MODUL MATERI UJIAN PERPINDAHAN JABATAN FUNGSIONAL PENGAWAS FARMASI DAN MAKANAN TERAMPIL KE AHLI PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) BADAN POM RI

MODUL MATERI UJIAN PERPINDAHAN JABATAN FUNGSIONAL PENGAWAS FARMASI DAN MAKANAN TERAMPIL KE AHLI PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) BADAN POM RI MATA PELAJARAN : KONSEP DASAR SERTIFIKASI BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Deskripsi Singkat

Dalam Modul ini dibahas 3 hal utama, yaitu

1. Definisi

2. Dasar Hukum

3. Prosedur Sertifikasi Obat, Obat Tradisional, Kosmetika , Produk Komplemen dan Makanan dan Kemasan Pangan.

B. Tujuan Pembelajaran Umum (TPU)

Setelah mempelajari modul ini para peserta diharapkan mampu mengetahui proses :

1. Pelaksanaan Sertifikasi Obat, Kosmetika,Obat Tradisional, Makanan dan

2. Pelaksanaan. Pengeluaran Surat Keterangan Impor (SKI) serta Pengeluaran Surat Keterangan Ekspor (SKE) untuk Obat, Obat Tradisional, Kosmetika , Produk Komplemen dan Makanan.

C. Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK)

Setelah mempelajari modul ini, para peserta Diklat diharapkan dapat :

1. Memahami tentang definisi dan dasar hukum pelaksanaan sertifikasi Obat, Obat Tradisional, Kosmetika , dan Makanan.

2. Memahami tentang definisi dan dasar hukum Pengeluaran Surat Keterangan Impor (SKI) dan Pengeluaran Surat Keterangan Ekspor (SKE) untuk Obat Tradisional, Kosmetika , Produk komplemen, dan Kemasan Pangan.

3. Mampu memahami prinsip-prinsip pembuatan obat yang baik.

4. Mampu memahami prinsip-prinsip pembuatan makanan yang baik.

5. Mampu memahami prinsip-prinsip pembuatan obat tradisional yang baik.

6. Mampu memahami prinsip-prinsip pembuatan kosmetik yang baik.

7. Memahami proses pelaksanaan sertifikasi Obat, Obat Tradisional, Kosmetika dan Makanan.

8. Memahami proses pelaksanaan Pengeluaran Surat Keterangan Impor (SKI) dan Pengeluaran Surat Keterangan Ekspor (SKE) untuk Obat, Obat Tradisional, Kosmetika, Produk Komplemen dan Makanan

D. Materi Bahasan

Materi bahasan mata pelajaran ini terdiri dari 3 (tiga) kegiatan belajar:

1. Definisi dan Dasar Hukum Sertifikasi Obat, Obat Tradisional, Kosmetika dan Makanan

2. Definisi dan Dasar Hukum definisi dan dasar hukum Pengeluaran Surat Keterangan Impor (SKI) dan Pengeluaran Surat Keterangan Ekspor (SKE) untuk Obat Tradisional, Kosmetika , produk komplemen dan Kemasan Pangan

3. Cara Produksi /Pembuatan Yang Baik :

a. Cara Pembuatan Obat Yang Baik

b. Cara Produksi Makanan yang Baik;

c. Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik;

d. Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik;

4. Prosedur Pelaksanaan Sertifikasi Obat, Obat Tradisional, Kosmetika dan Makanan

5. Prosedur Pengeluaran Surat Keterangan Impor (SKI) dan Pengeluaran Surat Keterangan Ekspor (SKE) untuk Obat Tradisional, Kosmetika , Produk Komplemen, dan Kemasan Pangan

BAB II DEFINISI DAN DASAR HUKUM PELAKSANAAN SERTIFIKASI OBAT, OBAT TRADISIONAL, KOSMETIK ,PRODUK KOMPLEMEN , MAKANAN DAN KEMASAN PANGAN

A. Latar Belakang

Pembangunan yang berkesinambungan melalui layanan importasi kepada para pengguna jasa, importir, distributor menjadi fokus Badan POM, sebagai wujud abdi kepada masyarakat usaha. Kemudahan importasi bagi dunia usaha, tentu mempunyai dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi pada umumnya. Kemudahan importasi obat, obat tradisional, kosmetika, produk komplemen dan pangan difasilitasi secara elektronik menggunakan aplikasi e-bpom. Kemudahan itu tidak mengorbankan hak masyarakat untuk memperoleh obat dan makanan yang berkhasiat, bermanfaat dan bermutu. Badan POM tetap konsekuen melakukan program kerja pengawasan sesuai misinya melindungi masyarakat dari obat dan makanan yang berisiko terhadap kesehatan. Untuk menyeragamkan pengawasan pemasukan agar bahan baku obat, bahan tambahan obat, bahan baku PKRT, baku pembanding, bahan analisis laboratorium, bahan baku obat tradisional, bahan baku produk komplemen, bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, obat jadi, vaksin, obat tradisional, kosmetika, produk komplemen, produk pangan serta bahan kimia/bahan baku peruntukan bukan untuk obat, obat tradisional, produk komplemen dan pangan (dengan lartas masuk Ke Badan POM) sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku maka dilakukan sertifikasi dengan penerbitan SKI oleh Badan POM.

Untuk menjamin bahwa obat yang diproduksi dan kemudian di ekspor perlu juga dijamin mutu dan kualitasnya sehingga perlu ditetapkan acuan / pedoman dalam rangka melaksanakan Sertifikasi Surat Keterangan Ekspor (SKE) produk jadi obat, vaksin, obat tradisional, kosmetika, produk komplemen, pangan olahan, bahan baku obat, bahan baku obat tradisional, bahan baku produk komplemen, bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, dan kemasan pangan maka perlu ditetapkan.........

