Pendidikan Di Indonesia Pada Masa Penjaj ( 1)

Pendidikan Di Indonesia Pada Masa
Penjajahan Belanda
Filed under: Makalah by Azkia Alawi — Tinggalkan komentar
15 April 2010
BAB I
PENDAHULUAN
1. A. Latar Belakang
Pada zaman kolonial pemerintah Belanda menyediakan sekolah yang beraneka ragam
bagi orang Indonesia untuk memenuhi kebutuhan berbagai lapisan masyarakat. Ciri yang
khas dari sekolah-sekolah ini ialah tidak adanya hubungan berbagai ragam sekolah itu.
Namun lambat laun, dalam berbagai macam sekolah yang terpisah-pisah itu terbentuklah
hubungan-hubungan sehingga terdapat suatu sistem yang menunjukkan kebulatan.
Pendidikan bagi anak-anak Indonesia semula terbatas pada pendidikan rendah, akan
tetapi kemudian berkembang secara vertical sehingga anak-anak Indonesia, melalui
pendidikan menengah dapat mencapai pendidikan tinggi, sekalipun melalui jalan yang
sulit dan sempit.
Lahirnya suatu sistem pendidikan bukanlah hasil suatu perencanaan menyeluruh
melainkan langkah demi langkah melalui eksperimentasi dan didorong oleh kebutuhan
praktis di bawah pengaruh kondisi sosial, ekonomi, dan politik di Nederland maupun di
Hindia Belanda. Selain itu kejadian-kejadian di dunia luar, khususnya yang terjadi di
Asia, mendorong dipercepatnya pengembangan sistem pendidikan yang lengkap yang

akhirnya, setidaknya dalam teori, memberikan kesempatan kepada setiap anak desa yang
terpencil untuk memasuki perguruan tinggi. Dalam kenyataan hanya anak-anak yang
mendapat pelajaran di sekolah berorientasi Barat saja yang dapat melanjutkan
pelajarannya, sekalipun hanya terbatas pada segelintir orang saja.
1. B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1. Apa alasan orang Belanda mendirikan sekolah bagi anak-anak Indonesia?
2. Faktor apa saja yang menyebabkan berlangsungnya politik etika?
3. Bagaimana sistem persekolahan pada zaman pemerintahan Hindia Belanda?
4. Apa saja ciri umum politik pendidikan Belanda?
1. C. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah:
1. Agar mengetahui alasan orang Belanda mendirikan sekolah bagi anak-anak
Indonesia.

2. Agar mengetahui faktor yang menyebabkan berlangsungnya politik etika.
3. Agar mengetahui sistem persekolahan pada zaman pemerintahan Hindia Belanda.
4. Agar mengetahui ciri umum politik pendidikan Belanda.

BAB II

PEMBAHASAN
1. A. Pendidikan selama penjajahan Belanda
Pendidikan selama penjajahan Belanda dapat dipetakan kedalam 2 (dua) periode besar,
yaitu pada masa VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) dan masa pemerintah
Hindia Belanda (Nederlands Indie). pada masa VOC, yang merupakan sebuah kongsi
(perusahaan) dagang, kondisi pendidikan di Indonesia dapat dikatakan tidak lepas dari
maksud dan kepentingan komersial.
1. Zaman VOC (Kompeni)[1]
Orang belanda datang ke indonesia bukan untuk menjajah melainkan untuk berdagang.
Mereka di motifasi oleh hasrat untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya,
sekalipun harus mengarungi laut yang berbahaya sejauh ribuan kilometer dalam kapal
layar kecil untuk mengambil rempah-rempah dari indonesia. Namun pedagang itu merasa
perlunya memiliki tempat yang permanen di daratan dari pada berdagang dari kapal yang
berlabuh di laut. Kantor dagang itu kemudian mereka perkuat dan persenjatai dan
menjadi benteng yang akhirnya menjadi landasan untuk menguasai daerah di sekitarnya.
Lambat laun kantor dagang itu beralih dari pusat komersial menjadi basis politik dan
teritorial. Setelah peperangan kolonial yang banyak akhirnya indonesia jatuh seluruhnya
di bawah pemerintahan belanda. Namun penguasaan daerah jajahan ini baru selesai pada
permulaan abad ke 20.
Metode kolonialisasi belanda sangat sederhana. Mereka mempertahankan raja-raja yang

berkuasa dan menjalankan pemerintahan melalui raja-raja itu akan tetapi menuntut
monopoli hak berdagang dan eksploitasi sumber-sumber alam. Adat istiadat dan
kebudayaan asli dibiarkan tanpa perubahan aristokrasi tradisional digunakan oleh belanda
untuk memerintah negri ini dengan cara efisien dan murah. Oleh sebab belanda tidak
mencampuri kehidupan orang Indonesia secara langsung, maka sangat sedikit yang
mereka perbuat untuk pendidikan bangsa. Kecuali usaha menyebarkan agama mereka di
beberapa pulau di bagian timur Indonesia. Kegian pendidikan pertama yang dilakukan
VOC.
Pada permulaan abad ke 16 hampir se abad sebelum kedatangan belanda, pedagang
portugis menetap di bagian timur Indonesia tempat rempah-rempah itu di hasilkan.
Biasanya mereka didampingi oleh misionaris yang memasukkan penduduk kedalam
agama katolik yang paling berhasil tiantara mereka adalah Ordo Jesuit di bawah
pimpinan Feranciscus Xaverius. Xaverius memandang pendidikan sebagai alat yang

ampuh untuk penyebaran agama. Seminari dibuka di ternate, kemudian di solor dan
pendidikan agama yang lebih tinggi dapat diperoleh di Goa, India, pusat kekuasaan
portugis saat itu. Bahasa portugis hamper sama populernya dengan bahasa melayu,
kedudukan yang tak kunjung di capai oleh bahasa Belanda dalam waktu 350 tahun
penjajahan kekuasaan portugis melemah akibat peperangan denngan raja-raja Indonesia
dan akhirnya dilenyapkan oleh belanda pada tahun 1605.

1. Zaman Pemerintahan Belanda Setelah VOC
Setelah VOC dibubarkan, para Gubernur/ komisaris jendral harus memulai system
pendidikan dari dasarnya, karena pendidikan zaman VOC berakhir dengan kegagalan
total. Pemerintahan baru yang diresapi oleh ide-ide liberal aliran aufklarung atau
Enlightenment menaruh kepercayaan akan pendidikan sebagai alat untuk mencapai
kemajuan ekonomi dan social. Pada tahun 1808 Deandels seorang Gubernur Belanda
mendapat perintah Raja Lodewijk untuk meringankan nasib rakyat jelata dan orang-orang
pribumi poetra,serta melenyapkan perdagangan budak. Usaha Deandels tersebut tidak
berhasil, bahkan menambah penderitaan rakyat, karena ia mengadakan dan mewajibkan
kerja paksa (rodi).
Didalam lapangan pendidikan Deandels memerintahkan kepada Bupati-bupati di Pulau
Jawa agar mendirikan sekolah atasa uasaha biaya sendiri untuk mendidik anak-anak
mematuhi adat dan kebiasaan sendiri. Kemidian Deandels mendirikan sekolah Bidan di
Jakarta dan sekolah ronggeng di Cirebon. Kemudian Pada masa (interregnum inggris)
pemerintahan Inggris (1811-1816) tidak membawa perubahan dalam masalah pendidikan
walaupun Sir Stamford Raffles seorang ahli negara yang cemerlang. Ia lebih
memperhatikan perkembanagan ilmu pengetahuan, sedangkan pengajaran rakyat
dibiarkan sama sekali. Ia menulis buku History of Java.
Setelah ambruknya VOC tahun 1816 pemerintah Belanda menggantikan kedudukan
VOC. Statua Hindia Belanda tahun 1801 dengan terang-terangan menyatakan bahwa

