Korupsi dan Pembangunan Sosial di Indone

Korupsi dan Pembangunan Sosial di Indonesia
Ratih Probosiwi
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial
(B2P3KS) Yogyakarta, Kementerian Sosial RI

Abstrak
Praktek korupsi telah menjadikan Indonesia terkenal sebagai Negara terkorup se-Asia. Korupsi
yang terjadi di Indonesia bahkan telah menjadi sistem dan sulit untuk dihilangkan. Sebagai
dampak dari praktek ini, pembangunan di Indonesia tersendat, kesejahteraan masyarakat
terancam karena tujuan pembangunan tentu saja tidak tercapai. Tulisan ini mencoba
menggambarkan korupsi yang terjadi di Indonesia, memandang korupsi sebagai masalah sosial
yang dapat mengganggu pembangunan terutama pembangunan sosial. Adanya bantuan sosial
yang digelontorkan pemerintahpun menjadi rawan praktek korupsi, dan disinilah peran
Kementerian Sosial ditantang untuk menangani dana bansos secara lebih terpadu dan tepat
sasaran. Beberapa pendekatan ditawarkan pula dalam rangka pemberantasan korupsi demi
tercapainya kesejahteraan rakyat.
Kata kunci

: Korupsi, Pembangunan Sosial, dan Peran Kementerian Sosial

1


A. Pendahuluan
Sangat memprihatinkan dan ironis jika Malaysia berusaha menampilkan
citra Asia yang sebenar-benarnya, Indonesia masih menampilkan kesan korupsi
yang sebenar-benarnya [ CITATION Ste04 \l 1033 ]. Menurut survei bisnis yang
dilakukan The Political and Economic Risk Consultancy (PERC) pada tahun 2010,
Indonesia menjadi negara paling korup di Asia dengan skor 9,07 dari 10. Survei
tersebut diperkuat dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2013 oleh Transparancy
International, Indonesia berada di peringkat 114 dari 177 negara yang disurvei
dengan skor 32, peringkat ini naik dari tahun sebelumnya yaitu peringkat 118 dari
176 negara [ CITATION Mar14 \l 1033 ]. Indonesia seakan dipermalukan dengan
hasil survei ini, namun kita juga tidak dapat mengelak karena hasil survei tersebut
berbanding lurus dengan fakta yang terjadi di lapangan. Praktik korupsi di
Indonesia telah mencapai level kronis, menyebar di hampir seluruh lembaga, baik
eksekutif, legislatif, yudikatif, maupun perguruan tinggi.
Negara harus menanggung kerugian hingga trilyunan rupiah akibat
banyaknya kasus korupsi di Indonesia. Sebut saja kasus korupsi Bank Century
yang hingga kini belum juga menunjukkan titik terang, kasus korupsi Hambalang
yang sampai menyeret nama keluarga presiden, atau kasus korupsi dana bantuan
sosial (bansos) yang akhirnya menyeret mantan Walikota Bandung di penjara

selama 15 tahun. Data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan
bahwa tahun 2014, KPK telah melakukan penyelidikan 11 perkara, penyidikan 10
perkara, penuntutan 10 perkara, dan eksekusi lima perkara. Total perkara sepanjang
10 tahun terkahir, penanganan tindak pidana korupsi mencapai penyelidikan 596
perkara, penyidikan 363 perkara, penuntutan 287 perkara, inkracht 243 perkara,
dan eksekusi 252 perkara. Data penanganan korupsi oleh KPK pada tahun 20042014 ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Data Penanganan Korupsi (oleh KPK) Tahun 2004-2014 (per 28 Februari 2014)
Penindakan
Penyelidikan
Penyidikan
Penuntutan
Inkracht
Eksekusi

2004
23
2
2
0
0


2005
29
19
17
5
4

2006
36
27
23
17
13

2007
70
24
19
23

23

T a h u n
2008 2009 2010
70
67
54
47
37
40
35
32
32
23
39
34
24
37
36


Jumlah
2011
78
39
40
34
34

2012
77
48
36
28
32

2013
81
70
41
40

44

2014
11
10
10
0
5

596
363
287
243
252

sumber: acch.kpk.go.id (2014)

2

Dari Tabel 1, diketahui bahwa pada tahun 2009 dan 2013 menunjukkan

trend naik dibandingkan 4 tahun sebelumnya. Hal ini dimungkinkan karena pada
tahun tersebut merupakan tahun politik yang sangat rawan terjadinya money
politics dalam proses pemilu baik itu pemilihan legislatif maupun pemilihan
presiden. Korupsi bahkan terjadi dari Sabang hingga Merauke, KPK telah
menangani kasus korupsi di hampir seluruh provinsi di Indonesia. Beberapa kasus
juga terjadi di luar negeri seperti Malaysia dan Singapura. Aliran dana korupsi yang
luwes membuat jangkauan korupsi menjadi sangat luas melalui berbagai upaya
pencucian uang. Penanganan korupsi oleh KPK menurut wilayah ditunjukkan pada
grafik 1.
Singapura
Malaysia
Papua
Sulsel
Sulteng
Sulut

