Sosiologi yang Tidak Takut Kekerasan M
MASYARAKAT Jurnal Sosiologi Vol. 22, No. 2, Juli 2017: iii-vii
DOI: 10.7454/mjs.v22i2.8246
Ed i to r i a l
Sosiologi yang “Tak Takut” Kekerasan
Ada satu hal yang terus-menerus menjadi tanda tanya bagi banyak
orang. Mengapa kekerasan menjadi ekspresi yang terkandung dalam
pusparagam kebudayaan? Mengapa, setelah masyarakat berkembang
hingga sejauh ini diiringi segenap kompleksitas, keberadaban, kemajuannya, banyak pihak seakan tetap mendambakan kekerasan menjadi
bagian dari kehidupan mereka?
Jawaban awam yang dari waktu ke waktu bisa didengar adalah
kebudayaan yang kita miliki memang merupakan kebudayaan kekerasan. Beberapa kali saya juga mendapati, ada orang-orang yang bertaruh pada penjelasan bahwa insan manusia memang terlahir dengan
kecenderungan agresif. Teori kekerasan hidraulik, misalnya, untuk
mengambil contoh eksplanasi yang punya kedudukan mapan di ranah akademik. Teori ini menegaskan bahwa kekerasan merupakan
luapan yang sekali waktu mesti dilepas untuk menjaga keseimbangan
batiniah seseorang. Kalaupun sekarang ia lebih jarang, kebetulan saja
hasrat untuk mempredasi yang lain ini kini mesti tunduk pada kekuatan-kekuatan koersif impersonal seperti negara dan hukum.
Sayangnya, penjelasannya tak pernah sesederhana itu. Apa yang
akan kita temukan pada spiral kekerasan etnoreligius terbesar menjelang serta di awal abad ke-21 bukanlah insan-insan yang mengamuk
acak atau tak berarah. Padanya, kita pun tak akan menemukan para
insan ini semata bertindak terdoktrin oleh nilai yang mereka anut
untuk mengenyahkan yang lain. Pada banyak kasus, kelompok-kelompok yang saling menyingkirkan sebelumnya hidup berdampingan dengan tenang untuk waktu yang lama.
Di Desa Tug, misalnya, yang berada di wilayah selatan Karabakh,
bagian dari konflik Nagarno-Karabakh di antara etnis Armenia dan
Azerbaijan. Sewaktu ketegangan mulai meruyak di berbagai tempat
antara kedua etnis ini, seorang warga desa mengatakan tidak akan
terjadi apa-apa di desa mereka. Warga Armenia dan Azerbaijan sudah
hidup bercampur baur. Pernikahan antaretnis merupakan sebuah kelaziman. Tiga bulan berselang, desa ini terbagi menjadi dua—wilayah
milik Armenia dan wilayah milik Azerbaijan. Keluarga pernikahan
campur kini tinggal terpisah. Suami dan istri membagi anak-anak di
iv
antara keduanya dan tinggal di wilayah etnisnya masing-masing (De
Waal 2003). Ketika kekerasan antaretnis merebak, keserasian sosial
yang sudah terbangun bertahun-tahun tak kuasa menanggulanginya.
Para warga harus mensegregasi diri dari yang lainnya untuk menghalau kekerasan di antara mereka berekskalasi lebih jauh.
Pemandangan serupa bukannya tak akan kita jumpai pada kesempatan-kesempatan lain. Di tengah-tengah genosida Rwanda, ambil
saja, tak sedikit dari antara para pria beretnis Hitu harus membunuh istrinya apabila ia mengambil pasangan dari orang Tutsi (Taylor
1999:156). Apakah kita akan mengatakan para pria yang melakukannya membenci istrinya? Rasanya tidak. Kebanyakan melakukannya
karena mereka tak memiliki pilihan. Para pria Hutu yang menikah
dengan perempuan Tutsi akan dianggap pengkhianat bila ditemukan
massa. Dan bila bukan mereka sendiri yang mengakhiri nyawa istrinya, istrinya akan dihabisi dengan cara-cara yang tak terbayangkan
dan diri mereka sendiri akan dibunuh.
Kekerasan adalah fenomena yang lebih kompleks ketimbang sekadar luapan kebencian antarinsan belaka. Kita harus memahaminya
sebagai sesuatu yang bekerja dengan asas-asas identitas. Sasarannya
tak dibidik secara sembarangan melainkan dibidik dari insan-insan
yang dianggap menyimbolkan musuh ontologis kelompoknya. Kemarahan, keberangan, hasrat menyakiti tidak timbul begitu saja melainkan meruap dari imajinasi yang dicangkokkan kelompoknya kepada
mereka tentang siapa musuh ontologisnya, apa kezaliman yang telah
mereka terima dari musuhnya ini.