tanah jajahan harus memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya kepada perdagangan
dan kepada kekayaan negeri Belanda. Pada tahun 1842 Markus, menteri jajahan,
memberikan perintah agar Gubernur Jendral berusaha dengan segenap tenaga agar
memperbesar keuntungan bagi negerinya. Walaupuan setiap Gubernur Jendaral pada
penobatannya berjanji dengan hidmat bahwa ia akan memajukan kesejahteraan hindia
Belanda dengan segenap usuha prinsip yang masih dipertahankan pada tahun 1854 ialah
bahwa hindia Belanda sebagai “negeri yang direbut harus terus member keuntungan
kepada negeri belanda sebagai tujuan pendidikan itu. Sekolah pertama bagi anak
Belanda dibuka di Jakarta pada tahun 1817 yang segera diikuti oleh pembukaan sekolah
dikota lain di Jawa. Prinsip yang dijadikan pegangan tercantum distatuta 1818 bahwa
sekolah-sekolah harus dibuka ditiap tempat bila diperlukan oleh penduduk Belanda dan
diizinkan oleh keadaan.
Gubernur Jendral Van der Capellen (1819-1823) menganjurkan pendidikan rakyat dan
pada tahun 1820 kembali regen-regen diinstruksikan untuk menyediakan sekolah bagi
penduduk untk mengajar anak-anak membaca dan menulis serta mengenal budi peketi
yang baik. Anjuran Gubernur Jendral itu tidak berhasil untuk mengembangkan
pendidikan oleh regen yang aktif.

Tahun 1826 lapangan pendidikan dan pengajaran terganganggu oleh adanyan usahausaha penghematan. Sekolah-sekolah yang ada hanya bagi anak-anak Indonesia yang
memeluk agama Nasrani. Alsannya adalah karena adanya kesulitan financial yang berat

yang dihadapi orang Belanda sebagai akibat perang Diponegoro (1825-1830) yang mahal
dan menelan banyak korban seerta peperangan antara Belanda dan Belgia (1830-1839).
Kesulitan keuangan ini menyebabkan raja belanda untuk meninggalkan prinsip-prinsip
liberal dan menerima rencana yang dianjurkan Van den Bosch, bekas Gubernur di
Guyana, jajahan Belanda di Amerika selatan, untuk memanfaatkan pekerjaan budak
menjadi dasar eksploitasi colonial. Ia membawa ide penggunaan kerja paksa(rodi)
sebagai cara yang ampuh untuk memperoleh cara usaha maksimal, yang kemudian
terkenal dengan cultuur stelsel atau tanam paksa yang memaksa penduduk untuk
menghasilkan tanaman yang diperlukan dipasaran Eropa.
Van den Bosch mengerti, bahwa untuk memperbaiki stesel pembangunan ekonomi bagi
belanda dibutuhkan tenaga-tenaga ahli yang banyak. Setelah tahun 1848 dikeluarkan
peraturan-peraturan yang menunjukan perintah lambat laun menerima tanggung jawab
yang lebih besar atas pendidikan anak-anak Indonesia sebagai hasil perdebatan
diparlemen Belanda dan mencerminkan sikap Liberal yang lebih menguntungkan tehadap
rakyat Indonesia. Terbongkarnya penyalahgunaan system tanam paksa merupakan factor
dalam perbahan pandangan. Peraturan pemerintah tahun 1854 mengimtruksikan
Gubernur Jendral untuk mendirikan sekolah dalam tiap kabupaten bagi pendidikan anak
pribumi. Peraturan tahun 1863 mewajibkan Gubernur Jendral untuk mengusahakan
terciptanya situasi yang memungkinkan penduduk bumi putera pada umumnya
menikmati pendidikan.

Sistem tanam paksa dihapuskan tehun 1870 dan digantikan dengan undang-undang
Agraria 1870. Pada tahun itu di Indonesia timbul masa baru dengan adanya undangundang Agraria dari De Waal, yang member kebebasan pada pengusaha-pengusaha
pertania partikelir. Usaha-usaha perekonomian makin maju, masyarakat lebih banyak
lagi membutuhkan pegawai. Sekolah-sekolah yang ada dianggap belum cukup
memenuhi kebutuhan. Itulah sebabnya maka usaha mencetak calon-calon pegawai makin
dipergiat lagi. Kini tugas departemen adalah memelihara sekolah-sekolah yang ada
dengan lebih baik dan mempergiat usaha-usaha perluasan sekolah-sekolah baru.
Pada tahun 1893 timbullah differensiasi pengajaran bumi putera. Hal ini disebabkan:[2]
1. Hasil sekolah-sekolah bumi putra kurang memuaskan pemerintah colonial. Hal ini
terutama sekali desebabkan karena isi rencana pelaksanaannya terlalu padat.
2. Dikalangan pemerintah mulai timbul perhatian pada rakyat jelata. Mereka insyaf
bahwa yang harus mendapat pengjaran itu bukan hanya lapisan atas saja.
3. Adanya kenyataan bahwa masyarakat Indonesia mempunyai kedua kebutuhan
dilapangan pendidikan yaitu lapisan atas dan lapisa bawah.
Untuk mengatur dasar-dasar baru bagi pengajaran bumi putra, keluarlah indisch
staatsblad 1893 nomor 125 yang membagi sekolah bumi putra menjadi dua bagian:

a)

Sekolah-sekolah kelas I untuk anak-anak priyai dan kaum terkemuka.


b)

Sekolah-sekolah kelas II untuk rakyat jelata.

Perbedaan sekolah kelas I dan kelas II antara lain:
Kelas I[3]
Tujuan: memenuhi kebutuhan pegawai pemerintah, perdagangan dan perusahaan.
Lama bersekolah: 5 tahun
Mata pelajarannya: membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, sejarah, pengetahuan alam,
menggambar, dan ilmu ukur.
Guru-guru: keluaran Kweekschool
Bahasa pengantar: Bahasa Daerah/Melayu
Kelas II
Tujuan: Memenuhi kebutuhan pengajaran di kalangan rakyat umum
Lama bersekolah: 3 tahun
Mata paelajaran: Membaca, menulis dan berhitung.
Guru-guru: persyaratannya longgar
Bahasa pengantar: Bahasa Daerah/Melayu
Pada tahun 1914 sekolah kelas I diubah mejadi HIS (Hollands Inlandse School) dengan

bahasa pengantar bahasa Belanda sedangkan sekolah kelas II tetap atau disebut juga
sekolah vervolg (sekolah sambungan) dan merupakan sekolah lanjutan dari sekolah desa
yang mulai didirikan sejak tahun 1907.
1. B. Politik Etika dan pengajaran
Indonesia yang kaya raya ini di keruk terus menerus oleh penjajah Belanda. Keuntungan
mengalir terus ke negeri Belanda. Rakyat Indonesia tetap miskin. Keadaan ini sangat
menggelisahkan kaum Importir Belanda yang membawa barang hasil industry dari Eropa
ke Indonesia. Mereka tidak dapat menjual barangnya karena daya beli masyarakat sangat
rendah, sedangkan industri di negeri Belanda sedang pesat. Mereka menginginkan agar
Indonesia yang banyak penduduknya itu menjadi pasar bagi industry Belanda. Sedangkan
para eksportir mendapat laba besar dengan membawa barang mentah dari Indonesia.
Untuk memenuhi kaum importir tidak ada jalan lain yang harus segera ditempuh selain
memperbaiki dan membuat ekonomi rakyat Indonesia yang sudah rusak.
Selain itu pada tahun 1899 terbit sebuah artikel oleh Van Devender berjudul “Hutang
Kehormatan” dalam majalah De Gids. Disitu ia mengemukakan bahwa keuntungan yang
diperoleh oleh Indonesia selama ini hendaknya dibayar kembali dari perbendaharaan

