Penelitian Daun Mangga Bab 1 2 3 1

BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang
Cacing pita merupakan cacing parasit yang dapat hinggap pada tubuh manusia.
Infeksi cacing pita dari berbagai ragam spesies dapat menyebabkan beragam infeksi
serius pada organ-organ tertentu tubuh manusia atau bahkan pada seluruh tubuh
manusia. Infeksi cacing pita, terutama sistiserkosis yang disebabkan oleh Taenia
solium merupakan masalah besar bagi banyak negara berkembang, terutama
Indonesia.
Kasus infeksi cacing pita pertama di Indonesia pertama kali didokumentasikan
oleh peneliti berkebangsaan Belanda Luchmant pada tahun 1867 di kota Malang, yaitu
adalah infeksi cacing pita dengan spesies Taenia saginata. Kasus infeksi cacing pita
Taenia solium yang disebarkan melalui media daging babi pertama kali dicatat oleh
Bonne, berkebangsaan Belanda di Kalimantan Barat pada tahun 1940. Kasus infeksi
cacing pita di Indonesia pada masa kini berpusat di tiga propinsi, yaitu Bali, Sumatera
Utara dan Papua.
Menurut penelitian, penyebab utama kasus infeksi cacing pita pada tiga
propinsi tersebut antara lain karena masuknya daging babi terinfeksi kedalam ketiga

propinsi tersebut atau disebabkan oleh penderita yang bertransmigrasi kedalam ketiga
propinsi tersebut (Rasidi; dkk., 1990 : 379).
Selain itu, faktor sanitasi yang kurang seperti kebiasaan BAB tidak di kakus
dapat menyebabkan persebaran infeksi cacing pita karena kotoran manusia yang
dimakan oleh babi dapat berpotensi menyuburkan siklus daur hidup cacing pita.
Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang paling umum tersebar dan
menjangkiti lebih dari 2 miliar manusia diseluruh dunia. Walaupun tersedia obat-obat
baru yang lebih spesifik dangan kerja lebih efektif, pembasmian penyakit ini masih
tetap merupakan salah satu masalah antara lain disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi
di beberapa bagian dunia. Jumlah manusia yang dihinggapinya juga semakin bertambah
akibat migrasi, lalu-lintas dan kepariwisataan udara dapat menyebabkan perluasan
kemungkinan infeksi. (Tjay, 2007)
1

Infeksi cacing pita yang disebabkan oleh Taenia saginata dan Taenia solium
disebut taeniasis dan sistiserkosis. Taenia saginata adalah jenis cacing pita yang
biasanya terdapat pada daging sapi, sedangkan Taenia solium adalah jenis cacing pita
yang terdapat pada daging babi. Gejala yang ditimbulkan dari infeksi cacing pita Taenia
saginata maupun Taenia solium adalah mual, muntah, diare atau sembelit serta dapat
pula keluar cacing seperti lembaran pita ketika BAB. Gejala klinis terbanyak yang

dikeluhkan antara lain, gatal-gatal pada anus, mual, pusing, peningkatan nafsu makan,
sakit kepala, serta engeluaran segmen tubuh cacing dalam fesesnya.
Dampak kesehatan yang paling ditakuti dan berbahaya akibat larva cacing
Taenia yaitu neurosistiserkosis yang dapat menimbulkan kematian. Neurosistiserkosis
adalah infeksi sistem saraf pusat akibat sistiserkus dari larva Taenia solium.
Neurosistiserkosis merupakan faktor risiko penyebab stroke baik pada manusia yang
muda maupun setengah baya, epilepsi dan kelainan pada tengkorak. Sistiserkosis
merupakan penyebab 1% kematian pada rumah sakit umum di Meksiko City dan
penyebab 25% tumor dalam otak.
Masyarakat biasanya hanya bertumpu pada obat yang beredar di pasaran.
Padahal, obat tersebut mengandung bahan kimia yang dapat menyebabkan resistensi
serta resiko yang lebih tinggi seperti timbulnya efek samping lain.
Resistensi obat adalah perlawanan yang terjadi ketika bakteri, virus dan parasit
lainnya secara bertahap kehilangan kepekaan terhadap obat yang sebelumnya
membunuh mereka. Saat obat lebih banyak digunakan, risiko resistensi obat
meningkat karena kasus penggunaan antibiotik yang

tidak tepat atau putus obat

meningkat, sehingga resistensi obat semakin menjadi tantangan bagi kesehatan.