Dalam beberapa kasus, apa yang terjadi menyerupai yang terjadi
pada Dani (Bjorkhagen 2013). Dani, nama samaran untuk seseorang
yang sewaktu remaja terlibat konflik agama di Ambon, mengakui,
kekerasan yang dilakukannya saat itu kepada kelompok Muslim
menjadikannya merasa bagian dari komunitas keagamaannya. “Saya
merasa harus melindungi identitas Kristen saya, membunuh orang-orang Muslim, membakar masjid dan rumah-rumah mereka,” ujarnya. Ungkapan Dani, tentu saja, tak hanya berlaku untuk dirinya
sendiri. Spiral kekerasan di Ambon acap dimulai dari perasaan ingin
membuktikan solidaritas serta afinitas emosional dengan kelompok
religiusnya.
Dalam kasus semacam ini, segarang-garangnya para pelaku, mereka adalah aktor yang tak berdaya. Orang Kristen dan Islam, yang
saling membakar rumah kelompok yang lain di Tobelo, misalnya,
v
sepanjang puluhan tahun menjalin hubungan sosial yang hangat. Mereka mendatangi umat beragama lain untuk makan malam apabila
datang hari raya agama mereka. Dalam satu keluarga besar, adalah
hal yang wajar bila terdapat anggota dengan beragam latar keyakinan.
Situasi ini mengalami pergeseran dramatis khususnya setelah pecahnya konflik religius di Ambon pada bulan Januari 1999. Orang-orang
Kristen Tobelo melihat konflik Ambon sebagai bentuk persekusi terhadap umat Kristen dan menganggap umat Islam bertanggung jawab
atasnya. Sementara itu, orang-orang Islam Tobelo melihatnya sebagai
tanggung jawab umat Kristen dan khususnya para pemberontak Republik Maluku Selatan yang ingin memisahkan diri dari Indonesia
(Wilson 2008).
Pada titik di mana satu kelompok serempak mengimajinasikan
kelompok lain sebagai musuh ontologisnya—dan demikian juga sebaliknya—dinamika emosional individual atau hubungan antara insan
menjadi tidak benar-benar relevan untuk menjadi lokus kita dalam
mendedah kekerasan. Di distrik-distrik Nagarno-Karabakh, sebagai
contoh, orang Armenia dan Azerbaijan yang tengah bertempur acap
kali mengenal satu sama lain. Seorang komandan Armenia, pada satu
kesempatan, pernah menjumpai karibnya, orang Azerbaijan, menjadi
tawanannya. Mereka amat gembira dapat berjumpa satu sama lain.
Mereka berbincang-bincang dengan hangat untuk waktu yang lama.
Tetapi, pertanyaannya, apakah sang komandan dapat membebaskannya begitu saja? Dengan konteks sosial etnis mereka kini saling
bermusuhan satu sama lain, apakah hubungan persahabatan mereka
dapat kembali ke sediakala?
Lebih jauh, sebagai fenomena sosial alih-alih psikis, alasan mengapa tindak maupun imajinasi kekerasan terus-menerus direproduksi
bukan pula semata karena ia mempunyai kekuatan untuk menghancurkan yang lain. Selama ini, perhatian kita terisap pada—sekaligus
merasa terancam dengan—kehancuran, kesakitan, kedukaan yang
menjadi dampak dari kekerasan. Kita, walhasil, sering kali secara tidak kritis melekatkan kekerasan dengan watak destruktif sementara
mengabaikan bahwa ia juga memiliki dampak-dampak sosial yang
sifatnya produktif. Pada saat yang sama lelaku kekerasan menandaskan penolakan, penyingkiran, serta pengenyahan kelompok liyan, ia
membersitkan pula perasaan terafirmasi sebagai bagian dari kolektivitas tertentu dan, belakang-belakangnya, mungkin menjadi manuver
untuk merampungkan identitas sosial tertentu.
vi
Bukan tanpa alasan, karenanya, figur seperti Dani menemukan
identitasnya justru di tengah-tengah spiral kekerasan etnoreligius. Jajak pendapat yang dilakukan Sumanto Al Qurtuby (2015) di antara
lima puluh orang bekas pejuang Kristen konflik Ambon menemukan
alasan mayoritas dari antara mereka memerangi kelompok lain adalah
membela agama dan komunitas religiusnya. Alasan selanjutnya adalah Yesus Kristus dipermalukan, gereja dihancurkan, Alkitab dibakar,
pendeta dibunuh, dan menjaga wilayah Kristen. Perasaan menjadi bagian dari komunitas Kristen maupun Islam, pada momen berkecamuk
tersebut, dialami paling intens ketika seseorang menjadi korban dari
serta melakoni kekerasan kepada yang lain.
