Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Metode Floortime untuk Meningkatkan Kemampuan Bahasa Reseptif pada Anak Autis T2 832013017 BAB IV

(1)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Orientasi Kancah Penelitian

Pengukuran frekuensi kemampuan bahasa reseptif dan rekam kejadian pre test dan post test dilakukan di ruang kelas Sekolah Terpadu ABK Rumah Pintar yang berlokasi di Salatiga, Jawa Tengah. Sedangkan untuk fase intervensi yang terjadi diantara pre test dan post test pengamatan dilakukan di ruang terapi Sekolah Terpadu ABK Rumah Pintar Salatiga, Jawa Tengah.

Sekolah Terpadu ABK Rumah Pintar terletak di Jalan Suropati Rt 5/Rw 5, Togaten Mangunsari Salatiga, Jawa Tengah. Sekolah ini, merupakan sekolah untuk menangani anak berkebutuhan khusus, seperti autis, ADHD, ADD, Kesulitan belajar dan down syndrome.

Proses intervensi yang dihadapi anak A berlangsung di ruang terapi selama 10 hari, dan per hari berlangsung selama 30 menit. Intervensi diberikan oleh peneliti sendiri, sedangkan observer satu bernama Ratih, lulusan dari sarjana okupasi terapi dan sudah berpengalaman sebagai terapis selama 6 tahun. Dan observer dua bernama Rubby, seorang sarjana jurusan sekolah luar biasa dan sudah berpengalaman sebagai terapis selama 8 tahun. B. Persiapan Penelitian

Secara garis besar proses penelitian terbagi menjadi dua tahap, yaitu: 1. Pra penelitian

a) Observasi awal

Pada tanggal 3 Agustus 2015 Sampai tanggal 4 Agustus 2015 Peneliti mengamati kegiatan subjek A di dalam kelas bersama teman-temannya. Tujuan peneliti mengamati untuk mengetahui bagaimana pemahaman subjek tentang bahasa komunikasi yang disampaikan oleh para guru.

Di dalam kelas terdapat 8 anak termasuk subjek, dengan guru kelas berjumlah 4 orang. 8 anak tersebut, memiliki kasus yang berbeda-beda yaitu 1 anak down syndrome, 1 anak cerebal palsy (cipy), dan 5 anak autis. Di kelas tersebut, seorang guru mendampingi dua orang anak. Setiap anak di sekolah tersebut, mempunyai jadwal terapi seminggu 3 kali. Setiap terapi, satu anak didampingi oleh satu terapis.

Subjek termasuk salah satu anak yang belum memahami bahasa komunikasi yang disampaikan oleh para guru dibandingkan teman-temannya. Subjek bahkan belum memahami insturksi-instruksi sederhana yang diberikan oleh para gurunya. Ketika guru memberikan instruksi, subjek cenderung cuek dan tidak melihat ke arah guru. Observasi peneliti difokuskan untuk pemahaman instruksi sederhana mengambil dan memasukkan suatu benda ke tempatnya. Pemahaman bahasa di dalam


(2)

komunikasi sangatlah penting untuk perkembangan proses belajar suatu individu. Hal ini sesuai dengan pendapat (Hoomdijah, 2004) yang mengatakan bahwa anak yang mengalami gangguan bahasa pada usia lima tahun memiliki peluang delapan kali lebih besar akan mengalami kesulitan belajar pada saat berusia 19 tahun dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami gangguan bahasa.

b) Persiapan instrument ukur

Instrument yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah lembar pencatatan data observasi (recording sheet) dan kamera video. Hal pertama yang dilakukan saat pra penelitian yaitu berdiskusi dan meminta pendapat dari Vidya Pangestika. Vidya Pangestika adalah seorang Psikolog lulusan dari UGM Yogyakarta, dan sekarang beliau bekerja di Sekolah Khusus Cahaya Harapan Madiun. Vidya Pangestika juga sudah pernah melakukan penelitian tentang metode floortime untuk anak autis.

Peneliti berdiskusi tentang langkah-langkah metode floortime yang akan digunakan untuk meningkatkan kemampuan bahasa reseptif anak autis. Dan peneliti juga meminta pendapat tentang sarana yang akan dipakai untuk penelitian tersebut. Setelah melakukan beberapa kali diskusi, maka diputuskan untuk langkah-langkah di dalam penelitian sebagai berikut :  5 menit ; Mengobservasi keadaan anak sebelum dilakukannnya

intervensi. Apakah anak dalam keadaan senang atau bad mood.  5 menit ; membuka lingkaran komunikasi dengan memberikan balok

pelangi ke subjek.

 10 menit ; mengikuti aktivitas anak sambil melakukan komunikasi dua arah (baik secara verbal dan nonverbal) dengan memberikan instruksi “ambil, masukkan”.

 5 menit ; memperluas permainan dengan menambah jumlah atau memberikan balok pelangi ke subjek.

