. 107 74

Sayid Sabiq, Ibid., hal. 287 75

Taqiyyudin Abu Bakar al-Husaini, Kifayat al-Akhyar, Terjemahan, (Surabaya: Bina Iman, 1995), hal. 627


(55)

11. Penerapan Kafalah Dalam Perbankan

Sebagaimana dimaklumi, bahwa kafalah (bank garansi) adalah76 jaminan yang diberikan bank atas permintaan nasabah untuk memenuhi kewajibannya kepada pihak lain apabila nasabah yang bersangkutan tidak memenuhi kewajibannya. Di samping itu, jaminan (penanggungan) tersebut bisa bersifat kebendaan, seperti hak tanggungan dan jaminan fiducia serta jaminan perorangan (personal guarantee). Jaminan perorangan (termasuk di dalamnya badan hukum = company guarantee) dalam praktek perbankan diberikan dalam bentuk bank garansi, sebagaimana diatur dalam SE Dir BI nomor: 23/7/UKU, tanggal 18 Maret 1991.

       

Bank garansi yang diterbitkan suatu bank merupakan. pernyataan tertulis untuk mengikatkan diri kepada penerima jaminan apabila di kemudian hari pihak terjamin tidak memenuhi kewajibannya kepada penerima jaminan sesuai dengan jangka waktu dan syarat-syarat yang telah ditentukan. Oleh karena itu, di dalam mekanisme bank garansi terdapat tiga pihak yang terkait, yaitu bank sebagai penjamin, nasabah sebagai terjamin atas permintaannya, dan penerima jaminan.77 Bank dalam pemberian garansi ini, biasanya meminta setoran jaminan sejumlah tertentu (sebagian atau seluruhnya) dari total nilai obyek yang dijaminkan.

B. Rahn

1. Pengertian Rahn

  76

Dahlan Siamat, Lembaga Manajemen Keuangan, Edisi III, (Jakarta: Fakultas Ekonomi UI, 2001), hal. 141

77 Ibid


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Bulughul Maram, (Terjemahan A. Hasan), Bandung: Diponegoro, 1996.

Al-Husaini, Taqiyyudin Abu Bakar, Kifayat al-Akhyar, Terjemahan, Surabaya: Bina Iman, 1995.

Ali, Zainuddin, Hukum Asuransi Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Al Jaziri, Abdurrahman, Al Fiqh Alaa al Madzahibul Arba’ah, Lebanon: Darul Fikri, 1994, Jilid 3.

Al Qur’an dan Terjemahnya hadiah dari Khadim al Haramain asy Syarifain, Fahd ibn ‘Abd al ‘Aziz Al Sa’ud, Saudi Arabia: Madinah, 1990.

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006.

Antonio, M. Syafi’i, Bank Syariah dan Dari Teori Ke Praktek Jakarta: Gema Insani Press, Cet. I, 2003.

Antonio, M. Syafi’i, Bank Syari’ah: Teori dan Praktek, Jakarta: Tazkia Cendekia, 2001.

Antonio, M Syafei, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, Jakarta: Tazkia Institute dan BI, 1999.

Antonio, Muhammad Syafi’i, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syari'ah, Yogyakarta: UII Press, 2001.

As’adi, Ghufron A.M, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. I, 2002.

Ash-Shiddieqy, Hasbi, Tafsir al-Bayan, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.

Ash-Sidiqy, Tengku Muhammad Hasbi, Pengantar Hukum Islam, cet. II Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001.


(2)

Azis, M. Amin, Mengembangkan Bank Islam di Indonesia, Buku Kesatu, Jakarta: Penerbit Bangkit, 1992.

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Seminar Hukum Jaminan, Yogyakarta, 1978. Basyir, Ahmad Azhar, Asas Hukum Muamalah, Yogyakarta: UII, 1990.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 2000. Dewan Syari'ah Nasional, Himpunan Fatwa DSN-MU1, BI dan DSN, Jakarta: 2001. Doi, A. Rahman I, Muamalah Syariah III, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Cet. I,

1996.

Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve.

Friedman, Lawrece M, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, terjemahan M. Khozin, Bandung: Nusa Media, cet. III, 2009.

Fuadi, Munir, Hukum Perkereditan Kontemporer, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995.

Haroen, Nasrun, Fiqih Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000.

Hasan, M. Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.

Hefner, Robert W, Geger Tengger, Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik, Yogyakarta: LKIS bekerjasama dengan The Asia Fondation, 1999.

Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: UMM Press, 2007.

Jurjani, Syekh Al Ahmad, Hikmah Al-Tasyri Mafalsafatuhu, Diterjemahkan oleh Hadi Mulyo Semarang: Asy Syifa, 1992.

Kamelo, Tan, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, (Bandung: Alumni, 2006.

Karim, Adiwarman A, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani, 2001.


(3)

Lubis, Ibrahim, BC. HK. Dpl. Ec, Ekonomi Islam Suatu Pengantar 2, Jakarta: Kalam Mulia, 1995.

