Ekonomi Politik Pertanian Gorontalo pdf

Ekonomi-Politik Pertanian Gorontalo
Funco Tanipu

Abstraksi
Pertanian Gorontalo mengalami pasang surut yang signifikan. Baik
di level pembangunan maupun pencitraan. Kondisi ini dipengaruhi
oleh kuatnya pengendalian yang dilakukan oleh negara. Wacana
desentralisasi sepertinya tidak berjalan, karena di level paling bawah
(desa), kondisinya tidak menggembirakan. Kontribusi ekonomi dari
sektor pertanian sepertinya hampir sama dengan sektor lain, dan
bahkan mengalami pelambatan. Problem ini diakibatkan oleh
komitmen negara yang rendah dalam pembangunan pertanian dan
aspek ekonomi-politik yang lebih mengemuka, yakni citra yang over
dosis.
Kata kunci : pertanian, pencitraan, ekonomi-politik.

Dalam kurun waktu selama sepuluh tahun terakhir, pertanian Gorontalo
mendapat tempat yang relatif terhormat. Pertanian Gorontalo yang menjadi
perbincangan di tingkat nasional menjadikan Agropolitan sebagai jargon, yang
dengan jargon tersebut energi sosial, ekonomi dan politik yang dimiliki tercurah
kesana,


dikemas

kedalam

bermacam-macam

program

dalam

bingkai

pembangunan pertanian. Praktisnya, Gorontalo meraih supremasi citra di bidang
pertanian secara menakjubkan, Indonesia yang semula tergolong daerah yang
tidak terkenal dan bahkan menjadi subordinat dari Sulawesi Utara, menjadi daerah
yang dikenal dimana-mana berkat pertaniannya. Faktor Fadel Muhammad tak
terhindarkan dari prestasi tersebut. Fadel menjadi pemimpin sekaligus pemasar
yang ikut menaikkan nama Gorontalo ke pentas pertanian nasional. Namun,
1


kejayaan ini tidak berlangsung lama. Sejak memasuki tahun 2006 hingga saat ini,
pembangunan pertanian Gorontalo mengalami perlambatan.
Indikator perlambatan ini terlihat dari berjaraknya sektor pertanian dengan
sektor-sektor lain seperti industri, perdagangan dan jasa, lambat tetapi pasti terus
melebar. Akar pelambatan itu antara lain adalah akibat dari kebijaksanaan
ekonomi yang dipilih lebih berorientasi pada industri berskala luas (broad-based
industry) dan hightech technology. Kondisi inilah yang menyebabkan sumbangan

sektor pertanian bagi pendapatan daerah relatif dibawah dengan sektor yang tidak
menjadi prioritas pembangunan. Bahkan, sektor pertanian hampir tidak memiliki
nilai kompetitif yang memadai.
Pembangunan pertanian akhirnya menjadi retorika pemerintah, kalangan
intelektual, politisi dan lembaga swadaya masyarakat. Tetapi sayang sampai
sekarang sektor pertanian semakin menurun, produk pertanian tidak kompetitif,
yang berimbas pada nasib petani semakin tidak menentu.
Kondisi yang semakin sulit ini membuat kehidupan petani dilanda sindrom
kemiskinan dan kebodohan, dan berimbas pada kesulitan mencukupi kebutuhan
dasar (sandang, pangan, pendidikan dan kesehatan).
Walaupun kondisi yang tidak menyenangkan ini terjadi, komitmen

pemerintah juga tidak begitu membanggakan. Kondisi ini yang membuat
tantangan pembangunan pertanian Gorontalo bukan hanya pola peningkatan
produktivitas dan mutu produksi pertanian yang bisa bersaing di tingkat nasional
maupun global, juga tidak semata-mata hanya menciptakan ketahanan pangan.
Terkait problem diatas, pertanian di Gorontalo tidak bisa dilihat dari
kacamata teknis pertanian, lebih dari pada itu, mesti menggunakan kacamata yang
komprehensif. Ide mengenai penguatan sektor pertanian Gorontalo memang sudah
banyak diutarakan, mulai dari pemerintah, lembaga masyarakat sipil hingga sektor
swasta.
Tulisan ini adalah perspektif baru dalam melihat pertanian Gorontalo yang
selama ini lebih menjadi simbol politik dibanding simbol kesejahteraan.
2

Perspektif ekonomi-politik hendak membedah itu dan menawarkan serangkaian
gagasan dalam menata kembali penguatan pertanian Gorontalo. Dengan perspektif
ekonomi-politik, penulis melihat problem bahwa penguatan pertanian adalah
perspektif yang membaca perubahan sosial di level desa. Sebab, desa menjadi
teritori yang menjadi medan pertarungan ekonomi-politik pertanian di Gorontalo.