 5 menit ; memberikan kesempatan anak untuk menutup lingkaran komunikasi, dengan mengarahkan anak untuk merapikan balok pelangi, dan memberikan instruksi mengambil balok pelangi dan memasukkan ke dalam keranjang.

c) Persiapan observer

Peneliti menggunakan bantuan dua observer dengan dua alasan, yaitu : Pertama, menguji reliabilitas (keajegan) instrument ukur. Kedua, peneliti dapat melakukan konfirmasi keabsahan data hasil penelitian. Kriteria observer yang dibutuhkan pada penelitian ini adalah: terapis anak berkebutuhan khusus yang sudah berkecimpung selama minimal 5 tahun


(3)

menjadi terapis. Berdasarkan kriteria tersebut, peneliti memilih terapis di Sekolah Terpadu ABK Rumah Pintar yang bernama Ratih dan Rubby. d) Persiapan partisipan

Peneliti mendapat partisipan, kebetulan anak A adalah murid di Sekolah Terpadu ABK Rumah Pintar dan peneliti termasuk salah satu pengajar di sekolah tersebut. Peneliti mulai menjalin rapport dengan anak A dan guru kelas mulai 27 Juli hingga 29 Juli 2015. Setelah itu, observasi dilakukan pada tanggal 3 Agustus hingga 4 Agustus 2015 untuk pre test Tanggal 5 Agustus hingga 15 Agustus 2015 untuk fase intervensi (B) atau floortime, dan tanggal 17 Agustus hingga 20 Agustus 2015 untuk post test. e) Deskripsi Partisipan

Identitas partisipan

Nama : A (inisial) Usia : 8 tahun

Tanggal lahir : 21 Desember 2007 Jenis kelamin : Laki-laki

Alamat : Salatiga Urutan kelahiran : Pertama

Pendidikan : Setara kelas 1 SD

Tanggal diagnosa : 3 November 2011 oleh dr Melly Budiman, Sp. KJ.

2. Pelaksanaan Penelitian

a) Pre test untuk menentukan baseline

Observasi guna mendapatkan data kemampuan bahasa reseptif anak dengan guru serta dokumentasi rekam kejadian dilakukan selama 2 hari berturut mulai tanggal 3 Agustus hingga 4 Agustus 2015. Pengamatan berlangsung di ruang kelas partisipan selama 30 menit per hari (dibagi menjadi 3 interval) dimulai pada pukul 09.00 hingga 09.30, hasil kemampuan bahasa reseptif dari pre test diperoleh baseline pada tabel 4.1.


(4)

Tabel 4.1

Frekuensi Kemampuan Bahasa Reseptif Fase Baseline 1

Hari Frekuensi kemampuan bahasa reseptif pada interval pengukuran

Mengambil Memasukkan

1 2 3 Jumlah 1 2 3 Jumlah

I 0 0 0 0 0 0 0 0

II 0 0 1 1 0 0 1 1

Total 1 Total 1

Keterangan: 1 = interval pengukuran 10 menit pertama 2 = interval pengukuran 10 menit kedua 3 = interval pengukuran 10 menit ketiga

Pada observasi hari pertama di dalam kelas, guru memberikan instruksi kepada subjek untuk mengambil buku dan alat tulis yang ada di dalam tasnya, tapi subjek hanya diam dan tidak menatap ke arah guru yang memberikan instruksi tadi. Kemudian gurunya membantu mengambilkan buku yang ada di dalam tas subjek. Setelah pembelajaran selesai, dan guru memberikan instruksi untuk memasukkan buku dan alat tulis ke dalam tas kembali, subjek juga hanya diam tidak memahami perintah tersebut. Ketika istirahat, guru memberikan instruksi untuk mengambil bekal yang ada di dalam tas, subjek malah teriak-teriak sehingga guru yang membantu mengambilkan bekal tersebut. Begitu juga ketika memasukkan bekal ke dalam tas, guru juga yang memasukkan bekal tersebut.

Pada observasi hari kedua di dalam kelas, guru melakukan permainan dengan subjek dan teman-temannya. Permainan tersebut yaitu mengambil bola dari dalam keranjang kemudian memasukkan bola tersebut ke dalam keranjang yang berbeda sesuai instruksi. Teman-teman subjek sangat antusias dan senang sekali dengan permainan tersebut. Ketika guru memberikan instruksi kepada subjek untuk mengambil bola, subjek hanya diam dan berjalan ke sana kemari tanpa arah. Guru mengulang-ulang perintah, tapi subjek tetap diam dan malah duduk. Setelah 25 menit guru memberikan instruksi lagi, subjek mau mengambil bola dan memasukkannya ke dalam keranjang. Pengamatan peneliti, subjek sudah berulang kali mengamati teman-temannya melakukan kegiatan tersebut, sehingga subjek menghafal gerakan tersebut. Jadi, bukan karena subjek memahami instruksi dari gurunya tersebut untuk mengambil bola dan memasukkan bola ke dalam keranjang.


(5)

a) Intervensi (B)

Intervensi guna mendapatkan data frekuensi kemampuan bahasa reseptif anak dengan observer serta dokumentasi rekam kejadian dilakukan selama 10 hari berturut-turut (selain tanggal merah). Pengamatan dilakukan pada saat floortime berlangsung selama 30 menit per hari (dibagi menjadi 3 interval) dimulai pada pukul 09.00 hingga 09.30. Hasil kemampuan bahasa reseptif pada fase intervensi (B) dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.2

Frekuensi Kemampuan Bahasa Reseptif Fase Intervensi

Hari Frekuensi kemampuan bahasa reseptif pada interval pengukuran

Mengambil Memasukkan

1 2 3 Jumlah 1 2 3 Jumlah

I 0 0 0 0 0 0 0 0

II 0 0 1 1 0 0 1 1

III 0 0 0 0 0 0 0 0

IV 1 1 0 2 1 1 0 2

V 1 1 0 2 1 0 0 1

VI 1 1 0 2 1 1 0 2

VII 2 0 1 3 2 0 1 3

VIII 1 1 1 3 1 1 1 3

IX 2 1 1 4 2 1 1 4

X 2 2 1 5 2 2 1 5

Total 22 Total 21

Keterangan: 1 = interval pengukuran 10 menit pertama 2 = interval pengukuran 10 menit kedua 3= interval pengukuran 10 menit ketiga

Pada hari pertama melakukan intervensi di dalam ruang terapi, selama 15 menit subjek tidak mau duduk hanya berlari kesana kemari. Kemudian subjek duduk, tapi belum mau diarahkan sesuai instruksi. Subjek minta duduk dengan dipangku sambil memeluk, hingga waktu intervensi pertama selesai.