B. DEFINISI

a. Surat Keterangan Impor(SKI) elektronik

Surat keterangan yang diterbitkan oleh Badan POM atau Balai Besar/Balai POM dengan sistem NSW Badan POM yang dibutuhkan untuk mengeluarkan bahan baku obat, bahan tambahan obat, bahan baku PKRT, baku pembanding, bahan analisis laboratorium, bahan baku obat tradisional, bahan baku produk komplemen, bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, obat jadi, vaksin, obat tradisional, kosmetika, produk komplemen, produk pangan serta bahan kimia/bahan baku peruntukan bukan untuk obat, obat tradisional, produk komplemen dan pangan olahan (dengan lartas masuk Ke Badan POM) dari Pabean

b. Surat Keterangan Impor(SKI) manual

Surat keterangan yang diterbitkan oleh Badan POM atau Balai Besar/Balai POM secara manual yang dibutuhkan untuk mengeluarkan bahan baku obat, bahan tambahan obat, bahan baku PKRT, baku pembanding, bahan analisis laboratorium, bahan baku obat tradisional, bahan baku produk komplemen, bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, obat jadi, vaksin, obat tradisional, kosmetika, produk Surat keterangan yang diterbitkan oleh Badan POM atau Balai Besar/Balai POM secara manual yang dibutuhkan untuk mengeluarkan bahan baku obat, bahan tambahan obat, bahan baku PKRT, baku pembanding, bahan analisis laboratorium, bahan baku obat tradisional, bahan baku produk komplemen, bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, obat jadi, vaksin, obat tradisional, kosmetika, produk

c. Surat Keterangan Ekspor(SKE)

Surat keterangan yang diterbitkan oleh Badan POM atau Balai Besar/Balai POM yang dibutuhkan oleh industri untuk mengekspor produk jadi obat, vaksin, obat tradisional, kosmetika, produk komplemen, produk pangan, bahan baku obat, bahan baku obat tradisional, bahan baku kosmetika, bahan baku produk komplemen, bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, dan kemasan pangan.

d. Surat Persetujuan Import (SPI) dan Surat Persetujuan Eksport (SPE) Narkotika, Psikotropika dan Prekursor.

(i) SPI dan SPE Narkotika

Kegiatan Importasi dan eksportasi narkotika hanya dapat dilakukan oleh satu Pedagang Besar Farmasi milik negara yang telah memiliki izin khusus yang dikeluarkan oleh Menteri sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setiap kali melakukan impor narkotika harus dilengkapi dengan SPI yang dikeluarkan oleh Menteri. SPI sebagaimana dimaksud akan diberikan berdasarkan hasil audit Kepala Badan POM terhadap rencana kebutuhan dan realisasi produksi dan/atau penggunaan narkotika. SPI untuk narkotika golongan 1 dalam jumlah sangat terbatas hanya dapat diberikan untuk kepentingan pengembangan IPTEK. SPI disampaikan kepada pemerintah negara pengekspor. Eksportir narkotika harus memiliki SPE dari Menteri untuk setiap kali melakukan ekspor narkotika dan untuk memperoleh SPE narkotika tersebut pemohon harus melampirkan surat persetujuan dari negara pengimpor.

(ii) SPI dan SPE Psikotropika Kegiatan importasi psikotropika hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat atau PBF yang telah memiliki izin sebagai importir sesuai peraturan perundang- undangan yang berlaku serta lembaga penelitia atau lembaga pendidikan; kegiatan eksportasi psikotropika hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat atau PBF yang telah memiliki izin sebagai eksportir sesuai peraturan perundang- undangan yang berlaku. SPI psikotropika golongan 1 hanya dapat diberikan untuk kepentingan Ilmu Pengetahuan. Setiap kali melakukan kegiatan impor dan ekspor psikotropika harus memperoleh SPI atau SPE dari menteri.

(iii) SPI dan SPE Prekursor.

Kegiatan impor dan ekspor prekursor hanya dapat dilakukan oleh badan usaha yang memiliki izin usaha importir atau eksportir. Setiap melakukan kegiatan impor dan ekspor harus memperoleh SPI atau SPE dan dilengkapi dengan dokumen yang sah.

(iv) Prosedur pelaksanaan penerbitan ANALISA HASIL PENGAWASAN (AHP) Berkas permohonan AHP untuk melakukan kegiatan impor dan ekspor diterima oleh Badan POM R.I dari Direktur Jenderal Binfar dan Alkes Kemenkes R.I untuk dievaluasi. Evaluasi dilakukan untuk berkas AHP yang sudah lengkap, apabila berkas AHP tidak lengkap akan dibuat surat pengembalian untuk melengkapi berkas kepada pemohon. Evaluasi terhadap kelengkapan berkas permohonan impor dan ekspor dilakukan dengan menggunakan format sesuai ketentuan dengan mempertimbangkan beberapa faktor a.l: kelengakapan dan keabsahan surat permohonan, fotocopy SPI atau SPE sebelumnya, fotokopi Nomor Izin Edar (NIE) atau surat Hasil Pra Registrasi untuk obat jadi yang sedang dalam proses registrasi, kopi surat penunjukan sebagai Importir Produsen atau Importir Terdaftar yang masih berlaku, estimasi kebutuhan bahan baku/obat jadi untuk 1 tahun kedepan, laporan realisasi impor sebelumnya, surat pernyataan disertai alasan yang mendukung apabila ada kenaikan estimasi kebutuhan 50% dibanding permintaan sebelumnya. Khusus untuk narkotika diberlakukan pengaturan yang lebih ketat dengan mengacu kepada kouta INCB, diperlukan persetujuan INCB untuk kuota yang melebihi kuota INCB. Permohonan AHP yang disetujui atau disetujui dengan pengurangan akan diterbitkan AHP yang ditandatangani oleh Ka Badan POM untuk diberikan kepada Dirjen Binfar dan Alkes Kemenkes R.I, kepada pemohon dan arsip. Berdasarkan AHP tersebut akan dikeluarkan SPI atau SPE oleh Kemenkes R.I. Apabila permohonan yang dajukan ditolak Badan POM R.I akan membuatkan surat pengembalian AHP kepada Dirjen Binfar dan Alkes Kemenkes R.I. Direktorat Pengawasan Napza menerima: copy SPI atau SPE dari Dirjen Binfar dan Alkes Kemenkes R.I, laporan realisasi impor/ekspor dari importir/eksportir untuk setiap kali kegiatan impor/ekspor maksimal 14 hari setelah

diterima/dikirim; Endorsement/dokumen ekspor dari negara pengekspor untuk dievaluasi kesesuaiannya dan dilakukan tindaklanjut apabila diperlukan.

narkotika,

psikotropika

dan

prekursor prekursor

Seluruh aspek dalam praktek yang ditetapkan yang secara kolektif menghasilkan produk akhir atau layanan yang secara konsisten memenuhi spesifikasi yang sesuai serta mengikuti peraturan nasional dan internasional.

f. CPMB adalah pedoman yang memberikan penjelasan mengenai cara produksi makanan yang baik pada seluruh rantai makanan, mulai dari produksi promer sampai konsumen akhir, menekankan pengawasan terhadap higiene pada setiap tahap.

g. CPOTB (Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik)

CPOTB adalah bagian dari Pemastian Mutu yang memastikan bahwa obat tradisional dibuat dan dikendalikan secara konsisten untuk mencapai standar mutu yang sesuai dengan tujuan penggunaan dan dipersyaratkan dalam izin edar dan spesifikasi produk.

h. CPKB(Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik)

Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik (CPKB) merupakan salah satu faktor penting untuk dapat menghasilkan produk kosmetik yang memenuhi standar mutu dan keamanan. Mengingat pentingnya penerapan CPKB maka pemerintah secara terus menerus memfasilitasi industri kosmetik baik skala besar maupun kecil untuk dapat menerapkan CPKB melalui langkah-langkah dan pentahapan yang terprogram.