Disparitas Ekonomi-Politik

Selama ini, pembangunan di Gorontalo menjadikan desa sebagai basis
teritorial pertanian. Problem yang terjadi adalah diasparitas ekonomi-politik akibat
masuknya kekuasaan (negara) dan kapital (pasar) secara eksploitatif. Skema
dibawah menunjukkan bahwa problem ekonomi politik di level paling bawah
yakni di desa sangat mempengaruhi pembangunan pertanian di Gorontalo.

Skema Disparitas Ekonomi-Politik Pertanian Gorontalo
Ekternal

Ekonomi

Politik

Internal

Kapitalisasi dan eksploitasi

Ketimpangan penguasaan aset

terhadap sumberdaya (tanah


desa antara kelompok kaya

dan penduduk) desa

dan miskin

Sentralisasi, birokratisasi,

Dominasi elit lokal dalam

intervensi dan korporatisasi

pertanian desa, partisipasi

pertanian desa

warga sangat rendah

Sumber : Sutoro Eko (2003)


Skema diatas adaah hasil riset Sutoro Eko (2003) mengenai kondisi
ekonomi-politik pertanian desa di Indonesia. Bahwa ada empat bentuk
ketimpangan ekonomi-politik yang terjadi secara internal maupun eksternal. Pada
kolom ekonomi-eksternal, dideskripsikan bahwa telah terjadi kapitalisasi dan
eksploitasi terhadap sumberdaya (penduduk dan tanah) desa. Di kolom politik3

eksternal, menggambarkan pengaturan penguasa supradesa terhadap entitas desa
melalui sentralisasi, birokratisasi, intervensi dan korporatisasi. Pada kolom
ekonomi-internal, terlihat disparitas sosial-ekonomi yang terjadi dalam desa,
antara si kaya dan si miskin. Dan terkahir pada kolom politik-internal,
memperlihatkan oligarki dan dominasi elite dalam proses politik di desa yang
memperlemah partisipasi (voice, akses dan kontrol) rakyat biasa (ordinary
people).

Dalam kajian sosiologi, desa telah menjadi arena pertempuran antara
banyak elemen, baik negara vs masyarakat, kapitalisme vs sosialisme, dan
berbagai elemen lainnya. Namun, dalam kajian sosio-historis, sebagai sebuah
entitas masyarakat lokal, desa memiliki sistem sosial yang cenderung sosialis,
dimana tanah menjadi properti sosial yang dikelola secara komunal dengan

semangat egalitarian dan pemerataan.
Namun, seiring berjalannya waktu, baik di era kolonial hingga Orde Baru,
problem agraria menjadi problem yang tak berkesudahan. Usaha penguasaan
tanah oleh Negara telah meluluhlantakkan seluruh sistem sosial agraria yang
berbasis komunitarian beralih menjadi berbasis administratif-kolonial.

Lingkaran Kemiskinan Petani

4

Frans Husken (1998), misalnya, melukiskan dengan gamblang bekerjanya
cultuurstelsel pada masa kolonial, sebagai bentuk negaranisasi dan kapitalisasi

sektor pertanian di desa. Akibatnya adalah terkonsolidasinya deferensiasi sosial,
ketimpangan sosial dan kekuasaan politik karena semakin banyaknya modal dan
campur tangan negara ke desa. Yang paling banyak memperoleh keuntungan
adalah elite desa dan pemilik modal.
Dalam studi yang lain, Jan Breman dan Gunawan Wiradi (2004)
menengarai bahwa proses yang sedang berlaku adalah polarisasi dan pengusiran.
Yang lebih mencolok daripada berkurangnya kemiskinan di kalangan yang miskin