Intervensi hari kedua, pada waktu sepuluh menit pertama subjek hanya berjalan mondar mandir sambil memegang salah satu balok pelangi. Kemudian sepuluh menit kedua, peneliti mengarahkan dengan memberi instruksi subjek untuk duduk, tapi subjek masih tidak mau duduk sendiri dan subjek masih minta dipangku. Pada sepuluh menit ketiga, subjek baru mau sekali diarahkan dengan instruksi untuk mengambil dan memasukkan balok pelangi ke tempatnya.


(6)

Hari ketiga intervensi, ketika memasuki ruang terapi subjek seperti kurang semangat. Seperti biasa, ketika baru awal masuk ruang terapi, subjek pasti mondar mandir terlebih dahulu. Setelah lima menit mondar mandir, kemudian subjek teriak histeris kemudian menangis terus sampai jam intervensi selesai. Setelah wali kelas konfirmasi ke orang tua subjek ternyata subjek tadi sebelum berangkat sekolah belum sempat sarapan, jadi kemungkinan subjek lapar.

Pada intervensi hari keempat, ketika subjek bertemu peneliti sudah senyum-senyum. Setelah mondar mandir sebentar, kemudian subjek mau untuk duduk sendiri. Sepuluh menit pertama dan sepuluh menit kedua, subjek mau diarahkan sekali dengan instruksi untuk memasukkan dan mengambil balok pelangi. Setelah sepuluh menit ketiga, subjek kelihatan sudah jenuh, kemudian subjek menolak untuk diarahkan dan tidak mau mendengarkan instruksi dari peneliti dan subjek berlari-lari di dalam ruangan sampai waktu intervensi selesai.

Hari kelima intervensi, setelah memasuki ruang terapi subjek langsung duduk sambil memegang balok pelangi yang sudah peneliti siapkan. Balok pelangi hanya dipegang dan sesekali subjek terlihat menjilati balok pelangi tersebut. Pada sepuluh menit pertama subjek mau diarahkan untuk mengikuti instruksi mengambil dan memasukkan balok pelangi. Pada sepuluh menit kedua, subjek hanya mau mengambil balok pelangi, tapi tidak mau memasukkan ke tempatnya. Kemudian subjek teriak-terik sambil minta keluar ruangan sampai jam intervensi selesai.

Intervensi hari ke enam, ketika memasuki ruangan terapi sekitar tiga menit subjek berjalan memutari ruangan, setelah itu subjek duduk sambil menatap ke arah peneliti. Pada sepuluh menit pertama dan kedua, subjek mau mengikuti instruksi mengambil dan memasukkan balok pelangi ke tempatnya. Pada sepuluh menit ketiga, subjek sudah mulai jenuh dan menarik-narik peneliti mengajak keluar ruangan sampai jam intervensi selesai.

Pada intervensi hari ketujuh, subjek terlihat semangat sekali. Subjek memasuki ruang terapi langsung duduk. Sepuluh menit pertama, subjek mau mengikuti instruksi mengambil dan memasukkan balok pelangi, dan peneliti juga menambahkan balok pelangi lagi, subjek juga mau mengikuti instruksi mengambil dan memasukkan kembali balok pelangi ke tempatnya. Sepuluh menit kedua, subjek sudah kelihatan jenuh, subjek berdiri dan mondar mandir di dalam ruangan, tapi tidak minta keluar ruangan. Setelah kelihatan capek, subjek duduk kembali. Sepuluh menit ketiga, subjek mau mengikuti sekali instruksi kembali mengambil dan memasukkan balok pelangi ke tempatnya.

Hari ke delapan intervensi, sepuluh menit pertama subjek mau mengikuti instruksi memasukkan dan mengambil balok pelangi ke


(7)

tempatnya, walaupun Cuma sekali. Kemudian subjek melempar-lempar balok pelangi dan tidak mau diarahkan. Sepuluh menit kedua, subjek mau kembali diarahkan untuk mengikuti instruksi mengambil dan memasukkan balok pelangi, tapi juga sekali, kemudian subjek tiduran sambil menceracau tidak jelas. Sepuluh menit ketiga, subjek duduk dan mau memperhatikan dan mengikuti instruksi mengambil dan memasukkan balok pelangi sekali ke tempatnya. Setelah jam intervensi selesai, subjek hanya duduk diam, dan belum mau mengikuti arahan instruksi untuk merapikan dan memasukkan balok-balok pelangi ke dalam keranjang.

Pada intervensi hari kesembilan, setelah memasuki ruang terapi, subjek hanya sebentar mondar mandir di dalam ruangan, setelah itu subjek duduk diam sambil mengamati balok pelangi yang peneliti siapkan. Sepuluh menit pertama subjek, mau mengikuti arahan instruksi mengambil dan memasukkan balok pelangi sebanyak dua kali. Pada sepuluh menit kedua dan ketiga, subjek juga mau mengikuti arahan instruksi mengambil dan memasukkan balok pelangi ke tempatnya, walau cuman sekali. Ketika selesai intervensi, subjek mau mengikuti arahan instruksi peneliti untuk memasukkan balok pelangi ke dalam keranjang.