2014
2013
2012
2011

2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004

Kaltim
Kalsel
NTB
Jatim
Jateng
Jabar
DKI Jakarta (Daerah)
DKI Jakarta (Pusat)
Banten
Lampung
Bengkulu
Riau dan Kepri

Sumsel
Sumut
NAD
0

20

40

60

80

100

120

140

160


180

200

Grafik 1. Penanganan Korupsi Menurut Wilayah (sumber: acch.kpk.go.id, 2014)

Sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan, tidak mengherankan jika
DKI Jakarta menjadi wilayah dengan kasus korupsi paling banyak. Dari tahun ke
tahun, kasus korupsi di wilayah ini menunjukkan visualisasi yang menonjol
terutama di tahun 2013, seperti kasus Century, Suap Daging Sapi dan Hambalang.
Di tahun 2014 ini, tentu tidak bisa dilupakan kasus suap pilkada yang melibatkan

3

mantan hakim agung Akil Muchtar dan juga kasus pengadaan barang dan jasa di
Banten yang melibatkan dinasti Ratu Atut.
Dalam upaya memberantas korupsi, pemerintah telah mengesahkan UU No.
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK),
sebagai langkah lanjutan terhadap pemberlakuan UU No. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain mengatur mengenai pembentukan
KPK, UU KPK juga mengatur mengenai peradilan korupsi di Indonesia.
Berdasarkan Pasal 54 ayat (2) UU KPK, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan secara yurisdiksi mencakup
seluruh wilayah Republik Indonesia. Dibentuknya pengadilan khusus korupsi dapat
menjadi sarana bagi KPK dalam menjalankan tugasnya yang mencakup sebagai
penuntut umum dalam peradilan tindak pidana korupsi. Seluruh skema sistematik
upaya pemberantasan korupsi tersebut diharapkan setidaknya dapat mengurangi
atau menghentikan laju korupsi di Indonesia saat ini. Jika tidak ada upaya serius
untuk memberantas korupsi maka masa depan bangsa Indonesia pun akan
terancam. Korupsi yang terjadi di Indonesia dapat diumpakan sebagai kapal bocor
sarat muatan yang pasti akan tenggelam di tengah samudera luas kancah persaingan
internasional.
Dengan kalimat sarkasme, Indonesia the truly corrupt berarti bahwa
korupsi telah berurat akar, dijiwai, dihayati bahkan dikembangkan modus
operandinya dan bahkan mungkin juga disyukuri keberadaannya [ CITATION
Ste04 \l 1033 ]. Hal ini juga dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini mekanisme
mempertahankan korupsi itu (corrupt defend mechanism) masih sangat kuat
apalagi dengan adanya isu pelemahan KPK yang mengemuka akhir-akhir ini. KPK
akan kehilangan wewenangnya untuk menyadap jika revisi Kitab Hukum Pidana
dan Kitab Hukum Acara Pidana (KUHP/KUHAP) disetujui dan terdapat ketentuan
harus memperoleh izin terlebih dahulu kepada hakim. Selain itu setidaknya ada 12
pasal yang berpotensi melemahkan KPK dalam RUU KUHAP, diantaranya yang
mengatur bahwa hakim dapat menghentikan penuntutan perkara, tidak ada
perpanjangan masa penahanan, masa penahanan tersangka lebih singkat, tersangka
atau terdakwa dapat mengajukan penangguhan penahanan, putusan bebas tidak

4

dapat diajukan ke tingkat kasasi, dan putusan kasasi tidak boleh lebih berat dari
putusan pengadilan tinggi [ CITATION Kom14 \l 1033 ].
B. Korupsi sebagai Masalah Sosial
Sebelum membahas lebih jauh tentang korupsi, perlu diketahui pengertian
dari korupsi itu sendiri. Korupsi menurut masyarakat umum adalah segala sesuatu
yang berkenaan dengan keuangan negara yang dimiliki secara tidak sah. Sedangkan
menurut UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
korupsi diartikan sebagai perbuatan seseorang yang melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Berdasarkan kata atau
bahasa yang digunakan, korupsi berasal dari bahasa latin corruption-corruptus
yang artinya buruk, bejad, dan menyimpang dari kesucian. Dalam bahasa
Sansekerta yang tertuang dalam naskah kuno Negara Kertagama, korupsi diartikan
sebagai perbuatan yang rusak, busuk, bejat, dan tidak jujur yang disangkutpautkan
dengan keuangan[ CITATION Sud96 \l 1033 ].
Korupsi juga dapat dilihat sebagai perilaku yang tidak mematuhi prinsip
dalam pengambilan keputusan ekonomi, baik oleh perorangan di sektor swasta
maupun pejabat publik, yang menyimpang dari aturan yang berlaku [ CITATION
Tan94 \l 1033 ]. David M. Chalmers menguraikan pengertian istilah korupsi dalam
berbagai bidang, yaitu manipulasi dan keputusan keuangan yang membahayakan
perekonomian, kesalahan ketetapan bidang perekonomian umum, suap dan
gratifikasi, dan pada pemilihan umum termasuk dalam jual beli suara[ CITATION
Sur13 \l 1033 ].
Menurut M. Dawam Rahardjo (dalam Suandi Edy Hamid & Muhammad
Sayuti), timbulnya perbuatan korupsi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama,
adanya kesempatan untuk melakukan korupsi. Kedua, lingkungan budaya yang
mempengaruhi psikologi individu. Ketiga, pengaturan ekonomi yang mungkin
memberikan tekanan-tekanan tertentu. Dalam persepsi Indonesia, korupsi sering
dipahami sebagai gejala moral. Masih menurut M Dawam Raharjo (dalam Muh
Ikhsan, 2012), korupsi merupakan gejala kejiwaan kelompok (group psychology).
Tingkat perkembangan dan kondisi moralitas individu sangat berpengaruh, namun