C. DASAR HUKUM

a. Impor dan Ekpor Narkotika, Psikotropika dan Prekursor

1. Undang - Undang RI No. 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika, 1961 beserta Protokol yang mengubahnya

2. Undang - Undang RI No.8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika, 1971

3. UU No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika

4. Undang - Undang RI No.7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988

5. UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika

6. Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2010 tentang Prekursor

7. Keputusan Presiden RI No 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Non Departemen sebagaimana telah diubah beberapa kali dan yang terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2004

8. Permenkes RI No. 785/Menkes/Per/VII/1997 tentang Impor Ekspor Psikotropika

9. Permenkes RI No. 168/Menkes/Per/II/2005 tentang Prekursor Farmasi

b. Pengeluaran Surat Keterangan Impor (SKI) dan Pengeluaran Surat Keterangan Ekspor (SKE) untuk Obat Tradisional, Kosmetika , produk komplemen dan Kemasan Pangan.

Dasar hukum Pengeluaran Surat Keterangan Impor (SKI) dan Pengeluaran Surat Keterangan Ekspor (SKE) untuk Obat Tradisional, Kosmetika , Produk Komplemen dan Kemasan Pangan adalah sebagai berikut :

1. Undang-Undang RI No. 18 tahun 2012 tentang Pangan

2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

3. Undang-Undang RI No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 No. 1441, Tambahan Lembaran Negara No. 5063)

4. Peraturan Pemerintah No. 13 tahun 1995 tentang Izin Usaha Industri

5. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan

6. Peraturan Pemerintah No. 48 tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada Badan Pengawas Obat dan Makanan

7. Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan

8. Peraturan Pemerintah RI No. 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 No. 138, Tambahan Lembaran Negara No. 3781)

9. Keputusan Presiden No. 10 Tahun 2008 pasal 9 tentang Penggunaan Sistem elektronika dalam Kerangka INSW

10. Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departeman sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden No. 64 Tahun 2005

11. Keputusan Presiden No. 110 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi Dan Tugas Eselon I Lembaga Pemerintah Non Departeman sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden No. 11 Tahun 2004

12. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 152/Menkes/SK/II/1995 tentang Makanan Iradiasi

13. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 246/Menkes/Per/V/1990 Tentang Izin Usaha Industri Obat Tradisional dan Pendaftaran Obat Tradisional

14. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 329/Menkes/Per/XII/1976 tentang Produksi dan Peredaran Makanan

15. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 661/Menkes/SK/VII/1994 Tentang Persyaratan Obat Tradisional

16. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 033 tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan

17. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1010/Menkes/Per/XI/2008 tentang Registrasi Obat

18. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1175/Menkes/Per/VIII/2010 Tentang Izin Produksi Kosmetika

19. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1176/Menkes/Per/VIII/2010 Tentang Notifikasi Kosmetika

20. Peraturan Menteri Kesehatan No.1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi

21. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia No. 3/Kep/M.Pan/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik

22. Keputusan Menko Perekonomian Republik Indonesia No. 5/2007 tentang Tim Persiapan National Single Window

23. SK Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 23 Tahun 1978 tentang Cara Produksi yang Baik untuk Makanan

24. SK Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 00474/B/II/87 tentang Keharusan Menyertakan Sertifikat Kesehatan dan Sertifikat Bebas radiasi Untuk makanan Impor

25. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.00.05.1.42.0115 tentang Pengawasan Pemasukan Bahan Baku Obat Tradisional

26. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.00.05.4.1380 Tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik

27. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.00.05.41.1381 Tentang Tata Laksana Pendaftaran Suplemen Makanan

28. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.00.05.41.1384 tentang Kriteria Dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar Dan Fitofarmaka

29. Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor HK. 00.06.3.4658 tahun 2005 tentang Masa Berlaku Sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik

30. Peraturan Kepala Badan POM No.HK.03.01.23.09.10.9030 tahun 2010 tentang revisi Peraturan Kepala Badan POM No.HK.00.05.3.0027 tahun 2006 tentang Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik tahun 2006

31. Peraturan Kepala Badan POM No.HK.04.1.33.12.11.09937 tahun 2011 tentang Tata Cara Sertifikasi CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik).

32. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.00.05.3.1455 Tanggal 24 Maret 2008 tentang Pengawasan Pemasukan Pangan Olahan

33. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.00.05.42.2996 tentang Pengawasan Pemasukan Obat Tradisional

34. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.03.1.23.04.11.03724 Tentang Pengawasan Pemasukan Kosmetika

35. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.00.06.1.52.4011 tanggal 28 Oktober 2009 tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan

36. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK. 03.42.06.10.4556 Tentang Petunjuk Operasional Pedoman Cara Pembuatan Kosmetika Yang Baik

37. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK 00.05.55.6497 Tahun 2007 tentang Bahan Kemasan Pangan

38. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.03.1.23.12.10.11983 Tahun 2010 Tentang Kriteria Dan Tata Cara Pengajuan Notifikasi Kosmetika

39. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.03.1.23.12.10.12459 Tahun 2010 Tentang Persyaratan Teknis Kosmetika

40. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.00.05.3.1950 Tahun 2003 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat

41. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.00.05.3.2522 Tahun 2003 tentang Penerapan Pedoman Cara Distribusi Obat yang Baik

42. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.00.05.1.3459 tentang Pengawasan Pemasukan Obat Impor

43. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.00.05.1.3460 tentang Pengawasan Pemasukan Bahan Baku Obat

44. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.00.05.4.3870 Tentang Pedoman Cara Pembuatan Kosmetika Yang Baik

45. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik IndonesiaNo. 02001/SK/KBPOM tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Kepala Badan Pengawa Peraturan Kepala Badan POM No. HK.00.05.23.4415 tahun 2008 tentang Pemberlakuan Sistem Elektronik dalam Rangka National Single Window

46. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.00.05.23.4416 Tahun 2008 tentang Penetapan Tingkat Layanan (Service Level Arrangement) di lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan dalam Kerangka Indonesia National Single Window

47. SK Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.00/05.1.2569 tentang Kriteria dan Tata Laksana Penilaian Produk Pangan SK Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.00.05.23.3644 Tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Suplemen Makanan