Hari kesepuluh atau terakhir intervensi, subjek memasuki ruang terapi langsung duduk sendiri dan tersenyum ke arah peneliti. Sepuluh menit pertama dan kedua, kosentrasi subjek cukup bagus. Subjek mau mengikuti arahan instruksi dari peneliti untuk mengambil dan memasukkan balok pelangi ke tempatnya. Sepuluh menit ketiga, terlihat subjek mulai jenuh, tapi subjek masih mau duduk dan mengikuti arahan instruksi peneliti untuk mengambil dan memsukkan balok pelangi. Setelah selesai intervensi, subjek juga mau mengikuti arahan instruksi untuk memasukkan dan merapikan balok pelangi ke dalam keranjang.

b) Post test

Observasi guna mendapatkan data frekuensi kemampuan bahasa reseptif anak dengan guru serta dokumentasi rekam kejadian dilakukan 4 hari berturut-turut mulai tanggal 17 Agustus hingga 20 Agustus 2015. Pengamatan berlangsung di ruang kelas partisipan selama 30 menit per hari (dibagi menjadi 3 interval) dimulai pada pukul 09.00 hingga 09.30. Setelah melakukan intervensi, subjek sudah mulai memahami arahan instruksi dari guru kelasnya ketika mengambil dan memasukkan suatu benda ke dalam tempatnya, walaupun instruksi masih harus diulang-ulang. Dapat dilihat hasil frekuensi kemampuan bahasa reseptif pada post test pada tabel berikut:


(8)

Tabel 4.3

Frekuensi Kemampuan Bahasa Reseptif Post Test

Hari Frekuensi kemampuan bahasa reseptif pada interval pengukuran

Mengambil Memasukkan

1 2 3 Jumlah 1 2 3 Jumlah

I 1 2 2 5 1 2 2 5

II 2 2 1 5 2 2 1 5

III 2 2 1 5 2 2 1 5

IV 3 2 1 6 3 2 1 6

21 21

Keterangan: 1. interval pengukuran 10 menit pertama 2. interval pengukuran menit 10 menit kedua 3. interval pengukuran menit 10 menit ketiga

C. HASIL PENELITIAN

Grafik berikut memaparkan frekuensi kemampuan bahasa reseptif (mengambil dan memasukkan) anak dengan guru pada fase baseline 1 (A1) dan fase baseline 2 (A2). Pada fase intervensi (B) kemampuan bahasa reseptif (mengambil dan memasukkan) terjadi antara anak dengan observer.

Grafik Kemampuan Bahasa Reseptif “Mengambil”

Melalui grafik di atas dapat diketahui frekuensi kemampuan bahasa reseptif “mengambil” yang diamati pada fase baseline 1 (A1) hari pertama tidak terjadi perilaku mengambil, dan hari kedua naik menjadi 1 kali. Saat fase intervensi metode floortime (B) hari pertama frekuensi kemampuan bahasa reseptif “mengambil” belum menampakkan perilaku, hari kedua berjumlah 1 kali, dan hari ketiga tidak menampakkan perilaku lagi. Hari ke empat, lima, dan enam hasilnya sama sebanyak 2x perilaku mengambil.


(9)

Untuk hari ke tujuh dan delapan, perilaku mengambil naik menjadi 3x. Hari kesembilan, naik menjadi 4x perilaku mengambil dan hari kesepuluh naik menjadi 5x. observasi saat fase baseline 2 (A2) dilakukan berselang satu hari setelah hari terakhir metode floortime. Frekuensi kemampuan bahasa reseptif “mengambil” anak dengan guru hari pertama, kedua dan ketiga berumlah sama yaitu 5x. untuk hari keempat mengalami kenaikan berjumlah 5x.

Grafik Kemampuan Bahasa Resptif “Memasukkan”

Hasil penelitian kemampuan bahasa reseptif “mengambil” dan “memasukkan” fase baseline 1 (A1) hasilnya sama. Untuk hasil intervensi metode floortime “mengambil” dan “memasukkan” hasil yang berbeda pada pengamatan hari ke 5. Sedangkan fase baseline 2 (A2) hasilnya juga sama.

D. PEMBAHASAN

Pada tanggal 27 Juli 2015 peneliti mengadakan pertemuan secara langsung dengan guru kelas, dan anak A. Berdasarkan keterangan dari guru kelas, A termasuk anak yang sudah bersekolah di Sekolah Terpadu ABK Rumah Pintar sekitar 6 bulan. Walaupun usia partisipan sudah 8 tahun lebih, akan tetapi partisipan belum banyak memahami instruksi-instruksi sederhana yang diberikan oleh guru. Ketika di dalam kelas, guru memberikan instruksi-instruksi sederhana, partisipan hanya diam dan tidak melihat ke arah guru.

Interview dengan orang tua subjek, peneliti lakukan pada tanggal 28 Juli dan 29 Juli 2015. Pada saat Interview kebetulan Ayah subjek di rumah karena cuti bekerja. Ayah subjek memberikan keterangan kalau dia bekerja di Jakarta sedangkan Ibunya juga bekerja di dalam kota dan pulangnya malam hari. Keseharian subjek di rumah dengan nenek dan


(10)

kakeknya. Subjek belum memahami komunikasi yang diberikan oleh orang lain, mungkin Karena di rumah kurang stimulus yang diberikan oleh nenek dan kakeknya. Ketika interview ibu partisipan mengatakan tidak ada keluhan dalam masa kehamilan anak A. Pada usia 6 bulan, anak A pernah terjatuh dari atas tempat tidur, tapi katanya tidak apa-apa. Pada usia 4 tahun, anak A mulai tidak mau bicara dan kontak mata mulai jarang. Kemudian orang tuanya membawa anak A ke Jakarta untuk diperiksakan ke dr. Melly Budiman, Sp. Kj. Hasil observasi dari dokter Melly bahwa anak A mengalami gangguan autistik. Anak A juga melakukan tes alergi dengan diamati melalui sampel feses dan darahnya.