tanah dan tunakisma adalah kekayaan yang baru diperoleh kaum elit pedesaan,
yang ditunjukkan melalui gaya hidup mencolok oleh sekelompok kecil rumah
tangga orang terkemuka yang bersama-sama menguasai sebagian besar aset modal
desa baik di pertanian maupun nonpertanian.
Bagi Jan Breman dan Gunawan Wiradi, itilah yang tepat adalah masa
“cerah” dan masa “suram” akan menjadi sangat relatif apabila diterapkan
pertanian, di mana petani tunakisma dan buruh tani merupakan mayoritas dalam
populasi. Kedua golongan ini sudah lama “mati rasa” dengan segala perubahan
kondisi lingkungan, karena perubahan yang positif atau yang disebut sebagai masa
cerah sekalipun tidak banyak berpengaruh kepada kehidupan mereka. Apabila
masa cerah saja tidak banyak mengangkat kesejahteraan, lantas apa yang terjadi
ketika masa suram tiba? Jan Breman dan Gunawan Wiradi melakukan dua kali
investigasi untuk mengamati dampak langsung hantaman krisis moneter terhadap
perekonomian desa.
Seiring dengan riset Jan Breman dan Gunawan Wiradi, konteks pertanian
Gorontalo yang mengalami masa “cerah” secara simbolik dalam kurun sepuluh
tahun terakhir. Dalam masa cerah ini, kehidupan sosial-ekonomi petani hampir
tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pertanyaanya, bagaimana petani
Gorontalo akan menghadapi masa suram yang saat ini mulai terlihat gejalanya?


5

Dalam dua studi Sutoro Eko dan Jan Breman terlihat bahwa konteks
pembangunan pertanian Gorontalo akan menjadi ilusi di tengah gelembung
pencitraan yang over dosis.

Gelembung Citra Pertanian
Nama Gorontalo mulai harum semenjak dibawah kepemimpinan Fadel
Muhammad. Gorontalo adalah daerah yang dikategorikan “pelosok” sebelum
Fadel memimpin, karena jarang diangkat oleh media nasional. Namun, setelah
menjadi Provinsi, Gorontalo banyak dibahas oleh media-media cetak besar seperti
Kompas, The Jakarta Post, Media Indonesia, Tempo, Republika, dll.
Fadel berhasil membuat citra yang positif tentang Gorontalo. Fadel saat
menjadi Gubernur telah menetapkan tiga program unggulan ; pertanian, perikanan
dan kelautan serta pengembangan sumber daya manusia. Khusus sektor pertanian,
media nasional telah memberitakan secara berulang-ulang dan bahkan bombastis,
walaupun agak berbeda dari data riil di lapangan.
Pencitraan yang dilakukan Fadel Muhammad memang berbuah hasil,
tercatat selama kurun waktu 2004 – 2005, Gorontalo menjadi lokasi studi banding
pertanian dari seluruh daerah bahkan luar negeri. Bahkan, Presiden Gambia

datang ke Gorontalo hanya untuk melihat “keberhasilan” pembangunan pertanian
(Elnino : 2005).
Dalam catatan Elnino, citra baik yang dibangun Fadel atas Gorontalo, dan
juga atas dirinya, rupanya lebih bertujuan politis dibanding bertujuan untuk
membangun sektor unggulan Gorontalo secara serius. Contohnya adalah
pemberitaan kantor berita ANTARA pada 13 Oktober 2005 berjudul “Jika Fadel
Jadi Menteri, Petani Demo”. Inti berita tersebut adalah para petani Gorontalo tidak
ingin Fadel jadi menteri karena masih dibutuhkan oleh rakyat Gorontalo.
Menurut Elnino, contoh berita diatas adalah satu dari serentetan usaha
persuasi Fadel yang diarahkan untuk dua tujuan politik sekaligus, yaitu (a)

6

pembangunan citra bahwa „Fadel berkelas menteri‟ untuk kepentingan kampanye
dalam suksesi gubernur Gorontalo 2006 mendatang, (b) penciptaan citra bahwa
„Fadel sukses membangun Gorontalo‟ untuk kepentingan menjadi menteri dalam
reshuffle kabinet presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Pencitraan yang dilakukan oleh Fadel rupanya tidak berhenti disitu, namun
lebih bombastis di tengah realitas pertanian Gorontalo yang rapuh fondasinya.