48. SK Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.00.05.52.4040 tanggal 09 Oktober 2006 tentang Kategori Pangan

49. SK Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.00.05.5.1.4547 tanggal 21 Oktober 2004 tentang persyaratan penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam Produk Pangan

50. SK Direktur Jenderal POM No. 02665/B/SK/VIII/1991 tentang Cara Produksi Makanan Bayi dan Anak

51. WHO Certification Scheme on The Quality of Pharmaceutical Products Moving in International Commerce, WHO, 1997

52. Peraturan Kepala Badan POM RI No. HK.00.05.55.6497 tahun 2007 tentang Bahan Kemasan Pangan;

53. Peraturan Kepala Badan POM RI No.HK.03.1.23.07.11.6664 tahun 2011 tentang Pengawasan Kemasan Pangan

54. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 006 TAHUN 2012 Tentang Industri dan usaha Obat Tradisional

55. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 007 TAHUN 2012 Tentang registrasi Obat Tradisional

b. CPOTB/CPKB

Dasar hukur dari CPOTB dan CPKB adalah sebagai berikut

1. Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2010 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pengawas Obat dan Makanan

2. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1175/Menkes/Per/VIII/2010 Tentang Izin Produksi Kosmetika

3. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1176/MenKes/Per/VIII/2010 tentang Notifikasi Kosmetika

4. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 661/Menkes/SK/VII/1994 Tentang Persyaratan Obat Tradisional

5. Peraturan Kepala Badan POM RI No. HK. 00.05.4.1380 Tahun 2005 tentang Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik

6. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK. 03.42.06.10.4556 Tentang Petunjuk Operasional Pedoman Cara Pembuatan Kosmetika Yang Baik

7. Peraturan Kepala Badan POM RI No. HK.03.1.23.12.10.11983 Tahun 2010 tentang Kriteria dan Tata cara Pengajuan Notifikasi Kosmetik

8. Peraturan Kepala Badan POM RI No. HK.03.1.23.12.10.12123 Tahun 2010 tentang Pedoman Dokumen Informasi Produk

9. Peraturan Kepala Badan POM RI No. HK.03.1.23.12.10.12459 Tahun 2010 tentang Persyaratan Teknis Kosmetika

10. Keputusan Kepala Badan POM RI No. HK.04.1.23.07.11.5682 tentang Pendelegasian Wewenang Penandatangan Pengesahan Denah Bangunan dan Surat Perintah Pemeriksaan dalam Proses Permohonan Izin Produksi Kosmetik

11. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 006 TAHUN 2012 Tentang Industri dan usaha Obat Tradisional

12. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 007 TAHUN 2012 Tentang registrasi Obat Tradisional

BAB III CARA PRODUKSI YANG BAIK

A. CARA PEMBUATAN OBAT YANG BAIK

Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) bertujuan untuk menjamin obat dibuat secara konsisten, memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan sesuai dengan tujuan penggunaannya. CPOB mencakup seluruh aspek produksi dan pengendalian mutu.

Pada pembuatan obat, pengendalian menyeluruh adalah sangat esensial untuk menjamin bahwa konsumen menerima obat yang bermutu tinggi. Pembuatan secara sembarangan tidak dibenarkan bagi produk yang digunakan untuk menyelamatkan jiwa, atau memulihkan atau memelihara kesehatan.

Pemastian mutu suatu obat tidak hanya mengandalkan pada pelaksanaan pengujian tertentu saja; namun obat hendaklah dibuat dalam kondisi yang dikendalikan dan dipantau secara cermat. Terdapat 12 Aspek dalam Cara Pembuatan Obat yang Baik, yaitu:

1. MANAJEMEN MUTU

Industri farmasi harus membuat obat sedemikian rupa agar sesuai dengan tujuan penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam dokumen izin edar (registrasi) dan tidak menimbulkan risiko yang membahayakan penggunanya karena tidak aman, mutu rendah atau tidak efektif. Manajemen bertanggung jawab untuk pencapaian tujuan ini melalui suatu “Kebijakan Mutu”, yang memerlukan partisipasi dan komitmen dari semua jajaran di semua departemen di dalam perusahaan, para pemasok dan para distributor. Untuk mencapai tujuan mutu secara konsisten dan dapat diandalkan, diperlukan manajemen mutu yang didesain secara menyeluruh dan diterapkan secara benar. Unsur dasar manajemen mutu adalah :

 Suatu infrastruktur atau sistem mutu yang tepat mencakup struktur organisasi, prosedur, proses dan sumber daya; dan

 Tindakan sistematis diperlukan untuk mendapatkan kepastian dengan tingkat

kepercayaan yang tinggi, sehingga produk (atau jasa pelayanan) yang dihasilkan akan selalu memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Keseluruhan tindakan tersebut disebut Pemastian Mutu.

Semua bagian sistem Pemastian Mutu hendaklah didukung dengan tersedianya personil yang kompeten, bangunan dan sarana serta peralatan yang cukup dan memadai. Tambahan tanggung jawab hukum hendaklah diberikan kepada kepala bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu).

1. Konsep dasar Pemastian Mutu, CPOB dan Pengawasan Mutu adalah aspek manajemen mutu yang saling terkait. Konsep tersebut diuraikan di sini untuk menekankan hubungan dan betapa pentingnya unsur-unsur tersebut dalam produksi dan pengendalian obat.

2. Pemastian Mutu adalah suatu konsep luas yang mencakup semua hal baik secara tersendiri maupun secara kolektif, yang akan memengaruhi mutu dari obat yang dihasilkan. Pemastian Mutu adalah totalitas semua pengaturan yang dibuat dengan tujuan untuk memastikan bahwa obat dihasilkan dengan mutu yang sesuai dengan tujuan pemakaiannya. Karena itu Pemastian Mutu mencakup CPOB ditambah dengan faktor lain di luar Pedoman ini, seperti desain dan pengembangan produk.

3. CPOB adalah bagian dari Pemastian Mutu yang memastikan bahwa obat dibuat dan dikendalikan secara konsisten untuk mencapai standar mutu yang sesuai dengan tujuan penggunaan dan dipersyaratkan dalam izin edar dan spesifikasi produk.

CPOB mencakup Produksi dan Pengawasan Mutu.

4. Pengawasan Mutu adalah bagian dari CPOB yang berhubungan dengan pengambilan sampel, spesifikasi dan pengujian, serta dengan organisasi, dokumentasi dan prosedur pelulusan yang memastikan bahwa pengujian yang diperlukan dan relevan telah dilakukan dan bahwa bahan yang belum diluluskan tidak digunakan serta produk yang belum diluluskan tidak dijual atau dipasok sebelum mutunya dinilai dan dinyatakan memenuhi syarat. Setiap industri farmasi hendaklah mempunyai fungsi Pengawasan Mutu yang independen dari bagian lain.