Kendati demikian, kekerasan tak hanya memberdayakan identitas dalam situasi konflik aktual. Pusparagam simbol kekerasan juga
acap diinkorporasi dalam proyek-proyek pembangunan identitas
yang kolosal berjangka panjang. Dalam pembangunan identitas nasional, misalnya. Satu strategi yang dilancarkan untuk memastikan
orang-orang dari satu daerah ke daerah lain merasa dirinya bagian
dari Indonesia adalah dengan mengangkat pahlawan nasional. Apa
yang biasa dilakukan bila di satu daerah sulit ditemukan sosok yang
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia secara dramatis? Sosok yang
lantas diangkat adalah para kapitan, pangeran, atau raja yang pernah
memberontak, menyerang, atau memimpin perlawanan bersenjata terhadap serdadu kolonial. Menariknya, terlepas kita dapat meragukan
kesinambungan langsung antara konfrontasi yang mereka pimpin
dengan perjuangan kemerdekaan, kita tak dapat mengatakan strategi
membangun identifikasi kebangsaan ini silap ataupun gagal. Dalam
kesadaran banyak orang hari ini, Pangeran Nuku, Kapiten Pattimura,
Sultan Hassanudin, yang tak pernah memperjuangkan kemerdekaan
nasional, dihormati sebagai pahlawan yang berkontribusi bagi kemerdekaan Indonesia
Keberhasilan kebijakan ini membangun perasaan kebersamaan
menyiratkan bahwa gagasan yang paling cepat mengafiliasikan satu
pihak dengan identitas keindonesiaan adalah kekerasan dramatis yang
dilakukannya terhadap liyan yang zalim. Lebih jauh, kebijakan ini
kini bahkan menanamkan pemahaman yang meluas bahwa mereka yang dianggap layak menyandang predikat warga Indonesia serta
menerima segala haknya adalah mereka yang kelompoknya di masa
silam mengangkat senjata terhadap serdadu kolonial. Dalam keberatan-keberatan terhadap penetapan Frans Kaisepo menjadi figur yang
vii
dicetak dalam mata uang baru, misalnya, argumentasi yang segera
mengemuka adalah ia merupakan pahlawan kafir. Ia dianggap sebagai kelompok yang dipertanyakan pernah benar-benar mengangkat
senjata kepada Belanda dan, atas dasar ini, figurnya dipertanyakan
kepatutannya untuk dianggap sebagai pahlawan.
Kajian terhadap kekerasan, karenanya, tidak seyogianya terantuk
dengan ketakutan atau impresi sesaat kita dengan kekerasan. Mengapa
satu tindakan dan imajinasi yang kita anggap berseberangan nilai-nilai kemanusiaan terus-menerus langgeng hingga hari ini? Kekerasan, pasalnya, boleh kita curigai, merupakan tindakan yang memungkinkan pelaku kehidupan sosial mereproduksi identitas. Ia merupakan
sesuatu yang esensial bagi identitas—ia merupakan teknik yang sangat
ampuh untuk memperformakannya dengan cara menandai yang liyan
dan yang diri.
Penelitian sosiologi untuk memahami kekerasan, saya kira, mempunyai obligasi memahami dinamika sosial kekerasan tanpa “takut”
dengan kekerasan itu sendiri.
DA F TA R PU S TA K A
Bjorkhagen, M. 2013. “The Conflict in Moluccas: Local Youths’ Perceptions Contrasted to Previous Research.” Thesis, Department of
Global Political Studies, Malmo University.
De Waal, T. 2003. Black Garden: Armenia and Azerbaijan through
Peace and War. New York: New York University Press.
Qurtuby, S. 2015. “Christianity and Militancy in Eastern Indonesia:
Revisiting Maluku Violence.” Southeast Asian Studies 4(2):313-339.
Taylor, C.C. 1999. Sacrifice as Terror: The Rwandan Genocide of 1994.
Oxford: Berg Publishers.
Wilson, C. 2008. Ethno-religious Violence in Indonesia: From Soil to
God. London: Routledge.