5

yang lebih penting adalah setting sosial-budaya yang mengkondisikan suatu
kelompok untuk berbuat korupsi.
Sebagai tindakan yang mampu menghancurkan negara, menjatuhkan
pemerintahan dan menghambat pembangunan, korupsi pantas disebut sebagai
masalah sosial. Masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur atau
masyarakat, yang membahayakan kehidupan sosial atau menghambat terpenuhinya
keinginan pokok warga kelompok tersebut, sehingga menyebabkan kepincangan
ikatan sosial. Masalah sosial terjadi karena timbulnya kekurangan dalam diri
manusia atau kelompok sosial yang bersumber pada faktor ekonomi, biologi,
psikologi, dan kebudayaan. Dalam perspektif sosiologis, masalah sosial
didefinisikan

secara

luas

sebagai

suatu

persoalan

yang

secara

negatif

mempengaruhi masyarakat. Masalah sosial terkadang juga disebut sebagai masalah
kemasyarakatan antara lain adalah korupsi, narkotika, penyalahgunaan kekuasaan,
perjudian, dan perkosaan (Wright Mills dalam Marisa Puspita Sary, 2013).
Merujuk paradigma teori konflik yang dikemukakan oleh Harriet Matineau,
Karl Marx, W.E.B. Du Bois, ataupun John Bellamy Foster, korupsi didefinisikan
sebagai masalah sosial. Teori konflik melihat bahwa dalam masyarakat pasti akan
ada dominasi, koersi, dan kekuasaan. Adanya otoritas yang berbeda dalam tiap
kelompok menyebabkan adanya superordinasi dan subordinasi yang akan
menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan (Zaka Aditya, 2013).
Teori konflik Karl Marx didasarkan pada kepemilikan sarana produksi sebagai
unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat yaitu kelas proletar dan borjuis.
Karl Marx mengungkapkan bahwa kapitalisme menyebarkan konflik antara si kaya
dan si miskin, hal ini disebabkan adanya masyarakat yang korup. Du Bois juga
mengungkapkan bahwa keadilan sosial mustahil dicapai pada sistem sosial yang
korup. Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan borjuis ini mendorong
terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. [ CITATION www14 \l 1033 ].
Korupsi mewabah melalui dua cara yaitu secara kultural dan struktural
[ CITATION rar13 \l 1033 ]. Secara kultural dimana individu memegang peran
penting dalam proses mempengaruhi lingkungan sosial yang selanjutnya
lingkungan sosial akan mempengaruhi individu lain. Jika individu yang mengalami
kecanduan materi berinteraksi dengan individu lain dalam komunitas, interaksi