Pengamatan untuk fase baseline 1 (A1) dan baseline 2 (A2) dimulai pada saat kelas sosialisasi, di dalam kelas bersama gurunya. Hal ini sesuai dengan hasil diskusi peneliti dengan guru untuk memilih momen yang tepat pada anak A berinteraksi intens dengan guru yang berdurasi 30 menit.

Hasil observasi saat metode floortime berlangsung atau fase intervensi (B) dilakukan selama 10 hari, 30 menit per hari. Pada hari I, kemampuan bahasa reseptif mengambil dan memasukkan antara anak A dengan observer belum terjadi karena ketika diberi instruksi untuk mengambil dan memasukkan balok pelangi anak A belum memahaminya, anak A hanya diam dan tidak mau melihat ke arah balok pelangi. Hari ke II anak A mulai mau diarahkan untuk mengambil dan memasukkan balok pelangi, dan frekuensi kemampuan bahasa reseptif terjadi sebanyak 1 kali. Pada intervensi hari ke III dengan observer, anak A hanya menangis dan menjerit-jerit selama 30 menit karena terlambat tidak makan pagi (sarapan). Sebelum melakukan intervensi pada hari ke IV, anak A diberikan bekal makanannya terlebih dahulu dan observer lebih memperbanyak instruksi mengambil dan memegang balok pelangi, dan hasil frekuensi bahasa reseptif yang didapat sebanyak 2 kali. Hari ke V, frekuensi bahasa reseptif mengambil dan memasukkan anak A berbeda, untuk mengambil berjumlah 2 kali sedangkan memasukkan berjumlah 1 kali, karena pada saat interval ke tiga, anak A sudah gelisah dan menjerit-jerit. Pada hari ke VI, frekuensi kemampuan bahasa reseptif, mengambil dan memegang berjumlah 2 kali. Intervensi pada hari ke VII dan VIII, frekuensi kemampuan bahasa reseptif, mengambil dan memegang anak A mengalami kenaikan berjumlah 3 kali. Pada hari ke IX, anak A sudah mulai memahami instruksi mengambil dan memasukkan balok pelangi ke tempatnya, dan frekuensi kemampuan bahasa reseptif berjumlah 4 kali. Pada hari terakhir atau hari ke X pemberian intervensi, kemampuan bahasa reseptif, mengambil dan memegang anak A berjumlah 5 kali.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Richard Solmon dkk (2007), dalam jurnal penelitian “Pilot Study of a Parent Training Program


(11)

86 orang. Pada penelitian ini, orang tua didorong untuk memberikan inervensi selama 15 jam per minggu, dengan melakukan permainan bebas dengan media apapun kepada anak-anaknya. Penelitian ini dilakukan selama 8 – 12 bulan, dan hasil penelitian menunjukkan bahwa metode floortime sangat efektif untuk meningkatkan komunikasi pada anak autis.

Penelitian dilakukan oleh Cullinane (2009) dengan menggunakan media yang berbeda. Penelitian dengan tema “Evidence Base For The DIR®/Floortime Approach”. Di dalam penelitiannya, menggunakan media anak tangga untuk memberikan instruksi sederhana naik dan turun. Di dalam penetian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa metode floortime dapat membantu meningkatkan pemahaman bahasa anak autis, khususnya pemahaman bahasa naik dan turun.

Hasil penelitian pengukuran frekuensi bahasa reseptif dengan menggunakan sarana media balok pelangi pada anak autistik sebelum dan sesudah metode floortime menunjukkan bahwa terdapat perbedaan frekuensi kemampuan bahasa reseptif pada fase baseline 1 (A1) dan fase baseline 2 (A2). Walaupun intervensi metode floortime dalam penelitian ini hanya menggunakan media balok pelangi, akan tetapi frekuensi kemampuan bahasa reseptif menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan. Dengan pemberian intervensi secara konsisten dan dengan sarana yang menyenangkan akan memotivasi anak untuk belajar dan bermain dengan senang. Hal ini sependapat dengan Sadiman (2003) mengatakan bahwa sarana media yang menarik akan memacu anak untuk lebih giat dalam belajar.

Metode floortime yang fleksibel dapat dilakukan dimana saja, kapan saja dan dengan media apapun juga mempengaruhi kenyamanan subjek, karena dengan mengikuti setiap perilakunya, subjek menjadi lebih nyaman. Hal ini sependapat dengan Greenspan (2010) menyatakan bahwa metode floortime dapat dilakukan kapan saja, dimana, saja dan dengan menggunakan media apapun.

Berdasarkan observasi dan pengamatan hasil rekam kejadian, peneliti memprediksikan beberapa faktor yang menyebabkan metode floortime mengalami peningkatan yang signifikan, antara lain : sarana media yang menyenangkan, pemberian intervensi dan waktu yang konsisten, memberikan pemahaman instruksi yang diulang-ulang, dan menciptakan suasana yang menyenangkan pada diri anak.


