MODUL MATERI UJIAN ALIH JENJANG PFM

  MODUL MATERI UJIAN ALIH JENJANG JABATAN FUNGSIONAL PENGAWAS FARMASI DAN MAKANAN DARI TERAMPIL KE AHLI PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) BADAN POM MATA PELAJARAN: KONSEP DASAR SURVEILAN ` BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

  2017

BAB I PENDAHULUAN A. Deskripsi Singkat Modul ini diperuntukkan sebagai Materi Ujian Alih Jenjang Jabatan Fungsional PFM Terampil menjadi PFM Ahli dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya

  khususnya di bidang surveilan obat, obat tradisional, suplemen makanan, kosmetik dan makanan. Modul ini membahas 2 hal utama, yaitu 1) Konsep Dasar Surveilan dan 2) Metode Pelaksanaan Surveilan.

  B. Tujuan Pembelajaran Umum (TPU)

  Setelah mempelajari modul ini, peserta diharapkan memahami ruang lingkup surveilan dalam kapasitasnya sebagai PFM Ahli Pertama sehingga dapat melaksanakan tugas pokok dan fungsi sebagai pengawas farmasi dan makanan di bidang surveilan/ pemantauan.

  C. Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK)

  Setelah mempelajari modul ini, para peserta Diklat diharapkan dapat: 1. Menjelaskan pengertian surveilan.

  2. Menjelaskan tujuan surveilan.

  3. Menjelaskan metode pelaksanaan surveilan.

  D. Materi Bahasan

  Materi bahasan mata pelajaran ini terdiri dari 2 (dua) kegiatan belajar: 1. Konsep Dasar Surveilan.

2. Metode Pelaksanaan Surveilan.

BAB II KONSEP DASAR SURVEILAN Pengumpulan data untuk mengetahui kondisi dan trend terkait obat dan makanan

  sehingga tindakan penanggulangan yang tepat dapat dilakukan merupakan elemen penting dalam pengawasan obat dan makanan. Kegiatan ini berupa monitoring dan surveilan (Gambar 1). Monitoring didefinisikan sebagai pelaksanaan dan analisis kondisi secara rutin bertujuan untuk mendeteksi perubahan kondisi atau status kesehatan masyarakat (Wong, et al. 2005). Istilah surveilan berasal dari Bahasa Perancis yang berarti ‘mengawasi dengan lekat’ dan jika diterapkan untuk kesehatan masyarakat berarti pemantauan (monitoring) melekat kondisi kesehatan tertentu (misalnya penyakit, efek samping st obat, keracunan pangan) pada populasi. The 21 World Health Assembly tahun 1968 mendeskripsikan surveilan sebagai pengumpulan data secara sistematis dan pemanfaatan informasi epidemiologi untuk perencanaan, implementasi, dan asesmen pengendalian penyakit; dalam hal ini, surveilan berarti informasi untuk ditindaklanjuti (WHO 2003). Wong et al (2005) merangkum definisi surveilan sebagai pengumpulan, analisis, dan interpretasi data secara sistematis dan terus menerus serta diseminasi kepada pemangku kepentingan untuk ditindaklanjuti (Wong, et al. 2005). Oleh karenanya, hasil surveilan sangat bermanfaat untuk pengambilan keputusan yang lebih baik dalam rangka peningkatan kesehatan masyarakat.

  Gambar 1. Keterkaitan monitoring dan surveilan (Wong, et al. 2005)

  Tujuan utama surveilan adalah mengendalikan dampak buruk dari produk tercemar/ tidak memenuhi syarat/ ketentuan terhadap kesehatan konsumen (Wong, et al. 2005) dengan memanfaatkan data surveilan untuk penyusunan kebijakan dan program peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit (WHO 2003). FAO (2015) merinci tujuan surveilan dalam 5 kategori sebagai berikut:

  1. Memperkirakan (estimasi) tingkat cemaran produk atau dampak masalah (efek samping, keracunan)

  2. Memonitor kecenderungan (tren)

  3. Mendeteksi penyimpangan dan kejadian merugikan

  4. Meng-ases dan mengevaluasi program pengawasan

  5. Memperoleh data untuk analisis risiko Nsubuga et al (2006) mengadaptasi enam tahapan pengembangan sistem surveilan di mana sistem surveilan harus dapat beradaptasi dengan perubahan pada populasi maupun lingkungan fisik dan sosial (Gambar 2). Tujuan surveilan akan menentukan definisi operasional dari kegiatan surveilan. Petugas pelaksana yang kompeten secara teknis dan substansi menjadi faktor pendukung utama sehingga surveilan dapat dilaksanakan dengan baik dan memperoleh data yang akurat. Alat pengumpulan data dan permohonan/ perijinan/ persetujuan (sesuai kebutuhan) sehingga pengumpulan, analisis, dan diseminasi data dapat dilakukan perlu disiapkan. Implementasi sistem surveilan akan berjalan baik jika seluruh sumberdaya yang diperlukan tersedia memadai. Evaluasi kegiatan surveilan menjadi tahap penutup yang penting untuk mengetahui capaian tujuan surveilan, menentukan tindak lanjut serta mengidentifikasi upaya perbaikan/ peningkatan sistem sesuai kebutuhan. Pelaksanaan surveilan memerlukan penetapan indikator yang jelas. Indikator didefinisikan sebagai faktor yang terukur sehingga memungkinkan pengambil keputusan untuk memperkirakan secara obyektif besarnya masalah dan memonitor proses, produk, atau dampak suatu intervensi terhadap populasi (Nsubuga, et al. 2006). Indikator surveilan harus memiliki karakteristik dasar terkait validitas, reliabilitas, sensitivitas, dan spesifisitas. Indikator surveilan yang dipilih hendaknya memenuhi kriteria SMART yaitu Specific, Measurable, Achievable, Relevant, dan

  Time-bound (WHO-EMRO 2013). Contoh indikator adalah jumlah kejadian luar

  biasa (KLB) keracunan pangan berdasarkan tempat kejadian, proporsi obat yang menimbulkan efek samping pada pasien berdasarkan kelompok usia, atau persentase konsumen yang pernah mengalami efek samping kosmetika setidaknya satu kali dalam tiga bulan terakhir.

  Gambar 2. Elemen Pengembangan Sistem Surveilan (Nsubuga, et al. 2006) Tantangan utama implementasi surveilan di negara berkembang adalah bagaimana menjamin kualitas dan efektivitas surveilan dan penanggulangan dalam lingkungan desentralisasi. Selain itu, kesenjangan utama dalam pelaksanaan surveilan yang efektif dijumpai antara cara memperoleh data, kemampuan untuk mengonversi data menjadi informasi yang dapat digunakan (usable), dan inisiasi tindak lanjut yang sesuai. Gambar 3 menunjukkan surveilan dan respon dalam dua bagian yaitu bagian perolehan data (data generation hemisphere) sebagai surveilan dari sudut pandang ‘tradisional’ dan bagian penggunaan data (data use hemisphere) sebagai respon/ tanggapan yang dimulai dengan interpretasi data surveilan.

  Gambar 3. Kerangka kerja konseptual surveilan dan respon (Nsubuga, et al. 2006) Data/ informasi surveilan umumnya dianalisis menurut waktu, tempat, dan orang.

  Data direviu secara berkala untuk memastikan validitasnya. Data disajikan secara ringkas dalam bentuk tabel dan grafik. Diseminasi data tepat waktu kepada pembuat kebijakan dan pelaksana program intervensi menjadi titik kritis pemanfaatan data surveilan (Nsubuga, et al. 2006).

  Reviu dan penentuan prioritas surveilan perlu dilakukan secara berkala menyesuaikan dengan trend terbaru dan ketersediaan sumberdaya (Gambar 4). Prioritasi obyek surveilan menjadi langkah awal memperkuat sistem surveilan nasional, dapat dilakukan sebelum atau segera setelah asesmen/ evaluasi sistem surveilan yang ada dan sebelum pengembangan rencana aksi (WHO 2006).