GEGER RIYANTO
Peneliti Koperasi Riset Purusha
DOI: 10.7454/mjs.v22i2.8246
Ed i to r i a l
Sosiologi yang “Tak Takut” Kekerasan
Ada satu hal yang terus-menerus menjadi tanda tanya bagi banyak
orang. Mengapa kekerasan menjadi ekspresi yang terkandung dalam
pusparagam kebudayaan? Mengapa, setelah masyarakat berkembang
hingga sejauh ini diiringi segenap kompleksitas, keberadaban, kemajuannya, banyak pihak seakan tetap mendambakan kekerasan menjadi
bagian dari kehidupan mereka?
Jawaban awam yang dari waktu ke waktu bisa didengar adalah
kebudayaan yang kita miliki memang merupakan kebudayaan kekerasan. Beberapa kali saya juga mendapati, ada orang-orang yang bertaruh pada penjelasan bahwa insan manusia memang terlahir dengan
kecenderungan agresif. Teori kekerasan hidraulik, misalnya, untuk
mengambil contoh eksplanasi yang punya kedudukan mapan di ranah akademik. Teori ini menegaskan bahwa kekerasan merupakan
luapan yang sekali waktu mesti dilepas untuk menjaga keseimbangan
batiniah seseorang. Kalaupun sekarang ia lebih jarang, kebetulan saja
hasrat untuk mempredasi yang lain ini kini mesti tunduk pada kekuatan-kekuatan koersif impersonal seperti negara dan hukum.
Sayangnya, penjelasannya tak pernah sesederhana itu. Apa yang
akan kita temukan pada spiral kekerasan etnoreligius terbesar menjelang serta di awal abad ke-21 bukanlah insan-insan yang mengamuk
acak atau tak berarah. Padanya, kita pun tak akan menemukan para
insan ini semata bertindak terdoktrin oleh nilai yang mereka anut
untuk mengenyahkan yang lain. Pada banyak kasus, kelompok-kelompok yang saling menyingkirkan sebelumnya hidup berdampingan dengan tenang untuk waktu yang lama.
Di Desa Tug, misalnya, yang berada di wilayah selatan Karabakh,
bagian dari konflik Nagarno-Karabakh di antara etnis Armenia dan
Azerbaijan. Sewaktu ketegangan mulai meruyak di berbagai tempat
antara kedua etnis ini, seorang warga desa mengatakan tidak akan
terjadi apa-apa di desa mereka. Warga Armenia dan Azerbaijan sudah
hidup bercampur baur. Pernikahan antaretnis merupakan sebuah kelaziman. Tiga bulan berselang, desa ini terbagi menjadi dua—wilayah
milik Armenia dan wilayah milik Azerbaijan. Keluarga pernikahan
campur kini tinggal terpisah. Suami dan istri membagi anak-anak di
iv
antara keduanya dan tinggal di wilayah etnisnya masing-masing (De
Waal 2003). Ketika kekerasan antaretnis merebak, keserasian sosial
yang sudah terbangun bertahun-tahun tak kuasa menanggulanginya.
Para warga harus mensegregasi diri dari yang lainnya untuk menghalau kekerasan di antara mereka berekskalasi lebih jauh.
Pemandangan serupa bukannya tak akan kita jumpai pada kesempatan-kesempatan lain. Di tengah-tengah genosida Rwanda, ambil
saja, tak sedikit dari antara para pria beretnis Hitu harus membunuh istrinya apabila ia mengambil pasangan dari orang Tutsi (Taylor
1999:156). Apakah kita akan mengatakan para pria yang melakukannya membenci istrinya? Rasanya tidak. Kebanyakan melakukannya
karena mereka tak memiliki pilihan. Para pria Hutu yang menikah
dengan perempuan Tutsi akan dianggap pengkhianat bila ditemukan
massa. Dan bila bukan mereka sendiri yang mengakhiri nyawa istrinya, istrinya akan dihabisi dengan cara-cara yang tak terbayangkan
dan diri mereka sendiri akan dibunuh.
Kekerasan adalah fenomena yang lebih kompleks ketimbang sekadar luapan kebencian antarinsan belaka. Kita harus memahaminya
sebagai sesuatu yang bekerja dengan asas-asas identitas. Sasarannya
tak dibidik secara sembarangan melainkan dibidik dari insan-insan
yang dianggap menyimbolkan musuh ontologis kelompoknya. Kemarahan, keberangan, hasrat menyakiti tidak timbul begitu saja melainkan meruap dari imajinasi yang dicangkokkan kelompoknya kepada
mereka tentang siapa musuh ontologisnya, apa kezaliman yang telah
mereka terima dari musuhnya ini.