Negara. Peristiwa itu dapat dipandang sebagai ekspresi ide yang baru kemudian dikenal
dengan politik etika. Van Devender menganjurkan program ini untuk memajukan
kesejahteraan rakyat dengan memperbaiki irigasi agar memprodusi pertanian,

menganjurkan trasmigrasi dan perbaikan dalam lapangan pendidikan. Ia juga
mengembangkan pengajaran bahasa Belanda secara cultural lebih maju dan dapat
menjadi pelopor bagi bangsanya.
Factor lain yang menyebabkan berlangsungnya politik etika ini ialah kebangkitan
Nasional dengan berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908, serikat islam partai politik
pertama di Indonesia yang didasarkan atas organisai Barat didirikan tahun 1919, adanya
volksraad tahun 1918 yang merupakan saluran bagi orang Indonesia untuk menyatakan
pendapatnya. Sejak dilaksanakannya politik etika tampak sekali kemajuan dalam
pendidikan dengan diperbanyaknya sekolah rendah, sekolah yang berorientasi Barat
untuk orang Cina dan Indonesia didirikan .Demikian juga pendidikan dikembangkan
secara vertical dengam didirikannya MULO dan AMS yang terbuka bagi anak Indonesia
untuk melanjutkan ke tingkat universitas.
Dalam rangka memperbaiki pengajaran rendah bagi kaum bumi putra, maka pada tahun
1907 diambil dua tindakan penting yaitu:
1. 1. Memberi corak dan sifat kebelandaan-belandaan pada sekolah kelas I,
misalnya:
a) Bahasa Belanda dijadikan mata pelajaran sejak kelas 3
b) Di kelas 6 bahasa Belanda dijadikan bahasa pengantar
c) Lama belajar menjadi 7 tahun
d) Tahun 1914 dijadikan KIS dan menjadi bagian pengajaran rendah barat

e) Murid-muridnya anak-anak bangsawan dan terkemuka
1. 2. Mendirikan Sekolah Desa
Maksud pemerintah untuk memperhatikan kepentingan rakyat Indonesia tidak tercapai,
karena sekolah-sekolah bumi putra kelas II merupakan lembaga yang mahal dan
memerlukan anggaran yang besar. Maka atas perintah Gubernur Jendral Van Heutsz
tahun 1907 didirikan sekolah-sekolah desa. Bangunannya didirikan oleh desa dan gurugurunya juga diangkat oleh desa pula, jadi bukan pegawai negeri.
Jadi susunan pengajaran bagi anak-anak Indonesia untuk sekolah rendah ada tiga, yaitu:
a) Sekolah Desa, bagi anak-anak biasa
b) Sekolah kelas II, yang kemudian diubah menjadi sekolah Vervolg
c) Sekolah kelas I, yang sejak tahun 1914 dijadikan HIS bagi anak-anak bangsawan dan
aristocrat
1. C. Sistem persekolahan pada zaman pemerintahan Hindia Belanda

Secara umum sistem pendidikan khususnya system persekolahan didasarkan kepada
golongan penduduk menurut keturunan atau lapisan (kelas) social yang ada dan menurut
golongan kebangsaan yang berlaku waktu itu.
1. Pendidikan Rendah (Lager Onderwijs)
Pada hakikatnya pendidikan dasar untuk tingkatan sekolah dasar mempergunakan system
pokok yaitu:
1. Sekolah rendah dengan bahasa pengantar bahasa Belanda.
a) Sekolah rendah Eropa, yaitu ELS (Europese Lagere school), yaitu sekolah rendah
untuk anak-anak keturunan Eropa atau anak-anak turunan Timur asing atau Bumi putra
dari tokoh-tokoh terkemuka. Lamanya sekolah tujuh tahun 1818.
b) Sekolah Cina Belanda, yaitu HCS (Hollands Chinese school), suatu sekolah rendah
untuk anak-anak keturunan tmur asing, khususnya keturunan Cina. Pertama didirikan
pada tahun 1908 lama sekolah tujuh tahun.
c) Sekolah Bumi putra Belanda HIS (Hollands inlandse school), yaitu sekolah rendah
untuk golongan penduduk Indonesia asli. Pada umumnya disediakan untuk anak-anak
golongan bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka atau pegawai negeri. Lamanya sekolah
tujuh tahun dan pertama didirikan pada tahun 1914.
1. Sekolah rendah dengan bahasa pengantar bahasa daerah
1. Sekolah Bumi Putra kelas II (Tweede klasee). Sekolah ini disediakan
untuk golonagan bumi putra. Lamaya sekolah tujuh tahun, pertama
didirikan tahun 1892.
2. Sekolah Desa (Volksschool). Disediakan bagi anak-anak golongan bumi
putra. Lamanya sekolah tiga tahun yang pertama kali didirikan pada tahun
1907.
3. Sekolah Lanjutan (Vorvolgschool). Lamanya dua tahun merupakn
kelanjutan dari sekolah desa, juga diperuntukan bagi anak-anak golongan
bumi putra. Pertama kali didirikan pada tahun 1914.
4. Sekolah Peralihan (Schakelschool)
Merupakan sekolah peralihan dari sekolah desa (tiga tahun) kesekolah dasar dengan
bahasa pengantar bahasa Belanda. Lama belajarnya lima tahun dan diperuntukan bagi
anak-anak golongan bumi putra. Disamping sekolah dasar tersebut diatas masih terdapat
sekolah khusus untuk orang Ambon seperti Ambonsche Burgerschool yang pada tahun
1922 dijadikan HIS. Untuk anak dari golongan bangsawan disediakan sekolah dasar
khusus yang disebut sekolah Raja (Hoofdensschool). Sekolah ini mula-mula didirikan di
Tondano pada tahun 1865 dan 1872, tetapi kemudian diintegrasi ke ELS atau HIS.
1. Pendidikan lanjutan = Pendidikan Menengah