5. Pengkajian mutu produk secara berkala hendaklah dilakukan terhadap semua obat terdaftar, termasuk produk ekspor, dengan tujuan untuk membuktikan konsistensi proses, kesesuaian dari spesifikasi bahan awal, bahan pengemas dan obat jadi, untuk melihat tren dan mengidentifikasi perbaikan yang diperlukan untuk produk dan proses. Pengkajian mutu produk secara berkala biasanya dilakukan tiap tahun dan didokumentasikan.

2. PERSONALIA

Sumber daya manusia sangat penting dalam pembentukan dan penerapan sistem pemastian mutu pembuatan obat yang benar. Industri farmasi hendaklah memiliki struktur organisasi dan personil yang terkualifikasi dan dalam jumlah yang memadai. Personil hendaklah memahami prinsip CPOB dan memperoleh pelatihan awal dan berkesinambungan. Personil Kunci mencakup kepala bagian Produksi, kepala bagian Pengawasan Mutu dan kepala bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu). Posisi utama tersebut dijabat oleh personil purnawaktu. Kepala bagian Produksi dan kepala bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu) / kepala bagian Pengawasan Mutu harus independen satu terhadap yang lain.

Industri farmasi hendaklah memberikan pelatihan bagi seluruh personil yang karena tugasnya harus berada di dalam area produksi, gudang penyimpanan atau laboratorium (termasuk personil teknik, perawatan dan petugas kebersihan), dan bagi personil lain yang kegiatannya dapat berdampak pada mutu produk. Pelatihan bagi personil adalah berupa pelatihan dasar dalam teori dan praktik CPOB, serta pelatihan spesifik sesuai dengan pekerjaan yang berkaitan.

3. BANGUNAN DAN FASILITAS PRINSIP

 Memiliki desain, konstruksi dan letak yang memadai, serta disesuaikan kondisinya dan dirawat dengan baik untuk memudahkan pelaksanaan operasi yang benar.  Tata letak dan desain ruangan harus dibuat sedemikian rupa untuk memperkecil risiko

terjadinya kekeliruan, pencemaran-silang dan kesalahan lain, dan memudahkan pembersihan, sanitasi dan perawatan yang efektif untuk menghindari pencemaran-silang, penumpukan debu atau kotoran, dan dampak lain yang dapat menurunkan mutu obat.

UMUM

1. Desain dan tata letak ruang hendaklah memastikan :

a) kompatibilitas dengan kegiatan produksi lain yang mungkin dilakukan di dalam sarana yang sama atau sarana yang berdampingan; dan a) kompatibilitas dengan kegiatan produksi lain yang mungkin dilakukan di dalam sarana yang sama atau sarana yang berdampingan; dan

2. Tindakan pencegahan hendaklah diambil untuk mencegah masuknya personil yang tidak berkepentingan. Area produksi, area penyimpanan dan area pengawasan mutu tidak boleh digunakan sebagai jalur lalu lintas bagi personil yang tidak bekerja di area tersebut.

3. Kegiatan di bawah ini hendaklah dilakukan di area yang ditentukan:  penerimaan bahan;

 karantina barang masuk;  penyimpanan bahan awal dan bahan pengemas;  penimbangan dan penyerahan bahan atau produk;  pengolahan;  pencucian peralatan;  penyimpanan peralatan;  penyimpanan produk ruahan;  pengemasan;  karantina produk jadi sebelum memperoleh pelulusan akhir;  pengiriman produk; dan  laboratorium pengawasan mutu.

a. Area Penimbangan

Hendaklah suatu area terpisah yang didesain khusus untuk kegiatan penimbangan.

b. Area Produksi

 Untuk memperkecil risiko bahaya medis yang serius akibat terjadinya pencemaran-silang, suatu sarana khusus dan self-contained hendaklah disediakan untuk produksi obat tertentu seperti produk yang dapat menimbulkan sensitisasi tinggi. Produk lain seperti antibiotik tertentu (misal: penisilin), produk hormon seks, produk sitotoksik, produk tertentu dengan bahan aktif berpotensi tinggi, produk biologi (misal: yang berasal dari mikroorganisme hidup) dan produk non-obat hendaklah diproduksi di bangunan terpisah. Dalam kasus pengecualian, bagi produk tersebut di atas, prinsip memproduksi bets produk secara ‘campaign’ di dalam fasilitas yang sama dapat dibenarkan asal telah mengambil tindakan pencegahan yang spesifik dan validasi yang diperlukan telah dilakukan.

 Pembuatan produk yang diklasifikasikan sebagai racun seperti pestisida dan herbisida tidak boleh dilakukan di sarana produksi obat.  Konstruksi lantai di area pengolahan hendaklah dibuat dari bahan kedap air, permukaannya rata dan memungkinkan pembersihan yang cepat dan efisien apabila terjadi tumpahan bahan. Sudut antara dinding dan lantai di area pengolahan hendaklah berbentuk lengkungan.

 Pipa, fiting lampu, titik ventilasi dan instalasi sarana penunjang lain hendaklah

dirancang dan dipasang sedemikian rupa agar mudah dibersihkan.  Area di mana dilakukan kegiatan yang menimbulkan debu memer-lukan sarana penunjang khusus untuk mencegah pencemaran-silang dan memudahkan pembersihan.

 Tata letak ruang area pengemasan hendaklah dirancang khusus untuk mencegah campur baur atau pencemaran-silang.

c. Area Penyimpanan

 Area penyimpanan hendaklah didesain atau disesuaikan untuk menjamin kondisi penyimpanan yang baik; terutama area tersebut hendaklah bersih, kering, dan mendapat penerangan yang cukup serta dan dipelihara dalam batas suhu yang ditetapkan serta memeiliki kapasitas yang memadahi untuk menyimpan dengan rapi dan teratur berbagai macam bahan dan produk seperti bahan awal dan bahan pengemas, produk antara, produk ruahan dan produk jadi, produk dalam status karantina, produk yang telah diluluskan, produk yang ditolak, produk yang dikembalikan atau produk yang ditarik dari peredaran.

d. Area Pengawasan Mutu

 Laboratorium pengawasan mutu hendaklah terpisah dari area produksi. Area pengujian biologi, mikrobiologi dan radioisotop hendaklah dipisahkan satu dengan yang lain.