6

tersebut dapat mengakibatkan self organizing, yaitu suatu kondisi dimana individu
menyesuaikan dengan perilaku orang lain dalam komunitas tersebut. Self
organizing dapat dikatakan sebagai awal pijakan konfirmitas individu terhadap
kelompok atau anggota kelompoknya. Hal ini pulalah yang menyebabkan wabah
kecanduan materi berkembang dari individu (mikrosistem) ke komunitas yang
lebih luas (makrosistem). Kecanduan materi dapat disebut sebagai ’virus’ yang
menyebarkan penyakit korupsi.
Wabah korupsi secara struktural, ditunjukkan dalam birokrasi yang berbelit
atau sengaja dibuat berbelit untuk membuka peluang timbulnya korupsimanipulasi. Penyalahgunaan kekuasaan dalam pelaksanaan tender pengadaan,
mekanisme birokrasi yang obesitas dalam mengurus kepentingan publik, dan
pungutan liar menunjukkan peluang oknum aparat pemerintahan melakukan
korupsi. Praktek mafia birokrasi ini yang menyebabkan korupsi semakin merajalela
dan sistemik[ CITATION rar13 \l 1033 ].
C. Korupsi dan Pembangunan Sosial
Dengan berbagai bentuknya, korupsi telah banyak menimbulkan kerugian
di segala bidang termasuk dalam hal pembangunan. Contohnya adalah korupsi
dana rekonstruksi pascabencana alam, dana yang seharusnya dapat dimanfaatkan
untuk pembangunan dikurangi oleh oknum yang tidak bertanggung jawab demi
kepentingan pribadi, akibatnya pembangunan tidak dapat berjalan optimal, dan
tujuan pembangunan tidak dapat tercapai. Contoh lainnya adalah korupsi dana
bantuan sosial yang seharusnya menjadi hak masyarakat kurang mampu dalam
meningkatkan kesejahteraannya, menjadi tidak tercapai, dan masyarakat miskin
yang menjadi korban.
Korupsi secara menyeluruh telah menghambat pembangunan, termasuk
pembangunan sosial. Seperti diketahui bahwa pembangunan sosial merupakan
suatu pendekatan untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat yang tidak hanya
sesuai untuk peningkatan kualitas hidup semua warga negara, namun juga
merespon masalah dari problem pembangunan yang terdistorsi. Pemberdayaan
fakir miskin tidak akan berjalan jika dana pembangunan, pasokan bahan baku, dan
fasilitas-fasilitas lainnya dimanipulasi. Pembangunan yang seharusnya dapat

7

mensejahterakan rakyat bukan tidak mungkin malah menimbulkan kerugian bagi
masyarakat itu sendiri. Mungkin saja pembangunan yang sangat diharapkan dapat
menaikkan kesejahteraan rakyat kecil, malah menyebabkan kesejahteraan mereka
menjadi makin terpuruk karena pembangunan tidak dilakukan secara optimal
akibat adanya manipulasi dana.
Pada tahun 1995, Midgley menguraikan beberapa indikator pembangunan
yang terdistorsi, yaitu pembangunan yang tidak melibatkan masyarakat,
diskriminasi atas etnis dan ras minoritas untuk meningkatkan standar hidup,
penindasan terhadap perempuan, eksploitasi anak, degragasi lingkungan, dan
berlebihnya
mengangkat

anggaran

militer.

kesejahteraan

Pembangunan

rakyat.

Hal

ini

sosial

seharusnya

dapat

dilakukan

berupaya
dengan

mengharmonisasikan tujuan pembangunan dengan kepentingan ekonomi, dan
kesejahteraan sosial secara dinamis, inklusif, dan universal.
Sebagaimana

kita

ketahui

bahwa

strategi

pembangunan

adalah

menghapuskan kemiskinan dan kebodohan. Upaya menanggulangi kemiskinan dan
kebodohan telah dilakukan oleh pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat itu
sendiri. Sebagai upaya terencana, pembangunan diusahakan seefisien dan seefektif
mungkin dengan dana dan kemampuan yang ada, tetapi ketika pembangunan
sedang diselenggarakan, muncul kasus korupsi uang negara yang melemahkan
semangat kerja orang yang masih berada di golongan “miskin” dan dapat pula
menimbulkan perasaan pesimis atau bahkan dapat menghilangkan harapan yang
diinginkan.
Korupsi mau tidak mau telah menimbulkan permasalahan dalam
pembangunan. Pengaruh korupsi dapat dilihat dari beberapa hal, pertama dalam hal
efisiensi. Korupsi menelan biaya efisiensi pembangunan dalam rangka pemborosan
dan penyalahgunaan yang seringkali menyertainya. Misalnya saja karena kebijakan
pengadaan yang korup, pemerintah di negara berkembang membayar antara 20
hingga 100 persen lebih mahal dari harga yang seharusnya, karena adanya praktek
mark up. Dengan adanya korupsi, sasaran pembangunan menjadi sulit tercapai
karena anggaran yang terpangkas dan mental aparat yang buruk. Kedua, terjadinya
kesenjangan dan kecemburuan sosial yang dapat meningkatkan angka kriminalitas
yang mengganggu keamanan dan ketertiban. Angka pengangguran yang terus

8

meningkat dapat pula disebabkan oleh korupsi karena banyaknya program
pembangunan

yang

ditujukan

untuk

menambah

lapangan

kerja

tidak

diselenggarakan. Ketiga, pada tingkat yang lebih tinggi, korupsi dapat
menyebabkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin bahkan
mengancam kesatuan negara.
Dari segi politik, korupsi dapat mengakibatkan keterasingan (alienasi) dan
ketidakstabilan. Sejumlah bukti telah menyebutkan bahwa korupsi dapat
menyebabkan ketidakstabilan politik, padahal suatu pembangunan dapat dilakukan
jika pertumbuhan ekonomi dan kestabilan politik berjalan dengan baik.
Pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan kestabilan politik tidak dapat
dipisahkan, saling berkaitan dan bila salah satu tidak ada maka yang lainpun tidak
akan berjalan. Kepercayaan luar negeri dicapai jika suatu negara stabil, dan mereka
mau melakukan investasi yang dapat mendukung pembangunan. Korupsi telah
menjadi penghambat dan problema pembangunan yang cukup pelik untuk
diselesaikan.
Jika dilihat dari segi insentif, kemungkinan korupsi menciptakan
rangsangan buruk di seluruh tingkatan masyarakat. Ketika korupsi menjadi sesuatu
yang pasti, insentif baik bagi pejabat maupun warga negara dibelokkan ke arah
kegiatan

yang

secara

sosial

tidak

produktif

meskipun

secara

pribadi

menguntungkan. Sebagai akibatnya proses pembangunan menjadi tersendat dan
tujuan

pembangunan

itu

menjadi

bias.