Resistensi inilah yang membuat masyarakat berpikir dua kali untuk
mengonsumsi obat kimia dan lebih memilih untuk beralih ke obat alternative (herbal).
Sejauh ini obat herbal sudah banyak dikembangkan. Tumbuhan di lingkungan sekitar
kita dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat alternatif.
Salah satunya adalah tanaman mangga. Biasanya, masyarakat umum hanya
mengkonsumsi daging buah mangganya saja, sedangkan kulitnya menjadi limbah.
Padahal, berdasarkan studi literatur, daun, kulit, serta biji mangga memiliki beragam
manfaat dan khasiat. Salah satunya adalah kulit buah mangga, yang memiliki berbagai
macam senyawa bioaktif. Senyawa bioaktif yang terdapat di dalam kulit buah mangga,
antara lain beta karoten (vitamin A), AHA (Alpha Hydrol Acids), dan antihelmintik
(perawatan-kulit.com, 2014). Meski belum diadakan penelitian lebih lanjut mengenai
2

kandungan di dalam kulit buah mangga yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri
penyebab berbagai penyakit, namun kandungan antihelmintik dipercaya ampuh
membunuh kuman dan cacing didalam perut. Sehingga perlu dilaksanakan penelitian
mengenai potensi dari kandungan kulit mangga sebagai obat alternative pembasmi
cacing pita di dalam perut.
B.


Rumusan Masalah
1.

Apakah ekstrak ethanolik kulit mangga berpotensi membasmi cacing pita
(Taenia solium) di dalam perut?

2.

Pada konsentrasi berapa ekstrak ethanolik kulit buah mangga yang optimum
yang membasmi cacing pita (Taenia solium) di dalam perut?

3.

Bagaimanakah kandungan senyawa bioaktif yang terdapat di dalam kulit buah
mangga?

C.

Tujuan Penelitian
1.


Untuk mengetahui kandungan senyawa bioaktif yang terdapat di dalam ekstrak
ethanolik kulit buah mangga (Mangifera indica L.)

2.

Untuk mengetahui potensi antihelmintik dari kulit ekstrak ethanolik buah
mangga sebagai anti cacing pita (Taenia solium).

3.

Untuk mengetahui daya hambat yang optimum dari ekstrak ethanolik kulit buah
mangga dalam membasmi cacing pita (Taenia solium).

D.

Manfaat Penelitian
1.

Memberikan informasi kepada masyarakat tentang potensi dari daun mangga

sebagai antihelmintik pembasmi cacing pita penyebab penyakit diare di dalam
perut.

2.

Daun mangga dapat menjadi obat alternatif untuk mengobati diare yang lebih
aman dikonsumsi dibandingkan obat-obatan kimia yang beredar di masyarakat.

3.

Sebagai sarana pembelajaran bagi penelitian selanjutnya.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS
3

A. Kajian Pustaka
1. Cacing Pita
Cacing pita pada daging sapi mempunyai nama ilmiah Taenia saginata.
Sedangkan cacing pita pada daging babi nama ilmiahnya adalah Taenia solium.