Pencitraan yang dilakukan itu berbuah hasil, Fadel berhasil meraih kursi Menteri
di kabinet Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2009.
Memang, dalam perkembangan politik, citra adalah faktor yang sangat
penting. Dalam politik kontemporer, pencitraan telah bertransformasi menjadi
bagian dari budaya pop yang kadang kala lebih bersentuhan dengan „persepsi‟
dibandingkan dengan realita. Dalam konteks Gorontalo, persepsi masyarakat
mengenai pertanian Gorontalo sangatlah luar biasa, namun realitanya tidak seperti
itu.
Kondisi ini berlangsung secara massif setelah Orde Baru tumbang.
Fenomena ini sendiri berjalan linier seiring dengan perkembangan budaya televisi
dan digital. Street (1997) melukiskan bahwa genre politik ini sebagai a matter of
performance. Pada situasi ini, persepsi, citra, dan kesan, adalah segalanya. Semua

mesti dikemas terlebih dahulu agar dapat menarik perhatian masyarakat.
Dalam kajian sosiologi media, Yunarto Wijaya membagi politik pencitraan
menjadi tiga ranah; advertising, public relation, dan personal contact.
Kesemuanya memiliki kegunaan yang setaraf, tergantung pada konteks
(where/when) dan sasaran (who) yang dijadikan target.
Yunarto mengatakan jika media memberikan tekanan pada suatu kondisi,
maka itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Media
biasa digunakan dalam upaya membangun opini publik secara implisit.
Pembangunan citra dilakukan melalui pemberitaan dan opini secara berkelanjutan
untuk menanamkan persepsi tertentu khalayak yang disasar. Dalam konteks
pemberitaan pertanian Gorontalo yang bombastis, studi ini cukup relevan.
7

Re-Orientasi Pembangunan Pertanian
Berbagai problem kritis diatas adalah catatan penulis selama kurun waktu
sepuluh tahun terakhir dari perspektif ekonomi-politik pertanian Gorontalo.
Selama ini, konsentrasi pertanian Gorontalo lebih berkisar pada
pertumbuhan produksi pertanian, formula yang terbaik adalah menggesernya
kearah pemberdayaan petani, dan memperkuat lembaga-lembaga yang terkait
dengan pembangunan pertanian menjadi lebih responsif. Dalam kajian sosiologis,
petani Gorontalo adalah petani yang mengalami penundukkan secara sistematis,
baik dari era kolonial, era Orde Lama, Orde Baru hingga pasca Orde Baru (era
Fadel). Penaklukkan ini mulai dilakukan di level kesadaran hingga aktifitas
kesehariannya.

Tipologi Gagasan Pembaharuan Pembangunan Pertanian Desa
Politik-Pemerintahan

Ekonomi-Pembangunan
Pertanian

Desentralisasi

Desentralisasi

Desentraliasi

pemerintahan desa

dan

ekonomi

pembangunan

pertanian
Demokratisasi

Demokratisasi
pemerintahan desa

politik Demokratisasi
dan

ekonomi

pembangunan

pertanian
Sumber : Sutoro Eko (2003)

Makanya, menurut Mubyarto (1994) pendekatan emansipatoris adalah
pendekatan yang diharapkan dapat membantu petani membebaskan dirinya dari
kungkungan memori kolektif penaklukan. Selain itu, petani dapat lebih partisipatif
dalam melakukan aktifitas pertanian.
Hal yang dapat dilakukan secara cepat dan efektif dalam konteks
pembangunan pertanian yang lebih partisipatif adalah dengan menggunakan
8

pendekatan „non-fisical input’, dengan melakukan sejumlah intervensi melalui
sejumlah program dalam spirit desentralisasi, privatisasi, partisipasi, clientoriented, dan cost-efficiency. Salah satu pilihan kebijakannya adalah memperkuat