Dalam beberapa kasus, apa yang terjadi menyerupai yang terjadi
pada Dani (Bjorkhagen 2013). Dani, nama samaran untuk seseorang
yang sewaktu remaja terlibat konflik agama di Ambon, mengakui,
kekerasan yang dilakukannya saat itu kepada kelompok Muslim
menjadikannya merasa bagian dari komunitas keagamaannya. “Saya
merasa harus melindungi identitas Kristen saya, membunuh orang-orang Muslim, membakar masjid dan rumah-rumah mereka,” ujarnya. Ungkapan Dani, tentu saja, tak hanya berlaku untuk dirinya
sendiri. Spiral kekerasan di Ambon acap dimulai dari perasaan ingin
membuktikan solidaritas serta afinitas emosional dengan kelompok
religiusnya.
Dalam kasus semacam ini, segarang-garangnya para pelaku, mereka adalah aktor yang tak berdaya. Orang Kristen dan Islam, yang
saling membakar rumah kelompok yang lain di Tobelo, misalnya,
v
sepanjang puluhan tahun menjalin hubungan sosial yang hangat. Mereka mendatangi umat beragama lain untuk makan malam apabila
datang hari raya agama mereka. Dalam satu keluarga besar, adalah
hal yang wajar bila terdapat anggota dengan beragam latar keyakinan.
Situasi ini mengalami pergeseran dramatis khususnya setelah pecahnya konflik religius di Ambon pada bulan Januari 1999. Orang-orang
Kristen Tobelo melihat konflik Ambon sebagai bentuk persekusi terhadap umat Kristen dan menganggap umat Islam bertanggung jawab
atasnya. Sementara itu, orang-orang Islam Tobelo melihatnya sebagai
tanggung jawab umat Kristen dan khususnya para pemberontak Republik Maluku Selatan yang ingin memisahkan diri dari Indonesia
(Wilson 2008).
Pada titik di mana satu kelompok serempak mengimajinasikan
kelompok lain sebagai musuh ontologisnya—dan demikian juga sebaliknya—dinamika emosional individual atau hubungan antara insan
menjadi tidak benar-benar relevan untuk menjadi lokus kita dalam
mendedah kekerasan. Di distrik-distrik Nagarno-Karabakh, sebagai
contoh, orang Armenia dan Azerbaijan yang tengah bertempur acap
kali mengenal satu sama lain. Seorang komandan Armenia, pada satu
kesempatan, pernah menjumpai karibnya, orang Azerbaijan, menjadi
tawanannya. Mereka amat gembira dapat berjumpa satu sama lain.
Mereka berbincang-bincang dengan hangat untuk waktu yang lama.
Tetapi, pertanyaannya, apakah sang komandan dapat membebaskannya begitu saja? Dengan konteks sosial etnis mereka kini saling
bermusuhan satu sama lain, apakah hubungan persahabatan mereka
dapat kembali ke sediakala?
Lebih jauh, sebagai fenomena sosial alih-alih psikis, alasan mengapa tindak maupun imajinasi kekerasan terus-menerus direproduksi
bukan pula semata karena ia mempunyai kekuatan untuk menghancurkan yang lain. Selama ini, perhatian kita terisap pada—sekaligus
merasa terancam dengan—kehancuran, kesakitan, kedukaan yang
menjadi dampak dari kekerasan. Kita, walhasil, sering kali secara tidak kritis melekatkan kekerasan dengan watak destruktif sementara
mengabaikan bahwa ia juga memiliki dampak-dampak sosial yang
sifatnya produktif. Pada saat yang sama lelaku kekerasan menandaskan penolakan, penyingkiran, serta pengenyahan kelompok liyan, ia
membersitkan pula perasaan terafirmasi sebagai bagian dari kolektivitas tertentu dan, belakang-belakangnya, mungkin menjadi manuver
untuk merampungkan identitas sosial tertentu.
vi
Bukan tanpa alasan, karenanya, figur seperti Dani menemukan
identitasnya justru di tengah-tengah spiral kekerasan etnoreligius. Jajak pendapat yang dilakukan Sumanto Al Qurtuby (2015) di antara
lima puluh orang bekas pejuang Kristen konflik Ambon menemukan
alasan mayoritas dari antara mereka memerangi kelompok lain adalah
membela agama dan komunitas religiusnya. Alasan selanjutnya adalah Yesus Kristus dipermalukan, gereja dihancurkan, Alkitab dibakar,
pendeta dibunuh, dan menjaga wilayah Kristen. Perasaan menjadi bagian dari komunitas Kristen maupun Islam, pada momen berkecamuk
tersebut, dialami paling intens ketika seseorang menjadi korban dari
serta melakoni kekerasan kepada yang lain.