  Gambar 4. Siklus kegiatan penguatan sistem surveilan (WHO 2006)

BAB III METODE PELAKSANAAN SURVEILAN Pengumpulan data sebagai komponen utama surveilan diklasifikasikan menjadi

  pasif atau aktif. Pengumpulan data secara aktif dilakukan dengan sistematis atau regular untuk memperoleh data suatu kejadian di lapangan (FAO 2015). Sistem surveilan aktif menempatkan staf yang khusus bertugas menghubungi unit pelayanan kesehatan atau menemui kelompok masyarakat/ populasi untuk memperoleh data/ informasi tentang kondisi yang menjadi tema surveilan. Metode ini menyediakan informasi paling akurat pada waktunya tetapi memerlukan biaya mahal (Nsubuga, et al. 2006). Contohnya pengumpulan data pada saat kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan di mana tim gerak cepat menghubungi unit pelayanan kesehatan atau datang ke lokasi KLB untuk mengumpulkan data dari korban, mengamankan sampel pangan yang dicurigai untuk kemudian diuji di laboratorium, dan mengumpulkan informasi lainnya. Sedangkan data yang dikumpulkan secara pasif berasal dari laporan kejadian atau notifikasi yang dikirimkan pihak lain, seperti instansi lain atau rumah sakit, kepada instansi yang mengumpulkan data. Oleh karena surveilan pasif tergantung pada kesediaan instansi lain untuk memberikan data, maka kualitas data dan ketepatan waktu pengumpulan data susah dikendalikan (Nsubuga, et al. 2006). Contohnya laporan efek samping obat yang dikirimkan oleh petugas kesehatan kepada BPOM.

  Sumber data surveilan dapat berupa data primer atau sekunder. Data primer dikumpulkan melalui kegiatan pengumpulan data (misalnya survei) yang khusus dikembangkan dan didisain untuk memonitor kondisi tertentu secara langsung ke obyek pengumpulan data (misalnya peredaran produk pangan mengandung pemanis buatan di ritel modern, pemahaman konsumen terhadap label produk). Data primer hasil survei nasional dapat dilakukan secara periodik setiap 3-5 tahun hingga 10 tahun menyesuaikan dengan ketersediaan sumberdaya. Namun periode pelaksanaan tersebut masih mencukupi untuk memperoleh informasi perubahan/ trend topik/ masalah yang disurvei dan perkembangan baru terkait lainnya (WHO- EMRO 2013). Data sekunder diperoleh dari sumber data terpercaya, misalnya Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dari Badan Pusat Statistik, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dan Survei Konsumsi Makanan Individu (SKMI) dari Kementerian Kesehatan, dan penolakan impor (import refusal) dari laman web US

  Food and Drug Administration (US FDA). Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan

  ketika mengevaluasi sumber data sekunder yang akan diakses di antaranya (WHO- EMRO 2013):

  Periode pengumpulan data (ad hoc, periodik, terus menerus)

   Frekuensi pengumpulan data (mingguan, bulanan, tahunan)

   Level agregrat data (individu, rumah tangga, nasional)

   Ukuran sampel dan strategi sampling

   Format penyimpanan data (elektronik, kertas hardcopy)

   Ketersediaan dan biaya memperoleh data  Sistem surveilan hendaknya dikembangkan dan dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan top management/ pembuat kebijakan/ pimpinan instansi akan ketersediaan data/ bukti (evidence) yang fokus, handal (reliabel), dan tepat pada waktunya; dikumpulkan secara efisien dan disajikan dengan efektif. Beberapa metode pelaksanaan surveilan diulas berikut ini.

  1. Surveilan sentinel Kegiatan surveilan sentinel dilakukan dengan mengumpulkan data dari sumber data/ laporan yang bersedia melaporkan seluruh kejadian sebagaimana didefinisikan dalam surveilan tersebut. Sampel atau populasi surveilan sentinel dianggap menunjukkan trend masalah pada keseluruhan populasi yang menjadi target. Surveilan sentinel menjadi metode yang efektif, terutama jika sumberdaya terbatas, untuk memonitor masalah yang biasa atau sering terjadi.

  Surveilan sentinel bermanfaat untuk mendeteksi masalah kesehatan masyarakat yang luas tetapi kurang sensitif untuk masalah yang jarang terjadi (Nsubuga, et al. 2006). Contoh surveilan sentinel adalah jejaring petugas kesehatan yang melaporkan efek samping obat kepada BPOM atau sistem sentinel berbasis laboratorium yang melaporkan hasil uji Salmonella spp pada produk pangan mengandung telur.