1. MULO (Meer Uit gebreid lager school), sekolah tersebut adalah
kelanjutan dari sekolah dasar yang berbasa pengantar bahasa Belanda.
Lama belajarnya tiga sampai empat tahun. Yang pertama didirikan pada
tahun 1914 dan diperuntukan bagi golongan bumi putra dan timur asing.
Sejak zaman jepang hingga sampai sekarang bernama SMP. Sebenarnya
sejak tahun 1903 telah didirikan kursus MULO untuk anak-anak Belanda,
lamanya dua tahun.
2. AMS (Algemene Middelbare School) adalah sekolah menengah umum
kelanjutan dari MULO berbahasa belanda dan diperuntukan golongan
bumi putra dan Timur asing. Lama belajarnya tiga tahun dan yang petama
didirikan tahun 1915. AMS ini terdiri dari dua jurusan (afdeling= bagian),
Bagian A (pengetahuan kebudayaan) dan Bagian B (pengetahuan alam )
pada zaman jepang disebut sekolah menengah tinggi, dan sejak
kemerdekaan disebut SMA.
3. HBS (Hoobere Burger School) atau sekolah warga Negara tinggi adalah
sekolah menengeh kelanjutan dari ELS yang disediakan untuk golongan
Eropa, bangsawan golongan bumi putra atau tokoh-tokoh terkemuka.
Bahasa pengantarnya adalah bahasa belanda dan berorentasi ke Eropa
Barat, khususnyairikan pada belanda. Lama sekolahnya tiga tahun dan
lima tahun. Didirikan pada tahun 1860
4. Pendidikan Kejuruan (vokonderwijs )
Sebagai pelaksanaan politik etika pemerintah belanda banyak mencurahkan perhatian
pada pendidikan kejuruan. Jenis sekolah kejuruan yang ada adalah sebagai berikut:
1. Sekolah pertukangan (Amachts leergang) yaitu sekolah berbahasa daerah dan
menerima sekolah lulusan bumi putra kelas III (lima tahun) atau sekolah lanjutan
(vervolgschool). Sekolah ini didirikan bertujuan untuk mendidik tukang-tukang.
didirikan pada tahun 1881
2. Sekolah pertukangan (Ambachtsschool) adalah sekolah pertukangan berbahasa
pengantar Belanda dan lamanya sekolah tiga tahun menerima lulusan HIS, HCS
atau schakel. Bertujuan untuk mendidik dan mencetak mandor jurusanya antara
lain montir mobil, mesin, listrik, kayu dan piñata batu
3. Sekolah teknik (Technish Onderwijs) adalah kelanjutan dari Ambachtsschool,
berbahasa Belanda, lamanya sekolah 3 tahun. Sekolah tersebut bertujuan untuk
mendidik tenaga-tenaga Indonesia untuk menjadi pengawas, semacam tenaga
teknik menengah dibawah insinyur.
4. Pendidikan Dagang (Handels Onderwijs). Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan
perusahaan Eropa yang berkembang dengan pesat.
5. Pendidikan pertanian (landbouw Onderwijs) pada tahun 1903 didirikan sekolah
pertaian Yang menerima lulusan sekolah dasra yang berbahasa penganatar
belanda. Pada tahun 1911 mulai didirikan sekolah pertanian (cultuurschool) yang

terdiri dari dua jurusan, pertanian dan kehutanan. Lama belajaranya sekitar 3-4
tahun, dan bertujuan untuk menghasilkan pengawas-pengawas pertanian dan
kehutanan. Pada rtahun 1911 didirikan pula sekolah pertanian menengah atas
(Middelbare Landbouwschool) yang menerima lulusan MULO atau HBS yang
lamanya belajar 3 tahun.
6. Pendidikan kejuruan kewanitaan (Meisjes Vakonderwijs).
7. Pendidikan ini merupakan kejuruan yang termuda. Kemudian sekolah yang
sejenis yang didirikn oleh swasta dinamakan Sekolah Rumah Tangga
(Huishoudschool). Lama belajarnya tiga tahun.
8. Pendidikan keguruan (Kweekschool). Lembaga keguruan ini adalah lembaga
yang tertua dan sudah ada sejak permulaan abad ke-19. Sekolah guru negeri yang
pertama didirikan pada tahun 1852 di Surakarta. Sebelum itu pemerintah telah
menyelenggarakan kursus-kursus guru yang diberi nama Normal Cursus yang
dipersiapkan untuk menghasilkan guru-guru sekolah desa. Pada abad ke-20
terdapat tiga macam pendidikan guru, yaitu:
1. Normalschool,sekolah guru dengan masa pendidikan empat tahun dan
menerima lulusan sekolah dasar lima tahun, berbahasa pengantar bahasa
dearah.
2. Kweekschool, sekolah guru empat tahun yang menerima lulusan
berbahasa belanda.
3. Hollandschool Indlandschool kweekschool, sekolah guru 6 tahun
berbahasa pengantar Belada dan bertujuan menghasilkan guru HIS-HCS.
4. Pendidikan Tinggi (Hooger Onderwijs)
Karena terdesak oleh tenaga ahli, maka didirikanlah:
a) Sekolah Tehnik Tinggi (Technische Hoge School).
Sekolah Tehnik Tinggi ini yang diberi nama THS didirikan atas usaha yayasan pada
tahun 1920 di Bandung. THS adalah sekolah Tinggi yang pertama di Indonesia, lama
belajarnya lima tahun. Sekolah ini kemudian menjelma menjadi ITB.
b) Sekolah Hakim Tinggi (Rechskundige Hoge school).
RHS didirikan pada tahun 1924 di Jakarta. Lama belajarnya 5 tahun, yang tama AMS
dapat diterima di RHS. Tamatan ini dijadikan jaksa atau hakim pada pengadilan.
c) Pendidiakn tinggi kedokteran.
Lembaga ini di Indonesia di mulai dari sekolah dasar lima tahun. Bahasa pengantarnya
bahasa melayu . pada tahun 1902 sekolah dokter jawa diubah menjadi STOVIA (School
Tot Opleiding Voor Indische Artsen) yang menerima lulusan ELS, dan berbahasa
pengantar Belanda. Lama belajarnya 7 tahun. Kemudian syarat penerimaannya

ditingkatkan menjadi lulusan MULO. Pada tahun 1913 disamping STOVIA di Jakarta
didirikan sekolah tinggi kedokteran (Geneeskundige Hogeschool) Yang lama belajaranya
6 tahun dan menerima lulusan AMS dan HBS.
1. D. Beberapa Ciri Umum Politik Pendidikan Belanda
Politik pendidikan colonial erat hubungannya dengan politik mereka pada umumnya,
suatu politik yang didominasi oleh golongan yang berkuasa dan tidak didorong oleh nilainilai etis dengan maksud untuk membina kematangan politik dan kemerdekaan tanah
jajahannya. Berhubungan dengan sikap itu dapat kita lihat sejumlah ciri politik dan prakti
pendidikan tertentu.


Ø Menurut Tilaar (1995) dalam pandangannya menyebutkan ada 5 ciri yang dapat
ditemukan pendidikan kita dimasa colonial belanda yaitu:

1. System Dualisme
Dalam system dualisme diadakan garis pemisahan antara system pendidikan untuk
golongan Eropa dan system pendidikan unutk golongan bumi putra. Jadi disini diadakan
garis pemisah sesuai dengan politik colonial yang membedakan antara bumi putra dan
pihak penjajah.
1. System Korkondasi
System ini berarti bahwa pendidikan didaerah penjajahan disesuaikan dengan pendidikan
yang terdapat di Belanda. System ini diasumsikan bahwa dengan System yang
berkrkondasi dengan system yang ada di negeri Belanda, maka mutu pendidikan terjamin
setingkat pendidikan di Negara Belanda.
1. Sentralisasi
Kebijakan pendidikan dizaman colonial diurus oleh departemen pengajaran. Departemen
ini yang mengatur segala sesuatu mengeani pendidikan dengan perwakilannya yang
terdapat dipropinsi-propinsi Besar.
1. Menghambat gerakan Nasional
Pendidikan pada masa itu sangat selektif karena bukan diperuntukan untuk masyarakat
pribumi putra untuk mendapatkan pendidikan dengan seluas-luasnya atau pendidikan
yang lebih tinggi. Didalam kurikulum pendidikan colonial pada waktu itu, misalnya
sangat dipentingkan penguasaan bahasa belanda dan hal-hal mengenai negeri belanda.
Misalnya dalam pengajaran ilmu bumi, anak-anak bumi putra harus menghapal kota-kota
kecil yang ada di negeri Belanda.
1. Perguruan swasta yang militer
Salah satu perguruan swasta yang gigih menentang kekuasaan colonial adalah seolaholah taman siswa yang didirikan oleh kihajar dewantara tanggal 3 juli 1922.
1. Tidak adanya perencanaan pendidikanyan sistematis

Perkembangan pendidikan merupakan rangkaian kompromi antara usaha pemerintah
untuk memberikan pendidikan minimal bagi pribumi dan tuntutan yang terus menerus
dari pihak Indonesia untuk memperoleh pendidikan yang sama dengan orang Belanda.