 Hendaklah disediakan tempat penyimpanan dengan luas yang memadai untuk sampel, baku pembanding (bila perlu dengan kondisi suhu terkendali), pelarut, pereaksi dan catatan.

 3.39 Pasokan udara ke laboratorium hendaklah dipisahkan dari pasokan ke area produksi. Hendaklah dipasang unit pengendali udara yang terpisah untuk masing-masing laboratorium biologi, mikrobiologi dan radioisotop.

e. Sarana Pendukung

 Ruang istirahat dan kantin hendaklah dipisahkan dari area produksi dan laboratorium pengawasan mutu.  Toilet dan bengkel perbaikan tidak boleh berhubungan langsung dengan area produksi atau area penyimpanan.  Ruang ganti pakaian hendaklah berhubungan langsung dengan area produksi namun letaknya terpisah

4. PERALATAN PRINSIP

Peralatan untuk pembuatan obat hendaklah memiliki desain dan konstruksi yang tepat, ukuran yang memadai serta ditempatkan dan dikualifikasi dengan tepat, agar mutu obat terjamin sesuai desain serta seragam dari bets ke bets dan untuk memudahkan pembersihan serta perawatan agar dapat mencegah kontaminasi silang, penumpukan debu atau kotoran dan, hal-hal yang umumnya berdampak buruk pada mutu produk.

DESAIN DAN KONSTRUKSI

1. peralatan hendaklah didesain sedemikian rupa agar mudah dibersihkan. Peralatan tersebut hendaklah dibersihkan sesuai prosedur tertulis yang rinci serta disimpan dalam keadaan bersih dan kering;

2. peralatan yang digunakan hendaklah tidak berakibat buruk pada produk. Bagian alat yang bersentuhan dengan produk tidak boleh bersifat reaktif, aditif atau absorbtif yang dapat memengaruhi mutu dan berakibat buruk pada produk;

3. semua peralatan khusus untuk pengolahan bahan mudah terbakar atau bahan kimia atau yang ditempatkan di area di mana digunakan bahan mudah terbakar, hendaklah dilengkapi dengan perlengkapan elektris yang kedap eksplosi serta di bumikan dengan benar;

4. SANITASI DAN HIGIENE

Ruang lingkup sanitasi dan higiene meliputi personil, bangunan, peralatan, bahan pembersih dan desinfeksi dan perlengkapan, bahan produksi serta wadahnya, dan segala sesuatu yang dapat merupakan sumber pencemaran produk. Sumber pencemaran potensial hendaklah dihilangkan melalui suatu program sanitasi dan higiene yang menyeluruh dan terpadu.

Sanitasi dan Higiene meliputi:

1. Higiene Perorangan 

Personil yang masuk ke area pembuatan hendaklah mengenakan pakaian pelindung yang sesuai.

 Program higiene hendaklah diadaptasikan terhadap berbagai kebutuhan di dalam area pembuatan.

 Semua personil hendaklah menjalani pemeriksaan kesehatan pada saat direkrut dan dilakukan pemeriksaan secara berkala.

 Personil yang mengidap penyakit atau menderita luka terbuka dilarang menangani bahan awal, bahan pengemas, bahan yang sedang diproses dan obat jadi sampai dia sembuh kembali.

 Hendaklah dihindarkan persentuhan langsung antara tangan operator dengan bahan awal, produk antara dan produk ruahan yang terbuka dan juga dengan bagian peralatan yang bersentuhan dengan produk.

 Merokok, makan, minum, mengunyah, memelihara tanaman, menyimpan makanan, minuman, bahan untuk merokok atau obat pribadi hanya diperbolehkan di area tertentu dan dilarang dalam area produksi, laboratorium, area gudang dan area lain yang mungkin berdampak terhadap mutu produk.

2. Sanitasi Bangunan Dan Fasilitas 

Tersedia dalam jumlah yang cukup sarana toilet dengan ventilasi yang baik dan tempat cuci bagi personil.

 Tersedia ruang ganti dan tempat menyimpan makanan (kantin). 

Sampah dikumpulkan di dalam wadah yang sesuai untuk dipindahkan ke tempat penampungan di luar bangunan dan dibuang secara teratur dan berkala dengan meng-indahkan persyaratan saniter.

 Rodentisida, insektisida, agens fumigasi dan bahan sanitasi tidak boleh menimbulkan pencemaran.

3. Pembersihan dan Sanitasi Peralatan 

Tersedia prosedur tertulis untuk pembersihan dan sanitasi peralatan yang sudah tervalidasi.

 Tersedia tempat pencucian dan penyimpanan alat.

4. Validasi Prosedur Pembersihan Dan Sanitasi 

Prosedur pembersihan, sanitasi dan higiene hendaklah divalidasi dan dievaluasi secara berkala untuk memastikan efektivitas prosedur meme-nuhi persyaratan.

5. PRODUKSI PRINSIP

Produksi hendaklah dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang telah ditetapkan; dan memenuhi ketentuan CPOB yang menjamin senantiasa menghasilkan produk yang memenuhi persyaratan mutu serta memenuhi ketentuan izin pembuatan dan izin edar (registrasi). Meliputi:

1. Ketentuan Umum

 Penanganan bahan dan produk jadi, seperti penerimaan dan karantina, pengambilan sampel, penyimpanan, penandaan, penimbangan, pengolahan, pengemasan dan distribusi hendaklah dilakukan sesuai dengan prosedur dan didokumentasikan.

 Penyimpanan vahan dan produk jadi pada kondisi yang disarankan oleh pabrik pembuatnya.

 Pengolahan produk yang berbeda hendaklah tidak dilakukan secara bersamaan atau bergantian dalam ruang kerja yang sama kecuali tidak ada risiko terjadinya campur baur ataupun kontaminasi silang.

 Selama pengolahan, semua bahan, wadah produk ruahan, peralatan atau mesin produksi dan bila perlu ruang kerja yang dipakai hendaklah diberi label atau penandaan dari produk atau bahan yang sedang diolah, kekuatan (bila ada) dan nomor bets.

2. Penanganan Bahan Awal

 Penerimaan, pengeluaran dan jumlah bahan tersisa hendaklah dicatat. Catatan hendaklah berisi keterangan mengenai pasokan, nomor bets/lot, tanggal penerimaan atau penyerahan, tanggal pelulusan dan tanggal daluwarsa bila ada.

 Hanya bahan yang telah diluluskan yang dapat digunakan untuk proses produksi.

3. Validasi Proses

 Sebelum suatu Prosedur Pengolahan Induk diterapkan, hendaklah diambil langkah untuk membuktikan prosedur tersebut cocok untuk pelaksanaan produksi rutin, dan bahwa proses yang telah ditetapkan dengan menggunakan bahan dan peralatan yang telah ditentukan, akan senantiasa menghasilkan produk yang memenuhi persyaratan mutu.