Bentuk dari cacing pita menyerupai pita, yaitu panjang pipih, memiliki kepala kecil,
dan kait untuk melekatkan diri pada dinding usus. Badannya beruas dan tiap ruas
dapat mengeluarkan telur yang cukup banyak. Meski cacing pita memiliki banyak
jenis, tetapi ada tiga yang biasa dikenal yaitu cacing pita daging, cacing pita ikan dan
cacing pita babi. Jenis cacingan ini disebabkan pengkonsumsian daging (terutama sapi
dan babi) yang mengandung cacing pita dan memasaknya kurang matang. Taksonomi
dari cacing pita yang menyebabkan infeksi adalah:
Filum : Platyhelminthes
Kelas

: Cestoda

Ordo

: Cyclophyllidae

Famili : Taniidae
Genus : Taenia
Spesies : Taenia solium
Taenia solium adalah salah satu jenis cacing pita yang berparasit di dalam usus

halus manusia. Dalam klasifikisai taksonomi cacing ini termasuk kelas Eucestoda,
ordo Taenidae, dan genus Taenia. Tergolong dalam satu jenis genus dengan Taenia
solium adalah Taenia saginata dan Taenia asiatica yang juga bersifat zoonosis
(Rajshekkhar et al.2003)
Cestoda, atau cacing pita, merupakan subfilum lain di dalam filum
Platyhelminthes. Mereka tidak mempunyai rongga badan dan semua organ – organ
tersimpan di dalam jaringan parenkim. Semua cacing pita bersifat parasit, dan telah
bermodifikasi secara besar-besaran untuk eksistensi parasit tersebut.

4

2. Tanaman Mangga
Pohon mangga memiliki nama ilmiah Mangifera indica L. Berikut ini ialah
taksonomi dari daun mangga:
Kingdom

: Plantae

Filum


: Magnoliophyta

Kelas

: Magnoliopsida

Ordo

: Sapindales

Famili

: Anacardiaceae

Genus

: Mangifera

Spesies: M. indica
Ciri-ciri pohon mangga ialah:

a.

Akar pohon manga
Pohon mangga memiliki akar tunggang, Jenis akar ini dimiliki oleh
tumbuhan berkeping dua (dikotil). Akar tanaman mangga bercabang-cabang yang
panjangnya bisa mencapai 6 meter. Pemanjangan akar tunggang akan berhenti bila
mencapai permukaan air tanah. Pada kedalaman antara 30 -60 cm cabang akar
tumbuh lebih banyak, tetapi cabang akar semakin sedikit jika makin ke bawah.
Fungsinya akar adalah agar pohon dapat menyerap air untuk kelangsungan hidup,
akar juga berfungsi untuk menunjang berdirinya tumbuhan agar tumbuhan berdiri
kokoh. Selain itu akar pohon juga berfungsi sebagai alat pernapasan dan sebagai
penyimpanan makanan cadangan pada pohon.

b.

Batang pohon mangga
Pohon mangga memiliki ciri batang berkayu, batang berkayu memiliki
kambium. kambium mengalami dua arah pertumbuhan yaitu arah dalam dan arah
luar. Ke arah dalam cambium membentuk kayu, sedangkan ke arah luar
membentuk kulit. Bentuk batang mangga adalah tegak dan bersifat kuat. Kulit

pada batang tebal dan memiliki tekstur kasar. Banyak terdapat celah-celah kecil
dan sisik yang merupakan bekas tangkai daun. Kulit batang yang sudah tua
umumnya berwarna coklat keabuan, kelabu tua, sampai warna hitam. ketinggian
batang yang lebih di atas 5 meter dan mampu mencapai angka maksimal 40 meter.
Adapun diameter batang utama bisa mencapai ukuran 10 meter. Fungsi batang
5

adalah untuk menopang, pengangkut air dan zat makanan, penyimpanan makanan
cadangan, serta sebagai alat berkembangbiak.
c.

Bunga pohon mangga
Berbentuk

bulir

hujung,

dengan

panjangnya

sebanyak

1-040

sentimeter. Ukuran setiap bunga kecil sahaja dan berwarna putih, dengan lima
kelopak sehingga 5 – 10 milimeter panjangnya. Bau bunga ini sedikit harum
seakan – akan bau lili. Selepas kelopak bunga luruh, buahnya memakan masa 3 –
6 bulan untuk masak.
d.