Ø Menurut Prof. Dr. S. Nasution mengemukakan enam cirri umum politik
pendidikan Belanda, yaitu:[4]

1. Dualisme
Dualisme dalam pendidikan dengan adanya sekolah untuk anak Belanda dan untuk yang
tak berada, sekolah yang memberi kesempatan melanjutkan dan tidak memeberi
kesempatan.
1. Gradualisme
Gradualisme dengan mengusahakan pendidikan rendah yang sederhana mungkin bagi
anak Indonesia dan memperlambat lahirnya sekolah untuk anak Indonesia.
1. Prinsip Konkordansi
Prinsip yang memaksa semua sekolah berorientasi barat mengikuti model sekolah
Nederland dan menghalangi penyesuaiannya dengan keadaan Indonesia.
1. Control sentral yang kuat
Yang menciptakan birokrasi yang ketat yang hanya memungkinkan perubahan kurikulum
dengan persetujuan para pembesar di Indonesia maupun di negeri Belanda.
1. Tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis
Menyebabkan pemerintah mengadakan percobaan dengan berbagai macam sekolah
menurut keadaan zaman.
1. Pendidikan pegawai sebagai tujuan utama sekolah.
Penyelenggaraan dan penerimaan murid didasarkan atas kebutuhan pemerintah Belanda
dalam tenaga kerja.
Beberapa prinsip yang oleh pemerintah Belanda diambil sebagai dasar kebijakannya di
bidang pendidikan antara lain:
1. Menjaga jarak atau tidak memihak salah satu agama tertentu;
2. Memperhatikan keselarasan dengan lingkungan sehingga anak didik kelak mampu
mandiri atau mencari penghidupan guna mendukung kepentingan kolonial;
3. Sistem pendidikan diatur menurut pembedaan lapisan sosial, khususnya yang ada
di Jawa.
4. Pendidikan diukur dan diarahkan untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang
dapat dimanfaatkan sebagai pendukung supremasi politik dan ekonomi

pemerintah kolonial. Jadi secara tidak langsung, Belanda telah memanfaatkan
kelas aristokrat pribumi untuk melanggengkan status quo kekuasaan kolonial di
Indonesia.[5]
BAB III
KESIMPULAN


Alasan orang Belanda mendirikan sekolah bagi anak-anak Indonesia yaitu untuk
mendidik anak Belanda dan Jawa agar menjadi pekerja yang kompeten pada
VOC. Dan pada saat itu belum terdapat pengajaran klasik. Mengajar berdasarkan
pengajaran individual. Murid-murid datang seorang demi seorang ke meja guru
dan menerima bantuan individual. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa
melayu dan portugis, karena bahasa belanda masih dirasakan sulit.



Faktor-faktor yang menyebabkan berlangsungnya politik etika

1. Terbit sebuah artikel oleh Van Devender berjudul “Hutang Kehormatan” dalam
majalah De Gids. Disitu ia mengemukakan bahwa keuntungan yang diperoleh
oleh Indonesia selama ini hendaknya dibayar kembali dari perbendaharaan
Negara.
2. Factor lain yang menyebabkan berlangsungnya politik etika ini ialah kebangkitan
Nasional dengan berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908,
3. serikat islam partai politik pertama di Indonesia yang didasarkan atas organisai
Barat didirikan tahun 1919,
4. adanya volksraad tahun 1918 yang merupakan saluran bagi orang Indonesia untuk
menyatakan pendapatnya.


Sistem persekolahan pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, secara umum
sistem pendidikan khususnya system persekolahan didasarkan kepada golongan
penduduk menurut keturunan atau lapisan (kelas) social yang ada dan menurut
golongan kebangsaan yang berlaku waktu itu, diantaranya:

1. Pendidikan Rendah (Lager Onderwijs)
2. Pendidikan lanjutan = Pendidikan Menengah
3. Pendidikan Kejuruan (vokonderwijs )
4. Pendidikan Tinggi (Hooger Onderwijs)


Ciri umum politik pendidikan Belanda

ü Menurut Tilaar (1995) dalam pandangannya menyebutkan ada 5 ciri yang dapat
ditemukan pendidikan kita dimasa colonial belanda yaitu:
1. System Dualisme

2. System Korkondasi
3. Sentralisasi
4. Menghmbat gerakan Nasional
5. Perguruan swasta yang militer
6. Tidak adanya perencanaan pendidikanyan sistematis
ü Menurut Prof. Dr. S. Nasution mengemukakan enam cirri umum politik pendidikan
Belanda, yaitu:
1. Dualisme
2. Gradualisme
3. Prinsip Konkordansi
4. Control sentral yang kuat
5. Tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis
6. Pendidikan pegawai sebagai tujuan utama sekolah.
[1] Prof. Dr. H. Afifuddin, Sejarah Pendidikan, (bandung: Prosfect, 2007), hlm. 29
[2] Prof. Dr. H. Afifuddin, Sejarah Pendidikan, (bandung: Prosfect, 2007), hlm. 36
[3] Prof. Dr. H. Afifuddin, Sejarah Pendidikan, (bandung: Prosfect, 2007), hlm. 37
[4] Prof. Dr. S. Nasution, Sejarah Pendidikan Nasional, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995),
hlm. 20
[5] http://khairuddinhsb.blog.plasa.com/2008/07/21/pendidikan-di-zaman-belanda/