Pembangunan

yang

seharusnya

meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup rakyat, banyak diantaranya berubah
menjadi lahan pencarian keuntungan bagi mereka yang berkuasa dan menyalahi
tugas dalam melayani masyarakat. Warga negarapun menggunakan energi mereka
untuk mengejar keuntungan yang tidak halal, dengan menambah pendapatan bukan
melalui kegiatan yang produktif melainkan melalui ketidakjujuran. Akibatnya
masyarakat tidak mau bekerja keras untuk mengembangkan diri dan memanfaatkan
potensi pembangunan dan sumber daya (resources) yang ada sehingga
pembangunan tidak berjalan optimal.

9

D. Rawan Korupsi Dana Bantuan Sosial dan Peran Kementerian Sosial
Dana bantuan sosial merupakan salah satu instrumen penting dalam
pembangunan kesejahteraan sosial. Bantuan sosial merupakan pemberian berupa
uang/barang dari Pemerintah Daerah kepada individu, keluarga, kelompok,
dan/atau masyarakat yang sifatnya tidak secara terus menerus dan selektif yang
bertujuan untuk melindungi dari kemungkinan terjadinya risiko sosial (PMK
81/PMK.05/2012). Risiko sosial adalah peristiwa yang dapat menimbulkan
potensi terjadi kerentanan sosial yang ditanggung oleh individu, keluarga,
kelompok, dan/atau masyarakat sebagai dampak krisis sosial, krisis ekonomi,
krisis politik, fenomena alam, dan bencana alam yang jika tidak diberikan akan
semakin terpuruk dan tidak dapat hidup dalam kondisi wajar. Berdasarkan UU
Kesejahteraan Sosial pasal 15 ayat 1, bantuan sosial dimaksudkan agar seseorang,
keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat yang mengalami guncangan dan
kerentanan sosial dapat tetap hidup secara wajar.
Bantuan sosial kepada anggota/kelompok masyarakat meliputi individu,
keluarga dan/atau masyarakat yang mengalami keadaan yang tidak stabil sebagai
akibat dari krisis sosial, ekonomi, politik, bencana atau fenomena alam agar dapat
memenuhi kebutuhan hidup minimum, dan lembaga non pemerintahan bidang
pendidikan, keagamaan, dan bidang lain yang berperan untuk melindungi individu,
keluarga dan/atau masyarakat dari kemungkinan terjadinya risiko sosial. Bantuan
sosial dalam keadaan tertentu dapat berkelanjutan ataupun tidak, tergantung tujuan
yang ingin dicapai melalui bantuan tersebut dalam mempertahankan taraf
kesejahteraan sosial dan/atau mengembangkan kemandirian serta menjaga kinerja
sosial.
Tujuan pemberian bantuan sosial meliputi kegiatan rehabilitasi sosial,
perlindungan sosial, pemberdayaan sosial, jaminan sosial, penanggulangan
kemiskinan, dan penanggulangan bencana. Rehabilitasi sosial dimaksudkan untuk
memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang yang mengalami
disfungsi sosial secara wajar, misalnya pemberian bansos untuk pemenuhan
kebutuhan dasar sehari-hari bagi anak terlantar. Jaminan sosial dimaksudkan untuk
menjamin fakir miskin, anak yatim piatu terlantar, lanjut usia terlantar, penyandang
disabilitas fisik dan mental, bekas penderita penyakit kronis yang mengalami
ketidakmampuan sosial ekonomi agar kebutuhan dasarnya terpenuhi, misalnya

10

pemberian kartu Penerima Bantuan Iuran (PBI) untuk jaminan kesejahteran.
Pemberdayaan sosial dimaksudkan untuk memberdayakan seseorang, keluarga,
kelompok, dan masyarakat yang mengalami masalah kesejahteraan sosial agar
mampu