Buah pohon mangga
Buah mangga termasuk kelompok buah batu yang berdaging. Panjang
buah kira-kira 2,5-30 cm. Buah mangga memiliki warna hijau muda ketika masih
matang dan akan berubah menjadi kuning kehijauan ketika sudah matang. Bentuk
buah beraneka ragam tergantung dari varietasnya, ada yang bulat, lonjong telur,
hingga lonjong memanjang.

e.

Kulit buah mangga
Kulit buah mangga mengandung senyawa AHA atau alpha hydroxyl
acids yang berfungsi sebagai pencerah kulit. Selain itu, kulit buah mangga juga
mengandung senyawa tertentu yang membuatnya bersifat anthelmintik sehingga
dapat membunuh kuman penyakit. Anthelmintik dalam bahasa Yunani, anti
berarti lawan, sedangkan helmintes berarti cacing, sehingga anthelmintik juga
dapat disebut sebagai obat cacing yaitu obat yang dapat memberantas atau
mengurangi cacing dalam lumen usus, perut, atau jaringan tubuh. Sehingga perlu
diadakan penelitian lagi mengenai kandungan senyawa aktif yang terdapat di
dalam kulit buah mangga.

f.

Daun pohon mangga
Pada dasarnya ada beragam bentuk daun mangga. Namun secara umum
daun tersebut merupakan jenis daun tunggal dengan letak yang tersebar di seluruh
cabang pohon. Tulang daun pohon mangga berbentuk menyirip. Daun terdiri dari
dua bagian, yaitu tungkai daun dan badan daun. Badan daun bertulang dan
berurat-urat, antara tulang dan urat tertutup daging daun. Daging daun terdiri dari
kumpulansel-sel yang tak terhingga banyaknya. Daun letaknya bergantian, tidak
berdaun penumpu. Panjang tangkai daun bevariasi dari 1,25 – 12,5 cm, bagian
pangkalnya membesar dan pada sisi sebelah atas ada alurnya. Aturan letak daun
pada batang biasanya 3/8, tetapi makin mendekati ujung, letaknya makin
6

berdekatan sehingga Aturan letak daun pada batang biasanya 3/8, tetapi makin
mendekati ujung, letaknya makin berdekatan sehingga nampaknya seperti dalam
lingkaran. Tulang daun jenis ini memiliki susunan seperti sirip – sirip ikan.
Panjang tangkai daun bervariasi dari 1,25-12,5 cm. Fungsi daun adalah
pembuatan makanan, pernapasan, dan penguapan.
Daun mangga mengandung senyawa tanin, alkaloid, glikosid, steroid,
triterpenoid, saponin, kaumarin,magniferin, komponen fenolik dan flavonoid.
Senyawa tersebut memiliki sifat antimikrobia yang dapat dijadikan makanan
fungsional. Selain itu aktivitas antimikrobia daun mangga dapat menghambat
pertumbuhan bakteri, salah satunya Escheriscia coli. Kandungan antosianin pada
daun mangga terekspresi sebagai karakter warna merah, ungu dan biru.
3. Resistensi
Resistensi obat adalah perlawanan yang terjadi ketika bakteri, virus dan parasit
lainnya secara bertahap kehilangan kepekaan terhadap obat yang sebelumnya
membunuh mereka. Saat obat lebih banyak digunakan, risiko resistensi obat
meningkat karena kasus penggunaan antibiotik yang tidak tepat atau putus obat
meningkat.
Salah satu masalah utama penyebab resistensi obat adalah penggunaan obat yang
tidak tepat indikasinya di bidang medis. Ini merupakan kesalahan praktisi kesehatan
dan juga pasien. Tidak jarang, dokter sering meresepkan obat untuk penyakit-penyakit
yang tidak membutuhkan obat seperti infeksi saluran nafas atas yang disebabkan oleh
virus. Ini disebabkan karena tekanan yang sering diberikan oleh pasien karena pasien
seringkali memaksa agar mendapatkan antibiotik. Persepsi pasien bahwa penyakitnya
tidak akan sembuh tanpa obat menjadi alasan yang umum diutarakan.
Salah satu kesalahan lainnya adalah menghentikan konsumsi obat sebelum
waktunya. Ini seringkali terjadi karena pasien merasa bahwa gejala penyakit yang
dialaminya sudah membaik sehingga pengobatannya dihentikan sendiri. Fenomena ini
mungkin terjadi karena kurangnya komunikasi dari dokter. Apabila obat dihentikan
sebelum waktunya, bakteri yang ingin kita berantas tidak mati sepenuhnya, melainkan
hanya “pingsan”. Apabila bakteri tersebut aktif kembali, terdapat kemungkinan bakteri
tersebut mengembangkan resistensi terhadap obat yang kita gunakan.
4. Anti-helmintik
7