Tag: sistem pendidikan jaman belanda
Selayang Pandang: Kebijakan Pendidikan Di Indonesia
Pra Proklamasi Kemerdekaan
1. PENDAHULUAN
Kebijakan merupakan keputusan yang telah ditetapkan atau standing decision yang memiliki
karakteristik tertentu seperti konsistensi sikap dan keberulangan bagi subyek dan obyeknya
(Heinz Eulau dan Kenneth Prewitt dalam Reyes, 2001). Sementara kebijakan pendidikan dapat
dimaknai sebagai kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk mengatur pendidikan di
negaranya. Yang pasti, kebijakan apapun itu, selalu diwujudkan dalam bentuk keputusan yang
menekankan pada implementasi tindakan, terlepas dari tindakan tersebut pada akhirnya
dilakukan atau tidak.
Pelaku dan perumus kebijakan publik di Indonesia adalah perumus kebijakan itu sendiri
(legislatif: DPR dan MPR), pemerintah (eksekutif: Presiden), badan administratif (Menteri
Kabinet), dan peserta non-struktural (partai politik, interest groups, tokoh maupun perorangan).
Perwujudan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan tersebut dapat dikategorisasikan menjadi
2 bentuk, yaitu yang pertama, terwujud dalam bentuk peraturan pemerintah seperti: GBHN, TAP
MPR, UU tentang pendidikan, PP, dan seterusnya; yang kedua terwujud dalam bentuk sikap
pemerintah, terutama dari Menteri Pendidikan Nasional yang meliputi sikap formal yang
dituangkan melalui SK atau Permen, dan sikap non-formal seperti komentar, pernyataan, atau
anjuran tentang segala hal yang berkaitan dengan pendidikan nasional (Assegaf, 2005).
Tentunya, dalam pembentukan segala jenis peraturan pemerintah dan sikap formal pemerintah,
tidaklah berjalan tanpa aturan. Di Indonesia, pembuatan kebijakan publik telah diatur dalam UU
No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Mekanisme
pembuatan kebijakan tersebut terbagi dalam tahap perencanaan, persiapan, teknik penyusunan,
perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundang-undangan, dan penyebarluasan (Sirajuddin
dkk, 2007). Tentunya kebijakan publik yang dimaksud juga meliputi kebijakan pendidikan yang
berada dalam ranah publik.
Pembahasan mengenai masalah kebijakan pendidikan nasional tentunya tidak akan pernah
terlepas dari pembahasan mengenai dimensi politik yang mengonstruknya. Dapat dikatakan
bahwa segala kebijakan pendidikan pada dasarnya merupakan keputusan politik (Supriadi dan
Hoogenboom, 2003). Pendapat tersebut juga didukung oleh pakar analisis kebijakan publik dari
Amerika Serikat, William N. Dunn, yang menyatakan bahwa pada dasarnya proses pembuatan
kebijakan merupakan proses politik yang berlangsung dalam tahap-tahap tertentu yang saling
bergantung, yaitu penyusunan agenda kebijakan, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan,
implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Di lain pihak, permasalahan yang diagendakan
dalam perumusan kebijakan menjadi jauh lebih jelas bila digambarkan melalui dimensi politik.
Pendapat tersebut senada dengan apa yang diungkapkan oleh Murray Edelman, bahwa
munculnya permasalahan kebijakan tentu melalui cara-cara yang sangat kompleks. Kompleksitas
tersebut muncul dari dinamika masyarakat yang telah melibatkan aspirasinya, self concept-nya,
kepercayaannya, ketakutannya, dan pada akhirnya mengkonstruksi permasalahan-permasalahan
tertentu (Howlett dan Ramesh, 1998). Sehingga menjadi sebuah kewajaran bila berbagai elemen
dan situasi yang melingkupi keadaan sosio-politik sebuah bangsa akan sangat menentukan
seperti apa bangunan kebijakan yang akan dihasilkan nantinya. Adanya dimensi politik yang
menjadi bagian dalam proses pembuatan kebijakan publik tersebut telah banyak diuraikan oleh
para pakar, yang salah satunya menelurkan konsep formulasi kebijakan publik dalam sebuah
realitas politik makro dan mikro yang begitu penuh dengan kompleksitas (Grindle dan Thomas
dalam Wibowo dkk, 2004).
Kentalnya dimensi politik dalam arena kebijakan publik, dalam hal ini yang dibahas secara
khusus adalah kebijakan pendidikan, memunculkan berbagai macam permasalahan. Bahkan,
kebijakan tersebut diklaim sebagai bagian dari suatu sistem masalah yang menjadi sumber

ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah (Dunn, 2003). Sehingga berbagai upaya
dilakukan untuk menganalisis kebijakan yang telah, sedang, maupun akan dibuat oleh
pemerintah, tentunya dari berbagai sudut pandang terutama dari dimensi politik. Dalam mengkaji
politik kebijakan pendidikan di Indonesia, tentunya tidak dapat dilakukan dengan hanya
melakukan kajian terhadap kebijakan pendidikan yang dikeluarkan baru-baru ini saja. Konteks
sejarah tentunya tidak dapat diabaikan bila tidak ingin mengalami akronisme (kesalahan yang
sering diabaikan oleh penulis karena tidak menghiraukan konteks dan realita jaman). Kajian
tersebut tentunya harus dimulai dari jaman sebelum bangsa Indonesia merdeka. Seperti
dipaparkan oleh sejarawan Ong Hok Ham, para pejuang kemerdekaan Indonesia tidaklah
mendirikan negara baru dari bawah dengan unsur-unsur revolusioner melainkan mewarisi suatu
negara beserta aparatus-aparatusnya (Ham, 2004). Sehingga dengan memulai kajian terhadap
kebijakan pendidikan sejak periode sebelum bangsa ini merdeka akan sangat membantu analisis
yang akan dilakukan, karena apa yang terjadi dimasa lalu akan menjelaskan apa-apa yang terjadi
dimasa sekarang. Itulah sebabnya, kajian terhadap politik kebijakan pendidikan di Indonesia ini
paparannya akan disesuaikan dengan periodisasi sejarah Indonesia. Periodisasi yang digunakan
merupakan hasil pengembangan dari periodisasi sejarah Indonesia yang dibuat oleh sejarawan
Sartono Kartodirdjo (Kartodirdjo, 1987). Secara garis besar, periodisasi sebelum proklamasi
kemerdekaan Indonesia tersebut digambarkan sebagaimana berikut:
1 Zaman Permulaan Kebudayaan Indonesia (Sebelum 1M)
2 Zaman Dicernakannya Unsur-Unsur Kebudayaan Hindu Dan Budha (Abad 1 M - 15 M)
3 Zaman Dicernakannya Unsur-Unsur Kebudayaan Islam (Abad 12 M)
4 Pengaruh Kedatangan Portugis (Awal Abad 16 M Hingga Menjelang Akhir Abad 16 M)
5 Zaman Penjajahan Belanda
5.1 Zaman VOC (1596-1799)
5.2 Zaman Pemerintahan Hindia Belanda (1799-1811)
5.2.1 Gubernur Jenderal Dirk van Hogendorp (1799-1808)
5.2.2 Gubernur Jendral Herman Willem Daendels (1808-1811)
6 Zaman Pendudukan Inggris (1811-1816)
7 Zaman Pemerintahan Hindia Belanda (1816-1942)
7.1 Serah Terima Komisaris Jenderal Belanda dari pihak Inggris (1816-1818)
7.2 Gubernur Jenderal Van der Capellen (1819-1826)
7.3 Gubernur Jenderal LPJ Du Bus de Gisignies (1826-1830)
7.4 Gubernur Jenderal Van den Bosch (1830-1848)
7.5 Gubernur Jenderal Rochussen (1848-1852)
7.6 Pemerintahan Hindia Belanda Pada Pertengahan Hingga Akhir Abad 19 M
7.7 Periode Politik Etis (1900-1942)
8 Zaman Pendudukan Jepang (1942-1945)
2. ZAMAN SEBELUM PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA
2.1 ZAMAN PERMULAAN KEBUDAYAAN INDONESIA (SEBELUM 1 M)
Sebelum masuknya agama Hindu dan Budha yang disebarkan melalui pedagang-pedagang dari
India, penduduk yang tinggal (terutama) di pulau Jawa masih menganut paham animisme dan
dinamisme. Dapat diperkirakan bahwa proses pendidikan yang berlangsung pada masa tersebut
masih berkisar pada pengajaran life skill, seperti bagaimana caranya melangsungkan kehidupan
dan bertahan hidup, yang diajarkan turun-temurun melalui keluarga-keluarga yang hidup secara
berkelompok. Hal tersebut sejalan dengan pendapat yang dikutip berikut ini, bahwa “…
keterampilan yang perlu sebagai senjata mencari penghidupannya kelak dipelajari dengan