memenuhi

kebutuhan

secara

mandiri,

misal

pemberian

modal

pengembangan usaha melalui kelompok usaha bersama (Kube). Perlindungan
sosial dimaksudkan untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan
kerentanan sosial seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat agar
kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar minimal.
Selama periode 2007-2010, anggaran bansos yang disiapkan pemerintah
mencapai Rp 300,94 triliun yang terdiri atas Rp 48,46 triliun di tingkat daerah dan
Rp 252,48 triliun di tingkat pusat. Jumlah dana bansos yang tidak sedikit
memberikan celah bagi koruptor untuk melakukan penyelewengan sehingga dana
inipun menjadi sangat rawan dikorupsi. Dalam Keppres Nomor 37 tahun 2012
tentang Rincian APBN 2013, total belanja bantuan sosial yang dianggarkan dalam
belanja kementerian sebesar Rp 69.541.588.695.000,- (4%) dari seluruh total
belanja APBN 2013 yang mencapai Rp 1.683.011.103.699.000,- (Emerson Yuntho,
2011).
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) semester I tahun 2010 menemukan
sejumlah penyimpangan penggunaan dana bansos di 19 provinsi yang nilainya
mencapai 765 miliar rupiah, dengan urutan tiga besar adalah Jawa Tengah sebesar
173,7 miliar rupiah, Sumatera Utara sebesar 148,44 miliar rupiah, dan Jawa Timur
sebesar 89,31 miliar rupiah. Temuan terbaru dari ICW mengungkapkan bahwa
Provinsi Banten mengalokasikan anggaran bansos untuk tahun 2011 sebesar 51
miliar rupiah, akan tetapi dari 160 penerima dana, hanya 30 nama lembaga atau
kepanitian yang tercantum dan itupun tidak didukung alamat yang jelas. Peluang
korupsi dana bansos semakin terbuka dengan adanya proses penyusunan dan
pelaksanaan APBD tertutup.
Kementerian Sosial RI merupakan salah satu pengelola dana bansos selain
14 kementerian lainnya. Pada tahun 2014, Kementerian Sosial mengelola dana
bansos sebesar 5,54 triliun rupiah (6,04%) dari keseluruhan dana bansos.
Meningkat jika dibandingkan tahun 2011 yang berjumlah 2,3 triliun rupiah, tahun
2012 sebanyak 2,8 triliun rupiah, dan tahun 2013 sebanyak 3,6 triliun rupiah
[ CITATION Ind14 \l 1033 ]. Dalam perkembangannya, terkait kasus korupsi dana

11

bansos, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan surat rekomendasi
kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 1 April 2014, meminta
agar Kementerian Sosial menjadi satu-satunya kementerian atau lembaga yang
mengelola dana bansos. Hal ini dimaksudkan agar penggunaan dana bansos sesuai
dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku terutama UURI Nomor 11 tahun
2009 tentang Kesejahteraan Sosial, khususnya pasal 14 (2) yang menyebutkan
bahwa Kementerian Sosial bertanggung jawab atas perlindungan sosial yang
dilaksanakan melalui pemberian bantuan sosial, dan Peraturan Pemerintah Nomor
39 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial [ CITATION
Kem14 \l 1033 ].
Dalam penyaluran dana bansos, selama ini Kementerian Sosial selalu
berkoordinasi dengan dinas sosial, lembaga kesejahteraan sosial (LKS) milik
pemerintah daerah ataupun masyarakat yang jumlahnya kurang lebih 8.000 LKS.
Selain itu di tiap provinsi terdapat pendamping penyelenggara kesejahteraan sosial
yang terdiri atas tenaga kesejahteraan sosial kecamatan (TKSK); tenaga
kesejahteraan sosial masyarakat (TKSM); pendamping program kesejahteraan
sosial semisal PKH, asistensi lanjut usia terlantar, dan asistensi sosial orang dengan
kecacatan; satuan bakti pekerja sosial (sakti peksos), taruna siaga bencana (tagana),
dan tim reaksi cepat (TRC). Kesemuanya merupakan representasi personel
Kementerian Sosial dalam melaksanakan upaya penyelenggaraan kesejahteraan
sosial di daerah selain unit pelaksana teknis (UPT) di sejumlah daerah yang
menyelenggarakan kegiatan kesejahteraan sosial bagi PMKS.
Banyak keraguan yang muncul dalam penyaluran dana bansos. Selain
dikelola oleh banyak kementerian atau lembaga, dana bansos yang seharusnya
hanya diperuntukkan untuk masyarakat yang berisiko sosial dan kepentingan
kesejahteraan sosial ternyata digunakan dalam belanja modal dan belanja barang.
Dari 15 kementerian yang mengalokasikan bansos, hanya separuh yang
mengalokasikan bansos secara benar, sisanya untuk belanja modal dan belanja
barang, misalnya pembangunan jalan, pembangunan sekolah, dan pembelian alat
mengajar[ CITATION Sam14 \l 1033 ]. Keraguan ini dibantah oleh kementerian
yang menangani dengan alasan bahwa tujuan utama bansos adalah untuk
kemanfaatan masyarakat dan dapat diwujudkan dalam bentuk apapun.