Antihelmintik adalah zat yang dapat mengganggu pertumbuhan atau bahkan
mematikan cacing dengan cara mengganggu metabolisme cacing yang merugikan.
Cacing dapat menyebabkan bahaya karena memiliki kemampuan menginfeksi dan
menimbulkan penyakit. Antihelmintik juga dapat disebut sebagai obat cacing, dalam
bahasa Yunani, anti berarti lawan, sedangkan helmintes berarti cacing. Sehingga
antihelmintik merupakan obat yang dapat memusnahkan cacing dalam tubuh manusia
maupun hewan. Dalam istilah ini termasuk semua zat yang bekerja lokal menghalau
cacing dari saluran cerna maupun obat-obat sistemik yang membasmi cacing serta
larvanya, yang menghinggapi organ dan jaringan tubuh (Tjay, 2007).
Kebanyakan jenis antihelmintik hanya efektif terhadap satu macam cacing,
sehingga diperlukan diagnosis tepat sebelum menggunakan obat tersebut. Beberapa
senyawa antihelmintik yang lama, sudah tergeser oleh obat baru seperti Mebendazole,
Piperazin, Levamisol, Albendazole, Tiabendazole, dan sebagainya (Gunawan, 2009).
B. Hipotesis
1.

Ekstrak ethanolik kulit mangga berpotensi membasmi cacing pita (Taenia solium).

2.

Pada konsentrasi paling sedikit ekstrak ethanolik kulit buah mangga mampu membasmi
cacing pita (Taenia solium) secara optimum.

3.

Kulit mangga mengandung berbagai senyawa bioaktif.

BAB III
METODOLOGI .
1.

Waktu dan Tempat

8

Penelitian ini akan dilaksanakan mulai bulan Mei 2015 dan akan selesai pertengahan
bulan Juli 2015 bertempat di Laboratorium Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada.

2.

Alat dan Bahan

a.

Alat:

1)

Erlemeyer

2)

Alat ekstraksi

3)

Tabung Reaksi

4)

Gelas ukur

5)

Cawan Petri

6)

Shaker

7)

Oven

b.

Bahan:

1)

Kulit buah mangga (Mangifera indica L.) yang terdiri dari : kulit buah mangga tua, dan
kulit buah mangga muda.

2)

Cacing pita (Taenia solium)

3)

Ethanol 70% atau 96%

4)

Medium agar

3.

Cara Kerja

1)

Kulit buah mangga dikumpulkan dari perkebunan mangga. Kulit mangga yang diambil
berupa 2 jenis sample yaitu kulit mangga tua serta kulit mangga yang masih muda.
Masing-masing sample dikumpulkan sebanyak 3kg.

2)

Kulit mangga utuh dicuci bersih lalu ditiriskan dan dikeringkan dengan cara dianginanginkan. Lalu dikeringkan dengan menggunakan oven bersuhu 50°C selama 4-5 hari.

3)

Setelah kulit mangga telah benar-benar kering, kulit digiling sehingga menghasilkan
serbuk atau simplisia.