Lubis, Indra Jaya, Tinjauan Mengenai Konsepsi Akuntansi Bank Syariah, Disampaikan pada Pelatihan-Praktek Akuntansi Bank Syariah BEMJ-Ekonomi Islam, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah 2001.

Marzuki, Peter, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2006.

Mertokusumo, Soedikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty, 1988.

Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya , 1993.

Mudjieb, M. Abdul, et. al., Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.

Mughni, Ibnu Qudamah tahqiq DR. Abdullah bin Abdulmuhsin Alturki dan Abdulfatah Muhammad Al Hulwu, Kairo: hajar, 1412H.

Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syariah, Yogyakarta: UII Pers, 2001.

Perwataatmadja, Karnaen A, Upaya Memurnikan Pelayanan Bank Syariah, Khusus

Pembiayaan Murabahah dan Mudharabah di Indonesia, Artikel, Jakarta,

2002.

Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesisa, Jakarta: Balai Pustaka, 1985.

Pradjoto and Associates, Pembiayaan dalam Perbankan Syariah, Makalah, Desember 2007.

Raharjo, Satjipto, Pemanfaatan Ilmu Sosial bagi Pemanfaatan Ilmu Hukum, Bandung, Alumni, 1977.

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 1982.

Rahardjo, Satjipto, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan Antar Disiplin dalam

Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung: Sinar Baru, 1985.


(4)

Rusyd, Ibnu, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, vol. 3, Beirut, Libanon: Dar al-Fikr, tth.

S, HR. Otje Salman dan Antón F Susanto, Teori Hukum, Bandung: Refina Aditama, 2005.

Sabirin, Syahril, Sambutan Gubernur Bank Indonesia dalam Muhammad Syafii

Antonio, Bank Syariah: Wacana Ulama dan Cendekiawan (Jakarta: 1999.

Sabiq, Sayyid, Fikih al-Sunnah, vol. 3, Beirut Libanon: Dar al Fikr.

Sadily, Hassan, Ensiklopedi Islam, Jilid V Jakarta: PT. Ichtiar van Hoove, 2000. Saeed, Abdullah, Bank Islam dan Bunga; Studi Kritis dan Interpretasi Kontemporer

tentang Riba dan Bunga, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Samih ‘Athif az-Zain, al-Mu'amalat, Lebanon: Dar al-Kitab al-Lubnani, 1995. Santoso, Budi Tri, Mengenal Dunia Perbankan, Yogyakarta: Andi, 1997.

Siamat, Dahlan, Lembaga Manajemen Keuangan, Edisi III, Jakarta: Fakultas Ekonomi UI, 2001.

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES, 1989.

Soekanto, Soerjono dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, Jakarta: CV. Rajawali, 1980.

Soekanto, Soerjono, Faktor-Faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, Jakarta: Rajawali, 1986.

Soekanto, Soerjono, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet. IX, 1999.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, 1982. Subekti, R, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT. Internusa, 1991.

Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. I; 2002. Sulaiman, Tahir Abdul al-Muhsin, Menanggulangi Krisis Ekonomi Secara Islam,


(5)

Sumitro, Warkum, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1996.

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997.

Supranto, J, Metode Penelitian Hukum Dan Statistik, Jakarta: Rineka Cipta, 2003. Syafei, Rachmat, Fiqh Muamalah Bandung: Pustaka Setia, t.th.

T. An-Nabhaniy, An-Nizham Al-lqtishadi Fil Islam, Beirut: Darul Ummah, 1990. Thaib, Hasballah, Hukum Akad (Kontrak) dalam Fiqih Islam dan Praktek di Bank

Sistem Syariah, Medan: Program Pasca Sarjana USU, 2005.

Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Bank Syariah:

Konsep, Produk dan Implementasi Operasional, Jakarta: Djambatan, 2001.

Wahab, Solichin Abdul, Analisis Kebijaksanaan dari Formulas ke mplementasi

Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Bumi Aksara, 2004.

Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2003, edisi IV, hal.59-61, Tim Bank Syari’ah Mandiri, Apa dan

Bagaimana Bank Syari’ah, Jakarta: BSM Cab. Meruya, 2005.

Zainuddin, A dan Muhammad Jamhari, Al-Islam 2, Muamalah dan Akhlaq Bandung: Pustaka Setia, Cet. I, 1999.

Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Beirut: Dar al-Fikr, cet. 6, 2002. Zuhri, M, Riba dalam al-Qur’an dan Masalah Perbankan, Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 1997.

Ya’kub, Hamzah, Kode Etik Dagang menurut Islam, Bandung: Diponegoro, 1992.

Peraturan Perundang-undangan Kitab Undang-undang Hukum Perdata


(6)

   

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

Internet

http://zanikhan.multiply.com/journal/item/4490. Diakses tanggal 26 Oktober 2010. Merriam-Webster Online. <http://www.merriam webster. com/ dictionary/

implement>. Diakses tanggal 27 Februari 2011.