12

Kerawanan bansos untuk diselewengkan oleh pihak tertentu, menginspirasi
pemikiran

untuk

mencanangkan

sentralisasi

dalam

penyaluran

melalui

Kementerian Sosial. Pengawasan dana bansos akan lebih baik dan terfokus apabila
hanya dilakukan oleh satu kementerian sehingga keefektifan pemanfaatan dana
bantuan lebih terjamin untuk kesejahteraan sosial dan mengurangi risiko sosial
masyarakat. Peran Kementerian Sosial menjadi lebih tinggi seiring tanggung jawab
yang lebih berat untuk memastikan dana bansos tersalurkan tepat sasaran dan bebas
korupsi sehingga pembangunan kesejahteraan sosial dapat terlaksana dengan baik.
Kondisi ini sesuai dengan komitmen Kementerian Sosial dalam penyelenggaraan
negara yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (clean and good
government).
E. Penutup
Praktek korupsi yang terjadi di Indonesia telah menjadi suatu hal yang
dianggap wajar karena korupsi telah menjadi sistem dan sangat sulit untuk
dihilangkan. Pelanggaran terkait korupsi dapat berupa penyalahgunaan kekuasaan
untuk meraup keuntungan pribadi. Korupsi dapat terjadi karena adanya kesempatan
untuk melakukan praktek tersebut, lingkungan yang kurang peduli, sikap konsumtif
dan hedonis, serta kualitas moral yang rendah. Salah satu penghambat
kesejahteraan di negara berkembang disinyalir karena korupsi yang melibatkan
aparat ataupun masyarakat itu sendiri.
Korupsi telah mengakibatkan kerusakan yang menyeluruh dalam tatanan
kehidupan bangsa Indonesia. Pelayanan yang diberikan lembaga pemerintah
menjadi kurang optimal karena pejabat yang bersangkutan memandang kantor
sebagai sarana maksimalisasi perekonomian mereka. Terhambatnya pembangunan
juga akibat korupsi, diantaranya manipulasi dana pembangunan yang menimbulkan
ketidakoptimalan hasil. Tujuan pembangunan menjadi bias, yang seharusnya untuk
kesejahteraan semua warga negara kenyataannya hanya dinikmati sebagian warga
yang memiliki akses terhadap pembangunan tersebut. Korupsi yang menimbulkan
ketidakefisienan dalam segala bidang mengakibatkan tingkat kepercayaan dalam
negeri (masyarakat sebagai warga negara) dan luar negeri (investor asing) menurun
bahkan hilang sama sekali. Padahal pembangunan akan berjalan jika stabilitas

13

negara terjaga sehingga investor dari dalam dan luar negeri merasa aman dalam
melakukan usaha.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menghilangkan praktik korupsi,
namun ternyata ada semacam budaya atau mekanisme untuk mempertahankan
korupsi (corrupt defend mechanism) tersebut sehingga sekeras apapun usaha dan
upaya yang dilakukan untuk membasmi korupsi menjadi hal yang sia-sia.
Begitupun juga dengan dibentuknya lembaga Komisi Pengawasan Korupsi (KPK)
yang masih belum cukup dirasa mampu untuk memberantas korupsi. Menurut
Ronald Wraith dan Edgar Simpkins (1963), berbagai upaya yang dilakukan oleh
kebanyakan negara berkembang untuk memberantas korupsi dirasa hanya sebagai
usaha yang tidak perlu. Usaha yang ada hanya dirasa sebagai nasehat yang
fatalistik. Bukan karena nasehat tersebut keliru, tetapi karena tidak membicarakan
strategi kebijakan yang dapat digunakan sementara untuk mengurangi, meskipun
tidak menghapuskan berbagai jenis korupsi.
Upaya pemberantasan korupsi seharusnya melibatkan semua pihak, sektor,
dan komponen perumus kebijakan baik itu pemerintah dan penyelenggara negara
lainnya, tidak terkecuali anggota masyarakat secara umum. Hal ini dikarenakan
praktek korupsi bukan monopoli pegawai atau pejabat pemerintah, melainkan
perilaku kolektif yang melibatkan hampir semua unsur masyarakat (ada supply
karena ada demand). Pendekatan yang kemudian ditawarkan adalah pendekatan
carrot and stick [ CITATION Wij09 \l 1033 ] yang memandang penanganan korupsi
secara hitam putih. Pendekatan carrot menekankan pada pendapatan bersih yang
akan diperoleh seorang pegawai sebagai penghargaan atas pekerjaannya. Saat
pendekatan carrot ini tidak berhasil, maka pendekatan stick yang akan dilakukan,
yaitu pemberian sanksi atau perangkat hukum untuk menjamin semua warga
mematuhinya. Pendekatan stick lebih menekankan pada pemberian sanksi yang
tegas dan diharapkan memberikan efek jera bagi para koruptor.
Reformasi birokrasi juga dapat menjadi alternatif kebijakan untuk
memerangi korupsi. Reformasi birokrasi tidak boleh hanya sebatas jargon dan
wacana di forum terbatas, namun perlu diimplementasikan demi perubahan konkrit.
Struktur yang bersandar pada merit system dapat memberikan jaminan
kesejahteraan yang adil dan proporsional. Kesemua strategi pemberantasan korupsi