4)

Simplisia kemudian dijadikan cairan dengan cara diberi larutan ethanol dan diaduk
dengan stirrer ± 3 jam. Kemudian, cairan didiamkan atau diendapkan selama 24-48 jam,
setelah itu dibagi menjadi 2 bagian yaitu filtrat 1 (substansi yang telah disaring) dan
ampas. Ampas ditambahkan dengan pelarut lalu disaring dengan kertas saring. Setelah
itu dihasilkan ampas dan filtrat 2. Kemudian filtrate 1+2 diuapkan dengan evaporator
hingga pelarut (ethanol) habis.
9

5)

Ekstrak disaring dan filtrate yang didapat dievaporasi.

6)

Kulit buah mangga diuji kandungan zatnya atau senyawa bioaktif yang terdapat di
dalamnya dengan KLT (Kromotografis Lapis Tipis).

7)

Lalu, ekstrak dari daun mangga dengan 5 konsentrasi yang berbeda masing-masing diuji
daya hambatnya terhadap cacing pita dengan ulangan 1 kali. Kontrol berupa control
obat dan control tanpa perlakuan.

8)

Perkembangan cacing pita diamati setelah diberi ekstrak ethanolik kulit buah mangga.

Daftar Pustaka
(http://kamuskesehatan.com/arti/resistensi-obat/)
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3371/1/penydalam-umar5.pdf
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/20/jtptunimus-gdl-s1-2008-henifatmas-960-3-bab2.pdf
http://www.webmd.com/a-to-z-guides/e-coli-infection-topic-overview
10

http://eprints.upnjatim.ac.id/4553/1/file1.pdf
http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jfk/article/viewFile/6328/6505
Krieg, N. R.; Holt, J. G., eds. (1984). Bergey's Manual of Systematic Bacteriology 1 (First ed.).
Baltimore: The Williams & Wilkins Co. pp. 408–420. ISBN 0-683-04108-8.
Lukjancenko O, Wassenaar TM, Ussery DW (November 2010). "Comparison of 61 sequenced
Escherichia coli genomes". Microb. Ecol. 60 (4): 708–20. doi:10.1007/s00248-010-9717-3. PMC
2974192. PMID 20623278.
Madigan M.2005. Brock Biology of Microorganisme. Hlmn :753. London: PrenticeHall.
Schunack W, Mayer K, Haake M. 1990. Senyawa Obat.Hlmn 27. Ed ke-2. Wattimenna JR, Subito,
penerjemah. Yogyakarta: UGM Press.
Fardiaz S, Suliantri, Dewanti R. 1987. Senyawa Antimikrob. Hlmn 2. Bogor: PAU
a b Siswando, Soekardjo B. 1995. Kimia Medisinal. Surabaya: Airlangga Univ Pr.
Absor Ulil. 2006. Aktivitas antibakteri ranting patah tulang (Euphorbia tirucalli. Linn)[Skripsi] .
Bogor : Program Sarjana Pada Studi Biokimia Institut Pertanian Bogor

Zaman,viqar dan Ng Mah Lee, Mary. 2008.Atlas Medical Parasitology.Yogyakarta: Graha
Ilmu
Goldsmith,Robert dan Donald,Heyneman.1989.Tropical Medicine and Parasitology
Safar,

Hj.Rosdiana

dan

Nurhayati,Nunung.2010.Parasit

Kedokteran:protozologi,

helmintologi, entomologi. Bandung :Yrama Widya
http://www.depkes.go.id
http://www.journal.ui.ac.id
http://www.repository.ipb.ac.id
Krisnandana,drh. 2009. Buletin penyakit Zoonosa edisi keempat. Direktorat kesehatan
masyarakat Deptan RI, Jakarta.
Markell, Voge, John.1993. Medical Parasitology, 7th edition. Mexico
-. 1997. Health research with developing countries, vol 3. RTD International Cooperation
Brown, W Harold. 1982. Dasar Parasitologi Klinis.Jakarta : PT. Gramedia
Jeffrey dan Leach. 1983. Atlas helminthologi & Protozologi Kedokteran ed.2. EGC Penerbit
buku kedokteran

11

12