(1)

Hari ketiga intervensi, ketika memasuki ruang terapi subjek seperti kurang semangat. Seperti biasa, ketika baru awal masuk ruang terapi, subjek pasti mondar mandir terlebih dahulu. Setelah lima menit mondar mandir, kemudian subjek teriak histeris kemudian menangis terus sampai jam intervensi selesai. Setelah wali kelas konfirmasi ke orang tua subjek ternyata subjek tadi sebelum berangkat sekolah belum sempat sarapan, jadi kemungkinan subjek lapar.

Pada intervensi hari keempat, ketika subjek bertemu peneliti sudah senyum-senyum. Setelah mondar mandir sebentar, kemudian subjek mau untuk duduk sendiri. Sepuluh menit pertama dan sepuluh menit kedua, subjek mau diarahkan sekali dengan instruksi untuk memasukkan dan mengambil balok pelangi. Setelah sepuluh menit ketiga, subjek kelihatan sudah jenuh, kemudian subjek menolak untuk diarahkan dan tidak mau mendengarkan instruksi dari peneliti dan subjek berlari-lari di dalam ruangan sampai waktu intervensi selesai.

Hari kelima intervensi, setelah memasuki ruang terapi subjek langsung duduk sambil memegang balok pelangi yang sudah peneliti siapkan. Balok pelangi hanya dipegang dan sesekali subjek terlihat menjilati balok pelangi tersebut. Pada sepuluh menit pertama subjek mau diarahkan untuk mengikuti instruksi mengambil dan memasukkan balok pelangi. Pada sepuluh menit kedua, subjek hanya mau mengambil balok pelangi, tapi tidak mau memasukkan ke tempatnya. Kemudian subjek teriak-terik sambil minta keluar ruangan sampai jam intervensi selesai.

Intervensi hari ke enam, ketika memasuki ruangan terapi sekitar tiga menit subjek berjalan memutari ruangan, setelah itu subjek duduk sambil menatap ke arah peneliti. Pada sepuluh menit pertama dan kedua, subjek mau mengikuti instruksi mengambil dan memasukkan balok pelangi ke tempatnya. Pada sepuluh menit ketiga, subjek sudah mulai jenuh dan menarik-narik peneliti mengajak keluar ruangan sampai jam intervensi selesai.

Pada intervensi hari ketujuh, subjek terlihat semangat sekali. Subjek memasuki ruang terapi langsung duduk. Sepuluh menit pertama, subjek mau mengikuti instruksi mengambil dan memasukkan balok pelangi, dan peneliti juga menambahkan balok pelangi lagi, subjek juga mau mengikuti instruksi mengambil dan memasukkan kembali balok pelangi ke tempatnya. Sepuluh menit kedua, subjek sudah kelihatan jenuh, subjek berdiri dan mondar mandir di dalam ruangan, tapi tidak minta keluar ruangan. Setelah kelihatan capek, subjek duduk kembali. Sepuluh menit ketiga, subjek mau mengikuti sekali instruksi kembali mengambil dan memasukkan balok pelangi ke tempatnya.

Hari ke delapan intervensi, sepuluh menit pertama subjek mau mengikuti instruksi memasukkan dan mengambil balok pelangi ke


(2)

tempatnya, walaupun Cuma sekali. Kemudian subjek melempar-lempar balok pelangi dan tidak mau diarahkan. Sepuluh menit kedua, subjek mau kembali diarahkan untuk mengikuti instruksi mengambil dan memasukkan balok pelangi, tapi juga sekali, kemudian subjek tiduran sambil menceracau tidak jelas. Sepuluh menit ketiga, subjek duduk dan mau memperhatikan dan mengikuti instruksi mengambil dan memasukkan balok pelangi sekali ke tempatnya. Setelah jam intervensi selesai, subjek hanya duduk diam, dan belum mau mengikuti arahan instruksi untuk merapikan dan memasukkan balok-balok pelangi ke dalam keranjang.

Pada intervensi hari kesembilan, setelah memasuki ruang terapi, subjek hanya sebentar mondar mandir di dalam ruangan, setelah itu subjek duduk diam sambil mengamati balok pelangi yang peneliti siapkan. Sepuluh menit pertama subjek, mau mengikuti arahan instruksi mengambil dan memasukkan balok pelangi sebanyak dua kali. Pada sepuluh menit kedua dan ketiga, subjek juga mau mengikuti arahan instruksi mengambil dan memasukkan balok pelangi ke tempatnya, walau cuman sekali. Ketika selesai intervensi, subjek mau mengikuti arahan instruksi peneliti untuk memasukkan balok pelangi ke dalam keranjang.

Hari kesepuluh atau terakhir intervensi, subjek memasuki ruang terapi langsung duduk sendiri dan tersenyum ke arah peneliti. Sepuluh menit pertama dan kedua, kosentrasi subjek cukup bagus. Subjek mau mengikuti arahan instruksi dari peneliti untuk mengambil dan memasukkan balok pelangi ke tempatnya. Sepuluh menit ketiga, terlihat subjek mulai jenuh, tapi subjek masih mau duduk dan mengikuti arahan instruksi peneliti untuk mengambil dan memsukkan balok pelangi. Setelah selesai intervensi, subjek juga mau mengikuti arahan instruksi untuk memasukkan dan merapikan balok pelangi ke dalam keranjang.