14

tersebut perlu didukung dengan prinsip transparansi dan bebas konflik kepentingan,
dan disinilah peran masyarakat dapat dioptimalkan dalam strategi pemberantasan
korupsi.
F. Daftar Pustaka
Emerson Yuntho. (2011, Oktober 14). Korupsi Dana Bansos. Retrieved April 08,
2014, from Indonesia Corruption Watch: http://w w w .antik
orupsi.org/id/content/korupsi-dana-bansos
Indonesia Corruption Watch. (2013, November 15). Kajian Dana Bansos 20112013 Divisi Korupsi Politik ICW. Retrieved April 23, 2014, from Indonesia
Corruption Watch: http://www.antikorupsi.org/id/doc/kajian-dana-bansos2011-2013-divisi-korupsi-politik-icw
Indriyani Ma'rifah. (2014, April 01). Gerakan Antikorupsi: Dekulturisasi Korupsi.
Retrieved April 2014, 2014, from Bisnis Indonesia: http://writingcontest.bisnis.com/artikel/read/20140401/376/216899/dekulturisasi-korupsi
Kementerian Sosial RI. (2014, April 15). Anggaran Bansos Melalui Kemensos.
Press Release . Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia: www.kemsos.go.id.
Kompas.com. (2014, February 2014). Kontroversi RUU KUHAP, Wantimpres
Laporkan 12 Pasal Pelemahan KPK ke Presiden. Retrieved May 19, 2014,
from
Kompas.com:
http://nasional.kompas.com/read/2014/02/20/1817322/Kontroversi.RUU.K
UHAP.Wantimpres.Laporkan.12.Pasal.Pelemahan.KPK.ke.Presiden.
Midgley, J. (1995). Social Development: The Developmental Perspective in Social
Welfare. London: Sage Publications Ltd.
Marisa Puspita Sary. (2013). Analisa Framing Masalah Sosial Korupsi dalam Film
Alangkah Lucunya Negeri Ini. Komunikasi Indonesia untuk Peradaban
Bangsa (pp. 491-498). Denpasar: Universitas Mercu Buana.
Muh Ikhsan. (2012). Korupsi, Siri' Na Pacce dan Beban "Teologi" Islam. Annual
International Conference on Islamic Studies (AICIS XII) (pp. 1714 - 1728).
Surabaya: IAIN Sunan Ampel.
rarandom. (2013, July 04). Mengapa Korupsi Sulit Diberantas di Indonesia
(Patologi Sosial). Retrieved April 25, 2014, from rarandom:
http://rarapsp.blogspot.com/2013/07/mengapa-korupsi-sulit-diberantasdi.html
Samsudi. (2014, April 15). Kemensos Tuduh Kementerian Lain Selewengkan
Bansos. (tempo.co, Interviewer). Retrieved April 24, 2014, from tempo.co:

15

http://www.tempo.co/read/news/2014/04/16/173571110/Kemensos-TuduhKementerian-Lain-Selewengkan-Bansos
Stevanus Subagija. (2004, April 08). Sosialkan Antikorupsi Menjadi Sikap Terbuka
dan Tindakan Nyata: Korupsi yang Sebenar-benarnya. Retrieved April 25,
2004, from Pikiran Rakyat: www.pikiran-rakyat.com Sudarto. (1996).
Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni Bandung.
Suandi Edy Hamid & Muhammad Sayuti. Menyingkap Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme di Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media.
Sudarto. (1996). Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni Bandung.
Surjo & Partners. (2013, July 27). David M. Chalmers Menguraikan Arti Isilah
Korupsi (Corrupt). Retrieved April 14, 2014, from Kantor Hukum/Law
Office Surjo & Partners:
http://surjoadvokat.wordpress.com/2013/07/27/david-m-chalmersmenguraikan-arti-istilah-korupsi-corrupt/
Tanzi, V. (1994). Corruption, Governmental Activities, and Markets. IMF Working
Paper.
Wijayanto & Ridwan Zachrie. (2009). Korupsi Mengorupsi Indonesia : Sebab,
Akibat, dan Prospek Pemberantasannya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Wraith, Ronald., & Simpkins, Edgar. (1963). Corruption in Developing Countries.
London: George Allen & Unwin
www.pearsonhighered.com. (n.d.). The Study of Social Problems. Retrieved April
23, 2014, from www.pearsonhighered.com:
https://www.google.com/search?
q=the+study+of+social+problems&oq=the+study+of+social+problems&aq
s=chrome..69i57.7797j0j7&sourceid=chrome&espv=2&es_sm=93&ie=UT
F-8
Zaka Firma Aditya. (2013, September). Teori Konflik dari Beberapa Ahli.
Retrieved May 19, 2014, from Zakaaditya.blogspot.com:
http://zakaaditya.blogspot.com/2013/09/teori-konflik-dari-beberapaahli.html

16

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24