apa yang lazim disebut community self-reliance (kemandirian)
Pada pendekatan ini, petani dibantu

membuat analisis masalah yang

dihadapi, di samping dibantu menemukan alternatif solusi masalah tersebut
dengan menggunakan sumber-sumber yang dimiliki dan dikuasainya. Petani
dibantu untuk membangun kegiatan, dengan kemampuan mereka sendiri,
mengimplementasikan solusi tersebut (dengan penyempurnaan seperlunya). Petani
dibantu membangun sistim untuk memperoleh sumber-sumber eksternal yang
dibutuhkan.
Dengan itu, prinsip yang dikedepankan adalah petani diberi peluang untuk
memutuskan apa yang diinginkan, dan aktivitas yang mereka lakukan diharapkan
menjadi basis program-program pembangunan baik pada level lokal, regional
maupun pada level nasional.
Peran pemerintah tidak lagi sebagai pelaksana kegiatan, tetapi lebih
sebagai institusi yang memfasilitasi proses ketika masyarakat mengindentifikasi
kebutuhannya serta membangun kegiatannya. Selain itu, perlu ada perumusan
perencanaan (blue print of behavior ) yang jelas, sebab dalam praktik
pembangunan pertanian banyak hal yang justru mengecewakan utamanya di ranah
perencanaan wewenang, anggaran, dan prioritas.
Pelaksanaan

pembangunan

pertanian

yang

partisipatif

yang

berkesinambungan, mesti sesuai dengan prinsip good governance (komitmen,
transparasi, partisipasi, sinergi dsb), dan yang urgen adalah mengutamakan
kesejahteraan masyarakat.
Dalam konteks administratif, pengendalian juga mesti sistimatis, ada
indikator kinerja yang jelas, reward and punishment, melibatkan stakeholders
dalam memantau kehidupan petani. Selain itu, agenda yang pokok adalah pula
memperkuat kapasitas dan integritas lembaga peradilan (polisi, pengadilan dan
9

penjara), sehingga korupsi, kolusi dan penyimpangan lain menyangkut
kepentingan petani dapat diatasi.

10

Daftar Pustaka

Elnino Mohi, Pencitraan Fadel Muhammad, Gorontalo Post, 2005
Frans Husken, Masyarakat Desa Dalam Perubahan Zaman, Grasindo, 1998
Funco Tanipu (ed.), Menggagas Masa Depan Gorontalo, HPMIG Press, 2005
Jan Breman dan Gunawan Wiradi, Masa Cerah dan Masa Suram di Pedesaan
Jawa. Yogyakarta : Pustaka LP3ES, 2004

John Street, Politics and Popular Culture, Cambridge, Polity Press, 1997
Mubyarto, Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Sinar Harapan, 1994
Sutoro Eko, Ekonomi-Politik Pembaharuan Desa , Makalah disajikan dalam
Pertemuan Forum VII, “Refleksi Arah dan Gerakan Partisipasi dan
Pembaharuan Masyarakat Desa di Indonesia”, yang digelar Forum
Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM), Ngawi, Jawa
Timur, 15-18 Juni 2003
Yunarto Wijaya, Politik Pencitraan Tidak Mati!, Harian Suara Pembaruan, Mei
2010

11

Biodata :

Funco Tanipu, pengajar di Jurusan Sosiologi, Universitas Negeri Gorontalo.
Pernah mendalami poskolonial, semiotika dan politik ingatan di Program Non
Reguler Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
selama tahun 2005. Pernah belajar di Sekolah Kritik Ideologi Fakultas Filsafat
Universitas Gadjah Mada pada tahun 2006. Meraih M.A dari Departemen
Sosiologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2008. Pengalaman
organisasi; Ketua Umum PB HPMIG (2005 – 2008), Presidium Ikatan Pelajar
Mahasiswa Daerah se Indonesia (2004 – 2005), Direktur The Gorontalo Institute
(2005-sekarang), Koordinator Riset Pusat Studi Sosial Universitas Negeri
Gorontalo (2010 – sekarang), Fellow Jaringan Intelektual Publik Indonesia (2011
– sekarang).

12