4. Pencegahan Pencemaran Silang

 Tiap tahap proses, produk dan bahan hendaklah dilindungi terhadap pencemaran mikroba dan pencemaran lain.

 Pencemaran silang hendaklah dihindari dengan tindakan teknis atau pengaturan yang tepat, misalnya:  produksi di dalam gedung terpisah (diperlukan untuk produk seperti

penisilin, hormon seks, sitotoksik tertentu, vaksin hidup, dan sediaan yang mengandung bakteri hidup dan produk biologi lain serta produk darah);

 memakai pakaian pelindung yang sesuai di area di mana produk yang berisiko tinggi terhadap pencemaran silang diproses;

 melaksanakan prosedur pembersihan dan dekontaminasi yang terbukti efektif, karena pembersihan alat yang tidak efektif umumnya merupakan sumber pencemaran silang;

 menggunakan sistem self-contained;

5. Sistem Penomoran Bets/Lot

 Sistem yang menjelaskan secara rinci penomoran bets/lot dengan tujuan untuk memastikan bahwa tiap bets/lot produk antara, produk ruahan atau produk jadi dapat diidentifikasi.

6. Penimbangan dan Penyerahan

 Cara penanganan, penimbangan, penghitungan dan penyerahan bahan awal, bahan pengemas, produk antara, dan produk ruahan hendaklah tercakup dalam prosedur tertulis dan didokumentasikan.

 Hanya bahan awal, bahan pengemas, produk antara dan produk ruahan yang telah diluluskan oleh Pengawasan Mutu dan masih belum daluwarsa yang boleh diserahkan.

7. Pengembalian

 Semua bahan awal, bahan pengemas, produk antara dan produk ruahan yang dikembalikan ke gudang penyimpanan hendaklah didokumentasikan dengan benar dan direkonsiliasi.

8. Pengolahan

 Kondisi lingkungan di area pengolahan hendaklah dipantau dan dikendalikan agar selalu berada pada tingkat yang dipersyaratkan untuk kegiatan pengolahan.

 Semua kegiatan pengolahan hendaklah dilaksanakan mengikuti prosedur yang tertulis.

 Semua pengawasan-selama-proses yang dipersyaratkan hendaklah dicatat dengan akurat pada saat pelaksanaannya.

9. Kegiatan Pengemasan

 Kegiatan pengemasan berfungsi membagi dan mengemas produk ruahan menjadi produk jadi.

10. Pengawasan-Selama-Proses

 Untuk memastikan keseragaman bets dan keutuhan obat, prosedur tertulis yang menjelaskan pengambilan sampel, pengujian atau pemeriksaan yang harus dilakukan selama proses dari tiap bets produk.

11. Karantina Dan Penyerahan Produk Jadi

 Karantina produk jadi merupakan tahap akhir pengendalian sebelum penyerahan ke gudang dan siap untuk didistribusikan. Sebelum diluluskan untuk diserahkan ke gudang, pengawasan yang ketat dilaksanakan untuk memastikan produk dan catatan pengemasan bets memenuhi semua spesifikasi yang ditentukan.

Pelulusan akhir produk hendaklah didahului dengan penyelesaian dari:  produk memenuhi persyaratan mutu dalam semua spesifikasi pengolahan

dan pengemasan;

 sampel pertinggal dari kemasan yang dipasarkan dalam jumlah yang mencukupi untuk pengujian di masa mendatang;  pengemasan dan penandaan memenuhi semua persyaratan sesuai hasil pemeriksaan oleh bagian Pengawasan Mutu;  rekonsiliasi bahan pengemas cetak dan bahan cetak dapat diterima; dan  produk jadi yang diterima di area karantina sesuai dengan jumlah yang

tertera pada dokumen penyerahan barang.

12. Catatan Pengendalian Pengiriman Obat

 Sistem distribusi hendaklah dapat memastikan produk yang pertama masuk didistri-busikan lebih dahulu dan distribusi tiap bets/lot obat dapat segera diketahui untuk mempermudah penyelidikan atau penarikan kembali jika diperlukan.

13. Penyimpanan Bahan Awal, Bahan Pengemas, Produk Antara, Produk Ruahan Dan Produk Jadi

 Penyimpanan secara rapi dan teratur untuk mencegah risiko campur baur atau pencemaran serta memudahkan pemeriksaan dan pemeliharaan.

 Kondisi penyimpanan obat dan bahan hendaklah sesuai dengan yang tertera pada penandaan.

6. PENGAWASAN MUTU

Pengawasan Mutu merupakan bagian yang esensial dari Cara Pembuatan Obat yang Baik untuk memberikan kepastian bahwa produk secara konsisten mempunyai mutu yang sesuai dengan tujuan pemakaiannya.

Meliputi:

1. Ketentuan Umum

 Tiap pemegang izin pembuatan harus mempunyai Bagian Pengawasan Mutu. Bagian

ini harus independen dari bagian lain.  Mencakup semua kegiatan analitis yang dilakukan di laboratorium, termasuk

pengambilan sampel, pemeriksaan dan pengujian bahan awal, produk antara, produk ruahan dan produk jadi. Kegiatan ini mencakup juga uji stabilitas, program pemantauan lingkungan, pengujian yang dilakukan dalam rangka validasi, penanganan sampel pertinggal, menyusun dan memperbaharui spesifikasi bahan dan produk serta metode pengujiannya.

2. Cara Berlaboratorium Pengawasan Mutu Yang Baik

 Bangunan dan Fasilitas  Laboratorium hendaklah terpisah secara fisik dari ruang produksi.  Laboratorium biologi, mikrobiologi dan kimia hendaklah terpisah satu dari yang

lain.  Ruangan terpisah untuk instrumen mungkin diperlukan untuk memberikan

perlindungan terhadap interferensi elektris, getaran, kelembaban yang berlebihan serta pengaruh luar lain atau, bila perlu untuk mengisolasi instrumen tersebut.

 Desain laboratorium hendaklah mempertimbangkan kesesuaian bahan konstruksi, perlindungan personil terhadap asap dan ventilasi. Unit penanganan udara yang terpisah diperlukan untuk laboratorium biologi, mikrobiologi dan radioisotop.

 Personil  Hendaklah memakai pakaian pelindung dan alat pengaman seperti respirator atau masker, kaca mata pelindung dan sarung tangan tahan asam atau basa sesuai tugas yang dilaksanakan.

 Peralatan  Peralatan dan instrumen laboratorium hendaklah sesuai dengan prosedur pengujian yang dilakukan dan dikalibrasi.