b) Post test

Observasi guna mendapatkan data frekuensi kemampuan bahasa reseptif anak dengan guru serta dokumentasi rekam kejadian dilakukan 4 hari berturut-turut mulai tanggal 17 Agustus hingga 20 Agustus 2015. Pengamatan berlangsung di ruang kelas partisipan selama 30 menit per hari (dibagi menjadi 3 interval) dimulai pada pukul 09.00 hingga 09.30. Setelah melakukan intervensi, subjek sudah mulai memahami arahan instruksi dari guru kelasnya ketika mengambil dan memasukkan suatu benda ke dalam tempatnya, walaupun instruksi masih harus diulang-ulang. Dapat dilihat hasil frekuensi kemampuan bahasa reseptif pada post test pada tabel berikut:


(3)

Tabel 4.3

Frekuensi Kemampuan Bahasa Reseptif Post Test

Hari Frekuensi kemampuan bahasa reseptif pada interval pengukuran

Mengambil Memasukkan

1 2 3 Jumlah 1 2 3 Jumlah

I 1 2 2 5 1 2 2 5

II 2 2 1 5 2 2 1 5

III 2 2 1 5 2 2 1 5

IV 3 2 1 6 3 2 1 6

21 21

Keterangan: 1. interval pengukuran 10 menit pertama 2. interval pengukuran menit 10 menit kedua 3. interval pengukuran menit 10 menit ketiga C. HASIL PENELITIAN

Grafik berikut memaparkan frekuensi kemampuan bahasa reseptif (mengambil dan memasukkan) anak dengan guru pada fase baseline 1 (A1) dan fase baseline 2 (A2). Pada fase intervensi (B) kemampuan bahasa reseptif (mengambil dan memasukkan) terjadi antara anak dengan observer.

Grafik Kemampuan Bahasa Reseptif “Mengambil”

Melalui grafik di atas dapat diketahui frekuensi kemampuan bahasa reseptif “mengambil” yang diamati pada fase baseline 1 (A1) hari pertama tidak terjadi perilaku mengambil, dan hari kedua naik menjadi 1 kali. Saat fase intervensi metode floortime (B) hari pertama frekuensi kemampuan bahasa reseptif “mengambil” belum menampakkan perilaku, hari kedua berjumlah 1 kali, dan hari ketiga tidak menampakkan perilaku lagi. Hari ke empat, lima, dan enam hasilnya sama sebanyak 2x perilaku mengambil.


(4)

Untuk hari ke tujuh dan delapan, perilaku mengambil naik menjadi 3x. Hari kesembilan, naik menjadi 4x perilaku mengambil dan hari kesepuluh naik menjadi 5x. observasi saat fase baseline 2 (A2) dilakukan berselang satu hari setelah hari terakhir metode floortime. Frekuensi kemampuan bahasa reseptif “mengambil” anak dengan guru hari pertama, kedua dan ketiga berumlah sama yaitu 5x. untuk hari keempat mengalami kenaikan berjumlah 5x.

Grafik Kemampuan Bahasa Resptif “Memasukkan”

Hasil penelitian kemampuan bahasa reseptif “mengambil” dan “memasukkan” fase baseline 1 (A1) hasilnya sama. Untuk hasil intervensi metode floortime“mengambil” dan “memasukkan” hasil yang berbeda pada pengamatan hari ke 5. Sedangkan fase baseline 2 (A2) hasilnya juga sama.

D. PEMBAHASAN

Pada tanggal 27 Juli 2015 peneliti mengadakan pertemuan secara langsung dengan guru kelas, dan anak A. Berdasarkan keterangan dari guru kelas, A termasuk anak yang sudah bersekolah di Sekolah Terpadu ABK Rumah Pintar sekitar 6 bulan. Walaupun usia partisipan sudah 8 tahun lebih, akan tetapi partisipan belum banyak memahami instruksi-instruksi sederhana yang diberikan oleh guru. Ketika di dalam kelas, guru memberikan instruksi-instruksi sederhana, partisipan hanya diam dan tidak melihat ke arah guru.

Interview dengan orang tua subjek, peneliti lakukan pada tanggal 28 Juli dan 29 Juli 2015. Pada saat Interview kebetulan Ayah subjek di rumah karena cuti bekerja. Ayah subjek memberikan keterangan kalau dia bekerja di Jakarta sedangkan Ibunya juga bekerja di dalam kota dan pulangnya malam hari. Keseharian subjek di rumah dengan nenek dan


(5)

kakeknya. Subjek belum memahami komunikasi yang diberikan oleh orang lain, mungkin Karena di rumah kurang stimulus yang diberikan oleh nenek dan kakeknya. Ketika interview ibu partisipan mengatakan tidak ada keluhan dalam masa kehamilan anak A. Pada usia 6 bulan, anak A pernah terjatuh dari atas tempat tidur, tapi katanya tidak apa-apa. Pada usia 4 tahun, anak A mulai tidak mau bicara dan kontak mata mulai jarang. Kemudian orang tuanya membawa anak A ke Jakarta untuk diperiksakan ke dr. Melly Budiman, Sp. Kj. Hasil observasi dari dokter Melly bahwa anak A mengalami gangguan autistik. Anak A juga melakukan tes alergi dengan diamati melalui sampel feses dan darahnya.

Pengamatan untuk fase baseline 1 (A1) dan baseline 2 (A2) dimulai pada saat kelas sosialisasi, di dalam kelas bersama gurunya. Hal ini sesuai dengan hasil diskusi peneliti dengan guru untuk memilih momen yang tepat pada anak A berinteraksi intens dengan guru yang berdurasi 30 menit.