langsung dari praktek sehari-hari, tidak berurutan dan beraturan sehingga tidak canggung lagi
menghadapi kesulitan hidup” (Said dan Affan, 1987). Ditambahkan pula, bahwa sistem
pendidikan tersebut sangat bergantung dengan sistem perkawinan, apakah patrilineal atau
matrilineal, seperti halnya pendidikan pada suku Batak yang patrilineal tentunya sangat berbeda
dengan suku Minangkabau yang matrilineal, dan seterusnya.
2.2 ZAMAN DICERNAKANNYA UNSUR-UNSUR KEBUDAYAAN HINDU DAN BUDHA (ABAD
1 M - 15 M)
Di India, agama Budha timbul sebagai reaksi terhadap pengaruh kasta Brahmana yang
memonopoli agama untuk keuntungan golongan mereka sendiri. Berbeda dengan negara asal
agama Budha tersebut, di Indonesia terjadi sinkretisme antara agama Budha dan Hindu. Sesuai
dengan kronologi penyebarannya, agama Budha lalu disusul dengan agama Hindu, maka
masuknya agama Hindu dianggap sebagai sebuah awalan baru karena Syiwa dianggap sebagai
penjelmaan sosok Budha. Hal tersebut mungkin disebabkan karena unsur-unsur reformis dalam
kedua sosok tersebut yang kurang lebih hampir sama. Dewa Syiwa paling banyak ditakuti karena
kekuasaannya yang sangat tak terbatas, bahkan banyak raja-raja pada masa itu yang mengaku
bahwa mereka adalah titisan dari dewa Syiwa. Aliran sinkretisme tersebut lebih mudah
berkembang karena sangat dekat dengan aliran-aliran yang pernah diyakini oleh penduduk
sebelum masuknya kedua agama tersebut, yaitu penyembahan terhadap arwah nenek moyang.
Selain itu, agama Budha dianggap sebagai agama kaum elit yang sedang berkuasa. Wajar saja
bila anggapan tersebut muncul karena pada masa itu, yang mendapatkan pendidikan hanya
kaum pendeta yang lalu memberi petunjuk pada kaum elit bangsawan dan ksatria saja. Sehingga
hal yang sama seperti di India, terjadi pula di bumi Nusantara, yaitu monopoli ilmu pengetahuan
oleh kaum pendeta. Bukti nyata dari hal tersebut salah satunya adalah penguasaan bahasa
Sansekerta dan huruf Pallawa yang hanya dipahami oleh kaum Pendeta saja.
Pada masa dicernakannya unsur-unsur kebudayaan agama Budha, Sriwijaya menjadi kerajaan
maritim terbesar di wilayah Asia Tenggara. Sebab itulah, penjagaan pangkalan dan operasional
kapal membutuhkan sangat banyak tenaga. Sehingga selain pendidikan yang diberikan oleh
kaum pendeta pada kalangan elit, berkembanglah pendidikan-pendidikan untuk melatih tenaga
operasional pangkalan dan kapal-kapal, yang tentunya bertujuan sangat praktis (Said dan Affan,
1987).
Pengetahuan terhadap bahasa daerah kerajaan tetangga pada masa itu, adalah suatu bentuk
good-neigbourhood-policy. Sriwijaya pun tentunya tidak mau kalah sehingga dibukalah lembagalembaga pendidikan bahasa dan ilmu pengetahuan, yang pada mulanya bertujuan untuk
penerjemahan semata, di ibukota kerajaan. Kerjasama yang baik antara Sriwijaya dengan
kerajaan Benggala di bidang pendidikan dibuktikan dengan dibangunnya sejumlah asrama di
perguruan tinggi Nalanda di India untuk peserta didik yang berasal dari Nusantara, tentunya
hanya untuk golongan tertentu saja. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan pada masa
tersebut juga dibuktikan dengan ditemukannya peninggalan situs perguruan tinggi Sakyakirti
yang memiliki reputasi internasional di wilayah kerajaan Sriwijaya (sekarang daerah Palembang).
Menurut catatan I-Ching, seorang peziarah dari China, ketika melewati Sumatera pada abad ke-7
M ia mendapati banyak sekali kuil-kuil Budha dimana di dalamnya berdiam para cendekiawan
yang mengajarkan beragam ilmu. Kuil-kuil tersebut tidak saja menjadi pusat transmisi etika dan
nilai-nilai keagamaan, tetapi juga seni dan ilmu pengetahuan. Lebih dari seribu biksu Budha yang
tinggal di Sriwijaya itu dikatakan oleh I-Ching menyebarkan ajaran seperti yang juga
dikembangkan sejawatnya di India (http://peziarah.wordpress.com, 2007).
Pendidikan pada zaman tersebut masih bersifat sangat individualistis, hanya mementingkan
kesejahteraan dan keselamatan diri sendiri atau golongan tertentu. Hal ini menjadi salah satu
faktor pendukung dalam kemunduran kerajaan Sriwijaya yang akhirnya tergantikan dengan
kerajaan agraris pedalaman seperti kerajaan Majapahit yang besar dengan percampuran agama
Budha dengan Hindu Syiwa (Said dan Affan, 1987).
Penyebaran agama Hindu merupakan jalan masuk ilmu pengetahuan seperti baca-tulis,
perhitungan tahun Saka, wawasan tentang alam raya, sastra yang mengandung filsafat
keagamaan dan filsafat kehidupan beserta ajaran mistik yang cukup halus (Ibtihadj, 2006). Ajaran

Hindu yang cukup kental dengan mistik tersebut sangat mudah untuk diterima oleh penduduk
yang ada pada masa itu karena animisme dan dinamisme yang mereka anut. Bahkan melalui
agama Hindu juga didapatkan teori-teori ketatanegaraan dan pemerintahan. Kekuasaan raja
dianggap keramat karena raja dianggap sebagai wakil para dewa untuk mengatur kehidupan
masyarakat yang telah diberkati oleh para dewa. Itulah sebabnya agama Hindu melahirkan
banyak kerajaan-kerajaan besar terutama di pulau Jawa.
Pada masa kerajaan-kerajaan Hindu, proses transfer nilai-nilai keagamaan dan ilmu
pengetahuan dilakukan secara turun temurun melalui golongan kastanya masing-masing.
Pemuka agama atau yang disebut dengan kaum Brahmana, memegang kendali sistem
pendidikan dari jenjang yang paling dasar hingga yang paling tinggi (Djojonegoro, 1996),
tentunya atas dasar lisensi yang diberikan oleh kerajaan. Proses pendidikan pada umumnya
dilangsungkan di padepokan-padepokan dengan sistem asrama, tentunya dengan jumlah murid
yang sangat terbatas. Kaum bangsawan biasanya mengirimkan anak-anak mereka ke
padepokan untuk mendapatkan pengajaran atau bahkan memanggil guru yang bersangkutan ke
kediaman mereka. Namun demikian, proses pendidikan dan pengajaran tidak dilangsungkan
melalui penjenjangan secara formal sehingga dimungkinkan bagi tiap siswa untuk berpindahpindah dari guru satu ke guru lainnya untuk memperdalam atau menambah ilmu pengetahuan
yang akan dipelajarinya (Gunawan, 1995).
Ajaran Hindu yang menganut sistem kasta membuka celah yang sangat lebar dalam munculnya
perbudakan. Secara otomatis, kasta yang lebih tinggi akan melakukan hegemoni terhadap kasta
yang lebih rendah karena kastanisasi dalam ajaran Hindu sangatlah tertutup (tidak
memungkinkan adanya percampuran antar kasta). Sebab itulah, hanya golongan kasta
menengah keatas saja yang mendapatkan pengajaran budi pekerti untuk kesempurnaan pribadi
dalam hal agama, kekebalan dan kekuatan fisik, keterampilan menggunakan senjata tajam, dan
menunggang kuda. Secara politis, minimnya distribusi ilmu pengetahuan menjadi salah satu
upaya golongan yang memiliki kasta tertinggi, yaitu raja dan keturunannya, untuk
melanggengkan hegemoni terhadap kasta-kasta yang lebih rendah darinya. Sehingga rakyat
jelata yang berada pada golongan kasta terendah tetap saja buta huruf, tidak berilmu
pengetahuan, dan tetap terhegemoni dalam lestarinya budaya bisu.
Pengaruh agama Hindu dianggap berakhir dengan runtuhnya kerajaan Majapahit yang memiliki
kekuasaan terbesar di Asia Tenggara pada abad ke-15 (Said dan Affan, 1987). Selain faktor
internal kerajaan, runtuhnya kerajaan Majapahit juga didukung oleh faktor eksternal seperti mulai
berkembangnya agama Islam di daerah pesisir utara. Beberapa karya intelektual yang sempat
lahir pada zaman ini antara lain Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa (Kediri, 1019), Bharata Yudha
karya Mpu Sedah (Kediri, 1157), Hariwangsa karya Mpu Panuluh (Kediri, 1125), Gatotkacasraya
karya Mpu Panuluh, Smaradhahana karya Mpu Dharmaja (Kediri, 1125), Negara Kertagama
karya Mpu Prapanca (Majapahit, 1331-1389), Arjunawijaya karya Mpu Tantular (Majapahit, ibid),
Sutasoma karya Mpu Tantular, dan Pararaton (epik berdirinya Kediri hingga Majapahit).
2.3 ZAMAN DICERNAKANNYA UNSUR-UNSUR KEBUDAYAAN ISLAM PADA AWAL
PENYEBARANNYA (ABAD 12 M)
Agama Islam mulai masuk dan berkembang secara perlahan-lahan di daerah pesisir pantai pulau
Jawa diperkirakan mulai abad 12 hingga abad 13. Kerajaan Majapahit sebagai kerajaan Hindu
terbesar yang mulai mengalami keruntuhan pada masa itu juga sangat mempermudah
penyebaran Islam. Pasalnya, disintegrasi politik dan degenerasi kultural tersebut menjadi kondisi
yang sangat optimal untuk sebuah perubahan dalam hal penerimaan nilai-nilai baru seperti nilai
Islam (Kartodirdjo, 1987). Sehingga agama para pedagang dari Arab, Parsi, Gujarat, dan
Bengala ini menjadi sangat mudah diterima oleh penduduk. Islam yang menjadi nilai baru dalam
kehidupan penduduk tersebut dianggap memiliki prestige yang tinggi karena agama tersebut
dibawa oleh para pedagang tersebut. Sehingga memeluk agama Islam pun dianggap akan
memperlancar hubungan mereka dengan pedagang-pedagang tersebut. Selain itu, agama Islam
yang tidak mengenal kastanisasi juga sangat menarik bagi para pedagang yang termasuk dalam
golongan kasta rendah dalam agama Hindu. Tidak hanya itu, Islamisasi juga terjadi melalui
pernikahan antara pedagang yang beragama Islam dengan penduduk lokal. Walaupun demikian,
Islam tidak menginternalisasi secara penuh pada penduduk di daerah Indonesia yang pada masa