 Penanganan terhadap Pereaksi dan media perbenihan; baku pembanding; sampel

pertinggal.

7. INSPEKSI DIRI DAN AUDIT MUTU Inspeksi Diri

 Tujuan inspeksi diri adalah untuk mengevaluasi apakah semua aspek produksi dan pengawasan mutu industri farmasi memenuhi ketentuan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB).

 Program inspeksi diri hendaklah dirancang untuk mendeteksi kelemahan dalam pelaksanaan CPOB dan untuk menetapkan tindakan perbaikan yang diperlukan.

 Inspeksi diri dilakukan secara independen dan rinci oleh petugas yang kompeten dari perusahaan.

 Prosedur dan catatan inspeksi diri hendaklah didokumentasikan dan dibuat program tindak lanjut yang efektif.

Audit Mutu

 Penyelenggaraan audit mutu berguna sebagai pelengkap inspeksi diri. Audit mutu meliputi pemeriksaan dan penilaian semua atau sebagian dari sistem manajemen mutu dengan tujuan spesifik untuk meningkatkan mutu. Audit mutu umumnya dilaksanakan oleh spesialis dari luar atau independen atau tim yang dibentuk khusus untuk hal ini oleh manajemen perusahaan. Audit mutu juga dapat diperluas terhadap pemasok dan penerima kontrak.

8. PENANGANAN KELUHAN TERHADAP PRODUK, PENARIKAN KEMBALI PRODUK DAN PRODUK KEMBALIAN

 Semua keluhan dan informasi lain yang berkaitan dengan kemungkinan terjadi kerusakan obat hendaklah dikaji dengan teliti sesuai dengan prosedur tertulis.

 Untuk menangani semua kasus yang mendesak, hendaklah disusun suatu sistem, bila perlu mencakup penarikan kembali produk yang diketahui atau diduga cacat dari peredaran secara cepat dan efektif.

 Penarikan kembali produk adalah suatu proses penarikan kembali dari satu atau beberapa bets atau seluruh bets produk tertentu dari peredaran.

 Penarikan kembali produk dilakukan apabila ditemukan produk yang cacat mutu atau bila ada laporan mengenai reaksi yang merugikan yang serius serta berisiko terhadap kesehatan.

 Produk kembalian adalah obat jadi yang telah beredar, yang kemudian dikembalikan ke industri farmasi karena keluhan mengenai kerusakan, daluwarsa, atau alasan lain misalnya kondisi wadah atau kemasan yang dapat menimbulkan keraguan akan identitas, mutu, jumlah dan keamanan obat yang bersangkutan.

9. DOKUMENTASI

Dokumentasi adalah bagian dari sistem informasi manajemen dan dokumentasi yang baik merupakan bagian yang esensial dari pemastian mutu.

Dokumen Yang Diperlukan

 Spesifikasi

 Hendaklah tersedia spesifikasi bahan awal, bahan pengemas dan produk jadi,

produk antara dan produk ruahan.  Dokumen Produksi Dokumen yang esensial dalam produksi adalah:  Dokumen Produksi Induk yang berisi formula produksi dari suatu produk dalam

bentuk sediaan dan kekuatan tertentu, tidak tergantung dari ukuran bets;  Prosedur Produksi Induk, terdiri dari Prosedur Pengolahan Induk dan Prosedur

Pengemasan Induk, yang masing-masing berisi prosedur pengolahan dan prosedur pengemasan yang rinci untuk suatu produk dengan bentuk sediaan, kekuatan dan ukuran bets spesifik. Prosedur Produksi Induk dipersyaratkan divalidasi sebelum mendapat pengesahan untuk digunakan; dan

 Catatan Produksi Bets, terdiri dari Catatan Pengolahan Bets dan Catatan

Pengemasan Bets, yang merupakan reproduksi dari masing-masing Prosedur Pengolahan Induk dan Prosedur Pengemasan Induk, dan berisi semua data dan informasi yang berkaitan dengan pelaksanaan produksi dari suatu bets produk.

 Prosedur dan Catatan  Penerimaan  Pengambilan Sampel  Pengujian  Lain-lain

10. PEMBUATAN DAN ANALISIS BERDASARKAN KONTRAK

Dokumen yang terkait

PENGAWASAN DAN PEMANTAUAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH (PILKADA) SERENTAK PROPINSI BANTEN MELALUI PELIBATAN MASYARAKAT DALAM PERSPEKTIF HAM ( Supervision and Monitoring of Simultaneous Regional Head Election in the Province of Banten through Community Engageme

0 0 18

PEREMAJAAN DAN PENGEMBANGAN WILAYAH PERKOTAAN MELALUI PENGGUSURAN DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DI KOTA SURABAYA (Rejuvenation and Development of Urban Areas through Eviction Viewed from Human

0 0 18

KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP UPAYA PERLINDUNGAN DAN PENGHORMATAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DI KABUPATEN ALOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR (Regional Government ’s Policy on the Protection and Respect to Indogenous

0 0 14

ANALISIS IMPLEMENTASI PRINSIP NON-DISKRIMINASI DALAM PERATURAN DAERAH DI BIDANG PENDIDIKAN DAN KESEHATAN (Analysis Implementation of The Principle of Non-Discrimination in Regional Regulation in Education and Health Services) Nicken Sarwo Rini

0 0 18

RETENSI MODAL PENGETAHUAN DAN SUMBERDAYA INTERNAL PERUSAHAAN Agustian Budi Prasetya

0 1 14

MODUL MATERI UJIAN PERPINDAHAN JABATAN FUNGSIONAL PENGAWAS FARMASI DAN MAKANAN TERAMPIL KE AHLI PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) BADAN POM RI

0 0 17

MODUL MATERI UJIAN PERPINDAHAN JABATAN FUNGSIONAL PENGAWAS FARMASI DAN MAKANAN TERAMPIL KE AHLI PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) BADAN POM RI

0 1 45

MODUL MATERI UJIAN PERPINDAHAN JABATAN FUNGSIONAL PENGAWAS FARMASI DAN MAKANAN TERAMPIL KE AHLI PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) BADAN POM RI

0 0 8

MODUL MATERI UJIAN PERPINDAHAN JABATAN FUNGSIONAL PENGAWAS FARMASI DAN MAKANAN TERAMPIL KE AHLI PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) BADAN POM RI

0 0 19

MODUL MATERI UJIAN PERPINDAHAN JABATAN FUNGSIONAL PENGAWAS FARMASI DAN MAKANAN TERAMPIL KE AHLI PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) BADAN POM RI

0 0 17