  2. Survei periodik berbasis populasi Survei berbasis populasi dapat digunakan untuk surveilan jika pelaksanaannya dilakukan berulang secara reguler pada periode tertentu. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam survei ini adalah metodologi, khususnya protokol standar yang digunakan, supervisi pewawancara, strategi sampling, dan kuesioner yang terstandardisasi. Definisi populasi yang menjadi target survei juga harus jelas dan jumlah responden harus mewakili sehingga hasilnya dapat digeneralisasi untuk keseluruhan populasi (Nsubuga, et al. 2006). Tergantung tema survei, karakteristik tertentu dari responden (misalnya tingkat pendidikan, sedang hamil/ menyusui atau tidak) juga perlu diperhatikan. Contoh survei ini adalah survei penggunaan kosmetik oleh wanita dewasa, survei awareness keamanan pangan konsumen, dan survei persepsi masyarakat tentang BPOM.

  3. Surveilan berbasis laboratorium Surveilan laboratorium mengandalkan hasil uji sampel produk oleh laboratorium seperti pengujian bakteri patogen, toksin, dan bahaya lainnya. Skema sampling yang sistematis akan memberikan data lebih baik daripada sampel yang diambil secara serampangan dari laporan umum (yang tidak ditujukan khusus untuk surveilan) (Nsubuga, et al. 2006). Kelebihan dari surveilan berbasis laboratorium adalah data yang yang diperoleh memiliki spesifisitas dan mutu tinggi. Metode ini dianggap paling bermanfaat untuk memantau trend penyakit akibat pangan dan bahaya pada pangan dalam jangka panjang. Kelemahan dari metode surveilan ini adalah ketergantungan pada sampel yang diserahkan ke laboratorium untuk diuji dan ketersediaan infrastruktur (misalnya instrumen pengujian yang mahal) dan sumberdaya manusia terlatih. Molecular subtyping,

  

next generation gene-based, dan forensik kimia adalah beberapa teknologi

  pengujian terkini yang memperluas manfaat surveilan berbasis laboratorium sehingga dapat menemukan keterkaitan antara dampak merugikan kesehatan

  (misalnya keracunan) dengan sumber penyebabnya (misalnya pangan tercemar) menggunakan molecular fingerprinting dan wholegenome sequencing (FAO 2015). Contoh surveilan laboratorium adalah surveilan bakteri patogen pada rantai produksi minuman es dengan metode molekuler.

  4. Surveilan terintegrasi Sistem surveilan terintegrasi memadukan data dari berbagai sumber seperti data dari manusia, hewan, pangan, obat, dan lingkungan. Pendekatan ini didasari oleh kompleksitas saling keterkaitan antara manusia, hewan, dan lingkungan hanya dapat dijelaskan dengan program multi disiplin yang terintegrasi dengan baik (FAO 2015). Contoh surveilan terintegrasi dapat dilihat pada panduan surveilan terintegrasi untuk resistensi antimikroba foodborne

  

bacteria sebagai pedoman standar yang dapat diacu untuk sampling dan

pengujian bakteri; analisis data dan pelaporan (WHO 2013).

  Daftar Pustaka

  FAO. Enhancing Early Warning Capabilities and Capacities for Food Safety- Training Handbook. Rome, 2015. Nsubuga, Peter , et al. "Public Health Surveillance: A Tool for Targeting and

  Monitoring Interventions." In Disease Control Priorities in Developing

  

Countries, by Dean T Jamison, et al., 997-1015. Oxford University Press,

2006.

  WHO. Foodborne disease outbreaks: guidelines for investigation and control. 2008. —. Integrated surveillance of antimicrobial resistance: guidance from a WHO advisory group. Geneva, Switzerland, 2013.

  —. Setting priorities in communicable disease surveillance. 2006. —. STEPS: A framework for surveillance. 2003. WHO-EMRO. Food and nutrition surveillance systems: Technical guide for the development of food and nutrition surveillance system. Egypt, 2013.

  Wong, Lo Fo, J.K. Andersen, B Nørrung, and H.C. Wegener. "Food Contamination Monitoring and Food-borne Disease Surveillance at National Level."

  FAO/WHO Global Forum of Food Safety Regulators, held in Bangkok, Thailand, 12–14 October. 2005.