Kendati demikian, kekerasan tak hanya memberdayakan identitas dalam situasi konflik aktual. Pusparagam simbol kekerasan juga
acap diinkorporasi dalam proyek-proyek pembangunan identitas
yang kolosal berjangka panjang. Dalam pembangunan identitas nasional, misalnya. Satu strategi yang dilancarkan untuk memastikan
orang-orang dari satu daerah ke daerah lain merasa dirinya bagian
dari Indonesia adalah dengan mengangkat pahlawan nasional. Apa
yang biasa dilakukan bila di satu daerah sulit ditemukan sosok yang
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia secara dramatis? Sosok yang
lantas diangkat adalah para kapitan, pangeran, atau raja yang pernah
memberontak, menyerang, atau memimpin perlawanan bersenjata terhadap serdadu kolonial. Menariknya, terlepas kita dapat meragukan
kesinambungan langsung antara konfrontasi yang mereka pimpin
dengan perjuangan kemerdekaan, kita tak dapat mengatakan strategi
membangun identifikasi kebangsaan ini silap ataupun gagal. Dalam
kesadaran banyak orang hari ini, Pangeran Nuku, Kapiten Pattimura,
Sultan Hassanudin, yang tak pernah memperjuangkan kemerdekaan
nasional, dihormati sebagai pahlawan yang berkontribusi bagi kemerdekaan Indonesia
Keberhasilan kebijakan ini membangun perasaan kebersamaan
menyiratkan bahwa gagasan yang paling cepat mengafiliasikan satu
pihak dengan identitas keindonesiaan adalah kekerasan dramatis yang
dilakukannya terhadap liyan yang zalim. Lebih jauh, kebijakan ini
kini bahkan menanamkan pemahaman yang meluas bahwa mereka yang dianggap layak menyandang predikat warga Indonesia serta
menerima segala haknya adalah mereka yang kelompoknya di masa
silam mengangkat senjata terhadap serdadu kolonial. Dalam keberatan-keberatan terhadap penetapan Frans Kaisepo menjadi figur yang
vii
dicetak dalam mata uang baru, misalnya, argumentasi yang segera
mengemuka adalah ia merupakan pahlawan kafir. Ia dianggap sebagai kelompok yang dipertanyakan pernah benar-benar mengangkat
senjata kepada Belanda dan, atas dasar ini, figurnya dipertanyakan
kepatutannya untuk dianggap sebagai pahlawan.
Kajian terhadap kekerasan, karenanya, tidak seyogianya terantuk
dengan ketakutan atau impresi sesaat kita dengan kekerasan. Mengapa
satu tindakan dan imajinasi yang kita anggap berseberangan nilai-nilai kemanusiaan terus-menerus langgeng hingga hari ini? Kekerasan, pasalnya, boleh kita curigai, merupakan tindakan yang memungkinkan pelaku kehidupan sosial mereproduksi identitas. Ia merupakan
sesuatu yang esensial bagi identitas—ia merupakan teknik yang sangat
ampuh untuk memperformakannya dengan cara menandai yang liyan
dan yang diri.
Penelitian sosiologi untuk memahami kekerasan, saya kira, mempunyai obligasi memahami dinamika sosial kekerasan tanpa “takut”
dengan kekerasan itu sendiri.
DA F TA R PU S TA K A
Bjorkhagen, M. 2013. “The Conflict in Moluccas: Local Youths’ Perceptions Contrasted to Previous Research.” Thesis, Department of
Global Political Studies, Malmo University.
De Waal, T. 2003. Black Garden: Armenia and Azerbaijan through
Peace and War. New York: New York University Press.
Qurtuby, S. 2015. “Christianity and Militancy in Eastern Indonesia:
Revisiting Maluku Violence.” Southeast Asian Studies 4(2):313-339.
Taylor, C.C. 1999. Sacrifice as Terror: The Rwandan Genocide of 1994.
Oxford: Berg Publishers.
Wilson, C. 2008. Ethno-religious Violence in Indonesia: From Soil to
God. London: Routledge.
GEGER RIYANTO
Peneliti Koperasi Riset Purusha