Hasil observasi saat metode floortime berlangsung atau fase intervensi (B) dilakukan selama 10 hari, 30 menit per hari. Pada hari I, kemampuan bahasa reseptif mengambil dan memasukkan antara anak A dengan observer belum terjadi karena ketika diberi instruksi untuk mengambil dan memasukkan balok pelangi anak A belum memahaminya, anak A hanya diam dan tidak mau melihat ke arah balok pelangi. Hari ke II anak A mulai mau diarahkan untuk mengambil dan memasukkan balok pelangi, dan frekuensi kemampuan bahasa reseptif terjadi sebanyak 1 kali. Pada intervensi hari ke III dengan observer, anak A hanya menangis dan menjerit-jerit selama 30 menit karena terlambat tidak makan pagi (sarapan). Sebelum melakukan intervensi pada hari ke IV, anak A diberikan bekal makanannya terlebih dahulu dan observer lebih memperbanyak instruksi mengambil dan memegang balok pelangi, dan hasil frekuensi bahasa reseptif yang didapat sebanyak 2 kali. Hari ke V, frekuensi bahasa reseptif mengambil dan memasukkan anak A berbeda, untuk mengambil berjumlah 2 kali sedangkan memasukkan berjumlah 1 kali, karena pada saat interval ke tiga, anak A sudah gelisah dan menjerit-jerit. Pada hari ke VI, frekuensi kemampuan bahasa reseptif, mengambil dan memegang berjumlah 2 kali. Intervensi pada hari ke VII dan VIII, frekuensi kemampuan bahasa reseptif, mengambil dan memegang anak A mengalami kenaikan berjumlah 3 kali. Pada hari ke IX, anak A sudah mulai memahami instruksi mengambil dan memasukkan balok pelangi ke tempatnya, dan frekuensi kemampuan bahasa reseptif berjumlah 4 kali. Pada hari terakhir atau hari ke X pemberian intervensi, kemampuan bahasa reseptif, mengambil dan memegang anak A berjumlah 5 kali.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Richard Solmon dkk (2007), dalam jurnal penelitian “Pilot Study of a Parent Training Program


(6)

86 orang. Pada penelitian ini, orang tua didorong untuk memberikan inervensi selama 15 jam per minggu, dengan melakukan permainan bebas dengan media apapun kepada anak-anaknya. Penelitian ini dilakukan selama 8 – 12 bulan, dan hasil penelitian menunjukkan bahwa metode floortime sangat efektif untuk meningkatkan komunikasi pada anak autis.

Penelitian dilakukan oleh Cullinane (2009) dengan menggunakan media yang berbeda. Penelitian dengan tema “Evidence Base For The DIR®/Floortime Approach”. Di dalam penelitiannya, menggunakan media anak tangga untuk memberikan instruksi sederhana naik dan turun. Di dalam penetian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa metode floortime dapat membantu meningkatkan pemahaman bahasa anak autis, khususnya pemahaman bahasa naik dan turun.

Hasil penelitian pengukuran frekuensi bahasa reseptif dengan menggunakan sarana media balok pelangi pada anak autistik sebelum dan sesudah metode floortime menunjukkan bahwa terdapat perbedaan frekuensi kemampuan bahasa reseptif pada fase baseline 1 (A1) dan fase baseline 2 (A2). Walaupun intervensi metode floortime dalam penelitian ini hanya menggunakan media balok pelangi, akan tetapi frekuensi kemampuan bahasa reseptif menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan. Dengan pemberian intervensi secara konsisten dan dengan sarana yang menyenangkan akan memotivasi anak untuk belajar dan bermain dengan senang. Hal ini sependapat dengan Sadiman (2003) mengatakan bahwa sarana media yang menarik akan memacu anak untuk lebih giat dalam belajar.

Metode floortime yang fleksibel dapat dilakukan dimana saja, kapan saja dan dengan media apapun juga mempengaruhi kenyamanan subjek, karena dengan mengikuti setiap perilakunya, subjek menjadi lebih nyaman. Hal ini sependapat dengan Greenspan (2010) menyatakan bahwa metode floortime dapat dilakukan kapan saja, dimana, saja dan dengan menggunakan media apapun.

Berdasarkan observasi dan pengamatan hasil rekam kejadian, peneliti memprediksikan beberapa faktor yang menyebabkan metode floortime mengalami peningkatan yang signifikan, antara lain : sarana media yang menyenangkan, pemberian intervensi dan waktu yang konsisten, memberikan pemahaman instruksi yang diulang-ulang, dan menciptakan suasana yang menyenangkan pada diri anak.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Christian Entrepreneurship T2 912010027 BAB IV

0 1 50

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Metode Floortime untuk Meningkatkan Kemampuan Bahasa Reseptif pada Anak Autis T2 832013017 BAB II

0 0 21

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Metode Floortime untuk Meningkatkan Kemampuan Bahasa Reseptif pada Anak Autis T2 832013017 BAB I

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Metode Floortime untuk Meningkatkan Kemampuan Bahasa Reseptif pada Anak Autis

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peranan Kecerdasan Kinestetik Jasmani Melalui Terapi Bermain Terhadap Pikiran dan Perilaku Anak Autis T2 753013003 BAB IV

0 0 4

T2__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evidence dalam Membuktikan Adanya Kartel di Indonesia T2 BAB IV

0 0 4

T2__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Transmigrasi Lokal Pemerintah Provinsi Papua T2 BAB IV

0 1 4

T2__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan pada Sekolah Dasar T2 BAB IV

0 0 49

T2__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Bersaing Untuk Meningkatkan Daya Saing STT Simpson Ungaran T2 BAB IV

0 1 25

T2__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Magister Manajemen Pendidikan Program Pascasarjana FKIPUKSW T2 BAB IV

0 0 34