itu kebudayaannya masih berakar kuat pada Hinduisme sehingga muncul istilah Islam abangan.
Hal tersebut dapat terlihat jelas dari banyaknya penduduk pemeluk Islam yang masih memelihara
anjing, meminum arak, dan tidak menutup aurat sebagaimana ketentuan agama Islam dalam
berbusana, dst.
Agama Islam yang juga menjadi jalan masuk bagi ilmu pengetahuan di bumi nusantara
berkembang melalui sebuah model lembaga pendidikan tradisional yang disebut dengan
pesantren. Karel Steenbrink bahkan membuat klasifikasi terhadap model pengajaran agama
Islam menjadi 2 bentuk, yang pertama adalah pengajaran Al-Qur’an sebagai model pendidikan
Islam yang paling sederhana dan dapat ditemukan di langgar, surau, maupun di rumah guru
mengaji; yang kedua adalah pendidikan lanjutan berupa pengajian kitab-kitab selain Al-Qur’an
dan ilmu fiqh, ushuluddin, tafsir Al-Qur’an, bahasa Arab dan sejenisnya pada sebuah lembaga
pendidikan tradisional yang disebut dengan pesantren. Pada model pertama, pengajian Al-Qur’an
diberikan secara individual sehingga lama pendidikan setiap santri akan berbeda-beda sesuai
dengan daya tangkapnya masing-masing. Pada model kedua, santri belajar dengan sistem
halaqah (pengajaran diberikan pada santri secara berkelompok oleh seorang kiai) dan juga
model asistensi (santri yang lebih lama dan memiliki pengetahuan lebih dahulu menjadi
pembimbing bagi santri yang baru masuk). Selain perbedaan akan apa yang dipelajari, santri
yang belajar di pesantren diharuskan menginap dalam pondok-pondok yang biasanya berada di
sekitar rumah kiai pemilik pesantren, berbeda dengan model pengajian Al-Qur’an di langgar atau
surau yang tidak menginapkan santri. Kesemua model pendidikan Islam ini tidaklah memungut
biaya karena dalam agama Islam tidak diperkenankan untuk meminta bayaran atas penyebaran
agama Islam. Sehingga para kiai pemilik pesantren mendapat bayaran dari statusnya sebagai
daerah perdikan atau waqaf dan juga mendapatkan hadiah berupa hasil panen dari orang tua
santri maupun zakat yang dibayarkan pada kiai tersebut (Steenbrink, 1986).
Pendidikan yang diberikan melalui pesantren lebih menekankan pada aspek spiritualitas yang
berdimensi ukhrawi, berpusat pada pembentukan akhlakul karimah, ketaatan beribadah,
pengabdian kepada Allah, dan kurang membekali pengetahuan material peserta didiknya
(Steenbrink, 1986). Diketahui bahwa pesantren mula-mula didirikan oleh Sunan Ampel atau
Raden Rahmat di daerah Kembang Kuning, Surabaya (Said dan Affan, 1987). Pesantren
berkembang pesat melalui santri-santri yang sudah selesai menuntut ilmu dan kemudian
mendirikan pesantren-pesantren di daerah yang mereka lalui atau di sekitar daerah asal mereka.
Selain itu, penyebaran Islam menjadi sangat masif dengan bantuan para wali yang terus
berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain dalam melakukan perjalanan dakwah.
Pendidikan agama Islam dilakukan secara damai sebelum kedatangan bangsa Eropa yang tidak
murni berdagang melainkan juga melakukan politik ekspansi yang pada akhirnya mengarah pada
kolonisasi. Tentunya model pendidikan Islam mulai banyak mendapatkan tantangan yang cukup
berarti pada masa tersebut. Semisal setelah kedatangan Portugis yang begitu masif upaya
Katholikisasinya, membuat penyebaran agama Islam di wilayah Timur nusantara terhenti.
Demikian halnya dengan kedatangan bangsa Belanda yang cukup membuat penyebaran agama
Islam melalui lembaga pendidikan tradisional seperti pesantren semakin terdesak ke desa-desa
terpencil di pedalaman. Berbeda dengan kedatangan Jepang yang justru semakin memasifkan
kegiatan pendidikan ke-Islam-an di Indonesia meskipun tetap melanjutkan kebijakan yang
dualistis warisan Belanda yang sampai saat ini masih diberlakukan dalam sistem pendidikan
nasional.
2.4 PENGARUH KEDATANGAN PORTUGIS (AWAL ABAD 16 M HINGGA MENJELANG
AKHIR ABAD 16 M)
Perjanjian Tordessilas (1494 M) berisi hak istimewa dari Bulla Paus untuk bangsa Portugis dan
Spanyol dalam hal pembagian wilayah daratan untuk dikuasai. Perjanjian tersebut menjadi dasar
perjalanan mereka untuk melakukan politik ekspansi ke daratan Asia dan Afrika. Tujuan tersebut
jelas karena pada dasarnya, bangsa Eropa me

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45